bab ii landasan teori dan pengembangan …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4697/3/bab ii.pdf8 bab ii...
TRANSCRIPT
8
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1.1 Teori Atribusi (Attribution Theory)
Setiap perilaku seseorang tentunya didasari atas berbagai penyebab atau
motif yang melandasi terjadinya perilaku tersebut. Berbagai penjelasan mengenai
penyebab atau motif ini dijelaskan menggunakan Teori Atribusi (Gibson et al.
2011). Teori ini mengacu pada bagaimana seseorang menjelaskan penyebab
perilaku oranglain atau dirinya sendiri (Ardiansah, 2014), yang ditentukan apakah
dari internal atau eksternal (Robbin, 2010) maka akan terlihat pengaruhnya
terhadap individu.
Penyebab perilaku tersebut dalam persepsi social lebih dikenal dengan
istilah dispositional attributions (Penyebab Internal) dan situational attributions
(Penyebab Eksternal) (Robbin, 2010). Penyebab internal cenderung mengacu pada
aspek perilaku individual, sesuatu yang telah ada dalam diri seseorang seperti sifat
pribadi, persepsi diri, kemampuan, dan motivasi. Sedangkan penyebab eksternal
lebih mengacu pada lingkungan yang mempengaruhi perilaku seseorang, seperti
kondisi social, nilai sosial, dan pandangan masyarakat. Teori ini juga menunjukan
bahwa kinerja yang diharapkan dimasa mendatang disebabkan oleh penyebab
9
Kesuksesan maupun kegagalan pada pelaksanaan tugas sebelumnya. Teori ini
digunakan untuk menilai atribusi perilaku eksternal auditor dalam kaitannya
dengan stress kerja, dan sifat kepribadian seorang auditor. (Gabrielle, 2007).
2.1.2 Teori Kepribadian (Personality Theory)
Sebagai suatu cabang dari ilmu psikologi, teori kepribadian
membahas mengenai hubungan sifat dan karakteristik individu, proses
perkembangan psikologis seseorang, dan menjelaskan berbagai perbedaan
individu yang satu dan individu lainnya, serta menjabarkan sifat manusia
dalam berperilaku (Lindrianasari et al. 2012). Pada penelitian ini, teori
kepribadian digunakan untuk menjelaskan pengaruh sifat kepribadian dan
locus of control pada hubungan stres kerja dan perilaku disfungsional audit.
Penelitian atas sifat kepribadian sering digunakan sebagai prediktor
kinerja dan perilaku seseorang. Sifat merupakan pondasi dasar kepribadian
individu yang melandasi pemikiran, perasaan, dan perilaku seseorang
(Barrick dan Mount, 2011). Konsep sifat kepribadian yang sering digunakan
adalah The Big Five Personality atau The Big Five Inventory. Model ini
menggambarkan karakteristik individu yang menonjolkan ciri-ciri suatu
kepribadian (Barrick dan Mount, 2011), diterapkan pada budaya yang
berbeda serta dari waktu ke waktu (Hampson dan Goldberg, 2006). Konsep
ini membagi kepribadian menjadi lima dimensi, yaitu :
10
1. Extraversion (E)
Faktor pertama adalah extraversion, atau bisa juga disebut faktor
dominan-patuh (dominance-submissiveness). Faktor ini merupakan dimensi
yang penting dalam kepribadian, dimana extraversion ini dapat
memprediksi banyak tingkah laku sosial. Menurut (Beehr 2009), seseorang
yang memiliki faktor extraversion yang tinggi, akan mengingat semua
interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak orang dibandingan dengan
seseorang dengan tingkat extraversion lebih rendah. Dalam berinteraksi,
mereka juga akan lebih banyak memegang kontrol dan keintiman. Per grop
mereka juga dianggap sebagai orang-orang yang ramah, fun-loving,
affectionate, dan talkative.
Extraversion dicirikan dengan efek positif seperti memiliki
antusiasme yang tinggi, senang bergaul, memiliki emosi yang positif,
energik, tertarik dengan banyak hal, ambisius, workaholic juga ramah
terhadap orang lain. Extraversion memiliki tingkat motivasi yang tinggi
dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama dan juga dominan dalam
lingkungannya Extraversion dapat memprediksi perkembangan dari
hubungan sosial. Seseorang yang memiliki tingkat extraversion yang tinggi
dapat lebih cepat berteman daripada seseorang yang memiliki tingkat
extraversion yang rendah.Extraversion mudah termotivasi oleh perubahan,
variasi dalam hidup, tantangan dan mudah bosan. Sedangkan orang-orang
dengan tingkat extraversion rendah cenderung bersikap tenang dan menarik
diri dari lingkungnnya.
