bab ii kajian kepustakaan - unmuha

37
9 BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Landasan Teoritis 2.1.1 Perpajakan 2.1.1.1 Definisi Pajak Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso Brotodiharjo dalam bukunya Waluyo (2013:2): “Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara yang menyelenggarakan pemerintahan.” Soemitro dalam Resmi (2014:1), pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Djajadiningrat dalam Resmi (2014:1), pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum. Feldamnn dalam Resmi (2014:2), pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara

Upload: others

Post on 26-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

9

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Landasan Teoritis

2.1.1 Perpajakan

2.1.1.1 Definisi Pajak

Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso

Brotodiharjo dalam bukunya Waluyo (2013:2):

“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh

yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat

prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk

membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara

yang menyelenggarakan pemerintahan.”

Soemitro dalam Resmi (2014:1), pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa

timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan, dan yang digunakan

untuk membayar pengeluaran umum.

Djajadiningrat dalam Resmi (2014:1), pajak sebagai suatu kewajiban

menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan,

kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai

hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi

tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan

umum.

Feldamnn dalam Resmi (2014:2), pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak

oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara

Page 2: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

10

umum), tanpa adanya kontrapretasi, dan semata-mata digunakan untuk pengeluaran-

pengeluaran umum.

Dalam Undang-Undang Perpajakan No. 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga

atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan pada Pasal 1 ayat (1) Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang

terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang –

Undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk

keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan definisi-definisi pajak diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pajak

mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang

sifatnya dapat dipaksakan.

2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual

oleh pemerintah.

3. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupu pemerintah daerah.

4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dan

pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public

investment.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pajak adalah suatu kewajiban dari

rakyat untuk menyerahkan sebagian dari harta kekayaan ke kas Negara, sesuai dengan

keadaan dan kedudukan tertentu menurut peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah,

yang dapat dipaksakan, tanpa adanya jasa timbal balik dari pemerintah (kontraprestasi)

dan digunakan untuk kesejahteraan umum.

Page 3: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

11

2.1.1.2 Fungsi Pajak

Dalam literatur pajak sering disebutkan mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu

budgeter dan regulerend. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008

tertulis secara umum ada empat fungsi pajak, yaitu:

1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)

Fungsi yang terletak di sektor publik, yaitu untuk mengumpulkan uang

pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku yang

pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluran

negara, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dan bila ada sisa

(surplus) akan digunakan sebagai tabungan untuk investasi pemerintah. Sebagai

sumber keuangan Negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-

banyaknya untuk kas Negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara

ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan

peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak

Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

2. Fungsi Mengatur (Regulerend)

Pajak digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan

tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan. Fungsi ini umunnya dapat dilihat

pada sektor swasta. Beberapa contoh penerapan Pajak sebagai fungsi pengatur

adalah:

a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah. Pajak

Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi

transaksi jual beli barang mewah. Pengenaan Pajak ini dimaksudkan agar

Page 4: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

12

rakyat tidak berlomba-lomba untuk mengkonsumsi barang mewah

(mengurangi gaya hidup mewah).

b. Tarif Pajak progresif dikenakan atas penghasilan, dimaksud agar pihak

yang memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar

pajak yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapat).

c. Tarif Pajak ekspor sebesar 0% dimaksudkan agar para pengusaha terdorong

mengekspor hasil produksinya di pasar dunia sehingga dapat memperbesar

devisa Negara.

d. Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industri tertentu

seperti industri semen, industri rokok, industri baja dimaksudkan agar

terdapat penekanan produksi terhadap industri tersebut karena dapat

mengganggu lingkungan atau polusi (membahayakan kesehatan).

e. Pembebanan Pajak Penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi, dimaksudkan

untuk mendorong perkembangan koperasi di Indonesia.

f. Pemberlakuan tax holiday dimaksudkan untuk menarik investor asing agar

menanamkan modalnya di Indonesia.

3. Fungsi Demokrasi

Pajak adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau

wujud sistem gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan

pembangunan demi kemaslahatan manusia. Fungsi demokrasi pada masa

sekarang apabila seseorang telah melakukan kewajibannya membayar pajak

kepada negara sesuai ketentuan yang berlaku, maka ia mempunyai hak pula

untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari pemerintah.

Page 5: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

13

4. Fungsi Redistribusi

Fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan

dalam masyarakat. Hal ini dapat terlihat, misalnya dengan adanya tarif progresif

yang mengenakan pajak lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai

penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang

mempunyai penghasilan lebih sedikit (kecil).

2.1.1.3 Jenis-Jenis Pajak

Terdapat berbagai jenis Pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu

pengelompokan menurut sifat, sasaran/ objeknya dan lembaga pemungutnya. Menurut

Mardiasmo (2016:7), jenis pajak dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu

pengelompokan menurut golongan, menurut sifat, dan menurut lembaga pemungutnya

yaitu akan dijabarkan seperi dibawah ini.

1. Menurut Golongan

Pajak dikelompokkan menjadi dua yaitu:

a. Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya harus dipikul atau

ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada

orang lain atau pihak lain, serta dikenakan secara berulang-ulang pada

waaktu tertentu. Contoh Pajak Penghasilan (PPh). PPh dibayar atau

ditanggung oleh pihak-pihak tertentu yang memperoleh penghasilan.

b. Pajak tidak langsung adalah Pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan

kepada orang lain atau pihak ketiga. Dan hanya dikenakan pada hal-hal

tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja. Pajak tidak langsung terjadi

terjadi jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa atau perbuatan yang

menyebabkan terutangnya Pajak. Contoh Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Page 6: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

14

PPN terjadi karena terdapat pertambahan nilai terhadap barang atau jasa.

Pajak ini dibayarkan oleh produsen atau pihak yang menjual barang tetapi

dapat dibebankan kepada konsumen baik secara eksplisit maupun implisit

(dimasukkan dalam harga jual barang atau jasa).

Untuk menentukan apakah sesuatu termasuk Pajak langsung atau tidak langsung

dalam arti ekonomis yaitu dengan cara melihat ketiga unsur yang terdapat dalam

kewajiban pemenuhan perpajakannya. Ketiga unsur tersebut terdiri atas:

1) Penanggungjawab Pajak adalah orang yang secara formal yuridis

diharuskan melunasi Pajak.

2) Penanggung Pajak adalah orang yang dalam faktanya memikul terlebih

dahulu beban Pajaknya.

3) Pemikul Pajak adalah orang yang menurut Undang-undang harus dibebani

Pajak.

