bab ii landasan teori a. kajian teori 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3227/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Siswa SMA
a. Pengertian Siswa SMA Sebagai Remaja Pertengahan
Masa SMA yang memiliki rentan usia 15-18 tahun bisa dikatakan
merupakan masa peralihan seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa
dewasa atau lebih sering kita kena; dengan istilah masa remaja. Masa Remaja
merupakan suatu tahap transisi menuju ke status yang lebih tinggi yaitu status
sebagai orang dewasa. Berdasarkan teori perkembangan, masa remaja adalah
masa saat terjadinya perubahan perubahan yang cepat, termasuk perubahan
fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan pencapaian (Fagan, 2006).
Dalam bukunya Psikologi Perkembangan (2011: 26), Hurlock menjelaskan
bahwa istilah remaja atau adolescence berasal dari kata lain adolescere yang
berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence, mempunyai
arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, intelektual, emosional, sosial,
dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh piaget bahwa secara psikologis, masa
remaja merupakan usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa,
di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua
melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurannya dalam masalah
hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek afektif yang
kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Perubahan intelektual yang khas
dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam
hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang
umum dari periode perkembangan ini.
Partini (1996: 121) mengartikan remaja pada usia 18 tahun (adolescence)
merupakan masa yang secara hukum dipandang sudah matang, yang merupakan
masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang mencakup
perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional yang terjadi berkisar dari
perkembangan fungsi seksual, proses berpikir abstrak sampai pada kemandirian.
Menurut Deswita (2006:192), juga mengungkapkan bahwa masa remaja
menunjukkan sifat-sifat masa transisi atau peralihan dengan jelas, karena remaja
belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memilih status kanak-
kanak. Remaja berada dalam status interim sebagai akibat dari posisi yang
sebagian diberikan oleh orang tua dan sebagian lagi diperoleh melalui usaha
sendiri yang selanjutnya memberikan prestise tertentu padanya. Status interim
berhubungan dengan masa peralihan yang timbul sesudah pemasakan seksual
(pubertas). Masa peralihan tersebut diperlukan untuk mempelajari bahwa remaja
mampu memikul tanggung jawabnya nanti dalam masa dewasa. Makin maju
masyarakatnya makin sukar tugas remaja untuk mempelajari tannggung jawab ini.
Suatu pendidikan yang emansipatoris akan berusaha untuk melepaskan remaja
dari status interim-nya supaya ia dapat menjadi dewasa yang bertanggung jawab.
b. Ciri-ciri Siswa SMA Sebagai Remaja Pertengahan
Siswa SMA yang termasuk masa remaja akhir ini mempunyai ciri-ciri
tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya (Hurlock,
2011: 38-49). Ciri-ciri yang khas pada masa ini akan mendasari timbulnya
kecemasan pada diri remaja, dalam penelitian ini khususnya kecemasan dalam
menghadapi mata pelajaran matematika. Ciri-ciri tersebut akan diterangkan secara
singkat di bawah ini:
1) Masa remaja sebagai periode peralihan
Pada masa ini, apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan
bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang. Menurut Hurlock
(2011: 38), menjelaskan bahwa struktur psikis anak remaja berasal dari masa
kanak-kanak. Selain itu, perubahan fisik yang terjadi selama tahun awal masa
remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu.
Menurut John W. Santrock (2003: 26), masa remaja adalah masa
perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup
perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional. Perubahan biologis,
kognitif, dan sosial emosional yang terjadi berkisar dari perkembangan fungsi
seksual, proses berpikir abstrak sampai pada kemandirian.
Hal serupa diungkapkan oleh Rumini dan Siti Sundari (2004: 53),
bahwa masa remaja menunjukkan sifat-sifat masa peralihan dengan jelas,
karena remaja belum memperolah status orang dewas tetapi tidak lagi
memiliki status kanak-kanak. Remaja berada dalam status interim sebagai
akibat dari posisi yang sebagian diberikan oleh orang tua dan sebagian lagi
diperoleh melalui usaha sendiri yang selanjutnya memberikan prestise tertentu
padanya. Hal ini membuat status remaja tidak jelas, sehingga terdapat
keraguan akan peran yang harus dilakukan (Hurlock,2011: 40).
Masa peralihan tersebut diperlukan untuk mempelajari bahwa remaja
mampu memikul tanggung jawabnya nanti dalam masa dewasa. Makin maju
masyarakatnya makin sukar tugas remaja untuk mempelajari tanggung jawab
ini. Suatu pendidikan yang emansipatoris akan berusaha untuk melepaskan
remaja dari status interim-nya supaya ia dapat menjadi dewasa yang
bertanggung jawab. Di sini, seorang remaja dituntut harus “meninggalkan
segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan” dan mempelajari pola perilaku
dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah
ditinggalkan.
Pada periode peralihan ini, dimungkinkan siswa SMA sebagai remaja
akhir, mengalami kecemasan, dalam penelitian ini khususnya kecemasan
dalam menghadapi mata pelajaran matematika. Kecemasan-kecemasan yang
mungkin timbul dapat disebabkan oleh: pertama, karena pengalaman masa lalu
remaja mempengaruhi apa yang terjadi saat ini dan yang akan datang. Kedua,
makin sukarnya tugas remaja untuk mempelajari tanggung jawab dalam
dewasa.
