bab ii kajian pustaka, kerangka pemikiran dan...

21
12 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penelitian Terdahulu Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang temanya dianggap relevan dengan penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Taufik Lukman pada tahun 2009 yang mengetengahkan judul Pengaruh Introduksi Teknologi dan Kelembagaan terhadap Peningkatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani, dengan sub judul Kasus di Lokasi Prima Tani Desa Sangiang Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui pengaruh introduksi teknologi dan kelembagaan usahatani terhadap pendapatan petani dan ketahanan pangan rumah tangga petani di Desa Sangiang, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka. Penelitian Taufik Lukman ini dilatarbelakangi oleh pengalaman dari pelaksanaan berbagai program dan kegiatan di lingkup pertanian seperti program kredit usahatani, program peningkatan produktivitas padi terpadu yang menunjukkan pembinaan, introduksi teknologi, dan kelembagaan sarana prasarana yang diaplikasikan kepada petani kurang sesuai dengan kebutuhan petani baik dari segi jenis, waktu, dan jumlah. Keadaan tersebut menjadi masalah bagi pelaksanaan kegiatan, sehingga hasil kegiatan tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Desain penelitian Taufik Lukman menggunakan metode survey eksplanatori yang dilaksanakan melalui pengumpulan data di lapangan dengan unit analisis

Upload: trinhnhu

Post on 26-Apr-2018

221 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Penelitian Terdahulu

Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang temanya dianggap

relevan dengan penelitian ini.

Penelitian yang dilakukan oleh Taufik Lukman pada tahun 2009 yang

mengetengahkan judul Pengaruh Introduksi Teknologi dan Kelembagaan terhadap

Peningkatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani, dengan sub judul Kasus di

Lokasi Prima Tani Desa Sangiang Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka.

Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui pengaruh introduksi teknologi dan

kelembagaan usahatani terhadap pendapatan petani dan ketahanan pangan rumah

tangga petani di Desa Sangiang, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka.

Penelitian Taufik Lukman ini dilatarbelakangi oleh pengalaman dari

pelaksanaan berbagai program dan kegiatan di lingkup pertanian seperti program

kredit usahatani, program peningkatan produktivitas padi terpadu yang

menunjukkan pembinaan, introduksi teknologi, dan kelembagaan sarana prasarana

yang diaplikasikan kepada petani kurang sesuai dengan kebutuhan petani baik dari

segi jenis, waktu, dan jumlah. Keadaan tersebut menjadi masalah bagi

pelaksanaan kegiatan, sehingga hasil kegiatan tidak sesuai dengan tujuan yang

diharapkan.

Desain penelitian Taufik Lukman menggunakan metode survey eksplanatori

yang dilaksanakan melalui pengumpulan data di lapangan dengan unit analisis

13

petani yang tergabung dalam kelompok tani yang mendapat pembinaan dari tim di

desa lokasi kegiatan Prima Tani yaitu Desa Sangiang. Dan populasi untuk sampel

dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani yang mendapat pembinaan dalam

usaha tani. Penentuan sampel dilakukan secara propotional random sampling, dari

anggota kelompok tani yang menjadi binaan kegiatan Prima Tani. Jumlah sampel

yang diperlukan 20 persen dari populasi petani yang dibina, dengan harapan dapat

mewakili seluruh rumah tangga petani di desa tersebut.

Berbeda dengan penelitian ini, penelitian Taufik Lukman menggunakan 3

(tiga) operasional variabel, yaitu variabel teknologi, kelembagaan dan ketahanan

pangan. Sebagai indikator ketahanan pangan, Taufik Lukman menggunakan

pendapatan dari usahatani, pendapatan dari non-usahatani, pengeluaran untuk

konsumsi dan pengeluaran untuk non-konsumsi.

Hasil dari penelitian Taufik Lukman ini menunjukkan bahwa teknologi dan

kelembagaan berpengaruh positif terhadap peningkatan ketahanan pangan rumah

tangga petani dan terdapat hubungan yang erat antara teknologi dan kelembagaan

sebagai bagian dari program Prima Tani dalam meningkatkan ketahanan pangan

rumah tangga petani.

Penelitian berikutnya yang berkenaan dengan implementasi kebijakan

program yaitu penelitian yang dilakukan oleh Sri Endang Wijayanti pada tahun

2003, dengan judul Pengaruh Implementasi Program Pembinaan Lumbung

Pangan terhadap Kualitas Pengelolaan Lumbung Pangan Masyarakat Desa di

Kabupaten Sumedang. Lokasi penelitian difokuskan pada 6 (enam) lumbung

pangan di Kabupaten Sumedang yang pernah dibina oleh Pemerintah Propinsi

Jawa Barat tahun 1999 – 2001.

