bab 2 tinjauan kepustakaan 2.1 infeksi...

17
BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Infeksi Nosokomial Infeksi nosokomial menurut WHO adalah adanya infeksi yang tampak pada pasien ketika berada didalam rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, dimana infeksi tersebut tidak tampak pada saat pasien diterima dirumah sakit. Yang disebut infeksi nosokomial ini termasuk juga adanya tanda tanda infeksi setelah pasien keluar dari rumah sakit dan juga termasuk infeksi pada petugas petugas yang bekerja di fasilitas kesehatan. Infeksi yang tampak setelah 48 jam pasien diterima dirumah sakit biasanya diduga sebagai suatu infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial terjadi diseluruh dunia, termasuk dinegara – negara berkembang maupun negara miskin. Sebuah survei mengenai prevalensi infeksi nosokomial yang dikelola WHO, pada 55 rumah sakit di 14 negara yang dibagi menjadi 4 wilayah, yakni Eropa, Mediterranian Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat, menunjukkan bahwa sekitar 8,7 % rumah sakit pasien mengalami infeksi nosokomial, pada survei lain menyatakan sekitar 1,4 juta pasien diseluruh dunia mengalami infeksi nosokomial. Dilaporkan frekuensi paling tinggi terjadi pada rumah sakit di Mediterranian Timur sebesar 11,8 %, diikuti wilayah Asia Tenggara 10%, kemudian wilayah Pasifik Barat 9,0% dan diikuti Eropa 7,7 %. Menurut (1) Universitas Sumatera Utara

Upload: dotuong

Post on 26-Aug-2018

242 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Infeksi Nosokomialrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33474/3/Chapter II.pdf · BAB 2 . TINJAUAN KEPUSTAKAAN . 2.1 Infeksi Nosokomial. Infeksi

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial menurut WHO adalah adanya infeksi yang

tampak pada pasien ketika berada didalam rumah sakit atau fasilitas

kesehatan lainnya, dimana infeksi tersebut tidak tampak pada saat pasien

diterima dirumah sakit. Yang disebut infeksi nosokomial ini termasuk juga

adanya tanda tanda infeksi setelah pasien keluar dari rumah sakit dan

juga termasuk infeksi pada petugas petugas yang bekerja di fasilitas

kesehatan. Infeksi yang tampak setelah 48 jam pasien diterima dirumah

sakit biasanya diduga sebagai suatu infeksi nosokomial.

Infeksi nosokomial terjadi diseluruh dunia, termasuk dinegara –

negara berkembang maupun negara miskin. Sebuah survei mengenai

prevalensi infeksi nosokomial yang dikelola WHO, pada 55 rumah sakit di

14 negara yang dibagi menjadi 4 wilayah, yakni Eropa, Mediterranian

Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat, menunjukkan bahwa sekitar 8,7

% rumah sakit pasien mengalami infeksi nosokomial, pada survei lain

menyatakan sekitar 1,4 juta pasien diseluruh dunia mengalami infeksi

nosokomial. Dilaporkan frekuensi paling tinggi terjadi pada rumah sakit di

Mediterranian Timur sebesar 11,8 %, diikuti wilayah Asia Tenggara 10%,

kemudian wilayah Pasifik Barat 9,0% dan diikuti Eropa 7,7 %. Menurut

(1)

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Infeksi Nosokomialrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33474/3/Chapter II.pdf · BAB 2 . TINJAUAN KEPUSTAKAAN . 2.1 Infeksi Nosokomial. Infeksi

CDC, hasil survei di United State, terjadi peningkatan angka prevalensi

nosokomial dari 7,2% pada tahun 1975, menjadi 9,8 % pada tahun 1995.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Wardana dan Acang tahun 1989,

terjadinya infeksi nosokomial sebesar 18,46 % pada pasien yang dirawat

di ruang gawat penyakit dalam RSUP M. Jamil, padang. Sedangkan

penelitian pada tahun yang sama di RS. Hasan Sadikin Bandung

didapatkan insiden infeksi nosokomial 17, 24 %, sedangkan di RSUD dr

Sutomo prevalensi terjadinya infeksi nosokomial sebesar 9,85 %

.(1,12)

2.2 Pembagian infeksi nosokomial

1. Infeksi saluran kemih ( UTI )

Merupakan infeksi nosokomial yg paling sering terjadi. Sekitar 80%

infeksi saluran kemih ini berhubungan dengan pemasangan kateter.