2) Masa remaja sebagai periode perubahan
Adanya perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh
kelompok sosial, menimbulkan masalah baru bagi remaja. Bagi remaja awal,
masalah baru yang timbul lebih banyak dan lebih sulit diselesaikan
dibandingkan masalah yang dihadapi sebelumnya. Remaja akan tetap merasa
ditumbuhi masalah, sampai ia sendiri mampu menyelesaikannya sendiri.
Selain itu, sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap
perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi mereka
sering takut tanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan
mereka untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut (Hurlock, 2011: 44).
Pada periode ini, dimungkinkan siswa SMA mengalami kecemasan.
Hal ini dilatarbelakangi oleh timbulnya masalah baru, di mana masalah yang
timbul ini lebih banyak dan lebih sulit diselesaikan dibandingkan masalah
yang sebelumnya pernah alami. Selain itu, sikap yang ambivalen yaitu
keinginan untuk mendapatkan kebebasan dan adanya ketakutan untuk
bertanggung jawab akan akibatnya serta meragukan kemampuan mereka untuk
mengatasi tanggung jawab tersebut.
3) Masa remaja sebagai usia bermasalah
Masa remaja sering terjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak
laki-laki maupun anak perempuan. Ada dua alasan adanya kesulitan tersebut.
Pertama, kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah
mereka sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru sepanjang masa
kanak-kanak. Kedua, karena para remaja merasa diri mereka mandiri,
sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan
orang tua dan guru-guru (Hurlock, 2011: 48).
Alasan-alasan tersebut memungkinkan siswa SMA mengalami
kecemasan. Hal ini disebabkan karena mereka merasa mandiri, ingin
menyelesaikan masalahnya sendiri dan menolak bantuan orang lain terutama
orang tua dan guru-guru (Hurlock, 2011: 49)
4) Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Menurut Hurlock (1991: 50), mengungkapkan bahwa banyak anggapan
populer tentang remaja yang sebagian besar bersifat negatif. Stereotip budaya
mengganggap bahwa remaja merupakan anak-anakyang tidak rapi, tidak dapat
dipercaya, cenderung merusak, dan berperilaku merusak. Anggapan ini
menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi
kehidupan remaja takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik
terhadap perilaku remaja yang normal.
Stereotip populer ini mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja
terhadap dirinya sendiri. Menurut Hurlock (1991: 51), penerimaan stereotip ini
dan meyakini bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang
mereka membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit.
Stereotip populer terhadap diri remaja yang bersifat negatif ini
mempengaruhi konsep diri remaja menjadi negatif pula, misalnya mereka
menjadi memiliki citra diri seperti anggapan orang-orang dewasa terhadap
mereka. Hal ini dimungkinkan menimbulkan kecemasan dalam diri remaja.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya remaja,
khususnya remaja akhir memiliki potensi untuk mengalami kecemasan. Hal ini
terlihat dari beberapa ciri yang khas pada masa remaja, antara lain: pertama,
masa remaja sebagai periode peralihan. Pada masa ini, pengalaman masa lalu
remaja mempengaruhi apa yang terjadi saat ini dan yang akan datang. Selain
itu, makin sukarnya tugas remaja untuk mempelajari tanggung jawab dalam
masa dewasa.
Kedua, masa remaja sebagai periode perubahan. Pada masa ini remaja
menghadapi masalah baru yang lebih banyak dan lebih sulit diselesaikan
dibandingkan masalah yang sebelumnya pernah dialami. Selain itu, remaja
memiliki sikap yang ambivalen di mana di satu sisi remaja ingin mendapatkan
kebebasan, sedangkan di sisi lain ada ketakutan untuk bertanggung jawab akan
akibatnya. Mereka juga meragukan kemampuan mereka untuk mengatasi
tanggung jawab tersebut.
Ketiga, masa remaja sebagai usia bermasalah. Pada masa ini mereka
merasa mandiri, ingin menyelesaikan masalahnya sendiri dan menolak
bantuan orang lain terutama orang tua dan guru-guru mereka, padahal
sebenarnya sebagian besar dari mereka tidak memiliki pengalaman dalam
mengatasi masalah karena sepanjang masa kanak-kanak orang tua dan guru-
guru selalu terlibat dalam mengatasi masalah mereka. Keempat, masa remaja
sebagai usia yang menimbulkan ketakutan. Pada masa ini konsep diri remaja
negatif, mereka merasa diri mereka tidak rapi, tidak bisa dipercaya, cenderung
merusak, dan berperilaku merusak.
a. Karakteristik Perkembangan Siswa SMA Sebagai Remaja Pertengahan
Siswa SMA sebagai remaja Pertengahan memiliki beberapa karakteristik
perkembangan (Santrock, 2003: 31-39). Karakteristik-karakteristik tersebut dapat
melatarbelakangi seorang siswa SMA mengalami kecemasan, dalam penelitian ini
khususnya kecemasan dalam menghadapi mata pelajaran matematika.
