bab ii kajian pustaka 2.1 kajian...
TRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1. Hasil Penelitian Terdahulu
Kajian pustaka di dalam penulisan penelitian ini adalah didasarkan pada
(1) hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang dianggap mendukung
kajian teori di dalam penelitian yang tengah dilakukan, serta (2) didasarkan pada
teori-teori dari sumber kepustakaan yang dapat menjelaskan perumusan masalah
yang telah ditetapkan di dalam BAB 1.
Di bawah ini adalah uraian beberapa hasil penelitian terdahulu yang
dianggap relevan untuk kemudian dianalisis dan dikritisi dilihat dari pokok
permasalahan, teori dan metode, sehingga dapat diketahui letak perbedaannya
dengan penelitian yang penulis lakukan. Hasil penelitian sebelumnya yang
membahas mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja,
memberikan gambaran mengenai persamaan dan perbedaan dengan penelitian
yang tengah dilakukan.
Berikut ini adalah hasil-hasil penelitian terdahulu yang dipandang relevan
dengan penelitian sebagai berikut :
1. Hasil penelitian (Sukardi, 2009) dengan judul “Pengaruh Gaya
Kepemimpinan dan Pemotivasian terhadap Prestasi Kerja Petugas
Penyuluh Lapangan pada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten
Siak”. Tesis, Program Pascasarjana, Program Magister Administrasi
Publik, Universitas Padjadjaran Bandung. Penelitian ini menggunakan
11
ukuran sampel 61 orang dari populasi sebanyak 61, dengan metode
penelitian survey eskplanatori, analisis statistika menggunakan path
analysis.
Dari hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa pengaruh gaya
kepemimpinan dan pemotivasian terhadap prestasi kerja pegawai secara
simultan adalah sebesar 96 persen. Dari hasil penelitian yang bersifat
kwantitatif tersebut dapat disampaikan bahwa tingkat disiplin pegawai
petugas penyuluh lapangan pada Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Siak, dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan dan pemotivasian
yang dilakukan oleh Kepala Dinas. Hubungan pengaruh tersebut adalah
bersifat secara positif. Hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi
nilai gaya kepemimpinan dan pemotivasian akan memberi dampak
kenaikan nilai terhadap prestasi kerja pegawainya, atau sebaliknya
semakin rendah nilai gaya kepemimpinan dan pemotivasian akan
berdampak pada turunnya prestasi kerja pegawai.
2. Hasil penelitian (Yulianis, 2007) dengan judul “Pengaruh Gaya
Kepemimpinan terhadap Prestasi Kerja Pegawai pada Dinas
Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata Provinsi Riau. Tesis, Program
Pascasarjana, Program Magister Administrasi Publik, Universitas
Padjadjaran Bandung. Penelitian ini menggunakan ukuran sampel 33
orang dari populasi sebanyak 132 orang. Metode penelitian yang
digunakan metode eksplanatory research, dengan hasil penelitian sebagai
berikut:
12
Hasil penelitian menggambarkan bahwa gaya kepemimpinan pada dinas
Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata Provinsi Riau masih belum
berjalan dengan baik, sehingga prestasi kerja pegawai belum maksimal.
Variabel gaya kepemimpinan berpengaruh positif sebesar 66.9 persen
terhadap prestasi kerja pegawai pada Dinas Kebudayaan, Kesenian, dan
Pariwisata Provinsi Riau. Hal ini menggambarkan bahwa tingginya
pegaruh gaya kepemimpinan berpotensi terhadap terjadinya prestasi kerja
pegawai atau sebaliknya rendahnya gaya kepemimpinan berpotensi
terhadap rendahnya prestasi kerja pegawai pada Dinas Kebudayaan,
Kesenian, dan Pariwisata Provinsi Riau.
3. Hasil penelitian (Iman Sukendar 2007), “Pengaruh Motivasi dan Diklat
terhadap Kinerja Pegawai pada Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan”.
Tesis, Program Pascasarjana, Program Magister Administrasi Publik,
Universitas Padjadjaran Bandung. Penelitian ini menggunakan metode
kuantitatif dan kualitatif, dengan ukuran sampel sebesar 82 orang dari
populasi sebanyak 107 orang. Hasil penelitian menunjukkan sebagai
berikut:
Hasil uji statistika membuktikan bahwa terdapat pengaruh yang cukup
signifikan dari pelaksanaan motivasi terhadap tingkat kinerja pegawai
pada Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan. Terdapat pengaruh yang
signifikan dari pendidikan dan pelatihan terhadap tingkat kinerja pegawai
pada Dinas Kehutanan kabupaten Pelalawan, Terdapat pengaruh yang
cukup signifikan dari pelaksanaan kebijkan motivasi serta pendidikan
13
dan pelatihan terhadap tingkat kinerja pegawai pada Dinas Kehutanan
Kabupaten Pelalawan. Adapun pengaruh serentak dari tiga variabel
tersebut terhadap kinerja pegawai adalah sebesar 93 persen.
Sementara apabila melihat perbandingan dengan hasil penelitian
sebelumnya, terdapat beberapa keunikan dari rencana penelitian yang akan
dilakukan berikut. 1) penelitian ini mengungkapkan tentang konteks
kepemimpinan secara umum sehingga bisa memotret fenomena kepemimpinan
dan kepemimpinan dalam suatu organisasi secara lebih komperhensif; 2)
penelitian ini mengungkapkan kinerja pegawai yang dapat menggambarkan
bagaimana kinerja yang berjalan pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan
Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara; 3) penelitian ini mengungkapkan
tentang keterkaitan antara kepemimpinan dengan kinerja, yang dapat menjelaskan
bagaimana akibat kinerja yang dimungkinkan terjadi dari berjalannya
kepemimpinan pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Kabupaten
Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara.
2.1.2. Kepemimpinan Organisasi
Kepemimpinan memiliki aneka dimensi, salah satunya adalah
kepemimpinan kelompok. Pemimpin mempunyai pelbagai kedudukan dan fungsi,
yaitu sebagai pelaksana, perancang, pembuat keputusan ahli, komunikator,
dinamisator, evaluator, inovator, simbol dan lain-lain.
Berkenan dengan hal diatas, (Tjokroamidjoyo, 1987:113) mengemukakan
bahwa kepemimpinan birokrasi adalah administrator sebagai pemimpin birokrasi
14
yang harus ambil keputusan (decision making). Sementara itu menurut (Sutarto
2006:87) menjelaskan bahwa kepemimpinan birokrasi adalah kemampuan
mempengaruhi dan dapat memberikan motivasi kepada bawahan, yang berdampak
kepada meningkatnya kinerja pegawai yang dipimpinnya. Oleh Karena itu, dari
definisi diatas dapat kita ketahui bahwa pemimpin memainkan peranan amat
menentukan di dalam menetapkan putusan-putusan dan mempengaruhi kelompok.
Itulah sebabnya, keberhasilan kelompok lebih dinilai sebagai keberhasilan
pemimpinnya. Sebaliknya, kegagalan kelompok juga lebih dianggap sebagai
kegagalan pemimpinnya.