11
Seorang auditor yang memiliki sifat kepribadian extraversion atau
kepribadian “E” yang tinggi akan cenderung memiliki sifat banyak bicara,
energik, semangat, memiliki emosi yang positif, menyukai tantangan,
mudah bergaul, serta cepat beradaptasi dengan lingkungan sekitar (Judge et
al,. 2012). Sifat kepribadian ini sangat mendukung profesi akuntan publik
karena dewasa ini profesi auditor dituntut untuk mampu berinteraksi dan
berkomunikasi secara personal personal dengan tim kerja selama
melakukan penugasan audit (Briggs et al., 2007).
2. Agreeableness (A)
Agreeableness dapat disebut juga social adaptibility atau likability
yang mengindikasikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang
selalu mengalah, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk
mengikuti orang lain. Berdasarkan value survey, seseorang yang memiliki
skor agreeableness yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang
memiliki value suka membantu, forgiving, dan penyayang. Namun,
ditemukan pula sedikit konflik pada hubungan interpersonal orang yang
memiliki tingkat agreeableness yang tinggi, dimana ketika berhadapan
dengan konflik, self esteem mereka akan cenderung menurun (Goldberg,
2010). Selain itu, menghindar dari usaha langsung dalam menyatakan
kekuatan sebagai usaha untuk memutuskan konflik dengan orang lain
merupakan salah satu ciri dari seseorang yang memiliki tingkat
agreeableness yang tinggi.
12
Pria yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi dengan
penggunaan power yang rendah, akan lebih menunjukan kekuatan jika
dibandingkan dengan wanita. Sedangkan, orang-orang dengan tingkat
agreeableness yang rendah cenderung untuk lebih agresif dan kurang
kooperatif. Pelajar yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi
interaksi yang lebih tinggi dengan keluarga dan jarang memiliki konflik
dengan teman yang berjenis kelamin berlawanan.
Sifat kepribadian agreeableness atau kepribadian “A” digambarkan
sebagai pribadi yang menyenangkan, memiliki rasa toleransi dan
memaafkan yang tinggi, perhatian, serta kooperatif (Goldberg, 2010).
Agreeableness identik dengan penciptaan hubungan baik dengan
meminimalkan konflik interpersonal, memelihara kerjasama, dan
melakukan negosiasi untuk menyelesaikan konflik. Hasil penelitian Skyrme
et el. (2005) menunjukan bahwa kepribadian ini berpengaruh negatif pada
kinerja auditor. Dalam penelitian ini, peneliti menduga bahwa auditor yang
berkepribadian “A” lebih kooperatif dalam melaksanakan penugasan
meskipun mengalami stres kerja yang tinggi. Selain itu, kemungkinan
auditor untuk melakukan penyimpanganperilaku sangat kecil, mengingat
auditor tidak menginginkan terjadinya konflik baik dengan rekan kerja,
atasan, maupun klien.
13
3. Neuroticism (N)
Neuroticism adalah dimensi kepribadian yang menilai kemampuan
seseorang dalam menahan tekanan atau stress. Karakteristik Positif dari
Neuroticism disebut dengan Emotional Stability (Stabilitas Emosional),
Individu dengan Emosional yang stabil cenderang Tenang saat menghadapi
masalah, percaya diri, memiliki pendirian yang teguh. Sedangkan
karakteristik kepribadian Neuroticism (karakteristik Negatif) adalah mudah
gugup, depresi, tidak percaya diri dan mudah berubah pikiran (Hampson
2006).
Oleh karena itu, Dimensi Kepribadian Neuroticism atau Neurotisme
yang pada dasarnya merupakan sisi negatif ini sering disebut juga dengan
dimensi Emotional Stability (Stabilitas Emosional) sebagai sisi positifnya,
ada juga yang menyebut Dimensi ini sebagai Natural Reactions (Reaksi
Alami). Seseorang yang memiliki kepribadian ini cenderung kaku atas
tanggung jawab terhadap partner kerja ketika ingin mencapai suatu tujuan
serta keinginan untuk mendominasi (Denissen dan Panke, 2008). Penelitian
ini menduga bahwa auditor yang memiliki kepribadian Neuroticism yang
tinggi lebih cepat merasakan ketegangan, kecermasan, dan depresi apabila
mengalami stres kerja yang tinggi sehingga menimbulkan pemikiran negatif
yang mengarah pada penyimpangan perilaku audit.
