bab iv hasil penelitian dan pembahasan 1.1 gambaran...
TRANSCRIPT
72
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Batugade termasuk dalam distrik Bobonaro adalah salah satu lokasi
perbatasan yang membatasi negara Republik Demokratik Timor Leste dengan
Republik Indonesia. Antara gerbang milik negara Timor Leste dan gerbang milik
negara Indonesia di Batugade hanya dipisahkan oleh sebuah sungai kecil dengan
jembatan beton yang dilapisi aspal sepanjang kurang lebih 10 m dan di masing-
masing sisi ujung jembatan tersebut terdapat plakat yang bersisi pernyataan batas
wilayah, koordinat, dan ditandatangani oleh menteri luar negeri dari kedua negara.
Gambar 4.1
Lokasi Perbatasan Timor Leste – Republik Indonesia
Sumber : Foto Lokasi Penelitian
73
Pelintasan Batas Negara Antara Timor Leste dan Indonesia
Januari – April 2013
Batugade sebelum Timor Leste berpisah dari Republik Indonesia hanyalah
sebuah tempat yang hampir bisa dibilang tidak berpenghuni, namun sekarang
sudah cukup ramai walau keramaian tersebut hanya di perbatasan saja, ada
terminal kendaraan umum dan warung-warung atau toko-toko ikut meramaikan
Batugade. Bangunan check point Timor Leste terlihat baru dan terkesan dalam
infrastruktur, begitu pula di bagian wilayah Republik Indonesia terlihat ala
kadarnya pos-pos penjagaan keamanan dan toko-toko swalayan jualan masyarakat
perbatasan yang tertata rapi. Mota Ain sebagai serambi depan negara Republik
Indonesia bagi Timor Leste dan juga merupakan salah satu tempat pemeriksaan
imigrasi yang juga berfungsi sebagai pos lintas batas terhubung dengan Batugade
(Timor Leste). Jarak antara pos pelayanan terpadu Batugade, Timor Leste, dengan
pos pengamanan Indonesia di Mota Ain, berjarak sekitar 100 meter yang dibatasi
sebuah anak sungai yang membelah Timor bagian timur Distrik Bobonaro Timor
Leste dengan Timor bagian barat Propinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) Republik
Indonesia, menurut data yang diperoleh dari Pos Imigrasi Batugade, dalam
periode Januari - April 2013, terlihat kegiatan pelintasan batas negara oleh
masyarakat yang sangat intensif seperti pada diagram berikut ini.
Gambar 4.2
Sumber : Data Imigarasi RDTL 2013
74
1.1.1 Kondisi Wilayah Distrik Bobonaro
Distrik Bobonaro terletak antara 9°15‟ Lintang Selatan dan 125°24‟ Bujur
Timur. Adapun batas-batas Distrik Bobonaro adalah:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Distrik Liquiça.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Distrik Covalima dan Distrik Ainaro.
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Distrik Ermera dan Distrik Ainaro.
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur (Indonesia).
Distrik Bobonaro memiliki luas 368,12 km2, dan terdiri dari 6 kecamatan.
Kecamatan Lolotoi memiliki luas 211,86 km2, Kecamatan Bobonaro memiliki
luas 203,12 km2, Kecamatan Cailaco memiliki luas 184,38 km
2, Kecamatan
Atabae memiliki luas 273,12 km2, Kecamatan Balibo memiliki luas 293,75 km
2
dan Kecamatan Maliana memiliki luas 201,89 km2. Distrik Bobonaro terletak
pada ketinggian antara 0 meter sampai dengan 1.934 meter di atas permukaan
laut, menyebar dari dataran tinggi hingga dataran rendah. Secara umum, Distrik
Bobonaro terbagi menjadi 3 daerah dataran tinggi yaitu:
1. Low Lying Plains
Terletak di daerah barat laut di mana ada bidang gurun dan tegalan mulai dari
Marobo serta dataran sepanjang Sungai Nunura.
2. Low Mountain Plateau
Di utara bagian barat, 1000 meter di atas permukaan laut.
3. Upland Plateau
Di timur dan selatan mencapai 1.500 meter di atas permukaan laut.
75
Rata-rata suhu udara minimum di wilayah Bobonaro selama tahun 2012
sebesar 26,24°C dan maksimum 34,83°C. sedangkan rata-rata tekanan udara
minimum di wilayah Bobonaro selama tahun 2012 sebesar 1005,3 Mbs dan
maksimum 10.014,0 Mbs. Kelembaban udara di Bobonaro rata-rata 82,33%
dengan kelembaban udara tertinggi pada bulan Juli. Kecepatan angin di Bobonaro
rata-rata 5,75 knot dengan kecepatan angin tertinggi pada bulan Juli. Selanjutnya
curah hujan tertinggi di Bobonaro tahun 2012 terjadi pada bulan Agustus yaitu
sebesar 835,7 mm dan terendah pada bulan Januari 177,6 mm. Jumlah hari hujan
di Bobonaro menurut pantauan Stasiun BMG Bobonaro mempunyai jarak
(rentang) anatar 20-31 hari. Jumlah hari hujan sebesar 20 hari terjadi pada bulan
Febuari 2012, sedangkan jumlah hari hujan 31 hari terjadi pada bulan Agustus
2012. Hampir setiap hari di Bobonaro turun hujan, hal ini dapat terlihat dari
rentang waktu hari hujan yang berada pada kisaran 16-31 hari hujan, mulai bulan
Januari – Agustus 2012 kecuali bulan Febuari 2012 yang hanya 20 hari hujan.
Curah hujan yang tinggi di Bobonaro, sangatlah berguna bagi mayoritas
masyarakatnya, karena air hujan digunakan untuk air minum.
Gambar 4.3
Peta Wilayah Distrik Bobonaro
Sumber : Administração Sub Distrito Balibo
76
1.1.2 Keadaan Penduduk Distrik Bobonaro
Penduduk merupakan objek pelaksanaan pembangunan dan demi
pelaksanaan pembangunan pula diperlukan sumber daya manusia yang
berkualitas. Banyaknya jumlah penduduk yang dimiliki oleh suatu wilayah
merupakan potensi yang ada pada wilayah itu, sehingga diperlukan langkah
pengembangan dan pengelolaan yang tepat agar potensi tersebut dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kesejahteraan penduduk tersebut.
Secara rinci jumlah penduduk Distrik Bobonaro dapat dilihat pada Tabel
4.1 di bawah ini.
Tabel 4.1
Jumlah Penduduk Distrik Bobonaro Tahun 2012
Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah
Atabae 4.204 4.900 9.104
Balibo 4.237 4.281 8.518
Maliana 9.705 9.621 19.326
Cailaco 4.143 4.193 8.336
Bobonaro 10.988 11.174 22.162
Lolotoi 3.435 3.418 6.853
Total 36.712 37.587 74.299
Sumber : Statistik Distrik Bobonaro
Dalam upaya untuk merumuskan struktur sosial dan kehidupan sosial, baik
material maupun spiritual, pemerintah bersama masyarakat telah menerapkan
langkah-langkah kesejahteraan sosial di beberapa sektor terkait dengan
masyarakat. Langkah-langkah ini terutama diarahkan mengatasi masalah
kesejahteraan sosial seperti kemiskinan, keterbelakangan, kesenjangan sosial dan
korban bencana alam.
77
1. Bahasa Daerah
Di distrik Bobonaro dikenal tiga bahasa daerah, yaitu Bunak, Kemak dan
Bekais. Bunak adalah bahasa yang digunakan oleh mayoritas penduduk di
Kecamatan (Sub Distrik) Bobonaro, umumnya juga di wilayah Kecamatan
Lolotoi dan oleh beberapa masyarakat di Kecamatan Maliana.
Kemak adalah bahasa yang digunakan oleh orang-orang Kecamatan
Cailaco, Kecamatan Atabae dan oleh beberapa dan sebagian kecil masyarakat
Bobonaro. Bekais adalah bahasa yang digunakan oleh beberapa penduduk di
Balibo. Tetun adalah Bahasa Nasional Timor Leste, secara umum masyarakat
di Distrik Bobonaro memahami dan dapat berbicara bahasa Tetun. Bahasa
Nasional Indonesia juga digunakan di Distrik Bobonaro ini. Dalam era
Pemerintah baru Timor Leste itu adalah bahasa tambahan, yaitu Bahasa
Portugis. Bahasa Portugis sekarang telah menjadi bahasa resmi, tetapi hanya
generasi tua saja yang dapat mengugunakan Bahasa Portugis dengan lancar.
Sekarang, Bahasa Portugis diajarkan di sekolah tingkat SD, SMP dan sekolah
tingkat menengah.
2. Partisipasi Politik Masyarakat
Ada 7 (tujuh) partai politik yang terdaftar di Distrik Bobonaro dan partai
politik ini berpartisipasi dalam pemilihan majelis konstitusi (Pemilu) pada
tanggal 30 Agustus 2012, yaitu: Fretilin, UDT, PSD, PD, ASDT, PST, dan
Kota.
78
Timor Leste juga mengalami perkembangan pesat di sektor politik.
Pemilihan Presiden putaran pertama pada akhir Maret 2012 lalu berjalan
aman, lancar, dan demokratis. Selain itu, partisipasi politik warganya juga
terbilang tinggi. Tercatat, suara yang masuk pada pemilihan Presiden lalu
mencapai 636.051 suara atau sekitar 67% dari warga yang memiliki hak suara.
Sebenarnya bisa lebih banyak, hanya terkendala pada aturan bahwa warga
hanya boleh memungut suara di distrik asalnya. Tetapi, partisipasinya masih
cukup tinggi.
3. Pembangunan Ekonomi
Usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Distrik Bobonaro
memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh. Untuk memenuhi kebutuhan
terhadap bahan makanan maka akan dilanjutkan usaha peningkatan pertanian
baik, pertanian lahan kering maupun lahan basah. Perekonomian di Distrik
Bobonaro terutama didasarkan pada sektor pertanian, sektor perdagangan,
perusahaan swasta dan lain-lain.
a. Sektor Pertanian dan peternakan
Pembangunan di bidang pertanian, terutama peningkatan produksi
tanaman pangan yang meliputi padi, palawija dan hortikultura telah
dilanjutkan melalui usaha intensifikasi, rehabilitasi, ekstensifikasi dan
diversifikasi. Pelaksanaan intensifikasi dilakukan melalui kegiatan
penyuluhan, perbenihan, perlindungan tanaman terhadap hama dan penyakit.
Ekstensifikasi akan dilanjutkan melalui usaha pencetakan sawah baru dan
pemanfaatan tanah-tanah kering dan alang-alang. Sedangkan diversifikasi
79
dilanjutkan melalui usaha pemanfaatan pekarangan untuk tanaman-tanaman
bernilai gizi tinggi. Pencetakan sawah sebagai salah satu alternatif perluasan
areal pertanian.
Berikut ini, peneliti tampilkan potensi lahan pertanian, luas tanaman, luas
panen, jumlah produksi dan rata-rata produksi musim tanam 2011/2012 di Distrik
Bobonaro.
Tabel 4.2
Potensi Pertanian Distrik Bobonaro Tahun 2011/2012
No. Type of
Commodity
Potential
Farming
Area
(ha)
Area Planted
(ha)
Area
Harvested (ha)
Production
Ton/ha
Average
Production
(ton/ha)
2010/
2011
2011/
2012
2010/
2011
2011/
2012
2010/
2011
2011/
2012
2010/
2011
2011/
2012
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
1. Rice 7.227 1.375 2.076 1.325 2.070 3,313 3.726 1,8 2,22
2. Corn 25,582 6,022 4,026 6,022 3.000 9,033 6.000 1.5 2
3. Cassava 6.230 410 230 410 270 1,230 690 3 3
4. Sweet potato 3.582 117 100 117 92 292,5 230 2,5 2,5
5. Soya beans 1.576 32 30 45 1,5
6. Mung beans 1.258 10 25 10 20 5 40 0,5 2
7. Peanuts 4.630 25 35 22 35 18 85,5 0,8 2,5
8. Green beans 234 20 25 20 25 10 12,5 0,5 0,5
9. Kidney beans 2.030 72 126 72 120 144 240 2 2
10. Bombay 157 15 20 15 20 4,5 40 0,5 2
11. Garlic 102 14 14 14 16 4,2 32 0,3 2
12. Potato 126 16 38 16 38 8 114 0,5 3
13. NonIrigated Ric 1.710 350 28 350 16 525 24 24 1,5
14. Chili 142 7,5 8 7,5 7,5 2,85 6,4 6,4 0,8
15. Kumis 4,4 1 2 1 1 0,8 1,6 1,6 0,9
16. Mustard leaves 38 7 7,5 7 7 5,6 5,25 5,25 0,7
17. String beans 2,28 2 3,4 2 2 0,6 12 12 0,4
18. Cucumber 72 2 3 2 2 1,2 1,8 1,8 0,6
19. Carrot 14 2 2,5 2 2 1,2 2 2 0,8
20. Tomato 23 2 4 2 2 1,2 2,4 2,4 0,6
21. Eggplant 19 0,5 2 0,5 0,5 0,1 0,4 0,4 0,2
22. Squash 111 1 24 1 1 0,6 14,4 14,4 0,6
23. Amaranth 18 0,5 2 0,5 0,5 0,3 0,6 0,6 0,3
24. Kankung 72 4 6 4 4 1,6 2,4 2,4 0,4
Sumber : Statistik Distrito Bobonaro
Makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat Distrik Bobonaro adalah sebagai
berikut:
1) Beras dan jagung sebagai makanan pokok.
80
2) Singkong, ubi jalar dan lain-lain sebagai makanan tambahan.
Beras adalah salah satu komoditas paling penting di Distrik Bobonaro. Di
distrik ini, hampir setiap petani memiliki lahan untuk menanam padi, baik beras
irigasi atau non-irigasi (huma).
Selain sebagai petani, masyarakat Distrik Bobonaro juga melakukan usaha
peternakan. Berikut ini penulis sajikan jumlah hewan ternak di Distrik Bobonaro.
Tabel 4.3
Jumlah Ternak Hewan Besar di Distrik Bobonaro Tahun 2012
No. Sub District Cows Buffalo Horses Vaccinated
Cows
Vaccinated
Buffalo
1. Maliana 2.369 1.045 99 2.269 823
2. Atabae 1.796 2.546 285 1.494 704
3. Balibo 4.781 733 495 4.592 498
4. Bobonaro 2.269 1.973 290 2.227 1.456
5. Cailaco 2.750 211 46 2.720 125
6. Lolotoe 3.040 - - 1.998 -
Total 18.005 6.508 1.215 15.300 3.608
Sumber : Statistik Distrito Bobonaro
Tabel 4.4
Jumlah Ternak Hewan Kecil di Distrik Bobonaro Tahun 2012
No. Sub District Goats Sheep Pigs Chickens Ducks
1. Maliana 732 - 2.393 3.644 -
2. Atabae 730 20 1.077 743 -
3. Balibo 433 - 910 1.281 -
4. Bobonaro 1.203 158 3.950 7.027 -
5. Cailaco 403 8 1.177 2.872 15
6. Lolotoe - - - - -
Total 2.841 186 9.507 15.567 15
Sumber : Statistik Distrito Bobonaro
81
Di Distrik Bobonaro ada dua kecamatan, yaitu Atabae dan Balibo, yang
melakukan kegiatan di sektor perikanan. Selain ikan air asin ada juga penduduk yang
melakukan usaha dengan ikan air tawar, seperti ikan mas, lele, mujair dan gabus,
namun ikan yang paling populer dengan masyarakat adalah ikan mas. Bidang
perikanan terdiri dari tiga sektor yang lebih kecil yaitu:
1. Nelayan (memancing ikan di laut).
2. Budi daya ikan air tawar.
3. Tambak.
b. Sektor Perdagangan dan Perindustrian
Di bidang perindustrian dilanjutkan pembangunan dan pengembangan
industri untuk pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, industri yang memanfaatkan
sumber alam dan energi dan industri kecil dan kerajinan rakyat. Pembinaan dan
pembangunan industri secara keseluruhan dilaksanakan dengan memperhatikan
prioritas dan ciri-ciri tiap kelompok industri yang secara keseluruhan dapat
diwujudkan dalam suatu pola industri yang terpadu dan serasi.
Pembinaan industri kecil dan kerajinan rakyat diarahkan terutama untuk
meningkatkan mutu. Selain itu juga untuk melestarikan barang-barang
budaya/seni tradisional, pemenuhan kebutuhan setempat dan menunjang sektor
pertanian. Pembangunan aneka industri terutama diarahkan kepada industri
pengolah hasil sektor pertanian. Bimbingan dan penyuluhan akan dilanjutkan
dan diarahkan kepada kemampuan berproduksi, pemasaran dan manajemen
antara lain melalui pengiriman tenaga penyuluhan melalui program pendidikan
dan latihan ke luar negeri.