14

Latar belakang penelitian ini adanya kebijakan pembinaan Lumbung Pangan

Masyarakat Desa yang sudah lama diinisiasi dan tetap menjadi salah satu kegiatan

dalam melaksanakan Program Pembangunan Pertanian di Indonesia. Dalam

perkembangannya, jumlah lumbung pangan tidak berkembang cukup baik bahkan

sebaliknya mengalami penurunan.

Oleh sebab itu, penelitian Sri Endang ini bertujuan untuk mengetahui

pelaksanaan Program Pembinaan Lumbung Pangan dalam meningkatkan kualitas

pengelolaan lumbung pangan masyarakat desa, dan mengetahui serta menganalisis

sejauhmana implementasi Program Pembinaan Lumbung Pangan berpengaruh

terhadap kualitas pengelolaan lumbung pangan masyarakat desa.

Metode penelitian yang digunakan oleh Sri Endang yaitu metode deskriptif

analisis melalui survey. Responden diambil secara sensus, artinya diambil secara

keseluruhan dalam suatu populasi penelitian yaitu semua orang yang pernah

dilibatkan dalam Program Pembinaan Lumbung Pangan ditingkat propinsi.

Jumlah responden seluruhnya 32 orang terdiri dari 23 orang pengurus lumbung

dan pengawas lumbung yang pernah mendapat pembinaan serta 9 orang pelaksana

kebijakan dari tingkat propinsi, kabupaten dan kecamatan. Teknik analisis data

dilakukan dengan menggunakan perhitungan metode analisis regresi.

Penelitian Sri Endang ini menggunakan 2 (dua) variabel, yaitu variabel x

(implementasi program) yang terdiri dari dimensi pelatihan dan bimbingan, serta

variabel y (kualitas pengelolaan lumbung) yang terdiri dari dimensi perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa pelaksanaan Program Pembinaan Lumbung Pangan berjalan

cukup baik, namun dari hasil perhitungan statistik didapatkan bahwa hanya 21

15

persen saja Program Pembinaan Lumbung Pangan tersebut memberikan pengaruh

terhadap kualitas pengelolaan lumbung pangan sedangkan sisanya 79 persen

ditentukan oleh faktor-faktor lain diluar jangkauan penelitian.

Selanjutnya penelitian untuk tesis yang dilakukan oleh Dandi Pribadi,

mahasiswa Program Magister Universitas Padjadjaran. Beliau mengangkat judul

Pengaruh Implementasi Kebijakan Pemberdayaan Goro Badunsanak terhadap

Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan, suatu studi kasus tentang Program

Goro Badunsanak di Kabupaten Agam.

Penelitian ini berfokus untuk mengungkapkan sejauh mana hubungan

interaksi antara implementasi kebijakan pemberdayaan Goro Badunsanak dan

partisipasi masyarakat dalam pembangunan serta bagaimanakah implementasi

kebijakan pemberdayaan Goro Badunsanak mempengaruhi partisipasi masyarakat

dalam pembangunan di Kabupaten Agam.

Penelitian ini menggunakan desain eksplanasi. Secara operasional, dimensi

implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat terdiri dari organisasi,

interpretasi dan aplikasi. Variabel partisipasi masyarakat dalam pembangunan

yaitu perencanaan, pelaksanaan, penerimaan dan pemanfaatan hasil serta evaluasi

dalam pembangunan. Responden berasal dari masyarakat di Kabupaten Agam

yang diambil berdasarkan metode cluster sampling. Secara kuantitatif data

dikumpulkan dengan teknik kuesioner dan telaah kepustakaan. Selanjutnya diolah

dan dianalisis koefisien determinasinya.

Hasil dari penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, terdapat

pengaruh antara implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat terhadap

partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dimana pengaruhnya bersifat

16

signifikan dan positif. Besarnya pengaruh implementasi kebijakan pemberdayaan

masyarakat (Goro Badunsanak) terhadap partisipasi masyarakat dalam

pembangunan ditunjukkan oleh hasil penelitian bahwa efektivitas implementasi

kebijakan pemberdayaan masyarakat yang terdiri dari dimensi organisasi,

interpretasi dan aplikasi membawa implikasi yang positif terhadap partisipasi

masyarakat dalam pembangunan yang ditandai oleh adanya kesertaan masyarakat

secara dominan di perencanaan, pelaksanaan, penerimaan dan pemanfaatan hasil

serta evaluasi Program Goro Badunsanak.

