bab ii landasan teori dan tinjauan pustaka 2.1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1044/3/bab ii...
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Pustaka
Penelitian terdahulu sangat penting sebagai bahan acuan atau tinjauan
pustaka yang membantu peneliti dalam merumuskan asumsi dasar, untuk dapat
mengananalisa penelitian ini. Berikut adalah beberapa hasil penelitian yang
dijadikan sebagai referensi peneliti tentang pola maupun perilaku komunikasi
antarbudaya.
a) Penelitian yang dilakukan oleh Yiska Mardolina
Judul "Pola Komunikasi Lintas Budaya Mahasiswa Asing dengan
Mahasiswa Lokal di Universitas Hasanuddin". Tujuan dari penelitian ini
adalah: (1) Untuk mengkategorisasikan pola komunikasi lintas budaya
yang dilakukan oleh mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal dalam
berkomunikasi di kampus; (2) Untuk mengkategorisasikan faktor-faktor
yang menjadi pendukung dan penghambat mahasiswa asing dengan
mahasiswa lokal dalam berkomunikasi di kampus.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada awalnya
perbedaan budaya khususnya bahasa menjadi tantangan tersendiri baik
bagi mahasiswa asing maupun mahasiswa lokal dalam berkomunikasi
sehingga pola komunikasi lintas budaya yang terjadi antara mahasiswa
asing dengan mahasiswa lokal dalam berkomunikasi di kampus sangat
berliku-liku dan mengalami kesulitan. Namun seiring berjalannya waktu,
interaksi keduanya berangsur-angsur membaik. Selain itu, kebutuhan
sosial sebagai manusia untuk berinteraksi dan berkomunikasi menjadi
faktor pendukung yang mendorong keduanya agar selalu terlibat dalam
percakapan. Hal seperti faktor pendukung dan penghambat dalam
penelitian tersebut, penulis dapat jadikan sebagai refrensi untuk melakukan
penelitian ini.
b) Penelitian yang dilakukan oleh Agung Qurniadi Lapadjawa tahun 2009
Judul "Pola Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Bolang
Mongondow Dengan Masyarakat Jawa DI Yogyakarta". Tujuan dari
penelitian yang dilakukan adalah untuk mengalisis pola komunikasi antar
budaya mahasiswa Bolang Mongondow dengan masyarakat Jawa di
Ratmakan kel/desa Ngupasan rt/rw 028/008 kecamatan Gondomanan
Yogyakarta.
Penelitian ini mengunakan teori komunikasi interpersonal dan
pendekatan komunikasi antarbudaya. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. hasil yang diperoleh dari
penelitian ini adalah pola komunikasi antarbudaya mahasiswa Bolang
Mongondow dan masyarakat Jawa di Ratmakan kel/desa Ngupasan rt/rw
028/008 kecamatan Gondomanan Yogyakarta dapat dilihat dari dua hal,
yaitu pola komunikasi antarbudaya melalui sebuah aktivitas relasi sosial.
Selain dua hal tersebut pola komunikasi antarbudaya dari kedua belah
pihak ini juga di pengaruhi oleh hambatan pengetahuan individu-individu
Bolang Mongondow mengenai masyarakat sekitar.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang saya lakukan adalah
meneliti tentang pola komunikasi antar dua budaya yang berbeda pada
suatu wilayah atau komunitas tertentu, sedangkan perbedaanya adalah
membahas tentang pola komunikasi antarbudaya oleh mahasiswa dengan
sesama mahasiswa dalam lingkup kampus, sedangkan penelitian yang
dilakukan sebelumnya adalah meneliti tentang pola komunikasi
antarbudaya antara mahasiswa dengan masyarakat di wilayah kecamatan
Gondomanan Yogyakarta.
c) Penelitian yang dilakukan oleh Lusiana Andriani Lubis tahun 2012
Judul penelitian "Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa dan
Pribumi di Kota Medan". Tujuan penelitian untuk mengetahui komunikasi
antarbudaya mempengaruhi pandangan dunia etnis Tionghoa dan pribumi
di kota Medan. Hasil penting penelitian menunjukkan bahwa agama atau
kepercayaan merupakan satu yang hak dan tidak dapat dipaksa. Namun
melalui perkawinan antara etnis Tionghoa dan pribumi maka terjadinya
perpindahan agama kepada Islam dan Kristen sehingga pandangan
keagamaanpun berubah. Selain itu, komunikasi antarbudaya dapat
mengubah cara pandang terhadap nilai-nilai budaya Tionghoa dan Pribumi
di kota Medan.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang saya lakukan adalah
meneliti tentang pola komunikasi antar dua budaya yang berbeda pada
suatu wilayah atau komunitas tertentu. Sedangkan perbedaanya adalah
pada status obyek penelitiannya, dimana penelitian terdahulu memiliki
obyek masyarakat sedangkan penelitian ini menggunakan mahasiswa
sebagai obyek penelitian.
