tinjauan kepustakaan meningitis ahr

59
Tinjauan Kepustakaan MENINGITIS Penyusun : Anita Mulia C11050016 Hilda C11050017 Rini Rustini C11050020 Pembimbing: Yustiani Dikot, dr., SpS(K)

Upload: risdan-hardani-tjl

Post on 26-Nov-2015

26 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

tinjauan pustaka

TRANSCRIPT

Tinjauan Kepustakaan

Tinjauan Kepustakaan

MENINGITIS

Penyusun :

Anita Mulia

C11050016

Hilda

C11050017

Rini Rustini

C11050020

Pembimbing:

Yustiani Dikot, dr., SpS(K)

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN

BANDUNG

2006PENDAHULUAN

Meningitis merupakan masalah kesehatan besar di Indonesia yang meningkatkan angka kematian bayi dan balita. Meningitis sangat berbahaya bagi anak yang dapat menyebabkan kecacatan seperti tuli, lumpuh, keterbelakangan mental, dan kematian.

Meningitis adalah suatu infeksi yang mengenai arakhnoid, piameter, dan cairan serebrospinal di dalam sistem ventrikel yang dapat terjadi secara akut ataupun kronis. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai bakteri, virus, atau fungi, dan pathogen spesifik yang terlibat dalam proses infeksi ini bergantung pada banyak faktor, khususnya umur dan status imun tubuh. Namun, secara keseluruhan meningitis viral lebih banyak ditemukan daripada meningitis bakterialis. Meningitis fungal terutama menyerang orang yang imunokompromis.

Kasus terberat meningitis disebabkan oleh bakteri, yang sebagian besar merupakan flora normal hidung dan tenggorokan yang terkadang menyebar ke dalam pembuluh darah menuju meningen menimbulkan manifestasi klinis. Kadang-kadang keberadaan bakteri di dalam darah menyebabkan syok septik sebagai hasil septikemia.

Dari hasil laporan kasus, bakteri penyebab meningitis terbanyak adalah Haemophilus influenza, Streptococcus pneumoniae, dan Neisseria meningitidis atau meningococcus yang merupakan bakteri penyebab meningitis yang paling berbahaya yang merupakan sebab utama morbiditas dan mortalitas dari infeksi bakteri akut di seluruh dunia.

PEMBAHASAN

Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan serebrospinal yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.

Meningitis serosa adalah radang selaput otak arachnoid dan piamater yang disertai cairan serebrospinalis yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa, dan disebut juga sebagai meningitis tuberkulosis. Penyebab lain seperti lues, virus, Toxoplasma gondii, Ricketsia, maupun jamur.

Meningitis purulenta adalah radang bernanah arachnoid dan piamater yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain: Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus, E. coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa.

Berikut ini pembagian jenis meningitis berdasarkan etiologinya :

I.MENINGITIS PURULENTA (BAKTERIALIS)

Meningitis bakterialis merupakan suatu respon inflamasi terhadap infeksi bakteria yang mengenai piamater dan arakhnoid yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal dan terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalan cairan serebrospinal. Tiga organisme utama yang dapat menyebabkan meningitis pyogenik adalah Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumoniae, dan Haemophilus influenzae.

Epidemiologi

Insidensi dari tipe bakteri penyebab meningitis bervariasi menurut umur penderita, yaitu sebagai berikut:

Neonatus: basil gram negatif (E. coli, Klebsiella), H. influenzae Anak-anak: H. influenzae, N. meningitidis, dan S. pneumoniae Dewasa: S. pneumoniae dan N. MeningitidisMeningitis bakteria yang paling berbahaya adalah yang disebabkan oleh Neisseria meningitidis atau meningokokus. Meningokokus merupakan sebab utama morbiditas dan mortalitas dari infeksi bakteri akut di seluruh dunia.

