bab ii tinjauan pustaka 2.1 perumusan...

43
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakan Pembuatan kebijakan publik merupakan fungsi penting dari sebuah pemerintahan. Karenanya, kemampuan dan pemahaman yang memadai dari pembuat kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan menjadi sangat penting bagi terwujudnya kebijakan publik yang cepat, tepat dan memadai. Kemampuan dan pemahaman terhadap prosedur pembuatan kebijakan tersebut juga harus diimbangi dengan pemahaman dari pembuat kebijakan publik terhadap kewenangan yang dimilikinya. Hal ini terkait dengan kenyataan sebagaimana diungkapkan oleh Gerston (2002, 14) bahwa kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan pada semua tingkatan pemerintahan, karenanya tanggung jawab para pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya. 1 Selain itu menurut Gerston, hal yang penting lainnya adalah bagaimana memberikan pemahaman mengenai akuntabilitas dari semua pembuat kebijakan kepada masyarakat yang dilayaninya (Gerston, 2002, 14). Dengan pemahaman yang seperti ini, akan dapat memastikan pembuatan kebijakan publik yang mempertimbangkan berbagai aspek dan dimensi yang terkait, sehingga pada akhirnya sebuah kebijakan publik dapat dipertanggung jawabkan secara memadai. 1 Larry N. Gerston, Public Policy Making in a Democratic Society: A Guide to Civic Engagement, Armonk: M. E. Sharpe2002 hal 14

Upload: ngocong

Post on 20-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perumusan Kebijakan

Pembuatan kebijakan publik merupakan fungsi penting dari sebuah

pemerintahan. Karenanya, kemampuan dan pemahaman yang memadai dari

pembuat kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan menjadi sangat penting

bagi terwujudnya kebijakan publik yang cepat, tepat dan memadai. Kemampuan

dan pemahaman terhadap prosedur pembuatan kebijakan tersebut juga harus

diimbangi dengan pemahaman dari pembuat kebijakan publik terhadap

kewenangan yang dimilikinya. Hal ini terkait dengan kenyataan sebagaimana

diungkapkan oleh Gerston (2002, 14) bahwa kebijakan publik dibuat dan

dilaksanakan pada semua tingkatan pemerintahan, karenanya tanggung jawab para

pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan

kewenangannya.1

Selain itu menurut Gerston, hal yang penting lainnya adalah bagaimana

memberikan pemahaman mengenai akuntabilitas dari semua pembuat kebijakan

kepada masyarakat yang dilayaninya (Gerston, 2002, 14). Dengan pemahaman

yang seperti ini, akan dapat memastikan pembuatan kebijakan publik yang

mempertimbangkan berbagai aspek dan dimensi yang terkait, sehingga pada

akhirnya sebuah kebijakan publik dapat dipertanggung – jawabkan secara

memadai.

1Larry N. Gerston, Public Policy Making in a Democratic Society: A Guide to Civic Engagement,Armonk: M. E. Sharpe2002 hal 14

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

Kebijakan itu sendiri menurut Anderson (2003;2), a policy is defined as a

relatively stable, purposive course of action followed by an actor or set actors in

dealing with a problem or matter of concern. Kebijakan publik menurut Anderson

dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah dalam menyelesaikan masalah

yang ada serta memiliki dampak secara substansial terhadap masyarakat.

1) Kategori Kebijakan

Menyangkut kebijakan publik, Anderson (2003; 5-12) membagi kedalam

empat kategori dari kebijakan publik, yakni: kebijakan substantif dan prosedural;

kebijakan distributif, pengaturan, pengaturan sendiri, dan redistribusi; kebijakan

material dan simbolik; serta kebijakan yang melibatkan barang kolektif atau

barang privat.

- Kategori kebijakan yang pertama adalah Kebijakan substantif dan prosedural.

Kebijakan substantif adalah kebijakan mengenai apa yang ingin dilakukan

oleh pemerintah. Kebijakan substantif mengalokasikan secara langsung

kepada masyarakat keuntungan dan kerugian maupun biaya dan manfaatnya.

Sebaliknya kebijakan prosedural merupakan kebijakan yang berkaitan dengan

bagaimana sesuatu itu akan dilakukan atau siapa yang akan diberi

kewenangan untuk mengambil tindakan.