82
4. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
a. Agama
Pada tahun 2012, jumlah penduduk Distrik Bobonaro berjumlah 74.299 jiwa.
Dari jumlah tersebut mayoritas penduduk yakni sekitar 75% memeluk agama
Kristen Katholik, dan selebihnya menganut Islam, Protestan, Hindu dan
Budha. Bangunan tempat ibadah untuk masing-masing umat beragama
tersebar di seluruh kecamatan yaitu, 484 gereja untuk umat Katholik, 20
gereja untuk umat Protestan, 2 mesjid untuk umat Islam, dan 1 pura untuk
umat Hindu/Budha
b. Pendidikan
Sampai dengan saat ini kinerja pendidikan di Distrik Bobonaro belum cukup
baik yang antara lain ditunjukkan oleh pencapaian indikator kinerja yang
masih rendah. Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas pada
tahun 2012 mencapai 7,0 tahun. Angka melek aksara penduduk usia 15 tahun
ke atas pada tahun 2012 mencapai 93,41 persen. Namun demikian angka
melek aksara penduduk usia muda (15-24 tahun) sudah mencapai 98,15
persen. Angka partisipasi sekolah untuk kelompok usia 7-12 tahun mencapai
92,71 persen dan untuk kelompok usia 13-15 tahun mencapai 79,17 persen.
Dengan demikian dapat disimpulkan dari 100 anak usia 7-12 tahun masih ada
7-8 anak yang tidak sekolah dan dari 100 anak usia 13-15 tahun masih
terdapat 21 anak yang tidak sekolah.
83
Tabel 4.5
Daftar Ringkasan Sekolah (SD, SMP dan SMA)
Di Bobonaro
No. Name of
Sub-District
Name of
School
School Status Number
of
Students
Number
of
Teachers Principal
Sub-
Primary
1.
2.
Maliana
Maliana
Liceu Senior High
College Senior High
-
-
-
-
775
286
26
14
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Maliana
Maliana
Atabae
Balibo
Cailaco
Bobonaro
Bobonaro
Lolotoi
State Junior High
College Junior High
State Junior High
Catholic Junior High
State Junior High
Catholic Junior High
N.Gumer Junior High
State Junior High
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1.069
190
231
219
147
249
194
258
33
10
7
9
9
8
7
7
1.
2.
3.
4.
5.
6
Maliana
Atabae
Balibo
Cailaco
Bobonaro
Lolotoi
Maliana Primary
Atabae Primary
Balibo Primary
Cailaco Primary
Bobonaro Primary
Lolotoi Primary
10
4
3
4
12
4
6
4
6
11
19
11
4.744
1.885
1.742
1.797
6.009
1.988
99
38
30
38
134
42
Sumber : Statistik Distrito Bobonaro
c. Kesehatan
Secara umum status kesehatan masyarakat di Distrik Bobonaro masih di
bawah rata-rata. Menurut data dari Departemen Kesehatan Timor Leste,
persalinan terakhir yang ditolong oleh tenaga kesehatan hanya 23,5 persen
sedangkan rata-rata Negara Timor Leste sebesar 37,2 persen. Angka
kematian bayi di Distrik Bobonaro sebesar 56,7 per 1.000 kelahiran hidup,
sedangkan rata-rata Negara Timor Leste sebesar 51 per 1.000 kelahiran
hidup. Angka kurang gizi di Distrik Bobonaro juga cukup tinggi yaitu 37,6
persen, walaupun masih di bawah rata-rata Negara Timor Leste sebesar
38,8 persen.
84
4.1.3 Kondisi Wilayah Perbatasan Antara Republik Demokratik
Timor Leste dan Republik Indonesia
Pada bagian ini dipaparkan berbagai permasalahan yang dihadapi kawasan
perbatasan antara Republik Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia.
Agar penyelesaian masalah dapat lebih terarah dan tepat sasaran, maka
permasalahan yang ada dikelompokkan menjadi 6 (enam) aspek yaitu, kebijakan
pembangunan, ekonomi dan sosial budaya, pertahanan dan keamanan,
pengelolaan sumber daya alam, kelembagaan dan kewenangan pengelolaan, serta
kerjasama antarnegara.
1. Kebijakan Pembangunan
Selama beberapa tahun ke belakang masalah perbatasan masih belum
mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah (terutama Pemerintah
Indonesia di mana Timor Timur masih merupakan wilayah negara Republik
Indonesia). Hal ini tercermin dari kebijakan pembangunan yang kurang
memperhatikan kawasan perbatasan dan lebih mengarah kepada wilayah-
wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah, dan potensial, sedangkan
kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah terpencil, terisolir dan tertinggal
seperti kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan.
Pada saat ini pun di Timor Leste belum tersusun suatu kebijakan
nasional yang memuat arah, pendekatan, dan strategi pengembangan kawasan
perbatasan yang bersifat menyeluruh dan mengintegrasikan fungsi dan peran
seluruh stakeholders kawasan perbatasan, baik di pusat maupun daerah, secara
85
menyeluruh dan terpadu. Hal ini mengakibatkan penanganan kawasan
perbatasan terkesan terabaikan dan bersifat parsial.
2. Ekonomi dan Sosial Budaya
a. Adanya paradigma kawasan perbatasan sebagai halaman belakang.
Paradigma pengelolaan kawasan perbatasan sebagai ”halaman belakang”
membawa implikasi terhadap kondisi kawasan perbatasan Republik
Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia yang tersolir dan
tertinggal dari sisi sosial dan ekonomi. Munculnya paradigma ini,
disebabkan oleh sistem politik di masa lampau yang sentralistik dan sangat
menekankan stabilitas keamanan. Di samping itu, secara historis,
hubungan Timor Leste dengan Indonesia pernah dilanda konflik, serta
seringkali terjadinya pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri.
Konsekuensinya, persepsi penanganan kawasan perbatasan lebih
didominasi pandangan untuk mengamankan perbatasan dari potensi
ancaman dari luar (external threat) dan cenderung memposisikan kawasan
perbatasan sebagai sabuk keamanan (security belt). Hal ini telah
mengakibatkan kurangnya pengelolaan kawasan perbatasan dengan
pendekatan kesejahteraan melalui optimalisasi potensi sumberdaya alam,
terutama yang dilakukan oleh investor swasta.
b. Terjadinya kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga.
Kehidupan masyarakat di kawasan perbatasan antara Timor leste dan
Indonesia yang miskin infrastruktur dan tidak memiliki aksesibilitas yang
baik, pada umumnya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi di
86
negara tetangga. Kawasan perbatasan di Batugade Distrik Bobonaro
misalnya, kehidupan sosial ekonomi masyarakat, pada umumnya berkiblat
ke wilayah negara tetangga. Hal ini disebabkan adanya infrastruktur yang
lebih baik atau pengaruh sosial ekonomi yang lebih kuat dari wilayah
negara tetangga. Secara jangka panjang, adanya kesenjangan
pembangunan dengan negara tetangga tersebut berpotensi untuk
mengundang kerawanan di bidang politik.
c. Sarana dan prasarana masih minim.
Ketersediaan prasarana dan sarana, baik sarana dan prasarana wilayah
maupun fasilitas sosial ekonomi masih jauh dari memadai. Jaringan jalan
dan angkutan perhubungan darat maupun laut masih sangat terbatas, yang
menyebabkan sulit berkembangnya kawasan perbatasan, karena tidak
memiliki keterkaitan sosial maupun ekonomi dengan wilayah lain. Kondisi
prasarana dan sarana komunikasi seperti pemancar atau transmisi radio
dan televisi serta sarana telepon di kawasan perbatasan umumnya masih
relatif minim. Terbatasnya sarana komunikasi dan informasi menyebabkan
masyarakat perbatasan lebih mengetahui informasi tentang negara tetangga
(terutama Indonesia) daripada informasi dan wawasan tentang Timor
Leste. Ketersediaan sarana dasar sosial dan ekonomi seperti pusat
kesehatan masyarakat, sekolah, dan pasar juga sangat terbatas. Hal ini
menyebabkan kawasan perbatasan sulit untuk berkembang dan bersaing
dengan wilayah negara tetangga.
87
d. Tingginya angka kemiskinan dan jumlah keluarga pra-sejahtera.
Kemiskinan menjadi permasalahan yang terjadi di setiap kawasan
perbatasan baik laut maupun darat. Hal ini dapat dilihat dari tingginya
jumlah keluarga prasejahtera di kawasan perbatasan serta kesenjangan
sosial ekonomi dengan masyarakat di wilayah perbatasan negara tetangga.
Hal ini disebabkan oleh akumulasi berbagai faktor, seperti rendahnya mutu
sumberdaya manusia, minimnya infrastruktur pendukung, rendahnya
produktifitas masyarakat dan belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya
alam di kawasan perbatasan. Implikasi lebih lanjut dari kondisi
kemiskinan masyarakat di kawasan perbatasan mendorong masyarakat
terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi ilegal guna memenuhi
kebutuhan hidupnya. Hal ini selain melanggar hukum dan potensial
menimbulkan kerawanan dan ketertiban juga sangat merugikan negara.
Selain kegiatan ekonomi ilegal, kegiatan ilegal lain yang terkait dengan
aspek politik, ekonomi dan keamanan juga terjadi di kawasan perbatasan
laut seperti penyelundupan senjata, amunisi dan bahan peledak. Kegiatan
ilegal ini terorganisir dengan baik sehingga perlu koordinasi dan kerjasama
bilateral yang baik untuk menuntaskannya.
e. Terisolasinya kawasan perbatasan akibat rendahnya aksesibilitas menuju
kawasan perbatasan.
Kawasan perbatasan masih mengalami kesulitan aksesibilitas baik darat,
laut, maupun udara menuju pusat-pusat pertumbuhan. Di wilayah
Bobonaro misalnya, sulitnya aksesibilitas memunculkan kecenderungan
masyarakat untuk berinteraksi dengan masyarakat di wilayah NTT.
88
Minimnya asksebilitas dari dan keluar kawasan perbatasan wilayah
merupakan salah satu faktor yang turut mendorong orientasi masyarakat
yang cenderung berkiblat aktivitas sosial ekonominya ke negara tetangga
yang secara jangka panjang dikhawatirkan akan memunculkan degradasi
nasionalisme masyarakat perbatasan.
f. Rendahnya kualitas SDM.
Sebagai dampak dari minimnya sarana dan prasarana di bidang pendidikan
dan kesehatan, kualitas SDM masyarakat di sebagian besar kawasan
perbatasan masih rendah. Masyarakat belum memperoleh pelayanan
kesehatan dan pendidikan sebagaimana mestinya akibat jauhnya jarak dari
permukiman dengan fasilitas yang ada. Optimalisasi potensi sumber daya
alam dan pengembangan ekonomi di kawasan perbatasan akan sulit
dilakukan. Rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan, serta kesehatan
masyarakat merupakan salah satu faktor utama yang menghambat
pengembangan ekonomi kawasan perbatasan untuk dapat bersaing dengan
wilayah negara tetangga.
g. Adanya aktivitas pelintas batas tradisional.
Adanya kesamaan budaya, adat dan keturunan (suku yang sama) di
beberapa kawasan perbatasan menyebabkan adanya kegiatan pelintas batas
tradisional yang ilegal dan sulit dicegah. Persamaan budaya dan adat
masyarakat dan kegiatan pelintas batas tradisional ini merupakan isu
sekaligus masalah perbatasan antarnegara yang telah ada sejak lama dan
kini muncul kembali seiring dengan penanganan kawasan perbatasan darat
di beberapa daerah seperti di Timor Leste.
89
h. Adanya tanah adat/ulayat masyarakat.
Di beberapa kawasan perbatasan terdapat tanah adat/ulayat yang berada di
dua wilayah negara. Tanah ulayat ini sebagian menjadi ladang
penghidupan yang diolah sehari-hari oleh masyarakat perbatasan, sehingga
pelintasan batas antarnegara menjadi hal yang biasa dilakukan setiap hari.
Keberadaan tanah ulayat yang terbagi dua oleh garis perbatasan, secara
astronomis memerlukan pengaturan tersendiri serta dapat menjadi
permasalahan di kemudian hari jika tidak ditangani secara serius.
3. Pertahanan dan Keamanan
a. Belum disepakatinya garis-garis batas dengan negara tetangga secara
menyeluruh.
Beberapa segmen garis batas negara belum disepakati secara menyeluruh
oleh negara-negara yang berbatasan dengan wilayah Timor Leste.
Permasalahan yang sering muncul di perbatasan darat adalah pemindahan
patok-patok batas yang implikasinya menyebabkan kerugian bagi negara
secara ekonomi dan lingkungan. Namun secara umum, titik koordinat
batas negara di darat pada umumnya sudah disepakati.
b. Terbatasnya jumlah aparat serta sarana dan prasarana.
Masalah-masalah pelanggaran hukum, penciptaan ketertiban dan
penegakan hukum di perbatasan perlu diantisipasi dan ditangani secara
seksama. Luasnya wilayah, serta minimnya prasarana dan sarana telah
menyebabkan belum optimalnya aktivitas aparat keamanan dan kepolisian.
Pertahanan dan keamanan negara di kawasan perbatasan saat ini perlu
90
ditangani melalui penyediaan jumlah personil aparat keamanan dan
kepolisian serta prasarana dan sarana pertahanan dan keamanan yang
memadai.
c. Terjadinya kegiatan-kegiatan ilegal dan pelanggaran hukum.
Sebagai konsekuensi terbatasnya prasarana, sarana dan sumberdaya
manusia di bidang pertahanan dan keamanan, misalnya aparat kepolisian
dan aparat imigrasi, telah menyebabkan lemahnya pengawasan di
sepanjang garis perbatasan. Di samping itu, lemahnya penegakan hukum
akibat adanya kolusi antara aparat dengan para pelanggar hukum,
menyebabkan semakin maraknya pelanggaran hukum di kawasan
perbatasan. Sebagai contoh, di kawasan perbatasan darat, berbagai praktek
pelanggaran hukum seperti aktivitas penyelundupan barang dan
permasalahan identitas kewarganegaraan ganda masih sering terjadi.
d. Terbatasnya jumlah sarana dan prasarana (PLB, PPLB dan CIQS).
Keberadaan Pos Lintas Batas (PLB) dan Pos Pemeriksaan Lintas Batas
(PPLB) beserta fasilitas Bea Cukai, Imigrasi, Karantina, dan Keamanan
(CIQS) sebagai gerbang yang mengatur arus keluar masuk orang dan
barang di kawasan perbatasan sangat penting. Sebagai pintu gerbang
negara, sarana dan prasarana ini diharapkan dapat mengatur hubungan
sosial dan ekonomi antara masyarakat Timor Leste dengan masyarakat di
wilayah negara tetangganya. Di samping itu, adanya sarana dan prasarana
perbatasan akan mengurangi keluar-masuknya barang-barang illegal.
91
Namun demikian, jumlah sarana dan prasarana PLB, PPLB, dan CIQS di
kawasan perbatasan masih minim.
4. Pengelolaan Sumber Daya Alam
a. Pemanfaatan potensi Sumber Daya Alam belum optimal.
Potensi sumberdaya alam yang berada kawasan perbatasan cukup besar,
namun sejauh ini upaya pengelolaannya belum dilakukan secara optimal.
Potensi sumberdaya alam yang memungkinkan dikelola di sepanjang
kawasan perbatasan, antara lain sumber daya kehutanan, pertambangan,
perkebunan, pariwisata, dan perikanan. Selain itu, devisa negara yang
dapat digali dari kawasan perbatasan dapat diperoleh dari kegiatan
perdagangan antarnegara.
b. Terjadinya eksploitasi pemanfaatan Sumber Daya Alam yang tak
terkendali dan berkelanjutan.
Upaya optimalisasi potensi sumber daya alam harus memperhatikan daya
dukung lingkungan, sehingga tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan,
baik lingkungan fisik maupun sosial. Di sebagian besar kawasan
perbatasan, upaya pemanfaatan SDA dilakukan secara ilegal dan tak
terkendali, sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem dan kelestarian
lingkungan hidup. Berbagai dampak lingkungan seperti polusi asap lintas
batas (hedge pollution), banjir, longsor, tenggelamnya pulau kecil, dan
sebagainya pada umumnya disebabkan oleh kegiatan-kegiatan illegal,
seperti penebangan liar di kawasan hutan dan pengerukan pasir di pulau-
pulau kecil yang tidak terkendali.
92
5. Kelembagaan dan Kewenangan Pengelolaan
a. Belum adanya kelembagaan yang mengelola kawasan perbatasan secara
integral dan terpadu.
