bab ii landasan teori a. kajian teori 1. pembelajaran matematika...
TRANSCRIPT
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Pembelajaran Matematika Sekolah Menengah Atas (SMA)
Belajar merupakan kegiatan bagi setiap orang. Belajar adalah suatu proses
perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan (Hamalik,
2014: 37). Belajar secara sederhana dikatakan sebagai proses perubahan dari belum
mampu menjadi sudah mampu yang terjadi dalam jangka waktu tertentu (Irwanto,
2002: 105). Dalam proses belajar terjadi hubungan peserta didik dengan lingkungan
sekitarnya yang menyebabkan adanya perubahan tingkah laku dari peserta didik.
Gage dan Berliner (Dimyati & Mudjiono, 2015: 116) belajar merupakan suatu
proses yang membuat seseorang mengalami perubahan tingkah laku sebagai hasil
pengalaman yang diperolehnya.
Belajar merupakan usaha peningkatan mental siswa (Dimyati & Mudjiono,
2015: 4). Siswa adalah subjek yang mengalami proses dan peningkatan kemampuan
mental. Proses belajar terjadi berkat siswa memperoleh sesuatu yang ada di
lingkungan sekitar dimana ukuran keberhasilannya adalah siswa mampu
memecahkan masalah (Dimyati & Mudjiono, 2015: 8). Menurut Gagne (Dimyati &
Mudjiono, 2015: 10) setelah belajar orang akan memiliki ketrampilan,
pengetahuan, sikap dan nilai.
Menurut Hudojo (1988: 1) pengetahuan ketrampilan, kebiasaan, kegemaran dan
sikap seseorang terbentuk, dimodifikasi dan berkembang disebabkan oleh proses
belajar. Karena itu, seseorang dikatakan belajar bila dapat diasumsikan dalam diri
13
orang tersebut menjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan suatu perubahan
tingkah laku. Bukti bahwa seseorang telah melakukan kegiatan belajar adalah
adanya perubahan tingkah laku pada orang tersebut, yang sebelumnya tidak ada
atau tingkah lakunya tersebut masih lemah atau kurang. Perubahan tingkah laku
dapat diamati dan berlaku dalam waktu relatif lama yang disertai usaha orang
tersebut sehingga orang tersebut dari tidak mampu mengerjakan sesuatu menjadi
mampu mengerjakan sesuatu.
Dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan
suatu proses perubahan tingkah laku dan peningkatan mental siswa yang diperoleh
dari lingkungannya yang menghasilkan ketrampilan, pengetahuan, sikap dan nilai.
Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur
manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling
mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran (Hamalik, 2014: 57). Berdasarkan
Undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 tentang sistem pendidikan
nasional menjelaskan bahwa “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik
dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Menurut BSNP (2006: 17) kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan
kegiatan belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar
peserta didik dengan guru, lingkungan dan sumber belajar lainnya dalam rangka
pencapaian kompetensi dasar. Pembelajaran merupakan perpaduan dari dua
kegiatan, yaitu belajar tertuju kepada yang harus dilakukan peserta didik dan
mengajar berorientasi kepada yang harus dilakukan guru.
14
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah
proses interaksi antara siswa, guru dalam suatu lingkungan dengan tujuan untuk
mencapai suatu kompetensi dasar.
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan
teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan
mengembangkan daya pikir manusia (BSNP, 2006: 387). Matematika sebagai ilmu
pengetahuan menjadi salah satu mata pelajaran yang perlu diberikan kepada semua
peserta didik mulai dari sekolah dasar hingga pendidikan tinggi. Matematika
mampu membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut
diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola,
dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu
berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Matematika yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan tidak sama dengan
matematika sebagai ilmu. Pembelajaran matematika memiliki tujuan menekankan
kepada menata penalaran dan membentuk kepribadian siswa dan menekankan
kepada kemampuan memecahkan masalah dan menerapkan matematika (Ekawati,
2011). Berdasarkan BSNP (2006: 388)
Tujuan pembelajaran matematika untuk jenjang sekolah menengah atas adalah
agar peserta didik mempunyai kemampuan sebagai berikut:
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat, dalam pemecahan masalah.
15
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Berdasarkan pengertian di atas, pembelajaran matematika SMA membekali
peserta didik dalam kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan
kreatif, serta kemampuan bekerja sama dengan tujuan agar peserta didik mampu
memahami konsep matematika, menggunakan penalaran, memecahkan masalah,
mengkomunikasikan gagasan, dan memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan sehari-hari.
2. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
a. Pengertian Masalah Matematika
Persoalan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat sepenuhnya
dikatakan sebagai suatu masalah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Menurut
Gorman (Dewanti, 2011: 32) masalah atau problem adalah situasi yang
16
mengandung kesulitan bagi seseorang dan mendorongnya untuk mencari solusi.
Menurut Hudojo (1988) menyatakan bahwa sesuatu disebut masalah bagi siswa
jika: (1) pertanyaan yang dihadapkan kepada peserta didik harus dapat
dimengerti oleh peserta didik tersebut, namun pertanyaan itu harus merupakan
tantangan baginya untuk menjawab dan (2) pertanyaan tersebut tidak dapat
dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui peserta didik.
Cooney, dkk (1975) menyatakan bahwa:
“... for a question to be a problem, it must present a challenge that cannot
be resolved by some routine procedure known to the student”.
Artinya sebuah pertanyaan akan menjadi sebuah masalah apabila menjadi
tantangan yang tidak dapat diselesaikan dengan beberapa cara yang telah
diketahui siswa.
Menurut Saad & Ghandi (2008: 119), masalah matematika merupakan
situasi yang memiliki tujuan yang jelas tetapi berhadapan dengan halangan
akibat kurangnya algoritma yang diketahui untuk menguraikannya agar
memperoleh sebuah solusi. Sementara itu, Polya (1973: 154-155) menjelaskan
masalah matematika dalam dua jenis, yaitu masalah mencari (problem to find)
dan masalah membuktikan (problem to prove). Masalah mencari yaitu masalah
yang bertujuan untuk mencari, menentukan, atau mendapatkan nilai objek
tertentu yang tidak diketahui dalam soal dan memberi kondisi yang sesuai.
Sedangkan masalah membuktikan yaitu masalah dengan suatu prosedur untuk
menentukan suatu pernyataan benar atau tidak benar.
Berdasarkan pengertian mengenai masalah dan masalah matematika di atas
dapat disimpulkan bahwa masalah matematika meruapkan situasi yang
17
terhalang karena kurangnya algorimta dalam mencari solusi. Terdapat dua jenis
masalah matematika, yaitu masalah yang bertujuan untuk mencari nilai yang
dicari dan masalah yang bertujuan untuk membuktikan suatu pernyataan dalam
matematika benar atau tidak benar.
b. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Masalah adalah kondisi yang memerlukan penyelesaian. Setiap individu
memiliki cara yang berbeda untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Perbedaan tersebut bergantung pada kemampuan pemecahan masalah yang
dimiliki oleh setiap individu. Polya (1973: 3) mendefinisikan pemecahan
masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan. Krulik dan
Rudnick (1995: 4) mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan
sebuah sarana di mana individu menggunakan pengetahuan, keterampilan dan
pemahaman yang telah diperoleh untuk menyelesaikan masalah pada situasi
yang tidak biasa. Menurut Fauziah dan Sukasno (2015: 12) pemecahan masalah
adalah proses menyelesaikan soal yang tidak rutin yang kompleks dengan
menggunakan pemahaman, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
Pimta, et al (2009: 381) menyatakan bahwa:
“problem-solving is considered as the heart of mathematic learning because
the skill is not only for learning the subject but it emphasizes on developing
thinking skill method as well”.
Artinya pemecahan masalah dianggap sebagai jantungnya matematika karena
tidak hanya kemampuan penyelesaian masalah namun juga kemampuan untuk
berpikir.
18
Branca (Syaiful, 2011: 216) juga mengemukakan bahwa: (1) kemampuan
pemecahan masalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika, bahkan
sebagai jantungnya matematika; (2) pemecahan masalah meliputi metode,
prosedur dan strategi merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum
matematika; dan (3) pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar dalam
belajar matematika. kemampuan memecahkan masalah menjadi sangat
dibutuhkan oleh siswa. Karena pada dasarnya siswa dituntut untuk berusaha
sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang
menyertainya sehingga menghasilkan pengetahuan yang bermanfaat.
Kemampuan memecahkan masalah matematika sangat dibutuhkan oleh
siswa. Karena pada dasarnya siswa dituntut untuk berusaha sendiri mencari
pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya sehingga
menghasilkan pengetahuan yang bermakna. Anderson (2009: 1) menyatakan
bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan ketrampilan hidup yang
penting yang melibatkan berbagai proses termasuk menganalisis, menafsirkan,
penalaran, memprediksi, mengevaluasi, dan merefleksikan. Wahyuningtyas
(2014: 3) mengemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah
kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika yang meliputi
kemampuan memahami masalah matematika, membuat rencana penyelesaian,
menyelesaikan rencana penyelesaian, dan memeriksa kembali hasil
penyelesaian yang didapat.