Jika ketiga unsur tersebut ditemukan pada seseorang maka pajaknya disebut

pajak langsung sedangkan jika ketiga unsur tersebut terpisah atau terdapat pada lebih

dari satu orang maka pajaknya disebut Pajak Tidak Langsung.

2. Menurut Sifat

Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

a. Pajak Subyektif, adalah jenis Pajak yang dikenakan dengan pertama-tama

memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (Subjeknya). Setelah

diketahui keadaan subjeknya barulah diperhatikan keadaan objektifnya

sesuai gaya pikul apakah dapat dikenakan pajak atau tidak. Contoh: Pajak

Penghasilan (PPh). Dalam PPh terdapat Subjek Pajak (Wajib Pajak) orang

pribadi. Pengenaan PPh untuk orang pribadi tersebut memperhatikan

Page 7: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

15

keadaan pribadi Wajib Pajak (status perkawinan, banyaknya anak dan

tanggungan lainnya). Keadaan pribadi Wajib Pajak tersebut selanjutnya

digunakan untuk menentukan besarnya penghasilan tidak kena Pajak.

b. Pajak Objektif adalah jenis Pajak yang dikenakan pertama-tama

memperhatikan atau melihat objeknya baik berupa keadaan perbuatan atau

peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar Pajak.

Setelah diketahui objeknya barulah dicari subjeknya yang mempunyai

hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui. Contoh: Pajak

Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

(PPnBM) serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

3. Menurut Lembaga Pemungutan

Pajak dikelompokkan menjadi dua yaitu:

a. Pajak Negara (Pajak Pusat) adalah Pajak yang dipungut oleh pemerintah

pusat yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh Kementerian Keuangan

khususnya Direktorat Jenderal Pajak. Hasil dari pemungutan Pajak pusat

dikumpulkan dan dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Contoh: PPh, PPN, dan PPnBM.

b. Pajak daerah adalah Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah yang

dalam pelaksanaanya sehari-hari dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah

(Dispenda). Hasil dari pemungutan Pajak daerah dikumpulkan dan

dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah. Contoh: Pajak Daerah meliputi Pajak Kendaraan Bermotor

dan Kendaraan di atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan

Kendaraan di atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor serta Pajak

Page 8: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

16

Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Pajak

Kabupaten/Kota meliputi Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan,

Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian

Golongan C dan Pajak Parkir.

2.1.1.4 Tarif Pajak

Struktur tarif yang berhubungan dengan pola perentase tarif pajak dikenal empat

macam tarif, yaitu: (Ikatan Akuntansi Indonesia, 2013)

1. Tarif Pajak Proporsional/Sebanding, yaitu persentase tetap terhadap jumlah

berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak, contohnya tarif 10% untuk

PPN.

2. Tarif Progresif, yaitu tarif pajak yang persentasenya menjadi lebih besar

apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak semakin besar.

Misalnya tarif PPh.

3. Tarif Pajak Degresif, yaitu pajak yang persentasenya semakin menurun

apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak semakin besar.

4. Tarif Pajak Tetap, dalam tarif ini ditetapkan tarif dengan jumlah yang tetap

(sama besarmya) terhadap berapapun jumlah yang menjadi dasar pengenaan

pajak. Contohnya tarif Bea Materai.

2.1.1.5 Asas - Asas Pemungutan Pajak

Menurut Waluyo (2013:15) untuk mencapai tujuan pemungutan Pajak perlu

memegang teguh asas-asas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya,

sehingga terdapat keserasian pemungutan Pajak dengan tujuan dan asas yang masih

Page 9: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

17

diperlukan lagi yaitu pemahaman atas perlakuan Pajak tertentu. Asas pemungutan Pajak

dapat pula dibagi dalam beberapa asas yaitu:

a. Asas menurut Falsafah Hukum

Hukum pajak harus berdasarkan pada keadilan. Selanjutnya keadilan ini sebagai

asas pemungutan pajak. Untuk menyatakan keadilan kepada hak negara untuk

memungut pajak, muncul beberapa teori dasar, sebagai berikut:

1) Teori Asuransi

2) Teori Kepentingan

3) Teori Gaya Pikul

4) Teori Baksi

5) Teori Asas Daya Beli

b. Asas Yuridis

Untuk menyatakan suatu keadilan. Hukum pajak harus memberikan jaminan

hukum kepada negara atau warganya. Oleh karena itu, pemungutan pajak harus

didasarkan pada undang-undang. Landasan hukum pemungutan pajak di

Indonesia adalah Pasal 23A Amademen Undang-Undang Dasar 1945.

c. Asas Ekonomi

Asas ekonomi ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara

menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat. Untuk itu,

pemungutan pajak harus diupayakan tidak menghambat kelancaran ekonomi

sehingga kehidupan ekonomi tidak terganggu.

d. Asas Pemungutan Pajak Lainnya

Terdapat tiga asas yang digunakan untuk memungut pajak dalam pajak

penghasilan, yaitu sebagai berikut:

Page 10: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

18

1) Asas Tempat Tinggal

2) Asas Kebangsaan

3) Asas Sumber

2.1.1.6 Syarat Pemungutan Pajak

Agar pemungutan Pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka

menurut Mardiasmo (2011:17) pemungutan Pajak harus memenuhi syarat sebagai

berikut:

a. Pemungut Pajak harus adil (syarat keadilan)

Sesuai dengan tujuan hukum yakni mencapai keadilan, Undang-Undang dan

pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan

diantaranya mengenakan Pajak secara umum dan merata serta disesuaikan

dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya

yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan,

penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis

Pertimbangan Pajak.

b. Pemungutan Pajak harus berdasarkan Undang-Undang (syarat Yuridis)

Di Indonesia, Pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan

jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik Negara maupun warganya.

1. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomi)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi

maupun perdagangan sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian

masyarakat. Pemungutan Pajak harus efisien (syarat financial)

2. Sesuai dengan budgeter, biaya pemungutan Pajak harus dapat ditekan

sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

Page 11: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

19

3. Sistem pemungutan Pajak harus sederhana

Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dalam mendorong

masyarakat untuk memenuhi kewajiban Perpajaknnya. Syarat ini telah

dipenuhi oleh Undang-Undang Perpajakan yang baru. Contoh: Bea Materai

disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif, Tarif PPN

yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif.

2.1.1.7 Sistem Pemungutan Pajak

Sistem pemungutan pajak ada tiga yaitu: (Waluyo, 2013:16)

1. Official Assessment System

Sistem ini merupakan system pemungutan pajak yang memberi

kewenangan Pemerintah (Fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang

terutang.