Mengenai keberhasilan dan kegagalan seoarang pemimpin, Maier dalam
(Danim, 2004:136) menyimpulkan bahwa dengan kehadiran seoarang pemimpin
dalam kelompok, aspirasi setiap anggota dapat didengar, dan pada kelompok
tanpa kehadiran pemimpin, keputusan akan ditetapkan berdasarkan pada suara
terbanyak. Namun demikian, dengan mengandalkan anggota yang sedikit
kadangkala dapat melahirkan hasil akhir yang lebih baik, dengan resiko kegagalan
yang relatif kecil pula.
Kreativitas anggota kelompok ditentukan oleh pemimpinnya. Gaya
tertentu dari seorang pemimpin menunjang kreativitas, sebaliknya gaya lainnya
malahan adakalanya mematikan. gaya kepemimpinan delegatif dan sebaliknya,
gaya kepemimpinan yang otoriter dan hanya menghendaki tugas ditempatkan
pada suatu format khusus, pada umumnya mematikan kreativitas kelompok.
15
2.1.2.1. Pengertian Kepemimpinan
Konsep kepemimpinan (leadership) pada dasarnya berasal dari kata
“pimpin” yang artinya bimbing atau tuntun. Dari kata “pimpin” melahirkan kata
kerja memimpin yang artinya membimbing atau menuntun dan kata benda
pemimpin (leader) yaitu orang yang berfungsi memimpin, atau orang yang
membimbing atau menuntun. Dalam tulisan ini pun perlu dijelaskan juga arti
pimpinan adalah mencerminkan kedudukan seseorang atau sekelompok orang
pada hierarkhi tertentu dalam suatu birokrasi formal (wewenang/authority ) dan
tanggungjawab (akuntabilitas). Kartono menyatakan pemimpin adalah seorang
pribadi yang memiliki superioritas tertentu, sehingga dia memiliki kewibawaan
dan kekuasaan untuk menggerakan orang lain melakukan usaha bersama guna
mencapai sasaran tertentu. Sedangkan kepemimpinan yaitu kemampuan seseorang
dalam mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan (Kartono, 2005:51).
Pemimpin, kepemimpinan dan gaya kepemimpinan mesekipun memiliki
perbedaan tetapi merupakan tiga hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
kepemimpinan apapun. Kepemimpinan merupakan sebuah fenomena universal.
Siapa pun menjalankan tugas-tugas kepemimpinan, manakala dalam tugas itu dia
berinteraksi dengan orang lain. Bahkan dalam kapasitas pribadi pun, didalam
tubuh manusia itu ada kapasitas atau potensi pengendali, yang pada intinya
memfasilitasi seseorang untuk dapat memimpin dirinya sendiri.
Farland dalam (Danim, 2004:55) mengemukakan kepemimpinan adalah
suatu proses di mana pimpinan dilukiskan akan memberi perintah atau pengaruh,
16
bimbingan atau proses mempengaruhi pekerjaan orang lain dalam memilih dan
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Sementara kajian tentang tema kepemimpinan yang merupakan salah satu
fokusnya utamanya adalah teori kepemimpinan. Teori kepemimpinan merupakan
generalisasi dari perilaku pemimpin dan konsep kepemimpinannya dengan
menitikberatkan pada latar belakang historis, sebab musabab, munculnya
kepemimpinan, sifat-sifat utama kepemimpinan. Menurut (Kartono, 2005:51),
bahwa teori kepemimpinan adalah penggeneralisasian satu seni perilaku
pemimpin beserta konsep-konsep kepemimpinannya, dengan menampilkan latar
belakang historis kemunculan pemimpin dan kepemimpinan.
Ada beberapa teori yang menonjol dalam menjelaskan kemunculan
pemimpin. Danim , membagi teori dasar munculnya pemimpin dalam tiga bagian
adalah sebagai berikut:
1. Teori Bawaan atau heredity Theory; kata lain teori ini adalah teori
keturunan (genetis) bukan keturunan berdasarkan status starata sosial
dan ningrat. Teori ini berasumsi bahwa sifat-sifat kepemimpinan
seseorang adalah faktor bawaan sejak lahir, dimana menjadi pemimpin
atau tidaknya seseorang karena takdir semata.
2. Teori Psikologi atau psychological Theory; kata lain dari teori ini
adalah teori kejiwaan yang berasumsi bahwa sifat kepemimpinan
seseorang dapat dibentuk sesuai dengan jiwanya. Penganut teori ini
merumuskan bahwa tesis leader are made, pemimpin itu dapat
diciptakan atau dipesiapkan secara khusus, misalnya melalui
pendidikan dan pelatihan. Konsep dasar teori ini adalah bahwa
kapasitas seseorang dapat dibentuk, dimanipulasi, didongkrak
kematangannya, dan karenanya bakat yang dibawa sejak lahir kemuka
bumi ini bisa diabaikan. Artinya lingkungan adalah bagian penting dari
kehidupan seseorang. Manusia sukses, antara lain ditandai oleh
kemampuannya menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
memanfaatkan lingkungan itu menurut kebutuhan nyata.
3. Teori Situasi atau Situational Theory; teori ini pada akhirnya
melahirkan konsep kepemimpinan situasional. Teori ini mengajarkan
bahwa bahwa kepemimpinan seseorang muncul sejalan dengan situasi
17
atau lingkungan yang mengelilinginya. Pada saat tertentu seseorang
berfungsi sebagai pemimpin. Pada saat lain sebagai manusia yang
dipimpin. Bakat dan kemampuan seseorang dapat mewujud hanya
pada situasi tertentu. Teori ini adalah sintesis dari teori keturunan yang
mengatakan bahwa bakat adalah faktor dominan dan teori kejiwaan
yang berasumsi bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin jika
dibekali pengetahuan dan sejumlah pengalaman yang memadai.
(Danim, 2004;57-59).
Selanjutnya Tead dalam Kartono mengemukakan 10 sifat kepemimpinan
yaitu sebagai berikut :
1. Energi jasmani dan mental (physical and nervous energy)
2. Kesadaran akan tujuan dan arah (A sense of purpose and direction)
3. Antusiasme (enthusiasm ; semangat, kegairahan, kegembiraan yang
besar)
4. Keramahan dan kecintaan (Friendliness and affection)
5. Integritas (integrity; keutuhan, kejujuran, ketulusan hati)
6. Penguasaan teknis (technical mastery)
7. Ketegasan dalam mengambil keputusan (decisiveness).
8. Kecerdasan (intelligence)
9. Ketrampilan mengajar (teaching skill)
10. Kepercayaan (faith). (Kartono, 2010:44).
Kepemimpinan juga adalah sebuah tanggungjawab, karena itu seorang
pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya penting memiliki seni
dalam mempengaruhi orang lain agar mau bekerja sama mencapai suatu tujuan.
Menurut Susilo Martoyo, mengatakan bahwa tanggung jawab para pemimpin
adalah sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan pelaksanaan kerja realistis (dalam artian kuantitas,
kualitas, keamanan dan sebagainya).
2. Melengkapi para karyawan dengan sumber-sumber dana yang diperlukan
untuk menjalankan tugasnya.
3. Mengkomunikasikan pada para karyawan tentang apa yang diharapkan dari
mereka.
4. Memberikan susunan hadiah yang sepadan untuk mendorong prestasi.
5. Mendelegasikan wewenang apabila diperlukan dan mengundang partisipasi
apabila memungkinkan.