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan
pemecahan masalah matematika adalah kemampuan individu dalam
19
menerapkan pengetahuan, keterampilan dan pemahamannya untuk
menemukan solusi dari situati yang tidak biasa.
c. Langkah-langkah Pemecahan Masalah Matematika
Menurut Polya (1973: 5-17) terdapat empat langkah yang harus dilakukan
dalam memecahkan suatu masalah yaitu; (1) memahami masalah, (2)
merencanakan pemecahan, (3) melaksanakan rencana, (4) memeriksa kembali.
Pemecahan masalah Polya dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut.
Gambar 2.1 Tahap Kemampuan Pemecahan Masalah Polya (Polya, 1973: 5)
1) Memahami masalah (understand the problem)
Langkah pertama dalam menyelesaikan masalah adalah memahami
permasalahan itu sendiri. Siswa perlu mengidentifikasi apa yang diketahui, apa
yang dicari, dan hubungan yang terkait antara apa yang diketahui dan apa yang
akan dicari. Beberapa saran yang dapat membantu siswa dalam memahami
masalah yang kompleks antara lain: (a) mengetahui apa yang diketahui dan
dicari, (b) menjelaskan masalah seusai dengan kalimat sendiri, (c)
menghubungkannya dengan masalah yang serupa, (d) fokus pada bagian
masalah yang penting tersebut, (e) mengembangkan model, dan (f)
menggambar diagram/gambar.
Understand the problem
Looking back Devise a plan
Carry out the plan
20
2) Membuat rencana penyelesaian (devise a plan)
Pada langkah ini siswa perlu menemukan strategi yang sesuai dengan
permasalahan yang diberikan. Semakin sering siswa menyelesaikan masalah,
maka siswa akan mudah menemukan strategi yang sesuai dengan masalah yang
diberikan. Adapun hal-hal dilakukan oleh siswa adalah : (a) menebak, (b)
mengembangkan sebuah model, (c) mensketsa diagram, (d) menyederhanakan
masalah, (e) mengidentifikasi pola, (f) membuat tabel/diagram, (g) eksperimen
dan simulasi, (h) bekerja terbalik, (i) menguji semua kemungkinan, (j)
mengidentifikasi sub-tujuan, (k) membuat analogi, dan (l) mengurutkan
data/informasi.
3) Melaksanakan rencana penyelesaian (carry out the plan)
Pada langkah ini siswa menjalankan perencanaan yang telah dibuat pada
langkah sebelumnya. Langkah ini menekankan adanya pelaksanaan rencana
penyelesaian antara lain: (a) memeriksa setiap langkah apakah sudah benar
atau belum, (b) membuktikan bahwa langkah yang dipilih sudah benar, dan (c)
melaksanakan perhitungan seusai dengan rencana yang dibuat.
4) Memeriksa kembali (looking back)
Pada langkah terakhir, ditekankan pada bagaimana cara memeriksa
kebenaran jawaban yang diperoleh. Langkah ini meliputi: (a) memeriksa
kembali perhitungan yang telah dikerjakan, (b) membuat generalisasi atau
kesimpulan dari jawaban yang diperoleh, (c) apakah jawaban itu dapat dicari
dengan cara lain, dan (4) apakah perlu menyusun strategi baru yang lebih baik.
21
Menurut Saad & Ghani (2008: 121), tahap pemecahan masalah menurut
Polya dapat dianggap sebagai langkah-langkah pemecahan masalah yang
mudah dipahami dan banyak digunakan dalam kurikulum matematika di
seluruh dunia.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menggunakan tahap pemecahan
masalah menurut Polya. Sementara itu, indikator tahap pemecahan masalah
menurut Polya yang akan diteliti pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Indikator memahami masalah, meliputi: (a) mampu menentukan apa yang
diketahui dan apa yang ditanyakan pada masalah, dan (b) mampu
menjelaskan masalah dengan bahasa dan kalimat sendiri.
2) Indikator merencanakan penyelesaian, meliputi: (a) mampu menentukan
rencana yang digunakan untuk menyelesaikan masalah, dan (b) mampu
menentukan rumus yang digunakan untuk menyelesaikan masalah,
3) Indikator melaksanakan rencana penyelesaikan, meliputi: (a) mampu
menerapkan setiap langkah yang direncanakan untuk menyelesaikan
masalah, dan (b) mampu menerapkan setiap rumus yang telah ditentukan
untuk menyelesaikan masalah.