2.1.2. Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan

proses kebijakan. Implementasi merupakan terjemahan dari kata

“implementation”, berasal dari kata kerja “to implement”. Dalam kamus Webster

(dalam Wahab, 2001 : 64) bahwa “to implement” berarti to provide the means for

carrying but; yang menekankan bahwa implementasi itu menimbulkan dampak

terhadap sesuatu. Implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses

untuk melaksanakan keputusan kebijaksanaan (biasanya dalam bentuk Undang-

undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau dekrit

presiden). Mazmanian dan Sabatier (dalam Hamdi, 1999 : 14) memberikan

penjelasan mengenai makna implementasi tersebut sebagai berikut :

Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program

dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian

implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-

kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman

kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk

mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/ dampak

nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

17

Meter dan Horn (dalam Wahab, 2001 : 65) secara konseptual memberi

rumusan atau batasan tentang implementasi kebijakan sebagai berikut :

"those action by publics or private individuals (or groups) that are

directed at the achievement of objectives set forth in prior policy

decisions" (tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu--

individu / pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah

atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang

telah digariskan dalam keputusan kebijakan).

Pandangan itu memberi pemahaman bahwa implementasi kebijakan

merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana

tertentu dan dalam urutan waktu tertentu, dengan demikian yang diperlukan dalam

implementasi kebijakan adalah suatu tindakan seperti tindakan yang sah atau

implementasi suatu rencana peruntukan.

Implementasi kebijakan mengacu pada tindakan untuk mencapai tujuan

yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan, tindakan ini berusaha untuk

mengubah keputusan-keputusan tersebut menjadi pola-pola operasional serta

berusaha mencapai perubahan-perubahan besar atau kecil sebagaimana yang telah

diputuskan sebelumnya. Implementasi pada hakikatnya juga upaya pemahaman

apa yang seharusnya terjadi setelah sebuah program dilaksanakan.

Pandangan pakar ini juga memberi pemahaman bahwa proses implementasi

kebijakan tidak hanya menyangkut tindakan atau perilaku institusi yang

bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada

kelompok sasaran. Keberhasilan dalam implementasi kebijakan juga menyangkut

jaringan kekuatan politik, ekonomi, sosial, dan teknologi yang langsung ataupun

tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku semua pihak yang terlibat. Akhirnya

proses tersebut dapat menimbulkan dampak baik yang diharapkan maupun yang

tidak diharapkan.

18

Implementasi kebijakan merupakan proses yang krusial dalam proses

kebijakan publik. Tanpa adanya implementasi kebijakan, sebuah keputusan

kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan di atas meja para pejabat.

Implementasi kebijakan yang berhasil menjadi faktor penting dari keseluruhan

proses kebijakan (Winarno, 2004 : 162).

Kebijakan dapat melibatkan penjabaran lebih lanjut tujuan yang telah

ditetapkan tersebut oleh pejabat atau instansi pelaksana (Hamdi, 1999: 5). Suatu

program kebijaksanaan publik meliputi penyusunan cara tertentu dan tindakan

yang harus dijalankan, misalnya dalam bentuk tata cara yang harus ditaati atau

diikuti dalam implementasinya, patokan yang harus diadakan pada keputusan

pelaksanaan atau proyek yang konkret yang akan dan hendak dilaksanakan dalam

suatu jangka waktu tertentu, bahwa program tersebut telah menjadi bagian dari

kebijaksanaan publik yang akan diimplementasikan.

Implementasi kebijakan publik pada umumnya diserahkan kepada lembaga-

lembaga pemerintahan dalam berbagai jenjangnya hingga jenjang pemerintahan

yang terendah. Disamping itu, setiap pelaksanaan kebijaksanaan masih

memerlukan pembentukan kebijaksanaan dalam wujud peraturan perundang-

undangan lainnya. Dalam implementasi kebijakan publik biasanya akan terkait

dengan aktor pelaksana dalam berbagai kedudukan dan peran. Para pelaksana

kebijakan adalah para aktor yang satu dengan yang lainnya yang dibebankan

dengan penggunaan sarana. Organisasi pelaksana meliputi keseluruhan para aktor

pelaksana dan pembagian tugas masing-masing. Implementasi kebijakan publik

sangat penting untuk memberikan perhatian yang khusus kepada peran dari

kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) yang bertindak sebagai wakil

19

pelaksanaan atau sebagai objek kebijaksanaan. Dalam rangka mencapai tujuan

yang telah ditetapkan sebelumnya dalam suatu kebijakan publik, maka para

pelaksana kebijaksanaan sebenarnya dihadapkan pada dua masalah yaitu yang

berkaitan dengan lingkungan dan administrasi program.

Selanjutnya pengertian implementasi kebijakan dikemukakan pula oleh

Jones (1991 : 65) bahwa :

Implementasi kebijakan adalah merupakan konsep dinamis yang

melibatkan secara terus menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang

akan dan dapat dilaksanakan, yang mengatur aktivitas-aktivitas yang

mengarah kepada penempatan suatu program.

Lebih lanjut Jones (1991 : 164-166) menyebutkan bahwa ada tiga aktivitas

utama yang paling penting dalam implementasi kebijakan yaitu :

1. Organisasi : pembentukan atau penataan kembali sumber daya, unit- unit serta

metoda untuk menunjang agar program berjalan.

