bab ii landasan teori a. kajian teori 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3227/3/bab ii.pdf ·...

27
BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Siswa SMA a. Pengertian Siswa SMA Sebagai Remaja Pertengahan Masa SMA yang memiliki rentan usia 15-18 tahun bisa dikatakan merupakan masa peralihan seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa atau lebih sering kita kena; dengan istilah masa remaja. Masa Remaja merupakan suatu tahap transisi menuju ke status yang lebih tinggi yaitu status sebagai orang dewasa. Berdasarkan teori perkembangan, masa remaja adalah masa saat terjadinya perubahan perubahan yang cepat, termasuk perubahan fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan pencapaian (Fagan, 2006). Dalam bukunya Psikologi Perkembangan (2011: 26), Hurlock menjelaskan bahwa istilah remaja atau adolescence berasal dari kata lain adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, intelektual, emosional, sosial, dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh piaget bahwa secara psikologis, masa remaja merupakan usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurannya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek afektif yang kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Perubahan intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam

Upload: dangnhu

Post on 26-Jun-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Siswa SMA

a. Pengertian Siswa SMA Sebagai Remaja Pertengahan

Masa SMA yang memiliki rentan usia 15-18 tahun bisa dikatakan

merupakan masa peralihan seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa

dewasa atau lebih sering kita kena; dengan istilah masa remaja. Masa Remaja

merupakan suatu tahap transisi menuju ke status yang lebih tinggi yaitu status

sebagai orang dewasa. Berdasarkan teori perkembangan, masa remaja adalah

masa saat terjadinya perubahan perubahan yang cepat, termasuk perubahan

fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan pencapaian (Fagan, 2006).

Dalam bukunya Psikologi Perkembangan (2011: 26), Hurlock menjelaskan

bahwa istilah remaja atau adolescence berasal dari kata lain adolescere yang

berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence, mempunyai

arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, intelektual, emosional, sosial,

dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh piaget bahwa secara psikologis, masa

remaja merupakan usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa,

di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua

melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurannya dalam masalah

hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek afektif yang

kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Perubahan intelektual yang khas

dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam

hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang

umum dari periode perkembangan ini.

Partini (1996: 121) mengartikan remaja pada usia 18 tahun (adolescence)

merupakan masa yang secara hukum dipandang sudah matang, yang merupakan

masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang mencakup

perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional yang terjadi berkisar dari

perkembangan fungsi seksual, proses berpikir abstrak sampai pada kemandirian.

Menurut Deswita (2006:192), juga mengungkapkan bahwa masa remaja

menunjukkan sifat-sifat masa transisi atau peralihan dengan jelas, karena remaja

belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memilih status kanak-

kanak. Remaja berada dalam status interim sebagai akibat dari posisi yang

sebagian diberikan oleh orang tua dan sebagian lagi diperoleh melalui usaha

sendiri yang selanjutnya memberikan prestise tertentu padanya. Status interim

berhubungan dengan masa peralihan yang timbul sesudah pemasakan seksual

(pubertas). Masa peralihan tersebut diperlukan untuk mempelajari bahwa remaja

mampu memikul tanggung jawabnya nanti dalam masa dewasa. Makin maju

masyarakatnya makin sukar tugas remaja untuk mempelajari tannggung jawab ini.

Suatu pendidikan yang emansipatoris akan berusaha untuk melepaskan remaja

dari status interim-nya supaya ia dapat menjadi dewasa yang bertanggung jawab.

b. Ciri-ciri Siswa SMA Sebagai Remaja Pertengahan

Siswa SMA yang termasuk masa remaja akhir ini mempunyai ciri-ciri

tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya (Hurlock,

2011: 38-49). Ciri-ciri yang khas pada masa ini akan mendasari timbulnya

kecemasan pada diri remaja, dalam penelitian ini khususnya kecemasan dalam

menghadapi mata pelajaran matematika. Ciri-ciri tersebut akan diterangkan secara

singkat di bawah ini:

1) Masa remaja sebagai periode peralihan

Pada masa ini, apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan

bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang. Menurut Hurlock

(2011: 38), menjelaskan bahwa struktur psikis anak remaja berasal dari masa

kanak-kanak. Selain itu, perubahan fisik yang terjadi selama tahun awal masa

remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu.

Menurut John W. Santrock (2003: 26), masa remaja adalah masa

perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup

perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional. Perubahan biologis,

kognitif, dan sosial emosional yang terjadi berkisar dari perkembangan fungsi

seksual, proses berpikir abstrak sampai pada kemandirian.

Hal serupa diungkapkan oleh Rumini dan Siti Sundari (2004: 53),

bahwa masa remaja menunjukkan sifat-sifat masa peralihan dengan jelas,

karena remaja belum memperolah status orang dewas tetapi tidak lagi

memiliki status kanak-kanak. Remaja berada dalam status interim sebagai

akibat dari posisi yang sebagian diberikan oleh orang tua dan sebagian lagi

diperoleh melalui usaha sendiri yang selanjutnya memberikan prestise tertentu

padanya. Hal ini membuat status remaja tidak jelas, sehingga terdapat

keraguan akan peran yang harus dilakukan (Hurlock,2011: 40).