2.2. Landasan Teori
2.2.1 Teori Komunikasi
Istilah “komunikasi” berasal dari bahasa latin “communicatus” atau
communicatio atau communicare yang berarti “berbagi” atau “menjadi milik
bersama”. Sedangkan menurut kamus bahasa Indonesia, kata komunikasi
mengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan. Menurut
Webster New Collogiate Dictionary komunikasi adalah suatu proses pertukaran
informasi di antara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau
tingkah laku.1
Para ahli mendefinisikan komunikasi menurut sudut pandang mereka
masing-masing. Ingat bahwa sejarah ilmu komunikasi, ia dikembangkan dari
ilmuwan berasal dari berbagai disiplin ilmu. Berikut ini adalah beberapa definisi
tentang komunikasi yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut:2
1) Carl Hovland, Janis dan Kelley mengartikan komunikasi adalah
suatu proses melalui dimana seseorang yaitu komunikator
menyampaikan stimulus biasanya dalam bentuk kata-kata dengan
tujuan mengubah atau membentuk perilaku khalayak.
2) Bernard Berelson dan Gary A. Steiner mengemukakan bahwa
komunikasi adalah proses penyampaian informasi, gagasan, emosi,
1 Riswandi, Ilmu Komunikasi (cetakan Pertama), Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009, hal 1
2 Ibid, hal 2
dan lain-lain melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata,
gambar, angka-angka, dan lainnya.
3) Menurut Gode, komunikasi adalah suatu proses yang membuat
sesuatu dari semula yang dimiliki oleh seseorang (monopoli
sesorang) menjadi dimiliki oleh dua orang atau lebih.
Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa ilmu komunikasi adalah ilmu yang mempelajari usaha manusia dalam
menyampaikan isi pernyataan kepada manusia lainnya. Selanjutnya, unsur-unsur
dalam proses komunikasi antara lain meliputi :3
1) Komunikator-Isi pernyataan-Komunikan
Komunikator menyampaikan isi pernyataaan (pesan) kepada komunikan.
Sementara itu, komunikan menerima isi pernyataan dari komunikator. Isi
pernyataan yang disampaikan komunikator mempunyai daya pengaruh
terhadap komunikan. Daya pengaruh tersebut ditentukan oleh penguasan
ruang dan waktu serta kecepatan sampainya isi pesan dari komunikator
kepada komunikan.
2) Tindak Komunikasi
Tindak komunikasi adalah penyampaian isi pernyataan dari komunikator
kepada komunikan.
3 A.M. Hoeta-Soehoet, Teori Komunikasi 2, Yayasan Kampus Tercinta – IISIP, Jakarta, 2002, hal
11-25
3) Saluran Komunikasi
Saluran komunikasi adalah jalan yang dilalui isi pernyataan komunikator
kepada komunikan atau jalan yang dilalui feedback (umpan balik)
komunikan kepada komunikator.
4) Peralatan Tubuh Manusia
Dalam diri manusia, komunikator menggunakan peralatan rohaniah seperti
hati nurani, akal, budi, serta naluri. Sedangkan peralatan jasmaniah seperti
mulut, telingga, kaki, tangan, mata, dan sebagainya. Baik komunikator
maupun komunikan adalah manusia. Sebab itu baik komunikator maupun
komunikan menggunakan peralatan jasmaniah dan peralatan rohaniah
dalam proses komunukasi.
2.2.2. Pola Komunikasi
Dalam melakukan komunikasi, diperlukan suatu proses yang
memungkinkannya untuk melakukan komunikasi secara efektif. Proses
komunikasi inilah membuat komunikasi berjalan dengan baik untuk mencapai
tujuannya. Adanya proses komunikasi, berarti terdapat suatu alat yang digunakan
sebagai cara dalam berkomunikasi.