4) Indikator memeriksa kembali, meliputi: (a) mampu menentukan
kesimpulan dari masalah, (b) mampu memeriksa kembali rencana dan
perhitungan yang telah dilakukan.
Kemampuan pemecahan masalah dalam tiap tahapan pemecahan masalah
menurut Polya pada penelitian ini dikategorikan ke dalam tiga kategori
penilaian menurut Indarwahyuni et al. (2014: 131) meliputi baik, cukup, dan
22
kurang. Kategori tiap tahapan pemecahan masalah Polya pada penelitian
dideskripsikan sebagai berikut.
1) Memahami masalah
a) Baik, ketika siswa mampu menentukan rencana yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah serta mampu menjelaskan masalah dengan
bahasa dan kalimat sendiri.
b) Cukup, ketika siswa mampu menentukan rencana yang digunakan
untuk menyelesaikan masalah atau mampu menjelaskan masalah
dengan bahasa dan kalimat sendiri.
c) Kurang, ketika siswa tidak mampu menentukan rencana yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah serta tidak mampu
menjelaskan masalah dengan bahasa dan kalimat sendiri.
2) Merencanakan penyelesaian
a) Baik, ketika siswa mampu menentukan rencana yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah dan mampu menentukan rumus yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah.
b) Cukup, ketika siswa mampu menentukan rencana yang digunakan
untuk menyelesaikan masalah atau mampu menentukan rumus yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah.
c) Kurang, ketika siswa tidak mampu menentukan rencana yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah dan tidak mampu
menentukan rumus yang digunakan untuk menyelesaikan masalah.
3) Melaksanakan rencana penyelesaian
23
a) Baik, ketika siswa mampu menerapkan setiap langkah yang
direncakanan untuk menyelesaikan masalah dan mampu menerapkan
setiap rumus yang telah ditentukan untuk menyelesaikan masalah.
b) Cukup, ketika siswa mampu menerapkan setiap langkah yang
direncanakan untuk menyelesaikan masalah atau mampu menerapkan
setiap rumus yang telah ditentukan untuk menyelesaikan masalah.
c) Kurang, ketika siswa tidak mampu menerapkan setiap langkah yang
direncanakan untuk menyelesaikan masalah dan tidak mampu
menerapkan setiap rumus yang telah ditentukan untuk menyelesaikan
masalah.
4) Memeriksa kembali
a) Baik, ketika siswa mampu menentukan kesimpulan dari masalah dan
mampu memeriksa kembali rencana dan perhitungan yang telah
dilakukan.
b) Cukup, ketika siswa mampu menentukan kesimpulan dari masalah
atau mampu memeriksa kembali rencana dan perhitungan yang telah
dilakukan.
c) Kurang, ketika siswa tidak mampu menentukan kesimpulan dari
masalah dan tidak mampu memeriksa kembali rencana dan
perhitungan yang telah dilakukan.
24
3. Model Pembelajaran Missouri Mathemathics Project (MMP)
a. Pengertian Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP)
Model pembelajaran adalah suatu pola interaksi siswa dan guru di dalam
kelas yang terdiri dari strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran
yang diterapkan dalam pelaksanaan kegaitan pembelajaran di kelas ( Lestari &
Yudhanegara, 2017: 37). Joyce & Weil dalam Santyasa (2007: 7)
mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang
digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. demikian pula
Toeti Soekamto dan Winataputra dalam Shadiq (2009: 7) menjelaskan bahwa
model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang menggambarkan
prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar bagi para
siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran dan berfungsi sebagai pedoman
bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan
melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Berdasarkan defisini-definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah kerangka
konseptual yang menjadi pedoman pembelajaran dan menggambarkan
prosedur sistematis pembalajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Menerapkan suatu model pembelajaran yang tepat dapat memberikan
kesempatan siswa untuk dapat berperan aktif dalam mengkomunikasikan
pengetahuan yang dimilikinya. Alba et al (2014: 108) mengemukakan bahwa
salah satu model pembelajaran yang memberi peluang bagi siswa untuk
mengembangkan kemampuan pemecahan masalah adalah model pembelajaran
Missouri Mathematics Project (MMP). Menurut Slavin & Lake (2007: 31)
25
MMP adalah suatu model pembelajaran yang dirancang untuk membantu guru
secara efektif dalam menggunakan latihan-latihan agar guru dapat membantu
meningkatkan pencapaian siswa dalam belajar. Good & Grouws (1979: 357)
menyatakan bahwa model pembelajaran MMP difokuskan untuk
meningkatkan pencapaian siswa dalam belajar melalui daily review,
development, seatwork, homework assignment dan special reviews yang
diberikan oleh guru.