2. Interpretasi : menafsirkan agar program (umumnya dalam status) menjadi

rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta di laksanakan.

3. Aplikasi : ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran atau hal lainnya yang

disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program.

Penerapan suatu kebijakan publik akan melibatkan beraneka macam

kegiatan seperti, menyampaikan dan menekankan pengarahan, mengeluarkan

dana, pembentukan suatu organisasi, suatu birokrasi pemerintahan dan bahkan

melibatkan daerah atau negara lain, hal ini sesuai seperti yang dikemukakan oleh

Edward III dalam Tangkilisan (2003:11) bahwa :

Implementasi kebijakan dapat mencakup sekumpulan tindakan yang

luas yaitu : menetapkan dan mengimplementasikan instruksi-instruksi,

menentukan dana, pinjaman, menyerahkan bantuan, menyetujui

perjanjian, mengumpulkan data, menyerahkan informasi, menganalisa

20

masalah-masalah, mengangkat dan mengkaji membentuk organisasi,

menetukan alternatif, merencanakan masa yang akan datang, dan

bermusyawarah dengan rakyat, dengan kelompok-kelompok

kepentingan, dengan aktivitas bisnis, dengan komisi legislatif, unit-

unit birokrasi, serta bahkan dengan negara-negara lain.

Jadi implementasi kebijakan adalah kompleks, tidak akan diselesaikan

dalam waktu singkat dan tidak akan mungkin dapat mewakili seluruh kelompok

yang ada dalam masyarakat.

Sejalan dengan definisi implementasi kebijakan yang dikemukakan, jelaslah

bahwa mereka yang terlibat dalam implementasi kebijakan negara atau daerah

dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan yang telah ditetapkan

sebelumnya adalah pihak pemerintah sendiri dengan pihak kelompok-kelompok

individu yang berkepentingan yang ada dalam masyarakat dimana kebijakan itu

diimplementasikan. Peranan pemerintah dalam proses implementasi kebijakan

tampak dalam cara-cara suatu pemerintahan mengadakan intervensi kebijakan,

oleh Mustopadjaja (1994 : 124) menjelaskan bahwa hal ini bisa berupa:

1. Kebijakan langsung yaitu kebijaksanaan dimana untuk mencapai tujuan yang

dimaksud pemerintah mengimplementasikan berbagai keputusan, ketentuan

dan aturan yang terdapat dalam kebijaksanaan.

2. Kebijakan tidak langsung adalah berbagai keputusan atau perundang--

undangan, dimana untuk mcncapai tujuan yang dimaksud, pemerintah tidak

mengimplementasikan sendiri kebijakan tersebut tetapi hanya mengeluarkan

ketentuan atau aturan yang dapat mempengaruhi perilaku atau tindakan

masyarakat sehingga bergerak kearah yang sesuai dengan tujuan yang

dimaksud.

21

3. Kebijakan campuran adalah kebijakan dimana untuk mencapai tujuan-tujuan

yang dimaksudkan, terbuka kesempatan atau peran yang dapat di

implementasikan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh organisasi

kemasyarakatan ataupun campuran keduanya.

Implementasi kebijakan publik pada umumnya diserahkan kepada lembaga-

lembaga pemerintahan dalam berbagai jenjang. Dari pemerintah pusat hingga ke

pemerintah desa. Disamping itu, setiap pelaksanaan kebijakan masih memerlukan

pembentukan kebijakan dalam wujud peraturan perundang-undangan lainnya.

Dalam implementasi kebijakan publik biasanya terkait dengan aktor pelaksana

dalam berbagai kedudukan dan peran yang disertai dengan penggunaan berbagai

sarana. Organisasi pelaksana meliputi keseluruhan para aktor pelaksana dan

pembagian tugas masing-masing. Implementasi kebijakan publik sangat penting

untuk memberikan perhatian yang khusus kepada peran dari kelompok-kelompok

kepentingan (interest groups) yang bertindak sebagai wakil pelaksana atau

sebagai objek kebijakan. Dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan

sebelumnya dalam suatu kebijakan publik, maka para pelaksana kebijakan

sebenarnya dihadapakan pada dua permasalahan yaitu yang berkaitan dengan

lingkungan interaksi program dan administasi program.

Dapat disimpulkan bahwa kebijakan memiliki tiga buah komponen yang

berinteraksi secara timbal balik sebagai berikut :

1. Pelaku kebijakan, yaitu badan pemerintah maupun orang atau lembaga non-

pemerintah yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Mereka dapat

mempengaruhi dan sekaligus terkena pengaruh dari suatu kebijakan.

