bab ii kajian kepustakaan - unmuha
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1 Landasan Teoritis
2.1.1 Perpajakan
2.1.1.1 Definisi Pajak
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso
Brotodiharjo dalam bukunya Waluyo (2013:2):
“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara
yang menyelenggarakan pemerintahan.”
Soemitro dalam Resmi (2014:1), pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa
timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan, dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum.
Djajadiningrat dalam Resmi (2014:1), pajak sebagai suatu kewajiban
menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan,
kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai
hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi
tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan
umum.
Feldamnn dalam Resmi (2014:2), pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak
oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara
10
umum), tanpa adanya kontrapretasi, dan semata-mata digunakan untuk pengeluaran-
pengeluaran umum.
Dalam Undang-Undang Perpajakan No. 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga
atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan pada Pasal 1 ayat (1) Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang –
Undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan definisi-definisi pajak diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pajak
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang
sifatnya dapat dipaksakan.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual
oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupu pemerintah daerah.
4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dan
pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public
investment.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pajak adalah suatu kewajiban dari
rakyat untuk menyerahkan sebagian dari harta kekayaan ke kas Negara, sesuai dengan
keadaan dan kedudukan tertentu menurut peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah,
yang dapat dipaksakan, tanpa adanya jasa timbal balik dari pemerintah (kontraprestasi)
dan digunakan untuk kesejahteraan umum.
11
2.1.1.2 Fungsi Pajak
Dalam literatur pajak sering disebutkan mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu
budgeter dan regulerend. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008
tertulis secara umum ada empat fungsi pajak, yaitu:
1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)
Fungsi yang terletak di sektor publik, yaitu untuk mengumpulkan uang
pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku yang
pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluran
negara, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dan bila ada sisa
(surplus) akan digunakan sebagai tabungan untuk investasi pemerintah. Sebagai
sumber keuangan Negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-
banyaknya untuk kas Negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara
ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan
peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
2. Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan. Fungsi ini umunnya dapat dilihat
pada sektor swasta. Beberapa contoh penerapan Pajak sebagai fungsi pengatur
adalah:
a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah. Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi
transaksi jual beli barang mewah. Pengenaan Pajak ini dimaksudkan agar
12
rakyat tidak berlomba-lomba untuk mengkonsumsi barang mewah
(mengurangi gaya hidup mewah).
b. Tarif Pajak progresif dikenakan atas penghasilan, dimaksud agar pihak
yang memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar
pajak yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapat).
c. Tarif Pajak ekspor sebesar 0% dimaksudkan agar para pengusaha terdorong
mengekspor hasil produksinya di pasar dunia sehingga dapat memperbesar
devisa Negara.
d. Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industri tertentu
seperti industri semen, industri rokok, industri baja dimaksudkan agar
terdapat penekanan produksi terhadap industri tersebut karena dapat
mengganggu lingkungan atau polusi (membahayakan kesehatan).
e. Pembebanan Pajak Penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi, dimaksudkan
untuk mendorong perkembangan koperasi di Indonesia.
f. Pemberlakuan tax holiday dimaksudkan untuk menarik investor asing agar
menanamkan modalnya di Indonesia.
3. Fungsi Demokrasi
Pajak adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau
wujud sistem gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan
pembangunan demi kemaslahatan manusia. Fungsi demokrasi pada masa
sekarang apabila seseorang telah melakukan kewajibannya membayar pajak
kepada negara sesuai ketentuan yang berlaku, maka ia mempunyai hak pula
untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari pemerintah.
13
4. Fungsi Redistribusi
Fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan
dalam masyarakat. Hal ini dapat terlihat, misalnya dengan adanya tarif progresif
yang mengenakan pajak lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai
penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang
mempunyai penghasilan lebih sedikit (kecil).
2.1.1.3 Jenis-Jenis Pajak
Terdapat berbagai jenis Pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu
pengelompokan menurut sifat, sasaran/ objeknya dan lembaga pemungutnya. Menurut
Mardiasmo (2016:7), jenis pajak dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu
pengelompokan menurut golongan, menurut sifat, dan menurut lembaga pemungutnya
yaitu akan dijabarkan seperi dibawah ini.
1. Menurut Golongan
Pajak dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a. Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya harus dipikul atau
ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada
orang lain atau pihak lain, serta dikenakan secara berulang-ulang pada
waaktu tertentu. Contoh Pajak Penghasilan (PPh). PPh dibayar atau
ditanggung oleh pihak-pihak tertentu yang memperoleh penghasilan.
b. Pajak tidak langsung adalah Pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan
kepada orang lain atau pihak ketiga. Dan hanya dikenakan pada hal-hal
tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja. Pajak tidak langsung terjadi
terjadi jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa atau perbuatan yang
menyebabkan terutangnya Pajak. Contoh Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
14
PPN terjadi karena terdapat pertambahan nilai terhadap barang atau jasa.
Pajak ini dibayarkan oleh produsen atau pihak yang menjual barang tetapi
dapat dibebankan kepada konsumen baik secara eksplisit maupun implisit
(dimasukkan dalam harga jual barang atau jasa).
Untuk menentukan apakah sesuatu termasuk Pajak langsung atau tidak langsung
dalam arti ekonomis yaitu dengan cara melihat ketiga unsur yang terdapat dalam
kewajiban pemenuhan perpajakannya. Ketiga unsur tersebut terdiri atas:
1) Penanggungjawab Pajak adalah orang yang secara formal yuridis
diharuskan melunasi Pajak.
2) Penanggung Pajak adalah orang yang dalam faktanya memikul terlebih
dahulu beban Pajaknya.
3) Pemikul Pajak adalah orang yang menurut Undang-undang harus dibebani
Pajak.
Jika ketiga unsur tersebut ditemukan pada seseorang maka pajaknya disebut
pajak langsung sedangkan jika ketiga unsur tersebut terpisah atau terdapat pada lebih
dari satu orang maka pajaknya disebut Pajak Tidak Langsung.