Karakteristik-karakteristik tersebut, antara lain:
1) Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget. remaja berada pada tahap pemikiran operasional
formal. Menurut Piaget, tahap operasional formal (formal operational stage)
merupakan tahap keempat dan terakhir dari tahap perkembangan kognitif,
yang muncul sekitar usia 15 sampai 18 tahun. Secara lebih nyata, pemikiran
operasional formal bersifat lebih abstrak daripada pemikiran operasional
konkret. Remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman nyata dan konkret
sebagai landasan berpikirnya. Mereka mampu membayangkan situasi rekaan
dan kejadian yang semata-mata berupa kemungkinan hipotesis ataupun
proporsi abstrak, dan mencoba mengolahnya dengan pemikiran logis
(Santrock, 2003: 31).
Remaja yang normal seharusnya mampu membayangkan situasi rekaan
dan kejadian yang semata-mata berupa kemungkinan hipotesis ataupun
proporsi abstrak, dan mengolahnya dengan pemikiran logis pada tahap ini.
Bagi remaja yang belum mampu, dapat menimbulkan kecemasan dalam
dirinya.
2) Perkembangan Sosial Emosional
a) Konflik orang tua-remaja
Masa akhir remaja merupakan waktu di mana konflik orang tua-
remaja meningkatkan lebih dari konflik orang tua-anak (Santrock, 2003:
33). Peningkatan ini bisa terjadi karena beberapa faktor yang melibatkan
pendewasaan remaja dan pendewasaan orang tua, meliputi: perubahan
biologis pubertas, perubahan kognitif termasuk peningkatan idealisme dan
penalaran logis, perubahan sosial yang berpusat pada kebebasan dan jati
diri, harapan yang tak tercapai, dan perubahan fisik, kognitif, dan sosial
orang tua. Adanya konflik antara orang tua-remaja ini memungkinkan
timbulnya kecemasan, baik bagi orang tua maupun remaja.
b) Otonomi dan keterikatan
Pada awal masa remaja, sebagian besar individu tidak mempunyai
pengetahuan untuk membuat keputusan yang tepat atau dewasa pada
semua sisi kehidupan. Hal ini bisa menimbulkan kecemasan bagi remaja.
Bersamaan dengan mendesaknya remaja untuk mendapatkan otonomi,
orang dewasa yang bijaksana melepaskan kendali di bidang mana remaja
dapat membuat keputusan yang pantas dan terus mendampingi remaja
pada bidang di mana pengetahuan remaja lebih terbatas. Secara bertahap,
remaja akan memperoleh kemampuan untuk membuat keputusan yang
dewasa sendiri.
Di sisi lain, keterikatan yang aman pada masa bayi merupakan
pokok bagi perkembangan kecakapan sosial. Keterikatan yang aman
diteorikan sebagai landasan penting bagi perkembangan psikologis
berikutnya pada masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa sedangkan
keterikatan tak aman diteorikan berkaitan dengan kesulitan berhubungan
dan masalah-masalah perkembangan selanjutnya.
Keterikatan pada orang tua selama masa remaja dapat memiliki
fungsi adaptif untuk menyediakan dasar rasa aman di mana remaja dapat
mengeksplorasi dan menguasai lingkungan baru serta dunia sosial yang
makin luas dalam kondisi psikologi yang sehat secara psikologis
(Santrock, 2003: 38-43). Keterikatan yang aman dengan orang tua dapat
membantu remaja dari kecemasan dan kemungkinan perasaan tertekun
atau ketegangan emosi yang berkaitan dengan transisi dari masa kanak-
kanak menuju dewasa. Keterikatan yang tidak aman dengan orang tua
akan menimbulkan kecemasan dan perasaan tertekun pada diri remaja.
c) Teman sebaya
i) Fungsi kelompok teman sebaya
Teman sebaya adalah individu yang tingkat kematangan dan
umurnya kurang lebih sama. Teman sebaya menyediakan sarana untuk
perbandingan secara sosial dan sumber informasi tentang dunia di luar
keluarga. Hubungan teman sebaya diperlukan untuk perkembangan
sosial yang normal pada masa remaja. Ketidakmampuan remaja untuk
“masuk” ke dalam suatu lingkungan sosial pada masa kanak-kanak
atau masa remaja dihubungkan dengan berbagai masalah dan
gangguan. Salah satunya menimbulkan kecemasan pada remaja.
ii) Popularitas, pengabaian, dan penolakan teman sebaya
Kemampuan mendengar, komunikasi yang efektif, menjadi diri
sendiri, bahagia, menunjukkan antusias dan perhatian kepada orang
lain, serta memiliki rasa percaya diri tapi tidak menjadi sombong,
merupakan kriteria dari popularitas di antara teman sebaya. Remaja
yang diabaikan mendapatkan perhatian yang sedikit dari teman sebaya
mereka, sementara mereka yang ditolak tidak begitu disukai oleh
teman sebaya mereka. Pada remaja yang ditolak akan berisiko terhadap
masalah perkembangan mereka. Hal ini dapat menimbulkan
kecemasan pada remaja.
iii) Kelompok remaja
Kelompok berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pribadi
remaja, memberikan penghargaan kepada mereka, memberikan
informasi, menaikkan harga diri mereka dan memberikan identitas
kepada mereka. Ada hal yang dipandang berperan penting dalam usaha
remaja untuk mempertahankan harga diri dan perkembangan
identitasnya, yaitu klik. Klik merupakan kelompok dengan jumlah
yang lebih kecil, yang melibatkan keakraban yang lebih besar di antara
anggota dan lebih kohesif daripada kerumunan, tetapi klik memiliki
ukuran yang lebih besar dan tingkat keakraban yang rendah daripada
persahabatan.