Setelah ditemukannya antibiotik, angka mortalitas pada pasien yang diobati adalah sekitar 10%. Pada suatu studi klinik memperlihatkan insidensi dari sekuele neurologis pada lebih dari 50% kasus orang dewasa dan lebih dari 30% pada anak-anak, 10% daripadanya dengan tuli sensori neural yang permanen. Angka kematian pada kasus yang tidak diobati adalah sebesar 75-100%.

Patogenesis

Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui:

Hematogen, oleh karena infeksi dari tempat lain seperti faringitis, tonsilitis, endokarditis, pneumonia, dan infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan biakan positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada di dalam cairan otak

Perkontinuitatum, perluasan dari infeksi yang disebabkan oleh infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, dan abses otak

compound fractures dari tulang tengkorak, fraktur melalui sinus nasalis atau mastoid atau setelah prosedur neurosurgical.

Infeksi bakteria transplasental melalui tindakan lumbal punksi (jarang)

Sebagian besar infeksi SSP terjadi akibat penyebaran secara hematogen. Saluran napas merupakan port dentry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta. Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen diawali dengan perlekatan bakteri pada sel epitel mukosa nasofaring, mengadakan kolonisasi, kemudian menembus rintangan mukosa dan memperbanyak diri dalam aliran darah, dan menimbulkan bakteremia. Selanjutnya bakteri masuk kedalam CSS dan memperbanyak diri di dalamnya. Bakteri ini menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.

Mekanisme dari invasi bakteri kedalam ruang subarakhnoid masih belum diketahui. Salah satu faktor yang berperan mungkin adalah jumlah/konsentrasi bakteri dalam darah. Virulensi kuman mungkin merupakan faktor yang penting didalam invasi bakteri ke dalam SSP. Pelepasan lipopolisakarida dari N. meningitidis merupakan salah satu faktor yang menentukan patogenitas organisme ini. Setelah terjadi invasi ke dalam ruang subarakhnoid, bakteriemia sekunder dapat terjadi sebagai akibat dari proses supuratif lokal dalam SSP.

Patofisiologi

Mekanisme pertahanan didalam ruang subarakhnoidJika bakteri meningen patogen dapat memasuki ruang subarakhnoid, maka berarti mekanisme pertahanan tubuh tidak adekuat. Pada umumnya didalam CSS yang normal, kadar dari beberapa komplemen adalah negatif atau minimal. Inflamasi meningen mengakibatkan sedikit peningkatan konsentrasi komplemen. Konsentrasi komplemen ini memegang peranan penting dalam opsonisasi dari patogen meningen tidak berkapsul, suatu proses yang penting untuk terjadinya fagositosis. Aktivitas opsonik dan bakterisidal tidak didapatkan atau hampir tidak terdeteksi pada pasien dengan meningitis.

Induksi inflamasi ruang subarakhnoid.Lipopolisakarida menyebabkan inflamasi melalui perannya dalam pelepasan mediator inflamasi seperti IL-1 dan TNF ke dalam CSS.

Perubahan dari sawar darah otakPerubahan dari permeabilitas sawar darah otak merupakan akibat dari vasogenic cerebral edema, peningkatan volume CSS, peningkatan tekanan intrakranial dan kebocoran protein plasma ke dalam CSS.

Peningkatan tekanan intrakranialPeningkatan tekanan intrakranial merupakan akibat dari kombinasi keadaan edema cerebri, peningkatan volume CSS dan peningkatan dari volume darah cerebral

Perubahan dari cerebral blood flow

Abnormalitas dari cerebral blood flow disebabkan oleh peninggian tekanan intra kranial, hilangnya autoregulasi, vaskulitis dan trombosis dari arteri, vena dan sinus cerebri. Latar belakang patologis, gejala dan manifestasi klinik pada pasien dengan meningitis purulent akut biasanya mirip, walaupun penyebabnya berbeda. Diagnosis dan terapi tergantung dari isolasi dan identifikasi dari organisme penyebab dan penentuan sumber infeksi.