Infeksi saluran kemih jarang menyebabkan kematian dibandingkan

infeksi nosokomial lainnya. Tetapi kadang - kadang dapat

menyebabkan bakterimia dan kematian. Infeksi biasanya ditentukan

oleh kriteria secara mikrobiologi. Positif apabila kultur urin ≥ 10 5

mikroorganisme / ml, dengan maksimum dari dua isolat spesies

bakteri. Bakteri dapat berasal dari flora normal saluran cerna ,

misalnya E. coli ataupun didapat dari rumah sakit, misalnya Klebsiella

multiresisten.

(1,8,13)

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Infeksi Nosokomialrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33474/3/Chapter II.pdf · BAB 2 . TINJAUAN KEPUSTAKAAN . 2.1 Infeksi Nosokomial. Infeksi

2. Infeksi luka operasi / infeksi daerah operasi ( ILO / IDO )

Infeksi nosokomial yang sering terjadi, insiden bervariasi, dari 0,5

sampai 15 %, tergantung tipe operasi dan penyakit yang

mendasarinya. Hal ini merupakan masalah yang signifikan, karena

memberikan dampak pada biaya rumah sakit yang semakin besar, dan

bertambah lamanya masa inap setelah operasi. Kriteria dari infeksi

luka infeksi ini yaitu ditemukan discharge purulen disekitar luka atau

insisi dari drain atau sellulitis yang meluas dari luka. Infeksi biasanya

didapat ketika operasi baik secara exogen ( dari udara, dari alat

kesehatan, dokter bedah dan petugas petugas lainnya ), maupun

endogen dari mikroorganisme pada kulit yang diinsisi. Infeksi

mikroorganisme bervariasi, tergantung tipe dan lokasi dari operasi dan

antimikroba yang diterima pasien.

3. Pneumonia nosokomial ( VAP )

(1,8,13)

Yang paling penting adalah penggunaan ventilator pada pasien di

ICU., dimana prevalensi terjadinya pneumonia sebesar 3% perhari.

Merupakan angka kejadian fatal yang tinggi, yang dihubungkan

dengan Ventilator associated Pneumonia. Mikroorganisme

berkolonisasi di saluran pernafasan bagian atas dan bronchus dan

menyebabkan infeksi pada paru ( pneumonia ). Sering merupakan

endogen, tetapi dapat juga secara exogen. Diagnosa pneumonia

berdasarkan gejala klinis dan radiologi, sputum purulen serta

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Infeksi Nosokomialrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33474/3/Chapter II.pdf · BAB 2 . TINJAUAN KEPUSTAKAAN . 2.1 Infeksi Nosokomial. Infeksi

timbulnya demam. Diketahui sekarang bahwa yang merupakan faktor

resiko adalah tipe dan lamanya penggunaan ventilator, beratnya

kondisi pasien atau ada atau tidaknya penggunaan antibiotik

sebelumnya.

4. Bakteremia nosokomial ( BSI )

(1,8, 13)

Tipe infeksi nosokomial ini merupakan proporsi kecil dari infeksi

nosokomial (sekitar 5 %), tetapi angka kejadian fatal nya tinggi, lebih

dari 50% untuk beberapa organisme. Misalnya Staphylococcus

Coagulase – Negative dan Candida spp. Infeksi mungkin kelihatan

pada tempat masuknya alat intravaskular atau pada subkutaneus dari

pemasangan kateter. Organisme berkolonisasi dikateter didalam

pembuluh darah dapat menghasilkan bakteremia tanpa adanya tanda-

tanda infeksi dari luar. Flora normal yang sementara atau tetap pada

kulit merupakan sumber infeksi. Faktor resiko yang utama dalam

mempangaruhi infeksi nosokomial ini adalah lamanya kateterisasi,

level aseptik dan pemeliharaan yang kontiniu dari kateter.

5. Infeksi nosokomial lainnya.

(1,8,13)

Merupakan infeksi nosokomial yang ke empat tersering.