- Kategori kebijakan yang kedua adalah kategori yang didasarkan atas dampak

dari kebijakan terhadap masyarakat serta hubungan diantara mereka yang

terlibat dalam pembentukan kebijakan. Dalam kategori ini terdapat empat

jenis kebijakan yaitu distributif, pengaturan, pengaturan sendiri dan

redistribusi. Kebijakan distributif adalah kebijakan dalam mengalokasikan

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

pelayanan atau manfaat terhadap segmen tertentu dari masyarakat-individu,

kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

melibatkan penggunaan dana publik untuk membantu kelompok, masyarakat

atau perusahaan tertentu. Kebijakan pengaturan adalah kebijakan yang

memberlakukan larangan terhadap perilaku individu atau kelompok.

Kebijakan pengaturan sendiri adalah kebijakan yang membatasi atau

mengawasi terhadap suatu kelompok yang dilakukan dengan memberikan

kewenangan kepada kelompok tersebut untuk mengatur dirinya sendiri dalam

rangka melindungi atau mempromosikan keperitingan dari anggota

kelompoknya. Kebijakan ini biasanya terkait dengan kelompok profesi

tertentu. Sementara itu, kebijakan redistribusi adalah kebijakan oleh

pemerintah untuk menggeser alokasi kesejahteraan, pendapatan, kepemilikan

ataupun hak diantara berbagai kelompok masyarakat.

- Kategori kebijakan yang ketiga adalah kebijakan yang terdiri dari kebijakan

material dan kebijakan simbolik. Kebijakan material adalah kebijakan yang

menyediakan sumberdaya nyata (tangible) atau kekuasaan substantif kepada

penerima manfaatnya atau dengan memaksakan kerugian nyata pada mereka

yang terkena dampak. Adapun kebijakan simbolik adalah kebijakan yang

tidak memiliki dampak material nyata kepada masyarakat. Kebijakan

simbolik biasanya menyangkut nilai-nilai yang disukai oleh masyarakat.

Contoh kebijakan material adalah kebijakan yang mengatur mengenai upah

minimum, sementara kebijakan simbolik adalah kebijakan yang mengatur

perilaku masyarakat terhadap penghormatan akan nilai-nilai tertentu seperti

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

terhadap lambang-lambang kenegaraan.

- Kategori kebijakan yang terakhir menurut Anderson adalah kebijakan yang

melibatkan penyediaan baik barang-barang kolektif maupun barang-barang

privat. Barang-barang kolektif adalah barang-barang yang harus disediakan

kepada semua orang, sementara barang privat adalah barang-barang yang

dikonsumsi oleh individu tertentu saja.

2) Teori Perumusan Kebijakan

Mengingat peran penting dari kebijakan publik dan dampaknya terhadap

masyarakat, maka para ahli juga menawarkan sejumlah teori yang dapat

digunakan dalam proses pembuatan kebijakan serta kriteria yang dapat digunakan

untuk mempengaruhi pemilihan terhadap suatu kebijakan tertentu. Menurut

Anderson (2006, 121-125), terdapat tiga teori utama yang dapat digunakan dalam

proses pembuatan sebuah kebijakan yakni: teori rasional-komprehensif; teori

inkremental; serta teori mixed scanning.

- The Rational-comprehensive theory (Teori rasional-komprehensif) yaitu teori

yang intinya mengarahkan agar pembuatan sebuah kebijakan publik

dilakukan secara rasional-komprehensif dengan mempelajari permasalahan

dan alternatif kebijakan secara memadai. Adapun menurut Anderson (2003;

121) elemen - elemen dari teori tersebut yaitu :

The rational - comprehensive theory ussualy includes these elements :1. The decision-maker is confronted with a problem that can be separates

from other problems or at least considered meaningfully in comparisonwith them.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

2. The goals, values, or Objectives that guide the decision-maker are knownand can be clarified and ranked according to their importance.

3. The various alternatives for dealing with are examined.4. The consequences (cost and benefits, advantages and disadvantages) that

would follow from selecting each alternative are investigated.5. Each alternatives, and its attendant consequences, is then compared with

the other alternatives.6. The Decision-maker will choose the alternative, and its consequences, that

maximizes attainment of his or her goals, values or objectives.