6. Menghilangkan hambatan untuk pelaksanaan pekerjaan yang efektif.
18
7. Menilai pelaksanaan pekerjaan dan mengkomunikasikan hasilnya.
8. Menunjukkan perhatian kepada karyawan. (Susilo Martoyo, 2000:180).
Hal yang penting dalam tanggung jawab adalah memadukan seluruh
kegiatan dalam mencapai tujuan organisasi tersebut seharmonis mungkin,
sehingga tercapainya tujuan organisasi tersebut efektif dan efisien.
2.1.2.2. Gaya Kepemimpinan
Gaya pada dasarnya berasal dari bahasa Inggris “Style” yang berarti mode
seseorang yang selalu nampak yang menjadi ciri khas orang tersebut. Tiap
pemimpin mempunyai gaya atau cara tersendiri dalam memimpin organisasi atau
perusahaan.
Pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak dan
kepribadian sendiri yang unik khas sehingga tingkah laku dan gayanya yang
membedakan dirinya dengan orang lain. Gaya atau style hidupnya ini pasti akan
mewarnai perilaku dan tipe kepemimpinannya. Sehingga muncullah beberapa tipe
kepemimpinan. Misalnya tipe-tipe kharismatik, paternalistis, militeristis,
otokratis, laissez faier, populis, administratif dan demokratis.
Menurut Stoner, gaya kepemimpinan adalah berbagai pola tingkah laku
yang disukai oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi
pekerja. Stoner juga membagi dua gaya kepemimpinan yaitu :
1. Gaya yang berorientasi pada tugas mengawasi pegawai secara ketat untuk
memastikan tugas dilaksanakan dengan memuaskan.
2. Gaya yang berorientasi pada pegawai lebih menekankan pada memotivasi
ketimbang mengendalikan bawahan. (Stoner, 1996:165)
19
Gaya ini menjalin hubungan bersahabat, saling percaya, dan saling menghargai
dengan pegawai yang sering kali diizinkan untuk berpartisipasi dalam membuat
keputusan yang mempengaruhi mereka.
Sementara menurut Fandy Tjiptono, bahwa gaya kepemimpinan adalah
sebagai berikut:
1. Kepemimpinan Otokratis
Kepemimpinan otokratis disebut juga kepemimpinan diktator atau direktif.
Orang yang menganut pendekatan ini mengambil keputusan tanpa
berkonsultasi dengan para karyawan yang harus melaksanakannya atau
karyawan yang dipengaruhi keputusan tersebut.
2. Kepemimpinan Demokratis
Gaya kepemimpinan ini dikenal dengan istilah kepemimpinan konsultatif
atau konsesus. Orang yang menganut pendapat ini melibatkan para
karyawan harus melaksanakan dalam proses pembuatannya.
3. Kepemimpinan Partisipatif
Kepemimpinan partisipatif atau kepemimpinan terbuka, bebas atau non
direktif. Orang yang menganut pendekatan ini hanya sedikit memegang
kendali dalam proses pengambilan keputusan. Hanya menyajikan
informasi mengenai suatu permasalahan dan memberikan kesempatan
kepada anggota tim untuk mengembangkan strategi dan pemecahannya.
4. Kepemimpinan Berorientasi pada Tujuan
Gaya kepemimpinan ini berdasarkan hasil atau sasaran. Orang yang
menganut pendekatan ini meminta anggota tim untuk memusatkan
perhatiannya pada tujuan yang ada.
5. Kepemimpinan Situasional
Gaya kepemimpinan ini dikenal sebagai kepemimpinan tidak tetap atau
kontingensi, bahwa tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang tepat bagi
setiap manajer dalam segala kondisi. Oleh karena itu gaya kepemimpinan
situasional akan menerapkan suatu gaya tertentu berdasarkan
pertimbangan atas faktor-faktor seperti pemimpin, pengikut dan situasi.
(Fandy Tjiptono, 2003:161).
2.1.3. Model Kepemimpinan
2.1.3.1. Model Robert House
House dalam (Robbins, 2006:448) menjelaskan bahwa teori jalur sasaran
(part-goal theory) merupakan model kontijensi kepemimpinan yang meringkas
20
unsur-unsur utama dari penelitian kepemimpinan Ohio mengenai struktur awal
dan pertimbangan serta teori pengharapan pada motivasi.
Hakekat teori jalur sasaran adalah bahwa merupakan tugas pemimpin
untuk membantu pengikutnya mencapai sasaran mereka untuk memberikan
pengarahan dan/atau dukungan memastikan sasaran mereka sesuai dengan sasaran
keseluruhan kelompok oganisasi.
Istilah jalur-sasaran diturunkan dari keyakinan bahwa pemimpin yang
efektif membersihkan jalur untuk membantu pengikut mereka berangkat dari
tempat awal mereka berada menuju pencapaian sasaran kerja mereka dan
membantu melakukan perjalanan sepanjang jalur itu secara lebih mudah dengan
mengurangi hambatan dan perangkap.
House dalam Robbins, mengidentifikasi empat prilaku kepemimpinan,
yaitu:
1. Pemimpin direktif
pemimpin yang memberi kesempatan pengikutnya mengetahui apa
yang diharapkan dari mereka, menjadualkan pekerjaan yang akan
dilakukan, dan memberikan pedoman yang spesifik mengenai cara
menyelesaikan tugas.
2. Pemimpin suportif
Ramah dan menunjukkan perhatian akan kebutuhan para pengikut.
3. Pemimpin partisipatif
Berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran mereka
sebelum mengambil keputusan.
4. Pemimpin berorientasi prestasi
Menetapkan serangkaian sasaran yang menantang dan mengharapkan
bawahan untuk berprestasi pada tingkat tertinggi mereka. (Robbins,
2006:448).
21
2.1.3.2. Model Partisipan Pemimpin
Vrom dan Yeton dalam Robbins, berpendapat bahwa perilaku
kepemimpinan harus menyesuaikan diri agar dapat mencerminkan struktur tugas.
Model ini bersifat normatif artinya dapat memberikan seperangkat urutan aturan
yang seharusnya diikuti dalam rangka menentukan ragam dan banyaknya
partisipasi yang dinginkan dalam pengambilan keputusan, sebagaimana
ditentukan oleh jenis situasi yang yang berlainan. Model ini merupakan pohon
keputusan rumit yang merangkum tujuh kontijensi (yang relevansinya dapat
diidentifikasi dengan membuat pilihan “ya” dan “tidak”) dan lima gaya
kepemimpinan alternatif.
Menurut Robbin’s kelima gaya itu adalah :
1. Pemimpin yang mengambil keputusan sendiri
2. Pemimpin yang berbagi masalah dengan kelompok
3. Pemimpin yang menyusun keputusan consensus namun
4. Menambah seperangkat jenis masalah dan
5. Memperluas variabel kontijensi menjadi 12. (Robbins, 2006:450).
2.1.3.3.Model Freed Fiedler
Fiedler dalam (Robbins, 2006:440) mengemukakan bahwa kinerja
kelompok yang efektif bergantung pada penyesuaian yang tepat antara gaya
pemimpin dalam berinteraksi dengan bawahan dan tingkat mana situasi tertentu
memberikan kendali dan pengaruh ke pemimpin itu.
Lebih sederhana, Fiedler dalam (Robbins, 2006:440) menjelaskan bahwa
keberhasilan kepemimpinan mengacu pada interaksi antara gaya kepemimpinan
dengan para anggota serta situasinya. Lebih lanjut (Robbins, 2006:440)
menjelaskan ada dua faktor sasaran yang meliputi: identifikasi faktor-faktor yang
22
sangat penting di dalam situasi, dan memperkirakan gaya kepemimpinan atau
perilaku kepemimpinan yang paling efektif di dalam situasi.