Pengertian dari pola komunikasi adalah proses yang dirancang untuk
mewakili kenyataan keterpautannya unsur-unsur yang di cakup beserta
keberlangsunganya. Hal ini untuk memudahkan pemikiran secara sistematik dan
logis. Komunikasi adalah salah satu bagian dari hubungan antar manusia baik
individu maupun kelompok dalam kehidupan sehari-hari dari pengertian ini jelas
bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang dimana seorang menyatakan
sesuatu kepada orang lain, jadi yang terlibat dalam komunikasi itu adalah manusia
itu juga.4
Komunikasi berawal dari gagasan yang ada pada seseorang, gagasan itu
diolahnya menjadi pesan dan dikirimkan melalui media tertentu kepada orang lain
sebagai penerima. Kegiatan berkomunikasi juga memiliki polanya sendiri. Pola
komunikasi terdiri atas beberapa macam, antara lain;5
1) Pola Komunikasi Primer
Pola komunikasi primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau
perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang
(symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses
komunikasi seperti bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya.
Simbol ini secara langsung mampu menyampaikan pikiran atau perasaan
komunikator kepada komunikan.
2) Pola Komunikasi Sekunder
Pola komunikasi sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh
seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai
media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Proses
komunikasi sekunder merupakan sambungan dari komunikasi primer
untuk menembus dimensi ruang dan waktu. Surat, telepon, surat, majalah,
radio, televisi, film, internet, dan lain-lain adalah media kedua yang sering
digunakan dalam komunikasi. Media kedua ini akan memudahkan proses
4 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003, hal 5-10 5 Ibid, hal 11-16
komunikasi dengan meminimalisir berbagai keterbatasan manusia
mengenai jarak, ruang, dan waktu.
3) Pola Komunikasi Linear
Linear di sini mengandung makna yang berarti perjalanan dari
satu titik ke titik yang lain secara lurus, berarti penyampaian pesan oleh
komunikator kepada komunikan sebagai titik terminal. Oleh karena itu,
dalam proses komunikasi ini biasanya terjadi dalam komunikasi tatap
muka (face to face), tetapi juga adakalanya komunikasi bermedia. Pada
proses komunikasi ini, pesan yang disampaikan akan efektif apabila ada
perencanaan sebelum melaksanakan komunikasi.
4) Pola Komunikasi Sirkular
Sirkular secara harfiah berati bulat, bundar, atau keliling. Dalam
proses sirkular itu terjadinya feedback atau umpan balik, yaitu terjadinya
arus dari komunikan kekomunikator, sebagai penentu utama keberhasilan
komunikasi. Dalam pola komunikasi seperti ini, proses komunikasi
berjalan terus yaitu adanya umpan balik antara komunikator dan
komunikan.
2.2.3 Bahasa Verbal dan Non Verbal Dalam Komunikasi
Dalam kebanyakan peristiwa komunikasi yang berlangsung, hampir
selalu melibatkan penggunaan lambang-lambang verbal dan non verbal secara
bersama-sama. Dalam banyak tindakan komunikasi, bahasa nonverbal menjadi
komplemen atau pelengkap bahasa verbal. Lambang-lambang nonverbal juga
dapat berfungsi kontradiktif, pengulangan, bahkan pengganti ungkapan-ungkapan
verbal, misalnya ketika seseorang mengatakan terima kasih (bahasa verbal) maka
orang tersebut akan melengkapinya dengan tersenyum (bahasa non verbal). Maka
komunikasi tersebut merupakan contoh bahwa perilaku verbal dan perilaku
nonverbal bekerja bersama-sama dalam menciptakan makna suatu perilaku
komunikasi.
a) Bahasa Verbal
Bahasa dan kata-kata merupakan bagian penting dalam cara
pengemasan pesan-pesan. Salah satu fenomena yang mempengaruhi
proses komunikasi antar budaya adalah proses komunikasi verbal. Pada
dasarnya, bahasa verbal dan nonverbal tidak terlepas dari konteks
budaya. Tidak mungkin bahasa terpisah dari budaya. Setiap budaya
mempunyai system bahasa yang memungkinkan orang untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Budaya dibentuk secara kultural, dan
karena itu dia merefleksikan nilai-nilai dari budaya.6
b) Bahasa Non Verbal
Manusia dipersepsikan tidak hanya melalui bahasa verbalnya,
bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing
dan sebagainya), namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Lewat
perilaku nonverbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional
seseorang, apakah ia sedang bahagia, bingung atau sedih. Kesan awal
kita pada seseorang sering didasarkan pada perilaku nonverbalnya yang
mendorong kita untuk mengenalnya lebih jauh.