2. Menurut Sifat
Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Pajak Subyektif, adalah jenis Pajak yang dikenakan dengan pertama-tama
memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (Subjeknya). Setelah
diketahui keadaan subjeknya barulah diperhatikan keadaan objektifnya
sesuai gaya pikul apakah dapat dikenakan pajak atau tidak. Contoh: Pajak
Penghasilan (PPh). Dalam PPh terdapat Subjek Pajak (Wajib Pajak) orang
pribadi. Pengenaan PPh untuk orang pribadi tersebut memperhatikan
15
keadaan pribadi Wajib Pajak (status perkawinan, banyaknya anak dan
tanggungan lainnya). Keadaan pribadi Wajib Pajak tersebut selanjutnya
digunakan untuk menentukan besarnya penghasilan tidak kena Pajak.
b. Pajak Objektif adalah jenis Pajak yang dikenakan pertama-tama
memperhatikan atau melihat objeknya baik berupa keadaan perbuatan atau
peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar Pajak.
Setelah diketahui objeknya barulah dicari subjeknya yang mempunyai
hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui. Contoh: Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM) serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
3. Menurut Lembaga Pemungutan
Pajak dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a. Pajak Negara (Pajak Pusat) adalah Pajak yang dipungut oleh pemerintah
pusat yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh Kementerian Keuangan
khususnya Direktorat Jenderal Pajak. Hasil dari pemungutan Pajak pusat
dikumpulkan dan dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Contoh: PPh, PPN, dan PPnBM.
b. Pajak daerah adalah Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah yang
dalam pelaksanaanya sehari-hari dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah
(Dispenda). Hasil dari pemungutan Pajak daerah dikumpulkan dan
dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah. Contoh: Pajak Daerah meliputi Pajak Kendaraan Bermotor
dan Kendaraan di atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor serta Pajak
16
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Pajak
Kabupaten/Kota meliputi Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan,
Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian
Golongan C dan Pajak Parkir.
2.1.1.4 Tarif Pajak
Struktur tarif yang berhubungan dengan pola perentase tarif pajak dikenal empat
macam tarif, yaitu: (Ikatan Akuntansi Indonesia, 2013)
1. Tarif Pajak Proporsional/Sebanding, yaitu persentase tetap terhadap jumlah
berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak, contohnya tarif 10% untuk
PPN.
2. Tarif Progresif, yaitu tarif pajak yang persentasenya menjadi lebih besar
apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak semakin besar.
Misalnya tarif PPh.
3. Tarif Pajak Degresif, yaitu pajak yang persentasenya semakin menurun
apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak semakin besar.
4. Tarif Pajak Tetap, dalam tarif ini ditetapkan tarif dengan jumlah yang tetap
(sama besarmya) terhadap berapapun jumlah yang menjadi dasar pengenaan
pajak. Contohnya tarif Bea Materai.
2.1.1.5 Asas - Asas Pemungutan Pajak
Menurut Waluyo (2013:15) untuk mencapai tujuan pemungutan Pajak perlu
memegang teguh asas-asas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya,
sehingga terdapat keserasian pemungutan Pajak dengan tujuan dan asas yang masih
17
diperlukan lagi yaitu pemahaman atas perlakuan Pajak tertentu. Asas pemungutan Pajak
dapat pula dibagi dalam beberapa asas yaitu:
a. Asas menurut Falsafah Hukum
Hukum pajak harus berdasarkan pada keadilan. Selanjutnya keadilan ini sebagai
asas pemungutan pajak. Untuk menyatakan keadilan kepada hak negara untuk
memungut pajak, muncul beberapa teori dasar, sebagai berikut:
1) Teori Asuransi
2) Teori Kepentingan
3) Teori Gaya Pikul
4) Teori Baksi
5) Teori Asas Daya Beli
b. Asas Yuridis
Untuk menyatakan suatu keadilan. Hukum pajak harus memberikan jaminan
hukum kepada negara atau warganya. Oleh karena itu, pemungutan pajak harus
didasarkan pada undang-undang. Landasan hukum pemungutan pajak di
Indonesia adalah Pasal 23A Amademen Undang-Undang Dasar 1945.
c. Asas Ekonomi
Asas ekonomi ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara
menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat. Untuk itu,
pemungutan pajak harus diupayakan tidak menghambat kelancaran ekonomi
sehingga kehidupan ekonomi tidak terganggu.
d. Asas Pemungutan Pajak Lainnya
Terdapat tiga asas yang digunakan untuk memungut pajak dalam pajak
penghasilan, yaitu sebagai berikut:
18
1) Asas Tempat Tinggal
2) Asas Kebangsaan
3) Asas Sumber
2.1.1.6 Syarat Pemungutan Pajak
Agar pemungutan Pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka
menurut Mardiasmo (2011:17) pemungutan Pajak harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. Pemungut Pajak harus adil (syarat keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum yakni mencapai keadilan, Undang-Undang dan
pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan
diantaranya mengenakan Pajak secara umum dan merata serta disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya
yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan,
penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis
Pertimbangan Pajak.
b. Pemungutan Pajak harus berdasarkan Undang-Undang (syarat Yuridis)
Di Indonesia, Pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan
jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik Negara maupun warganya.
1. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomi)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi
maupun perdagangan sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian
masyarakat. Pemungutan Pajak harus efisien (syarat financial)
2. Sesuai dengan budgeter, biaya pemungutan Pajak harus dapat ditekan
sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
19
3. Sistem pemungutan Pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dalam mendorong
masyarakat untuk memenuhi kewajiban Perpajaknnya. Syarat ini telah
dipenuhi oleh Undang-Undang Perpajakan yang baru. Contoh: Bea Materai
disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif, Tarif PPN
yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif.
2.1.1.7 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak ada tiga yaitu: (Waluyo, 2013:16)
1. Official Assessment System
Sistem ini merupakan system pemungutan pajak yang memberi
kewenangan Pemerintah (Fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang.
2. Self Assessment System
Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang,
kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang
harus dibayarnya ke Kantor Pelayanan Pajak.
3. Witholding System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak
yang terutang oleh Wajib Pajak.