Sementara Robbins mengutip Fiedler, memberikan penjelasan tentang
model kepemimpinan:
Bagan: 2.1. Model Kepemimpinan
No / Faktor Situasional 1 2 3 4 5 6 7 8
Hubungan Pemimpin dengan bawahan
Baik Baik Baik Baik Buruk Buruk Buruk Buruk
Struktur Tugas Tinggi Tinggi Rendah Rendah Tinggi Tinggi Rendah Rendah
Kuasa dalam posisi sebagai pemimpin
Kuat Lemah Kuat Lemah Kuat Lemah Kuat Lemah
Gaya kepemimpinan yang efektif
T T T H H H H T
(Sumber: Robbins, 2006;442)
Gambar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Gaya Kepemimpinan
Fiedler berasumsi bahwa gaya kepemimpinan individu bersifat tetap. Jika
situasi menuntut pemimpin yang berorientasi-tugas sedangkan orang
dalam posisi kepemimpinan itu berorientasi-hubungan, apakah situasi itu
harus dimodifikasi atau pemimpin itu digeser dan digantikan agar
efektivitas optimum dicapai. Fiedler mengelompokkkan seorang
pemimpin ke dalam gaya kepemimpinan yang berorientasi pada orang
(hubungan) dan yang berorientasi pada tugas.
2. Faktor-faktor situasional
Fiedler mengidentifikasi faktor-faktor yang ada dalam situasi kerja yang
dapat membantu pemimpin dalam menetapkan gaya kepemimpinannya
secara efektif, faktor-faktor tersebut adalah:
a) Hubungan pimpinan dengan anggota/bawahan
b) Struktur tugas
c) Kekuasaan Jabatan /kuasa dalam posisinya sebagai pemimpin
3. Meneyesuaikan/kombinasi antara gaya kepemimpinan dengan situasi
23
Pada sumbu vertikal menunjukkan faktor-faktor kemungkinan
(contingency). Kolom nomor satu sampai delapan menunjukkan kombinasi
dari tiga faktor situasional tersebut dan yang diatur dari yang paling
menguntungkan (kolom 1) sampai yang paling tidak menguntungkan
(kolom 8).
4. Gaya kepemimpinan yang efektif
Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas akan efektif
menyelesaikan tugas-tugasnya dalam situasi yang menguntungkan (kolom
1,2 dan3) dan dalam situasi yang paling tidak menyenangkan. Gaya yang
berorientasi pada hubungan akan efektif digunakan dalam siatuasi yang
relatif menyenangkan (kolom 4,5,6, dan 7). (Robbins, 2006:440-443).
Robbins mengutip Fiedler bahwa terdapat tiga macam elemen penting
yang akan menentukan gaya kepemimpinan atau perilaku kepemimpinan yang
efektif, yaitu:
1. leader-member relations, yakni tingkat kualitas hubungan pimpinan
dengan bawahan. Sikap bawahan terhadap kepribadian, watak dan
kecakapan atasan;
2. taks-structure,(struktur tugas) dalam situasi kerja apakah tugas-tugas
telah disusun ke dalam bentuk yang terpola atau belum; dan
3. leader’s position power (kekuasaan kedudukan pemimpin), yakni
bagaimana kewibawaan formal pemimpin dilaksanakan terhadap
bawahan. (Robbins, 2006:441).
Sementara itu Robbins juga memberikan penjelasan lebih jauh tentang
dimensi gaya kepemimpinan, sebagai berikut:
1. Hubungan Pimpinan dengan Anggota/Bawahan
Hubungan pimpinan dengan bawahan mengindikasikan sejauh mana
seorang pemimpin dapat diterima atau ditolak oleh anggota kelompok
yang dipimpinnya. Kondisi tersebut mempunyai pengaruh yang amat
penting bagi efektivitas kepemimpinannya. Pemimpin yang disukai dan
keberadaannya dapat diterima oleh kelompok yang dipimpinnya, mampu
menggerakkan bawahan sehingga mampu meningkatkan produktivitas
kerja. Kondisi tersebut dapat diciptakan melalui fleksibilitas penggunaan
otoritas formal yang ada pada pemimpin tersebut. Sebaliknya pemimpin
24
yang tidak disukai dan tidak diterima keberadaannya dalam kelompok,
akan mempunyai efektivitas yang lemah terhadap kepemimpinannya dan
kurang mampu merangsang suasana kerja yang produktif. Kondisi tersebut
terjadi sebagai akibat dari sikap seorang pemimpin yang terlalu
menekankan legitimasi kekuasaan yang ada padannya.
2. Struktur Tugas
Struktur tugas merupakan ruang lingkup dari tugas rutin sampai yang
insidental. Terhadap tugas-tugas yang rutin dan yang sudah mempunyai
standar yang jelas tentang bagaimana melakukannya. Pemimpin tidak
perlu bercampur tangan terhadap aktivitas bawahannya dalam
melaksanakan tugasnya. Sebaliknya tugas-tugas yang rumit dan bukan
rutin, pemimpin perlu berpartisipasi dengan bawahannya dalam bagaimana
mencari alternatif-alternatif pemecahan dan mencari metode-metode yang
dapat digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Dalam kondisi
seperti ini besar kemungkinan adanya beberapa pandangan yang mungkin
berlawanan dengan ide-ide pemimpin. Oleh karena itu pemimpin perlu
menyesuaikan situasi berupa kesediaan dalam dirinya untuk menerima
perbedaan yang terjadi antara dirinya dengan bawahannya demi
tercapainya tugas.
3. Kuasa dalam Posisi sebagai Pemimpin
Kuasa dalam posisi sebagai pemimpin, merupakan tingkatan sampai
sejauh mana legitimasi yang dimiliki pemimpin yang berkaitan dengan
kedudukannya dalam struktur kekuasaan, maupun wewenang yang ada
dalam hal pemberian penghargaan terhadap bawahannya. Pemimpin yang
mempunyai kuasa dalam posisi yang lebih tinggi mempunyai kemampuan
mempengaruhi bawahan yang lebih besar dibanding pemimpin yang posisi
kekuasaannya lebih rendah. Kekuasaan itu sendiri dapat bersumber dari
kekuasaan atas suatu pengesahan (legitimate power); kekuasaan seorang
pemimpin atas kepemimpinannya untuk memberi hadiah kepada
bawahannya berupa pendelegasian tugas-tugas, peningkatan kesejahteraan,
pengaturan waktu libur, dan semacamnya (reward power); kekuasaan
yang diperoleh atas dasar rasa kagum dan rasa bangga bawahan terhadap
pemimpinnya (referent power); dan kekuasaan pemimpin karena keahlian
yang dimilikinya (expertise power). (Robbins, 2006:440-443).
Atas dasar tiga faktor yang mempengaruhi gaya kepemimpinan di atas,
ketiga faktor tersebut dijadikan sebagai dimensi yang mendukung variabel gaya
25
kepemimpinan sebagai berikut (1) dimensi hubungan pimpinan dengan bawahan;
(2) struktur tugas; dan (3) kuasa dalam posisi sebagai pemimpin.