Sebagai contoh, misalnya :

• Infeksi pada kulit dan jaringan lunak, misalnya luka terbuka ( luka

bakar dan luka akibat berbaring lama )

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Infeksi Nosokomialrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33474/3/Chapter II.pdf · BAB 2 . TINJAUAN KEPUSTAKAAN . 2.1 Infeksi Nosokomial. Infeksi

• Gastroenteritis merupakan infeksi nosokomial tersering pada anak

anak, dimana penyebabnya terbanyak adalah rotavirus. Untuk

penyebab tersering gastroenteritis pada orang dewasa adalah

Clostridium difficile, sering terdapat pada negara berkembang.

• Sinusitis dan infeksi saluran cerna lainnya, infeksi pada mata dan

konjungtiva.

(1)

• Endometritis dan infeksi lainnya dari organ reproduksi setelah

melahirkan.

Bakteri dapat menyebabkan infeksi nosokomial dengan beberapa cara:

1. Flora tetap atau sementara pada pasien ( endogen )

Bakteri yang merupakan flora normal dapat menyebabkan infeksi

oleh karena adanya perpindahan dari habitat alami ke luar,

misalnya pindah kesaluran kemih, atau adanya kerusakan jaringan

(luka), atau tidak adekuat pemberian antibiotik sehingga diikuti

adanya pertumbuhan kuman yang berlebihan (C. difficile, Yeast

spp).

2. Flora dari pasien atau petugas rumah sakit ( exogen )

Bakteri dapat berpindah diantara pasien :

• Melalui kontak langsung diantara pasien ( tangan, air ludah atau

cairan tubuh lainnya )

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Infeksi Nosokomialrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33474/3/Chapter II.pdf · BAB 2 . TINJAUAN KEPUSTAKAAN . 2.1 Infeksi Nosokomial. Infeksi

• Melalui udara (melalui ludah atau debu yang sudah

terkontaminasi oleh bakteri pasien ).

• Melalui petugas yang terkontaminasi melalui perawatan pasien,

misalnya handuk, pakaian, hidung dan tenggorokan, yang

kemudian menjadi carrier sementara atau permanen, yang

kemudian mentransmisikan bakteri kepasien lainnya melalui

kontak langsung ketika merawat. CDC memperkirakan sekitar

36% infeksi nosokomial infeksi dapat dicegah bila semua

petugas kesehatan diberikan pedoman khusus dalam

pengkontrolan infeksi ketika merawat pasien.

• Melalui objek –objek yang terkontaminasi oleh pasien, termasuk

peralatan, tangan petugas, tamu atau sumber linkungan lain,

misalnya air, cairan lainnya, makanan.

3. Flora yang berasal dari lingkungan kesehatan.

Beberapa tipe organisme dapat bertahan dengan baik pada

lingkungan rumah sakit, misalnya didalam air, area yang lembab,

dan kadang – kadang pada produk yang steril atau desinfektan,

misalnya Pseudomonas, Acinobacter, mycobacterium.

(1,2,8,13,14)

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Infeksi Nosokomialrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33474/3/Chapter II.pdf · BAB 2 . TINJAUAN KEPUSTAKAAN . 2.1 Infeksi Nosokomial. Infeksi

Faktor faktor yang mempengaruhi berkembangnya infeksi nosokomial :

• Antimikroba

Sebelum diperkenalkan pelatihan dasar mengenai kebersihan dan

pemberian antimikroba, hampir semua infeksi dirumah sakit berasal

dari sumber luar yang patogen (misalnya penyakit yang ditularkan

melalui makanan atau udara, gangren, tetanus atau yang lainnya),

atau disebabkan oleh mikroorganisme yang bukan flora normal dari

pasien (misalnya tuberculosis). Perkembangan terapi antibiotik

sebagai terapi infeksi bakteri digunakan untuk menurunkan angka

kematian dari berbagai penyakit infeksi. Hampir semua infeksi yang

didapatkan dirumah sakit disebabkan oleh mikroorganisme yang

umumnya sering terdapat pada populasi umum, misalnya pada

pasien – pasien dirumah sakit (misalnya S. aureus, Staphylococcus

Coagulase Negative, Enterococci, Enterobacteriaceae).