Berikut ini akan dibahas satu per satu berbagai organisme penyebab meningitis purulent akut serta perjalanan penyakitnya.

Meningitis Meningokokus

Epidemiologi

Meningitis akibat N.meningitidis sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Defisiensi komplemen kongenital (C5 C6 C7 C8 C9 ) adalah faktor resiko terjadinya meningococcemia. Biasanya habitat normal N.meningitidis terdapat di nasofaring, dan penyakit ini disebarkan oleh karier atau oleh individu yang mengidap penyakit. Penyakit ini biasanya terjadi dalam bentuk sporadik, dalam interval yang tidak teratur. Epidemik biasanya terjadi pada saat perubahan besar di dalam populasi, seperti pada waktu perang.

PatogenesisMeningococci (N.Meningitidis) biasanya masuk ke meningen, langsung dari nasofaring melalui cribriform plate. Bakteri ini biasanya ditemukan dalam darah atau lesi kutaneus, sebelum manifestasi klinis dari meningitis terjadi, sehingga menunjukkan bahwa penyebaran ke sistem syaraf adalah melalui hematogen. Cairan ventrikuler, mungkin dipenuhi dengan organisme, sebelum lapisan meningen mengalami inflamasi.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kapsul bakteri berperan sangat penting di dalam perlekatan dan penetrasi untuk dapat masuk ke dalam tubuh. Beberapa elemen pada dinding sel bakteri diperlukan untuk penetrasi dari endotel pembuluh darah ke dalam rongga cairan serebrospinal, dan menginduksi terjadinya respon inflamasi.

Patologi

Pada kasus yang akut fulminan, kematian dapat terjadi sebelum adanya perubahan patologi pada sistem syaraf. Pada umumnya, bila tidak terjadi kematian dalam beberapa hari setelah onset penyakit, maka terjadi reaksi inflamasi yang hebat di meningen. Reaksi inflamasi ini biasanya berat pada rongga subarakhnoid yang meliputi kecembungan otak dan di sekitar dari basis otak. Proses ini dapat meluas sepanjang rongga perivaskuler ke substansi otak dan medula spinalis, tetapi jarang menembus sampai ke parenkim. Meningococci, baik intra maupun ekstraseluler, dapat ditemukan di meningen dan cairan serebrospinal. Dengan perkembangan infeksi, lapisan pia-arakhnoid menebal dan terjadi adhesi. Adhesi pada basis otak, mengganggu aliran cairan serebrospinal dari ventrikel keempat dan akhirnya menyebabkan hidrosefalus. Reaksi inflamasi dan fibrosis pada meningen, di sepanjang radiks saraf otak, dianggap sebagai penyebab terjadinya paralisis saraf kranial yang kadang terjadi.

Kerusakan pada nervus auditorius sering terjadi mendadak, dan defek auditori biasanya bersifat permanen. Kerusakan tersebut terjadi akibat perluasan infeksi ke telinga bagian dalam atau trombosis dari arteri nutrien. Paralisis wajah sering terjadi setelah reaksi meningeal mulai menghilang. Tanda dan gejala dari kerusakan parenkim (seperti hemiplegia, aphasia, tanda cerebellar) jarang terjadi dan mungkin disebabkan karena infark sebagai akibat trombosis dari arteri atau vena yang terinflamasi.

Dengan pengobatan yang efektif, dan dalam beberapa kasus tanpa pengobatan, reaksi inflamasi di meningen berangsur-angsur menghilang dan tidak ada bukti dari infeksi yang dapat ditemukan pada otopsi pasien yang meninggal beberapa bulan atau tahun kemudian.