14
4. Oppenners (O)
Dimensi Kepribadian Opennes to Experience ini mengelompokan
individu berdasarkan ketertarikannya terhadap hal-hal baru dan keinginan
untuk mengetahui serta mempelajari sesuatu yang baru. Karakteristik positif
pada Individu yang memiliki dimensi ini cenderung lebih kreatif, Imajinatif,
Intelektual, penasaran dan berpikiran luas. Sifat kebalikan dari “Openness”
ini adalah individu yang cenderung konvensional dan nyaman terhadap hal-
hal yang telah ada serta akan menimbulkan kegelisahan jika diberikan
tugas-tugas baru.
Sifat kepribadian Opennes atau kepribadian “O” memiliki sifat ingin
tahu, berwawasan luas, imajinatif, terbuka dengan berbagai cara-cara baru
(Goldberg, 2010). Kepribadian ini mampu mengatasi masalah dalam waktu
yang singkat, informasi terbatas dan ketidakpastian yang tinggi yang
disebabkan mempunyai ide cemerlang (McAdams dan Pals, 2006).
Meskipun demikian, Griffin dan Hesketh (2008) menyatakan bahwa
kepribadian ini berpengaruh pada prestasi kerja hanya dalam kondisi
tertentu. Jaffar et al. (2011) menemukan bahwa kepribadian ini berpengaruh
pada kemampuan untuk mendeteksi kecurangan, serta berpengaruh negatif
pada kinerja. Peneliti menduga bahwa auditor dengan kepribadian “O” yang
tinggi akan mampu mengatasi stres kerja dikarenakan auditor memiliki
inovasi, kecerdasan, dan teknik-teknik baru memecahkan masalah, sehingga
mengurangi peluang terjadinya perilaku disfungsional audit.
15
5. Conscientiousness (C)
Individu yang memiliki Dimensi Kepribadian Conscientiousness ini
cenderung lebih berhati-hati dalam melakukan suatu tindakan ataupun
penuh pertimbangan dalam mengambil sebuah keputusan, mereka juga
memiliki disiplin diri yang tinggi dan dapat dipercaya. Karakteristik Positif
pada dimensi adalah dapat diandalkan, bertanggung jawab, tekun dan
berorientasi pada pencapain. Sifat kebalikan dari Conscientiousness adalah
individu yang cendurung kurang bertanggung jawab, terburu-buru, tidak
teratur dan kurang dapat diandalkan dalam melakukan suatu pekerjaan.
Sifat kepribadian conscientiousness atau kepribadian “C” ditandai
oleh sifat-sifat seperti dapat diandalkan, rajin, disiplin, memiliki kompetensi
dan tanggung jawab (Goldbreg, 2010). Auditor dengan kepribadian “C”
yang tinggi memiliki motivasi kuat untuk bekerja (Zimmerman, 2008),
berorientasi pada tugas, dan berorientasi pada karir jangka panjang. Studi
menunjukan conscientiousness berhubungan negatif dengan perilaku
menyimpang dalam organisasi (Farhadi et al., 2011). Hasil berbeda
ditunjukan Robertson et al. (2012) yang menunjukan bahwa kepribadian
“C” tidak berpengaruh terhadap kinerja dan kemampuan untuk mendeteksi
kecurangan atas karakteristik yang melekat pada kepribadian “C” tersebut,
Peneliti menduga bahwa auditor memiliki tanggung jawab dan kedisiplinan
yang tinggi dalam melaksanakan tugas meskipun mengalami stes pekerjaan,
16
serta mempertimbangkan untuk tidak melakukan perilaku menyimpang
karena berorientasi pada keberhasilan karir untuk jangka panjang.