• Kerentanan pasien

Faktor – faktor yang berpengaruh pada keadaan ini adalah umur,

status imun, penyakit yang mendasarinya, serta intervensi dari

terapi. Pasien yang mengalami penyait kronik seperti tumor ganas,

leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, atau AIDS, mempunyai

kerentanan yang meningkat terhadap infeksi opurtunistik.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Infeksi Nosokomialrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33474/3/Chapter II.pdf · BAB 2 . TINJAUAN KEPUSTAKAAN . 2.1 Infeksi Nosokomial. Infeksi

• Faktor lingkungan

Pasien dengan infeksi atau dengan carrier mikroorganisme

patogenik merupakan sumber potensial infeksi terhadap pasien

atau pekerja dirumah sakit. Adanya kondisi seperti ini di dalam

rumah sakit, sering mengakibatkan transmisi bakteri dari satu unit

ke unit lainnya. Mikrobial mungkin mengkontaminasi alat alat,

bahan bahan yang kemudian kontak terhadap pasien .

• Resistensi bakteri

Banyak pasien yang menerima terapi antimikroba. Melalui seleksi

dan adanya perubahan elemen resistensi genetik, antibiotik

menjadi emergensi dimana banyak strain bakteri yang resisten

terhadap berbagai antimikroba. Resistensi strain bakteri menjadi

menetap dan dapat berkembang menjadi endemik di rumah sakit.

Banyak strain Pneumococci, Staphylococci, Enterococci dan

tuberculosis resisten terhadap hampir semua antimikroba yang

sebelumnya efektif digunakan sebagai terapi.

(1,2,8,14)

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Infeksi Nosokomialrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33474/3/Chapter II.pdf · BAB 2 . TINJAUAN KEPUSTAKAAN . 2.1 Infeksi Nosokomial. Infeksi

2.3 Mikroorganisme yang sering Ditemukan dalam Hidung.

Mikroorganisme Rentangan Insidens (%)

S. aureus 20-85

S. epidermis 90

Corynebacterium aerobic 50 - 80

Strept. Pneumonia 0 - 17

Strept. Pyogenes 0,1 - 10

Haemofilus influenza 12

Neisseria meningitidis 0 - 10

Staphylococcus epidermidis

S. epidermidis merupakan flora normal yang tersering didapat

dikulit dan hidung. Apabila terdapat hasil S. epidermidis dari kultur darah,

biasanya merupakan kontaminasi dari kulit. Walaupun virulensinya

rendah, S.epidermidis sering merupakan penyebab dari pemasangan

katub jantung dan kateter, infeksi saluran kemih, infeksi luka bedah,

infeksi dari pemasangan alat – alat prostetik, infeksi shunt cerebrospinal

fluid, infeksi yang berhubungan dengan dialisis peritoneal dan infeksi

opthalmik. Resistensi obat – obatan terhadap S. epidermidis lebih sering

terjadi dibandingkan dengan S. aureus. Vancomycin masih sensitif

15

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Infeksi Nosokomialrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33474/3/Chapter II.pdf · BAB 2 . TINJAUAN KEPUSTAKAAN . 2.1 Infeksi Nosokomial. Infeksi

terhadap S. epidermidis, tetapi adanya resistensi terhadap isolate pernah

dilaporkan.

Staphylococcus aureus

S. aureus merupakan carrier pada individual yang sehat sekitar

22%, carrieg terjadi pada hampir semua bagian kulit, ditemukan juga pada

permukaan mukosa pada anterior nares , juga terdapat pada mukosa

vagina. Perpindahan dapat terjadi melalui kontak langsung, misalnya pada

pegangan pintu, dimana pada putarannya menjadi sumber infeksi, atau

dalam makanan, sehingga dapat menyebabkan keracunan makanan.

Dalam keadaan- keadaan tertentu, S. aureus dapat menyebabkan

berbagai proses, mulai dari infeksi kulit yang ringan sampai penyakit

sistemik yang dapat mengancam nyawa. Mulai dari folliculitis, impetigo,

furuncel dan carbuncel sampai ke Community – acquired Staphylococcus

bronchopneumonia yang di hubungkan oleh virus sebagai faktor

predisposisi. Toxin yang diproduksi oleh Staphylococcus aureus

merupakan penyebab pada Staphylococcal scalded skin syndrome dan

toxic shock syndrome. Penicilline merupakan obat yang terpilih ( drug of

choice ) untuk pengobatan infeksi S. aureus. Kedaruratan resistensi

terhadap penicillin disebabkan adanya “kemahiran” dari elemen – elemen

genetik plasmidborne yang mengkode produksi β – lactamase. Sekarang

ini, lebih dari 80% isolat S. aureus resisten terhadap penisilin oleh karena

adanya enzim β – lactamase hydrolitic atau penicillinase. MRSA mewakili

tantangan yang sebenarnya dari semua institusi kesehatan, dan pedoman

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Infeksi Nosokomialrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33474/3/Chapter II.pdf · BAB 2 . TINJAUAN KEPUSTAKAAN . 2.1 Infeksi Nosokomial. Infeksi