20
2.1.1.8 Hambatan Pemungutan Pajak
Mengingat betapa pentingnya peran masyarakat untuk membayar Pajak dalam
peran sertanya menanggung pembiayaan negara, maka dituntut kesadaran warga negara
untuk memenuhi kewajiban kenegaraan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pada
sebagian masyarakat terdapat keengganan memenuhi kewajiban Perpajakan, dalam hal
demikian timbul perlawanan terhadap Pajak. Perlawanan terhadap Pajak dapat
dibedakan menjadi perlawanan pasif dan perlawanan aktif. Menurut Mardiasmo
(2011:17), hambatan terhadap pemungutan Pajak dapat dikelompokkan menjadi:
1. Perlawanan pasif
Masyarakat tidak bersedia memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana
mestinya yang dapat disebabkan antara lain:
a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
b. Sistem Perpajakan yaang sulit dipahami.
c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.
2. Perlawanan aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari Pajak. Bentuknya
antara lain:
a. Penghindaran diri dari Pajak (Tax Avoidance) yaitu usaha meringankan
beban Pajak dengan tidak melanggar Undang-Undang.
b. Pengelakan diri dari Pajak (Tax Evasion) yaitu usaha meringankan Pajak
dengan cara melanggar Undang-Undang dengan maksud melepaskan diri
dari Pajak atau mengurangi dasar pengenaannya, namun tidak dipungkiri
21
bahwa sebagian masyarakat terdapat keengganan memenuhi kewajiban
perpajakannya.
2.1.1.9 Wajib Pajak Efektif dan Wajib Pajak non Efektif
1. Wajib Pajak
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan termasuk pemungut atau pemotong pajak tertentu
(Suandy, 2008:89). Wajib pajak dibedakan menjadi empat, yaitu:
a. Wajib Pajak Orang Pribadi
Wajib Pajak orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran Pajak dan
pemungutan Pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
b. Wajib Pajak Badan
Wajib Pajak badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) atau daerah dengan nama dan dalam bentuk
apapun seperti firma, organisasi, kongsi, dana pensiun persekutuan,
perkumpulan, yayasan, massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang
sejenis lembaga bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk
reksadana, asosiasi, persatuan, penghimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak
yang mempunyai kepentingan yang sama menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban
perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
22
c. Wajib Pajak Bendaharawan
Wajib Pajak bendaharawan pemerintah adalah bendaharawan pemerintah pusat,
pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga Negara lainnya
dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji,
upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apapun
sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan.
d. Wajib Pajak Patuh
Wajib pajak patuh adalah wajib pajak yang diterapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak (DJP) sebagai wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu yang dapat
diberikan pengambilan pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Wajib pajak
patuh berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
192/PMK/.03/2007 adalah wajib pajak yang memenuhi persyaratan antara lain
tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan, tidak mempunyai
tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah
persetujuan dari pihak otoritas pajak untuk menunda pembayaran pajak, laporan
keuangan yang diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat “Wajar Tanpa
Pengecualian” selama tiga tahun berturut-turut, dan tidak pernah dipidana
karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu
lima tahun terakhir.
2. Wajib Pajak Efektif dan Wajib Pajak NonEfektif
Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-89/PJ/2009 ditegaskan
bahwa agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran yang dapat menyulitkan
administrasi maka perlu diberikan penegasan bahwa administrasi pajak hanya mengenal
23
istilah-istilah wajib pajak efektif dan wajib pajak non efektif dengan pengertian sebagai
berikut.
a. Wajib pajak efektif adalah wajib pajak yang memenuhi kewajiban
perpajakannya berupa memenuhi kewajiban menyampaikan Surat
Pemberitahuan (SPT) Masa dan atau Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan
sebagaimana mestinya.
b. Wajib pajak non efektif adalah wajib pajak yang tidak melakukan pemenuhan
kewajiban perpajakannya baik berupa pembayaran maupun penyampaian SPT
Masa dan atu SPT Tahunan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang–
Undangan Perpajakan yang nantinya dapat diaktifkan kembali. Sebagaimana
telah ditegaskan dalam surat edaran Direktorat Jendral Pajak Nomor SE-
89/PJ/2009, wajib pajak non efektif adalah sebagai berikut:
1. Selama tiga tahun berturut–turut tidak pernah melakukan pemenuhan
kewajiban perpajakan baik berupa pembayaran pajak maupun penyampaian
SPT Masa dan atau SPT Tahunan.
2. Wajib pajak yang sudah meninggal dunia/bubar tetapi belum ada surat
keterangan resminya.
3. Tidak diketahui atau ditemukan lagi alamatnya.
4. Wajib Pajak secara nyata tidak menunjukan kegiatan usahanya.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan wajib
pajak efektif adalah wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakannya
yang tercermin dari pemenuhan penyampaian SPT Masa dan atau SPT
Tahunan. Wajib Pajak non efektif adalah wajib pajak yang tidak memenuhi
kewajiban perpajakannya yang tercermin dari tidak dipenuhinya kewajiban
24
penyampaian SPT Masa dan atau SPT Tahunan tersebut.
2.1.1.10 Kepatuhan Wajib Pajak
1. Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak
Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif wajib pajak dalam
menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan wajib pajak yang tinggi,
yaitu kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai kebenarannya.
Kepatuhan Wajib Pajak dikemukakan oleh Norman D. Nowak (2010:138)
(Moh.Zain:2004) dalam Siti Kurnia Rahayu adalah: “Suatu iklim kepatuhan dan
kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi di mana:
a. Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan,
b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas,
c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar,
d. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.
Menurut Chaizi Nasucha, dalam Siti Kurnia Rahayu (2010:139) mengatakan
bahwa kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasikan dari:
“Kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk
melaporkan kembali surat pemberitahuan, kepatuhan dalam perhitungan dan
pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan”
Kepatuhan Wajib Pajak merupakan pemenuhan kewajiban perpajakan yang
dilakukan oleh pembayar pajak dalam rangka memberikan kontribusi bagi
pembangunan dewasa ini yang diharapkan di dalam pemenuhannya diberikan secara
sukarela. Kepatuhan wajib pajak menjadi aspek penting mengingat sistem perpajakan
Indonesia menganut sistem Self Asessment di mana dalam prosesnya secara mutlak
25
memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar dan
melapor kewajibannya.
Sedangkan menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000 yang
dikutip oleh Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu (2006:112) , menyatakan bahwa:
“Kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan
kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentun peraturan perundang-
undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu
Negara.”
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa wajib pajak yang patuh adalah
wajib pajak yang sadar akan pajak, paham atas ak dan kewajiban perpajakannya, dan
diharapkan peduli pajak yaitu melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar serta
tepat waktu dalam melaporkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT).
Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:138), menjelaskan ada dua jenis kepatuhan,
yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material: “Ada dua macam kepatuhan yaitu:
1. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi
kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
Perpajakan.
2. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif
atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai
isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan”.
2.1.2 Surat Permintaan Penjelesan atas Data dan atau Keterangan (SP2DK)
2.1.2.1 Pengertian Surat Permintaan atas Data dan atau Keterangan (SP2DK)
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-39/PJ/2015 tentang
Pengawasan Wajib Pajak Dalam Bentuk Permintaan Penjelasan Atas Data dan/atau
Keterangan dan Kunjungan (Visit) Kepada Wajib Pajak, menyebutkan bahwa SP2DK
26
adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk meminta
penjelasan atas data dan/atau keterangan kepada wajib pajak terhadap dugaan belum
dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan.
Data dan/atau Keterangan adalah data dan/atau informasi yang diperoleh atau
dimiliki Direktur Jenderal Pajak dari sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak, Surat
Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak, alat keterangan, hasil Kunjungan (Visit), Data
dan/atau Keterangan dari pihak Instansi, Lembaga, Asosiasi atau Pihak Lain (ILAP),
hasil pengembangan dan analisis atas Informasi, Data, Laporan dan Pengaduan (IDLP),
internet dan data dan/atau informasi lainnya. Kegiatan untuk meminta penjelasan atas
data dan/atau keterangan dilaksanakan dalam bentuk Kunjungan (Visit) kepada wajib
pajak, yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Account Representative (AR),
Pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan atau Tim Visit.
Klarifikasi data merupakan hal yang sering dilakukan KPP untuk meminta atau
membuktikan data yang dimiliki KPP yang diduga belum dilaporkan Wajib Pajak
dalam SPT Masa maupun SPT Tahunannya. Sebelum Per-170 dihapus, klarifikasi data
dilakukan oleh Seksi Pengawasan dan Konsultasi (Waskon) melalui Account
Representativenya, dengan mengirimkan surat himbauan, kemudian konseling dan pada
akhisrnya kasus dinyatakan selesai dengan pembetulan SPT oleh Wajib Pajak, usulan
SKPKB Verifikasi, Usulan Pemeriksaan maupun usulan pemeriksaan bukti permulaan.
2.1.2.2 Proses Pengawasan Melalui SP2DK
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan terbaru (PMK), Nomor:
206/PMK.01/2014, Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat
Jenderal Pajak, tugas pengawasan Wajib Pajak lama diberikan kepada Seksi Waskon II,
27
14 Hari
III & IV, sedangkan untuk pengawasan Wajib Pajak baru diberikan kepada Seksi
Ekstensifikasi dan Penyuluhan. Pengawasan yang dilakukan oleh KPP melalui seksi
waskon maupun seksi ekstentifikasi dan penyuluhan sesuai SE-39/PJ/2015, perlu
diketahui oleh Wajib Pajak, sehingga dapat meminimalisir risiko.
Langkah pengawasan dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.1 Proses Pengawasan SP2DK
Analisa
SP2DK
Data
Internal
Data
Eksternal
Profil WP
Melalui
Pos/Kurir/
Fax
Kunjungan/
Visit
Tanggapan
Tidak ada
Tanggapan
Datang
Langsung
Secara
Tertulis
BA
Pelaksanaan
Permintaan Penjelasan
Analisa:
Dibayar?/
Pembetulan?/ Dapat Dijawab
BA
Penolakan
Permintaan Penjelasan
Virifikasi
SKPKB/ Usul
Pemeriksaan END
Ya
Tidak
28
Proses yang dilakukan oleh KPP adalah sebagai berikut:
1. Data Internal dan Eksternal;
Data internal dan eksternal, seperti yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya, menjadi alat bagi KPP dalam mengawasi Wajib Pajak. Setiap data yang
ada, dimasukkan dalam Profil Wajib Pajak.
2. Analisa Data;
Sesuai Profil Wajib Pajak, Account Representative akan melakukan analisa,
apakah terdapat perbedaan baik berdasarkan perbandingan data internal yang dimiliki
Wajib Pajak maupun data eksternal yang ada. Analisa data internal maupun eksternal
dibandingkan, apakah data yang dilaporkan telah sesuai dengan kegiatan usaha yang
sebenarnya.
a. Profil Wajib Pajak;
Setiap Account Representative diwajibkan membuat Profil Wajib Pajak yang
berada di bawah pengawasannya, hal ini dilakukan untuk mengenal lebih
mendalam sehingga dapat diketahui kegiatan usaha Wajib Pajak.
b. SP2DK;
Hasil Analisa data, apabila terdapat dugaan terdapat kewajiban pajak yang
belum dilakukan, akan dibuat SP2DK untuk meminta klarifikasi kepada Wajib
Pajak.
1. Melalui Pos/Jasa Kurir/Faksimili;
SP2DK dikirimkan oleh KPP melalui pos/kurir atau faksimili apabila
terkendala dengan jarak dan waktu.
29
Tanggal yang berlaku adalah tanggal yang lebih dulu disampaikan antara
tanggal stempel pos, tanggal yang tercantum pada bukti pengiriman, atau
tanggal faksimili.
2. Kunjungan/Visit
SP2DK dapat dikirimkan langsung dengan melakukan kunjungan (visit) ke
lokasi kegiatan usaha Wajib Pajak dengan tujuan:
1. meminta penjelasan atas Data dan/atau Keterangan dalam rangka
penggalian potensi pajak;
2. memutakhirkan data perpajakan Wajib Pajak;
3. memberikan pembinaan berupa bimbingan penyuluhan dan konsultasi
kepada Wajib Pajak; dan/atau
4. melaksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak. Tanggal yang berlaku adalah tanggal disampaikan
SP2DK secara langsung oleh KPP.
3. Tanggapan;
SP2DK yang dikirimkan melalui pos/kurir/faksimili maupun langsung
melalui kunjungan, memiliki batas waktu 14 hari sejak tanggal berlaku di
atas, dan Wajib Pajak diminta untuk memberikan tanggapan baik secara
langsung maupun tertulis.
a. Tanggapan Secara Langsung
Tanggapan secara langsung adalah dengan mendatangi KPP sesuai
SP2Dk yang dikirimkan, apakah ke Seksi Waskon II, III atau IV maupun
ke Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan.