2. Self Assessment System

Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang,

kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung,

memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang

harus dibayarnya ke Kantor Pelayanan Pajak.

3. Witholding System

Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi

wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak

yang terutang oleh Wajib Pajak.

Page 12: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

20

2.1.1.8 Hambatan Pemungutan Pajak

Mengingat betapa pentingnya peran masyarakat untuk membayar Pajak dalam

peran sertanya menanggung pembiayaan negara, maka dituntut kesadaran warga negara

untuk memenuhi kewajiban kenegaraan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pada

sebagian masyarakat terdapat keengganan memenuhi kewajiban Perpajakan, dalam hal

demikian timbul perlawanan terhadap Pajak. Perlawanan terhadap Pajak dapat

dibedakan menjadi perlawanan pasif dan perlawanan aktif. Menurut Mardiasmo

(2011:17), hambatan terhadap pemungutan Pajak dapat dikelompokkan menjadi:

1. Perlawanan pasif

Masyarakat tidak bersedia memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana

mestinya yang dapat disebabkan antara lain:

a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.

b. Sistem Perpajakan yaang sulit dipahami.

c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.

2. Perlawanan aktif

Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung

ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari Pajak. Bentuknya

antara lain:

a. Penghindaran diri dari Pajak (Tax Avoidance) yaitu usaha meringankan

beban Pajak dengan tidak melanggar Undang-Undang.

b. Pengelakan diri dari Pajak (Tax Evasion) yaitu usaha meringankan Pajak

dengan cara melanggar Undang-Undang dengan maksud melepaskan diri

dari Pajak atau mengurangi dasar pengenaannya, namun tidak dipungkiri

Page 13: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

21

bahwa sebagian masyarakat terdapat keengganan memenuhi kewajiban

perpajakannya.

2.1.1.9 Wajib Pajak Efektif dan Wajib Pajak non Efektif

1. Wajib Pajak

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan termasuk pemungut atau pemotong pajak tertentu

(Suandy, 2008:89). Wajib pajak dibedakan menjadi empat, yaitu:

a. Wajib Pajak Orang Pribadi

Wajib Pajak orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran Pajak dan

pemungutan Pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.

b. Wajib Pajak Badan

Wajib Pajak badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan

kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang

meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan

Usaha Milik Negara (BUMN) atau daerah dengan nama dan dalam bentuk

apapun seperti firma, organisasi, kongsi, dana pensiun persekutuan,

perkumpulan, yayasan, massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang

sejenis lembaga bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk

reksadana, asosiasi, persatuan, penghimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak

yang mempunyai kepentingan yang sama menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban

perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.

Page 14: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

22

c. Wajib Pajak Bendaharawan

Wajib Pajak bendaharawan pemerintah adalah bendaharawan pemerintah pusat,

pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga Negara lainnya

dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji,

upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apapun

sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan.

d. Wajib Pajak Patuh

Wajib pajak patuh adalah wajib pajak yang diterapkan oleh Direktur Jenderal

Pajak (DJP) sebagai wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu yang dapat

diberikan pengambilan pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Wajib pajak

patuh berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

192/PMK/.03/2007 adalah wajib pajak yang memenuhi persyaratan antara lain

tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan, tidak mempunyai

tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah

persetujuan dari pihak otoritas pajak untuk menunda pembayaran pajak, laporan

keuangan yang diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat “Wajar Tanpa

Pengecualian” selama tiga tahun berturut-turut, dan tidak pernah dipidana

karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu

lima tahun terakhir.

2. Wajib Pajak Efektif dan Wajib Pajak NonEfektif

Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-89/PJ/2009 ditegaskan

bahwa agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran yang dapat menyulitkan

administrasi maka perlu diberikan penegasan bahwa administrasi pajak hanya mengenal

Page 15: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

23

istilah-istilah wajib pajak efektif dan wajib pajak non efektif dengan pengertian sebagai

berikut.

a. Wajib pajak efektif adalah wajib pajak yang memenuhi kewajiban

perpajakannya berupa memenuhi kewajiban menyampaikan Surat

Pemberitahuan (SPT) Masa dan atau Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan

sebagaimana mestinya.

b. Wajib pajak non efektif adalah wajib pajak yang tidak melakukan pemenuhan

kewajiban perpajakannya baik berupa pembayaran maupun penyampaian SPT

Masa dan atu SPT Tahunan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang–

Undangan Perpajakan yang nantinya dapat diaktifkan kembali. Sebagaimana

telah ditegaskan dalam surat edaran Direktorat Jendral Pajak Nomor SE-

89/PJ/2009, wajib pajak non efektif adalah sebagai berikut:

1. Selama tiga tahun berturut–turut tidak pernah melakukan pemenuhan

kewajiban perpajakan baik berupa pembayaran pajak maupun penyampaian

SPT Masa dan atau SPT Tahunan.

2. Wajib pajak yang sudah meninggal dunia/bubar tetapi belum ada surat

keterangan resminya.

3. Tidak diketahui atau ditemukan lagi alamatnya.

4. Wajib Pajak secara nyata tidak menunjukan kegiatan usahanya.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan wajib

pajak efektif adalah wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakannya

yang tercermin dari pemenuhan penyampaian SPT Masa dan atau SPT

Tahunan. Wajib Pajak non efektif adalah wajib pajak yang tidak memenuhi

kewajiban perpajakannya yang tercermin dari tidak dipenuhinya kewajiban

Page 16: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

24

penyampaian SPT Masa dan atau SPT Tahunan tersebut.

2.1.1.10 Kepatuhan Wajib Pajak

1. Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak

Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif wajib pajak dalam

menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan wajib pajak yang tinggi,

yaitu kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai kebenarannya.

Kepatuhan Wajib Pajak dikemukakan oleh Norman D. Nowak (2010:138)

(Moh.Zain:2004) dalam Siti Kurnia Rahayu adalah: “Suatu iklim kepatuhan dan

kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi di mana:

a. Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan,

b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas,

c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar,

d. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.

Menurut Chaizi Nasucha, dalam Siti Kurnia Rahayu (2010:139) mengatakan

bahwa kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasikan dari:

“Kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk

melaporkan kembali surat pemberitahuan, kepatuhan dalam perhitungan dan

pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan”

Kepatuhan Wajib Pajak merupakan pemenuhan kewajiban perpajakan yang

dilakukan oleh pembayar pajak dalam rangka memberikan kontribusi bagi

pembangunan dewasa ini yang diharapkan di dalam pemenuhannya diberikan secara

sukarela. Kepatuhan wajib pajak menjadi aspek penting mengingat sistem perpajakan

Indonesia menganut sistem Self Asessment di mana dalam prosesnya secara mutlak

Page 17: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

25

memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar dan

melapor kewajibannya.