Di semua tipe meningitis, kontribusi terhadap proses inflamasi oleh berbagai macam sitokin yang dilepaskan oleh sel fagosit dan sel imunoaktif terutama IL-1 dan TNF, telah diketahui. Hasil penelitian tersebut telah dijadikan dasar penggunaan obat kortikosteroid anti inflamasi pada pengobatan meningitis. Beberapa penelitian, baik terhadap meningitis H.influenza dan S.pneumoniae telah membuktikan, bahwa terdapat perbaikan pada penggunaan kortikosteroid, terutama jika steroid diberikan beberapa saat sebelumnya diberikan pengobatan antibiotik. Pengobatan biasanya dilakukan selama empat hari. Kortikosteroid sangat menguntungkan pada pengobatan meningitis bakterial akut pada anak-anak.

Manifestasi Klinis Onset penyakit ini ditandai dengan demam dan menggigil, nyeri kepala, mual dan muntah, nyeri di punggung, kekakuan leher dan kelemahan. Terjadinya herpes labialis, konjungtivitis dan petekie atau ruam, sangat umum terjadi pada infeksi meningococcal. Pada saat onset, pasien menjadi mudah marah, sedangkan pada anak-anak, ditandai dengan ciri-ciri adanya tangisan sharp, shrill cry (meningeal cry). Dengan perkembangan penyakit, dapat terjadi penurunan kesadaran hingga stupor atau koma. Kejang konvulsi sering terjadi pada awal gejala, terutama pada anak-anak, tetapi defisit neurologis fokal jarang terjadi.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda:

Kesan sakit akut, dengan kesadaran delirium, stupor atau semikoma.

Suhu meningkat hingga 38,3oC - 39,4oC

Takikardi, takipnea

Tekanan darah normal, kecuali pada kasus fulminan akut, di mana ditemukan hipotensi.

Ruam petekie ditemukan pada kulit, membran mukosa atau konjungtiva dan menghilang 3 sampai 4 hari.

Ditemukan rangsang meningeal : kaku kuduk, Kernig, Brudzinski yang positif (Namun tanda-tanda ini tidak ditemukan pada bayi baru lahir, orang tua dan pasien koma). Tekanan tinggi intrakranial menyebabkan penonjolan dari fontanel anterior yang belum menutup dan respirasi yang periodik.

Refleks tendon sering menurun, namun dapat meningkat.

Paralisis nervus kranial dan defisit neurologis fokal jarang ditemukan dan tidak akan berkembang sampai beberapa hari setelah onset infeksi.

Diskus optikus normal, tapi papiledema dapat terjadi jika meningitis menetap hingga lebih dari satu minggu.

Pemeriksaan Laboratorium

Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan :

Jumlah leukosit meningkat hingga 10.000-30.000/mm3, namun kadang dapat normal atau lebih tinggi dari 40.000/ mm3.

Pada pemeriksaan urin didapatkan albumin, sedimen dan sel darah merah.

Kultur meningococci dapat diperoleh dari apusan nasofaaaring, darah, atau dari lesi kulit.

Dari pemeriksaan Lumbal Pungsi didapatkan karakteristik cairan serebrospinal : tekanan yang meningkat antara 200-500 mmH2O, warna keruh atau purulen karena mengandung banyak sel dengan dominasi PMN, jumlah sel antara 2000-10.000/ mm3 (namun terkadang dapat 20.000/ mm3), kadar protein meningkat, kadar glukosa menurun (sampai di bawah 20mg/dL), pada pewarnaan gram ditemukan gram negatif diplokokus dan kultur meningkokus positif pada 90% pasien yang tidak dirawat serta terdeteksinya antigen dari kapsul polisakarida.Komplikasi dan Gejala SisaKomplikasi dan gejala sisa biasanya berhubungan dengan :

Proses inflamasi di meningen dan pembuluh darah, seperti konvulsi, paralisis saraf kranial, lesi fokal serebri, kerusakan medula spinalis atau radiks, hidrosefalus.

Keterlibatan organ tubuh lain oleh meningococci, seperti panophtalmitis dan infeksi okular lain, arteritis, purpura, perikarditis, endokarditis, miokarditis, pleuritis, orkhitis, epididimitis, albuminuria atau hematuria, pendarahan adrenal.