Remaja yang tidak memiliki kelompok tidak memiliki media
untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka, untuk memberi
penghargaan kepada mereka, untuk memberikan informasi, menaikkan
harga diri mereka dan memberikan identitas kepada mereka. Hal ini
memungkinkan timbulnya kecemasan pada diri remaja.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang remaja pada
dasarnya memiliki karakteristik-karakteristik perkembangan tertentu, di
mana ada beberapa karakteristik yang dapat memungkinkan seorang
remaja mengalami keemasan. Karakteristik-karakteristik tersebut, antara
lain: pertama, perkembangan kognitif, di mana remaja mampu
membayangkan situasi rekaan dan kejadian yang semata-mata berupa
kemungkinan hipotesis ataupun proporsi abstrak, dan mengolahnya dengan
pemikiran logis pada tahap ini. Bagi remaja yang belum mampu, dapat
menimbulkan kecemasan di salam dirinya.
Kedua, perkembangan sosial emosional, di mana pada tahap ini ada
beberapa hal yang penting yang dapat menimbulkan kecemasan pada
remaja, antara lain: terjadi konflik antara orang tua-remaja, sebagian besar
remaja tidak mempunyai pengetahuan untuk membuat keputusan yang
tepat pada semua sisi kehidupan, dan adanya keterikatan yang tidak aman
dengan orang tua. Selain itu, ketidakmampuan remaja untuk “masuk” ke
dalam suatu lingkungan sosial pada masa kanak-kanak atau masa remaja
dapat menimbulkan masalah dan gangguan, misalnya kecemasan. Remaja
sering menganggap popularitas, pengabaian, dan penolakan teman sebaya,
merupakan hal yang penting, di mana penolakan akan berisiko terhadap
masalah perkembangan mereka yaitu menimbulkan kecemasan pada
remaja. Selain itu, remaja yang tidak memiliki kelompok tidak memiliki
media untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka, untuk memberi
penghargaan kepada mereka, memberikan informasi, menaikkan harga diri
mereka dan memberikan identitas kepada mereka. Hal ini memungkinkan
timbulnya kecemasan pada diri remaja.
2. Kecemasan
a. Pengertian Kecemasan
Kecemasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perasaan
tidak tentram, khawatir, dan gelisah. Kecemasan merupakan gangguan psikologi
yang bersifat wajar dan dapat timbul kapan dan dimanapun. Setiap orang pasti
pernah menggalami kecemasan dengan tingkat yang berbeda-beda. Rasa cemas
bila muncul dikarenakan terdapat suatu keadaan yang harus dihadapi atau
diselesaikan. Gunarso mengemukakan kecemasan merupakan kekuatan yang besar
untuk menggerakkan tingkah laku baik tingkah laku normal ataupun tingkah laku
yang menyimpang, yang terganggu dan keduanya merupakan pernyataan,
penampilan, penjelmaan, dan pertahanan terhadap rasa cemas yang muncul.
Darajat mengatakan kecemasan adalah menifestasi dari berbagai proses
emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan
perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Dimana tekanan perasaan
(frustasi) adalah suatu keadaan dari berbagai proses emosi yang bercampur yang
dapat menghambat seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Taylor
dalam Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS) yang dikutip Anita mengemukakan
bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan
mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan
mengatasisuatu masalah atau tidak adanya rasa aman (Anita, 2014: 127). Tidak
jauh berbeda dari TMAS, Suharyadi berpendapat bahwa kecemasan akan muncul
ketika siswa merasa tidak siap mental dan tidak dapat mengontrol emosinya pada
saat menghadapi suatu persoalan dalam lingkungan yang tidak kondusif
(Suharyadi, 2003).
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa
kecemasan adalah Gejala emosi yang memberikan perasaan tidak nyaman, rasa
takut, rasa khawatir, rasa gelisah, rasa tidak menyenangkan akan sesuatu yang
akan terjadi yang dirasa mengancam, yang dapat ditimbulkan dari lingkungan atau
keadaan yang tidak kondusif dan menimbulkan perasaan tertekan (frustasi) yang
dapat menghambat seseorang untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan.
b. Teori Penyebab Kecemasan
Terdapat beberapa teori yang menyebabkan munculnya kecemasan,
diantaranya adalah teori menurut Stuart dan Sundeen (1998:177-179), yaitu:
1) Teori Psikoanalitis
Kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi pada dua elemen
kepribadian yaitu id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls
primitif, sedangkan superego mencerminkan hati nurani dan dikendalikan oleh
norma budaya. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang
bertentangan tersebut, dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa
ada bahaya.
2) Teori Interpersonal
Kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap ketidaksetujuan dan
penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan
trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kerentanan
tertentu.
a) Teori Perilaku
Kecemasan merupakan produk tekanan mental yaitu segala sesuatu
yang mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Kecemasan dianggap sebagai suatu dorongan yang dipelajari
berdasarkan keinginan dalam diri untuk menghindari kepedihan. Para ahli
meyakini bahwa adanya hubungan timbal balik antara konflik dan
kecemasan, yaitu konflik menimbulkan kecemasan, dan kecemasan
menimbulkan perasaan tidak berdaya, yang pada gilirannya meningkatkan
konflik yang dirasakan.
b) Teori Keluarga
Teori keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan biasanya
terjadi dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara
gangguan kecemasan dan depresi.
c) Teori Biologis
Teori biologis menunjukkan bahwa kesehatan umumindividu dan
riwayat kecemasan pada keluarga memiliki efek nyata sebagai predisposisi
kecemasan. Kecemasan mungkin disertai dengan gangguan fisik dan
selanjutnya menurunkan kemampuan individu untuk mengatasi stressor.
c. Gejela-gejala Kecemasan
Menurut Stuart dan Sundeen kecemasan dapat diekspresikan secara
langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku (1998: 111).