Sedangkan menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000 yang

dikutip oleh Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu (2006:112) , menyatakan bahwa:

“Kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan

kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentun peraturan perundang-

undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu

Negara.”

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa wajib pajak yang patuh adalah

wajib pajak yang sadar akan pajak, paham atas ak dan kewajiban perpajakannya, dan

diharapkan peduli pajak yaitu melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar serta

tepat waktu dalam melaporkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT).

Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:138), menjelaskan ada dua jenis kepatuhan,

yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material: “Ada dua macam kepatuhan yaitu:

1. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi

kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang

Perpajakan.

2. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif

atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai

isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan”.

2.1.2 Surat Permintaan Penjelesan atas Data dan atau Keterangan (SP2DK)

2.1.2.1 Pengertian Surat Permintaan atas Data dan atau Keterangan (SP2DK)

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-39/PJ/2015 tentang

Pengawasan Wajib Pajak Dalam Bentuk Permintaan Penjelasan Atas Data dan/atau

Keterangan dan Kunjungan (Visit) Kepada Wajib Pajak, menyebutkan bahwa SP2DK

Page 18: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

26

adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk meminta

penjelasan atas data dan/atau keterangan kepada wajib pajak terhadap dugaan belum

dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan di bidang perpajakan.

Data dan/atau Keterangan adalah data dan/atau informasi yang diperoleh atau

dimiliki Direktur Jenderal Pajak dari sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak, Surat

Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak, alat keterangan, hasil Kunjungan (Visit), Data

dan/atau Keterangan dari pihak Instansi, Lembaga, Asosiasi atau Pihak Lain (ILAP),

hasil pengembangan dan analisis atas Informasi, Data, Laporan dan Pengaduan (IDLP),

internet dan data dan/atau informasi lainnya. Kegiatan untuk meminta penjelasan atas

data dan/atau keterangan dilaksanakan dalam bentuk Kunjungan (Visit) kepada wajib

pajak, yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Account Representative (AR),

Pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan atau Tim Visit.

Klarifikasi data merupakan hal yang sering dilakukan KPP untuk meminta atau

membuktikan data yang dimiliki KPP yang diduga belum dilaporkan Wajib Pajak

dalam SPT Masa maupun SPT Tahunannya. Sebelum Per-170 dihapus, klarifikasi data

dilakukan oleh Seksi Pengawasan dan Konsultasi (Waskon) melalui Account

Representativenya, dengan mengirimkan surat himbauan, kemudian konseling dan pada

akhisrnya kasus dinyatakan selesai dengan pembetulan SPT oleh Wajib Pajak, usulan

SKPKB Verifikasi, Usulan Pemeriksaan maupun usulan pemeriksaan bukti permulaan.

2.1.2.2 Proses Pengawasan Melalui SP2DK

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan terbaru (PMK), Nomor:

206/PMK.01/2014, Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat

Jenderal Pajak, tugas pengawasan Wajib Pajak lama diberikan kepada Seksi Waskon II,

Page 19: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

27

14 Hari

III & IV, sedangkan untuk pengawasan Wajib Pajak baru diberikan kepada Seksi

Ekstensifikasi dan Penyuluhan. Pengawasan yang dilakukan oleh KPP melalui seksi

waskon maupun seksi ekstentifikasi dan penyuluhan sesuai SE-39/PJ/2015, perlu

diketahui oleh Wajib Pajak, sehingga dapat meminimalisir risiko.

Langkah pengawasan dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.1 Proses Pengawasan SP2DK

Analisa

SP2DK

Data

Internal

Data

Eksternal

Profil WP

Melalui

Pos/Kurir/

Fax

Kunjungan/

Visit

Tanggapan

Tidak ada

Tanggapan

Datang

Langsung

Secara

Tertulis

BA

Pelaksanaan

Permintaan Penjelasan

Analisa:

Dibayar?/

Pembetulan?/ Dapat Dijawab

BA

Penolakan

Permintaan Penjelasan

Virifikasi

SKPKB/ Usul

Pemeriksaan END

Ya

Tidak

Page 20: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

28

Proses yang dilakukan oleh KPP adalah sebagai berikut:

1. Data Internal dan Eksternal;

Data internal dan eksternal, seperti yang telah dijelaskan pada bagian

sebelumnya, menjadi alat bagi KPP dalam mengawasi Wajib Pajak. Setiap data yang

ada, dimasukkan dalam Profil Wajib Pajak.

2. Analisa Data;

Sesuai Profil Wajib Pajak, Account Representative akan melakukan analisa,

apakah terdapat perbedaan baik berdasarkan perbandingan data internal yang dimiliki

Wajib Pajak maupun data eksternal yang ada. Analisa data internal maupun eksternal

dibandingkan, apakah data yang dilaporkan telah sesuai dengan kegiatan usaha yang

sebenarnya.

a. Profil Wajib Pajak;

Setiap Account Representative diwajibkan membuat Profil Wajib Pajak yang

berada di bawah pengawasannya, hal ini dilakukan untuk mengenal lebih

mendalam sehingga dapat diketahui kegiatan usaha Wajib Pajak.

b. SP2DK;

Hasil Analisa data, apabila terdapat dugaan terdapat kewajiban pajak yang

belum dilakukan, akan dibuat SP2DK untuk meminta klarifikasi kepada Wajib

Pajak.

1. Melalui Pos/Jasa Kurir/Faksimili;

SP2DK dikirimkan oleh KPP melalui pos/kurir atau faksimili apabila

terkendala dengan jarak dan waktu.

Page 21: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

29

Tanggal yang berlaku adalah tanggal yang lebih dulu disampaikan antara

tanggal stempel pos, tanggal yang tercantum pada bukti pengiriman, atau

tanggal faksimili.

2. Kunjungan/Visit

SP2DK dapat dikirimkan langsung dengan melakukan kunjungan (visit) ke

lokasi kegiatan usaha Wajib Pajak dengan tujuan:

1. meminta penjelasan atas Data dan/atau Keterangan dalam rangka

penggalian potensi pajak;

2. memutakhirkan data perpajakan Wajib Pajak;

3. memberikan pembinaan berupa bimbingan penyuluhan dan konsultasi

kepada Wajib Pajak; dan/atau

4. melaksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh Kepala Kantor

Pelayanan Pajak. Tanggal yang berlaku adalah tanggal disampaikan

SP2DK secara langsung oleh KPP.