30
1. WP membawa dokumen dan bukti pendukung, untuk menyanggah
atau mengakui kebenaran data .
2. Atas tanggapan tersebut, dituangkan dalam Berita Acara
Pelaksanaan Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan
kepada Wajib Pajak (selanjutnya disebut BA Pelaksanaan
Permintaan Penjelasan). Dilakukan langkah penelitian dan analisa
lebih lanjut terhadap dokumen dan bukti pendukung yang disertakan
dalam tanggapan ini.
3. Apabila Wajib Pajak menolak menandatangani BA Pelaksanaan
Permintaan Penjelasan, maka dituangkan dalam Berita Acara
Penolakan Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan
kepada Wajib Pajak (selanjutnya disebut BA Penolakan Permintaan
Penjelasan).
4. Oleh AR/Pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan dibuatkan
LHP2DK dengan memberikan rekomendasi tindak lanjut antara lain
usulan atau tindakanverifikasi, pemeriksaan, atau usulan
pemeriksaan bukti permulaan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
a. Tanggapan Tertulis
Tanggapan tertulis dapat berupa:
1. Wajib Pajak menyampaikan SPT atau SPT pernbetulan
untuk melaporkan Data dan/atau Keterangan sesuai dengan
permintaan penjelasan dalam SP2DK, atau
31
2. Wajib Pajak menyampaikan penjelasan tertulis yang
mengakui atau menyanggah kebenaran Data dan/atau
Keterangan disertai dengan bukti dan/atau dokumen
pendukung. Dilakukan langkah penelitian dan analisa lebih
lanjut terhadap dokumen dan bukti pendukung yang
disertakan dalam tanggapan ini.
b. Tidak memberikan Tanggapan
Dalam hal SP2DK tidak ditanggapi dalam jangka waktu 14 hari,
maka KPP akan melakukan:
1. memberikan perpanjangan jangka waktu permintaan
penjelasan atas Data dan/atau Keterangan kepada Wajib
Pajak berdasarkan pertimbangan tertentu, yaitu:
a. pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas
yang berkaitan dengan jarak, waktu, biaya, dan lainnya;
dan/atau
b. pertimbangan keadaan kahar (force majeur) yang
menyebabkan WP dalam keadaan sebenarnya nyata-
nyata tidak dapat memberikan tanggapan dalam jangka
waktu yang ditentukan;
2. melakukan Kunjungan (Visit) kepada Wajib Pajak; atau
3. mengusulkan agar terhadap Wajib Pajak dilakukan
verifikasi, pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
32
4. Dalam hal Wajib Pajak tidak memberikan tanggapan setelah
berakhirnya batas waktu pemberian tanggapan maka
AR/Pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan
membuat Berita Acara Tidak Dipenuhinya Permintaan
Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (selanjutnya
disebut BA Tidak Dipenuhinya Permintaan Penjelasan).
c. Analisa Tanggapan Wajib Pajak, Dapat Dijawab, Dibayar,
Pembetulan.
Tanggapan Wajib Pajak baik yang didapat secara langsung
maupun tertulis, dilakukan penelitian dan analisa lebih lanjut
untuk membuktikan kebenarannya.
Penelitian dan analisa dilakukan dengan membandingkan unsur-
unsur sebagai berikut:
1. Data dan/atau Keterangan yang dimiliki dan/atau diperoleh
DJP;
2. Data dan/atau Keterangan dalam tanggapan yang
disampaikan Wajib Pajak beserta bukti atau dokumen
pendukungnya; dan
3. pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah dilakukan
Wajib Pajak.
Apabila berdasarkan penelitian dan analisis terhadap Data
dan/atau Keterangan yang dimiliki dan/atau diperoleh sebagaimana KPP
belum dapat menyimpulkan kebenaran Data dan/atau Keterangan serta
belum dapat merekomendasikan tindak lanjut yang akan dilakukan,
33
maka Kepala KPP berwenang meminta kembali penjelasan atas Data
dan/atau Keterangan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari setelah jangka waktu permintaan pertama berakhir.
Hasil penelitian dan analisa lebih lanjut terhadap tanggapan
Wajib Pajak, dihasilkan rekomendasi yang dituangkan dalam LP2DHK
sebagai berikut:
1. Usulan Kasus Selesai
a. Apabila dokumen pendukung yang diberikan saat tanggapan,
telah sesuai dengan data yang diklarifikasi pada SP2DK, maka
kasus dianggap selesai dan dituangkan dalam LP2DHK.
b. Apabila terdapat kewajiban untuk menyampaikan atau
membetulkan SPT Masa/Tahunan sesuai hasil analisa, maka
dilakukan pengawasan penyampaian SPT atau SPT pembetulan
terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan.
2. Usulan Kasus dilakukan Verifikasi, Pemeriksaan atau Pemeriksaan
Bukti Permulaan.
Usulan ini dilakukan dengan kondisi sebagai berikut:
a. Wajib Pajak tidak memberikan tanggapan;
b. Wajib Pajak menyampaikan tanggapan secara langsung, namun
Wajib Pajak menolak menandatangani BA Pelaksanaan
Permintaan Penjelasan;
c. Wajib Pajak memberikan tanggapan secara langsung maupun
tertulis, berupa penjelasan atas Data dan/atau Keterangan yang
34
sesuai dengan simpulan hasil penelitian dan analisis, namun
Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT atau SPT pembetulan;
d. Wajib Pajak memberikan tanggapan secara langsung maupun
tertulis, dengan menyampaikan SPT atau SPT pembetulan
dengan perhitungan pajak yang terutang tidak sesuai dengan
simpulan hasil penelitian dan analisis;
e. Wajib Pajak memberikan tanggapan dengan penjelasan atas
Data dan/atau Keterangan tidak sesuai dengan simpulan hasil
penelitian dan analisis, dan Wajib Pajak tidak mengakui
kebenaran Data dan/atau Keterangan hasil penelitian dan
analisis; atau
f. Pertimbangan lain berdasarkan kewenangan Direktorat Jenderal
Pajak.