Komplikasi lain dari meningitis biasanya berupa DIC (Disseminated Intravascular Coagulation), infeksi berulang pada traktus respiratorius atas, telinga tengah dan paru-paru.

Komplikasi-komplikasi tersebut dapat meninggalkan gejala sisa yang permanen, namun, gejala sisa yang paling umum adalah akibat trauma pada sistem saraf, yang meliputi ketulian, paralisis okuler, kebutaan, perubahan mental, konvulsi, dan hidrosefalus.

DiagnosisDiagnosis pasti meningitis meningococcal, diperoleh melalui isolasi organisme dari cairan serebrospinal, namun diagnosis dapat ditegakkan sebelum organisme diisolasi pada pasien dengan gejala klinis berupa nyeri kepala, muntah, demam dan menggigil, kaku kuduk, dan ruam petekie, terutama jika terjadi epidemi meningitis meningococcal.

Untuk menegakkan diagnosis, harus dilakukan kultur dari lesi kulit, sekresi nasofaring, darah dan cairan serebrospinal. Tetapi diagnosis juga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan apusan sedimen dari cairan serebrospinal setelah pewarnaan gram.

Prognosis

Angka mortalitas dengan terapi saat ini adalah sekitar sepuluh persen di mana insidensi komplikasi dan gejala sisa rendah. Faktor yang dapat mempengaruhi tingkat mortalitas adalah usia pasien, bakteriemi, kecepatan terapi, komplikasi, dan kondisi umum dari pasien. Tingkat fatalitas yang terendah dapat dilihat pada pasien dengan usia 5 dan 10 tahun, sedangkan tingkat mortalitas tertinggi terjadi pada bayi, orangtua dengan kondisi tubuh yang lemah dan pada keadaan pendarahan yang luas sampai ke kelenjar adrenal.

Terapi

Terapi antibiotik biasanya dimulai sebelum jenis organismenya dipastikan, sehingga regimen awal harus tepat untuk semua organisme dan penentuannya tergantung dari usia pasien dan lokasi. Sefallosporin generasi ketiga, biasanya seftriakson dan sefotaksim, telah menjadi pilihan pertama pengobatan meningitis bakterialis. Spektrum obat tersebut luas dan sangat berguna sejak terjadinya resistensi H. Influenzae dan S.pneumoniae terhadap penicillin, ampicillin dan amoxicillin. Obat ini juga hanya membutuhkan pemberian yang lebih jarang daripada penicillin. Pada kondisi di mana S.pneumoniae resisten terhadap sefalosporin, dapat ditambahkan dengan pemberian vancomycin. Chlorampenicol tetap menjadi pillihan yang tepat jika terjadi alergi terhadap penicillin dan sefalosporin. Cairan serebrospinal harus diperiksa 24 48 jam setelah dimulainya pengobatan untuk menilai keefektivitasan obat.

Dosis antibiotika yang dapat diberikan adalah :

Seftriakson 4-6 g/ hari p.o. dibagi dalam 2dosis selama 7-10 hari.

Sefotaksim 12 g/hari p.o. dibagi dalam 6 dosis selama 7-10 hari.

Kloramfenikol 75-100mg/kgBB/hari i.v. dibagi dalam 4 dosis selama 7-10 hari.OrganismeAntibiotik

Dosis total per hari

Neisseria meningitidisPenicillin G 20-24 million U/hari i.v. (setiap 4 jam) atau

Ampicillin 12 g/hari i.v. (setiap 4 jam)

Streptococcus pneumoniaCeftriaxone atau

cefotaxime plus vancomycin

Batang gram negatif

(kec. Pseudomonas aeruginosa)Ceftriaxone 2-4g/hari i.v. (setiap 12 jam) atau

Cefotaxime 8g/hari i.v. (setiap 4 jam)