Pengelolaan kawasan perbatasan belum dilakukan secara terpadu dengan
mengintegrasikan seluruh sektor terkait. Sampai saat ini, permasalahan
beberapa kawasan perbatasan masih ditangani secara ad hoc, sementara
(temporer) dan parsial serta lebih didominasi oleh pendekatan keamanan
(security) melalui beberapa kepanitiaan (committee), sehingga belum
memberikan hasil yang optimal.
b. Belum jelasnya kewenangan dalam pengelolaan kawasan perbatasan.
Sesuai dengan asas desentralisasi, pengaturan tentang pengembangan
kawasan perbatasan secara hukum berada di bawah tanggung jawab
Pemerintah Distrik. Kewenangan pemerintah pusat hanya ada pada pintu-
pintu perbatasan (border gate) yang meliputi aspek kepabeanan,
keimigrasian, karantina, serta keamanan dan pertahanan (CIQS). Dengan
demikian Pemerintah Distrik dapat mengembangkan kawasan perbatasan
selain di pintu-pintu masuk tersebut, tanpa menunggu pelimpahan
kewenangan dari Pemerintah Pusat. Namun demikian dalam
pelaksanaannya pemerintah Distrik belum melaksanakan kewenangannya
tersebut. Hal ini dapat disebabkan beberapa faktor : (1) Belum
memadainya kapasitas pemerintah Distrik dalam pengelolaan kawasan
perbatasan mengingat penangannya bersifat lintas administrasi wilayah
pemerintahan dan lintas sektoral, sehingga masih memerlukan koordinasi
93
dari institusi yang secara hirarkis lebih tinggi; (2) Belum
tersosialisasikannya peraturan dan perundang-undangan mengenai
pengelolaan kawasan perbatasan, (3) Terbatasnya anggaran pembangunan
pemerintah Distrik; (4) Masih adanya tarik menarik kewenangan pusat-
daerah.
6. Kerjasama Antarnegara
a. Belum optimalnya keterkaitan pengelolaan perbatasan dengan kerjasama
sub regional, maupun regional.
Kerjasama-kerjasama bilateral, sub regional, maupun regional
memberikan suatu peluang besar bagi pengembangan kawasan perbatasan.
Namun demikian, tampaknya bentuk-bentuk kerjasama ini belum memiliki
keterkaitan dengan pembangunan kawasaan perbatasan yang tertinggal dan
terisolir. Hal ini sebenarnya sangat penting, karena berkembangnya
kawasan perbatasan akan mendukung pertumbuhan ekonomi di kawasan
secara keseluruhan.
b. Belum optimalnya kerjasama antarnegara dalam penanggulangan
pelanggaran hukum di perbatasan.
Kerjasama antarnegara untuk menanggulangi pelanggaran hukum di
kawasan perbatasan seperti pelanggaran batas negara, dan berbagai jenis
pelanggaran lainnya belum dilaksanakan secara optimal.
Dalam kaitannya terhadap konsep kebijakan pengembangan wilayah
perbatasan antara Timor Leste dan Indonesia, menurut Wu (2001), terdapat lima
elemen kunci kebijakan yaitu, komplementaritas ekonomi, ketertarikan sektor
swasta, intervensi pemerintah, kemampuan kerangka kerja institusi, dan faktor
94
budaya yang berimplikasi pada pengembangan perbatasan. Seperti dijelaskan
dalam Tabel 4.6 berikut.
Tabel 4.6
Elemen Kunci dalam Kebijakan Pengembangan
Perbatasan
Elemen Penting Implikasi
Economic
Complementarities
Private Sector Interest
Government
Intervention
Institutional Framework
Cultural
Sifat dari komplementaritas atau saling melengkapi dalam faktor
produksi terbukti mampu meningkatkan keuntungan dari kedua
belah pihak.
Seperti halnya dengan pengembangan bidang lain, pengembangan
cross border bergantung pada faktor lokasi yang menjanjikan, yang
seringkali posisinya tidak sama dengan persepsi pemerintah.
Tidak banyak pemerintah yang memiliki sumber daya dan ideologi
untuk membangun kawasan perbatasan tanpa melibatkan sektor
swasta, meskipun dalam banyak kasus, keterlibatan sektor swasta
berperan penting dalam kesuksesan pembangunan. Namun dalam
hal investasi yang besar seperti infra-struktur perlu adanya
intervensi pemerintah, di mana perannya sebagai penyedia
kerangka kerja dan mengorganisasi kegiatan untuk merangsang
sektor swasta ikut berpartisipasi.
Hal ini sangat penting ketika pembangunan secara spontan terjadi,
institusi ini berguna sebagai transisi menuju fungsi formal cross
border development dan mempromosikan pembangunan dengan
melihat faktor sosial dan lingkungan.
Beberapa penelitian mengindikasikan pentingnya elemen budaya
dalam meminimasi jarak psikis dan kognitif. Kebijakan yang
berasumsi bahwa pengembangan kawasan perbatasan akan lebih
cepat apabila berfokus pada aspek ekonomi tidak selalu tepat,
program dan kebijakan yang relevan dengan budaya/kultur yang
ada memungkinkan berhasilnya pengembangan kawasan
perbatasan.
Sumber : Wu : 2001
Menurut Wu (2001), terdapat banyak pendekatan dalam pengembangan
wilayah perbatasan, namun terdapat tiga faktor penting dalam kaitannya dengan
pengembangan kawasan lebih lanjut, yaitu: pengembangan yang didahului oleh
perencanaan dan pengembangan infrastruktur (sebelum kegiatan pengembangan
95
ekonomi), pengembangan investasi di sektor swasta, dan pengembangan program
kebijakan.
1. Pengembangan dengan Basis Infrastruktur (Infrastructure-Led Development)
Pendekatan ini biasanya melibatkan pemerintah dan agen perencanaan agar
pembangunan dapat memberikan dampak ekonomi yang signifikan,
pendekatan ini biasa dilakukan dengan alasan lokasi yang terpencil (remote
area), politik maupun alasan keamanan.
2. Pengembangan dengan Basis Investasi (Investment-Led Development)
Konsep pengembangan dengan basis investasi ini banyak dilakukan di
wilayah perbatasan, meskipun biasanya konsep ini didahului dengan dominasi
sektor usaha kecil menengah (UKM), beberapa best practice dari
pengembangan dengan basis ini terdapat di Polandia–Jerman Timur, Thai-
China-Burma dan Laos (TCBL) dan China-Vietnam di Donxing dan Mong
Cai.
3. Pengembangan dengan Basis Kebijakan (Policy-led Development)
Dalam kaitannya dengan hal ini, kasus Uni Eropa merupakan pengembangan
dengan basis pada kebijakan moneter dan kebijakan tanpa batas di Eropa
(borderless). Dua kebijakan tersebut didukung oleh program yang spesifik dan
bantuan finansial, beberapa zona eksisting industri besar yang berkembang
seperti the Upper Rhine, Baden Wuttenberg, dan Emilia-Romagna dibangun di
kawasan perbatasan dalam rangka pengembangan yang terpadu.
Perubahan kondisi hubungan di perbatasan menyebabkan terjadinya
pergerakan arus manusia antarnegara. Hal ini menjadi perhatian penting dalam
96
hubungan internasional, karena terjadinya migrasi di wilayah perbatasan
disebabkan oleh motif peningkatan kesempatan ekonomi antara perusahaan dan
individual. Kondisi tersebut berdampak pada perluasan jaringan sosial antara
negara yang berbeda, sehingga membentuk komunitas trans-nasional dengan ciri
etnis dan warisan budaya yang sama, namun hidup dalam negara yang berbeda
(Akaha dan Vassilieva, 2005:1).
1.2 Isu Strategis Wilayah Perbatasan Republik Demokratik Timor
Leste dan Republik Indonesia
Kawasan perbatasan negara dengan Timor Leste dengan Provinsi NTT
merupakan perbatasan darat. Batas kawasan perbatasan Republik Demokratik
Timor Leste dan Republik Indonesia secara administratif mengacu pada
Arrangement on Traditional Border Crossings and Regulated Markets antara
Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Timor Leste yang ditandatangani pada
tanggal 11 Juni 2003 di Jakarta, masing-masing oleh Rini M. Sumarno Soewandi
(mewakili Indonesia) dan DR. Jose Ramos-Horta (mewakili Timor Leste).
Dalam dokumen tersebut telah disepakati bahwa kawasan perbatasan di
wilayah Timor Leste meliputi 11 sub Distrik, yaitu Sub Distrik Balibo, Sub
Distrik Maliana, Sub Distrik Lolotoi (Distrik Bobonaro); Sub Distrik Suai Kota,
Sub Distrik Futululik, Sub Distrik Fatumean, Sub Distrik Tilomar (Distrik
Covalima) dan Sub Distrik Nitibe, Sub Distrik Pante Makassar, Sub Distrik
Oesilo, Sub Distrik Passabe (Distrik Oecussi).
97
Sedangkan kawasan perbatasan Republik Indonesia meliputi 10 kecamatan
perbatasan darat dan 3 kecamatan perbatasan laut yang terletak di perbatasan antar
negara, yaitu Kecamatan Raihat, Kecamatan Lamaknen, Kecamatan Tasifeto
Timur, Kecamatan Tasifeto Barat, dan Kecamatan Kobalima (wilayah Kabupaten
Belu); Kecamatan Insana, Kecamatan Insana Utara, Kecamatan Miomafo Timur,
dan Kecamatan Miomafo Barat (wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara);
Kecamatan Amfoang Utara (wilayah Kabupaten Kupang); dan perbatasan laut di
Kecamatan Alor Timur, Kecamatan Alor Barat Daya, dan Kecamatan Pantar
(wilayah Kabupaten Alor). Selain itu, terdapat pula kawasan perbatasan laut
dengan negara Australia di wilayah Kabupaten Rote Ndao.
Republik Demokratik Timor Leste dengan Republik Indonesia merupakan
dua negara yang berbatasan sehingga dapat dikatakan negara tetangga yang
samasama memiliki batas wilayahnya masingmasing. Sejak terpisahya Timor
Leste menjadi negara tersendiri tepat pada tahun 1999. Timor Leste dengan
Republik Indonesia memiliki sejarah yang panjang hingga saat ini masih
merupakan dasar yang kuat bagi kedua negara untuk saling bekerjasama dan
saling memberi kepercayaan, karena sebelumnya Republik Demokratik Timor
Leste merupakan wilayah/propinsi bagian dari negara Republik Indonesia. Sejak
Timor Leste merdeka, secara resmi Timor Leste berbatasan langsung dengan
wilayah Indonesia, yaitu dengan wilayah Nusa Tenggara Timur (Motain) secara
khusus. Kawasan wilayah perbatasan antara negara Timor Leste dengan negara
Republik Indonesia termasuk dalam kategori wilayah/daerah yang rawan dan
bersifat strategis.
98
Kerawanan yang timbul akibat dari adanya kesenjangan sosial, ekonomi,
dan budaya antar kedua negara tersebut karena jarak batas antara Timor Leste
dengan Indonesia sangat berdekatan begitu pula penduduk masyarakat di
perbatasan wilayah kedua negara bila ditinjau dari sejarahnya, samasama
berbahasa Tetum, sehingga dapat menjadi dampak bagi aspek kepentingan
nasional. Untuk itu perlu adanya perbedaan khusus garis batas wilayah kedua
negara ini agar bisa mencegah bisnis gelap yang sering muncul secara tradisional
di wilayah perbatasan karena akibat dari perselisihan harga barang yang dijual
secara pasar gelap. Begitu pula ditinjau dari persaudaraan yang terjalin oleh
masyarakat di wilayah perbatasan kedua negara ini jika dilihat dari sejarahnya
yang memudahkan untuk saling berkomunikasi untuk memunculkan pasar gelap
ini karena faktor ekonomi yang saat ini sulit untuk teratasi.
Oleh karena itu sangat penting mengkaji tentang kebijakan pemerintah
Timor Leste dalam mengatasi masalah perbatasan dengan Republik Indonesia. Di
mana panjang garis perbatasan antara Timor Leste dan Indonesia adalah kurang
lebih 279 kilometer yang masingmasing meliputi 710 titik di Kabupaten Belu, 3
titik di Kabupaten Kupang dan 5 titik di Kabupaten Timor Tengah Utara. Batas
wilayah kedua negara tersebut merupakan sengketa bagi pertahanan keamanan
bagi masingmasing wilayah kedua negara ini.
Garis batas wilayah negara Republik Demokratik Timor Leste dengan
Republik Indonesia (Batugade-Motain) dibatasi oleh sebuah sungai kecil, sudah
tentu perbatasan wilayah kedua negara tersebut akan menimbulkan berbagai
permasalahan karena jarak yang sangat berdekatan memudahkan timbulnya
kerawanan bagi keamanan wilayah Timor Leste. Timbulnya masalah di
99
perbatasan wilayah Timor Leste dan Republik Indonesia karena kerawanan batas
wilayah kedua negara yang strategis, stabilitas keamanan kedua negara yang
belum 100% terjamin aman, ditinjau dari aspek historis atau sejarahnya,
masyarakat yang berada di wilayah perbatasan kedua negara tersebut memiliki ciri
khas yang sama yaitu persamaan bahasa, ras, warna kulit juga sebagian besar
masyarakat yang memiliki keluarga di seberang sehingga memudahkan warga
seberang melakukan bisnis gelap masuk ke wilayah Timor Leste karena target
harga yang berbeda, dan perbedaan mata uang yang berlaku yaitu Dollar ke
Rupiah yang memiliki kesenjangan yang berbeda jauh, karena kurang terjaminnya
stabilitas keamanan bagi kedua negara tersebut.
Seperti yang diketahui pula bahwa adanya kasuskasus dan konflik di
wilayah perbatasan kedua negara tersebut yang masih sangat merupakan faktor
hambatan bagi stabilitas perbatasan kedua negara ini antara lain:
1. Konflik perbatasan yang menurut Alex Mendonca, bahwa perbatasan antara
Timor Leste dengan Indonesia belum dikatakan mengikuti kaidah
Internasional karena sebagai buktinya pembangunan pos perbatasan yang
masih dalam kawasan bebas (free area), yang jaraknya sekitar 1 km dari bibir
perbatasan Timor Leste, sehingga dikatakan tidak pas untuk mengadakan
penangkapan kepada masyarakat manapun.
2. Kasus penyeludupan bahan bakar minyak (BBM) dan kebutuhan bahan pokok
ekonomi lainnya yang dijual oleh masyarakat bagian Timor Barat kepada
masyarakat bagian Timor Leste secara ilegal.
100
3. Kasus perlintasan batas yang dilakukan oleh kelompok milisi pro integrasi
Jose Mausorte dengan anggotanya masuk melintasi wilayah perbatasan tanpa
dokumentasi yang berakhir dengan penembakan di Malibaka.
Contoh kasuskasus tersebut memberikan gambaran bahwa wilayah
perbatasan antara kedua negara tersebut belum terjamin aman. Perbatasan antara
Timor Leste dan Timor bagian Barat NTT bisa menjadi jalur kejahatan
internasional jika diabaikan oleh Interpol kedua negara tersebut. Karena jika
semakin terbukanya peluang maka semakin meningkatnya kejahatan. Untuk
mencegah Konsul Republik Demokratik Timor Leste di Kupang Caetano De
Sousa Guterres meminta kepada pemerintah Republik Indonesia untuk
membangun kerja sama, baik di bidang imigrasi maupun karantina di perbatasan,
juga penyeludupan barang perdagangan, orang dan bentuk kejahatan lainnya
melaui perbatasan.
Batas wilayah kedua negara tersebut dijaga oleh pihak keamanan
masingmasing baik oleh Interpol keamanan dan pihak imigrasi kedua negara.
Akan tetapi karena kurang ketatnya penjagaan keamanan yang terjamin akurat
tersebut sehingga seringkali memunculkan terjadinya kasuskasus seperti yang
telah tertera di atas yaitu, kasus penyeludupan minyak yang dijual oleh warga
sebelah Timor barat kepada warga Timor Leste dengan harga yang sesuai dengan
mata uang Dollar yang US$. 1.00 menjadi Rp. 10.000. Penyeludupan bahan
bakar minyak (BBM) dari wilayah Timor Barat yang masuk ke wilayah Timor
Leste ini karena naiknya harga barang di Timor Leste dengan perbedaan target
101
yang maksimal, dan perbedaan mata uang yang ada yaitu pembeli dari Timor
Leste mengunakan mata uang dolar Amerika.