6 L. Samovar, Richard Porter, dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya, Salemba
Humanika, Jakarta, 2010, hal 164
Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang
bukan kata-kata. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk
melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan
tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak
peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol
verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak
sungguh-sungguh bersifat nonverbal.
Bahasa verbal dan nonverbal dalam kenyataannya jalin menjalin dalam suatu
aktivitas komunikasi tatap muka. Keduanya dapat berlangsung spontan dan
serempak.
Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori
besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan, gerakan dan postur
tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa. Kedua,
ruang, waktu, dan diam. Sebagaimana bahasa verbal yang tidak terlepas dari
budaya, begitu pula dengan bahasa nonverbal. Perilaku nonverbal seseorang
adalah akar budaya seseorang tersebut.7
Oleh karena itu, posisi komunikasi
nonverbal memainkan bagian yang penting dan sangat dibutuhkan dalam interaksi
komunikatif di antara orang dari budaya yang berbeda.
Hubungan antara komunikasi verbal dengan kebudayaan jelas adanya,
apabila diingat bahwa keduanya dipelajari, diwariskan dan melibatkan pengertian-
pengertian yang harus dimiliki bersama. Dilihat dari ini, dapat dimengerti
mengapa komunikasi nonverbal dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama
7 Ibid, hal 168
lain. Sebagaimana aspek verbal, komunikasi nonverbal juga tergantung atau
ditentukan oleh kebudayaan, dimana kebudayaan menentukan perilaku-perilaku
nonverbal yang mewakili atau melambangkan pemikiran, perasaan, keadaan
tertentu dari komunikator dan kebudayaan menentukan kapan waktu yang tepat
atau layak untuk mengkomunikasikan pemikiran, perassan, keadaan internal. Oleh
karena itu, meskipun perilaku-perilaku yang memperlihatkan emosi ini banyak
yang bersifat universal, tetapi ada perbedaan-perbedaan kebudayaan dalam
menentukan bilamana oleh siapa dan dimana emosi-emosi itu dapat
diperlihatkan.8
2.2.4 Kajian Budaya
Menurut Koentjaraningrat memberikan definisi budaya sebagai sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990: 180).
Dan, James Spradley nampaknya hampir sependapat dengan Koentjaraningrat. Ia
mengatakan budaya merupakan sistem pengetahuan yang diperoleh manusia
melalui proses belajar, yang kemudian mereka gunakan untuk
menginterpretasikan dunia sekelilingnya, sekaligus untuk menyusun strategi
perilaku dalam menghadapi dunia sekitar.
Kajian budaya di Indonesia di pelopori oleh jurnal Kalam (pertama terbit
1994) yang menyegarkan peneliti kebudayaan. Kalam menunjukkan bahwa
kebudayaan itu bisa diselidiki dengan cara yang berbeda yang ditunjukkan oleh
prisma (jurnal berpengaruh tahun 70-an dan 80-an). Kalam muncul ketika masih
8 Ibid, hal 201
hangat-hangatnya perdebatan tentang pascamodernisme. Berbeda dengan prisma,
penelitian kebudayaan yang dimuat di Kalam itu lebih sadar akan pluralisme
kebudayaan dan keterkaitan antara kekuasaan dengan kebudayaan. Jurnal-jurnal
lain yang juga turut merintis penelitian kebudayaan di Indonesia adalah :
a. Horison (terbit pertama 1966)
b. Ulumul Qur‟an (sudah tidak terbit)
c. Basis
d. Jurnal Seni Pertunjukkan
e. Jurnal Perempuan
Disamping jurnal-jurnal tersebut ada juga pendorong tumbuhnya kajian budaya di
Indonesia melalui beberapa diskusi, debat, seminar ataupun konferensi misalnya
perdebatan sastra kontekstual pada pertengahan tahun ‟80-an.