Menurut Krismanto (2003: 11) MMP merupakan salah satu model yang
terstruktur seperti halnya Struktur Pengajaran Matematika (SPM). Model ini
memberikan ruang kepada siswa untuk bekerja dalam kelompok dalam latihan
terkontrol dan mengaplikasikan pemahaman sendiri dengan cara bekerja
mandiri dalam seatwork. Krismanto (2003: 9) menyebutkan bahwa SPM antara
lain:
1) Pendahuluan, meliputi apersepsi atau revisi, motivasi, dan introduksi.
2) Pengembangan meliputi pembelajaran konsep atau prinsip.
3) Penerapan meliputi pelatihan penggunaan konsep atau prinsip,
pengembangan skill, evaluasi.
4) Penutup meliputi penyusunan rangkuman dan penugasan.
b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project
(MMP)
Krismanto (2003: 11) , Shadiq (2009: 21) mengemukakan langkah-
langkah pembelajaran menggunakan model Missouri Mathematics Project
adalah sebagai berikut:
26
1) Review
Pada tahap review ini adalah meninjau ulang materi pembelajaran yang
lalu. Terutama yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari pada
pembelajaran tersebut, seperti membahas soal pada PR (jika ada) yang
dianggap sulit oleh siswa dan memotivasi siswa mengenai pentingnya materi
yang akan dipelajari.
2) Pengembangan
Tahap kedua ini adalah melakukan kegiatan berupa penyajian ide-ide baru
dan perluasannya, diskusi, kemudian menyertakan demonstrasi dengan contoh
konktret. Maksudnya adalah menyampaikan materi baru yang merupakan
kelanjutan dari materi sebelumnya. Kegiatan ini juga dapat dilakukan melalui
diskusi kelas, karena pengembangan akan lebih baik jika dikombinasikan
dengan latihan terkontrol untuk meyakinkan bahwa siswa mengikuti dan
paham mengenai penyajian materi ini.
3) Latihan terkontrol
Pada latihan terkontrol ini siswa diminta membentuk suatu kelompok
untuk merespon soal atau menjawab pertanyaan yang diberikan dengan diawasi
oleh guru. Pengawasan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya miskonsepsi
pada pembelajaran. Selain itu, guru harus memasukkan rincian khusus
tanggung jawab setiap kelompok dan ganjaran individual berdasarkan
pencapaian materi yang dipelajari. Dari kegiatan belajar kelompok ini dapat
diketahui setiap siswa bekerja secara sendiri (individu) atau berkelompok.
4) Seatwork / Kerja Mandiri
27
Siswa secara individu diberikan beberapa soal atau pertanyaan sebagai
latihan atas perluasan konsep materi yang telah dipelajari pada langkah
pengembangan. Dari tahap ini, guru mengetahui seberapa besar materi yang
akan mereka pahami.
5) Penugasan / Pekerjaan Rumah (PR)
Pada langkah ini, siswa beserta guru bersama-sama membuat kesimpulan
(rangkuman) atas materi pembelajaran yang telah didapatkan. Rangkuman ini
bertujuan untuk mengingatkan siswa mengenai materi yang baru saja
didapatkan. Selain itu, guru juga memberikan penugasan kepada siswa berupa
PR sebagai latihan tambahan untuk meningkatkan pemahaman siswa mengenai
materi tersebut.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model pembelajaran Missouri
Mathematics Project sebagai model pembelajaran yang dapat mendukung
kemampuan pemecahan masalah siswa.
4. Gaya Belajar Siswa
Gaya belajar merupakan salah kunci utama yang mempengaruhi kehidupan kita
karena dapat mengarahkan dan mengubah perilaku kita dalam menghadapi
masalah. Setiap individu memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Jika siswa
sudah mengetahui gaya belajar mereka, maka proses pembelajaran di kelas akan
berjalan optimal. Demikian juga guru harus mengetahui gaya belajar yang dimiliki
oleh siswa. Jika guru mengetahui gaya belajar siswanya maka hal ini akan
membantu guru memahami siswa.
28
Menurut Dunn dan Dunn (Cavas, 2010: 48), mengidentifikasikan gaya belajar
sebagai cara seseorang untuk berkonsentrasi, memproses, dan menguasai
informasi-informasi baru dan sulit pada saat pembelajaran. Sedangkan menurut
Honey dan Mumfors (Aljaberi, 2015: 154), menyatakan bahwa gaya belajar
merupakan sesuatu yang mendeskripsikan sikap dan tingkah laku dalam belajar.