Hal tersebut diakibatkan pula oleh menurunnya jumlah anggota yang
ditugaskan di perbatasan wilayah untuk pengadakan penjagaan perbatasan kedua
negara tersebut. Begitu pula kasuskasus lainya yang telah disebut pada paragraf
di atas. Dari wilayah perbatasan Timor Leste dijaga oleh para aparat kepolisian
UPF Timor Leste dan para petugas kepolisian imigrasi dari Timor Leste. Begitu
pula di wilayah bagian Timor Barat (NTT) yang dijagai oleh aparat TNI dan
polisi serta para petugas imigrasi dari Republik Indonesia. Walaupun sudah
adanya para aparat yang ditugaskan di wilayah perbatasan kedua negara tesebut
akan tetapi masih belum terjamin aman atau masih dikatakan belum maksimal
memenuhi target, karena garis batas kedua negara yang sangat berdekatan,
khususnya diperbatasan Batugade - Motain, terdapat daerahdaerah rawan yang
masih belum terjamin aman dan terkendali sehingga memudahkan orang
melakukan bisnis gelap dan tendensi bargaining solution begitu pula kurang
maksimal patroli yang dilakukan oleh aparat keamanan kedua negara tersebut.
Batas wilayah Republik Demokratik Timor Leste dengan Republik
Indonesia merupakan perbatasan daratan karena setiap masyarakat yang ingin
melintasi batas wilayah untuk masuk ke salah satu wilayah baik bagi warga Timor
Leste yang mengunjungi Indonesia dan yang melanjutkan studinya ke Indonesia,
maupun bagi warga Indonesia yang melakukan dagang dan bekerja di Timor Leste
ataupun para investor dan para pengunjung yang melintasi batas wilayah Timor
Leste dengan mengunakan dokumen diharuskan masuk melalui pintu perbatasan.
102
Batas wilayah Timor Leste dengan Indonesia dipisahkan oleh sebuah sungai kecil
yang disebut Motain, di mana setiap warga yang mengunjungi harus menukar
trevel di pintu perbatasan tersebut dan melakukan pemeriksaan sebelum masuk ke
pergantian trevel. Akan tetapi masih ada pelanggaran masyarakat yang berjalan
melintasi wilayah perbatasan secara ilegal melalui dari NTT ke Timor Leste dan
sebaliknya dari Timor Leste ke Indonesia dan penyeludupan BBM serta
bahanbahan pokok lainnya oleh kedua masyarakat di wilayah perbatasan.
Kasuskasus permasalahan tersebut di atas merupakan hal penting yang
harus diselesaikan dengan secepatnya oleh pemerintah Timor Leste. Baik yang
menyangkut penyeludupan minyak, pasar gelap untuk memenuhi kebutuhan
pokok masyarakat setempat dan ilegal di perbatasan.
1.3 Formulasi Kebijakan Border Pass Antara Republik Demokratik
Timor Leste dan Republik Indonesia
Dalam perkembangan negara baru seperti Republik Demokratik Timor
Leste, permasalahan perbatasan negara yang belum dapat dikelola dengan
komprehensif juga dapat menjadi salah satu indikator sebuah negara berubah
menjadi sebuah negara lemah (Laitinen, 2004). Hal ini ditandai dengan
ketidakmampuan negara dalam mengelola kawasan perbatasannya. Selain itu,
kurangnya pemerintahan yang efektif dalam pengelolaan perbatasan nasional juga
telah menjadi sebuah permasalahan terpisah yang menambahkan permasalahan
serius akan perbatasan tradisional negara.
Kapasitas negara yang rendah dan terbatas dalam mengelola dan
melindungi setiap perbatasan negara akan memberikan dampak nyata baik itu
103
secara internal maupun secara eksternal. Kompleksitas permasalahan perbatasan
tidak hanya akan mendorong konflik perang intra-negara tetapi juga dapat
memicu konflik atau perang antar negara. Hal ini pada dasarnya terkait dengan
fakta bahwa isu perbatasan secara erat terkait dengan prinsip integritas nasional
dan prinsip kedaulatan. Secara tradisional, setiap negara-bangsa akan siap untuk
melakukan apapun, termasuk perang untuk mempertahankan kedaulatannya
(Philpott, 2001:5).
Selain itu, seperti yang dinyatakan Laitinen (2004) bahwa isu perbatasan
tidak hanya memasukkan isu teritorial secara fisik, tetapi juga meliputi aspek-
aspek lainnya seperti sumber daya dan harga diri identitas yang dalam konteks
tertentu menjadi faktor utama bagi martabat nasional dan lokal. Dalam pandangan
ini, isu perbatasan adalah sebuah bagian signifikan dari agenda keamanan
nasional. Oleh karena itu, sistem pengelolaan dari perbatasan nasional akan
memainkan sebuah peran penting dalam agenda pembangunan nasional.
Referendum rakyat Timor Timur yang difasilitasi PBB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa) pada bulan Agustus 1999 telah mengantarkan bekas Provinsi ke-
27 Negara Republik Indonesia menjadi negara merdeka pada 20 Mei 2002.
Sebagai negara merdeka yang telah memenuhi sejumlah persyaratan konstitutif
dan deklaratif, Republik Demokratik Timor-Leste atau Republica Democratica de
Timor-Leste pun secara hukum dan politik terpisah dari wilayah Republik
Indonesia. Oleh karena itu, kedua negara memiliki titik singgung kepentingan
yang sama dalam mengelola serangkaian wilayah perbatasan dan sejumlah
kepentingan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan pertahanan.
104
Dalam upaya meningkatkan interaksi masyarakat kedua negara dalam
bidang ekonomi khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah
perbatasan, kedua negara telah menandatangani persetujuan tentang pelintas batas
tradisional dan pengaturan pasar bersama (Arrangement between the Government
of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of
Timor-Leste on Traditional Border Crossings and Regulated Market’s) di Jakarta
pada tanggal 11 Juni 2003.
Untuk menindaklanjuti persetujuan diatas Pemerintah Republik
Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia sepakat menyusun sistem
khusus bagi pelintas batas tradisional ini, guna mencegah berulangnya insiden di
perbatasan kedua negara maka Pada tanggal 7 Juli 2010 kebijakan border pass
antara Republik Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia diresmikan
untuk memudahkan warga wilayah perbatasan kedua negara saling mengunjungi.
Dengan prosedur yang disepakati, penduduk di wilayah perbatasan tidak perlu
menggunakan paspor dan visa bila melintasi batas wilayah. Prosedur lalu lintas di
pintu-pintu perbatasan dibutuhkan agar masing-masing penduduk di wilayah
perbatasan lebih mudah menjalankan keperluan saling berkunjung antarkeluarga,
belanja, dan kepentingan lainnya tanpa harus menggunakan paspor atau visa.
Penduduk kedua negara bisa saling menyeberangi hanya dengan menggunakan
kartu penyeberangan (border pass).
Secara umum persoalan politis menyangkut pengelolaan wilayah-wilayah
perbatasan kedua negara hampir sepenuhnya terselesaikan. Hal-hal terkait yang
sampai sekarang masih tersisa adalah persoalan keterbatasan kemampuan Timor
Leste sebagai negara yang baru merdeka dalam menindaklanjuti setiap
105
kesepakatan politik dengan Pemerintah Republik Indonesia sebelumnya dan
faktor teknis dan sosio-kultural. Timor Leste kini menghadapi persoalan stabilitas
politik, ekonomi dan keamanan sebagai akibat rendahnya sumber daya,
kemiskinan dan persoalan kepemimpinan politik yang tidak kondusif bagi sebuah
negara yang baru merdeka. Akibatnya, secara teknis persoalan pengelolaan
perbatasan baik secara domestik dan bilateral belum mendapatkan perhatian yang
memadai bagi Timor Leste. Hal yang sama secara sosio-kultural. Persoalan
pengelolaan perbatasan masih dipengaruhi faktor tanah adat dan dan hubungan
darah masyarakat sekitar perbatasan kedua negara.
Untuk itulah, berbagai upaya untuk menjembatani berbagai persoalan
tersebut kini menjadi kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan, tidak hanya
dalam rangka membangun hubungan bilateral tetapi juga penyelesaian secara
menyeluruh persoalan pengelolaan wilayah perbatasan kedua negara. Dalam
kerangka inilah, kiranya menjadi penting dirumuskan sejauh mana kebijakan
pengelolaan perbatasan harus ditempuh Pemerintah Timor Leste dengan melihat
kondisi faktual yang ada secara politis, ekonomi, dan sosio-kultural.
Dalam konteks politik modern, pengelolaan wilayah perbatasan secara
efektif dan terus-menerus dapat dilihat tidak hanya perlu kehadiran simbol-simbol
pelaksanaan kepemerintahan negara yang bersangkutan tetapi juga sejauh mana
politik dan pendekatan pembangunan yang dilakukan di wilayah-wilayah
dimaksud dapat dirasakan manfaatnya bagi rakyat setempat dan diakui
reputasinya oleh negara-negara lainnya. Secara lebih konkrit, pengelolaan wilayah
perbatasan harus digunakan paradigma baru yang menjadikan wilayah perbatasan
tidak lagi menjadi pagar belakang tetapi merupakan beranda depan suatu negara.
106
4.3.1 Perumusan Masalah (Defining Problem)
Sejumlah persoalan di perbatasan antara Republik Demokratik Timor
Leste dan Republik Indonesia secara politis, legal dan keamanan muncul sebagai
akibat langsung maupun tidak langsung dari beberapa kondisi antara lain sebagai
berikut. Pertama, terbatasnya sarana prasarana keamanan dan pengawasan
perbatasan. Keterbatasan sarana dan prasarana keamanan telah menyebabkan
lemahnya pengawasan di sepanjang garis perbatasan di darat maupun perairan di
sekitar pulau-pulau terluar. Pos Lintas Batas (PLB) dan Pos Pemeriksaan Lintas
Batas (PPLB) berikut fasilitasnya seperti kantor bea cukai, imigran, karantina, dan
keamanan sebagai pintu gerbang arus keluar masuk orang dan barang di wilayah
perbatasan masih sangat terbatas baik secara kuantitas maupun kualitas. Di
samping itu, lemahnya penegakan hukum akibat adanya kolusi antara aparat
dengan para pelanggar hukum, menyebabkan semakin maraknya pelanggaran
hukum di wilayah perbatasan dalam kegiatan penyelundupan barang dan upaya
manipulasi identitas kewarganegaraan.
Kedua, peningkatan serangkaian kegiatan ilegal di wilayah perbatasan.
Kegiatan-kegiatan ilegal di wilayah perbatasan seperti penyelundupan orang dan
barang masih banyak terjadi sebagai akibat luasnya wilayah, kondisi geografis
yang sulit dijangkau dan terbatasnya sarana dan prasarana keamanan. Hal lain,
kondisi di atas juga terjadi akibat masih rendahnya tingkat kesejahteraan dan
rendahnya akses masyarakat di wilayah-wilayah perbatasan dan pulau-pulau
terluar terhadap hasil pembangunan. Kondisi ini diperburuk dengan rendahnya
107
sebagian kinerja dan integritas aparat sehingga turut menyumbang terjadinya
kegiatan-kegiatan ilegal di wilayah-wilayah perbatasan dengan resiko kerugian
negara baik secara ekologis dan sosial-ekonomi.
Ketiga, sengketa wilayah dengan negara tetangga. Sejumlah persoalan
sengketa wilayah dengan negara tetangga yang beresiko mengancaman kedaulatan
wilayah masih sering terjadi terutama pada segmen-segmen garis batas yang
belum disepakati dan beberapa pulau kecil terluar yang berbatasan langsung
dengan negara lain. Untuk mencegah konflik dengan negara tetangga diperlukan
adanya kesepakatan garis batas sehingga memperjelas wilayah kedaulatan kedua
negara. Keempat, rendahnya aksesibilitas informasi dan potensi penurunan
wawasan kebangsaan.
Semakin kompleksnya permasalahan yang terjadi di wilayah perbatasan
kedua negara menjadi permasalahan publik yang kompleks pula. Untuk mencari
penyelesaian tentang permasalahan yang terjadi di wilayah perbatasan kedua
negara tersebut, diperlukan adanya proses agenda setting dan perumusan masalah.
Proses agenda setting merupakan proses pengubahan issue menjadi masalah
publik sehingga mendapat perhatian pemerintah. Ada beberapa hal yang
dilakukan agar permasalahan yang terjadi di wilayah perbatasan kedua negara
mendapat perhatian dan menjadi agenda pemerintah untuk dirumuskan sebagai
kebijakan publik.
Dengan adanya persetujuan tentang pelintas batas tradisional dan
pengaturan pasar bersama oleh pemerintah kedua negara, (Arrangement between
the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the
108
Democratic Republic of Timor-Leste on Traditional Border Crossings and
Regulated Market’s) di Jakarta pada tanggal 11 Juni 2003. Maka parlemen
Republik Demokratik Timor Leste mengeluarkan Resolusi No. 21/2009 tentang
pengesahn terhadap kesepakatan tersebut yang memberikan wewenang kepada
Komisi Perancangan Kerjasama Perbatasan Timor Leste dan Indonesia, yang
terdiri atas Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian
Hukum, Kementerian Pertanian dan Kementerian Pertahanan dan Keamanan.
Keseluruh kementerian ini kemudian mengadakan pembahasan tentang kerjasama
pengelolaan perbatasan Timor Leste dan Indonesia dalam forum JMC (Join
Ministerial Commission for Bilteral). Dalam forum tersebut dirumuskan agenda
setting mengenai issue-issue yang muncul di wilayah perbatasan antara Republik
Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia.
Proses perumusan masalah tentang kondisi aktual wilayah perbatasan
Republik Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia menjadi agenda
setting dari tahapan kegiatan yang dilakukan oleh aktor-aktor perumusan
kebijakan dalam pengelolaan perbatasan di dikategorikan menjadi dua secara
umum dan khusus sebagi berikut :
1. Perumusan Masalah Secara Umum
Berdirinya negara Republik Demokratik Timor Leste sebagai negara
merdeka menyebabkan terbentuknya perbatasan baru dengan negara Republik
Indonesia. Perundingan penentuan batas darat dan laut antara Republik
Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia telah dilakukan dan masih
berlangsung sampai sekarang. Saat ini sejumlah masyarakat Timor Leste yang
109
berada diperbatasan masih menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia,
serta berinteraksi secara sosial dan budaya dengan masyarakat Indonesia.
Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antarwarga desa yang terdapat di
kedua sisi perbatasan dapat menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional yang
dapat berkembang menjadi masalah yang lebih kompleks. Di samping itu,
keberadaan eks pengungsi Timor-Timur yang masih berada di wilayah Indonesia
dalam jumlah yang cukup besar potensial menjadi permasalahan perbatasan di
kemudian hari.
Secara umum tingginya persoalan pengelolaan perbatasan Republik
Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia diakibatkan oleh beberapa faktor
seperti:
a. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang berifat komprehensif
yang berfungsi sebagai payung hukum dalam pengelolaan perbatasan
secara nasional maupun yang secara spesifik mengatur pengelolaan
perbatasan kedua negara.
b. Belum adanya lembaga yang secara khusus menangani pengelolaan
perbatasan kedua negara.
c. Adanya perbedaan tingkat pembangunan di kedua wilayah.
d. Tingginya tingkat pelintas batas di wilayah perbatasan yang drastis naik.
e. Potensi intervensi pihak tertentu dalam persoalan pengelolaan perbatasan
ini. Berbeda dengan pandangan dari para pejabat terkait di lingkungan
pemerintah daerah setempat.
f. Kurangnya perhatian dari pemerintah pusat.
g. Persoalan kemiskinan masyarakat di sekitar perbatasan, dan lambatnya
persoalan pengaturan bagi para pelintas batas kedua negara.
110
Meskipun tingkat hubungan perdagangan Republik Demokratik Timor
Leste ke Nusa Tenggara Timur besar namun manfaatnya tidak banyak dirasakan
oleh masyarakat terutama mereka yang tinggal di sekitar wilayah perbatasan
karena pelaku, produk dan komoditas berasal dari pengusaha yang datang dari
berbagai daerah yang bukan masyarakat perbatasan dan tidak banyak menyerap
tenaga kerja. Kondisi ini sedikit banyak memicu serangkaian konflik kecil antara
masyarakat di sekitar wilayah perbatasan akibat tidak hanya terbatasanya
lapangan kerja atau kemiskinan tetapi juga persoalan penggunaan tanah ulayat
yang sebelumnya dipinjamkan dan persoalan perambahan hutan oleh para
pengungsi. Kondisi tersebut juga menyebabkan tingginya perdagangan ilegal
untuk kebutuhan pokok seperti minyak dan beras.