Dalam terminologi disiplin Kajian Budaya (Cultural Studies) menyajikan
bentuk kritis atas definisi budaya yang mengarah pada “the complex everyday
world we all encounter and through which all move”.9 Budaya secara luas adalah
proses kehidupan sehari-hari manusia dalam skala umum, mulai dari tindakan
hingga cara berpikir, sebagaimana konsep budaya yang dijabarkan oleh
Kluckhohn. Pengertian ini didukung juga oleh Clifford Geertz, kebudayaan
didefinisikan serangkaian aturan-aturan, resep-resep, rencana-rencana dan
petunjuk-petunjuk yang digunakan manusia untuk mengatur tingkah lakunya.
Menurut Barker, inti kajian budaya bisa dipahami sebagai kajian tentang
budaya sebagai praktik- praktik pemaknaan dari representasi. Kajian budaya
9 Edgar Schein, Organizational Culture and Leadership (2nd Edition), Jossey Bas, San Fransisco,
1992, hal 102
bersandar pada asumsi bahwa konsumsi menentukan produksi daripada cara lain
disekitarnya.10
Sehingga, „gaya hidup‟ masyarakat (yang menjadi cara lain dalam
menunjukkan komoditas yang mereka konsumsi dan bagaimana mereka
mengkonsumsinya) dianggap lebih penting, dalam hal ini, daripada hubungan
tenaga kerja yang harus mereka masuki sebagai kondisi awal yang dibutuhkan
pada proses konsumsi. Pendapat semacam ini menyimpulkan bahwa penanda dan
keyakinan yang menempatkan seseorang dalam budaya sebagai pria dan wanita,
orang kulit hitam, bangsa Latin, homo, dan lain-lainnya merupakan faktor yang
lebih penting yang menunjukkan identitas mereka.
2.2.5 Komunikasi Interpoersonal/Antar Personal
Menurut Carl I. Hovland, ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis
untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta
pembentukan pendapat dan sikap. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
komunikasi adalah penyampaian informasi dan pengertian seseorang terhadap
orang lain (Effendy, 2007:9).
R. Wayne Pace mengemukakan bahwa komunikasi antarpribadi atau
communication interpersonal merupakan proses komunikasi yang berlangsung
antara dua orang atau lebih secara tatap muka dimana pengirim dapat
menyampaikan pesan secara langsung dan penerima pesan dapat menerima dan
menanggapi secara langsung.11
Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi
yang pesannya dikemas dalam bentuk verbal atau nonverbal, seperti komunikasi
pada umumnya komunikasi interpersonal selalu mencakup dua unsur pokok yaitu
10
Chris Barker, Cultural Studies, Theory, and Practices, Sage Publication, London, 2000, hal 10 11
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu komunikasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal 2
isi pesan dan bagaimana isi pesan dikatakan atau dilakukan secara verbal atau
nonverbal. Dua unsur tersebut sebaiknya diperhatikan dan dilakukan berdasarkan
pertimbangan situasi, kondisi, dan keadaan penerima pesan.
Komunikasi interpersonal merupakan kegiatan aktif bukan pasif.
Komunikasi interpersonal bukan hanya komunikasi dari pengirim pada penerima
pesan, begitupula sebaliknya, melainkan komunikasi timbal balik antara pengirim
dan penerima pesan. Komunikasi interpersonal bukan sekedar serangkaian
rangsangan-tanggapan, stimulus-respon, akan tetapi serangkaian proses saling
menerima, penyeraan dan penyampaian tanggapan yang telah diolah oleh masing-
masing pihak. Komunikasi Interpersonal juga berperan untuk saling mengubah
dan mengembangkan. Dan perubahan tersebut melalui interaksi dalam
komunikasi, pihak-pihak yang terlibat untuk memberi inspirasi, semangat, dan
dorongan agar dapat merubah pemikiran, perasaan, dan sikap sesuai dengan topik
yang dikaji bersama.
Komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi adalah proses
pertukaran informasi serta pemindahan pengertian antara dua orang atau lebih di
dari suatu kelompok manusia kecil dengan berbagai efek dan umpan balik Agar
komunikasi interpersonal yang dilakukan menghasilkan hubungan interpersonal
yang efektif dan kerjasama bisa ditingkatkan maka kita perlu bersikap terbuka,
sikap percaya, sikap mendukung, dan terbuka yang mendorong timbulnya sikap
yang paling memahami, menghargai, dan saling mengembangkan kualitas.12
Hubungan interpersonal perlu ditumbuhkan dan ditingkatkan dengan memperbaiki
12
A. W. Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hal 8
hubungan dan kerjasama antara berbagai pihak. Komunikasi interpersonal
dinyatakan efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan
bagi komunikan.