Masa peralihan tersebut diperlukan untuk mempelajari bahwa remaja

mampu memikul tanggung jawabnya nanti dalam masa dewasa. Makin maju

masyarakatnya makin sukar tugas remaja untuk mempelajari tanggung jawab

ini. Suatu pendidikan yang emansipatoris akan berusaha untuk melepaskan

remaja dari status interim-nya supaya ia dapat menjadi dewasa yang

bertanggung jawab. Di sini, seorang remaja dituntut harus “meninggalkan

segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan” dan mempelajari pola perilaku

dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah

ditinggalkan.

Pada periode peralihan ini, dimungkinkan siswa SMA sebagai remaja

akhir, mengalami kecemasan, dalam penelitian ini khususnya kecemasan

dalam menghadapi mata pelajaran matematika. Kecemasan-kecemasan yang

mungkin timbul dapat disebabkan oleh: pertama, karena pengalaman masa lalu

remaja mempengaruhi apa yang terjadi saat ini dan yang akan datang. Kedua,

makin sukarnya tugas remaja untuk mempelajari tanggung jawab dalam

dewasa.

2) Masa remaja sebagai periode perubahan

Adanya perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh

kelompok sosial, menimbulkan masalah baru bagi remaja. Bagi remaja awal,

masalah baru yang timbul lebih banyak dan lebih sulit diselesaikan

dibandingkan masalah yang dihadapi sebelumnya. Remaja akan tetap merasa

ditumbuhi masalah, sampai ia sendiri mampu menyelesaikannya sendiri.

Selain itu, sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap

perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi mereka

sering takut tanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan

mereka untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut (Hurlock, 2011: 44).

Pada periode ini, dimungkinkan siswa SMA mengalami kecemasan.

Hal ini dilatarbelakangi oleh timbulnya masalah baru, di mana masalah yang

timbul ini lebih banyak dan lebih sulit diselesaikan dibandingkan masalah

yang sebelumnya pernah alami. Selain itu, sikap yang ambivalen yaitu

keinginan untuk mendapatkan kebebasan dan adanya ketakutan untuk

bertanggung jawab akan akibatnya serta meragukan kemampuan mereka untuk

mengatasi tanggung jawab tersebut.

3) Masa remaja sebagai usia bermasalah

Masa remaja sering terjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak

laki-laki maupun anak perempuan. Ada dua alasan adanya kesulitan tersebut.

Pertama, kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah

mereka sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru sepanjang masa

kanak-kanak. Kedua, karena para remaja merasa diri mereka mandiri,

sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan

orang tua dan guru-guru (Hurlock, 2011: 48).

Alasan-alasan tersebut memungkinkan siswa SMA mengalami

kecemasan. Hal ini disebabkan karena mereka merasa mandiri, ingin

menyelesaikan masalahnya sendiri dan menolak bantuan orang lain terutama

orang tua dan guru-guru (Hurlock, 2011: 49)

4) Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Menurut Hurlock (1991: 50), mengungkapkan bahwa banyak anggapan

populer tentang remaja yang sebagian besar bersifat negatif. Stereotip budaya

mengganggap bahwa remaja merupakan anak-anakyang tidak rapi, tidak dapat

dipercaya, cenderung merusak, dan berperilaku merusak. Anggapan ini

menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi

kehidupan remaja takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik

terhadap perilaku remaja yang normal.

Stereotip populer ini mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja

terhadap dirinya sendiri. Menurut Hurlock (1991: 51), penerimaan stereotip ini

dan meyakini bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang

mereka membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit.

Stereotip populer terhadap diri remaja yang bersifat negatif ini

mempengaruhi konsep diri remaja menjadi negatif pula, misalnya mereka

menjadi memiliki citra diri seperti anggapan orang-orang dewasa terhadap

mereka. Hal ini dimungkinkan menimbulkan kecemasan dalam diri remaja.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya remaja,

khususnya remaja akhir memiliki potensi untuk mengalami kecemasan. Hal ini

terlihat dari beberapa ciri yang khas pada masa remaja, antara lain: pertama,

masa remaja sebagai periode peralihan. Pada masa ini, pengalaman masa lalu

remaja mempengaruhi apa yang terjadi saat ini dan yang akan datang. Selain

itu, makin sukarnya tugas remaja untuk mempelajari tanggung jawab dalam

masa dewasa.

Kedua, masa remaja sebagai periode perubahan. Pada masa ini remaja

menghadapi masalah baru yang lebih banyak dan lebih sulit diselesaikan

dibandingkan masalah yang sebelumnya pernah dialami. Selain itu, remaja

memiliki sikap yang ambivalen di mana di satu sisi remaja ingin mendapatkan

kebebasan, sedangkan di sisi lain ada ketakutan untuk bertanggung jawab akan

akibatnya. Mereka juga meragukan kemampuan mereka untuk mengatasi

tanggung jawab tersebut.

Ketiga, masa remaja sebagai usia bermasalah. Pada masa ini mereka

merasa mandiri, ingin menyelesaikan masalahnya sendiri dan menolak

bantuan orang lain terutama orang tua dan guru-guru mereka, padahal

sebenarnya sebagian besar dari mereka tidak memiliki pengalaman dalam

mengatasi masalah karena sepanjang masa kanak-kanak orang tua dan guru-

guru selalu terlibat dalam mengatasi masalah mereka. Keempat, masa remaja

sebagai usia yang menimbulkan ketakutan. Pada masa ini konsep diri remaja

negatif, mereka merasa diri mereka tidak rapi, tidak bisa dipercaya, cenderung

merusak, dan berperilaku merusak.

a. Karakteristik Perkembangan Siswa SMA Sebagai Remaja Pertengahan

Siswa SMA sebagai remaja Pertengahan memiliki beberapa karakteristik

perkembangan (Santrock, 2003: 31-39). Karakteristik-karakteristik tersebut dapat

melatarbelakangi seorang siswa SMA mengalami kecemasan, dalam penelitian ini

khususnya kecemasan dalam menghadapi mata pelajaran matematika.