3. Tanggapan;

SP2DK yang dikirimkan melalui pos/kurir/faksimili maupun langsung

melalui kunjungan, memiliki batas waktu 14 hari sejak tanggal berlaku di

atas, dan Wajib Pajak diminta untuk memberikan tanggapan baik secara

langsung maupun tertulis.

a. Tanggapan Secara Langsung

Tanggapan secara langsung adalah dengan mendatangi KPP sesuai

SP2Dk yang dikirimkan, apakah ke Seksi Waskon II, III atau IV maupun

ke Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan.

Page 22: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

30

1. WP membawa dokumen dan bukti pendukung, untuk menyanggah

atau mengakui kebenaran data .

2. Atas tanggapan tersebut, dituangkan dalam Berita Acara

Pelaksanaan Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan

kepada Wajib Pajak (selanjutnya disebut BA Pelaksanaan

Permintaan Penjelasan). Dilakukan langkah penelitian dan analisa

lebih lanjut terhadap dokumen dan bukti pendukung yang disertakan

dalam tanggapan ini.

3. Apabila Wajib Pajak menolak menandatangani BA Pelaksanaan

Permintaan Penjelasan, maka dituangkan dalam Berita Acara

Penolakan Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan

kepada Wajib Pajak (selanjutnya disebut BA Penolakan Permintaan

Penjelasan).

4. Oleh AR/Pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan dibuatkan

LHP2DK dengan memberikan rekomendasi tindak lanjut antara lain

usulan atau tindakanverifikasi, pemeriksaan, atau usulan

pemeriksaan bukti permulaan sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan di bidang perpajakan.

a. Tanggapan Tertulis

Tanggapan tertulis dapat berupa:

1. Wajib Pajak menyampaikan SPT atau SPT pernbetulan

untuk melaporkan Data dan/atau Keterangan sesuai dengan

permintaan penjelasan dalam SP2DK, atau

Page 23: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

31

2. Wajib Pajak menyampaikan penjelasan tertulis yang

mengakui atau menyanggah kebenaran Data dan/atau

Keterangan disertai dengan bukti dan/atau dokumen

pendukung. Dilakukan langkah penelitian dan analisa lebih

lanjut terhadap dokumen dan bukti pendukung yang

disertakan dalam tanggapan ini.

b. Tidak memberikan Tanggapan

Dalam hal SP2DK tidak ditanggapi dalam jangka waktu 14 hari,

maka KPP akan melakukan:

1. memberikan perpanjangan jangka waktu permintaan

penjelasan atas Data dan/atau Keterangan kepada Wajib

Pajak berdasarkan pertimbangan tertentu, yaitu:

a. pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas

yang berkaitan dengan jarak, waktu, biaya, dan lainnya;

dan/atau

b. pertimbangan keadaan kahar (force majeur) yang

menyebabkan WP dalam keadaan sebenarnya nyata-

nyata tidak dapat memberikan tanggapan dalam jangka

waktu yang ditentukan;

2. melakukan Kunjungan (Visit) kepada Wajib Pajak; atau

3. mengusulkan agar terhadap Wajib Pajak dilakukan

verifikasi, pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan

sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang

perpajakan.

Page 24: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

32

4. Dalam hal Wajib Pajak tidak memberikan tanggapan setelah

berakhirnya batas waktu pemberian tanggapan maka

AR/Pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan

membuat Berita Acara Tidak Dipenuhinya Permintaan

Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (selanjutnya

disebut BA Tidak Dipenuhinya Permintaan Penjelasan).

c. Analisa Tanggapan Wajib Pajak, Dapat Dijawab, Dibayar,

Pembetulan.

Tanggapan Wajib Pajak baik yang didapat secara langsung

maupun tertulis, dilakukan penelitian dan analisa lebih lanjut

untuk membuktikan kebenarannya.

Penelitian dan analisa dilakukan dengan membandingkan unsur-

unsur sebagai berikut:

1. Data dan/atau Keterangan yang dimiliki dan/atau diperoleh

DJP;

2. Data dan/atau Keterangan dalam tanggapan yang

disampaikan Wajib Pajak beserta bukti atau dokumen

pendukungnya; dan

3. pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah dilakukan

Wajib Pajak.

Apabila berdasarkan penelitian dan analisis terhadap Data

dan/atau Keterangan yang dimiliki dan/atau diperoleh sebagaimana KPP

belum dapat menyimpulkan kebenaran Data dan/atau Keterangan serta

belum dapat merekomendasikan tindak lanjut yang akan dilakukan,

Page 25: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

33

maka Kepala KPP berwenang meminta kembali penjelasan atas Data

dan/atau Keterangan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu 14 (empat

belas) hari setelah jangka waktu permintaan pertama berakhir.

Hasil penelitian dan analisa lebih lanjut terhadap tanggapan

Wajib Pajak, dihasilkan rekomendasi yang dituangkan dalam LP2DHK

sebagai berikut:

1. Usulan Kasus Selesai

a. Apabila dokumen pendukung yang diberikan saat tanggapan,

telah sesuai dengan data yang diklarifikasi pada SP2DK, maka

kasus dianggap selesai dan dituangkan dalam LP2DHK.

b. Apabila terdapat kewajiban untuk menyampaikan atau

membetulkan SPT Masa/Tahunan sesuai hasil analisa, maka

dilakukan pengawasan penyampaian SPT atau SPT pembetulan

terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan.

2. Usulan Kasus dilakukan Verifikasi, Pemeriksaan atau Pemeriksaan

Bukti Permulaan.

Usulan ini dilakukan dengan kondisi sebagai berikut:

a. Wajib Pajak tidak memberikan tanggapan;

b. Wajib Pajak menyampaikan tanggapan secara langsung, namun

Wajib Pajak menolak menandatangani BA Pelaksanaan

Permintaan Penjelasan;

c. Wajib Pajak memberikan tanggapan secara langsung maupun

tertulis, berupa penjelasan atas Data dan/atau Keterangan yang

Page 26: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

34

sesuai dengan simpulan hasil penelitian dan analisis, namun

Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT atau SPT pembetulan;

d. Wajib Pajak memberikan tanggapan secara langsung maupun

tertulis, dengan menyampaikan SPT atau SPT pembetulan

dengan perhitungan pajak yang terutang tidak sesuai dengan

simpulan hasil penelitian dan analisis;

e. Wajib Pajak memberikan tanggapan dengan penjelasan atas

Data dan/atau Keterangan tidak sesuai dengan simpulan hasil

penelitian dan analisis, dan Wajib Pajak tidak mengakui

kebenaran Data dan/atau Keterangan hasil penelitian dan

analisis; atau

f. Pertimbangan lain berdasarkan kewenangan Direktorat Jenderal

Pajak.