Menurut Felder (Sengul, et al . (2013: 1), gaya belajar merupakan kecenderungan
siswa dalam mengumpulkan dan mengorganisasikan informasi. Berdasarkan
pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa gaya belajar merupakan cara
seseorang dalam mengumpulkan dan menguasai informasi yang baru dan sulit
selama proses belajar.
Terdapat beberapa model gaya belajar yang biasa digunakan untuk
mengidentifikasi tipe gaya belajar siswa. Menurut Montgomery & Groat (1998: 1-
5) ada tiga model gaya belajar yang lazim digunakan dalam peneltian terkait gaya
belajar yaitu gaya belajar Myres-Briggs, gaya belajar Kolb, dan gaya belajar Felder
Silverman. Adapun gaya belajar yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
gaya belajar Kolb.
Gaya belajar Kolb merupakan gaya belajar yang dikembangkan oleh David
Kolb, Ph. D dan dinamakan LSI (learning style inventory) pada tahun 1971
(Pratiwi, et al. 2010: 2). Gaya belajar ini berdasarkan pada teori belajar experiental
learning dimana belajar merupakan proses terbentuknya pengetahuan melalui
transformasi pengalaman siswa dalam pembelajaran formal yang di peroleh di
sekolah. Dengan demikian ada keterkaitan antara pengalaman belajar dengan
pembelajaran matematika di sekolah. Sehingga setelah siswa diidentifikasi tipe
29
gaya belajarnya menurut Kolb, siswa diharapkan dapat menyesuaikan proses
belajar sesuai dengan gaya belajar mereka agar siswa menjadi lebih percaya diri,
sukses, dan mudah dalam belajar.
Adapun tahap belajar pada gaya belajar Kolb dalam Montgomery & Groat
(1998: 1-5) adalah sebagai berikut:
a. Concrete Experience/ Pengalaman Konkrit (CE)
Tahap ini fokus pada keterlibatan siswa pada situasi sehari-hari, pengalaman
konkret, imajinatif, dan inovatif. Kemampuan untuk menjadi open-minded dan
fleksibel untuk melakukan perubahan sangat penting ketika belajar. Pendeknya,
concrete experience adalah tahap dimana proses belajar didapat dengan
menggunakan perasaan.
b. Reflective Observation/ Observasi Reflektif (RO)
Tahap ini, siswa memahami ide-ide dan kondisi dari sudut pandang yang
berbeda. Siswa memiliki kecenderungan terhadap kesabaran, keobyektifan, dan
pertimbangan teliti tetapi mereka tidak memilih untuk mengambil tindakan.
Singkatnya, tahap ini adalah tahap dimana proses belajar didapat melalui
pengamatan atau dengan menyimak suatu masalah.
c. Abstract Conceptualization/ Konseptualisasi Abstrak (AC)
Belajar melibatkan penggunaan logika dan ide-ide daripada sekedar
perasaan ketika memahami situasi dan memecahkan masalah. Perencanaan
sistematis dan pengembangan teori serta ide-ide untuk penyelesaian masalah
dipertimbangkan di tahap ini. Singkatnya, tahap ini merupakan tahap dimana
proses belajar didapatkan melalui proses berpikir.
30
d. Active Experimentation/ Eksperimentasi Aktif (AE)
Siswa mulai menjadi aktif pada tahap ini. Ada sebuah pendekatan praktis
bahwa apa yang benar-benar dikerjakan adalah penting. Pada intinya, tahap ini
merupakan tahap dimana belajar didapat dengan tindakan.
Selanjutnya, Kolb menyatakan bahwa kebanyakan orang melewati tahap-tahap
ini dalam urutan concrete experiences, reflective observation, abstract
conceptualization, dan active experimentation. Ini berarti bahwa siswa memiliki
pengalaman nyata, kemudian mengamati lalu merefleksikannya dari berbagai sudut
pandang, kemudian membentuk konsep abstrak dan menggeneralisasikan ke dalam
teori-teori dan akhirmya secara aktif mengalami teori-toeri tersebut dan menguji
apa yang telah mereka pelajari pada situasi yang kompleks. Sedangkan empat tipe
gaya belajar Kolb adalah sebagai berikut:
a. Diverger (Diverger)
Merupakan kombinasi elemen pengalaman konkrit dan observasi reflektif.