2.1.3 Time Preassure
Anggaran waktu merupakan hal yang penting bagi semua KAP
karena menyediakan dasar untuk memperkirakan biaya audit, pengalokasian
staf ke dalam pekerjaan audit, dan sebagai dasar untuk mengevaluasi kinerja
auditor (Basuki et al 2006) serta sangat diperlukan bagi auditor untuk
melaksanakan tugasnya agar dapat memenuhi permintaan klien secara tepat
waktu dan menjadi kunci keberhasilan karir auditor dimasa yang akan
datang. Oleh karena itu, selalu ada tekanan bagi auditor untuk
menyelesaikan audit dalam waktu yang telah dianggarkan. Auditor yang
menyelesaikan tugas melebihi waktu yang telah dianggarkan cenderung
dinilai memiliki kinerja yang buruk oleh atasannya atau sulit mendapatkan
promosi. Kriteria untuk memperoleh peringkat yang baik adalah pencapaian
anggran waktu. Akhir-akhir ini tuntutan tersebut semakin besar dan
menimbulkan time pressure.
Time Preassure memiliki dua dimensi yaitu time budget preassure
(keadaan dimana auditor dituntuk untuk melakukan efisiensi terhadap
anggaran waktu yang telah disusun, atau terdapat pembatasan waktu dalam
anggaran yang sangat ketat) dan time deadline preassure (kondisi dimana
auditor dituntut untuk menyelesaikan tugas audit tepat pada waktunya)
(Heriningsih, 2010).
17
Fungsi anggaran dalam Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah
sebagai dasar estimsi biaya audit. Alokasi staf ke masing-masing pekerjaan
dan evaluasi kinerja staf auditor (Suryanita, et al 2007). Time Preassure
yang diberikan oleh KAP kepada auditornya bertujuan untuk mengurangi
biaya audit. Semakin cepat waktu pengerjaan audit, maka biaya pengerjaan
audit akan semakin kecil. Keberadaan time preassure ini memaksa auditor
untuk menyelesaikan tugas secepatnya atau sesuai dengan anggaran waktu
yang telah ditetapkan. Pelaksanaan prosedur audit seperti ini tentu saja tidak
akan sama hasilnya bila prosedur audit dilakukan dalam kondisi tanpa time
preassure. Agar menepati anggran waktu yang telah ditetapkan, ada
kemungkinan bagi auditor untuk melakukan pengabaian terhadap prosedur
audit bahkan melakukan disfungsional audit seperti perilaku
Underreporting of Time (URT).
Perilaku Underreporting of Time (URT) merupakan tindakan
auditor dengan memanipulasi laporan waktu audit yang digunakan untuk
pelaksanaan tugas audit tertentu. Perilaku URT terjadi ketika auditor tidak
melaporkan dan membebankan seluruh waktu audit yang digunaka untuk
menyelesaikan tugas audit yang dibebankan KAP (Chelven Chengabroyan,
2011). Perilaku URT terutama dimotivasi oleh keinginan auditor
menyelesaikan tugas audit dalam batas anggaran waktu audit dalam usaha
mendapatkan evaluasi kinerja personal yang tinggi.
Dalam praktek perilaku URT juga disebut sebagai the practice of
eating time (Smith, Hutton dan Jordan, 2012). Perilaku URT dapat
18
dilakukan melalui tindakan seprti; mengerjakan audit dengan menggunakan
waktu personal (misalnya bekerja pada jam istirahat), mengalihkan waktu
audit yang digunakan untuk pelaksanaan tugas audit tertentu pada tugas lain
pengerjaannya dilakukan pada waktu yang bersamaan, dan tidak
melaporkan waktu lembur yang digunakan dalam mengerjakan prosedur
atau tugas audit tertentu (Chelven Chengabroyan, 2011).
2.1.4 Stres Kerja
Stres adalah pengalaman yang bersifat internal yang menciptakan
adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis dalam diri seseorang sebagai
akibat dari faktor lingkungan eksternal, organisasi atau orang lain.
Menurut Robbins (2010), Stress adalah suatu kondisi dinamis dimana
seorang individu dihadapkan pada peluang, tuntutan, atau sumber daya yang
terkait dengan apa yang dihasratkan oleh individu itu dan yang hasilnya
dipandang tidak pasti. Menurut Lawrense (2007) menyatakan bahwa stres
hanya berhubungan dengan kejadian-kejadian disekitar lingkungan kerja
yang merupakan bahaya atau ancaman bahwa perasaan-perasaan yang
terutama relevan mencakup rasa takut, cemas, rasa bersalah, marah, sedih,
putus asa dan bosan.Menurut Beehr dan Newman dalam Luthans (2009)
menyatakan kondisi yang muncul dari interaksi antar manusia dan pekerjaan
serta dikarakterisasikan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka
untuk menyimpang dari fungsi normal mereka.