2.2.6 Komunikasi Antarbudaya
Pada dasarnya, antara komunikasi dan kebudayaan merupakan dua hal
yang tidak bisa dipisahkan. Konsep dasar dari antarbudaya/lintasbudaya melekat
pada istilah akulturasi yang mengacu pada proses dimana kultur seseorang
dimodifikasi atau dipengaruhi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan
kultur/budaya lainnya.13
Misalnya, sekelompok transmigran Jawa yang kemudian
berdiam di suatu tempat atau wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, maupun
Papua yang memiliki kultur yang berbeda., kultur mereka sendiri akan
dipengaruhi oleh kultur tuan rumah tempat mereka menetap. Berangsur-angsur,
nilai-nilai, cara berperilaku, serta kepercayaan dari kultur tuan rumah akan
menjadi bagian dari kultur kelompok tersebut. Pada waktu yang sama, kultur tuan
rumah pun ikut berubah.14
Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-
orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda ras, etnik, sosiol ekonomi, atau
gabungan dari semua perbedaan ini. Menurut Charley H. Dood mengungkapkan
komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan pelaku komunikasi
yang mewakili pribadi, antar pribadi atau kelompok dengan tekanan pada
perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi
13
Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia: Kuliah Dasar, Professional Books, Jakarta, 1997,
hal 479-485. 14
Ibid, hal 487-488.
para peserta.15
Sedangkan Guo-Ming Chen dan William J. Sartosa mengatakan
bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem
simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam
menjalankan fungsinya sebagai kelompok.16
Budaya bertanggung jawab atas selursangat berpengaruh terhadap
perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang.
Konsekuensinya perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang
berbeda budaya akan berbeda pula, yang dapat menimbulkan segala macam
kesulitan. Pengaruh budaya atas individu dan masalah-masalah dalam simbol
balik pesan dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 2.1
Komunikasi Antarbudaya
Diambil dari Alo Liliweri, 2003, hal 11-42.
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa tiga budaya diwakili dalam model di
atas oleh tiga bentuk geometrik yang berbeda. Budaya A dan Budaya B relatif
serupa dan masing-masing diwakili oleh suatu segi empat. Budaya C sangat
15
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, PT LKiS Printing Cemerlang,
Yogyakarta, 2009, hal 12 16
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal
11-42
berbeda dengan budaya A dan budaya B. Perbedaan yang lebih besar ini tampak
pada bentuk melingkar budaya C dan jarak fisiknya dari budaya A dan budaya B.
Proses komunikasi antarbudaya yang digambarkan oleh panah-panah yang
menghubungkan antarbudaya pada Gambar 2.1 di atas adalah;17
1) Pesan mengandung makna yang dikehendaki oleh penyandi
(encorder)
2) Pesan mengalami suatu perubahan dalam arti pengaruh budaya
penyandi balik (decoder), telah menjadi bagian dari makna pesan.
3) Makna pesan berubah selama fase penerimaan penyandian balik
dalam komunikasi antarbudaya karena makna yang dimiliki
decoder tidak mengandung makna budaya yang sama dengan
encoder.
Komunikasi antarbudaya terjadi dalam banyak ragam situasi, yang berkisar dari
ragam interaksi antara orang-orang yang berbeda budaya secara ekstrem hingga
interaksi antara orang-orang yang memiliki budaya dominan yang sama, tetapi
memiliki subkultur dan subkelompok berbeda. Tidak dapat diragukan bahwa
kompetensi antar budaya adalah sebuah hal yang sangat penting saat ini.
Pendatang sementara secara kolektif disebut sebagai sojourners atau biasa dikenal
dengan istilah ekspatriat, yaitu sekelompok orang asing (stranger) yang tinggal
dalam sebuah negara yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan
negara tempat mereka berasal.
17
Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antar Budaya, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hal 21
2.2.7 Faktor-Faktor Penghambat Dalam Komunikasi Antarbudaya
Hal yang terpenting dalam komunikasi antarbudaya yang membedakan
dengan kajian ilmu komunikasi lainnya adalah adanya perbedaan yang relatif
tinggi pada latar belakang dari pihak‐pihak yang terkait dalam proses komunikasi.