3. Verifikasi, Usulan Pemeriksaan atau Usulan Pemeriksaan Bukti
Permulaan
Sesuai dengan penjelasan di atas, Verifikasi, Usulan Pemeriksaan
dan Usulan Bukti Permulaan, menjadi langkah akhir dari kegiatan
KPP dalam analisa data, karena hasil akhir dari verifikasi dan
pemeriksaan adalah ketetapan pajak, dan pemeriksaan bukti
permulaan dapat berupa penahanan Wajib Pajak karena adanya
unsur pidana.
a. Verifikasi
Verifikasi dalam hal ini adalah dalam rangka penerbitan Surat
Ketetapan Kurang Bayar (SKPKB) dan/ Tambahan (SKPKBT)
35
sesuai PMK-146/PMK.03/2012. Penerbitan SKPKB/SKPKBT
melalui verifikasi adalah apabila terdapat data konkret yang
dijelaskan lebih lanjut sub bab berikut.
b. Usulan Pemeriksaan atau Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan
Usulan Pemeriksaan dilakukan terhadap data yang menurut
analisa kurang atau tidak konkret. Usulan Pemeriksaan Bukti
Permulaan dilakukan apabila dalam analisa terdapat indikasi
penyalahgunaan terkait pidana.
2.1.3 Account Representative (AR)
Menurut Jhon Hutagaol (2007: 22) pengertian Account Representative di
lingkungan Direktorat Jendral Pajak adalah:
”Pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang diberi kepercayaan, wewenang,
dan tanggung jawab untuk memberikan pelayanan, pembinaan, dan pengawasan secara
langsung kepada Wajib Pajak tertentu”.
Sedangkan Menurut Ricard Burton dalam Siti Resmi (2008:239) Account
Representative adalah:
”Secara khusus petugas pajak dengan sebutan AR lebih fokus pada pekerjaan
berupa:
a. menganalisa dan memonitor kepatuhan pembayaran pajak setiap Wajib Pajak
yang diawasinya (seperti Tax peyer profile/ company profile);
b. membantu mempercepat proses permohonan surat keterangan yang diperlukan
Wajib Pajak;
c. memonitor penyelesian pemeriksaan pajak dan proses keberatannya;
36
d. menjawab pertanyaan Wajib Pajak atas permasalahan perpajakan serta
menginformasikan ketentuan perpajakan terbaru.”
Account Representative dapat disebut juga sebagai staf pendukung pelaksana
dalam tiap Kantor Pelayanan Pajak Modern, bertanggung jawab dalam menganalisa dan
memonitor kepatuhan Wajib Pajak melalui penyampaian SPT yang harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan pajak dan berwenang untuk memberikan respon yang
efektif, tepat dan benar atas pertanyaan dan permasalahan yang disampaikan Wajib
Pajak dalam pelaksanaan kewajibannya, memberikan edukasi kepada Wajib Pajak,
asistensi secara langsung, serta mendorong, memotivasi dan mengawasi pemenuhan
hak dan kewajiban Wajib Pajak yang menjadi tanggung jawab Account Representative.
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Kinerja Account
Representative adalah hasil tingkat keberhasilan dari tugas-tugas yang di lakukan oleh
pegawai pajak yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak yang bekerja pada kantor pelayanan
pajak yang sudah menerapkan sistem perpajakan modern.
2.1.4 Efektivitas
2.1.4.1 Pengertian Efektivitas
Menurut kamus besar bahasa Indonesia keefektivan adalah keadaan
berpengaruh, keberhasilan tentang usaha atau tindakan. Menurut Ravianto dalam
Masruri (2014:11):
“Efektivitas adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana
orang menghasilkan keluaran sesuai dengan yang diharapkan. Ini berarti
bahwa apabila suatu pekerjaan dapat diselesaikan dengan perencanaan,
baik dalam waktu, biaya mau pun mutunya, maka dapat dikatakan efektif.”
Mardiasmo (2009:134) efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu
organisasi mencapai tujuannya. Menurut Sudarmayanti (1999) dalam Imam (2003:145)
37
mendefinisikan efektivitas adalah untuk menyatakan bahwa kegiatan telah dilaksanakan
secara tepat dalam arti target tercapai sesuai dengan waktu yang ditetapkan dengan
menggunakan sumberdaya dan sarana yang ada.
Sedangkan menurut Amin Widjaja Tunggal (1997) dalam Imam (2003:145)
efektivitas berhubungan dengan penentuan apakah tujuan perusahaan sudaah tercapai.
Menurut Alijoyo (2000:9) dalam Eskal (2007:53) efektivitas adalah “effectiveness is a
measure of succsess in meeting asset of established goal”, hal ini dapat diartikan sebagai
ukuran mengenai seberapa baik atau seberapa tepat sasaran atau rencana yang telah
ditetapkan dapat direalisasikan.
Pengertian efektivitas secara umum menunjukkan sampai seberapa jauh
tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Hal yang perlu dicatat bahwa
efektivitas tidak menyatakan tentang berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk
mencapai tujuan tersebut, efektivitas hanya melihat apakah suatu program atau kegiatan
telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas berfokus pada outcome (hasil).
Suatu organisasi, program atau kegiatan dinilai efektif apabila output yang dihasilkan
bisa memenuhi tujuan yang diharapkan. Untuk mengetahui apakah suatu organisasi
dikatakan efektif harus diperlukan suatu indikator sebagai tolak ukur untuk mengetahui
tingkat keefektivan suatu objek.
Sedangkan menurut Halim yang dikutip dalam Mala et al (2013) formula untuk
mengukur efektivitas yang terkait dengan perpajakan adalah perbandingan antara
realisasi pajak dengan target pajak. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
efektivitas adalah upaya suatu organisasi untuk mencapai tujuan dengan tepat waktu
dan hasil sesuai dengan yang diharapkan menggunakan sumberdaya dan sarana yaang
ditetapkan. Efektivitas organisasi merupakan merupakan suatu konsep yang penting
38
untuk melihat gambar suatu organisasi karena dapat menunjukan tingkat keberhasilan
organisasi dalaam mencapai sasarannya.