19
Luthans (2012) menyebutkan bahwa penyebab stres (stressor) terdiri
atas empat hal utama, yakni:
1. Extra organizational stressors, yang terdiri dari perubahan
sosial/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan
kelas, dan keadaan komunitas/tempat tinggal.
2. Organizational stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur
organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam
organisasi.
3. Group stressors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup,
kurangnya dukungan sosial, serta adanya konflik intraindividu, interpersonal,
dan intergrup.
4. Individual stressors, yang terdiri dari terjadinya konflik dan ketidak jelasan
peran, serta disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, kontrol
personal, learned helplessness, self-efficacy, dan daya tahan psikologis.
Sedangkan Davidson (2010) membagi penyebab stres dalam
pekerjaan menjadi dua, yakni:
1. Group stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari situasi maupun
keadaan di dalam perusahaan, misalnya kurangnya kerjasama antara pegawai,
konflik antara individu dalam suatu kelompok, maupun kurangnya dukungan
sosial dari sesama pegawai di dalam perusahaan.
20
2. Individual stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari dalam diri
individu, misalnya tipe kepribadian seseorang, kontrol personal dan tingkat
kepasrahan seseorang, persepsi terhadap diri sendiri, tingkat ketabahan dalam
menghadapi konflik peran serta ketidak jelasan peran.
Selanjutnya (Chen, 2006), memaparkan terdapat dua faktor penyebab
atau sumber munculnya stres atau stres kerja karyawan, yaitu faktor
lingkungan kerja dan faktor personal Faktor lingkungan kerja dapat berupa
kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan sosial di lingkungan
pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe kepribadian,
peristiwa/pengalaman pribadi maupun kondisi sosial ekonomi keluarga di
mana pribadi berada dan mengembangkan diri.
Sedangkan menurut Briggs (2007) stres kerja disebabkan:
1. Adanya tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas tidak selalu menjadi
penyebab stres, akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak
sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang
tersedia bagi pegawai.
2. Supervisor yang kurang pandai. Seorang pegawai dalam menjalankan tugas
sehari-harinya biasanya di bawah bimbingan sekaligus
mempertanggungjawabkan kepada supervisor. Jika seorang supervisor
pandai dan menguasai tugas bawahan, ia akan membimbing dan memberi
pengarahan atau instruksi secara baik dan benar.
21
3. Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan. Pegawai biasanya
mempunyai kemampuan normal menyelesaikan tugas kantor/ perusahaan
yang dibebankan kepadanya. Kemampuan berkaitan dengan keahlian,
pengalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak atasan
seringkali memberikan tugas dengan waktu yang terbatas. Akibatnya,
pegawai dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai tepat waktu yang
ditetapkan atasan.
4. Kurang mendapat tanggungjawab yang memadai. Faktor ini berkaitan
dengan hak dan kewajiban pegawai. Atasan sering memberikan tugas kepada
bawahannya tanpa diikuti kewenangan (hak) yang memadai. Sehingga, jika
harus mengambil keputusan harus berkonsultasi, kadang menyerahkan
sepenuhnya pada atasan.
5. Ambiguitas peran. Agar menghasilkan performan yang baik, pegawai perlu
mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan serta
scope dan tanggungjawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian
tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul
ambiguitas peran.
6. Perbedaan nilai dengan perusahaan. Situasi ini biasanya terjadi pada para
pegawai atau manajer yang mempunyai prinsip yang berkaitan dengan profesi
yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi (altruisme).
7. Frustrasi. Dalam lingkungan kerja, perasaan frustrasi memang bisa
disebabkan banyak faktor. Faktor yang diduga berkaitan dengan frustrasi
22
kerja adalah terhambatnya promosi, ketidakjelasan tugas dan wewenang serta
penilaian/evaluasi staf, ketidakpuasan gaji yang diterima.
8. Perubahan tipe pekerjaan, khususnya jika hal tersebul tidak umum. Situasi
ini bisa timbul akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian dan jenjang
karir yang di lalui atau mutasi pada perusahaan lain, meskipun dalam satu
grup namun lokasinya dan status jabatan serta status perusahaannya berada di
bawah perusahaan pertama.