Karakteristik-karakteristik tersebut, antara lain:

1) Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget. remaja berada pada tahap pemikiran operasional

formal. Menurut Piaget, tahap operasional formal (formal operational stage)

merupakan tahap keempat dan terakhir dari tahap perkembangan kognitif,

yang muncul sekitar usia 15 sampai 18 tahun. Secara lebih nyata, pemikiran

operasional formal bersifat lebih abstrak daripada pemikiran operasional

konkret. Remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman nyata dan konkret

sebagai landasan berpikirnya. Mereka mampu membayangkan situasi rekaan

dan kejadian yang semata-mata berupa kemungkinan hipotesis ataupun

proporsi abstrak, dan mencoba mengolahnya dengan pemikiran logis

(Santrock, 2003: 31).

Remaja yang normal seharusnya mampu membayangkan situasi rekaan

dan kejadian yang semata-mata berupa kemungkinan hipotesis ataupun

proporsi abstrak, dan mengolahnya dengan pemikiran logis pada tahap ini.

Bagi remaja yang belum mampu, dapat menimbulkan kecemasan dalam

dirinya.

2) Perkembangan Sosial Emosional

a) Konflik orang tua-remaja

Masa akhir remaja merupakan waktu di mana konflik orang tua-

remaja meningkatkan lebih dari konflik orang tua-anak (Santrock, 2003:

33). Peningkatan ini bisa terjadi karena beberapa faktor yang melibatkan

pendewasaan remaja dan pendewasaan orang tua, meliputi: perubahan

biologis pubertas, perubahan kognitif termasuk peningkatan idealisme dan

penalaran logis, perubahan sosial yang berpusat pada kebebasan dan jati

diri, harapan yang tak tercapai, dan perubahan fisik, kognitif, dan sosial

orang tua. Adanya konflik antara orang tua-remaja ini memungkinkan

timbulnya kecemasan, baik bagi orang tua maupun remaja.

b) Otonomi dan keterikatan

Pada awal masa remaja, sebagian besar individu tidak mempunyai

pengetahuan untuk membuat keputusan yang tepat atau dewasa pada

semua sisi kehidupan. Hal ini bisa menimbulkan kecemasan bagi remaja.

Bersamaan dengan mendesaknya remaja untuk mendapatkan otonomi,

orang dewasa yang bijaksana melepaskan kendali di bidang mana remaja

dapat membuat keputusan yang pantas dan terus mendampingi remaja

pada bidang di mana pengetahuan remaja lebih terbatas. Secara bertahap,

remaja akan memperoleh kemampuan untuk membuat keputusan yang

dewasa sendiri.

Di sisi lain, keterikatan yang aman pada masa bayi merupakan

pokok bagi perkembangan kecakapan sosial. Keterikatan yang aman

diteorikan sebagai landasan penting bagi perkembangan psikologis

berikutnya pada masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa sedangkan

keterikatan tak aman diteorikan berkaitan dengan kesulitan berhubungan

dan masalah-masalah perkembangan selanjutnya.

Keterikatan pada orang tua selama masa remaja dapat memiliki

fungsi adaptif untuk menyediakan dasar rasa aman di mana remaja dapat

mengeksplorasi dan menguasai lingkungan baru serta dunia sosial yang

makin luas dalam kondisi psikologi yang sehat secara psikologis

(Santrock, 2003: 38-43). Keterikatan yang aman dengan orang tua dapat

membantu remaja dari kecemasan dan kemungkinan perasaan tertekun

atau ketegangan emosi yang berkaitan dengan transisi dari masa kanak-

kanak menuju dewasa. Keterikatan yang tidak aman dengan orang tua

akan menimbulkan kecemasan dan perasaan tertekun pada diri remaja.

c) Teman sebaya

i) Fungsi kelompok teman sebaya

Teman sebaya adalah individu yang tingkat kematangan dan

umurnya kurang lebih sama. Teman sebaya menyediakan sarana untuk

perbandingan secara sosial dan sumber informasi tentang dunia di luar

keluarga. Hubungan teman sebaya diperlukan untuk perkembangan

sosial yang normal pada masa remaja. Ketidakmampuan remaja untuk

“masuk” ke dalam suatu lingkungan sosial pada masa kanak-kanak

atau masa remaja dihubungkan dengan berbagai masalah dan

gangguan. Salah satunya menimbulkan kecemasan pada remaja.

ii) Popularitas, pengabaian, dan penolakan teman sebaya

Kemampuan mendengar, komunikasi yang efektif, menjadi diri

sendiri, bahagia, menunjukkan antusias dan perhatian kepada orang

lain, serta memiliki rasa percaya diri tapi tidak menjadi sombong,

merupakan kriteria dari popularitas di antara teman sebaya. Remaja

yang diabaikan mendapatkan perhatian yang sedikit dari teman sebaya

mereka, sementara mereka yang ditolak tidak begitu disukai oleh

teman sebaya mereka. Pada remaja yang ditolak akan berisiko terhadap

masalah perkembangan mereka. Hal ini dapat menimbulkan

kecemasan pada remaja.

iii) Kelompok remaja

Kelompok berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pribadi

remaja, memberikan penghargaan kepada mereka, memberikan

informasi, menaikkan harga diri mereka dan memberikan identitas

kepada mereka. Ada hal yang dipandang berperan penting dalam usaha

remaja untuk mempertahankan harga diri dan perkembangan

identitasnya, yaitu klik. Klik merupakan kelompok dengan jumlah

yang lebih kecil, yang melibatkan keakraban yang lebih besar di antara

anggota dan lebih kohesif daripada kerumunan, tetapi klik memiliki

ukuran yang lebih besar dan tingkat keakraban yang rendah daripada

persahabatan.