Persoalan lain, belum dikelolanya persoalan perbatasan secara menyeluruh
sebagai akibat adanya perubahan desain tata ruang wilayah perbatasan kedua
negara yang sebelumnya dilakukan ketika Republik Demokratik Timor Leste
masih menjadi propinsi yang merupakan bagian dari Republik Indonesia dan
setelah terpisah. Dalam kondisi seperti ini fokus kebijakan dan kegiatan
pemerintah daerah (Pemda) diarahkan untuk mendorong peningkatan kehidupan
masyarakat di sekitar perbatasan. Dalam kerangka ini, Pemda harus membentuk
Sekretariat Bersama (Sekber) yang dibentuk sebagai sarana koordinasi dalam
pengelolaan wilayah perbatasan yang menjadi tanggung jawab Pemda termasuk di
dalamnya koordinasi dengan lembaga swadaya masyarakat.
Dalam kasus pelintas batas, belum adanya aturan bersama terkait dengan
kebijakan pelintas batas akibat Pemerintah kedua negara belum siap di satu sisi
111
sementara kedekatan sosial-budaya dan etnik bagi masyarakat di sekitar wilayah
perbatasan kedua negara akan menjadikan pelintas batas secara praktis dan sulit
dikelola. Persoalan ini semakin pelik jika dikaitkan dengan alasan kemanusiaan.
Perjanjian Pelintas Batas RI-RDTL telah ditandatangani kedua negara pada bulan
Desember 2002 namun dalam pelaksanaannya persoalannya terbentur pada
dokumen Pas Pelintas Batas (PLB) yang harus disediakan oleh masing-masing
negara.
Mengingat tingginya hubungan perdagangan masyarakat kedua negara,
kondisi ini mengakibatkan terjadinya potensi terjadinya jalan-jalan tikus dan
perdagangan dilakukan secara ekspor-impor daripada sebaliknya hubungan
langsung masyarakat di perbatasan yang didasarkan pada perjanjian pelintas batas.
Penilaian ini sejalan dengan satu pandangan bahwa sejumlah perbatasan darat dan
laut RDTL-RI sifatnya berlubang-lubang (porous) sehingga hubungan
perdagangan masyarakat kedua negara jika tidak dilakukan secara sistemik akan
menciptakan penyelundupan melalui jalan-jalan tikus. Kira-kira sebanding dengan
wilayah perbatasan daratan, Republik Demokratik Timor Leste memiliki garis
pantai dan perbatasan daratan dengan Republik Indonesia sepanjang 170 km,
kondisi yang kecil kemungkinan untuk dilakukan pengawasan. Sampai akhir
tahun 2000 saja, telah terjadi perdagangan informal yang begitu besar melalui
wilayah-wilayah perbatasan yang secara resmi ditutup. Akibatnya, lembaga-
lembaga sosial yang dibangun untuk mendukung kegiatan perekonomian
masyarakat sekitar seperti sejumlah pasar tradisional yang dibangun di Batugade
dan sekitarnya belum berjalan sepenuhnya. Dalam dua tahun terakhir, persoalan
112
keamanan menjadikan hubungan dagang kedua negara di wilayah perbatasan
mengalami penurunan. Padahal potensi perdagangan kedua negara begitu besar
seperti ditunjukkan nilai ekspor NTT ke RDTL sebesar delapan puluh persen.
Tingginya persoalan pengelolaan wilayah perbatasan kedua negara
sementara kemampuan Pemda Bobonaro secara finansial terbatas menjadikan
Pemda memandang perlu dilembagakannya sebuah “badan khusus” yang bertugas
menangani perbatasan kedua negara secara permanen dan bersifat vertikal. Secara
umum persoalan pengelolaan perbatasan kedua negara muncul tidak hanya dalam
konteks persoalan yang secara faktual terjadi di wilayah perbatasan dan tingkat
pembangunan dan perkembangan masyarakat perbatasan kedua negara tetapi juga
akibat persoalan stabilitas politik, hukum dan keamanan di kedua negara itu
sendiri. Persoalan-persoalan itu antara lain: (1) Setiap terjadi berbagai
permasalahan di Timor Leste sudah tentu sangat memungkinkan akan membawa
dampak stabilitas politik dan keamanan di Indonesia khususnya di wilayah NTT.
(2) Negara Indonesia akan terus menanggung beban politik, ekonomi, sosial dan
lain sebagainya (3) Skenario terjadinya instabilitas di Timor Leste dapat
mengoncang keamanan dan stabilitas Selat Ombai Wetar dan rute navigasi
international yang memiliki posisi sangat penting bagi kepentingan negara-negara
besar dan (4) Potensi terjadinya bahaya efek domino bagi munculnya tuntutan
disintegrasi propinsi lainnya.
Arti pentingnya pengelolaan perbatasan didasarkan pada satu premis,
yakni “jangan ada perang di perbatasan” karena sejumlah alasan seperti: (1) Harga
yang harus dibayar sebagai sebuah negara kepulauan. (2) Perlu
113
mempertimbangkan plus minus konflik perbatasan. (3) Wilayah perbatasan
merupakan pintu gerbang perdagangan antar negara. (4) Memberi situasi kondusif
bagi terciptanya ruang bagi masyarakat lokal dan (5) Dalam konteks perbatasan
RDTL-RI, posisi Batugade kini menjadi beranda depan dan konsekuensinya
dalam strategi pembinaan teritorial UPF dan pemberdayaan wilayah. Di samping
itu, munculnya persoalan pengelolaan perbatasan sering dianggap sebagai akibat
kurang terakomodasinya kepentingan masyarakat di sekitar perbatasan.
Potensi persoalan lainnya muncul akibat interaksi masyarakat kedua
negara di sekitar wilayah perbatasan karena kedekatan ikatan sosial budaya,
geografis, dan kekeluargaan. Di satu sisi faktor ini, dapat kepentingan pengelolaan
perbatasan. Namun di sisi lain, fenomena ini juga dapat berakibat pada potensi
terjadinya klaim terhadap hak-hak tradisional masing-masing kelompok
masyarakat di kedua sisi perbatasan. Jika kondisi ini tidak dikelola secara
memadai akibat rentang kendali pengawasan aparat pemerintahan sangat jauh
akan berakibat pada potensi terjadinya persoalan lain yang lebih kompleks. Belum
lagi jika diperhitungkan dengan eks pengungsi Timor-Timur yang belum
sepenuhnya kembali ke negara Timor Leste baik karena alasan sosial dan ekonomi
maupun ikatan kekeluargaan dengan keluarganya yang berkewarganegaraan
Republik Indonesia.
2. Perumusan Masalah Secara Khusus
Setelah mengetahui permasalahan umum terkait dengan kondisi aktual
wilayah perbatasan antara Timor Leste dan Indonesia, maka Komisi Perancangan
114
Kerjasama Perbatasan Timor Leste dan Indonesia merumuskan secara khusus
permasalahan perbatasan ini. Adapun hasil perumusan masalah secara khusus ini
adalah sebagai berikut:
a. Garis teknikal kordinasi di setiap pintu masuk keluar perbatasan belum
ditentukan. Dengan ketidakjelasan dari setiap pintu masuk keluar
perbatasan maka akan mudah penyeludupan barang-barang illegal dan
lalu-lintas manusisa dan kesempatan bagi teroris untuk mengunakan
tingkat kelemahan untuk melakukan perekrutan terhadap masyarakat di
sepanjang titik perbatasan untuk mendapat akses masuk wilayah RDTL.
b. Tidak ada satu dokumen atau persyaratan yang jelas tentang penggunaan
kartu lintas batas, meskipun secara umum disebutkan dalam kesepakatan
yang ditandatangani oleh UNTAET dan Pemerintahan Indonesia pada
tanggal 11 Juni 2003, namum tidak secara jelas lokasi dan jangkaun yang
akan dikunjungi oleh masyarakat di wilayah perbatasan.
1) Alasan pertama akan memberikan implikasi secara serius terhadap
proses pengelolaan keamanan nasional, dengan alasan bahwa
ketiadaan kontrol oleh otoritas imigrasi atas proses pengeluaran dan
pemberiaan ijin kunjungan bahkan kartu lintas batas bagi para penguna
diperbatasan.
2) Ketiadaan sistim komunikasi integrasi dari wilayah perbatasan ke
pusat tentang transfer data para penguna kartu lintas batas atau perserta
yang memperoleh visa kunjungan.
115
c. Belum maksimalnya tingkat kewenangan kontorol tentang pengunaan
kartu lintas batas, karena sistim pengawasan terutama instalasi
infrastruktur di wilayah pintu masuk perbatasan belum jelas, kalau tidak
jelas maka akan menciptakan problematika besar di wilayah perbatasan
setelah pemberlakukan implementasi pasar tradisional bersama.
d. Belum Optimalnya akses kerjasama yang layak secara langsung oleh unit
kepolisian UPF dan TNI di perbatasan kedua negara. Seolah-olah
pengelolaan keamanan perbatasan pada hak border security regime. Hal
yang menjadi salah satu implikasi negatif dari isu ke empat ini, ketiadaan
akses kerja sama unit kepolisian antara pemerintah Timor-Leste dan
Indonesia di Perbatasan akan berdampak pada keamaman nasional terlebih
sumber-sumber ancaman keamanan di wilayah perbatasan oleh pihak
transnasional organize crime atau kelompok terorisme sehingga
diharapkan adanya pembagian informasi tentang pola kejahatan yang
dibawahi kendali oleh pihak UPF dan TNI.
e. Tidak ada kerjasama secara legal antara dua institusi pengelolaan
perbatasan UPF dan TNI, dan proses kerjasama yang selama ini hanya
berdasarkan pada suatu kesepakatan informal yang semestinya yang harus
direvisi pada tingkat taktikal kordinasi pada tangal 29 Februari 2000 oleh
UNTAET dan pemerintah Indonesia.
f. Sampai saaat ini, masih mengunakan ketentuan dasar hukum MoU antara
UNTAET dan Pemerintah Indonesia yang ditandatangani di Dili pada
tahun 2000, yang menjadi permasalahan proses ketiadaan sumber hukum
116
terutama antara unit pengelolaan perbatasan akan berdampak pada
beberapa faktor.
1. Sewaktu-waktu dapat melakukan proses pemindahan terhadap titik-
titik kordinat tentang penarikan wilayah perbatasan.
2. Masalah krisis manajemen antara unit pengelolaan perbatasan dan
sewaktu-waktu dapat melakukan proses pengerahan kekuatan militer di
wilayah perbatasan disebabkan karena ketiadaan regime keamanan
perbatasan, seperti tingkat kordinasi oleh BPU dan TNI dalam kasus
penyembakan di Malibaka pada tahun 2005, dalam hal ini ketiadaan
kordinasi komunikasi UPF dan TNI masing-masing menjustifikasikan
tingkat kebenaran hukum atas tragedi penyembakan.
Pengubahan issue-issue di atas menjadi masalah publik dan menjadi
perhatian pemerintah ini penting dilakukan guna membangun persepsi bahwa
kerja sama pengelolaan daerah perbatasan sangat urgen dan layak untuk
dipecahkan dalam kebijakan. Hal tersebut diperkuat dengan hasil wawancara
peneliti dengan Bapak Pedro Laranjeira (Direktur untuk Direksi Perbatasan pada
Kementerian Luar Negeri RDTL) sebagai berikut:
“Perbatasan diibaratkan sebagai agen dari kedaulatan dan keamanan
nasional, dan sebuah rekaman fisik dari relasi negara dengan negara
tetanga sejak dahulu kala dan hingga saat ini. Sesungguhnya para instansi
pemerintah daerah yang berbatasan langsung mempunyai peranan penting
dalam menentukan kedaulatan dan keamanan nasional dalam interaksi
antara negara dalam sebuah wilayah tertentu”.
Setelah terbangun persepsi bahwa terdapat suatu permasalahan yang harus
dipecahkan, dalam hal ini adalah permasalahan-permasalahan yang muncul di
117
wilayah perbatasan Timor Leste dan Republik Indonesia, maka langkah
berikutnya adalah melakukan perumusan masalah agar lebih fokus dan
mengerucut. Fokus dari permasalahan tersebut akan menimbulkan permasalahan
formal yang kemudian ditindaklanjuti dalam kebijakan.
Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan diperoleh keterangan
bahwa isu yang berkembang mengenai nasalah di wilayah perbatasan antara
Timor Leste dan Republik Indonesia ini terfokus pada masalah keamanan wilayah
perbatasan dan masalah kondisi masyarakat sekitar perbatasan. Isu yang
terbangun kurang menyentuh kepentingan masyarakat sekitar wilayah perbatasan
yang harus dipenuhi seperti ikatan sosio-kultural antar masyarakat yang ada di
wilayah Timor Leste dan Indonesia. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara
dengan informan sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Komisi B Parlemen
Nasional Timor Leste yang Menangani Urusan Keamanan dan Kerja Sama
sebagai berikut.
“Saya melihat masalah yang paling krusial di wilayah perbatasan antara
Negara kita dan Indonesia adalah masalah keamanan. Dengan beragamnya
bentuk ancaman keamanan perbatasan kita dengan Indonesia maka perlu
adanya sistem manajemen perbatasan yang terintegrasi, khususnya dalam
pengelolaan keamanan perbatasan. Mengelola keamanan perbatasan secara
parsial atau bahkan dilakukan secara koordinatif antara sejumlah institusi
pemerintah yang bertanggung jawab atas keamanan perbatasan, hanya
akan menimbulkan tumpang tindih dalam pelaksanaan pengamanan.”.
Isu yang dikedepankan dan dikembangkan seharusnya adalah pengelolaan
daerah perbatasan yang selama ini belum optimal, terutama dalam hal
pembangunan dasar untuk pemenuhan kebutuhan pokok. Hal pokok yang
seharusnya mendapatkan prioritas dalam pengelolaan daerah perbatasan di
antaranya peningkatan aksesibilitas masyarakat perbatasan, pengembangan sarana
118
prasarana dan pengembangan sumber daya manusia serta kesejahteraan
masyarakat di daerah perbatasan sangat memprihatinkan.
Berkaitan dengan penentuan isu dalam formulasi kebijakan ini, Winarno
(2004:28) menyatakan bahwa proses pembuatan kebijakan merupakan proses
yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus
dikaji, sehingga perlu perlu dilakukan koordinasi dan konsultasi kepada pihak-
pihak terkait (stakeholders), yang berisi tentang langkah-langkah strategis untuk
mencapai tujuan-tujuan dan sasaran tertentu dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan pendapat Winarno di atas, maka dapat dijelaskan bahwa
tujuan pokok perumusan masalah dalam formulasi kebijakan border pass antara
Republik Indonesia Timor Leste dan Republik Indonesia harus bermuara kepada
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk merumuskan kebijakan dengan
baik, sangat dipengaruhi oleh adanya perumusan masalah kebijakan yang tepat
melalui pengamatan, pengelompokan dan pengkhususan masalah kebijakan.
Dalam tahapan ini tim penyusun melakukan komunikasi dan konsultasi selain
dengan berbagai pihak terkait (stakeholders), terutama dengan pihak-pihak yang
mewakili masyarakat.
Bertolak dari berbagai kondisi dan isu yang ada, dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Wilayah perbatasan harus dikelola secara terpadu dalam satu badan yang
memiliki otoritas khusus yang ditetapkan dengan peraturan perundang-
undangan.
119
2. Pembangunan wilayah perbatasan harus direncanakan secara terintegrasi
antara berbagai bidang secara komprehensif dalam suatu master plan masing-
masing wilayah perbatasan.
3. Khusus wilayah perbatasan darat, diutamakan pembangunan infrastruktur
sarana jalan horizontal dan diikuti pembangunan sarana dan prasarana lainya,
yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena akan memperlancar
perputaran roda ekonomi masyarakat.
Secara umum dalam pengembangan kawasan perbatasan diperlukan suatu
pola atau kerangka penanganan kawasan perbatasan yang menyeluruh (holistic),
meliputi berbagai sektor dan kegiatan pembangunan, serta koordinasi dan
kerjasama yang efektif mulai dari Pemerintah Pusat sampai ke tingkat distrik. Pola
penanganan tersebut dapat dijabarkan melalui penyusunan kebijakan dari tingkat
makro sampai tingkat mikro dan disusun berdasarkan proses partisipatif, baik
secara horisontal di pusat maupun vertikal dengan pemerintah daerah dan
masyarakat, sedangkan jangkauan pelaksanaannya bersifat strategis sampai
dengan operasional. Dulu wilayah perbatasan dikedepankan sebagai tempat
pertahanan dan keamanan sekarang diprioritaskan untuk lebih mengedepankan
kesejahteraan. Oleh karena itu, kebijakan border pass antara Republik
Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia ini harus diikuti dengan
pembangunan daerah perbatasan yang mencakup tiga aspek pembangunan, yaitu
kesejahteraan (prosperity) dan keamanan (security), serta ditambah dengan aspek
lingkungan (environment).