22

2. Lingkungan kebijakan, yang dimaksud dengan lingkungan kebijakan

bukannya orang-orang atau lembaga yang berada disekitar dan mempengaruhi

pemerintah selaku penentu akhir suatu kebijakan, melainkan menunjuk pada

bidang-bidang kehidupan, masyarakat yang dapat atau perlu dipengaruhi oleh

pelaku kebijakan. Seperti demokrasi, pengangguran, produktivitas kerja,

pencemaran alam, urbanisasi dan ketimpangan distribusi pendapatan.

3. Kebijakan publik, yaitu serangkaian pilihan tindakan pemerintah untuk

menjawab tantangan kehidupan masyarakat.

Kemudian Warwick dalam Islamy (2004 : 63) menyatakan bahwa dalam

proses implementasi kebijakan terdapat faktor-faktor pendorong yang terdiri atas :

1. Kemampuan organisasi; dalam tahap ini, implementasi kebijakan dapat

diartikan sebagai kemampuan melaksanakan tugas-tugas yang seharusnya,

seperti yang telah dibebankan atau ditetapkan pada suatu organisasi.

Kemapuan organisasi terdiri dari tiga unsur pokok yaitu : (1) Kemampuan

teknis, (2) Kemampuan dalam menjalin hubungan dengan organisasi lain yang

beroperasi dalam bidang yang sama dalam arti perlu koordinasi antara instansi

terkait, (3) Meningkatakan sistem pelayanan dengan mengem-bangkan SOP

(Standard Operating Procedures) yaitu pedoman tata aliran dalam

pelaksanaan kebijakan.

2. Komitmen para pelaksana; salah satu asumsi yang sering keliru ialah jika

pemimpin telah siap untuk bergerak, maka bawahan akan segera ikut. Dalam

kenyataanya kesediaan dan kemauan bawahan untuk rnengerjakan dan

melaksanakan suatu kebijakan yang telah disetujui sangat bervariasi.

23

3. Dukungan dari kelompok kepentingan; pelaksanaan kebijakan sering lebih

berhasil bila mendapat dukungan dalam kelompok-kelompok kepentingan

dalam masyarakat.

Sedangkan faktor-faktor penghambat dalam proses implementasi kebijakan

terdiri atas :

1. Banyaknya pelaku (aktor) yang terlibat; yaitu bilamana terlalau banyak pihak

maka turut mempengaruhi pelaksanaan, makin rumit pengambilan keputusan

sehingga terjadi kelambatan dalam proses pelaksanaan kebijakan.

2. Komitmen yang melekat pada kebijakan itu sendiri, seringkali mengalami

kesulitan dalam pelaksanaan karena sifat hakiki dari kebijakan itu sendiri

seperti faktor teknik, ekonomi, pengadaan sarana dan perilaku pelaksana.

3. Pengambilan keputusan yang terlalu banyak; hal ini menyebabkan banyak

jenjang dan tempat pengambilan keputusan yang diperlukan sebelum

kebijakan dilakukan, berarti makin banyak waktu yang dibutuhkan guna

persiapan pelaksanaan. Begitu pula pada tahap operasionalnya.

Dengan demikian apabila suatu kebijakan publik memperhatikan faktor--

faktor yang mempengaruhi serta juga memperhatikan prosedur yang ada, maka

diharapkan pelaksanaan suatu kebijakan akan berhasil dengan efektif.

Winarno (2004 : 112) menyatakan implementasi akan berjalan efektif bila

ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan dipahami oleh individu-individu yang

bertanggung jawab dalam pencapaian kebijakan. Selanjutnya menurut Van Meter

dan Van Horn (dalam Winarno, 2004 : 113), implementasi yang berhasil

seringkali membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga.

Hal ini sebenarnya akan mendorong kemungkinan yang lebih besar bagi pejabat-

24

pejabat tinggi (atasan) untuk mendorong pelaksana (bawahan) bertindak dalam

suatu cara yang konsisten dengan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan

kebijakan.

2.1.3. Ketahanan Pangan Masyarakat Desa

Ketahanan pangan merupakan salah satu isu strategis dalam pembangunan

yang berkelanjutan, namun seringkali terlupakan dalam suatu proses perencanaan

pengembangan wilayah. Menurut Sen (dalam Simatupang, 2007), ketahanan

pangan memiliki peran ganda yaitu sebagai salah satu sasaran utama

pembangunan dan sebagai salah satu instrumen utama pembangunan ekonomi.

Peran pertama merupakan fungsi ketahanan pangan sebagai prasyarat untuk

terjaminnya akses pangan bagi semua penduduk negara dalam jumlah dan kualitas

yang cukup untuk eksistensi hidup, sehat, dan produktif. Akses terhadap pangan

yang cukup merupakan hak azasi manusia yang harus selalu dijamin oleh negara

bersama masyarakat. Peran kedua, merupakan implikasi dari fungsi ketahanan

pangan sebagai syarat keharusan dalam pembangunan sumberdaya manusia yang

kreatif dan produktif yang merupakan determinan utama dari inovasi ilmu

pengetahuan, teknologi dan tenaga kerja produktif. Sehingga dapat dikatakan

bahwa ketahanan pangan juga memiliki fungsi sebagai salah satu determinan

lingkungan perekonomian yang stabil dan kondusif bagi pembangunan.