Adapun penyebab perbedaan tersebut yang dikenal dengan perbedaan budaya.
Perbedaan-perbedaan budaya bersama-sama dengan perbedaan-perbedaan lain
dalam diri seorang individu (misalnya kepribadian individu, umur, jenis kelamin,
dan penampakan fisik) dapat memberikan kontribusi pada sifat permasalahan
yang melekat dalam komunikasi antar manusia. Menurut Lewis dan Slade, ada
tiga perbedaan yang paling mendasar dalam proses komunikasi antar budaya yaitu
kendala bahasa, perbedaan nilai, dan perbedaan pola perilaku kultural.18
Ketiga hal tersebut dapat mengakibatkan hambatan dalam proses
komunikasi antarbudaya. Namun selain itu, ada pula beberapa faktor penghambat
lain seperti etnosentrisme, prasangka dan stereotip. Etnosentrisme merupakan
tingkatan dimana individu-individu menilai budaya orang lain sebagai inferior
terhadap budaya mereka.19
Tanpa memandang siapa individu yang terlibat dan
bagaimana budayanya, etnosentrisme selalu muncul sebagai penghambat
terjalinnya komunikasi antar budaya yang efektif.
Stereotip adalah generalisasi tentang beberapa kelompok orang yang
sangat menyederhanakan realitas. Sikap seperti ini seringkali nampak ketika
seseorang menilai orang lain pada basis kelompok etnis tertentu, dan selanjutnya
18
Turnomo Rahardjo, Menghargai Perbedaan Cultural, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, 54 19
Ibid, hal 55
dibawa pada penilaian terhadap pribadi individu tersebut.20
Sehingga, ketika
seseorang sedang melakukan kontak antar budaya dengan individu lain, pada
dasarnya seseorang tersebut sedang berkomunikasi dengan identitas etnis dari
individu tersebut. Namun, permasalahan utama dalam proses komunikasi
antarbudaya adalah ketika individu-individu yang terkait yang berbeda budaya itu
memfokuskan secara destruktif stereotip negatif yang mereka pegang masing-
masing, sehingga persepsi mereka tidak akan berubah.
Prasangka adalah sikap yang kaku terhadap suatu kelompok yang
didasrkan pada keyakinan atau pra konsepsi yang keliru, juga dapat dipahami
sebagai penilaian yang tidak disadari. Berdasarkan hal inilah, sikap prasangka
telah membuat seseorang memasang pagar pembatas terhadap orang lain dalam
pergaulan dan akan cenderung menjadi emosional ketika prasangka terancam oleh
hal-hal yang bersifat kontradiktif. Akibatnya dapat menghalangi seseorang untuk
dapat melihat kenyataan secara akurat.
Terkait stereotip dan prasangka, perbedaan utama diantara keduanya
adalah prasangka merupakan sikap (attitude), sedangkan stereotip merupakan
keyakinan (belief). Akan tetapi, keduanya sama-sama dapat menjadi positif
maupun negatif. Baik stereotip maupun prasangka akan mempengaruhi persepsi
seseorang ketika melakukan komunikasi antarbudaya dalam berbagai cara.
2.2.8 Efektifitas Komunuikasi Antarbudaya
Komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena komunikasi dimana
para partisipan yang berbeda dalam latar belakang kultural menjalin kontak satu
20
Ibid, hal 57
sama lain secara langsung maupun tidak langsung. Ketika komunikasi
antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan kesamaan-kesamaan dan
perbedaan-perbedaan kultural antara pihak-pihak yang terlibat, maka
karakteristik-karakteristik kultural dari para partisipan bukan merupakan fokus
studi dari komunikasi antarbudaya, melainkan proses komunikasi antara individu
dengan individu dan kelompok dengan kelompok.21
Komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif menurut Schramm
harus memiliki empat syarat, yaitu:22
1) Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia,
2) Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya bukan sebagaimana
yang dikehendaki,
3) Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari
cara kita bertindak,
4) Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi
hidup bersama orang dari budaya yang lain.
Menurut De Vito mengemukakan konsepnya tentang efektivitas
komunikasi sangat ditentukan oleh sejauh mana seseorang mempunyai sikap.