Individu dengan gaya belajar ini mampu melihat situasi konkrit dari beragam
perspektif. Ia memiliki minat budaya yang sangat luas serta senang
mengumpulkan informasi. Minat sosialnya tinggi, cenderung imajinatif, dan
perasaannya amat peka. Dalam situasi belajar formal, ia lebih suka bekerja dalam
kelompok dan menerima umpan balik yang bersifat personal. Ia mampu
mendengar dengan pikiran yang terbuka.
b. Assimilator (Asimilator)
Merupakan kombinasi konseptualisasi abstrak dan observasi reflektif.
Individu ini terampil dalam mengolah banyak informasi serta menempatkannya
31
ke dalam bentuk yang pasti dan logis. Kurang berfokus pada manusia, lebih
berminat pada ide dan konsep abstrak. Secara umum, ia lebih mementingkan
keunggulan logis sebuah teori daripada nilai praktisnya, dalam situasi belajar
formal, ia lebih suka membaca, mengajar, mengeksplorasi model analitis, dan
memanfaatkan waktu untuk memikirkan berbagai hal secara mendalam/.
c. Converger (Konverger)
Merupakan kombinasi konseptualisasi abstrak dan ekperimentasi aktif.
Individu ini paling baik dalam menemukan kegunaan praktis dari ide dan teori.
Ia mampu memecahkan masalah dan mengambil keputusan secara efektif. Lebih
suka menangani masalah dan tugas-tugas teknis daripada isu sosial dan
interpersonal. Dalam situati belajar formal, ia cenderung melakukan eksperimen
dengan ide baru, simulasi, dan aplikasi praktis.
d. Accomodator (Akomodator)
Merupakan kombinasi dari pengalaman konkrit dan eksperimentasi aktif.
Individu ini memiliki keunggulan untuk belajar dari pengalaman langsung. Ia
sangat suka mengambil tindakan dan melibatkan diri dalam situasi baru yang
menantang. Saat menghadapi persoalan, ia lebih mengandalkan pada informasi
dari orang lain daripada analisis teknikalnya sendiri. Dalam situasi belajar
formal, ia lebih suka bekerja dengan orang lain untuk menyelesaikan tugas
menetapkan tujuan, melakukan kerja lapangan, serta menguji bermacam-macam
pemecahan masalah.
32
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis akan melakukan penelitian mengenai
klafisikasi gaya belajar kelas XI IPS 1 serta menganalisa kemampuan pemecahan
masalah siswa untuk setiap gaya belajar berdasarkan gaya belajar Kolb.
B. Penelitian yang Relevan
Diantaranya penelitian yang relevan adalah sebagai berikut:
1. Zeni Rofiqoh (2015) dengan penelitian tentang “Analisis Kemampuan
Pemecahan Masalah Siswa Kelas X dalam Pembelajaran Discovery Learning
Berdasarkan Gaya Belajar Siswa” dengan diperoleh hasil 37,5% keberadaan
tipe gaya belajar konvergen, 25% divergen, 18,75% akomodator, dan 18,75%
tipe belajar asimilator. Masing-masing tipe gaya belajar mampu memahami
masalah dengan mengetahui apa yang diketahui dan ditanyakan pada masalah
serta menjelaskan masalah dengan kalimat sendiri.
2. Tri Marginingsih (2012) dengan penelitian tentang “Hubungan Antara Gaya
Belajar Model David Kolb dengan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas S
SMA BAE Kudus Semester II Tahun Ajaran 2011/2012” dengan hasil
diperoleh 22 siswa dengan gaya belajar diverger, 16 siswa dengan gaya belajar
akomodator, 15 siswa dengan gaya belajar konverger, dan 9 siswa dengan gaya
belajar asimilator, serta hasil perhitungan hipotesis tidak terdapat hubungan
yang positif signifikan antara gaya belajar model David Kolb dengan prestasi
belajar matematika siswa kelas X SMA BAE Kudus.
3. Synthia Hotnida Halobo (2016) tentang “Analisis Kemampuan Pemecahan
Masalah Ditinjau dari Gaya Kognitif Siswa pada Model Pembelajaran Missouri
Mathematics Project” dengan hasil penelitian 1) kemampuan pemecahan
33
masalah siswa dengan gaya kognitif field dependent berkategori baik pada tahap
pemecahan masalah dan memeriksa kembali, berkategori cukup untuk tahap
merencanakan penyelesaian, serta berkategori kurang pada tahap melaksanakan
rencana penyelesaian, 2) kemampuan pemecahan masalah siswa dengan gaya
koginitif field independet berkategori baik pada tahap memahami masalah,
merencanakan penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian, serta
berkategori cukup pada tahap memeriksa kembali, 3) kemampuan pemecahan
masalah siswa dengan model pembelajaran Missouri Mathematics Project
mencapai ketuntasan secara klasikal.
Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah peneliti menganalisis
kemampuan pemecahan masalah siswa kelas XI berdasarkan gaya belajar dalam
pembelajaran Missouri Mathematics Projcet (MMP).
C. Kerangka Berpikir
Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu komponen matematika
yang sangat penting dalam pembelajaran. Hal ini karena dala kehidupan sehari-hari
manusia tidak lepas dari masalah, sehingga kemampuan pemecahan masalah sangat
penting guna menyelesaikan masalah sehari-hari. Pada kenyataannya masih timbul
permasalahan yang dihadapi siswa, khususnya kurangnya kemampuan pemecahan
masalah dimana siswa tidak memahami masalah, tidak dapat menentukan strategi
yang digunakan dalam permasalahan, dan siswa masih menggunakan rumus cepat
dalam pemecahan masalah. Hal ini terlihat dapa hasil PISA dan TIMSS, serta hasil
penelitian yang menunjukkan kemampuan pemecahan masalah siswa masih
kurang.
34
Hal ini menjadi sebuah PR besar bagi dunia pendidikan matematika. Guru harus
mengusahakan pembelajaran efektif yang menjadikan siswa sebagai problem
solver. Guru dapat membimbing siswa agar siswa mampu membangun
pengetahuan mereka sendiri, serta mencari pemecahan masalah. Salah satu model
pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam mencari pemecahan masalah
adalah model Missouri Mathematics Project (MMP). Model pembelajaran
Missouri Mathematics Project merupakan suatu model pembelajaran yang
dirancang untuk membantu guru secara efektif menggunakan latihan-latihan agar
guru dapat membantu meningkatkan pencapaian siswa dalam belajar. selain itu,
pada model MMP banyaknya latihan membuat siswa terbiasa menyelesaikan
beragam soal dan semakin terampil dalam memecahkan masalah matematika.
Kurangnya kemampuan pemecahan masalah juga dipengaruhi oleh faktor lain,
salah satunya gaya belajar siswa. Setiap siswa tentu memiliki gaya belajar yang
berbeda-beda. Sangatlah penting bagi guru untuk menganalisis dan mengetahui
gaya belajar siswa yang menyebabkan kurangnya kemampuan pemecahan masalah
siswa. Karena tipe gaya belajar yang berbeda dapat menyebabkan kemampuan
pemecahan masalah matematika yang berbeda pula.
Kemampuan pemecahan masalah yang kurang serta perbedaan gaya belajar
siswa perlu dikaji lebih lanjut. Dengan mengarahkan siswa pada pembelajaran
Missouri Mathematics Project serta tahap kemampuan pemecahan masalah Polya,
deskripsi kemampuan pemecahan masalah siswa diharapkan dapat menjadi lebih
baik. Selain itu, guru dapat mengetahui kemampuan pemecahan masalah siswa
35
yang kurang jika setiap siswa memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Adapun
alur kerangka berpikir disajikan dalam Gambar 2.2 berikut.
Gambar 2.2 Alur Kerangka Berpikir
Kemampuan pemecahan
masalah matematika sebagian
besar siswa masih kurang
Siswa memiliki gaya belajar yang
berbeda-beda menyebabkan
kemampuan pemecahan masalah yang
berbeda
Analisis kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa kelas XI
IPS 1 dalam model pembelajaran
MMP
Analisis gaya belajar
siswa kelas XI IPS 1
Gaya belajar Kolb
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
MATEMATIKA
Kemampuan Pemecahan Masalah
Polya
Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas XI
IPS 1 untuk Setiap Gaya Belajar menurut Kolb
Deskripsi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas
XI IPS 1 untuk setiap Gaya Belajar menurut Kolb
36
D. Pertanyaan Penelitian
Inti dari pokok kajian penelitian ini dapat digambarkan dalam pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah klasifikasi gaya belajar siswa kelas XI IPS 1 di SMA Negeri
1 Imogiri para tahun pelajaran 2017/2018 berdasarkan gaya belajar Kolb?
2. Bagaimanakah mendeskripsikan kemampuan pemecahan masalah
matematika menurut Polya pada siswa kelas XI IPS 1 di SMA Negeri 1
Imogiri untuk setiap gaya belajar siswa berdasarkan gaya belajar Kolb pada
model pembelejaran Missouri Mathematics Project?