Konsep ketahanan pangan (food security) lebih luas dibandingkan dengan

konsep swasembada pangan, yang hanya berorientasi pada aspek fisik kecukupan

produksi bahan pangan. Menurut Amartya Sen (dalam Lassa, 2006), ketidak-

tahanan pangan dan kelaparan justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas

25

pangan bukan karena soal produksi dan ketersediaan semata, bahkan ketika

produksi pangan melimpah ibarat tikus mati di lumbung padi. Kerawanan pangan

terjadi dimana situasi pangan tersedia tetapi tidak mampu diakses rumah tangga

karena keterbatasan sumberdaya ekonomi yang dimiliki (pendapatan, kesempatan

kerja, sumberdaya ekonomi lainnya). Hal ini konsisten dengan pendapat Sen

(dalam Lassa, 2006) bahwa produksi pangan bukan determinan tunggal ketahanan

pangan, melainkan hanyalah salah satu faktor penentu.

Menurut Hanani (2008), sampai saat ini di Indonesia, banyak kalangan

praktis dan birokrat kurang memahami pengertian swasembada pangan dengan

ketahanan pangan. Akibat dari keadaan tersebut konsep ketahanan pangan

seringkali diidentikkan dengan peningkatan produksi ataupun penyediaan pangan

yang cukup. Swasembada pangan umumnya merupakan capaian peningkatan

ketersediaan pangan dengan wilayah nasional, sedangkan ketahanan pangan lebih

mengutamakan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi

untuk sehat dan produktif. Perbedaan swasembada pangan dengan ketahanan

pangan disajikan dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan

Indikator Swasembada Pangan Ketahanan Pangan

Lingkup Nasional Rumah tangga dan

individu

Sasaran Komoditas pangan Manusia

Strategi Substitusi impor Peningkatan ketersediaan

pangan, akses pangan,

dan penyerapan pangan

Output Peningkatan produksi

pangan

Status gizi (penurunan :

kelaparan, gizi kurang,

dan gizi buruk)

Outcome Kecukupan pangan oleh

produk domestik

Manusia sehat dan

produktif (angka harapan

hidup tinggi) Sumber : Hanani, 2008

26

Oleh karenanya saat ini beberapa ahli sepakat bahwa ketahanan pangan

minimal mengandung dua unsur pokok, yaitu “ketersediaan pangan” dan

“aksesibilitas masyarakat” terhadap bahan pangan tersebut. Salah satu dari unsur

diatas tidak terpenuhi, maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai

ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional

dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya

tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh. Aspek distribusi

bahan pangan sampai ke pelosok rumah tangga perdesaan juga tidak kalah

pentingnya dalam upaya memperkuat strategi ketahanan pangan (Arifin, 2004 :

31-32).

Pengertian ketahanan pangan sendiri menurut FAO (1996) adalah situasi

dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk

memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga

tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Pengertian ini

kemudian diadopsi dalam UU Nomor 7 Tahun 1996 Ketahanan Pangan

didefinisikan sebagai kondisi di mana terjadinya kecukupan penyediaan pangan

bagi rumah tangga yang diukur dari ketercukupan pangan dalam hal jumlah dan

kualitas dan juga adanya jaminan atas keamanan (safety), distribusi yang merata

dan kemampuan membeli.

Berdasarkan pengertian tersebut, ketahanan pangan merupakan suatu konsep

yang luas dan kompleks ditentukan oleh interaksi kondisi fisik pertanian, sosial

ekonomi, dan faktor-faktor lingkungan. Menurut Riely et.al. (1999 : 6), dalam

buku Food Security Indicators and Framework for Use in the Monitoring and

Evaluation of Food Aid Programs,

27

The complexity of the food security problem can be effective by

focusing on three distinct, but inter-related dimensions of the concept

as mentioned above : food availability, food access, and food

utilization.

Riely et.al. (1999 : 8) mengungkapkan bahwa ketersediaan pangan (food

availability) dicapai pada saat kecukupan kuantitas pangan tersedia bagi seluruh

individu secara konsisten di seluruh wilayah negeri.

Kemudian keterjangkauan pangan (food access) dipastikan terpenuhi secara

efektif ketika rumah tangga atau seluruh individunya memiliki sumberdaya yang

cukup untuk memperoleh pangan yang sewajarnya dan bergizi. Keterjangkauan

pangan ini lebih jauh ditentukan oleh kemampuan rumah tangga mendapatkan

pangan dari produksi sendiri dan persediaan, dari pasar, dan dari sumber lainnya

(dalam Riely et al, 1999 : 12).