3. Verifikasi, Usulan Pemeriksaan atau Usulan Pemeriksaan Bukti

Permulaan

Sesuai dengan penjelasan di atas, Verifikasi, Usulan Pemeriksaan

dan Usulan Bukti Permulaan, menjadi langkah akhir dari kegiatan

KPP dalam analisa data, karena hasil akhir dari verifikasi dan

pemeriksaan adalah ketetapan pajak, dan pemeriksaan bukti

permulaan dapat berupa penahanan Wajib Pajak karena adanya

unsur pidana.

a. Verifikasi

Verifikasi dalam hal ini adalah dalam rangka penerbitan Surat

Ketetapan Kurang Bayar (SKPKB) dan/ Tambahan (SKPKBT)

Page 27: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

35

sesuai PMK-146/PMK.03/2012. Penerbitan SKPKB/SKPKBT

melalui verifikasi adalah apabila terdapat data konkret yang

dijelaskan lebih lanjut sub bab berikut.

b. Usulan Pemeriksaan atau Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan

Usulan Pemeriksaan dilakukan terhadap data yang menurut

analisa kurang atau tidak konkret. Usulan Pemeriksaan Bukti

Permulaan dilakukan apabila dalam analisa terdapat indikasi

penyalahgunaan terkait pidana.

2.1.3 Account Representative (AR)

Menurut Jhon Hutagaol (2007: 22) pengertian Account Representative di

lingkungan Direktorat Jendral Pajak adalah:

”Pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang diberi kepercayaan, wewenang,

dan tanggung jawab untuk memberikan pelayanan, pembinaan, dan pengawasan secara

langsung kepada Wajib Pajak tertentu”.

Sedangkan Menurut Ricard Burton dalam Siti Resmi (2008:239) Account

Representative adalah:

”Secara khusus petugas pajak dengan sebutan AR lebih fokus pada pekerjaan

berupa:

a. menganalisa dan memonitor kepatuhan pembayaran pajak setiap Wajib Pajak

yang diawasinya (seperti Tax peyer profile/ company profile);

b. membantu mempercepat proses permohonan surat keterangan yang diperlukan

Wajib Pajak;

c. memonitor penyelesian pemeriksaan pajak dan proses keberatannya;

Page 28: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

36

d. menjawab pertanyaan Wajib Pajak atas permasalahan perpajakan serta

menginformasikan ketentuan perpajakan terbaru.”

Account Representative dapat disebut juga sebagai staf pendukung pelaksana

dalam tiap Kantor Pelayanan Pajak Modern, bertanggung jawab dalam menganalisa dan

memonitor kepatuhan Wajib Pajak melalui penyampaian SPT yang harus sesuai dengan

peraturan perundang-undangan pajak dan berwenang untuk memberikan respon yang

efektif, tepat dan benar atas pertanyaan dan permasalahan yang disampaikan Wajib

Pajak dalam pelaksanaan kewajibannya, memberikan edukasi kepada Wajib Pajak,

asistensi secara langsung, serta mendorong, memotivasi dan mengawasi pemenuhan

hak dan kewajiban Wajib Pajak yang menjadi tanggung jawab Account Representative.

Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Kinerja Account

Representative adalah hasil tingkat keberhasilan dari tugas-tugas yang di lakukan oleh

pegawai pajak yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak yang bekerja pada kantor pelayanan

pajak yang sudah menerapkan sistem perpajakan modern.

2.1.4 Efektivitas

2.1.4.1 Pengertian Efektivitas

Menurut kamus besar bahasa Indonesia keefektivan adalah keadaan

berpengaruh, keberhasilan tentang usaha atau tindakan. Menurut Ravianto dalam

Masruri (2014:11):

“Efektivitas adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana

orang menghasilkan keluaran sesuai dengan yang diharapkan. Ini berarti

bahwa apabila suatu pekerjaan dapat diselesaikan dengan perencanaan,

baik dalam waktu, biaya mau pun mutunya, maka dapat dikatakan efektif.”

Mardiasmo (2009:134) efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu

organisasi mencapai tujuannya. Menurut Sudarmayanti (1999) dalam Imam (2003:145)

Page 29: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

37

mendefinisikan efektivitas adalah untuk menyatakan bahwa kegiatan telah dilaksanakan

secara tepat dalam arti target tercapai sesuai dengan waktu yang ditetapkan dengan

menggunakan sumberdaya dan sarana yang ada.

Sedangkan menurut Amin Widjaja Tunggal (1997) dalam Imam (2003:145)

efektivitas berhubungan dengan penentuan apakah tujuan perusahaan sudaah tercapai.

Menurut Alijoyo (2000:9) dalam Eskal (2007:53) efektivitas adalah “effectiveness is a

measure of succsess in meeting asset of established goal”, hal ini dapat diartikan sebagai

ukuran mengenai seberapa baik atau seberapa tepat sasaran atau rencana yang telah

ditetapkan dapat direalisasikan.

Pengertian efektivitas secara umum menunjukkan sampai seberapa jauh

tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Hal yang perlu dicatat bahwa

efektivitas tidak menyatakan tentang berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk

mencapai tujuan tersebut, efektivitas hanya melihat apakah suatu program atau kegiatan

telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas berfokus pada outcome (hasil).

Suatu organisasi, program atau kegiatan dinilai efektif apabila output yang dihasilkan

bisa memenuhi tujuan yang diharapkan. Untuk mengetahui apakah suatu organisasi

dikatakan efektif harus diperlukan suatu indikator sebagai tolak ukur untuk mengetahui

tingkat keefektivan suatu objek.

Sedangkan menurut Halim yang dikutip dalam Mala et al (2013) formula untuk

mengukur efektivitas yang terkait dengan perpajakan adalah perbandingan antara

realisasi pajak dengan target pajak. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa

efektivitas adalah upaya suatu organisasi untuk mencapai tujuan dengan tepat waktu

dan hasil sesuai dengan yang diharapkan menggunakan sumberdaya dan sarana yaang

ditetapkan. Efektivitas organisasi merupakan merupakan suatu konsep yang penting

Page 30: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

38

untuk melihat gambar suatu organisasi karena dapat menunjukan tingkat keberhasilan

organisasi dalaam mencapai sasarannya.