pedoman sudah di buat untuk mengatur dan mengkontrol perluasan

MRSA pada insttitusi kesehatan. Beberapa rumah sakit telah mempunyai

institusi untuk melakukan kultur nasal secara rutin terhadap petugas –

petugas kesehatan untuk mendeteksi adanya carrier MRSA serta

memberikan terapi dengan tujuan untuk menurunkan jumlah terpaparnya

pasien, yang mana akan menurunkan percepatan infeksi nosokomial

dirumah sakit.

Corynebacterium diphtheriae

C. diphthteriae merupakan penyebab klasik dari penyakit

diphtheriae. Infeksi ini masih terlihat di negara berkembang. Infeksi ini

dapat dicegah denga immunisasi yang meluas pada populasi yang

bersiko terhadap toxoid diphtheriae. Virulensi organisme ini sepenuhnya

oleh karena produksi toxin dari diphtheriae. Meskipun nasal swab bukan

merupakan spesimen ideal untuk sekret hidung, tetapi kadang – kadang

hal ini dapat diterima. Bagaimanapun nasal swab tidaklah merupakan hal

yang rutin sebagai bahan kultur untuk mendapatkan Corynebacterium

diphtheriae. Terapi dari diphtheriae ini melibatkan antitoxin dari kuda untuk

menetralkan toxin agar tidak berikatan dengan sel target. Dilakukan terapi

support seperti tracheostomy atau intubasi pembersihan jalan nafas, dan

memonitor fungsi jantung. Penisilline atau Erythromycin dapat juga

diberikan untuk mempercepat eradikasi organisme ini dari saluran

pernafasan pasien. Gabungan Rifampisin dan Erythromycin telah

digunakan untuk eradikasi carriege dari C. diphtheriae pada individu yang

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Infeksi Nosokomialrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33474/3/Chapter II.pdf · BAB 2 . TINJAUAN KEPUSTAKAAN . 2.1 Infeksi Nosokomial. Infeksi

sudah terpapar. Pada hasil tes resistensi antimikroba menunjukkan strain

C. diphtheriae secara umum sensitif terhadap Penicilline, Ampicilline,

Cefuroxime, Erythromycin, Tetracycline, Ciprofloxacin, Gentamycine,

Trimethoprim dan Rifampisin.

Haemophilus influenzae

Haemophilus influenzae merupakan bagian flora normal pada

oropharynx dan nasopharynx pada orang dewasa. Diantara semua

hemophili, H. Influenza serotype b dikatakan yang dikatakan paling

pahogenik. Pada era sebelum vaksin terhadap H. Influenza ada,

organisme ini paling sering menyebabkan meningitis bakcterial pada anak

antara 1 bulan sampai 2 tahun. Lebih dari 90% isolate yang diambil dari

semua kasus mempunyai kapsul serotype b. Adanya kolonisasi di

nosopharinx pada pasien yang rentan dapat membuat H. Influenza

masuk ke aliran darah, dan kemudian menuju meningens. Penyakit

lainnya yang sering dihubungkan dengan H. Influenza adalah epiglottitis,

otitis media, sinusitis, pneumonia, bakteremia, endocarditis, infeksi pada

perinatal, maternal, serta pada urogenital. Spesimen diambil dari CSF,

sputum, dan berbagai cairan tubuh lainnya. Tidak ada fakta yang jelas

tentang isolat H. Influenza yang diambil dari swab hidung yang dapat

mengarah kepada suatu infeksi. Pada tahun 1974, beberapa strain dari H.