Selanjutnya Riely et al (1999 : 8) juga mengungkapkan efektivitas

pemanfaatan pangan (food utilization) bergantung pada ukuran pemahaman

pengetahuan dari rumah tangga dalam hal penyimpanan pangan dan teknik

pengolahan, prinsip dasar kandungan gizi pangan dan perawatan anak yang tepat,

serta pencegahan penyakit.

Menurut Kasryno (dalam Rahadian, 2007) yang sangat sensitif

mempengaruhi ketahanan dan keamanan pangan di tingkat rumah tangga adalah

daya beli atau keterjangkauan komoditi pangan. Golongan masyarakat yang

sangat rentan terhadap perubahan ini adalah angkatan kerja yang bekerja pada

sektor informal dengan kualitas dan produktivitas tenaga kerja yang masih rendah.

Kondisi ini diperparah oleh terbatasnya jangkauan terhadap penguasaan lahan

pertanian dan aset produktif lainnya. Karena itu dapat disimpulkan bahwa masalah

yang sangat mendasar dalam ketahanan pangan adalah keterjangkauan pangan

28

oleh rumah tangga dan masalah kehandalan dan keberlanjutan dari penyediaan

pangan. Keterjangkauan pangan oleh keluarga ditentukan oleh tingkat pendapatan

dan harga pangan. Kehandalan dan keberlanjutan ditentukan oleh kemampuan dan

stabilitas produksi pangan dalam negeri dan kemampuan pembiayaan untuk

mengimpor serta keadaan penyediaan pangan di pasar internasional. Suatu kondisi

ketahanan pangan secara makro dapat terealisasi apabila semua aspek atau

dimensi yang terkait dengan ketahanan tersebut harus bekerja sesuai dengan

sistem dan fungsinya.

2.2. Kerangka Pemikiran

Kebijakan publik merupakan wujud dari komitmen pemerintah yang

diterjemahkan dalam program-program, mempunyai tujuan-tujuan dan prinsip-

prinsip serta tindakan-tindakan pemerintah dalam menyikapi berbagai

permasalahan publik. Dalam konteks implementasi kebijakan, Dunn (1998 : 80)

berpendapat bahwa implementasi kebijakan adalah pelaksanaan dan pengendalian

arah tindakan kebijakan sampai dicapainya hasil kebijakan.

Pelaksanaan kebijakan merupakan langkah yang sangat penting dalam

proses kebijakan. Tanpa pelaksanaan, suatu kebijakan hanyalah sekedar sebuah

dokumen yang tidak bermakna dalam kehidupan bermasyarakat.

Banyak terdapat faktor yang mempengaruhi dalam implementasi kebijakan

negara. Hal ini berkaitan pula dengan efektifnya suatu kebijakan, sebagaimana

dikemukakan oleh Islamy (2000 : 107) :

Suatu kebijakan negara akan bersifat efektif bila dilaksanakan dan

mempunyai dampak positif bagi masyarakat, dengan kata lain,

tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota masyarakat itu

bersesuaian dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara.

29

Dengan demikian kalau mereka tidak bertindak/berbuat sesuai dengan

keinginan pemerintah/negara itu maka kebijakan tidak efektif.

Pemikiran itu, menunjukan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu

tindakan strategis pemerintah untuk memberdayakan masyarakat yang pada

gilirannya bermuara pada kepentingan rakyat. Menurut Chambers (dalam

Kartasasmita, 1996 : 142), “bahwa pemberdayaan merupakan suatu konsep

pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial". Konsep ini

mencerminkan paradigma haru pembangunan yakni yang bersifat people centered,

participatory, empowering and sustainable. Konsep ini lahir sebagai antitesis dari

model pembangunan dan model industrialisasi yang dianggap kurang berpihak

kepada kepentingan rakyat.

Implementasi berkenaan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada

realisasi program (Gordon, 1986 dalam Keban, 2008 : 76). Dalam hal ini,

administrator mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan

menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Mengorganisir berarti mengatur

sumberdaya, unit-unit dan metode-metode untuk melaksanakan program.

Melakukan interpretasi berkenaan dengan menterjemahkan bahasa atau istilah-

istilah program ke dalam rencana-rencana dan petunjuk-petunjuk yang dapat

diterima dan feasible. Menerapkan berarti menggunakan instrumen-instrumen,

mengerjakan atau memberikan pelayanan rutin, melakukan pembayaran-

pembayaran. Atau dengan kata lain implementasi merupakan tahap merealisasi

tujuan-tujuan program. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah persiapan

implementasi, yaitu memikirkan dan menghitung secara matang berbagai

kemungkinan keberhasilan dan kegagalan, termasuk hambatan atau peluang-

30

peluang yang ada dan kemampuan organisasi yang diserahi tugas untuk

melaksanakan program.