9. Konflik peran. Terdapat dua tipe umum konflik peran yaitu (a) konflik
peran intersender, dimana pegawai berhadapan dengan harapan organisasi
terhadapnya yang tidak konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik peran
intrasender, konflik peranini kebanyakan terjadi pada pegawai atau manajer
yang menduduki jabatan di dua struktur. Akibatnya, jika masing-masing
struktur memprioritaskan pekerjaan yang tidak sama, akan berdampak pada
pegawai atau manajer yang berada pada posisi dibawahnya, terutama jika
mereka harus memilih salah satu alternative.
2.1.5 Perilaku Disfungsional
Perilaku disfungsional adalah setiap tindakan yang dilakukan auditor
dalam pelaksanaan program audit yang dapat mereduksi atau menurunkan
kualitas audit secara langsung maupun tidak langsung (Arens et, al 2008:43).
Perilaku disfungsional berpengaruh terhadap kualitas audit (Fitrini 2012).
Menurut Rick Hayes et al, (2007:51) manyatakan bahwa salah satu ciri dari
panjang masa audit (audit tenure) adalah keterlibatan tahun pertama audit
23
(masa tenure pendek) dianggap kurang menyeluruh (kurang mendalam),
karena hal ini membutuhkan beberapa waktu untuk mengidentifikasi semua
resiko audit potensial untuk klien baru, sehingga mengurangi kualitas audit.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian sebelumnya mengenai peran sifat kepribadian sebagai
variabel pemoderasi pada hubungan stres kerja dan perilaku kerja yang kontra
produktif telah dilakukan oleh Bowling dan Eschleman (2010). Penelitian
yang menggunakan tiga sifat kepribadian yaitu conscientiousness,
agreeableness, dan negative affectivity tersebut menunjukkan bahwa ketiga
variabel sifat kepribadian tersebut mampu memoderasi hubungan stres kerja
dan perilaku kerja yang kontra produktif. Selain sifat kepribadian, locus of
control juga merupakan salah satu karakteristik kepribadian yang diduga
memengaruhi perilaku auditor.
Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Basuki dan Krisna (2006)
mengenai pengaruh tekanan anggaran waktu terhadap perilaku disfungsional
dan kualitas audit. Responden penelitiannya adalah auditor yang bekerja pada
KAP di Surabaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa time preassure
berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku disfungsional audit.
Penelitian yang dilakukan oleh Kartika dan Wijayanti (2007) yang
menguji pengaruh locus of control terhadap penerimaan perilaku
disfungsional audit dan kinerja pada auditor pemerintah, Hasil penelitian
tersebut menyatakan bahwa locus of control eksternal berpengaruh positif
24
pada penerimaan perilaku disfungsional audit, namun berpengaruh negatif
terhadap kinerja auditor.
Dari Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ni Wayan Rustiarini
(2013) mencoba memberikan titik pandang baru pada hubungan stres kerja
dan perilaku auditor dengan memasukkan sifat kepribadian dan locus of
control sebagai variabel pemoderasi. Perbedaan sifat kepribadian
menyebabkan auditor memiliki persepsi yang berbeda atas stres kerja yang
dialami. Suatu tugas dapat dirasa sulit bagi seorang auditor, namun tidak bagi
auditor yang lain, tergantung karakteristik kepribadian auditor tersebut.
Perilaku disfungsional merupakan refleksi dari kepribadian individu atas
terjadinya stres kerja yang dikarenakan kompleksitas, tekanan, konflik serta
ambiguitas peran. Hasil penelitian Berdasarkan hasil pengujian yang telah
dilakukan, secara umum sifat kepribadian dan locus of control yang
diposisikan sebagai variabel pemoderasi mendukung teori yang ada. Sifat
kepribadian openness to experience dan conscientiousness, serta ekternal dan
internal locus of control memiliki kemampuan untuk memperlemah
hubungan stres kerja dan perilaku disfungsional audit yang terjadi dalam
penugasan audit. Meskipun demikian, sifat kepribadian extraversion,
agreeableness, dan neuroticism tidak memiliki peran pada hubungan stres
kerja dan perilaku disfungsional audit.