influenza menjadi resiten terhadap Ampicilin oleh karena menghasilkan

enzim β lactamase yang dimediasi oleh plasmid. Pada semua penelitian,

lebih dari 99 % strain sensitif terhadaf Amoxicillin - clavulanat. H.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Infeksi Nosokomialrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33474/3/Chapter II.pdf · BAB 2 . TINJAUAN KEPUSTAKAAN . 2.1 Infeksi Nosokomial. Infeksi

Influenza resistant–chloramphenikol menghasilkan enzim chloramphenicol

acetyltransferase. Sekarang ini Cephalosporin generasi ketiga

direkomendasikan sebagai terapi terhadap infeksi berat dari H. Influenza,

oleh karena lebih unggul aktivitasnya pada mikroorganisme ini baik secara

in vitro maupun in vivo.

Streptococcus pneumoniae

S. pneumoniae merupakan penyebab utama dari pneumonia

bakterial acquired community. Organisme ini dapat hidup di saluran nafas

atas sampai 17 % pada orang dewasa. Hampir semua infeksi serius dari

S. pneumoniae terjadi pada anak – anak dibawah umur 3 tahun, dan pada

orang dewasa lebih dari 65 tahun. S. pneumoniae dapat menyebabkan

bacteremia dan sepsis pada anak – anak dan dewasa, pada anak, sekitar

25 % bacteremia dihubungkan dengan otitis media Pneumococcal. S.

pneumoniae juga merupakan penyebab paling sering dari meningitis

bactererial pada orang dewasa. S. pneumoniae jarang menjadi penyebab

dari endocarditis, pericarditis, osteomyelitis, peritonitis, , infeksi jaringan

lunak, dan infeksi neonatal. Disini pengambilan sample dari swab pada

hidung juga tidak jelas faktanya sebagai prediktor terjadinya infeksi yang

disebabkan oleh S. pneumoniae. S. pneumonia merupakan kedaruratan

terhadap resistensi antimokroba, terutama penicilline. Banyak penelitian

yang diadakan CDC, menyatakan terjadinya penurunan sensitivitas

terhadap penicilline sekitar 15 % - 35 %, tergantung dari wilayah geografi.

Isolat S. pneumoniae juga menunjukkan penurunan sensitivitas terhadap

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Infeksi Nosokomialrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33474/3/Chapter II.pdf · BAB 2 . TINJAUAN KEPUSTAKAAN . 2.1 Infeksi Nosokomial. Infeksi

Cephalosporin dari semua generasi ketiga, dan terapi gagal terhadap

infeksi organisme ini pernah dilaporkan. Disamping Penicillin dan

Cephalosporin, Pneumococcal juga mengarah resistensi terhadap

Macrolide, Sulfonamide dan Tetracycline.

2.4 Mekanisme Resistensi Terhadap Antimikroba

(6,15,16,17)

Mekanisme resistensi bakteri sangatlah komplek, bervariasi, dan

belum sepenuhnya dapat dimengerti. Gen untuk mekanisme resistensi

bakteri, mungkin terletak di kromosom atau pada elemen extrakromosom

yang disebut plasmid. Plasmid adalah potongan – potongan dari DNA

yang bergerak secara bebas dari kromosom. Perbedaan yang menonjol

adalah DNA kromosom relatif stabil, sementara Plasmid DNA dengan

gampangnya bergerak dari satu strain ke strain yang lain, atau dari satu

spesies ke spesies yang lain, bahkan dari satu genus ke genus yang lain.

Sebagai tambahan, gen resistensi bakteri pada plasmid mudah

ditransferkan, sehingga terjadi banyak organisme baru yang resisten

terhadap mikroba.

Mekanisme yang paling sering terjadi pada transfer gen resisten

yaitu dengan cara Conjugasi. Faktor lainnya diperlukan dimana gen yang

ditransfer bisa bergerak dari satu organisme ke organisme lainnya.