1) Gejala kecemasan fisiologis, dintaranya adalah kardiovaskular (jantung
berdebar dan rasa ingin pingsan), pernafasan (sesak nafas, tekanan pada dada,
dan sensasi tercekik), neuromuskular (insomnia, mondar-mandir, dan wajah
tegang), gastrointestinal (nafsu makan hilang, mual, dan diare), saluran
perkemihan (tidak dapat menahan kencing), dan kulit (berkeringat, wajah
memerah, dan rasa panas dingin pada kulit).
2) Gejala kecemasan perilaku yang meliputi kognitif dan afektif. Perilaku
kognitif diantaranya adalah perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa,
salah memberikan penilaian, hambatan berfikir, kehilangan objektivitas,
bingung, takut, dan mimpi buruk. Perilaku afektif diantaranya adalah mudah
terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup, ngeri, khawatir, rasa bersalah,
dan malu.
Harry berpendapat dalam buku yang berjudul Abnormal Psychology
bahwa terdapat empat tipe gajala kecemasan, yaitu: somatik simptoms, emotional
symptoms, cognitive simptoms, dan behavioral symptoms (2007:220).
1) Somatik, yaitu gejala kecemasan yang berhubungan dengan gerakan secara
sadar, meliputi: merinding, otot tegang, denyut jantung meningkat, bernafas
tak teratur, menarik nafas, pupil melebar, asam lambung meningkat, air liur
menurun dan lain sebagainya.
2) Emosional, yaitu gejala kecemasan yang berhubungan dengan emosi, meliputi:
rasa takut, rasa diteror, gelisah, dan lekas marah.
3) Kognitif, yaitu gejala kecemasan yang berhubungan dengan faktor kognitif,
meliputi: antisipasi dari bahaya, konsentrasi terganggu, rasa khawatir, suka
termenung, kehilangan control, rasa takut mati, dan berpikir tidak realistik.
4) Tingkah laku, meliputi: melarikan diri, menghindari, membeku, dan lain
sebagainya.
d. Tingkat Kecemasan
Stuart dan Sundeen (1998: 112-113) menjelaskan ada empat tingkat
kecemasan, yaitu kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan berat, dan
panik.
1) Kecemasan ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam
kehidupan sehari-hari, kecemasan ini menyebabkan individu menjadi
waspada dan meningkatkan lapang persepsinya. Kecemasan ringan dapat
memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.
Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel,
lapangan persepsi meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar,
motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi.
Adapun indikator dari kecemasan ringan, yaitu:
a) Respon Fisiologis
i) Nadi dan tekanan darah naik.
ii) Gejala ringan pada lambung.
iii) Muka berkerut dan bibir gementar.
iv) Sering mengeluarkan napas pendek.
b) Respon Kognitif
i) Mampu menerima rangsangan yang kompleks.
ii) Menyelesaikan masalah secara efektif.
iii) Dapat berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi.
iv) Menumbuhkan persepsi yang luas.
c) Respon Perilaku dan Emosi
i) Tidak dapat duduk dengan tenang.
ii) Tremor halus pada tangan.
iii) Suara kadang-kadang meninggi.
2) Kecemasan sedang
Kecemasan sedang memungkinkan individu untuk berfokus pada
hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Kecemasan ini
mempersempit lapang persepsi individu, sehingga seseorang mengalami
perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah.
Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat,
kecepatan denyut jantung dan pernafasan meningkat, ketegangan otot
meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit,
mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan konsentrasi
menurun, perhatian selektif dan berfokus pada rangsangan yang tidak
menambah kecemasan, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa,
marah dan menangis.
Adapun indikator dari kecemasan sedang, yaitu:
a) Respon Fisiologis
i) Mulut kering.
ii) Nadi berdenyut cepat dan tekanan darah naik.
iii) Kehilangan selera makan (Anorexia)
iv) Diare/konstipasi.
v) Gelisah.
b) Respon Kognitif
i) Persepsi menyempit.
ii) Rangsang dari luar tidak mampu diterima.
iii) Berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya.
iv) Mudah lupa.
c) Respon Perilaku dan Emosi
i) Selalu melakukan gerakan tersentak-sentak (meramas tangan).
ii) Bicara banyak dengan durasi lebih cepat.
iii) Perasaan tidak nyaman.
iv) Mudah tersinggung.
3) Kecemasan berat
Kecemasan berat sangat mengurangi lapang persepsi individu.
Individu dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada
sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berfikir tentang hal lain.
Semua perilaku ditunjukkan untuk mengurangi ketegangan. Manifestasi
yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala,
nausea, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan
persepsi menyempit, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada
dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasan tinggi,
perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi.