2.1.4.2 Ukuran Efektivitas

Mengukur efektivitas organisasi bukanlah suatu hal yang sangat sederhana

karenaa efektivitas dapat dikaji dari berbagai sudut pandang dan tergantung pada siapa

yang menilai serta menginterprestasikannya. Tingkat efektivitas juga dapat diukur

dengan membandingkan antara rencana yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang

telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan. Namun, jika usaha atau

hasil pekerjaan dan tindakan yang dilakukan tidak tepat sehingga menyebabkan tujuan

tidak tercapai atau sasaran yang diharapkan, maka hal itu tidak dikatakan efektif. Hal

yang terpenting yang perlu dicatat bahwa efektivitas tidak menyatakan tentang berapa

besar biaya yang telah dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut, efektivitas hanya

melihat apakah suatu program atau kegiatan telah mencapai tujuan yang telah

ditetapkan. Formula untuk mengukur efektivitas yang terkait dengan perpajakan adalah

perbandingan antara realisasi penerimaan pajak dengan potensi pajak.

Efektivitas adalah kemampuan untuk menentukan tujuan yang memadai, do the

right things, dan efektivitas berhubungan dengan pencapaian tujuan tertentu (Molan,

2003:169). Formula untuk mengukur efektivitas yang terkait dengan perpajakan adalah

perbandingan antara realisasi pajak dengan target pajak (Halim, 2001). Untuk

menghitung efektivitas SP2DK digunakan formula sebagai berikut:

Efektivitas =

Realisasi Penerimaan Pajak melalui SP2DK

𝒙 𝟏𝟎𝟎%

Nilai Potensi SP2DK

Page 31: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

39

Berikut adalah indikator untuk tingkat efektivitas dari hasil perhitungan

menggunakan formula efektivitas.

Tabel 2.1 Klasifikasi Pengukuran Efektivitas

Persentase Kriteria

>100%

90-100%

80-90%

60-80%

<60%

Sangat Efektif

Efektif

Cukup Efektif

Kurang Efektif

Tidak Efektif

Sumber: Depdagri, Kepmendagri No. 690.900.327 tahun 1996

Pengukuran efektivitas organisasi dapat dilakukan dengan menggunakan

berbagai pendekatan yang berbeda, mengasumsikan bahwa organisasi akan

menugaskan input yang berasal dari lingkungannya melalui suatu proses internal

menjadi output yang akan dilemparkan kembali ke lingkungannya. Dalam berbagai

organisasi pengukuran efektivitas dilakukan melalui:

a. Pendekatan sasaran (goal approach) dalam pengukuran efektivitas memusatkan

pada output yang telah direncanakan.

b. Pendekatan sumber (resources approach) lebih memusatkan perhatian pada

input yaitu mengukur keberhasilan organisasi dalam mendapat sumber yang

dibutuhkan untuk pencapaian performa yang baik.

c. Pendekatan proses (prosess approach) lebih memusatkan perhatian pada aspek

kegiatan internal organisasi dan mengukur efektivitas melalui berbagai indikator

internal.

Pengukuran kinerja yang efektif didasarkan pada kebutuhan konsumen dan

fokus pada keinginan konsumen. Menurut Yuwono (2002:24) dalam eskal (2007)

pengukuran kinerja yang efektif yaitu:

Page 32: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

40

a. Didasarkan pada masing-masing aktivitas dan karakteristik organisasi itu sendiri

sesuai perspektif pelanggan.

b. Evaluasi atas berbagai aktivitas menggunakan ukuran-ukuran kinerja yang

customer validated.

c. Sesuai dengan seluruh aspek kinerja yang mempengaruhi pelanggan, sehingga

menghasilkan penilaian yang komprehensif.

d. Memberikan umpan balik untuk membantu seluruh organisasi mengenai

masalah yang ada kemungkinan perbaikan.

2.1.5 Kontribusi

Guritno dikutip dalam Hasbi et al (2014) menyatakan bahwa kontribusi adalah

sesuatu yang diberikan bersama-sama dengan pihak lain untuk tujuan biaya atau

kerugian tertentu atau bersama. Kontribusi dapat berupa materi atau tindakan.

Kontribusi disini dapat diartikan sebagai sumbangan yang diberikan dari kegiatan

penerbitan SP2DK terhadap penerimaan pajak. Untuk menghitung kontribusi

penerimaan pajak yang berasal dari penerbitan SP2DK digunakan fomula sebagai

berikut:

Kontribusi =

Realisasi Penerimaan Pajak melalui SP2DK

𝒙 𝟏𝟎𝟎%

Penerimaan Pajak di KPP

Page 33: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

41

Untuk mengetahui kontribusi dari hasil perhitungan dengan menggunakan

formula di atas digunakan klasifikasi kriteria kontribusi seperti dijabarkan dalam tabel

sebagai berikut.

Tabel 2.2 Klasifikasi Kriteria Kontribusi

Persentase Kriteria

0,00-10%

10,10-20%

20,10-30%

30,10-40%

40,10-50%

>50%

Sangat Kurang

Kurang

Sedang

Cukup Baik

Baik

Sangat Baik

Sumber: Depdagri, Kepmendagri No. 690.900.327 tahun 1996

2.1.6 Target Penerimaan Pajak

Penerimaan pajak merupakan jumlah iuran yang dibayar oleh masyarakat

dimana dipungut berdasarkan undang-undang yang berlaku, diterima oleh negara dalam

suatu masa yang nantinya digunakan oleh negara untuk membayar pengeluaran negara

berupa pemeliharaan berbagai fasilitas yang digunakan untuk kepentingan umum.

Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso

Brotodiharjo dalam bukunya Waluyo (2013:2):

“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang

oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak

mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya

adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan

tugas Negara yang menyelenggarakan pemerintahan.”

Definisi Penerimaan Pajak Menurut Suharno (2012) :

“Penerimaan pajak adalah penghasilan yang diperoleh oleh pemerintah yang

bersumber dari pajak rakyat. Tidak hanya sampai pada definisi singkat diatas

bahwa dana yang diterima di kas negara tersebut akan dipergunakanuntuk

pengeluaran pemerintah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Page 34: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

42

Definisi Penerimaan Pajak Menurut Suryadi (2011:105) :

”Penerimaan pajak merupakan sumber pembiayaan negara yang dominan baik

untuk belanja rutin maupun pembangunan”.