Penelitian selanjutnya yang di lakukan oleh Rustiarini (2013),
melakukan penelitian untuk menginvestigasi pengaruh stress kerja dan
perilaku disfungsional audit, dengan focus pada peran sifat kepribadian yakni
25
the big five personality dan locus of control. Sebagai responden dalam
penelitian ini adalah auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik (KAP)
di Bali. Teknik analisis yang digunakan untuk menguji tujuh hipotesis yang
dirumuskan adalah moderated regressions analysis. Hasil pengujian
menunjukan bahwa stress kerja berpengaruh positif pada perilaku
disfungsional audit. Selain itu, hanya sifat kepribadian openness to
experience serta locus of control internal dan eksternal yang berpengaruh
pada hubungan stress kerja dan perilaku disfungsional audit, namun sifat
kepribadian lainnya seperti conscientientiousnes, extraversion,
agreeableness, dan neuroticism tidak berpengaruh pada hubungan stress kerja
dan perilaku disfungsional. Hal ini mengindikasikan bahwa kepribadian
auditor penting untuk mengurangi kemungkinan terjadinya perilaku
disfungsional audit.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Sososutikno (2010) mengenai
hubungan tekanan anggaran waktu dengan perilaku disfungsional serta
pengaruhnya terhadap kualitas audit. Objek penelitian adalah auditor ahli
yang bekerja pada BPKP di Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukan bahwa
anggaran waktu memiliki hubungan yang positif terhadap perilaku premature
sign-off dan underreporting of time dan audit quality reduction behavior
(AQRB).
Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Basuki dan Krisna (2006)
mengenai Time Preassure terhadap perilaku disfungsional dan kualitas audit.
Responden penelitiannya adalah auditor yang bekerja pada KAP di Surabaya.
26
Hasil penelitian menunjukan bahwa time preassure berpengaruh secara
signifikan terhadap perilaku disfungsional pada auditor.
Penelitian yang dilakukan oleh Chen dan Silverthone (2008)
mengambil sampel pada KAP di Jakarta mengenai perngaruh stress kerja
pada perilaku auditor menunjukan ketidak konsistenan hasil. Stress kerja
menyebabkan terjadinya ketidakpuasan kerja dan menurunkan kinerja,
hingga perilaku yang menyimpang (Lawrence dan Robinson, 2007).
Meskipun demikian, stress kerja terkadang diciptakan untuk memberikan
tantangan bagi seseorang agar dapat meningkatkan kinerjanya (Moore, 2012).
Chen et al. (2006) menyatakan bahwa auditor yang mengalami stress pada
tingkat tertentu justru dapat meningkatkan kinerja yang lebih baik.
Beberapa peneliti sebelumnya telah mempertimbangkan faktor
psikologi seperti sifat kepribadian dan locus of control sebagai prediktor pada
kinerja dan perilaku auditor. Sifat kepribadian merupakan prediktor atas
prestasi kerja (Barrick 2011), serta perilaku disfungsional di tempat kerja
(Donnely et al. 2012) menunjukkan bahwa locus of control eksternal
berpengaruh pada perilaku disfungsional audit.
27
2.3 Pengembangan Hipotesis
2.3.1 Pengaruh Stress Kerja Terhadap Perilaku Disfungsional Audit
Stres kerja (job stress) diartikan sebagai berbagai faktor di tempat
kerja yang dianggap dapat menimbulkan ancaman bagi individu (Briggs et
al., 2007). Stres kerja yang berlebihan menyebabkan terjadinya gangguan
stabilitas emosional individu sehingga mengarah pada tidak terkontrolnya
perilaku individu (Lawrence dan Robinson, 2007). Stres juga terjadi ketika
individu secara fisik dan emosional tidak dapat menangani tuntutan di tempat
kerja yang melampaui kemampuan mereka dalam melaksanakan pekerjaan
tersebut, serta tidak mampu beradaptasi dengan situasi dan lingkungannya
(Ugoji dan Isele, 2009).
Beberapa penelitian empiris menunjukkan bahwa stres kerja
berhubungan dengan perilaku disfungsional audit. Donelly et al. (2012)
menyatakan bahwa sikap auditor yang menerima perilaku disfungsional
merupakan indikator adanya perilaku disfungsional aktual. Perilaku yang
mempunyai pengaruh langsung adalah premature sign off dan replacing audit
procedures, sementara perilaku yang tidak langsung mempengaruhi adalah
underreporting of time. Berdasarkan uraian tersebut, maka dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
H1: Stres kerja berpengaruh pada perilaku disfungsional audit.
28
2.3.2 Sifat Kepribadian Memoderasi Stres Kerja terhadap Perilaku
Disfungsional Audit
Sifat merupakan pondasi dasar kepribadian individu yang melandasi
pemikiran, perasaan, dan perilaku seseorang (Barrick dan Mount, 2011).