Adapun indikator dari kecemasan berat, yaitu:
a) Respon Fisiologis
i) Sering bernafas pendek.
ii) Nadi dan tekanan darah naik.
iii) Berkeringat dan sakit kepala.
iv) Penglihatan kabur.
v) Kekhawatiran berlebih.
b) Respon Kognitif
i) Persepsi sangat menyempit.
ii) Tidak mampu menyelesaikan masalah.
iii) Tiba-tiba lupa.
c) Respon Perilaku dan Emosi
i) Perasaan ancaman meningkat.
e. Kecemasan Matematika
Kecemasan matematika atau mathematics anxiety adalah rasa cemas
yang muncul saat berinteraksi dengan matematika. Ashcraft (2002: 1)
mengatakan kecemasan matematika adalah sebuah perasaan tegang, cemas
atau ketakutan yang mengganggu kinerja matematika. Siswa yang mengalami
kecemasan matematika cenderung menghindari situasi dimana mereka harus
mempelajari dan mengerjakan matematika.
Kecemasan matematika ialah respon emosional terhadap matematika
saat mengikuti kelas matematika, menyelesaikan masalah matematika, dan
mendiskusikannya. Freedman mengemukakan kecemasan matematika sebagai
“an emotional future to mathematics based on past unpleasant experience
which harms future learning”. Kecemasan matematika adalah sebuah reaksi
emosional terhadap matematika yang didasari oleh pengalaman masa lalu
yang tidak menyenangkan yang mana akan menggangu pembelajaran
selanjutnya. Sementara itu Richardson dan Suinn yang dikutip oleh Muhmood
dan Khatoon (2011: 170) mendefinisikan kecemasan matematika sebagai
perasaan tertekan dan cemas yang menggangu menipulasi masalah matematika
baik itu dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam kehidupan akademik.
Sejalan dengan Wahyudin (2010:7) mendefinisikan kecemasan matematika
sebagai perasaan-perasaan tegang dan cemas yang mencampuri manipulasi
bilangan-bilangan dan pemecahan masalah matematis dalam beragam situasi
kehidupan sehari-hari dan situasi akademik. Siswa yang mengalami
kecemasan terhadap matematika merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak
bisa mempelajari materi matematika dan mengerjakan soal-soal matematika.
Sebagai suatu gejala emosi, kecemasan dapat terlihat dari berbagai
perilaku psikis ataupun fisik yang ditunjukkan. College et al. dalam Blazer
mengatakan kecemasan matematika dapat terlihat dari gejala fisik seperti:
detak jantung yang meningkat, tangan yang berkeringat dan sakit perut, gejala
psikologi sperti; tidak bisa berkonsentrasi dan merasakan ketidakberdayaan,
khawatir dan gejala tingkah laku seperti; menghindari kelas matematika, tidak
menyelesaikan tugas matematika dan tidak belajar matematika secara rutin.
Berdasarkan beberapa definisi kecemasan matematika diatas, dapat
dikatakan bahwa kecemasan matematika adalah reaksi emosional siswa berupa
rasa takut, tegang, rasa gelisah dan tertekan saat berhadapan atau berinteraksi
dengan matematika. Faktor kognitif sebagai faktor proses dalam memperoleh
pengetahuan dan pemahaman matematika memiliki peranan yang besar,
karena kecemasan dapat timbul akibat kurangnya pemahaman terhadap konsep
matematika itu sendiri. Selain itu, kecemasan matematika berkaitan dengan
perasaan dan sikap terhadap matematika, dimana perasaan dan sikap tersebut
akan mempengaruhi pemahaman terhadap matematika itu sendiri serta
menimbulkan reaki kondisi fisik.
f. Pelajaran Matematika SMA
Matematika adalah ilmu yang memiliki hitungan dasar penjumlahan,
pengurangan, perkalian, dan pembagian (Setyono, 2006). Pada dasarnya
materi-materi mata pelajaran matematika tingkat SMA menuntut siswa agar
mampu membayangkan situasi rekaan dan kejadian yang semata-mata berupa
kemungkinan hipotesis ataupun proporsi abstrak. Selain itu, diharapkan
mereka dapat mengolahnya dengan pemikiran logis untuk dapat
mempelajarinya. Menurut Piaget, kemampuan-kemampuan tersebut berada
pada tahap pemikiran operasional formasl (Santrock, 2003). Pada tingkat
SMA ini mereka diharapkan mampu menyusun rencana pemecehan masalah
dan secara sistematis menguji cara-cara yang dipikirkannya. Selain itu, siswa
SMA diharapkan dapat mengembangkan hipotesis atau memperkirakan cara
pemecahan masalah, seperti halnya suatu persamaan aljabar.
Berbeda pada tingkat SD dan SMP, seorang anak berada pada tahap
pemikiran operasional konkret, di mana diharapkan siswa mampu untuk
melakukan operasi kognitif. Penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif
selama nalar dapat diterapkan pada suatu kejadian khusus atau konkret. Selain
itu, pada tahap ini diharapkan siswa mampu mengenali bahwa panjang,
jumlah, masa, kuantitas, luas, berat, dan isi suatu objek dan subtansi tidak
berubah meski ada perubahan pada penampilannya. Pada usia SD dan SMP
juga menuntut penalaran pemilihan kelas, yaitu menuntut anak agar secara
sistematis mengelompokkan objek-objek ke dalam serangkaian kelas dan sub
kelas.
g. Kecemasan Siswa SMA dalam Menghadapi Mata Pelajaran Matematika
Sebagai remaja pertengahan, siswa SMA memiliki beberapa ciri dan
karakteristik tertentu yang membedakannya dengan periode-periode
perkembangan sebelum dan sesudahnya (Hurlock, 1991). Usia mereka
biasanya berkisar antara 15 sampai 18 tahun. Ciri-ciri dan karakteristik yang
khas ini akan mendasari timbulnya kecemasan dalam diri remaja. Berikut ini
akan disebutkan berbagai dinamika kecemasan dalam menghadapi mata
pelajaran matematika pada siswa SMA.