Diketahui terakhir ini, mekanisme transfer gen resisiten dengan

Transposon ( Transposable genetik element ). Transposon bisa membawa

plasmid. Yang lebih penting, bisa membawa sepotong kromosom dari satu

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Infeksi Nosokomialrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33474/3/Chapter II.pdf · BAB 2 . TINJAUAN KEPUSTAKAAN . 2.1 Infeksi Nosokomial. Infeksi

bakteri ke bakteri yang lain dengan cara Conjugasi (Conjugative

transposon or jumping genetic element). Hasilnya mungkin adanya mozaik

dari material genetik dari bakteri donor ke bakteri resepien. Transfer

resistensi antimikroba melewati barier mayor, antara bakteri Gram positif

dan Gram negatif. Ini sangat penting, karena merupakan transfer

horozontal dari resistensi terhadap antimikroba untuk penyakit infeksi

masa sekarang dan yang akan datang.(6)

Beberapa Mekanisme Resistensi Bakteri terhadap Antimikrobial MEKANISME GOLONGAN ANTIMIKROBA CONTOH Inaktivasi enzym Perubahan reseptor Perubahan transpor antibiotik

β-Lactams Aminoglycosides β-Lactams Perubahan ribosom Perubahan DNA gyrase Perubahan enzym bakteri Perubahan pada membran luar protein (porin) Redused protein motive force Aktif transport dari sel bakteri

Β-actames:penicilineses; cephalosporinases; Carbapenemase Aminoglycosides-modifying enzymes dari gram negativ dan gram positif bakteri Perubahan penisilin binding proteins dari gram negatif dan gram positif bakteri Tetrasiclin; erythromicin; aminoglikosida Quinolons Sulfamethoxazol; trimethoprim Bakteri gram negatif; decreased influx Aminoglykosid dan bakteri gram negatif; decreased influx Tetrasiklin; erithromisin; aktif efflux

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Infeksi Nosokomialrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33474/3/Chapter II.pdf · BAB 2 . TINJAUAN KEPUSTAKAAN . 2.1 Infeksi Nosokomial. Infeksi

DiRS Universitas Uppsala, sweden, di departemen bedah thorak

dan jantungvaskular, peneliti mencari S. aureus dengan melakukan swab

pada nasal pada petugas di bangsal, ICU dan kamar operasi. Mereka

mendapatkan 25, 8 % S. aureus terdapat pada petugas dibangsal, 19,3 %

pada petugas di ICU, dan 15,6 % pada petugas di kamar operasi

jantung.

Di pakistan, di Children Hospital Compleks, Multan, ditemukan

bahwa ternyata 93,8 % spesimen swab pada nasal adalah staphylococci

dengan perbandingan 48 % S. aureus dan 45, 7% Coagulase negative

staphylococci. Didapatkan untuk S. aureus 100 % sensitif terhadap

Vancomycin, diikuti Cephalotin 92 %, Ciprofloxacin 90 % dan doxycyclin

81 %. Sedangkan untuk Ampicillin 11 %, dan penicilline 3%.

(10)

(11)

Cesar Roberto Busato dkk, melakukan penelitian pada pekerja

kesehatan diRS Santa Casa de Misericordia de Ponta Grossa,

membandingkan resistensi antimikrobial terhadap S. aureus pada tahun

1996 dan tahun 1999, ternyata didapat antimikroba Ampicillin mengalami

peningkatan resistensi dari 90, 4 % menjadi 92, 2 %, Penicillin dari 95, 2%

menjadi 97, 7 %, Tetracycline dari 31, 7 % menjadi 33, 3 %, dan

Ciprofloxacin dari 12, 7 % menjadi 17, 7 %. Sedangkan Vancomycin

resistensi hanya 0 %

Heinz G. Jakob dkk, mengadakan penelitian didepartemen bedah

jantung, Universitas Heidelberg, German. Mereka mendapatkan 376

(18)

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Infeksi Nosokomialrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33474/3/Chapter II.pdf · BAB 2 . TINJAUAN KEPUSTAKAAN . 2.1 Infeksi Nosokomial. Infeksi

pasien yang dioperasi pada departemen ini, terdapat kolonisasi S. aureus

pada hidung 106 pasien ( 23,2 % ). Kemudian mereka juga mendapatkan

dari 241 pekerja rumah sakit , 59 pekerja terdapat kolonisasi S. aureus.

Dengan perbandingan dokter 36 %, sedangkan perawat 22,4 %.

Mohammad Bagher Khalili dkk, menemukan dari 742 petugas

kesehatan dari beberapa RS di Yazd, Iran, 94 ( 12, 6% ) positif terhadap

S. aureus dan 57 ( 7,6 %) untuk MRSA.

(19)

(20)

Universitas Sumatera Utara