4.3.2 Penyusunan Agenda Kebijakan
120
Setelah melakukan perumusan masalah (defining problem) terkait
pengurusan dan pengelolaan wilayah perbatasan Timor Leste dan Indonesia, maka
pemerintah Timor Leste kemudian melakukan pendekatan diplomasi dengan
pemerintah Republik Indonesia. Dalam upaya meningkatkan interaksi masyarakat
kedua negara dalam bidang ekonomi khususnya masyarakat yang tinggal di
sekitar wilayah perbatasan, kedua negara telah menandatangani persetujuan
tentang pelintas batas tradisional dan pengaturan pasar bersama (Arrangement
Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the
Democratic Republic of Timor-Leste on Traditional Border Crossings and
Regulated Markets) di Jakarta pada tanggal 11 Juni 2003. Namun demikian,
karena kendala anggaran dan kapasitas sumber daya manusia sehingga
pelaksanaanya berjalan pada tahun 2010.
Secara historis gagasan inisiatif border pass secara resmi diwacanakan
dalam pertemuan ke-3 antara Pemerintah negara Timor Leste dan Pemerintah
Negara Indonesia yang mengusung tema, “Persetujuan Tentang Pelintas Batas
Tradisional dan Pengaturan Pasar Bersama”. Dalam pertemuan tersebut telah
disepakati, sebuah usulan agar kedua negara melakukan perundingan pada
pertemuan Joint Ministerial Commision pada tanggal 8 Oktober 2002 di Jakarta.
Pertemuan Joint Ministerial Commision di Jakarta tersebut kemudian,
ditindaklanjuti oleh pertemuan-pertemuan berikutnya. Dalam setiap kali
pertemuan yang diselenggarakan fokus agenda adalah mendorong kesepakatan di
tingkat kedua negara untuk segera mendeklarasikan bentuk kerjasama perbatasan
tersebut menjadi sebuah program.
121
Pemerintah Timor Leste berinisiatif melakukan kerjasama perbatasan
dengan Negara Republik Indonesia didasarkan pada pemikiran bahwa
pemberlakuan Pass Lintas Batas diharapkan dapat mendorong kerjasama ekonomi
dan people-to-people contact antara kedua negara serta mampu memfasilitasi
upaya realisasi pasar tradisional di perbatasan dan pengembangan Zona
Damai/Persahabatan. Inisiatif ini disambut baik oleh Pemerintah Indonesia yang
juga memiliki banyak kepentingan di wilayah perbatasan Timor Leste dan
Republik Indonesia tersebut. Pejabat senior kedua negara segera membahas
berbagai masalah teknis yang masih tertunda dan belum terselesaikan oleh kedua
negara.
Bertolak dari persetujuan ini kemudian kedua pemerintahan membentuk
suatu komisi yang bertugas merumuskan agenda setting persoalan perbatasan ini
yang dinamakan JMC (Joint Ministerial Commision). Pembentukan komisi ini
bertujuan mempererat kerjasama antara Pemerintah Timor Leste dan Pemerintah
Indonesia. Forum Joint Ministerial Commision ke-1 yang diselenggarakan di
Jakarta pada tanggal 8 Oktober 2002 membahas beberapa issue bilateral kedua
negara. Forum terdiri atas 4 (empat) Working Group, yaitu:
1. Working Group on Border Issues.
2. Working Group on Legal Matters.
3. Working Group on Investment and Finance.
4. Working Group on Social Education and Culture.
Mengenai kerjasama pengelolaan wilayah perbatasan kedua negara ini di
bidangi oleh Working Group on Border Issues di mana kedua Negara
122
menyepakati isu-isu strategis yang berkaitan dengan perbatasan Timor Leste dan
Indonesia adalah:
1. Kekayaan sumberdaya alam yang ternyata belum mampu dimanfaatkan secara
adil, optimal dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
terutama mereka yang menetap di kawasan perbatasan.
2. Dari aspek infrastruktur, sebagian besar wilayah perbatasan ternyata belum
memiliki sarana dan prasarana wilayah yang memadai, sehingga
mengakibatkan keterisolasian wilayah dan tidak berkembangnya kegiatan
ekonomi, serta potensi terjadinya disintegrasi.
3. Pengaturan di perbatasan harus memungkinkan warna negara Timor Leste
maupun Republik Indonesia masing-masing melanjutkan hubungan sosial dan
kekeluargaan yang telah terjalin.
Berdasarkan isu-isu strategis di atas, kemudian dilakukan agenda setting,
di mana masalah-masalah yang melingkupi pengelolaan wilayah perbatasan antara
Timor Leste dan Indonesia ini menjadi masalah kebijakan. Issues masalah
kebijakan tersebut kemudian masuk dalam agenda pemerintah. Agenda
pemerintah merupakan sejumlah daftar masalah di mana para pejabat publik
menaruh perhatian yang serius pada waktu tertentu.
Adapun agenda yang disetting oleh Working Group on Border Issues
selama kurang lebih dua tahun pada forum Join Ministerial Commision yang
dibentuk oleh kedua negara dalam menyelesaikan permasalahan perbatasan adalah
sebagai berikut:
123
1. Penetapan batas negara merupakan suatu kebijakan untuk memperjelas
wilayah pemerintahan suatu negara, selain itu batas negara yang jelas akan
memudahkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik dari
pemerintah. Batas negara akan memberikan kejelasan batas-batas kewenangan
suatu pemerintahan secara pasti. Pemerintah dapat mengalami kegamangan
untuk melaksakan urusan-urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya
pada wilayah yang masih kabur batasnya. Langkah antisipatif dari negara
untuk tidak melaksanakan urusannya terlebih dahulu demi tidak melampaui
kewenangan akan membuat wilayah tertentu menjadi telantar, sedangkan
langkah agresif untuk tetap memperhatikan wilayah-wilayah yang diklaim
negara lain dapat menimbulkan masalah benturan dengan negara lain.
2. Ketidakjelasan batas negara dapat menimbulkan dampak negatif yang lebih
luas lagi dari sekedar potensi konflik antar negara, karena potensi strategis dan
ekonomis suatu bagian wilayah seperti dampak pada kehidupan sosial dan
penyelenggaraan administrasi pemerintahan bahkan dapat menimbulkan
dampak politis khususnya di wilayah perbatasan. Oleh karena itu, dalam
penyelenggaraan administrasi pemerintahan, penegasan batas negara menjadi
penting untuk dilaksanakan.
3. Penetapan batas negara secara fisik dan pasti di lapangan bukan merupakan
suatu hal yang mudah, meskipun penyelenggaraan administrasi pemerintahan
telah berjalan dan berkembang dan batas-batas yuridis telah ditetapkan dengan
undang-undang. Pada kenyataannya menentukan titik-titik batas fisik dengan
mengacu pada undang-undang itu sendiri sering menimbulkan permasalahan
124
antara kedua negara yang bersangkutan karena masing-masing pihak tidak
dengan mudah untuk sepakat begitu saja mengenai letak titik-titik batas fisik
yang ditentukan. Batas negara yang tidak jelas mengakibatkan berbagai
sengketa. Apalagi jika terkait sumber daya alam yang ada di masing-masing
negara.
Berdasarkan masalah yang diatas Pemerintah Republik Demokratik Timor
Leste dan Republik Indonesia perlu serius untuk menyelesaikan masalah
kerjasama perbatasan antara kedua negara ini. Serangkaian pertemuan terus
dilaksanakan, terhitung dalam kurun waktu tahun 2003 - 2006 telah dilakukan 23
kali pertemuan yang membahas masalah perbatasan ini. Lebih jauh Duta Besar
Republik Indonesia untuk Timor-Leste, Eddy Setiabudhi, menyatakan:
“Pemerintah Indonesia secara terus menerus mengusahakan agar tercipta
kerjasama pengelolaan daerah perbatasan yang baik dengan Negara Timor
Leste. Para pejabat senior Indonesia telah melakukan 23 kali pertemuan
dengan para pejabat senior Timor Leste untuk menyelesaikan masalah
perbatasan ini. Diakui memang belum adanya kesepakatan bentuk
kerjasama yang diinginkan, hal ini membuktikan bahwa masalah
perbatasan Negara Indonesia dan Timor Leste merupakan masalah yang
sangat kompleks”.
Mengingat bahwa walaupun proses penentuan garis batas belum secara
keseluruhan akan tetapi bagaimanapun masyarakat di perbatasan kedua negara
tetap melakukan interaksi sosial dan transaksi pasar maka pemerintah kedua
negara perlu merumuskan sebuah kebijakan yang dapat memberikan kepastian
hukum dan mengurangi konflik yang terjadi diantara kedua negara secara
signifikan.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, Duta Besar Republik Indonesia untuk
Timor-Leste, Eddy Setiabudhi, menyatakan:
125
“Pemerintah Republik Indonesia dan Timor Leste perlu menetapkan
kebijakan kerjasama pada pengelolaan perbatasan dari kedua pemerintah
dengan maksud untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat di
perbatasan. Di dalam pelaksanan kebijakan bisa saja terjadi berbagai
dampak yang sesuai dengan harapan yang dirumuskan karena belum ada
badan khusus yang berwenang untuk menangani menajemen perbatasan
kedua negara. Dampak daripada kebijakan ini tentu dirasakan oleh segenap
masyarakat perbatasan yang bisa mengakses pada kebijakan tersebut dan
perlu direvisi pada evaluasi perkembangan nantinya sesuai dengan feed
back atau monitoring komisi join bersama kedua negara.”
Tujuan yang diharapkan Pemerintah Indonesia dengan diadakannya
kerjasama pengelolaan wilayah perbatasan ini adalah agar hubungan kedua negara
semakin erat dalam menjaga perdamaian, sebagaimana dijelaskan oleh Camat
Tasifeto Timur Kabupaten Belu Propinsi NTT bapak Patirsisus Mau yang
menyatakan bahwa:
“Terjalinya hubungan yang baik ini menjadikan kebijakan kerjasama
perbatasan cukup efektif dalam memecakan permasalahan sarana lintas
batas yang menghubungkan kedua belah pihak. Dampaknya hubungan
kedua belah pihak semain erat dan menimbulkan rasa persaudaraan yang
erat karena masyarakat perbatasan kedua negara ini masih memiliki
hubungan darah dan sistem adat istiadat dalam kehidupan sosial budaya
dan ekonomi yang sama. Selain itu akan timbul satu pengertian bahwa
setiap penduduk bisa saling menghargai dan tidak membeda-bedakan
dalam berinteraksi.”
Bertolak dari fenomena di atas, kemudian Working Group on Border
Issues yang dibentuk bersama antara Pemerintah Timor leste dan Pemerintah
Indonesia secara intensif berusaha menemukan akar permasalahan tidak
diterimanya kebijakan perbatasan yang telah dibuat oleh masyarakat. Hasil
temuan Working Group on Border Issues tentang masalah ini adalah:
1. Kelompok dan kepentingan yang memiliki akses dalam pembuatan kebijakan.
126
Tidak terimanya masyarakat dengan kebijakan tersebut disebabkan
karena adanya pengaruh dari beberapa kelompok yang memiliki kepentingan
tersendiri terhadap batas wilayah negara tersebut, yaitu adanya kepentingan
masyarakat adat yang memiliki lahan tanah ulayat yang mencakup wilayah
Timor Leste dan Indonesia.
2. Proses pembuatan kebijakan kurang rinci, terbuka, dan memenuhi prosedur.
Proses Pembuatan kebijakan juga harus terbuka dalam artian setiap
masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya mengenai persoalan yang terjadi
dan juga menyampaikan harapan-harapan yang diinginkan dengan adanya
sebuah kebijakan. Selain itu proses pembuatan kebijakan juga harus melihat
persoalan dari berbagai sudut pandang. Jadi tidak hanya dari salah satu pihak
saja, tetapi harus mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang berkaitan
dengan permasalahan yang terjadi. Sebab bila kita melepaskan hal-hal
terpenting dari proses pembuatan kebijakan publik, maka jelas kebijakan
publik yang dihasilkan itu akan miskin aspek lapangannya.
Sebuah produk kebijakan publik yang miskin aspek lapangannya itu
jelas akan menemui banyak persoalan pada tahap penerapan berikutnya.
Proses pembuatan kebijakan mengenai penetapan batas negara Timor Leste
dengan Indonesia tidak terbuka, dalam proses pembuatan kebijakan, pihak dari
masyarakat tidak diikutsertakan dalam memberikan informasi mengenai batas
negara yang akan ditetapkan, selain itu tidak adanya sosialisasi mengenai
adanya kebijakan tapal batas menyebabkan masyarakat tidak mengetahui
batas-batas yang telah ditetapkan sehingga pada saat akan diadakannya
127
program bantuan pembangunan, masyarakat tidak dapat melanjutkan program
tersebut karena lahan yang akan dijadikan area pembangunan bukan termasuk
ke dalam wilayah negaranya.
3. Sumber daya yang menjadi input kebijakan kurang cukup memadai untuk
mencapai tujuan.
Persyaratan input sumberdaya merupakan keharusan dalam proses
perumusan kebijakan, tetapi hal itu tidak menjamin suatu kebijakan akan
dilaksanakan dengan baik. Input sumberdaya dapat digunakan secara optimum
jika dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan terjadi
interaksi positif dan dinamis antara pengambil kebijakan, pelaksanaan
kebijakan dan pengguna kebijakan (masyarakat) dalam suasana dan
lingkungan yang kondusif.
Input sumberdaya menjadi sangat penting dalam sebuah kebijakan,
karena input sumberdaya yang akan dikelola menjadi sebuah kebijakan untuk
masyarakat, input kebijakan yang dimaksud di sini terdiri dari data-data dan
informasi mengenai batas wilayah antara Timor Leste dengan Indonesia.
Sumberdaya manusia yang ditugaskan untuk mengumpulkan informasi dan
data-data haruslah orang-orang yang berkompeten dan memiliki pengetahun
tentang penetapan batas wilayah negara sehingga informasi yang dikumpulkan
di lapangan data berguna untuk menghasilkan sebuah kebijakan yang
bermanfaat bagi masyarakat dari kedua belah pihak.
Pentingnya sumberdaya yang menjadi input dari kebijakan disebabkan
karena informasi yang berkenan dengan data-data yang ada untuk menentukan
batas wilayah negara menjadi masukan yang sangat penting guna mencapai
128
kesepakatan untuk menentukan batas negara yang akan ditetapkan. Apabila
sumberdaya yang ada bukanlah orang-orang yang mengetahui pokok
permasalahan dalam penentuan batas negara, maka kata sepakat tidak akan
tercapai sehingga masalah batas negara tersebut akan terus menerus tidak
dapat diselesaikan.
4. Standar perumusan yang kurang baik menurut kebijakan.
Kebijakan yang telah dibuat pemerintah mengenai penetapan batas
negara antara Timor Leste dengan Indonesia bertujuan untuk menyelesaikan
persoalan yang terjadi diantara kedua negara tersebut, apabila kebijakan dapat
dilaksanakan dengan baik, maka persoalan tersebut dapat terselesaikan.
Sebuah kebijakan dapat dikatakan berhasil apabila perumusan dari kebijakan
dapat dijalankan dengan baik dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat,
kebijakan yang telah dibuat harus diimplementasikan dan hasilnya sedapat
mungkin sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan dan
sesuai dengan tujuan yang ada di dalam kebijakan tersebut.
Untuk memperlancar perumusan kebijakan perlu dilakukan sosialisasi
kebijakan dengan baik. Syarat pengelolaan sosialisai kebijakan ada empat,
yakni: (a) adanya respek anggota masyarakat terhadap otoritas pemerintah
untuk menjelaskan perlunya secara moral mematuhi undang-undang yang
dibuat oleh pihak berwenang; (b) adanya kesadaran untuk menerima
kebijakan. Kesadaran dan kemauan menerima dan melaksanakan kebijakan
terwujud manakala kebijakan dianggap logis; (c) keyakinan bahwa kebijakan
dibuat secara sah; (d) awalnya suatu kebijakan dianggap kontroversial, namun
dengan berjalannya waktu maka kebijakan tersebut dianggap sebagai sesuatu
yang wajar.
129
5. Kelompok sasaran kurang memperoleh pelayanan dan barang seperti yang
didesain dalam kebijakan.
Akibat dari adanya konflik batas negara tersebut, pelayanan kepada
masyarakat menjadi terganggu, karena pada daerah yang bersempadan
tersebut masyarakatnya sulit untuk mendapatkan pelayanan mulai dari tingkat
desa sampai dengan tingkat kabupaten karena ketidakjelasan wilayah
administratifnya, selain itu pembangunan di wilayah tersebut juga menjadi
terganggu karena tidak ada wilayah manapun yang akan bertanggung jawab
terhadap daerah tersebut dikarenakan ketidakjelasan batas antar negara.