Pertama, masa remaja sebagai periode peralihan. Pada masa ini, apa
yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang terjadi
sekarang dan yang akan datang. Demikian halnya jika seseorang mempelajari
mata pelajaran matematika. Peletakan dasar matematika ketika anak berumur
5-8 tahun sangatlah penting. Seorang anak dengan pengetahuan dasar yang
kuat akan dengan mudah memahami instruksi matematika pada level-level
berikutnya. Pembelajaran matematika pada anak-anak, terutama pada anak
usia dini, sangat berpengaruh terhaap keseluruhan proses mempelajari
matematika di tahun-tahun berikutnya. Jika konsep dasar yang diletakkan
kurang kuat atau anak mendapatkan kesan buruk pada perkenalan pertamanya
dengan matematika, maka tahap berikutnya akan terjadi masa-masa sulit dan
penuh perjuangan (Setyono, 2006).
Hal tersebut dapat dicontohkan pada pengalaman seorang anak saat
duduk di bangku SD dan SMP sewaktu pelajaran matematika. Anak itu pernah
dipermalukan di depan kelas oleh gurunya karena tidak bisa mengerjakan soal
hitungan di papan tulis. Dia di hukum di depan teman-teman sekelasnya dan
gurunya mengatakan agar teman-temannya jangan meniru kebodohan
temannya tersebut, kemudian dia diminta berdiri dengan satu kaki sambil
kedua tangannya memegang telinga secara bersilangan.
Sejak peristiwa itu, matematika menjadi sesuatu yang menakutkan bagi
anak tersebut. Hari-hari berikutnya menjadi hari-hari yang penuh tekanan
mental. Setiap mata pelajaran matematika dimulai, doanya hanya satu yaitu
agar pelajaran tersebut cepat selesai dan gurunya cepat keluar dari kelas.
Trauma itu menutup dirinya untuk mempelajari matematika. Hal ini akan
menimbulkan kecemasan dalam diri anak tersebut dalam menghadapi mata
pelajaran matematika. Dapat disimpulkan bahwa adanya pengalaman buruk
dengan matematika di masa lalu akan menimbulkan kecemasan dalam
menghadapi mata pelajaran matematika pada saat siswa berada pada tingkat
SMA. Hal ini dikarenakan siswa SMA termasuk dalam kategori remaja
pertengahan, dimana pada masa ini terdapat ciri yang khas yaitu sebagai masa
peralihan, di mana apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan
bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang.
Kedua, masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan. Pada
masa ini ada stereotip populer yang diberikan orang dewasa kepada remaja, di
mana remaja dianggap memiliki konsep diri yang negatif. Penerimaan remaja
akan stereotip populer ini membuat remaja merasa bahwa dirinya juga
memiliki konsep diri yang negatif. Mereka merasa bahwa metemtika
merupakan pelajaran yang sukar, untuk mempelajarinya diperlukan kemauan,
kamampuan, dan kecerdasan tertentu. Adanya konsep diri negatif pada remaja
dan anggapan negatif pada matematika tersebut menimbulkan ketakutan
terhadap matematika. Matematika dianggap sebagai mata pelajaran yang
menakutkan. Jam-jam pelajaran matematika dirasakan sebagai neraka bagi
sebagian besar siswa (Santoso, 1995). Siswa yang takut terhadap matematika
akan berusaha menghindari bilangan dan operasi-operasi bilangan (Wijayanti,
2000).
Ketiga, pada dasarnya remaja berada pada tahap pemikiran operasional
formal dalam perkembangan kognitifnya. Menurut Piaget tahap operasional
formal (formal operational stage) merupakan tahap keempat dan terakhir dari
tahap perkembangan kognitif, yang muncul sekitar usia 16 sampai 18 tahun.
Secara lebih nyata, pemikiran operasional formal bersifat labih abstrak
daripada pemikiran operasional konkret. Remaja tidak lagi terbatas pada
pengalaman nyata dan konkret sebagai landasan berpikirnya. Mereka mampu
membayangkan situasi rekaan dan kejadian yang semata-mata berupa
kemungkinan hipotesis ataupun proporsi abstrak, dan mencoba mengolahnya
dengan pemikiran logis (Santrock, 2003).
Tuntutan kamampuan-kemampuan tersebut terdapat dalam mata
pelajaran matematika. Siswa SMA yang normal seharusnya mampu
membayangkan situasi rekaan dan kejadian yang semata-mata berupa
kemungkinan hipotesis ataupun proporsi abstrak, dan mengolahnya dengan
pemikiran logis pada tahap ini. Bagi siswa SMA yang belum mampu, dapat
menimbulkan kecemasan dalam dirinya, khususnya kecemasan dalam
menghadapi mata pelajaran matematika.