Remaja yang tidak memiliki kelompok tidak memiliki media

untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka, untuk memberi

penghargaan kepada mereka, untuk memberikan informasi, menaikkan

harga diri mereka dan memberikan identitas kepada mereka. Hal ini

memungkinkan timbulnya kecemasan pada diri remaja.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang remaja pada

dasarnya memiliki karakteristik-karakteristik perkembangan tertentu, di

mana ada beberapa karakteristik yang dapat memungkinkan seorang

remaja mengalami keemasan. Karakteristik-karakteristik tersebut, antara

lain: pertama, perkembangan kognitif, di mana remaja mampu

membayangkan situasi rekaan dan kejadian yang semata-mata berupa

kemungkinan hipotesis ataupun proporsi abstrak, dan mengolahnya dengan

pemikiran logis pada tahap ini. Bagi remaja yang belum mampu, dapat

menimbulkan kecemasan di salam dirinya.

Kedua, perkembangan sosial emosional, di mana pada tahap ini ada

beberapa hal yang penting yang dapat menimbulkan kecemasan pada

remaja, antara lain: terjadi konflik antara orang tua-remaja, sebagian besar

remaja tidak mempunyai pengetahuan untuk membuat keputusan yang

tepat pada semua sisi kehidupan, dan adanya keterikatan yang tidak aman

dengan orang tua. Selain itu, ketidakmampuan remaja untuk “masuk” ke

dalam suatu lingkungan sosial pada masa kanak-kanak atau masa remaja

dapat menimbulkan masalah dan gangguan, misalnya kecemasan. Remaja

sering menganggap popularitas, pengabaian, dan penolakan teman sebaya,

merupakan hal yang penting, di mana penolakan akan berisiko terhadap

masalah perkembangan mereka yaitu menimbulkan kecemasan pada

remaja. Selain itu, remaja yang tidak memiliki kelompok tidak memiliki

media untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka, untuk memberi

penghargaan kepada mereka, memberikan informasi, menaikkan harga diri

mereka dan memberikan identitas kepada mereka. Hal ini memungkinkan

timbulnya kecemasan pada diri remaja.

2. Kecemasan

a. Pengertian Kecemasan

Kecemasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perasaan

tidak tentram, khawatir, dan gelisah. Kecemasan merupakan gangguan psikologi

yang bersifat wajar dan dapat timbul kapan dan dimanapun. Setiap orang pasti

pernah menggalami kecemasan dengan tingkat yang berbeda-beda. Rasa cemas

bila muncul dikarenakan terdapat suatu keadaan yang harus dihadapi atau

diselesaikan. Gunarso mengemukakan kecemasan merupakan kekuatan yang besar

untuk menggerakkan tingkah laku baik tingkah laku normal ataupun tingkah laku

yang menyimpang, yang terganggu dan keduanya merupakan pernyataan,

penampilan, penjelmaan, dan pertahanan terhadap rasa cemas yang muncul.

Darajat mengatakan kecemasan adalah menifestasi dari berbagai proses

emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan

perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Dimana tekanan perasaan

(frustasi) adalah suatu keadaan dari berbagai proses emosi yang bercampur yang

dapat menghambat seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Taylor

dalam Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS) yang dikutip Anita mengemukakan

bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan

mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan

mengatasisuatu masalah atau tidak adanya rasa aman (Anita, 2014: 127). Tidak

jauh berbeda dari TMAS, Suharyadi berpendapat bahwa kecemasan akan muncul

ketika siswa merasa tidak siap mental dan tidak dapat mengontrol emosinya pada

saat menghadapi suatu persoalan dalam lingkungan yang tidak kondusif

(Suharyadi, 2003).

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa

kecemasan adalah Gejala emosi yang memberikan perasaan tidak nyaman, rasa

takut, rasa khawatir, rasa gelisah, rasa tidak menyenangkan akan sesuatu yang

akan terjadi yang dirasa mengancam, yang dapat ditimbulkan dari lingkungan atau

keadaan yang tidak kondusif dan menimbulkan perasaan tertekan (frustasi) yang

dapat menghambat seseorang untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan.

b. Teori Penyebab Kecemasan

Terdapat beberapa teori yang menyebabkan munculnya kecemasan,

diantaranya adalah teori menurut Stuart dan Sundeen (1998:177-179), yaitu:

1) Teori Psikoanalitis

Kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi pada dua elemen

kepribadian yaitu id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls

primitif, sedangkan superego mencerminkan hati nurani dan dikendalikan oleh

norma budaya. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang

bertentangan tersebut, dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa

ada bahaya.