2.1.4.2 Ukuran Efektivitas
Mengukur efektivitas organisasi bukanlah suatu hal yang sangat sederhana
karenaa efektivitas dapat dikaji dari berbagai sudut pandang dan tergantung pada siapa
yang menilai serta menginterprestasikannya. Tingkat efektivitas juga dapat diukur
dengan membandingkan antara rencana yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang
telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan. Namun, jika usaha atau
hasil pekerjaan dan tindakan yang dilakukan tidak tepat sehingga menyebabkan tujuan
tidak tercapai atau sasaran yang diharapkan, maka hal itu tidak dikatakan efektif. Hal
yang terpenting yang perlu dicatat bahwa efektivitas tidak menyatakan tentang berapa
besar biaya yang telah dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut, efektivitas hanya
melihat apakah suatu program atau kegiatan telah mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Formula untuk mengukur efektivitas yang terkait dengan perpajakan adalah
perbandingan antara realisasi penerimaan pajak dengan potensi pajak.
Efektivitas adalah kemampuan untuk menentukan tujuan yang memadai, do the
right things, dan efektivitas berhubungan dengan pencapaian tujuan tertentu (Molan,
2003:169). Formula untuk mengukur efektivitas yang terkait dengan perpajakan adalah
perbandingan antara realisasi pajak dengan target pajak (Halim, 2001). Untuk
menghitung efektivitas SP2DK digunakan formula sebagai berikut:
Efektivitas =
Realisasi Penerimaan Pajak melalui SP2DK
𝒙 𝟏𝟎𝟎%
Nilai Potensi SP2DK
39
Berikut adalah indikator untuk tingkat efektivitas dari hasil perhitungan
menggunakan formula efektivitas.
Tabel 2.1 Klasifikasi Pengukuran Efektivitas
Persentase Kriteria
>100%
90-100%
80-90%
60-80%
<60%
Sangat Efektif
Efektif
Cukup Efektif
Kurang Efektif
Tidak Efektif
Sumber: Depdagri, Kepmendagri No. 690.900.327 tahun 1996
Pengukuran efektivitas organisasi dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai pendekatan yang berbeda, mengasumsikan bahwa organisasi akan
menugaskan input yang berasal dari lingkungannya melalui suatu proses internal
menjadi output yang akan dilemparkan kembali ke lingkungannya. Dalam berbagai
organisasi pengukuran efektivitas dilakukan melalui:
a. Pendekatan sasaran (goal approach) dalam pengukuran efektivitas memusatkan
pada output yang telah direncanakan.
b. Pendekatan sumber (resources approach) lebih memusatkan perhatian pada
input yaitu mengukur keberhasilan organisasi dalam mendapat sumber yang
dibutuhkan untuk pencapaian performa yang baik.
c. Pendekatan proses (prosess approach) lebih memusatkan perhatian pada aspek
kegiatan internal organisasi dan mengukur efektivitas melalui berbagai indikator
internal.
Pengukuran kinerja yang efektif didasarkan pada kebutuhan konsumen dan
fokus pada keinginan konsumen. Menurut Yuwono (2002:24) dalam eskal (2007)
pengukuran kinerja yang efektif yaitu:
40
a. Didasarkan pada masing-masing aktivitas dan karakteristik organisasi itu sendiri
sesuai perspektif pelanggan.
b. Evaluasi atas berbagai aktivitas menggunakan ukuran-ukuran kinerja yang
customer validated.
c. Sesuai dengan seluruh aspek kinerja yang mempengaruhi pelanggan, sehingga
menghasilkan penilaian yang komprehensif.
d. Memberikan umpan balik untuk membantu seluruh organisasi mengenai
masalah yang ada kemungkinan perbaikan.
2.1.5 Kontribusi
Guritno dikutip dalam Hasbi et al (2014) menyatakan bahwa kontribusi adalah
sesuatu yang diberikan bersama-sama dengan pihak lain untuk tujuan biaya atau
kerugian tertentu atau bersama. Kontribusi dapat berupa materi atau tindakan.
Kontribusi disini dapat diartikan sebagai sumbangan yang diberikan dari kegiatan
penerbitan SP2DK terhadap penerimaan pajak. Untuk menghitung kontribusi
penerimaan pajak yang berasal dari penerbitan SP2DK digunakan fomula sebagai
berikut:
Kontribusi =
Realisasi Penerimaan Pajak melalui SP2DK
𝒙 𝟏𝟎𝟎%
Penerimaan Pajak di KPP
41
Untuk mengetahui kontribusi dari hasil perhitungan dengan menggunakan
formula di atas digunakan klasifikasi kriteria kontribusi seperti dijabarkan dalam tabel
sebagai berikut.
Tabel 2.2 Klasifikasi Kriteria Kontribusi
Persentase Kriteria
0,00-10%
10,10-20%
20,10-30%
30,10-40%
40,10-50%
>50%
Sangat Kurang
Kurang
Sedang
Cukup Baik
Baik
Sangat Baik
Sumber: Depdagri, Kepmendagri No. 690.900.327 tahun 1996
2.1.6 Target Penerimaan Pajak
Penerimaan pajak merupakan jumlah iuran yang dibayar oleh masyarakat
dimana dipungut berdasarkan undang-undang yang berlaku, diterima oleh negara dalam
suatu masa yang nantinya digunakan oleh negara untuk membayar pengeluaran negara
berupa pemeliharaan berbagai fasilitas yang digunakan untuk kepentingan umum.
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso
Brotodiharjo dalam bukunya Waluyo (2013:2):
“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak
mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan
tugas Negara yang menyelenggarakan pemerintahan.”
Definisi Penerimaan Pajak Menurut Suharno (2012) :
“Penerimaan pajak adalah penghasilan yang diperoleh oleh pemerintah yang
bersumber dari pajak rakyat. Tidak hanya sampai pada definisi singkat diatas
bahwa dana yang diterima di kas negara tersebut akan dipergunakanuntuk
pengeluaran pemerintah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
42
Definisi Penerimaan Pajak Menurut Suryadi (2011:105) :
”Penerimaan pajak merupakan sumber pembiayaan negara yang dominan baik
untuk belanja rutin maupun pembangunan”.