Konsep sifat kepribadian yang sering digunakan adalah The Big Five
Personality atau The Big Five Inventory (Adams, 2006). Model ini
menggambarkan karakteristik individu yang menonjolkan ciri-ciri suatu
kepribadian (Barrick dan Mount, 2011), diterapkan pada budaya yang
berbeda serta dari waktu ke waktu (Hampson dan Goldberg, 2006).
Berdasarkan uraian tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H2 : Sifat Kepribadian Memoderasi Hubungan Stres Kerja terhadap Perilaku
Disfungsional Audit.
2.3.3 Time Preassure memoderasi Stres Kerja Terhadap Perilaku
Disfungsional Audit
Adanya time pressure yang diberikan oleh kantor akuntan publik
kepada auditornya bertujuan untuk mengurangi biaya audit. Semakin cepat
waktu pengerjaan audit, maka biaya pelaksanaan audit akan semakin kecil.
Keberadaan time pressure ini memaksa auditor untuk menyelesaikan tugas
secepatnya / sesuai dengan anggaran waktu yang telah ditetapkan
(Sososutikno, 2010). Pelaksanaan prosedur audit ini tentu saja tidak akan
sama hasilnya bila prosedur audit dilakukan dalam kondisi tanpa time
pressure. Agar menepati anggaran waktu yang telah ditetapkan, ada
29
kemungkinan bagi auditor untuk melakukan pengabaian terhadap prosedur
audit bahkan pemberhentian prosedur audit. Semakin besar pressure terhadap
waktu pengerjaan audit, semakin besar pula kecenderungan untuk melakukan
disfungsional audit. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis sebagai
berikut:
H3 : Time Preassure memoderasi hubungan stres kerja terhadap perilaku
disfungsional audit.
2.4 Kerangka Pemikiran
Stres kerja (job stress) diartikan sebagai berbagai faktor di tempat
kerja yang dianggap dapat menimbulkan ancaman bagi individu (Briggs et
al., 2007). Stres kerja yang berlebihan menyebabkan terjadinya gangguan
stabilitas emosional individu sehingga mengarah pada tidak terkontrolnya
perilaku individu (Lawrence dan Robinson, 2007). Stres juga terjadi ketika
individu secara fisik dan emosional tidak dapat menangani tuntutan di
tempat kerja yang melampaui kemampuan mereka dalam melaksanakan
pekerjaan tersebut, serta tidak mampu beradaptasi dengan situasi dan
lingkungannya (Ugoji dan Isele, 2009). Penilaian atas sifat kepribadian
sering digunakan sebagai prediktor kinerja dan perilaku seseorang. Sifat
merupakan pondasi dasar kepribadian individu yang melandasi pemikiran,
perasaan, dan perilaku seseorang (Barrick dan Mount, 2011). Konsep sifat
kepribadian yang sering digunakan adalah The Big Five Personality atau
The Big Five Inventory (McAdams, 2006). Model ini menggambarkan
30
karakteristik individu yang menonjolkan ciri-ciri suatu kepribadian (Barrick
dan Mount, 2011), diterapkan pada budaya yang berbeda serta dari waktu
ke waktu (Hampson dan Goldberg, 2010). Konsep ini membagi kepribadian
menjadi lima dimensi yaitu openness to experience, conscientiousness,
extraversion, agreeableness, dan neuroticism.
Anggaran waktu merupakan hal yang sangat penting bagi semua
KAP karena menyediakan dasar untuk memperkirakan biaya audit,
pengalokasian staf ke dalam pekerjaan audit, dan sebagai dasar untuk
mengevaluasi kinerja auditor Basuki et al (2006) serta sangat diperlukan
bagi auditor dalam melaksanakan tugasnya untuk dapat memenuhi
permintaan klien secara tepat waktu dan menjadi salah satu kunci
keberhasilan karir auditor di masa depan. Oleh karena itu, selalu ada tekanan
bagi auditor untuk menyelesaikan audit dalam waktu yang telah
dianggarkan. Auditor yang menyelesaikan tugas melebihi waktu normal
yang telah dianggarkan cenderung dinilai memiliki kinerja yang buruk oleh
atasannya atau sulit mendapatkan promosi. Kriteria untuk memperoleh
peringkat yang baik adalah pencapaian anggaran waktu. Akhir-akhir ini
tuntutan tersebut semakin besar dan menimbulkan time pressure. Dari
paparan diatas maka peneliti menggambarkan kerangka pemikiran yang
akan di bahas adalah sebagai berikut :