Dari pengertian tersebut bahwa penerimaan dapat menjadi sumber pembiayaan

pembangunan untuk menunjang kemandirian pembiayaan pemerintah dan dilaksanakan

secara efektif dan efisien. Penerimaan pajak merupakan perkiraan penerimaan

berdasarkan analisa makro dan mikro sebagai bahan pembagian target penerimaan

kantor pelayanan pajak. Target penerimaan pajak merupakan rencana besarnya

penerimaan pajak yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai dana yang

dipersiapkan untuk Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Target penerimaan pajak dibebakan pada masing-masing Account

Representative berdasarkan beban penerimaan seksi pengawasan dan konsultasi yang

disusun berdasarkan realisasi penerimaan per Account Representative tahun

sebelumnya. Setiap Account Representative bertanggungjawab untuk merealisasikan

penerimaan pajak berdasarkan potensi wilayah kerjanya, khususnya untuk peerimaan

pajak rutin.

Page 35: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

43

2.2 Penelitian Sebelumnya

Adapun hasil dari penelitian Sebelumnya mengenai topik yang berkaitan dengan

penelitian ini dapat dilihat dalam tabel. 2.3

Tabel 2.3 Penelitian Sebelumnya

No. Judul Penelitian Nama

Peneliti Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan

1. Analisis Efektivitas

Surat Himbauan Atau

Surat Permintaan

Penjelasan Atas Data

Atau Keterangan

(Sp2Dk) Terhadap

Penerimaan Pajak

Pada Kpp Pratama

Manado

Fergie

Veronica

Parmono,

2016

1. Hasil perhitungan dari

kegiatan penerbitan surat

himbauan atau SP2DK

yang dilaksanakan oleh

KPP Pratama Manado

berdasarkan klasifikasi

pengukuran efektivitas,

untuk tahun 2013 yaitu

40,30% atau tidak efektif,

tahun 2014 yaitu 72,74%

atau kurang efektif dan

tahun 2015 yaitu 25,65%

atau tidak efektif.

2. Kontribusi dari kegiatan

penerbitan surat

himbauan atau SP2DK

terhadap penerimaan

pajak di KPP Pratama

Manado berdasarkan

klasifikasi kriteria

kontribusi tergolong

sangat kurang karena

berada pada kisaran

0,00% s.d. 10%. Terbukti

dari presentase kontribusi

yang dicapai pada tahun

2013 yaitu 1.83% atau

sangat kurang, tahun

2014 yaitu 7.63% atau

sangat kurang dan tahun

2015 yaitu 5.88% atau

sangat kurang

1. Metode penelitian

deskriptif kuantitatif.

2. Objek Penelitian

SP2DK yang

diterbitkan oleh

Kantor Pelayanan

Pajak

3. Menggunaan formula

efektivitas dan

kontribusi

1. Unit Analisi pada

Kantor Pelayanan

Pajak Pratama

Menado

2. Periode pengamatan

2013-1015

2. Analisis Efektivitas

Surat Himbauan Atau

Surat Permintaan

Penjelasan atas Data

dan atau Keterangan

(SP2DK) Terhadap

Penerimaan Pajak

Pada KPP Pratama

Setiabudi Dua

Ade

Santika,

2017

1. Berdasarkan indikator

pengukuran efektivitas,

dapat disimpulkan bahwa

penerimaan pajak

melalui surat himbauan

tahun 2013, 2014, dan

2015 pada KPP Pratama

Jakarta Setiabudi Dua

tergolong tidak efektif.

2. Berdasarkan klasifikasi

kriteria kontribusi, dapat

disimpulkan bahwa

kontribusi penerimaan

pajak melalui surat

himbauan atau SP2DK

tahun 2013, 2014, dan

tahun 2015 pada KPP

Pratama Jakarta

Setiabudi Dua masih

tergolong sangat kurang.

4. Metode penelitian

deskriptif kuantitatif.

5. Objek Penelitian

SP2DK yang

diterbitkan oleh

Kantor Pelayanan

Pajak

6. Menggunaan formula

efektivitas dan

kontribusi

3. Unit Analisi pada

Kantor Pelayanan

Pajak Pratama

Jakarta Setia Budi

Dua

4. Periode pengamatan

2013-1015

Page 36: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

44

2.3 Kerangka Pemikiran

Untuk memperjelas pelaksanaan penelitian dan sekaligus untuk mempermudah

dalam pemahaman, maka diperlukan suatu kerangka pemikiran sebagai landasan dalam

pemahaman. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam

Gambar 2.3

PAJAK

Sistem Perpajakan

With Holding System

Self Assesment System Official Assesment System

Kendala/Hambatan

Ditemui harta Wajib Pajak yang tidak

pernah dilaporkan dalam SPT Tahunan

Pertambahan nilai bangunan yang

cukup signifikan sehingga berpotensi

terutang PPN

Penerimaan Pajak belum optimal

Intensifikasi Ekstensifikasi Realisasi Penerimaan Pajak

Memaksimalkan data profil Wajib

Pajak seperti data pelaporan SPT,

pembayaran Pajak

Mengoptimalkan data hasil

pengamatan di lapangan

Account Representative (AR)

Surat Himbauan atau Surat

Permintaan Penjelasan atas

Dataatau Keterangan (SP2DK)

Penerimaan Pajak Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

Page 37: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - UNMUHA

45

Indonesia menganut tiga sistem pemungutan pajak (Waluyo, 2013:16), yaitu :

1) Official Assessment System, sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan

Pemerintah (Fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. 2) Self

Assessment System, merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang,

kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung,

memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus

dibayarnya ke Kantor Pelayanan Pajak. 3) Witholding System, sistem pemungutan pajak

yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut

besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

Dalam penerapannya, perpajakan di Indonesia memiliki kendala dan hambatan.

Terdapat sebagian masyarakat memenuhi kewajiban perpajakan dengan melaporkan

harta dan penghasilan dengan kondisi yang tidak sebenarnya. Hal ini mengakibatkan

Penerimaan Pajak menjadi tidak optimal. Dalam rangka meningkatkan penerimaan,

Direktorat Jenderal Pajak melakukan usaha intensifikasi dan ekstensfikasi, salah satu

usaha intensifikasi yang gencar dilakukan adalah memaksimalkan data profil Wajib

Pajak seperti data pelaporan SPT, pembayaran Pajak, data hasil pengamatan di lapangan

dan data lainnya yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Kegiatan intensifikasi ini dilakukan oleh Account Representatif melalui

penelitian dan penggalian potensi atas data-data yang tersedia dengan menerbitkan

Surat Himbauan atau Surat Permintaan Penjelasan atas Data daan atau Keterangan

(SP2DK) kepada Wajib Pajak, sehingga dapat meningkatan penerimaan pajak.