6. Kebijakan kurang memberikan dampak kepada kelompok sasaran.
Tujuan dari sebuah kebijakan adalah untuk memenuhi aspirasi dari
masyarakat dan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di dalam
masyarakat. perumusan yang dilakukan sesuai dengan tujuan dari kebijakan
tersebut sehingga meghasilkan dampak yang positif di dalam masyarakat.
Dengan adanya kebijakan mengenai batas negara diharapkan tidak lagi terjadi
konflik yang dapat merugikan masyarakat itu sendiri. Selain itu dengan
adanya batas negara yang jelas masyarakat bisa mendapatkan kejelasan
mengenai lahan yang akan mereka olah. Kebijakan memberikan dampak yang
positif bagi masyarakat kedua negara, karena setelah ditetapkannya batas
Timor Leste dengan Indonesia, masyarakat memiliki kejelasan mengenai
lahan yang akan mereka olah.
Berkaitan dengan temuan Working Group on Border Issues di atas,
Inspector Chefe Ricardo Moniz Pade (Kepala Divisi Keimigrasian PNTL)
memberikan keterangan bahwa:
130
“Perumusan kebijakan penetapan batas dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu, respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan
pemerintah, adanya kesadaran untuk menerima kebijakan, adanya sanksi
hukum, adanya kepentingan publik dan adanya kepentingan pribadi.
Apabila faktor tersebut tidak dapat ditanggulangi maka kebijakan tidak
akan dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Bertolak dari dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan
penetapan batas negara antara Timor Leste dengan Republik Indonesia tidak dapat
dijalankan. Hal ini disebabkan karena kebijakan tidak berjalan sesuai dengan
tujuan yang diinginkan. Konflik antar masyarakat di perbatasan masih sering
terjadi dikarenakan tidak jelasnya batas negara secara hukum. Selain itu
penggalian potensi sumberdaya dan pembagunan tidak dapat dilaksanakan, tidak
berjalannya kebijakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan disebabkan oleh
berbagai faktor. Salah satunya adalah tidak adanya respek masyarakat terhadap
kebijakan yang disebabkan karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh
pemerintah.
Sehubungan dengan itu, upaya-upaya yang disarankan untuk dilakukan
adalah sebagai berikut:
1. Menuntaskan penyelesaian masalah penetapan garis perbatasan dan masalah-
masalah krusial lainnya yang sering terjadi di kawasan perbatasan darat seperti
para pelintas batas tradisional dari kedua negara.
2. Mengubah paradigma dan pandangan yang selama ini memandang dan
memperlakukan wilayah perbatasan sebagai daerah belakang (periphery
areas) menjadi daerah depan (frontier areas). Dengan paradigma baru tersebut
diharapkan daerah perbatasan mendapat kesempatan/prioritas dalam
pembangunan dan pembinaan khusus di segala bidang.
131
3. Mengembangkan produk hukum, peraturan dan perundang-undangan yang
mengenai problematika daerah perbatasan serta perjanjian perbatasan antara
Timor Leste dengan Republik Indonesia dalam menangani kejahatan lintas
negara (transborder crimes) seperti smugling (penyelundupan), human
trafficking dan terrorism.
4. Pelibatan berbagai pihak (stokeholders) dari kalangan pemerintah dan
masyarakat guna membangun kebersamaan dan kesatuan dalam menghadapi
segala bentuk ancaman dan gangguan keamanan dan kejahatan bersenjata
maupun non bersenjata. Kegiatannya dapat dilakukan dalam bentuk
penyuluhan-penyuluhan di bidang hukum, keamanan, ketertiban dan
ketahanan masyarakat.
Melalui pembinaan masyarakat perbatasan yang terintegrasi dalam satu
komunitas warga perbatasan, diharapkan dapat mempermudah pemberdayaan
masyarakat dalam bidang ekonomi, guna meningkatkan taraf kesejahteraan
mereka. Dengan semakin baiknya tingkat kesejahteraan, diharapkan kesadaran
idiologi, politik, pendidikan, hukum dan lain-lain yang menyangkut
kewarganegaraan yang baik dapat dibangun, dibina dan dikembangkan. Sejalan
dengan itu akan mempermudah proses pemberdayaan masyarakat dalam bidang-
bidang yang lain sehingga karenanya akan terjadi akselerasi pembangunan di
kawasan perbatasan kedua negara. Sehingga harapan atas masyarakat perbatasan
yang sejahtera dan damai akan segera terwujud.
Berikut ini, peneliti membuat gambaran umum tentang perumusan agenda
setting mengenai permasalahan perbatasan negara antara Republik Demokratik
Timor Leste dan Republik Indonesia pada gambar berikut :
132
Gambar 4.4
Perumusan Agenda Setting Masalah Perbatasan
Timor Leste dan Republik Indonesia
Masalah Formal Kebijakan Publik Tujuan Kebijakan Publik
Kurangnya akses
masyarakat dalam
perumusan kebijakan
Penguatan partisipasi
masyarakat dalam
pembuatan kebijakan
Meningkatnya keterlibatan
masyarakat dalam perumusan
kebijakan publik
Lemahnya kapasitas SDM
masyarakat perbatasan
Peningkatan kapasitas
SDM masyarakat
perbatasan
Meningkatnya kapasitas SDM
baik dalam hal pengetahuan
maupun keterampilan
Sering terjadinya pelintas
batas tradisional yang
disebabkan aspek sosial
dan budaya masyarakat
Sosialisasi yang intensif
dan keberlanjutan
kepada masyarakat
tentang batas wilayah
Meningkatnya kesadaran
masyarakat perbatasan
PERAMALAN KEBIJAKAN PUBLIK
Ramalan Masa Depan Kebijakan Publik Dampak Kebijakan
Menciptakan masyarakat yang mampu
memberikan masukan terhadap kebijakan
perbatasan wilayah negara.
Kebijakan yang dihasilkan dapat diterima
oleh masyarakat
Kemampuan SDM relatif meningkat seiring
meningkatnya program pengembangan
Pada jangka panjang akan memberikan efek
meningkatkan produktivitas masyarakat
Kepatuhan masyarakat sekitar perbatasan
mengikuti peraturan lintas batas negara
Terbina keamanan dan kedamaian di
wilayah perbatasan
Sumber : Gambaran Umum Peneliti
Sebagaimana diketahui bahwa agenda setting merupakan sebuah proses
yang mana melihat dan mengamati isu yang berkembang di publik, yang dari
agenda setting tersebut muncul berbagai permasalahan yang nantinya dibutuhkan
sebuah perumusan sebuah kebijakan. Dalam proses inilah, bagaimana pemerintah
memandang masalah publik dengan agenda publik dipadukan. Jika sebuah isu
bisa dianggap sebagai suatu masalah publik dan menjadi prioritas dalam agenda
publik, maka bisa dipastikan isu tersebut mendapat perhatian lebih dalam
pembuatan kebijakan.
133
Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan diperoleh keterangan
bahwa dari berbagai isu yang ada tentang kebijakan border pass antara Republik
Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia yang kebanyakan berasal dari
kelompok kepentingan, dibahas dalam sebuah pertemuan para kelompok lembaga
pemerintahan untuk mengangkat satu isu yang memang diharuskan
dikeluarkannya sebuah kebijakan. Dalam agenda setting mengenai pengelolaan
wilayah perbatasan kedua negara telah ditentukan suatu isu publik yang diangkat
dalam agenda pemerintah yaitu pengelolaan bersama wilayah perbatasan Republik
Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia.
Penentuan isu publik tentang pengelolaan bersama wilayah perbatasan
Timor Leste dan Republik Indonesia ini dapat dilihat dari hasil wawancara dengan
Direktur untuk Direksi Perbatasan pada Kementerian Luar Negeri Timor Leste
sebagai berikut.
“Ada 3 (tiga) opsi yang dihasilkan dalam perundingan pada forum
Working Group on Border Issues antara Pemerintah Timor Leste dan
Pemerintah Indonesia ini. Pertama, pengelolaan bersama berupa kebijakan
pembangunan bersama terutama pengaturan kelembagaan dan
kewenangan pengelolaan bersama. Kedua, upaya penegakan hukum
bersama di wilayah perbatasan. Ketiga, memperkuat kerjasama keamanan
di wilayah perbatasan. Setelah melakukan perundingan yang cukup, maka
kedua belah pihak memilih opsi pengelolaan bersama berupa kebijakan
pembangunan bersama wilayah perbatasan.”
Winarno (2004) menjelaskan bahwa titik perhatian dalam penentuan
kebijakan publik (agenda setting) harus berorientasi pada maksud atau tujuan dan
bukan pada perilaku yang serampangan. Kebijakan publik secara luas dalam
sistem politik modern bukan suatu yang terjadi begitu saja melainkan
direncanakan oleh aktor yang terlibat dalam sistem politik. Berdasarkan pendapat
134
dari Winarno ini, maka dapat dijelaskan bahwa terdapat beberapa aspek dalam
kebijakan publik bahwa kebijakan publik merupakan suatu tindakan, keputusan-
keputusan yang memiliki tujuan dan maksud, serta memiliki akibat-akibat yang
dilakukan oleh seorang, sekelompok aktor atau pemerintah dalam sebuah
lingkungan tertentu dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan menuju
terciptanya kehidupan sosial yang harmonis.
Agenda setting yang dihasilkan mengenai border pass antara Republik
Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia mulai tertuju pada peningkatan
kemampuan masyarakat sekitar perbatasan dalam memberdayakan kehidupan
ekonomi, sosial dan budaya. Agenda setting yang dihasilkan telah memperhatikan
kepentingan masyarakat, supaya masyarakat sekitar wilayah perbatasan selalu
merasa aman dalam menjalankan berbagai aktivitasnya. Data ini diperkuat oleh
hasil wawancara peneliti dengan Direktur untuk Direksi Perbatasan pada
Kementerian Luar Negeri Timor Leste yang menyatakan bahwa:
“Pendekatan kemanusiaan lebih efektif daripada pendekatan hukum dan
militer. Inti pokok permasalahan yang ada sebenarnya adalah kurangnya
pemerintah kedua negara memperhatikan masyarakat sekitar wilayah
perbatasan kedua negara. Selama ini pemerintah kedua negara hanya
memikirkan aspek keamanan dan kedaulatan negara saja. Sekarang kita
bersepakat untuk mengadakan pendekatan lain, seperti pendekatan
kemanusiaan.”
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam
realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai
apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik
dipertarungkan. Isu pengelolaan bersama wilayah perbatasan antara Timor Leste
dan Republik Indonesia berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan
135
mendapatkan prioritas dalam agenda publik, Oleh karena itu isu ini berhak
mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam
agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan
diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering
disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Penyusunan agenda
kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan,
juga keterlibatan stakeholders. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat
urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholders.
4.3.3 Pemilihan Alternatif Kebijakan
Perumusan kebijakan melibatkan proses pengembangan usulan akan
tindakan yang terkait dan dapat diterima (biasa disebut dengan alternatif, proposal
atau pilihan) untuk menangani permasalahan publik. Perumusan kebijakan
menurut Anderson tidak selamanya akan berakhir dengan dikeluarkannya sebagai
sebuah produk peraturan perundang-undangan (Anderson, 2006: 103-109).
Namun, pada umumnya sebuah proposal kebijakan biasanya ditujukan untuk
membawa perubahan mendasar terhadap kebijakan yang ada saat ini. Terkait
permasalahan itu, terdapat sejumlah kriteria yang membantu dalam menentukan
pemilihan terhadap alternatif kebijakan untuk dijadikan sebuah kebijakan,
misalnya kelayakannya, penerimaan secara politis, biaya, manfaat, dan lain
sebagainya (Sidney, 2007: 79). Setelah alternatif diidentifikasi, maka tiba saatnya
untuk memilih alternatif yang paling berpeluang untuk mencapai tujuan dan
sasaran yang ditetapkan sebelumnya.
136
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas
oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tersebut didefinisikan untuk
kemudian dicari solusi yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari
berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan
perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap
perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih
sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
Setelah permasalahan dapat didefinisikan dengan baik dan Working Group
on Border Issues yang bertugas merumuskan kebijakan pengelolaan bersama
wilayah perbatasan pemerintah kedua negara sepakat untuk memasukan masalah-
masalah tersebut dalam agenda kebijakan, maka langkah yang diambil adalah
membuat pemecahan masalah. Di sini Working Group on Border Issues
berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan kebijakan yang dapat diambil
untuk memecahkan permasalahan. Working Group on Border Issues harus
memilih beberapa alternatif kebijakan yang dirumuskan di mana kebijakan
tersebut dapat berjalan efektif dan memiliki daya guna paling maksimal di antara
alternatif-alternatif kebijakan yang dirumuskan.
Dalam menentukan alternatif-alternatif pilihan kebijakan tentang
pengelolaan bersama wilayah perbatasan Republik Demokratik Timor Leste dan
Republik Indonesia ada tiga alternatif kebijakan yang dihasilkan yaitu: Pertama,
membangun instrumen kebijakan bersama yang mengatur lintas batas tradisional
masyarakat sekitar perbatasan. Kedua, penegakkan hukum bersama terhadap
137
pelanggar lintas batas kedua negara. Ketiga, peningkatan kerjasama pertahanan
dan keamanan di wilayah perbatasan kedua negara.
1. Membangun Instrumen Kebijakan Bersama yang Mengatur Lintas
Batas Tradisional Masyarakat Sekitar Perbatasan
Pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan kedua negara
baik di Republik Demokrat Timor Leste maupun di Republik Indonesia, masih
belum dilakukan secara terpadu dengan mengkonsolidasikan seluruh sektor
terkait. Berdasarkan Kajian Working Group on Border Issues antara Pemerintah
Timor Leste dan Pemerintah Indonesia, berbagai isu dan permasalahan
pengelolaan kawasan perbatasan mencakup aspek-aspek yang lebih luas yaitu :
a. Kebijakan Pembangunan
1. Kebijakan yang belum berpihak pada kawasan perbatasan
2. Belum adanya kebijakan dan strategi nasional kedua negara dalam
pengembangan kawasan perbatasan.
b. Ekonomi dan Sosial Budaya
1. Adanya paradigma „kawasan perbatasan sebagai halaman belakang‟.
2. Terjadinya kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga.
3. Sarana dan prasarana masih minim.
4. Tingginya angka kemiskinan dan jumlah keluarga pra-sejahtera.
5. Terisolasinya dan rendahnya aksesibilitas menuju kawasan perbatasan.
6. Rendahnya kualitas SDM.
7. Adanya aktivitas pelintas batas tradisional.
8. Adanya tanah adat/ulayat masyarakat.
c. Pengelolaan Sumber Daya Alam
1. Pemanfaatan potensi Sumber Daya Alam belum optimal.
138
2. Terjadinya eksploitasi pemanfaatan Sumber Daya Alam yang tak
terkendali dan berkelanjutan.
d. Kelembagaan dan Kewenangan Pengelolaan
1. Belum adanya kelembagaan yang mengelola kawasan perbatasan
secara integral dan terpadu.
2. Belum jelasnya kewenangan dalam pengelolaan kawasan perbatasan.
e. Kerjasama Antarnegara
1. Belum optimalnya keterkaitan pengelolaan perbatasan dengan
kerjasama sub regional, maupun regional.
2. Belum optimalnya kerjasama antarnegara dalam penanggulangan
pelanggaran hukum di perbatasan.
f. Pertahanan dan Keamanan
1. Belum menyepakati garis batas dengan negara secara menyeluruh.
2. Terbatasnya jumlah aparat serta sarana dan prasarana.
3. Terjadinya kegiatan-kegiatan ilegal dan pelanggaran hukum.
4. Terbatasnya jumlah sarana dan prasarana (PLB, PPLB dan CQIS).
Pemerintah kedua negara dalam hal ini mempunyai komitmen untuk
memperhatikan daerah perbatasan kedua negara. Masalahnya adalah bagaimana
meneruskan kemauan politik tersebut menjadi kebijakan yang implementatif. Oleh
karena itu, dalam forum Working Group on Border Issues antara Pemerintah
Timor Leste dan Pemerintah Republik Indonesia disepakati suatu pemikiran
bahwa diperlukan kebijakan yang lebih konkrit, terukur dalam hal waktu dan
dana. Kebijakan umum dan strategi yang ditawarkan oleh forum ini adalah:
a. Pemenuhan kewajiban kedua pemerintahan dalam pembinaan kawasan
perbatasan, dengan kebijakan khusus, antara lain penguatan dan kerjasama
kelembagaan nasional dan integrasi antarsektor.