Dari pengertian tersebut bahwa penerimaan dapat menjadi sumber pembiayaan
pembangunan untuk menunjang kemandirian pembiayaan pemerintah dan dilaksanakan
secara efektif dan efisien. Penerimaan pajak merupakan perkiraan penerimaan
berdasarkan analisa makro dan mikro sebagai bahan pembagian target penerimaan
kantor pelayanan pajak. Target penerimaan pajak merupakan rencana besarnya
penerimaan pajak yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai dana yang
dipersiapkan untuk Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Target penerimaan pajak dibebakan pada masing-masing Account
Representative berdasarkan beban penerimaan seksi pengawasan dan konsultasi yang
disusun berdasarkan realisasi penerimaan per Account Representative tahun
sebelumnya. Setiap Account Representative bertanggungjawab untuk merealisasikan
penerimaan pajak berdasarkan potensi wilayah kerjanya, khususnya untuk peerimaan
pajak rutin.
43
2.2 Penelitian Sebelumnya
Adapun hasil dari penelitian Sebelumnya mengenai topik yang berkaitan dengan
penelitian ini dapat dilihat dalam tabel. 2.3
Tabel 2.3 Penelitian Sebelumnya
No. Judul Penelitian Nama
Peneliti Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan
1. Analisis Efektivitas
Surat Himbauan Atau
Surat Permintaan
Penjelasan Atas Data
Atau Keterangan
(Sp2Dk) Terhadap
Penerimaan Pajak
Pada Kpp Pratama
Manado
Fergie
Veronica
Parmono,
2016
1. Hasil perhitungan dari
kegiatan penerbitan surat
himbauan atau SP2DK
yang dilaksanakan oleh
KPP Pratama Manado
berdasarkan klasifikasi
pengukuran efektivitas,
untuk tahun 2013 yaitu
40,30% atau tidak efektif,
tahun 2014 yaitu 72,74%
atau kurang efektif dan
tahun 2015 yaitu 25,65%
atau tidak efektif.
2. Kontribusi dari kegiatan
penerbitan surat
himbauan atau SP2DK
terhadap penerimaan
pajak di KPP Pratama
Manado berdasarkan
klasifikasi kriteria
kontribusi tergolong
sangat kurang karena
berada pada kisaran
0,00% s.d. 10%. Terbukti
dari presentase kontribusi
yang dicapai pada tahun
2013 yaitu 1.83% atau
sangat kurang, tahun
2014 yaitu 7.63% atau
sangat kurang dan tahun
2015 yaitu 5.88% atau
sangat kurang
1. Metode penelitian
deskriptif kuantitatif.
2. Objek Penelitian
SP2DK yang
diterbitkan oleh
Kantor Pelayanan
Pajak
3. Menggunaan formula
efektivitas dan
kontribusi
1. Unit Analisi pada
Kantor Pelayanan
Pajak Pratama
Menado
2. Periode pengamatan
2013-1015
2. Analisis Efektivitas
Surat Himbauan Atau
Surat Permintaan
Penjelasan atas Data
dan atau Keterangan
(SP2DK) Terhadap
Penerimaan Pajak
Pada KPP Pratama
Setiabudi Dua
Ade
Santika,
2017
1. Berdasarkan indikator
pengukuran efektivitas,
dapat disimpulkan bahwa
penerimaan pajak
melalui surat himbauan
tahun 2013, 2014, dan
2015 pada KPP Pratama
Jakarta Setiabudi Dua
tergolong tidak efektif.
2. Berdasarkan klasifikasi
kriteria kontribusi, dapat
disimpulkan bahwa
kontribusi penerimaan
pajak melalui surat
himbauan atau SP2DK
tahun 2013, 2014, dan
tahun 2015 pada KPP
Pratama Jakarta
Setiabudi Dua masih
tergolong sangat kurang.
4. Metode penelitian
deskriptif kuantitatif.
5. Objek Penelitian
SP2DK yang
diterbitkan oleh
Kantor Pelayanan
Pajak
6. Menggunaan formula
efektivitas dan
kontribusi
3. Unit Analisi pada
Kantor Pelayanan
Pajak Pratama
Jakarta Setia Budi
Dua
4. Periode pengamatan
2013-1015
44
2.3 Kerangka Pemikiran
Untuk memperjelas pelaksanaan penelitian dan sekaligus untuk mempermudah
dalam pemahaman, maka diperlukan suatu kerangka pemikiran sebagai landasan dalam
pemahaman. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam
Gambar 2.3
PAJAK
Sistem Perpajakan
With Holding System
Self Assesment System Official Assesment System
Kendala/Hambatan
Ditemui harta Wajib Pajak yang tidak
pernah dilaporkan dalam SPT Tahunan
Pertambahan nilai bangunan yang
cukup signifikan sehingga berpotensi
terutang PPN
Penerimaan Pajak belum optimal
Intensifikasi Ekstensifikasi Realisasi Penerimaan Pajak
Memaksimalkan data profil Wajib
Pajak seperti data pelaporan SPT,
pembayaran Pajak
Mengoptimalkan data hasil
pengamatan di lapangan
Account Representative (AR)
Surat Himbauan atau Surat
Permintaan Penjelasan atas
Dataatau Keterangan (SP2DK)
Penerimaan Pajak Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
45
Indonesia menganut tiga sistem pemungutan pajak (Waluyo, 2013:16), yaitu :
1) Official Assessment System, sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan
Pemerintah (Fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. 2) Self
Assessment System, merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang,
kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus
dibayarnya ke Kantor Pelayanan Pajak. 3) Witholding System, sistem pemungutan pajak
yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut
besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Dalam penerapannya, perpajakan di Indonesia memiliki kendala dan hambatan.
Terdapat sebagian masyarakat memenuhi kewajiban perpajakan dengan melaporkan
harta dan penghasilan dengan kondisi yang tidak sebenarnya. Hal ini mengakibatkan
Penerimaan Pajak menjadi tidak optimal. Dalam rangka meningkatkan penerimaan,
Direktorat Jenderal Pajak melakukan usaha intensifikasi dan ekstensfikasi, salah satu
usaha intensifikasi yang gencar dilakukan adalah memaksimalkan data profil Wajib
Pajak seperti data pelaporan SPT, pembayaran Pajak, data hasil pengamatan di lapangan
dan data lainnya yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Kegiatan intensifikasi ini dilakukan oleh Account Representatif melalui
penelitian dan penggalian potensi atas data-data yang tersedia dengan menerbitkan
Surat Himbauan atau Surat Permintaan Penjelasan atas Data daan atau Keterangan
(SP2DK) kepada Wajib Pajak, sehingga dapat meningkatan penerimaan pajak.