Sebagai tindak lanjut dari komitmen untuk mengatasi masalah pangan, maka

membangun ketahanan pangan menjadi sangat penting dan strategis, karena

berdasarkan pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada satu

negara pun yang dapat melaksanakan pembangunan secara mantap, sebelum

mampu mewujudkan ketahanan pangan terlebih dahulu. Dengan memperhatikan

hal tersebut, kebijakan umum pemantapan ketahanan pangan diarahkan untuk

mengatasi tantangan dan masalah dengan mendayagunakan peluang yang tersedia

untuk memenuhi kecukupan pangan bagi setiap penduduk. Kecukupan pangan

tersebut dihasilkan oleh masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya,

kelembagaan dan budaya lokal sebagai nilai-nilai kearifan setempat.

Berbagai substansi yang menjadi komponen ketahanan pangan selalu

bergerak dinamis dan sinergis yang mendorong tercapainya keseimbangan gizi

masyarakat, dan semua itu merupakan bidang kerja berbagai sektor dalam

pembangunan. Sektor pertanian diharapkan berperan sentral dalam memantapkan

ketahanan pangan, bekerjasama dengan sektor-sektor terkait. Dengan

memperhatikan hal tersebut maka pengembangan ketahanan pangan harus

memperhatikan seluruh komponen dalam sistem ketahanan pangan, dengan

ditunjang fungsi koordinasi, sinkronisasi, fasilitasi dan integrasi yang dinamis

melalui suatu pola pengorganisasian yang padu dan terdesentralisasi.

Program Desa Mandiri Pangan merupakan salah satu program pembangunan

masyarakat desa yang digulirkan untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat

dalam mencapai ketahanan pangan rumah tangga di wilayah-wilayah yang

31

dianggap rawan pangan. Melalui program tersebut diharapkan masyarakat tidak

hanya berpangku tangan saja, tetapi mampu berbuat sesuatu dalam arti tercapai

kemandirian untuk memenuhi kebutuhannya, terutama pangan.

Esensi kebijakan ketahanan pangan dicirikan oleh keterlibatan aktif

pemerintah dalam mengarahkan, merangsang dan mendorong elemen-elemen

terkait sehingga terbentuk suatu sistem ketahanan pangan nasional yang tangguh

dan berkelanjutan. Sistem ketahanan pangan merupakan bagian integral dari

sistem perekonomian nasional secara keseluruhan. Oleh karena itu, kebijakan

ketahanan pangan juga merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan

nasional sehingga perumusannya pun haruslah terpadu dan serasi dengan

kebijakan ekonomi makro. Permasalahan pangan di pedesaan, sebenarnya adalah

permasalahan lokal yaitu bagaimana sebenarnya kemampuan masyarakat

pedesaan dalam memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga didesanya sesuai

dengan preferensi dan kemampuan sumber daya yang dimiliki.

Dalam ketahanan pangan, pencapaian tujuan tidak hanya dilihat dari kualitas

kinerja petugas atau tingkat kepuasan masyarakat. Kepuasan masyarakat

merupakan hal yang subjektif sehingga sulit untuk menentukan pada standar

manakah kondisi ketahanan pangan yang dinilai memuaskan. Untuk mencapai

suatu penilaian yang obyektif maka dapat dilihat apakah ketahanan pangan

tersebut sudah sesuai dengan aturan yang tepat. Banyak ukuran yang dapat

dipakai untuk melihat baik tidaknya kondisi ketahanan pangan tetapi penulis

melihat apakah kondisi ketahanan pangan tersebut sudah baik atau tidak. Jika

kebijakan ketahanan pangan yang dibuat dapat meningkatkan antusiasme

32

masyarakat dalam menjaga ketahanan pangannya, berarti kebijakan yang dibuat

oleh pemerintah dapat dikatakan baik.

Mencermati pemikiran-pemikiran yang telah diuraikan, maka hubungan

implementasi Program Desa Mandiri Pangan dengan ketahanan pangan di

Kabupaten Purwakarta dapat digambarkan kedalam diagram kerangka pemikiran

sebagai berikut :

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

2.3. Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka pemikiran yang telah

dikemukakan itu, maka dapat diajukan hipotesis bahwa : Besarnya

pengaruh dari implementasi Program Desa Mandiri Pangan terhadap

ketahanan pangan ditentukan oleh dimensi organisasi, interpretasi dan

aplikasi.

Program Desa

Mandiri Pangan

Implementasi

Program Desa

Mandiri Pangan

- Organisasi

- Interpretasi

- Aplikasi (Jones, 1991)

Ketahanan Pangan - Ketersediaan pangan

- Keterjangkauan pangan

- Pemanfaatan pangan

(Riely, et.al, 1999)