139
b. Peningkatan peran sektor pekerjaan umum dalam mendukung terciptanya
ketahanan nasional di wilayah perbatasan masing-masing negara, dengan
kebijakan-kebijakan khusus penyelenggaraan infrastruktur dasar di
wilayah perbatasan di negara masing-masing.
c. Perlu disusun rencana aksi terpadu per wilayah perbatasan.
Kondisi ini diperkuat dengan wawancara Menteri Luar Negeri Indonesia Bapak
Marty Natalegawa dengan Timor Today Tv saat melakukakan JMM (Join
Ministerial Meeting) di Timor Leste pada tanggal 12 Maret 2013. Beliau
mengatakan bahwa :
“Republik Indonesia dengan Timor Leste sekarang ada chanel atau forum
untuk merilis masalah-masalah yang dihadapi oleh kedua negara dan
kedua negara sudah sepakat untuk menyelesaikan hal-hal yang terjadi di
perbatasan, sebaliknya perbatasan Republik Indonesia dengan Timor Leste
ditandai oleh kondisi yang kondusif, bahkan kebijakan border pass yang
dilaunching akan mempermudah adanya interaksi masyarakat antara kedua
negara di perbatasan dan segala permasalahan yang terjadi di perbatasan
itulah yang diagendakan di forum diskusi Join Ministerial commision for
Bilateral”.
Hal tersebut di atas menawarkan solusi bersama dalam membangun
hubungan yang lebih baik antara orang-orang yang mengatur dan mengamankan
daerah perbatasan. Pemerintah kedua negara sepakat menyusun sistem khusus
bagi pelintas batas tradisional, guna mencegah berulangnya insiden di perbatasan
kedua negara. Berdasarkan kerangka pemikiran inilah kemudian muncul ide
tentang Border Pass. Kedua pemerintah melihat bahwa penerapan sistem border
pass akan mampu menciptakan hubungan yang baik dan harmonis antara orang-
orang yang hidup di sepanjang daerah perbatasan. Dengan border pass maka
warga di perbatasan dapat memenuhi keperluan mereka untuk saling kunjung
keluarga dan sebagainya atau belanja di seberang perbatasan tanpa memerlukan
140
bea cukai. Penerapan sistem border pass adalah satu hal yang akan banyak
membantu orang yang hidup di sepanjang daerah perbatasan, tetapi pemerintah
kedua negara masih membutuhkan waktu untuk menilai efek negatif yang
mungkin terjadi sehingga akan menyebabkan hubungan kedua negara buruk.
2. Penegakan Hukum Terhadap Pelanggar Lintas Batas Kedua Negara
Alternatif kebijakan kedua yang ditawarkan pada forum Working Group on
Border Issues antara Pemerintah Timor Leste dan Pemerintah Indonesia adalah
dalam ranah penegakan hukum. Semakin maraknya penyelundupan yang terjadi
dari Nusa Tenggara Timur ke Timor Leste atau sebaliknya, menunjukkan bahwa
penegakan hukum di wilayah perbatasan sangat lemah. Masih ada benang
merahnya yang harus dicermati dan harus diputuskan mata rantai itu.
Bahan bakar minyak (BBM) dan sembako menjadi produk yang paling
sering diselundupkan. Selain itu, penyelundupan sepeda motor juga semakin
sering terjadi. Tingginya permintaan dan harga jual di Timor Leste menjadi faktor
penyebabnya. Hal tersebut menggambarkan bahwa masih belum melihat adanya
komitmen bersama terhadap penegakan hukum di wilayah perbatasan. Melihat
kenyataan tersebut, hal terpenting yang perlu dilakukan seharusnya di perbatasan
adalah upaya penegakan hukum yang terkoordinasi secara bersama antara
Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia, jika tidak
dilakukan maka hal utama yang dirasakan adalah penegakan hukum secara
sendiri-sendiri berakibat akan menimbulkan konflik di antara kedua negara.
141
3. Peningkatan Kerjasama Pertahanan dan Keamanan di Wilayah
Perbatasan antara Timor Leste dan Indonesia
Alternatif kebijakan ketiga yang ditawarkan pada forum Working Group on
Border Issues antara Pemerintah Timor Leste dan Pemerintah Indonesia adalah
peningkatan kerjasama pertahanan dan keamanan di wilayah perbatasan.
Di sini ditawarkan konsep gelar pasukan perbatasan bersama antar kedua
negara dalam menjaga keamanan wilayah perbatasan. Kesatuan khusus yang
ditawarkan adalah gabungan Angkatan Bersenjata kedua negara.
Kesatuan khusus RDTL – RI dalam melaksanakan tugasnya selain
berpedoman kepada tugas pokok yang sudah diberikan dari Komando Atas, harus
berpedoman pula pada:
a. Kesepakatan Pemerintah kedua negara tentang Koordinat Garis Batas
Negara. Kesepakatan ini telah ditandatangani oleh Menlu RDTL Jose
Ramos Horta dan Menlu RI Hasan Wirayudha pada tanggal 8 April 2005
di Mota‟ain perbatasan RDTL – RI, berisikan tentang koordinat garis batas
negara yang sudah disepakati dan sebagian sudah dibangun patok/tugu di
sepanjang perbatasan.
b. Protap Bersama Tentang Mekanisme Kerja dan Koordinasi antar Instansi
terkait di Perbatasan RDTL - RI, merupakan suatu prosedur tetap yang
dibuat pada bulan Februari 2005, sebagai pedoman instansi terkait di
Kabupaten Belu dan TTU dalam melaksanakan tugas penanganan
permasalahan di perbatasan RDTL - RI, agar terkoordinir dan terpadu serta
tidak menyalahi aturan yang berlaku.
c. Kesepakatan Pemerintah RDTL dan RI tentang Lintas Batas dan Pasar
Tradisional yang ditetapkan dan ditandatangani pada tanggal 23 Juni 2003
oleh Menteri Perdagangan RI, Rini Suwandi, dengan Menteri Luar Negeri
RDTL, Jose Ramos Horta, di Jakarta yang berisikan tentang aturan lintas
142
batas dan Pasar di daerah perbatasan, namun sampai dengan saat ini belum
berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
d. Ketetapan lokal adalah ketetapan hasil pertemuan antara pemerintah dari
kedua negara yang berisikan tentang aturan Temu Kangen (Family
Meeting) dan kesepakatan tentang ketentuan di daerah yang masih
bersengketa (contoh Ketetapan Distrik Oecussi dengan Pemda TTU).
e. Ketetapan-Ketetapan Lain. Kegiatan pertemuan yang dilaksanakan oleh
Kesatuan Khusus RDTL - RI dan jajarannya dengan aparat penjaga
perbatasan, menghasilkan beberapa kesepakatan yang sifatnya teknis di
lapangan dalam penanganan setiap permasalahan yang timbul di
perbatasan.
Pembentukan Kesatuan Khusus RDTL - RI ini diharapakan mampu
memberikan pengaruh positif terhadap stabilitas keamanan kedua negara yang
berdaulat. Keberadaan aparat keamanan di wilayah perbatasan yang tergabung
dalam Kesatuan Khusus RDTL - RI diharapkan dapat menjamin keamanan dalam
menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul dalam rangka memelihara
kedaulatan kedua negara.
Ketiga alternatif kebijakan ini kemudian dibahas secara intensif atau
dipilih yang lebih prospektif sehingga nantinya akan dijadikan kebijakan nasional
kedua negara. Dalam pembahasan pemilihan alternatif kebijakan ini muncul
kerangka dasar pemikiran sebagai berikut:
1. Pengelolaan perbatasan harus menyentuh kepentingan masyarakat.
Dewasa ini pengelolaan perbatasan di kedua negara belum sepenuhnya
menjalankan pengelolaan yang berbasis pada kebutuhan dasar pada
masyarakatnya. Karena masih dominannya pembuatan kebijakan dalam
143
pengelolaan perbatasan yang berbasiskan pada kepentingan pemerintah
sehingga tidak mengikutsertakan kepentingan masyarakat secara langsung.
2. Pengelolaan perbatasan harus memperhatikan aspek sosial budaya masyarakat.
Terkait dengan kenyataan sosial bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan
perbatasan sejatinya masih memiliki kesatuan adat dan budaya, maka faktor
nilai dan norma adat biasanya cenderung lebih kuat dibandingkan norma atau
ikatan nasional seringkali menjadi masalah dalam pengelolaan wilayah
perbatasan karena kesetiaan masyarakat akan lebih terfokus pada ikatan
komunitasnya daripada ikatan nasional. Untuk itu kebijakan yang diambil
harus efektif dalam mengakomodasi kepentingan rakyat dan mengaplikasikan
nilai kearifan serta penguatan pengetahuan lokal.
3. Meminimalisasi pengelolaan perbatasan berbasis pertahanan dan keamanan.
pengembangan kawasan perbatasan Selama ini masih lebih menekankan
kepada aspek pertahanan dan kemanan, sementara ke depan yang dikehendaki
adalah arah yang lebih memberi peran kepada pembangunan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya tanpa melupakan faktor
keamanan. Oleh karena itu, perlu diubah pola pikir dalam penyusunan strategi
perbatasan dari pendekatan pertahanan dan keamanan ke pendekatan yang
bersifat „civil society‟.
Berdasarkan ketiga kerangka dasar pemikiran inilah, forum Working
Group on Border Issues antara Pemerintah Timor Leste dan Pemerintah Indonesia
memilih alternatif kebijakan pertama, yaitu membangun instrumen kebijakan
144
bersama yang mengatur lintas batas tradisional masyarakat sekitar perbatasan.
Instrumen kebijakan bersama yang dibuatnya adalah kebijakan border pass bagi
warga sekitar perbatasan. Prosedur lintas batas di pintu-pintu perbatasan
dibutuhkan agar masing-masing penduduk di wilayah perbatasan lebih mudah
menjalankan keperluan saling berkunjung antarkeluarga, belanja, dan kepentingan
lainnya tanpa harus menggunakan paspor atau visa melainkan hanya dengan kartu
penyeberangan (border pass).
Working Group on Border Issues menyepakati bahwa dalam kaitan dengan
border regime, khususnya border crossing, hal yang sudah disepakati sebelumnya
untuk memudahkan atau memberikan fasilitas kepada rakyat yang tinggal di
sepanjang perbatasan dari kedua pihak untuk bisa memasuki wilayah tetangganya
dengan menggunakan prosedur yang disederhanakan, dengan satu border pass
yang sebetulnya kesepakatan prinsipnya sudah dicapai. Data ini diperkuat dengan
hasil wawancara dengan Ketua Komisi B Parlemen Nasional Timor Leste yang
Menangani Urusan Keamanan dan Kerja sama yang menyatakan bahwa:
“Berdasarkan pengalaman sejarah pendekatan kebijakan militerisme untuk
mengelola wilayah perbatasan terbukti kurang efektif, bahkan cenderung
menimbulkan konflik. Kedua negara harus melakukan pendekatan lain
yaitu, “soft-border security regime” pendekatan keamanan yang lunak dan
berbasis kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, kedua negara sepakat
untuk melahirkan suatu kebijakan bersama dalam pengelolaan wilayah
perbatasan yang mampu mensejahterakan rakyat wilayah perbatasan
melalui kebijakan border pass.”
Berdasarkan hasil wawancara di atas, penulis dapat menjelaskan bahwa
kedua pemerintah sepakat melakukan kerjasama dengan berbasiskan pengutamaan
kepentingan masyarakat dalam hal pengelolaan wilayah perbatasan. Namun,
kebijakan ini perlu diatur lebih lanjut dengan peraturan pelaksana yang dapat
145
mempermudah dalam implementasinya. Pemilihan alternatif kebijakan tentang
border pass ini bertujuan untuk meminimalisasi konflik dan memajukan
kesejahteraan masyarakat. Dalam kerangka menunjang keberhasilan kebijakan
border pass diperlukan pengembangan perekonomian yang menunjang kehidupan
di daerah perbatasan didasarkan pada keunggulan komparatif.
4.3.4 Tahap Penetapan Kebijakan
Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan, untuk
diambil sebagai cara memecahkan masalah kebijakan, maka tahap paling akhir
dalam pembuat kebijakan adalah penetapan kebijakan, sehingga mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat. Proses pembuatan kebijakan tidak dapat
dipisahkan dengan proses penetapan atau pengesahan kebijakan. Menurut Islamy
(2003:100) proses pengesahan kebijakan adalah proses penyesuaian dan
penerimaan secara bersama terhadap prinsip- prinsip yang diakui dan ukuran-
ukuran yang diterima.
Dengan telah disepakati prinsip-prinsip pemberlakuan border pass maka
diperlukan penetapan kebijakan, agar border pass ini dapat dijalankan secara
efektif. Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan hasil dari
keputusan bersama dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam
pembuatan kebijakan tersebut, sehingga dapat ditetapkan sebuah kebijakan. Selain
itu, penetapan kebijakan dilakukan agar sebuah kebijakan mempunyai kekuatan
hukum yang dapat mengikat dan ditaati oleh siapa saja.
146
Prosedur dan mekanisme kerjasama pengelolaan wilayah perbatasan melalui
mekanisme border pass ini diatur berdasarkan tahapan kerjasama yang meliputi
penjajakan kerjasama, pengesahan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi.
1. Penjajakan Kerjasama
Kegiatan awal dari suatu kerjasama pengelolaan wilayah perbatasan
melalui mekanisme border pass antara kedua negara ini adalah melakukan
penjajakan terhadap mitra kerjasama yang didasarkan pada hasil kegiatan
forum Working Group on Border Issues sebelumnya. Rencana kerjasama yang
dinilai layak untuk dilaksanakan, selanjutnya dibahas oleh pejabat
terkait/berwenang dan ditindaklanjuti oleh pihak-pihak pelaksana teknis.
2. Pengesahan
Tahap pengesahan merupakan rangkaian kegiatan yang diawali dengan
penyusunan naskah MoU dan/atau perjanjian kerjasama sampai dengan
terlaksananya penandatanganan naskah MoU dan/atau perjanjian kerjasama.
Berikut ini teknis pelaksanaan tahap pembuatan naskah MoU tentang
kesepakatan Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste dan Pemerintah
Republik Indonesia dalam pelaksanaan border pass di wilayah perbatasan :
a. Substansi MoU dibicarakan terlebih dahulu pejabat terkait masing-masing
negara (Diwakili oleh Menteri Luar Negeri kedua negara).
b. Draf MoU selanjutnya dikirimkan ke Kantor Kementerian Hukum untuk
dipelajari aspek hukumnya.
c. Masukan atau hasil koreksi dari Kementerian Hukum dikirimkan kembali
ke Presiden untuk dikomunikasikan ulang dengan pihak mitra.
d. Jika draf sudah disepakati bersama oleh pejabat terkait masing-masing
negara, selanjutnya dikonsultasikan ke pimpinan parlemen, untuk
dipelajari ulang perihal butir-butir/isi draf MoU :
1. Jika ada koreksi, segera diperbaiki oleh Kementerian Hukum.
147
2. Jika disetujui, dicetak naskah MoU dan selanjutnya diajukan ke
parlemen pimpinan parlemen untuk persetujuan/pengesahan.
e. Naskah MoU yang sudah diparaf oleh pimpinan parlemen, selanjutnya
disampaikan ke Presiden.
f. MoU yang sudah mendapatkan persetujuan, dibuat rangkap.
3. Pelaksanaan
Pelaksanaan kerjasama merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan
setelah penandatanganan naskah MoU. Agar pelaksanaan kerjasama bisa
berjalan sesuai kesepakatan bersama, maka dipandang perlu ditunjuk unit
pelaksana kerjasama yang bertugas untuk menyusun petunjuk pelaksanaan
kerjasama dan/atau menyusun petunjuk teknis.
4. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dilakukan untuk menjamin agar pelaksanaan sistem border
pass di wilayah perbatasan kedua negara dapat terlaksana dengan baik dan
mencapai tujuan yang diharapkan.
Setelah melalui beberapa tahapan-tahapan diatas maka yang terahir dalam
tingkatan ini adalah pemerintah Republik Demokratik Timor Leste dan Republik
Indonesia menetapkan kebijakan tersebut menjadi MoU yang memiliki kekuatan
hukum dan berbentuk seperti undang - undang, yurisprudensi, keputusan presiden,
keputusan-keputusan menteri dan lain sebagainya yang bersifat mengikat.
Penyusunan persetujuan MoU adalah sebagai penetapan alternatif kebijakan dasar
kerjasama antara kedua negara yang didasarkan pada hasil pemufakatan para
pihak dalam forum Working Group on Border Issues, baik secara tertulis maupun
secara lisan.