Adapun menurut Robbins, indikator pendukung ketiga dimensi dalam
variabel gaya kepemimpinan adalah sebagai berikut:
1. Dimensi Hubungan Pimpinan dengan Bawahan
Dimensi ini memiliki indikator sebagai berikut: (1) komunikasi; (2)
hubungan kerja; (3) dapat dipercaya; (4) dapat diandalkan; (5)
kerjasama.
2. Dimensi Struktur Tugas
Dimensi ini memiliki indikator, sebagai berikut: (1) uraian
pelaksanaan tugas; (2) uraian penyelesaian tugas; (3) metode yang
digunakan; (4) langkah-langkah penyelesaian pekerjaan; (5) buku
petunjuk teknis; dan (6) uraian rinci tentang tugas.
3. Kuasa dalam Posisi sebagai Pemimpin
Dimensi ini memiliki indikator, sebagai berikut: (1) adanya perintah
terkait dengan pelaksanaan tugas; (2) adanya rambu-rambu
pelaksanaan pekerjaan; dan (3) perhatian dari bawahan; dan (4)
ketaatan bawahan dalam melakukan tugasnya sebagai perintah atasan.
(Robbins, 2006:441).
2.1.4. Pengertian Kinerja
Konsep kinerja pada dasarnya dapat dilihat dari dua segi yaitu, kinerja
pegawai (perindividu) dan kinerja organisasi. Kinerja pegawai adalah hasil kerja
perseorangan dalam suatu organisasi. Sedangkan kinerja organisasi adalah
totalitas hasil kerja yang dicapai suatu organisasi. Kinerja pegawai dan kinerja
organisasi memiliki keterkaitan yang sangat erat. Tercapainya tujuan organisasi
tidak bisa dilepaskan dari sumber daya yang dimiliki oleh organisasi yang
26
digerakkan atau dijalankan pegawai yang berperan aktif sebagai pelaku dalam
upaya mencapai tujuan organisasi tersebut.
Selanjutnya jika berbicara Tentang kinerja Robbins menjelaskan bahwa
kinerja merupakan :
Tingkat efisiensi dan efektivitas serta inovasi dalam pencapaian tujuan
oleh pihak manajemen dan divisi-divisi yang ada dalam organisasi.
Kinerja dikatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat
dicapai dengan baik. Kinerja juga dipandang sebagai fungsi dari interaksi
antara kemampuan, motivasi, dan kesempatan, sehingga kinerja seseorang
dipengaruhi oleh kepuasan kerja. (Robbins, 2000:98).
Sementara pengertian lain dikemukakan Gibson, menyatakan bahwa kinerja
adalah :
Sebagai hasil karya, timbul dari suatu kombinasi usaha, kemampuan dan
pengalaman seseorang. Pemaknaan terhadap pendapat Gibson di atas dapat
disimpulkan bahwa kemampuan (usaha), motivasi, pengalaman dan
kesempatan merupakan faktor-faktor yang menentukan kinerja seseorang.
Seorang pegawai akan memiliki kinerja yang baik jika didukung oleh
kekuatan faktor-faktor pendukungnya. (Gibson,1996:113).
Berdasarkan dua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah
penampilan untuk melakukan, menggambarkan, dan menghasilkan sesuatu. Hal
tersebut secara kualitatif atau yang bersifat fisik dan non fisik yang sesuai dengan
petunjuk, fungsi dan tugasnya yang mendasari pengetahuan, sikap dan
keterampilan.
Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa kinerja memperhatikan
perilaku seseorang yang dapat diamati, yaitu ia tidak diam tapi bertindak,
melaksanakan suatu pekerjaan, melakukannya dengan cara-cara tertentu,
mengarah pada hasil yang hendak dicapai sehingga kinerja sesungguhnya bersifat
faktual. Dengan demikian, dapat dibaca bahwa konsep kinerja pada hakikatnya
27
merupakan suatu cara atau perbuatan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan
untuk mencapai hasil tertentu. Perbuatan tersebut mencakup penampilan,
kecakapan melalui proses atau prosedur tertentu yang berfokus pada tujuan yang
hendak dicapai, serta dengan terpenuhinya standar pelaksanaan dan kualitas yang
diharapkan.
2.1.4.1. Teori Kinerja
Setiap individu atau organisasi tertentu memiliki tujuan yang akan dicapai
dengan menetapkan target atau sasaran. Keberhasilan individu atau organisasi
dalam mencapai target atau sasaran tersebut merupakan kinerja. Kinerja adalah
hasil kerja seorang pegawai dalam suatu periode tertentu dibandingkan dengan
berbagai kemungkinan, misalnya standar target, sasaran, atau kriteria yang telah
ditentukan terlebih dahulu. Kinerja merupakan keadaan perilaku seseorang yang
harus dicapai dengan persyaratan terentu.
Robbins, berpendapat bahwa kinerja pegawai adalah sebagai :
Fungsi dari interaksi antara kemampuan dan motivasi, yaitu kinerja = f(A
x m). Jika ada yang tidak memadai, kinerja itu akan dipengaruhi secara
negatif. Kinerja harus diperlakukan sebagai sesuatu yang dinamis sehingga
kita dapat menyingkirkan kendala-kendala terhadap kinerja. Dalam hal ini
diperlukan adanya komunikasi yang berkesinambungan di antara para
pekerja agar mereka mengetahui apa yang harus dikerjakan, kapan
dikerjakan, dan seberapa jauh mereka harus bekerja. (Robbins, 2000:87).
Sementara Bacal berpendapat bahwa :
Suatu komunikasi kinerja yang berlangsung terus menerus sederhananya
merupakan proses dua arah yang melacak kemajuan, mengidentifikasikan
kendala bagi kinerja dan memberi kedua belah pihak informasi yang
mereka perlukan untuk mencapai sukses. Komunikasi kinerja yang
berlangsung terus menerus memberi jalan bagi manajer dan karyawan
untuk bekerjasama mencegah timbulnya masalah, meyelesaikan masalah
28
yang terjadi, dan merevisi tanggung jawab kerja sebagaimana yang
seringkali dibutuhkan di tempat kerja. (Bacal, 2004:35).
Pengelolaan terhadap kinerja bagi seorang manajer bukanlah untuk
bersenang-senang semata, mengambil hati para pekerja, atau melindungi
jabatanya, melainkan agar setiap pekerja memiliki tanggung jawab. Seperti
dikatakan oleh (Bacal, 2004:147) bahwa alasan sebenarnya kita mengelola kinerja
adalah untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas, bagaimanapun anda
mendefinisikan hal itu dan untuk merancang-bangun kesuksesan bagi setiap
karyawan bertanggung jawab kepada kita.
Pengelolaan kinerja dilakukan untuk mencapai suatu visi bersama tentang
tujuan dan target. Ini dikaitkan dengan cara membantu tiap individu dan tim untuk
mencapai potensi yang dimiliki, menyadari peran dan kontribusinya bagi
pencapaian target.
Berdasarkan pendapat pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa kinerja
adalah sifat dan karakteristik suatu pekerjaan yang dinyatakan sebagai catatan
kerja seseorang. Dengan kriteria pengembangan diri, kinerja tim, komunikasi,
jumlah produk yang dihasilkan, dan keputusan yang dibuat, kecelakaan kerja,
absen tanpa izin, kesalahan dalam kurun waktu. Kriteria kinerja setiap orang
didasarkan pada tugas dan tanggung jawab keseharian yang ditargetkan
kepadanya. Kinerja berfungsi sebagai alat untuk memberikan informasi bagi
pekerja dan atasanya mengenai bagaimana seseorang telah melakukan pekerjaan.