Pseudomonas aeruginosaCeftazidime 6g/hari i.v. (setiap 8 jam)

Haemophilus influenzae type BCeftriaxone atau cefotaxime

Staphylococcus aureus

(sensitif methicillin)Oxacillin 9-12 g/hari i.v. (setiap 4 jam)

Staphylococcus aureus

(resisten methicillin)Vancomycin 2 g/hari i.v. (setiap 6 jam)

Listeria monocytogenesAmpicillin 12 g/hari i.v. (setiap 4 jam)

EnterobacteriaceaeSefalosporin generasi ke-3

Sumber : Roos KL, Tunkel AR, Scheld WM. Acute bacterial meningitis in children and adults. In: Scheld WM, Whitley RJ,Durack DT(eds). Infections of the Central Nervous System. New York: Raven Press. 1991; 335-409.

Dehidrasi sering terjadi pada kondisi ini, dan keseimbangan cairan harus dimonitor secara tepat untuk menghindari terjadinya syok hipovolemik. Hiponatremia juga sering terjadi dan disebabkan karena adanya penggantian cairan yang berlebihan atau akibat SIADH. Pengobatan utama untuk SIADH adalah restriksi cairan.

Heparinisasi dapat dipertimbangkan bila terjadi DIC. Antikonvulsan dapat digunakan untuk mengontrol kejang berulang. Edema serebral membutuhkan penggunaan diuretik osmotik atau pemberian kortikosteroid, tetapi hanya jika terbukti telah terjadi impending herniation. Pemberian deksametason dapat menurunkan edema serebral dan tekanan intrakranial dengan menghambat produksi sitokin inflamasi dan meminimalisasi perubahan permeabilitas sawar darah otak. Orang-orang yang mempunyai kontak erat dengan pasien dengan meningitis meningococcus dapat diberikan rifampisin sebagai terapi profilaksis.

Meningitis Haemophilus influenzae

Meningitis H.influenzaae terutama menyerang bayi dan balita. Lebih dari 50% kasus terjadi pada dua tahun pertama kehidupan dan 90% terjadi sebelum usia lima tahun. Tetapi saat ini, meningitis H.influenzae lebih sering terjadi pada orang dewasa di mana serotype B adalah yang paling umum.

Pada orang dewasa, meningitis ini lebih sering terjadi sebagai penyakit sekunder dari sinusitis akut, otitis media, dan fraktur dari tulang kepala. Hal ini berhubungan dengan CSF rhinorrhea, defisiensi imun, diabetes mellitus dan alkoholisme.

Mekanisme patologi dari meningitis H.influenzaae tidak berbeda dengan meningitis purulen akut lainnya. Pada pasien dengan perjalanan penyakit yang kronis, dapat ditemukan deposit infeksi yang terlokalisir di meningen suatu korteks, hidrosefalus internal, degenerasi saraf otak dan hilangnya substansi fokal serebri akibat trombosis pembuluh darah.

Gejala dan tanda fisik meningitis H.influenzaae juga sama dengan bentuk lain dari meningitis purulen akut. Penyakit ini biasanya berlangsung selama 10-20 hari, bisa terjadi secara fulminan atau kronis yang memanjang sampai beberapa minggu atau bulan. Organisme penyebab dapat dikultur dari CSF, dan kultur darah sering ditemukan positif pada awal penyakit. Prognosis penyakit ini tidak begitu parah pada orang dewasa, di mana sering terjadi kesembuhan yang spontan. Pengobatan yang tepat dapat menurunkan tingkat kematian sampai sekitar 10%, namun gejala sisa tetap terjadi, yaitu: paralisis dari otot ekstraokuler, ketulian, buta, hemiplegia, kejang berulang dan defisiensi mental. Penelitian terbaru telah mengindikasikan pengobatan dengan kortikosteroid antiinflamasi yang dapat menurunkan kejadian gejala sisa, terutama jika dimulai sebelum diberikannya pengobatan antibiotik. Diagnosis meningitis H.influenzae didasarkan pada isolasi organisme dari cairan serebrospinal dan darah.