Keempat, pada perkembangan sosial emosional, remaja dapat
memenuhi kebutuhan pribadi mereka melalui kelompok remaja. Kelompok
remaja akan memberikan penghargaan kepada mereka, memberikan informasi
kepada mereka, menaikkan harga diri mereka dan memberikan identitas
kepada mereka. Ada beberapa cara mengajar yang dapat menimbulkan
perasaan tertekan, sehingga menimbulkan kecemasan.
Adanya beberapa pengerjaan tugas matematika di kelas yang
diselesaikan dengan cara berkelompok dapat memenuhi kebutuhan masing-
masing anggotanya, miasalnya: mereka dapat saling memberikan informasi
dan saling membantu dalam menyelesaikan tugas kelompok. Hal ini dapat
mengurangi timbulnya kecemasan dalam menghadapi mata pelajaran
matematika. Uraian di atas merupakan dinamika dari berbagai kecemasan
yang dialami siswa SMA. Kecemasan yang dimaksud ialah kecemasan dalam
menghadapi mata pelajaran matematika.
B. Penelitian yang Relevan
Diantaranya penelitian yang relevan adalah sebagai berikut:
1. Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Veronika (2007) yang berjudul
“Deskriptif Kcemasan Siswa SMP Negeri 2 Wedi Dalam Menghadapi Mata
Pelajaran Matematika” secara umum berada pada kategori sedang yaitu sebesar
56,25% sedangkan sisanya 43,75% berada pada kategori rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa siswa masih merasa cemas saat menghadapi pelajaran
matematika.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Eti Nurhayati dan Absorin (2009) yang berjudul
“Pengaruh Tingkat Kecemasan Dalam Menghadapi Ujian Terhadap Hasil Belajar
MAtematika Siswa SMA Negeri 1 Jatibarang” secara umum menunjukkan tingkat
kecemasan sedang yaitu dimana sebanyak 47% responden mengalami kecemasan
sedang, 25% responden mengalami kecemasan rendah, dan 28% responden
mengalami kecemasan tinggi. Hal ini menunjukkan pengaruh tingkat kecemasan
dapat berdampak negatif untuk hasil belajar dan ujian.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2013) yang berjudul “Perbedaan
Kecemasan Matematika Siswa Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa dalam menghadapi
Ujian nasional Mata Pelajaran Matematika Di SMA Kristen 1 Salatiga Tahun
Ajaran 2012/2013” secara umum menunjukkan jurusan IPA terdapat 18,75%
siswa memiliki tingkat kecemasan ringan, 68,75% siswa berada pada tingkat
kecemasan sedang, dan sisanya 12,5% siwa berada pada tingkat kecemasan berat.
Sedangkan untuk jurusan Bahasa terdapat 22,58% siswa memiliki tingkat
kecemasan ringan, 64,52% siswa pada tingkat kecemasan sedang, dan 12,9%
siswa berada pada tingkat kecemasan berat. Dan jurusan IPS terdapat 3,23% siswa
berada pada tingkat kecemasan ringan, 48, 38% siswa berada pada tingkat
kecemasan sedang, 41,94% siswa berada pada tingkat kecemasan berat, dan
sisanya 6,45% siswa berada pada tingkat kecemasan panik. Hal ini menujukkan
bahwa tidak ada pengaruh kecemasan siswa jurusan IPA, IPS dan Bahasa dalam
menghadapi ujian nasional pada mata pelajaran matematika.
C. Kerangka Berpikir
Salah satu faktor yang dapat berpengaruh buruk dalam proses belajar siswa
adalah kecemasan dalam menghadapi pelajaran. Kecemasan dapat diartikan sebagai
suatu perasaan yang tidak tenang, rasa khawatir, atau ketakutan terhadap sesuatu yang
tidak jelas terhadap mata pelajaran tertentu. Kecemasan dapat dialami oleh siswa
manapun, baik yang mempunyai kemampuan akademis tinggi, sedang, maupun yang
kemampuan akademisnya rendah. Hanya saja penyebab dan tingkatannya yang
berbeda-beda antara siswa satu dengan yang lain. Rasa cemas ini sangat berdampak
pada proses belajar siswa.
Pada dasarnya teori penyebab kecemasan yaitu teori psikoanalitis dan teori
interpersonal yang terdiri dari teori perilaku, teori keluarga dan teori biologis
sangatlah berpengaruh dalam perkembangan individu seorang siswa, karena dari
sinilah kita dapat mengetahui gejala-gejala kecemasan matematika dari seorang siswa
mulai dari gejala kecemasan fisologis dan gejela kecemasan perilaku kognitif dan
afektif. Dan dapat menentukan tingkat kecemasan seorang siswa mulai dari
kecemasan berat, kecemasan sedang, dan kecemasan ringan. Kerangka pikir dalam
penelitian ini dapat dilihat pada gambar bagan di bawah ini :
Gambar Bagan 2.1
Kerangka Berpikir
Kecemasan Matematika
Siswa SMA Kelas X IPA
Gejala Kecemasan
Studi Deskriptif Kecemasan
Matematika Siswa Kelas X IPA di
SMA Negeri 1 Jetis
Deskripsi studi kecemasan
matematika siswa kelas X IPA di
SMA Negeri 1 Jetis
Faktor Penyebab Kecemasan
Matematika
Tingkat Kecemasan