Kinerja adalah fungsi dari interaksi antara kemampuan dan karakter kepribadian.
Pengelolaan kinerja akan melibatkan individu dan tim terutama dalam
mencapai target. Bila tim itu memiliki kinerja yang baik, maka anggotanya akan
29
menetapkan kualitas target, mecapai target, saling memahami dan menghargai,
saling menghormati, tanggung jawab dan mandiri, berorientasi pada klien,
meninjau dan memperbaiki kinerja, bekerja sama, dan termotivasi.
Pemimpin dalam menumbuhkan dan mengembangkan kerja tim, dapat
melakukan hal-hal berikut (1) Bangun kepercayaan di antara para anggota staf,
dukung kejujuran dan keterbukaan di antara para anggota kelompok. (2) Hargai
mereka yang berjasa pada tim. Pemimpin dapat menekankan arti penting kerja
tim. Beritahu mereka bahwa yang dinilai tidak hanya keberhasilan pribadi, tetapi
juga kemampuan mereka. (3) Gunakan istilah-istilah seperti “kita” bila sedang
membicarakan kelompok secara keseluruhan. Ini akan menguatkan ide bahwa
mereka bagian integral dari kinerja kelompok. (4) Pembentukan tim dengan cara
memilih di antara para anggota kelompok yang dianggap memiliki potensi.
2.1.4.2. Kinerja Pegawai
Kinerja sebagai hasil karya seseorang yang ditimbulkan karena adanya
beberapa atau variasi dari usaha orang tersebut, karena kemampuan dan
pengalaman orang tersebut. Atas dasar bahwa kinerja memiliki nilai variasi yang
berbeda, sehingga kinerja memiliki beberapa dimensi, di bawah ini adalah
dimensi-dimensi yang membangun suatu kinerja seorang karyawan di dalam
sebuah organisasi, yaitu dimensi (1) kualitas kerja; (2) kuantitas kerja; (3)
pengetahuan; (4) kehandalan; (5) inisiatif; (6) kreativitas; dan (7) kerjasama
(Robins, 2000:248).
30
Dimensi konsep kinerja tersebut, memiliki turunan atau indikator
pendukungnya, yaitu sebagai berikut:
1. Faktor kualitas kerja, yaitu dilihat dari segi kerapihan bekerja,
kecepatan penyelesaian pekerjaan, dan kecakapan kerja.
2. Faktor kuantitas kerja. Aspek kuantitas kerja diukur dimulai dari
penyusunan rencana kerja, kemampuan di dalam penyelesaian tugas,
dan penyelesaian tugas pekerjaan dibandingkan dengan waktu yang
telah ditetapkan.
3. Faktor pengetahuan, yaitu meninjau pengetahuan para pegawai dari
aspek persiapan pelaksanaan pekerjaan, pengetahuan bagaimana
menyelesaikan pekerjaan pelaksanaan, dan pengetahuan melakukan
evaluasi dari hasil pekerjaan yang telah dilakukan.
4. Faktor kehandalan, yaitu mengukur kemampuan dan kehandalan
dalam melaksanakan tugasnya, baik dalam menjalankan peraturan
maupun inisiatif dan disiplin.
5. Faktor inisiatif, yaitu melihat aktivitas yang dilakukan oleh setiap
pegawai dalam menyelesaikan tugas-tugas pekerjaannya, dari aspek
tumbuhnya inisiatif melakukan evaluasi hasil pekerjaan dan upaya
melaksanakan tindak lanjut pekerjaan dari hasil evaluasi.
6. Faktor kreativitas, yaitu melihat kreativitas setiap pegawai dari
persiapan, pelaksanaan sampai kegiatan evaluasi hasil pekerjaan, serta
kreativitas di dalam pemanfaatan IPTEK untuk mempermudah
pelaksanaan pekerjaan.
7. Faktor kerjasama, melihat bagaimana para pegawai bekerja sama
dengan pegawai yang lain dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, baik
tugas pribadi maupun pekerjaan bersama. (Robbins, 2000:248).
Konsep yang dapat dijadikan sebagai alat ukur di atas dijadikan sebagai
dimensi di dalam penelitian ini, yang akan menetapkan banyaknya indikator
penelitian, yaitu sebanyak 15 indikator.
Sementara Bernardin dan Russel, mengajukan enam kriteria primer yang
digunakan untuk mengukur kinerja, yang juga dapat dijadikan sebagai acuan
pembuatan dimensi kinerja, yaitu:
1. Quality, merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksanaan
kegiatan mendekati kesempurnaan atau mendekati tujuan yang
diharapkan.
2. Quantity, merupakan jumlah yang dihasilkan, misalkan jumlah rupiah,
jumlah unit, jumlah siklus, kegiatan yang diselesaikan.
31
3. Timeliness, adalah tingkat sejauh mana suatu kegiatan diselesaikan
pada waktu yang dikehendaki dengan memperhatikan kordinasi output
lain serta waktu yang tersedia untuk kegiatan lain.
4. Cost effectiviness, adalah tingkat sejauh mana penggunaan daya
organisasi (manusia, keuangan, teknologi, material) dimaksimalkan
untuk mencapai hasil tertinggi atau pengurangan kerugian dari setiap
unit penggunaan sumber daya.
5. Need for supervisor, merupakan tingkat sejauh mana seorang pejabat
dapat melaksanakan suatu fungsi pekerjaan tanpa memerlukan
pengawasan seorang supervisor untuk mencegah tindakan yang
kurang diinginkan.
6. Interpersonal impact, merupakan tingkat sejauh mana
karyawan/pekerja memelihara harga diri, nama baik dan kerjasama di
antara rekan kerja dan bawahan. (Bernardin dan Russel, 2013:213).
Kinerja pegawai dalam tesis ini didefinisikan sebagai hasil kerja. Oleh
karena itu, proposisi yang dipakai adalah hasil kerja pegawai merupakan ukuran
keberhasilan para pegawai di dalam melaksanakan pekerjaannya. Kinerja para
pegawai (performance) itu sendiri dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan
para pegawai dalam melakasanakan tugas dari institusi, yang dinyatakan dalam
bentuk skor yang diperoleh dari hasil kerja mengenai sejumlah tugas tertentu.
Pada umumnya, untuk menilai hasil kerja dapat menggunakan bermacam-macam
achievement test, seperti oral test, essay test dan objective test atau short-answer
test. Sedangkan untuk menilai proses belajar dan hasil kerja yang bersifat
keterampilan (skill ), tidak dapat dipergunakan hanya dengan tes tertulis atau
lisan, tapi harus dengan performance test yang bersifat praktek. Davis mengatakan
bahwa dalam setiap proses belajar akan selalu mendapatkan hasil nyata yang
dapat diukur. Hasil nyata yang dapat diukur dinyatakan sebagai prestasi belajar
seseorang (Davis, 2003:118).