2) Teori Interpersonal

Kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap ketidaksetujuan dan

penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan

trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kerentanan

tertentu.

a) Teori Perilaku

Kecemasan merupakan produk tekanan mental yaitu segala sesuatu

yang mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang

diinginkan. Kecemasan dianggap sebagai suatu dorongan yang dipelajari

berdasarkan keinginan dalam diri untuk menghindari kepedihan. Para ahli

meyakini bahwa adanya hubungan timbal balik antara konflik dan

kecemasan, yaitu konflik menimbulkan kecemasan, dan kecemasan

menimbulkan perasaan tidak berdaya, yang pada gilirannya meningkatkan

konflik yang dirasakan.

b) Teori Keluarga

Teori keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan biasanya

terjadi dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara

gangguan kecemasan dan depresi.

c) Teori Biologis

Teori biologis menunjukkan bahwa kesehatan umumindividu dan

riwayat kecemasan pada keluarga memiliki efek nyata sebagai predisposisi

kecemasan. Kecemasan mungkin disertai dengan gangguan fisik dan

selanjutnya menurunkan kemampuan individu untuk mengatasi stressor.

c. Gejela-gejala Kecemasan

Menurut Stuart dan Sundeen kecemasan dapat diekspresikan secara

langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku (1998: 111).

1) Gejala kecemasan fisiologis, dintaranya adalah kardiovaskular (jantung

berdebar dan rasa ingin pingsan), pernafasan (sesak nafas, tekanan pada dada,

dan sensasi tercekik), neuromuskular (insomnia, mondar-mandir, dan wajah

tegang), gastrointestinal (nafsu makan hilang, mual, dan diare), saluran

perkemihan (tidak dapat menahan kencing), dan kulit (berkeringat, wajah

memerah, dan rasa panas dingin pada kulit).

2) Gejala kecemasan perilaku yang meliputi kognitif dan afektif. Perilaku

kognitif diantaranya adalah perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa,

salah memberikan penilaian, hambatan berfikir, kehilangan objektivitas,

bingung, takut, dan mimpi buruk. Perilaku afektif diantaranya adalah mudah

terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup, ngeri, khawatir, rasa bersalah,

dan malu.

Harry berpendapat dalam buku yang berjudul Abnormal Psychology

bahwa terdapat empat tipe gajala kecemasan, yaitu: somatik simptoms, emotional

symptoms, cognitive simptoms, dan behavioral symptoms (2007:220).

1) Somatik, yaitu gejala kecemasan yang berhubungan dengan gerakan secara

sadar, meliputi: merinding, otot tegang, denyut jantung meningkat, bernafas

tak teratur, menarik nafas, pupil melebar, asam lambung meningkat, air liur

menurun dan lain sebagainya.

2) Emosional, yaitu gejala kecemasan yang berhubungan dengan emosi, meliputi:

rasa takut, rasa diteror, gelisah, dan lekas marah.

3) Kognitif, yaitu gejala kecemasan yang berhubungan dengan faktor kognitif,

meliputi: antisipasi dari bahaya, konsentrasi terganggu, rasa khawatir, suka

termenung, kehilangan control, rasa takut mati, dan berpikir tidak realistik.

4) Tingkah laku, meliputi: melarikan diri, menghindari, membeku, dan lain

sebagainya.

d. Tingkat Kecemasan

Stuart dan Sundeen (1998: 112-113) menjelaskan ada empat tingkat

kecemasan, yaitu kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan berat, dan

panik.

1) Kecemasan ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam

kehidupan sehari-hari, kecemasan ini menyebabkan individu menjadi

waspada dan meningkatkan lapang persepsinya. Kecemasan ringan dapat

memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.

Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel,

lapangan persepsi meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar,

motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi.

Adapun indikator dari kecemasan ringan, yaitu:

a) Respon Fisiologis

i) Nadi dan tekanan darah naik.

ii) Gejala ringan pada lambung.

iii) Muka berkerut dan bibir gementar.

iv) Sering mengeluarkan napas pendek.

b) Respon Kognitif

i) Mampu menerima rangsangan yang kompleks.

ii) Menyelesaikan masalah secara efektif.

iii) Dapat berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi.

iv) Menumbuhkan persepsi yang luas.

c) Respon Perilaku dan Emosi

i) Tidak dapat duduk dengan tenang.

ii) Tremor halus pada tangan.

iii) Suara kadang-kadang meninggi.

2) Kecemasan sedang

Kecemasan sedang memungkinkan individu untuk berfokus pada

hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Kecemasan ini

mempersempit lapang persepsi individu, sehingga seseorang mengalami

perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah.

Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat,

kecepatan denyut jantung dan pernafasan meningkat, ketegangan otot

meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit,

mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan konsentrasi

menurun, perhatian selektif dan berfokus pada rangsangan yang tidak

menambah kecemasan, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa,

marah dan menangis.

Adapun indikator dari kecemasan sedang, yaitu:

a) Respon Fisiologis

i) Mulut kering.

ii) Nadi berdenyut cepat dan tekanan darah naik.

iii) Kehilangan selera makan (Anorexia)

iv) Diare/konstipasi.

v) Gelisah.

b) Respon Kognitif

i) Persepsi menyempit.

ii) Rangsang dari luar tidak mampu diterima.

iii) Berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya.

iv) Mudah lupa.

c) Respon Perilaku dan Emosi

i) Selalu melakukan gerakan tersentak-sentak (meramas tangan).

ii) Bicara banyak dengan durasi lebih cepat.

iii) Perasaan tidak nyaman.

iv) Mudah tersinggung.

3) Kecemasan berat

Kecemasan berat sangat mengurangi lapang persepsi individu.