Karena adanya resistensi terhadap ampisilin, maka sefalosporin generasi ketiga sering digunakan sebagai terapi awal dan terbukti sangat efektif.

Efusi subdural dapat terjadi pada bayi dengan meningitis bentuk apapun, dan sangat berhubungan dengan meningitis H.influenzaae. Gejala klinis berupa muntah yang persisten, fontanel yang menonjol, konvulsi, defisit neurologis fokal dan demam yang menetap seharusnya dapat mengarahkan pada kemungkinan terjadinya komplikasi ini.

Meningitis Pneumococcal

Frekuensi terjadinya meningitis ini sama dengan terjadinya meningitis meningococcus, namun meningitis ini lebih sering terjadi pada populasi orang tua. Infeksi meningeal disebabkan karena komplikasi dari otitis media, mastoiditis, sinusitis, fraktur tulang tengkorak, infeksi saluran pernafasan atas, dan infeksi saluran paru-paru. Faktor predisposisinya adalah alkoholisme, asplenisme dan penyakit sickle cell. Infeksi dapat terjadi pada usia berapapun, tetapi lebih dari 50% pasien berusia 50 tahun.

Gejala klinis, tanda fisik dan laboratorium pada meningitis ini sama dengan meningitis purulen akut lainnya. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan mudah, karena cairan serebrospinal banyak mengandung organisme penyebab. Ditemukannya gram positif diplokokus pada apusan cairan serebrospinal, dan adanya aglutinasi dari pemeriksaan antigen pneumococcal menunjukkan adanya infeksi dari S.pneumoniae.

Dengan pemberian sulfonamid, angka kematian berkurang hingga 20-30%. Tingkat mortalitas tinggi jika meningitis mengikuti pneumonia, empyema, atau abses paru atau ketika bakteriemi persisten yang menunjukkan adanya endokarditis. Trias sindrom dari meningitis pneumococcal, pneumonia dan endokarditis, mempunyai tingkat fatalitas yang tinggi.

Sefalosporin generasi ketiga merupakan terapi inisial untuk S.pneumoniae atau vancomycin jika sudah terjadi resistensi terhadap sefalosporin. Pengobatan dilanjutkan hingga 12-15 hari. Fokus infeksi primer di manapun harus dieradikasi dengan operasi. Fistula cairan serebrospinal persisten setelah fraktur tulang tengkorak harus ditutup dengan kraniotomi atau suturing dari dura, karena jika tidak meningitis akan selalu terjadi kembali.

Meningitis Staphylococcal

Staphylococci (S.aureus, S.epidermidis) merupakan penyebab yang jarang dari meningitis. Meningitis terjadi sebagai akibat penyebaran dari furunkel di wajah atau dari infeksi staphylococcus lain di tubuh. Meningitis ini kadang juga menjadi komplikasi dari adanya trombosis sinus kavernosus, abses epidural dan subdural, dan prosedur neurosurgical yang melibatkan tindakan shunting untuk menghilangkan hidrosefalus. Pengobatan intravena dengan penicillinase resisten penicillin (nafcillin), sering menjadi pilihan. Terapi dilanjutkan selama 2-4 minggu. Komplikasi yang terjadi antara lain ventrikulitis, arakhnoiditis dan hidrosefalus. Sumber fokus infeksi harus dieradikasi, dilakukan laminektomi untuk menghilangkan abses epidural spinal dan abses subdural kranial harus didrainase melalui pembukaan kraniotomi.

Meningitis Streptococcal

Gejalanya tidak bisa dibedakan dari meningitis purulen akut lainnya. Organisme penyebabnya dapat diisolasi dari cairan serebrospinal. Perjalanannya selalu merupakan sekunder dari fokus septik di sinus mastoid dan sinus nasalis. Pengobatannya sama dengan meningitis pneumococcal, disertai dengan operasi eradikasi pada fokus primer.