32
Selanjutnya Matteson, berpendapat bahwa ada beberapa cara yang dapat
dilakukan oleh seorang pegawai untuk memperoleh informasi mengenai prestasi
kerja. Hal itu antara lain dengan :
1. Pengamatan secara langsung terhadap tingkah laku
2. Menganalisis dan mengevaluasi produk kreatif (prakarya, paper,
kliping dan sebagainya)
3. Pembicaraan (interviews), hafalan (recitation), dan
4. Ujian sebagai bentuk yang sering digunakan untuk tes prestasi kerja.
(Matteson, 2004:99).
Berdasarkan pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja
dalam penelitian ini adalah penampilan seorang pegawai dalam melakukan tugas-
tugas yang menjadi tanggung jawab pekerjaannya yang didasari atas
kompetensinya mencakup kompetensi professional, kompetensi personal, dan
kompetensi sosial. Kinerja pegawai dapat diukur dengan kemampuan dasar
pegawai, yakni kemampuan (a) menguasai apa yang akan dikerjakan, (b)
mengelola pekerjaan, (c) mengelola kelompok (d) menggunakan media, (f)
menguasai landasan-landasan pekerjaan, (g) mengelola interaksi di dalam
melaksanakan pekerjaan, (h) menilai teman kerja, (i) memahami tugas dan fungsi,
(j) memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil pekerjaan.
2.1.4.3. Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Kinerja
Luthans memberikan penekanan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi
kinerja karyawan adalah :
Faktor atasan di dalam memberikan pembimbingan, bantuan dalam
memberikan penyelesaian masalah yang dihadapi oleh bawahan, atasan
yang memperhatikan kesejahteraan para karyawannya, komunikasi yang
baik dan kondusif. (Luthans, 2004;144)
33
Hal ini ditegaskan pula oleh Milton, bahwa Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja karyawan pada dasarnya secara praktis dapat dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu :
Faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor yang
berasal dari dalam diri dan dibawa oleh setiap karyawan sejak mulai
bekerja di tempat pekerjaannya. (Milton, 2001:163).
Faktor ekstrinsik menyangkut hal-hal yang berasal dari luar diri karyawan,
antara lain kondisi fisik lingkungan kerja, interaksinya dengan karyawan lain,
sistem penggajian, gaya kepemimpinan dan pola pengembangan karier. Gaya
kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja
karyawannya.
Lebih jauh ditegaskan bahwa gaya kepemimpinan diantaranya adalah gaya
yang memberikan perhatian pada bawahannya, gaya kepemimpinan seperti ini
akan memberikan bagi terciptanya peningkatan kerja karyawannya. Sedangkan
kepemimpinan yang kurang memberikan perhatian pada bawahannya kurang
memberikan peluang di dalam penciptaan peningkatan kerja karyawannya.
Sementara Robert House mengatakan bahwa :
“gaya kepemimpinan manajer dapat menumbuhkan movitasi kerja
karyawan, tumbuhnya motivasi kerja karyawan akan berdampak pada
peningkatan kinerja karyawan, artinya bahwa gaya kepemimpinan seorang
manajer akan berhubungan positif dengan peningkatan kinerja
karyawannya. Gaya kepemimpinan merupakan faktor eksternal, yang
dapat berpengaruh terhadap kinerja karyawan. (Robert House, 2000;174).
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa gaya
kepemimpinan memiliki keterkaitan dengan kinerja pegawai, keterkaitan tersebut
bersifat positif, artinya bahwa semakin tinggi gaya kepemimpinan sejalan dengan
34
harapan karyawan sebagai bawahannya, maka akan semakin terbuka lebar potensi
bagi karyawan sendiri di dalam meningkatkan kinerjanya atau sebaliknya,
semakin tidak sejalan gaya kepemimpinan yang berjalan, maka akan semakin
kecil kemungkinan bagi para karyawannya di dalam meningkatkan kinerjanya.
2.5. Kerangka Pemikiran
Berpijak pada kajian pustaka baik secara empiris maupun secara teoritis
yang telah disampaikan, maka dapat dijelaskan bahwa variabel gaya
kepemimpinan memiliki keterkaitan dengan kinerja pegawai. Kerangka pemikiran
ini didasarkan pada pendekatan perilaku organisasi. Secara garis besar,
pendekatan perilaku organisasi merupakan pendekatan yang mempelajari tentang
perilaku individu dalam organisasi, hubungan antar individu dengan organisasi
dan struktur organisasi serta keterlibatan lingkungan eksternal organisasi dalam
rangka mencapai tujuan organisasi. Fokus pendekatan perilaku organisasi adalah
melakukan investigasi atau bagaimana mendapatkan pemahaman terhadap
aktivitas sumber daya manusia baik secara individu maupun kelompok, untuk
mencapai tujuan organisasi. (Kreitner dan Kinichi, 1998:19) mengatakan bahwa
yang bertanggung jawab melakukan investigasi dampak perilaku sumber daya
manusia adalah manajer. Salah satu fungsi manajemen adalah memimpin.
Manajer adalah pemimpin dalam perusahaan. Aspek kepemimpinan oleh manajer
sebagai aspek yang menarik untuk diteliti terutama bila dikaitkan dengan kinerja
karyawan sebagai upaya untuk mencapai tujuan organisasi. Adapun faktor-faktor
yang menentukan keberhasilan gaya kepemimpinan disampaikan Fielder yang
dikutip (Robbins, 2006:441), yaitu (1) leader-member relations, yakni tingkat
35
kualitas hubungan pimpinan dengan bawahan. Sikap bawahan terhadap
kepribadian, watak dan kecakapan atasan; (2) task-structure, struktur tugas, dalam
situasi kerja apakah tugas-tugas telah disusun ke dalam bentuk yang terpola atau
belum; dan (3) leader’s position power (kekuasaan kedudukan pemimpin), yakni
bagaimana kewibawaan formal pemimpin dilaksanakan terhadap bawahan.
Sementara itu Fiedler dalam Robbins memberikan penjelasan lebih jauh
tentang dimensi gaya kepemimpinan, sebagai berikut:
1. Hubungan Pimpinan dengan Anggota/Bawahan
Hubungan pimpinan dengan bawahan mengindikasikan sejauh mana
seorang pemimpin dapat diterima atau ditolak oleh anggota kelompok
yang dipimpinnya. Kondisi tersebut mempunyai pengaruh yang amat
penting bagi efektivitas kepemimpinannya. Pemimpin yang disukai dan
keberadaannya dapat diterima oleh kelompok yang dipimpinnya, mampu
menggerakkan bawahan sehingga mampu meningkatkan produktivitas
kerja. Kondisi tersebut dapat diciptakan melalui fleksibilitas penggunaan
otoritas formal yang ada pada pemimpin tersebut. Sebaliknya pemimpin
yang tidak disukai dan tidak diterima keberadaannya dalam kelompok,
akan mempunyai efektivitas yang lemah terhadap kepemimpinannya dan
kurang mampu merangsang suasana kerja yang produktif. Kondisi tersebut
terjadi sebagai akibat dari sikap seorang pemimpin yang terlalu
menekankan legitimasi kekuasaan yang ada padannya.