Bentuk-bentuk dari sikap tersebut antara lain;23
a) Sikap keterbukaan; meliputi sikap seseorang komunikator yang membuka
semua informasi tentang pribadinya kepada komunikan, sebaliknya
menerima semua informasi yang relevan tentang dan dari komunikan
21
Ibid, hal 54 22
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal
171 23
Ibid, hal 171-174
dalam rangka interaksi antarpribadi; kemauan seseorang sebagai
komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap pesan yang datang dari
komunikan; memikirkan dan merasakan bahwa apa yang dinyatakan
seorang komunikator merupakan tanggung jawabnya terhadap komunikan
dalam suasana situasi tertentu.
b) Empati; Perasaan empati ialah kemampuan seorang komunikator untuk
menerima dan memahami orang lain seperti ia menerima dirinya
sendiri; jadi ia berpikir, merasa, berbuat terhadap orang lain sebagaimana
ia berpikir, merasa dan berbuat terhadap dirinya sendiri.
c) Perasaan positif ialah perasaan seorang komunikator bahwa pribadinya,
komunikannya, serta situasi yang melibatkan keduanya sangat
mendukung.
d) Memberi dukungan ialah suatu situasi kondisi yang dialami komunikator
dan komunikan terbebas atmosfir ancaman, tidak dikritik dan ditantang.
e) Memelihara keseimbangan ialah suatu suasana yang adil antara
komunikator dan komunikan dalam hal kesempatan yang sama untuk
berpikir, merasa dan bertindak.
Komunikasi antarbudaya yang intensif dapat mengubah persepsi dan
sikap orang lain bahkan dapat meningkatkan kreativitas manusia. Berbagai
pengalaman atas kesalahan dalam komunikasi antarbudaya sering membuat
manusia makin berusaha mengubah kebiasaan berkomunikasi, paling tidak
melalui pemahaman terhadap latar belakang budaya orang lain.24
Selain itu,
24
Op Cit, Liliweri, hal 254
dengan penggunaan sistem sandi yang sama, pengakuan atas perbedaan dalam
kepercayaan dan perilaku, serta pemupukan sikap toleran terhadap kepercayaan
dan perilaku orang lain, semuanya itu membantu terciptanya komunikasi yang
efektif .25
2.2.9 Konsep Komunitas
Komunitas berasal dari bahasa latin communitas yang berarti
"kesamaan", kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti "sama,
publik, dibagi oleh semua atau banyak". Komunitas sebagai sebuah kelompok
sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki
ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas manusia, individuindividu
di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi,
kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Soenarno (2002),
Definisi Komunitas adalah sebuah identifikasi dan interaksi sosial yang dibangun
dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional.
Menurut Kertajaya Hermawan, komunitas merupakan sekelompok orang
yang saling peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya, dimana dalam
sebuah komunitas terjadi relasi pribadi yang erat antar para anggota komunitas
tersebut karena adanya kesamaan interest atau values. Sedangkan Loren O.
Osbarn dan Martin H. Neumeyer mengatakan bahwa komunitas adalah suatu
kelompok sosial yang dapat dinyatakan sebagai “masyarakat setempat”, suatu
kelompok yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu dengan batas-batas
tertentu pula, dimana kelompok itu dapat memenuhi kebutuhan hidup dan
25
Stewart L. Tubbs, dan Sylvya Moss, Human Communication Konteks-Konteks Komunikasi, PT.
Rosda Karya, Bandung, 2005, hal 242
dilingkupi oleh perasaan kelompok serta interaksi yang lebih besar di antara para
anggotanya.
Sementara itu, Christensson dan Robinson melihat bahwa konsep
komunitas mengandung empat komponen, yaitu people, place or territory, social
interaction, dan psychological identification. Sehingga kemudian mereka
merumuskan pengertian komunitas sebagai ”people the live within a
greographically bounded are who are involved in social interction and have one
or more psychological ties with each other an with the place in which they live”
(orang-orang yang bertempat tingal di suatu daerah yang terbatas secara geografis,
yang terlibat dalam interaksi.26
Melalui pemaparan dari para ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa komunitas merupakan masyarakat setempat (community) yang memiliki
suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial
yang tertentu. Dasar-dasar dari masyarakat setempat adalah lokalitas dan perasaan
semasyarakat setempat.
26
Fredian Tonny Nasdian, Pengembangan Masyarakat, Bagian Ilmu-Ilmu Sosial, Komunikasi dan
Ekologi Manusia, Departeman Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian IPB, 2003, hal 22