Individu dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada

sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berfikir tentang hal lain.

Semua perilaku ditunjukkan untuk mengurangi ketegangan. Manifestasi

yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala,

nausea, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan

persepsi menyempit, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada

dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasan tinggi,

perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi.

Adapun indikator dari kecemasan berat, yaitu:

a) Respon Fisiologis

i) Sering bernafas pendek.

ii) Nadi dan tekanan darah naik.

iii) Berkeringat dan sakit kepala.

iv) Penglihatan kabur.

v) Kekhawatiran berlebih.

b) Respon Kognitif

i) Persepsi sangat menyempit.

ii) Tidak mampu menyelesaikan masalah.

iii) Tiba-tiba lupa.

c) Respon Perilaku dan Emosi

i) Perasaan ancaman meningkat.

e. Kecemasan Matematika

Kecemasan matematika atau mathematics anxiety adalah rasa cemas

yang muncul saat berinteraksi dengan matematika. Ashcraft (2002: 1)

mengatakan kecemasan matematika adalah sebuah perasaan tegang, cemas

atau ketakutan yang mengganggu kinerja matematika. Siswa yang mengalami

kecemasan matematika cenderung menghindari situasi dimana mereka harus

mempelajari dan mengerjakan matematika.

Kecemasan matematika ialah respon emosional terhadap matematika

saat mengikuti kelas matematika, menyelesaikan masalah matematika, dan

mendiskusikannya. Freedman mengemukakan kecemasan matematika sebagai

“an emotional future to mathematics based on past unpleasant experience

which harms future learning”. Kecemasan matematika adalah sebuah reaksi

emosional terhadap matematika yang didasari oleh pengalaman masa lalu

yang tidak menyenangkan yang mana akan menggangu pembelajaran

selanjutnya. Sementara itu Richardson dan Suinn yang dikutip oleh Muhmood

dan Khatoon (2011: 170) mendefinisikan kecemasan matematika sebagai

perasaan tertekan dan cemas yang menggangu menipulasi masalah matematika

baik itu dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam kehidupan akademik.

Sejalan dengan Wahyudin (2010:7) mendefinisikan kecemasan matematika

sebagai perasaan-perasaan tegang dan cemas yang mencampuri manipulasi

bilangan-bilangan dan pemecahan masalah matematis dalam beragam situasi

kehidupan sehari-hari dan situasi akademik. Siswa yang mengalami

kecemasan terhadap matematika merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak

bisa mempelajari materi matematika dan mengerjakan soal-soal matematika.

Sebagai suatu gejala emosi, kecemasan dapat terlihat dari berbagai

perilaku psikis ataupun fisik yang ditunjukkan. College et al. dalam Blazer

mengatakan kecemasan matematika dapat terlihat dari gejala fisik seperti:

detak jantung yang meningkat, tangan yang berkeringat dan sakit perut, gejala

psikologi sperti; tidak bisa berkonsentrasi dan merasakan ketidakberdayaan,

khawatir dan gejala tingkah laku seperti; menghindari kelas matematika, tidak

menyelesaikan tugas matematika dan tidak belajar matematika secara rutin.

Berdasarkan beberapa definisi kecemasan matematika diatas, dapat

dikatakan bahwa kecemasan matematika adalah reaksi emosional siswa berupa

rasa takut, tegang, rasa gelisah dan tertekan saat berhadapan atau berinteraksi

dengan matematika. Faktor kognitif sebagai faktor proses dalam memperoleh

pengetahuan dan pemahaman matematika memiliki peranan yang besar,

karena kecemasan dapat timbul akibat kurangnya pemahaman terhadap konsep

matematika itu sendiri. Selain itu, kecemasan matematika berkaitan dengan

perasaan dan sikap terhadap matematika, dimana perasaan dan sikap tersebut

akan mempengaruhi pemahaman terhadap matematika itu sendiri serta

menimbulkan reaki kondisi fisik.

f. Pelajaran Matematika SMA

Matematika adalah ilmu yang memiliki hitungan dasar penjumlahan,

pengurangan, perkalian, dan pembagian (Setyono, 2006). Pada dasarnya

materi-materi mata pelajaran matematika tingkat SMA menuntut siswa agar

mampu membayangkan situasi rekaan dan kejadian yang semata-mata berupa

kemungkinan hipotesis ataupun proporsi abstrak. Selain itu, diharapkan

mereka dapat mengolahnya dengan pemikiran logis untuk dapat

mempelajarinya. Menurut Piaget, kemampuan-kemampuan tersebut berada

pada tahap pemikiran operasional formasl (Santrock, 2003). Pada tingkat

SMA ini mereka diharapkan mampu menyusun rencana pemecehan masalah

dan secara sistematis menguji cara-cara yang dipikirkannya. Selain itu, siswa

SMA diharapkan dapat mengembangkan hipotesis atau memperkirakan cara

pemecahan masalah, seperti halnya suatu persamaan aljabar.