2. Struktur Tugas
Struktur tugas merupakan ruang lingkup dari tugas rutin sampai yang
insidental. Terhadap tugas-tugas yang rutin dan yang sudah mempunyai
standar yang jelas tentang bagaimana melakukannya. Pemimpin tidak
perlu bercampur tangan terhadap aktivitas bawahannya dalam
melaksanakan tugasnya. Sebaliknya tugas-tugas yang rumit dan bukan
rutin, pemimpin perlu berpartisipasi dengan bawahannya dalam bagaimana
mencari alternatif-alternatif pemecahan dan mencari metode-metode yang
dapat digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Dalam kondisi
seperti ini besar kemungkinan adanya beberapa pandangan yang mungkin
berlawanan dengan ide-ide pemimpin. Oleh karena itu pemimpin perlu
menyesuaikan situasi berupa kesediaan dalam dirinya untuk menerima
36
perbedaan yang terjadi antara dirinya dengan bawahannya demi
tercapainya tugas.
3. Kuasa dalam Posisi sebagai Pemimpin
Kuasa dalam posisi sebagai pemimpin, merupakan tingkatan sampai
sejauh mana legitimasi yang dimiliki pemimpin yang berkaitan dengan
kedudukannya dalam struktur kekuasaan, maupun wewenang yang ada
dalam hal pemberian penghargaan terhadap bawahannya. Pemimpin yang
mempunyai kuasa dalam posisi yang lebih tinggi mempunyai kemampuan
mempengaruhi bawahan yang lebih besar dibanding pemimpin yang posisi
kekuasaannya lebih rendah. Kekuasaan itu sendiri dapat bersumber dari
kekuasaan atas suatu pengesahan (legitimate power); kekuasaan seorang
pemimpin atas kepemimpinannya untuk memberi hadiah kepada
bawahannya berupa pendelegasian tugas-tugas, peningkatan kesejahteraan,
pengaturan waktu libur, dan semacamnya (reward power); kekuasaan
yang diperoleh atas dasar rasa kagum dan rasa bangga bawahan terhadap
pemimpinnya (referent power); dan kekuasaan pemimpin keren keahlian
yang dimilikinya (expertise power). (Robbins,2006;440-443).
Atas dasar tiga faktor yang mempengaruhi gaya kepemimpinan di atas,
ketiga faktor tersebut dijadikan sebagai dimensi yang mendukung variabel gaya
kepemimpinan sebagai berikut (1) dimensi hubungan pimpinan dengan bawahan;
(2) struktur tugas; dan (3) kuasa dalam posisi sebagai pemimpin.
Adapun menurut Robbins, indikator pendukung ketiga dimensi dalam
variabel gaya kepemimpinan adalah sebagai berikut:
1. Dimensi Hubungan Pimpinan dengan Bawahan
Dimensi ini memiliki indikator sebagai berikut: (1) komunikasi; (2)
hubungan kerja; (3) dapat dipercaya; (4) dapat diandalkan; (5) kerjasama.
2. Dimensi Struktur Tugas
Dimensi ini memiliki indikator, sebagai berikut: (1) uraian pelaksanaan
tugas; (2) uraian penyelesaian tugas; (3) metode yang digunakan; (4)
langkah-langkah penyelesaian pekerjaan; (5) buku petunjuk teknis; dan (6)
uraian rinci tentang tugas.
3. Kuasa dalam Posisi sebagai Pemimpin
Dimensi ini memiliki indikator, sebagai berikut: (1) adanya perintah
terkait dengan pelaksanaan tugas; (2) adanya rambu-rambu pelaksanaan
37
pekerjaan; dan (3) perhatian dari bawahan; dan (4) ketaatan bawahan
dalam melakukan tugasnya sebagai perintah atasan. (Robbins,2006:441).
Selanjutnya Kinerja sebagai hasil karya seseorang yang ditimbulkan
karena adanya beberapa atau variasi dari usaha orang tersebut, karena kemampuan
dan pengalaman orang tersebut. Atas dasar bahwa kinerja memiliki nilai variasi
yang berbeda, sehingga kinerja memiliki beberapa dimensi, di bawah ini adalah
dimensi-dimensi yang membangun suatu kinerja seorang karyawan di dalam
sebuah organisasi, yaitu dimensi (1) kualitas kerja; (2) kuantitas kerja; (3)
pengetahuan; (4) kehandalan; (5) inisiatif; (6) kreativitas; dan (7) kerjasama
(Robins, 2000:248). Dimensi konsep kinerja tersebut, memiliki turunan atau
indikator pendukungnya, yaitu sebagai berikut:
1. Faktor kualitas kerja, yaitu dilihat dari segi kerapihan bekerja,
kecepatan penyelesaian pekerjaan, dan kecakapan kerja.
2. Faktor kuantitas kerja. Aspek kuantitas kerja diukur dimulai dari
penyusunan rencana kerja, kemampuan di dalam penyelesaian tugas,
dan penyelesaian tugas pekerjaan dibandingkan dengan waktu yang
telah ditetapkan.
3. Faktor pengetahuan, yaitu meninjau pengetahuan para pegawai dari
aspek persiapan pelaksanaan pekerjaan, pengetahuan bagaimana
menyelesaikan pekerjaan pelaksanaan, dan pengetahuan melakukan
evaluasi dari hasil pekerjaan yang telah dilakukan.
4. Faktor kehandalan, yaitu mengukur kemampuan dan kehandalan
dalam melaksanakan tugasnya, baik dalam menjalankan peraturan
maupun inisiatif dan disiplin.
5. Faktor inisiatif, yaitu melihat aktivitas yang dilakukan oleh setiap
pegawai dalam menyelesaikan tugas-tugas pekerjaannya, dari aspek
tumbuhnya inisiatif melakukan evaluasi hasil pekerjaan dan upaya
melaksanakan tindak lanjut pekerjaan dari hasil evaluasi.
38
6. Faktor kreativitas, yaitu melihat kreativitas setiap pegawai dari
persiapan, pelaksanaan sampai kegiatan evaluasi hasil pekerjaan, serta
kreativitas di dalam pemanfaatan IPTEK untuk mempermudah
pelaksanaan pekerjaan.
7. Faktor kerjasama, melihat bagaimana para pegawai bekerja sama
dengan pegawai yang lain dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, baik
tugas pribadi maupun pekerjaan bersama. (Robbins, 2000;248)
Dari beberapa pendapat yang disampaikan di atas menunjukkan bahwa
kepemimpinan memiliki hubungan yang bersifat kausalitas dengan peningkatan
kinerja para pegawainya. Atau dapat dikatakan bahwa kinerja pegawai di sebuah
organisasi dapat dipengaruhi oleh kepemimpinan yang berjalan di organisasi
tersebut.
Gambar 2.1.
Kerangka Pemikiran
2.3. Hipotesis
Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka pemikiran, maka dalam
penelitian ini dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut adalah besarnya
pengaruh gaya kepemimpinan Kepala Dinas terhadap kinerja pegawai Dinas
X
Gaya
Kepemimpinan Hubungan pemimpin bawahan Struktur tugas
Kekuasaan sebagai pemimpin
Fred Fiedler
Dalam (Robbins,2006:442)
Y Kinerja Pegawai
1. Kuantitas Kerja
2. Kualitas Kerja
3. Inisiatif Kerja 4. Kreativitas Kerja
5. Pengetahuan Kerja
6. Dapat Diandalkan 7. Dapat Bekerjasama
(Robbins, 2000:248)
39
Pekerjaan Umum Kabupaten Halmahera Barat, Propinsi Maluku Utara, ditentukan
oleh hubungan pemimpin-bawahan, struktur tugas, dan kekuasaan sebagai
pemimpin.