Meningitis oleh Bakteri lain

Bakteri enterik gram negatif seperti Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa dan Listeria monocytogenes juga sering menyebabkan meningitis. E.coli sering terjadi pada meningitis pada bayi baru lahir, sering menyertai septikemia dan sering tidak menunjukkan tanda-tanda khas meningitis, sebaliknya bayi tampak mudah marah, letargi, anoreksia dan fontanel yang menonjol.

Meningitis karena Listeria monocytogenes dapat terjadi pada orang dewasa dengan penyakit kronis (penyakit ginjal dengan dialisis atau transplantasi, kanker, gangguan jaringan ikat, alkoholisme kronis), dan pada bayi. Meningitis ini dapat terjadi tanpa faktor predisposisi dan terjadi dengan disertai adanya rhombencephalitis. Manifestasi Klinis Trias klasik meningitis: demam, nyeri kepala, kaku kuduk

Manifestasi klinis dari meningitis bakterialis dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

tanda neurologis: gangguan kesadaran, kelumpuhan saraf kranial, defisit neurologis fokal, dan kejang

tanda meningen: kaku kuduk, Kernig sign, Laseque sign, dan Brudzinski sign

Iritasi dan kerusakan saraf kranial: selubung saraf yang terinflamasi (-N. II

: papil edema, kebutaan

-N. III, IV, VI: ptosis, defisit lapang pandang, diplopia-N. V

: fotofobia

-N. VII

: paresis fasial

-N. VIII

: ketulian, tinnitus, dan vertigo

Pusat muntah teriritasi: muntah yang proyektil

Kebingungan dan penurunan respon

Meningitis meningococcal: petekie, rash purpura (Sindroma Waterhouse-Friedrechsen)

Peningkatan tekanan intrakranial : papil edema, delirium sampai dengan tidak sadar

Komplikasi neurologis yang dapat terjadi antara lain:

ventrikulitis

efusi subdural

meningitis berulang

abses otak

paresis

hidrosefalus epilepsi Tanda komplikasi non neurologis :

artritis

endokarditis bakterial akut

SIADH gangguan koagulasi DIC syok

Pada Dewasa dan Anak-Anak

Tanda klinis awal: demam, nyeri kepala, kekakuan leher, konvulsi umum dan gangguan kesadaran.

Tanda Kernig Laseque tidak selalu muncul.

Diagnosa sulit: demam dan sakit kepala, atau hanya gejala nyeri di leher atau abdomen atau keadaan febris dengan kebingungan dan delirium, sedangkan gejala kaku kuduk belum muncul.

Pada anak-anak: infeksi subakut yang memburuk beberapa hari setelah infeksi telinga atau infeksi saluran pernafasan atas, atau sebagai infeksi fulminan akut .

Pada lansia: subfebris dengan kebingungan atau perubahan perilaku yang ringan.Pada Bayi dan Neonatus

Tanda dan gejala dapat tidak terlihat dan non-spesifik .

Tanda awal: subfebris dan perubahan perilaku ringan ( demam tinggi, letargi, iritabilitas, hipotermi, kejang, menonjolnya fontanel, malas menyusu, muntah, dan respiratory distress dapat terjadi.

Tanda iritasi meningen pada akhir perjalanan penyakit.

Dapat ditemukan efusi subdural unilateral maupun bilateral. Umur yang muda, evolusi penyakit yang cepat, jumlah PMN yang rendah, dan peningkatan protein yang bermakna pada CSS berhubungan dengan pembentukan efusi.Hubungan tanda klinis tertentu dengan bakteri penyebab:

Meningitis HaemophilusMeningitis MeningococcalMeningitis Pneumococcal

neonatus & anak

didahului infeksi telinga dan saluran pernafasan atas onset: tiba-tiba & singkat

prognosis pada umumnya baik

mortalitas