Berbeda pada tingkat SD dan SMP, seorang anak berada pada tahap

pemikiran operasional konkret, di mana diharapkan siswa mampu untuk

melakukan operasi kognitif. Penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif

selama nalar dapat diterapkan pada suatu kejadian khusus atau konkret. Selain

itu, pada tahap ini diharapkan siswa mampu mengenali bahwa panjang,

jumlah, masa, kuantitas, luas, berat, dan isi suatu objek dan subtansi tidak

berubah meski ada perubahan pada penampilannya. Pada usia SD dan SMP

juga menuntut penalaran pemilihan kelas, yaitu menuntut anak agar secara

sistematis mengelompokkan objek-objek ke dalam serangkaian kelas dan sub

kelas.

g. Kecemasan Siswa SMA dalam Menghadapi Mata Pelajaran Matematika

Sebagai remaja pertengahan, siswa SMA memiliki beberapa ciri dan

karakteristik tertentu yang membedakannya dengan periode-periode

perkembangan sebelum dan sesudahnya (Hurlock, 1991). Usia mereka

biasanya berkisar antara 15 sampai 18 tahun. Ciri-ciri dan karakteristik yang

khas ini akan mendasari timbulnya kecemasan dalam diri remaja. Berikut ini

akan disebutkan berbagai dinamika kecemasan dalam menghadapi mata

pelajaran matematika pada siswa SMA.

Pertama, masa remaja sebagai periode peralihan. Pada masa ini, apa

yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang terjadi

sekarang dan yang akan datang. Demikian halnya jika seseorang mempelajari

mata pelajaran matematika. Peletakan dasar matematika ketika anak berumur

5-8 tahun sangatlah penting. Seorang anak dengan pengetahuan dasar yang

kuat akan dengan mudah memahami instruksi matematika pada level-level

berikutnya. Pembelajaran matematika pada anak-anak, terutama pada anak

usia dini, sangat berpengaruh terhaap keseluruhan proses mempelajari

matematika di tahun-tahun berikutnya. Jika konsep dasar yang diletakkan

kurang kuat atau anak mendapatkan kesan buruk pada perkenalan pertamanya

dengan matematika, maka tahap berikutnya akan terjadi masa-masa sulit dan

penuh perjuangan (Setyono, 2006).

Hal tersebut dapat dicontohkan pada pengalaman seorang anak saat

duduk di bangku SD dan SMP sewaktu pelajaran matematika. Anak itu pernah

dipermalukan di depan kelas oleh gurunya karena tidak bisa mengerjakan soal

hitungan di papan tulis. Dia di hukum di depan teman-teman sekelasnya dan

gurunya mengatakan agar teman-temannya jangan meniru kebodohan

temannya tersebut, kemudian dia diminta berdiri dengan satu kaki sambil

kedua tangannya memegang telinga secara bersilangan.

Sejak peristiwa itu, matematika menjadi sesuatu yang menakutkan bagi

anak tersebut. Hari-hari berikutnya menjadi hari-hari yang penuh tekanan

mental. Setiap mata pelajaran matematika dimulai, doanya hanya satu yaitu

agar pelajaran tersebut cepat selesai dan gurunya cepat keluar dari kelas.

Trauma itu menutup dirinya untuk mempelajari matematika. Hal ini akan

menimbulkan kecemasan dalam diri anak tersebut dalam menghadapi mata

pelajaran matematika. Dapat disimpulkan bahwa adanya pengalaman buruk

dengan matematika di masa lalu akan menimbulkan kecemasan dalam

menghadapi mata pelajaran matematika pada saat siswa berada pada tingkat

SMA. Hal ini dikarenakan siswa SMA termasuk dalam kategori remaja

pertengahan, dimana pada masa ini terdapat ciri yang khas yaitu sebagai masa

peralihan, di mana apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan

bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang.

Kedua, masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan. Pada

masa ini ada stereotip populer yang diberikan orang dewasa kepada remaja, di

mana remaja dianggap memiliki konsep diri yang negatif. Penerimaan remaja

akan stereotip populer ini membuat remaja merasa bahwa dirinya juga

memiliki konsep diri yang negatif. Mereka merasa bahwa metemtika

merupakan pelajaran yang sukar, untuk mempelajarinya diperlukan kemauan,

kamampuan, dan kecerdasan tertentu. Adanya konsep diri negatif pada remaja

dan anggapan negatif pada matematika tersebut menimbulkan ketakutan

terhadap matematika. Matematika dianggap sebagai mata pelajaran yang

menakutkan. Jam-jam pelajaran matematika dirasakan sebagai neraka bagi

sebagian besar siswa (Santoso, 1995). Siswa yang takut terhadap matematika

akan berusaha menghindari bilangan dan operasi-operasi bilangan (Wijayanti,

2000).

Ketiga, pada dasarnya remaja berada pada tahap pemikiran operasional

formal dalam perkembangan kognitifnya. Menurut Piaget tahap operasional

formal (formal operational stage) merupakan tahap keempat dan terakhir dari

tahap perkembangan kognitif, yang muncul sekitar usia 16 sampai 18 tahun.

Secara lebih nyata, pemikiran operasional formal bersifat labih abstrak

daripada pemikiran operasional konkret. Remaja tidak lagi terbatas pada

pengalaman nyata dan konkret sebagai landasan berpikirnya. Mereka mampu

membayangkan situasi rekaan dan kejadian yang semata-mata berupa

kemungkinan hipotesis ataupun proporsi abstrak, dan mencoba mengolahnya

dengan pemikiran logis (Santrock, 2003).

Tuntutan kamampuan-kemampuan tersebut terdapat dalam mata

pelajaran matematika. Siswa SMA yang normal seharusnya mampu

membayangkan situasi rekaan dan kejadian yang semata-mata berupa

kemungkinan hipotesis ataupun proporsi abstrak, dan mengolahnya dengan

pemikiran logis pada tahap ini. Bagi siswa SMA yang belum mampu, dapat

menimbulkan kecemasan dalam dirinya, khususnya kecemasan dalam

menghadapi mata pelajaran matematika.

Keempat, pada perkembangan sosial emosional, remaja dapat

memenuhi kebutuhan pribadi mereka melalui kelompok remaja. Kelompok

remaja akan memberikan penghargaan kepada mereka, memberikan informasi

kepada mereka, menaikkan harga diri mereka dan memberikan identitas

kepada mereka. Ada beberapa cara mengajar yang dapat menimbulkan

perasaan tertekan, sehingga menimbulkan kecemasan.

Adanya beberapa pengerjaan tugas matematika di kelas yang

diselesaikan dengan cara berkelompok dapat memenuhi kebutuhan masing-

masing anggotanya, miasalnya: mereka dapat saling memberikan informasi

dan saling membantu dalam menyelesaikan tugas kelompok. Hal ini dapat

mengurangi timbulnya kecemasan dalam menghadapi mata pelajaran

matematika. Uraian di atas merupakan dinamika dari berbagai kecemasan

yang dialami siswa SMA. Kecemasan yang dimaksud ialah kecemasan dalam

menghadapi mata pelajaran matematika.

B. Penelitian yang Relevan

Diantaranya penelitian yang relevan adalah sebagai berikut:

1. Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Veronika (2007) yang berjudul

“Deskriptif Kcemasan Siswa SMP Negeri 2 Wedi Dalam Menghadapi Mata

Pelajaran Matematika” secara umum berada pada kategori sedang yaitu sebesar

56,25% sedangkan sisanya 43,75% berada pada kategori rendah. Hal ini

menunjukkan bahwa siswa masih merasa cemas saat menghadapi pelajaran

matematika.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Eti Nurhayati dan Absorin (2009) yang berjudul

“Pengaruh Tingkat Kecemasan Dalam Menghadapi Ujian Terhadap Hasil Belajar

MAtematika Siswa SMA Negeri 1 Jatibarang” secara umum menunjukkan tingkat

kecemasan sedang yaitu dimana sebanyak 47% responden mengalami kecemasan

sedang, 25% responden mengalami kecemasan rendah, dan 28% responden

mengalami kecemasan tinggi. Hal ini menunjukkan pengaruh tingkat kecemasan

dapat berdampak negatif untuk hasil belajar dan ujian.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2013) yang berjudul “Perbedaan

Kecemasan Matematika Siswa Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa dalam menghadapi

Ujian nasional Mata Pelajaran Matematika Di SMA Kristen 1 Salatiga Tahun

Ajaran 2012/2013” secara umum menunjukkan jurusan IPA terdapat 18,75%

siswa memiliki tingkat kecemasan ringan, 68,75% siswa berada pada tingkat

kecemasan sedang, dan sisanya 12,5% siwa berada pada tingkat kecemasan berat.

Sedangkan untuk jurusan Bahasa terdapat 22,58% siswa memiliki tingkat

kecemasan ringan, 64,52% siswa pada tingkat kecemasan sedang, dan 12,9%

siswa berada pada tingkat kecemasan berat. Dan jurusan IPS terdapat 3,23% siswa

berada pada tingkat kecemasan ringan, 48, 38% siswa berada pada tingkat

kecemasan sedang, 41,94% siswa berada pada tingkat kecemasan berat, dan

sisanya 6,45% siswa berada pada tingkat kecemasan panik. Hal ini menujukkan

bahwa tidak ada pengaruh kecemasan siswa jurusan IPA, IPS dan Bahasa dalam

menghadapi ujian nasional pada mata pelajaran matematika.

C. Kerangka Berpikir

Salah satu faktor yang dapat berpengaruh buruk dalam proses belajar siswa

adalah kecemasan dalam menghadapi pelajaran. Kecemasan dapat diartikan sebagai

suatu perasaan yang tidak tenang, rasa khawatir, atau ketakutan terhadap sesuatu yang

tidak jelas terhadap mata pelajaran tertentu. Kecemasan dapat dialami oleh siswa

manapun, baik yang mempunyai kemampuan akademis tinggi, sedang, maupun yang

kemampuan akademisnya rendah. Hanya saja penyebab dan tingkatannya yang

berbeda-beda antara siswa satu dengan yang lain. Rasa cemas ini sangat berdampak

pada proses belajar siswa.

Pada dasarnya teori penyebab kecemasan yaitu teori psikoanalitis dan teori

interpersonal yang terdiri dari teori perilaku, teori keluarga dan teori biologis

sangatlah berpengaruh dalam perkembangan individu seorang siswa, karena dari

sinilah kita dapat mengetahui gejala-gejala kecemasan matematika dari seorang siswa

mulai dari gejala kecemasan fisologis dan gejela kecemasan perilaku kognitif dan

afektif. Dan dapat menentukan tingkat kecemasan seorang siswa mulai dari

kecemasan berat, kecemasan sedang, dan kecemasan ringan. Kerangka pikir dalam

penelitian ini dapat dilihat pada gambar bagan di bawah ini :

Gambar Bagan 2.1

Kerangka Berpikir

Kecemasan Matematika

Siswa SMA Kelas X IPA

Gejala Kecemasan

Studi Deskriptif Kecemasan

Matematika Siswa Kelas X IPA di

SMA Negeri 1 Jetis

Deskripsi studi kecemasan

matematika siswa kelas X IPA di

SMA Negeri 1 Jetis

Faktor Penyebab Kecemasan

Matematika

Tingkat Kecemasan