Dalam model ini membuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu

kemudian masalah tersebut dipisahkan dengan masalah - masalah yang lain

karena masalah tersebut lebih bermakna dibanding masalah yang lain. Kemudian

tujuan - tujuan, nilai - nilai atau sasaran - sasaran yang mengarahkan pembuat

keputusan dijelaskan dan disusun menurut kepentingannya. Langkah selanjutnya

dilakukan pengujian atau penyelidikan terhadap alternatif - alternatif yang akan

dijadikan kebijakan tersebut termasuk juga konsekuensi - konsekuensi baik itu

biaya atau manfaat yang mungkin akan timbul dari setiap pilihan alternatif

tersebut diteliti. Setiap alternatif dan konsekuensi yang mungkin akan muncul

dapat dibandingkan dengan alternatif - alternatif lain, pembuat keputusan

memiliki alternatif serta konsekuensi yang memaksimalkan pencapaian tujuan,

nilai atau sasaran yang hendak dicapai.

Namun beberapa ahli dibidang kebijakan Publik mengajukan beberapa

keberatan dan kritik tehadap model ini, sebagaimana dinyatakan Winarno merujuk

beberapa pendapat ahli diantaranya Charles E Lindblom, David Braybrook, dan

Ira Sharkansky (2012, 107), yang menyatakan : "masalah - masalah dan persoalan

- persoalan yang dikemukakan oleh para pengkritik model rasional komprehensif

ini boleh dikatakan beragam sehingga masing - masing kritik perlu dikaji secara

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

terpisah dan memiliki sejumlah keterbatasan pada pembuat keputusan yang

mencoba memberikan "satu alternatif terbaik" keputusan rasional. Kritik - kritik

ini didasarkan pada ketidakmampuan decision makers untuk benar - benar

mengambil keputusan sesuai dengan konsep model rasional.

- The Incremental Theory (Teori Inkremental) adalah teori yang intinya tidak

melakukan perbandingan terhadap permasalahan dan alternatif serta lebih

memberikan deskripsi mengenai cara yang dapat diambil dalam membuat

kebijakan. Menurut Anderson (2003; 123) merujuk pada Charles Lindblom

(1979) teori inkremental meliputi beberapa hal yaitu :

Incrementalism (Lindblom refers ti it as "disjointed incrementalism") can besummarized in the following manner :1. The selection of goals or objectives and the empirical analysis of the

action neede to attain them are closely interwined with, rather thandistinct from, one another.

2. The decision:maker consider only some of the alternatives for dealing witha problem, which will differ only incrementally (i.e., marginally) fromexisting policies.

3. For each alternative, only a limited number of "important" consequencesare evaluated.

4. The problem confronting the decision- maker is continually redefined.Incrementalism allows for countless ends-means and means-enssadjusments that helpmake the problem more manageable.

5. There is no single decision or "right" solution for a problem. The test of agood decision is that various analysts find themselves directly agreeing onit, without agreeing that the decision is the most appropriate or optimummeans to anagreed objective.

6. Incremental decision-making is essentially remedial and is geared more toameliorating present, concrete social imperfections than to promotingfuture social goals.

Teori ini merupakan teori yang lahir dikarenakan beragamnya kritikan

terhadap teori model rasional komprehensif. Teori inkremental (penambahan)

dilakukan melalui beberapa hal yang harus menjadi perhatian yaitu pemilihan -

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

pemilihan tujuan atau sasaran - sasaran dan analisis - analisis empirik terhadap

tindakan yang dibutuhkan, keduanya lebih berkaitan erat dengan dan bukan

berada satu sama lain. Kemudian, pembuat keputusan hanya mempertimbangkan

beberapa alternatif untuk menanggulangi masalah yang dihadapi dan alternatif -

alternatif ini hanya berada secara marginal dengan kebijakan yang ada.

Selanjutnya untuk setiap alternatif, pembuat keputusan hanya mengevaluasi

beberapa konsekuensi yang dianggap penting saja. Kemudian, masalah yang

dihadapi oleh pembuat keputusan dibatasi secara berkesinambungan,

inkrementalisme memungkinkan penyesuaian - penyesuaian sarana - tujuan dan

tujuan - sarana sebanyak mungkin sehingga memungkinan masalah dapat

dikendalikan. Selain itu, tidak ada keputusan tunggal atau penyelesaian yang

dianggap tepat, pengujian terhadap keputusan yang dianggap baik adalah bahwa

persetujuan terhadap berbagai macam analisis dalam rangka memecahkan

persoalan tidak di ikuti persetujuan bahwa keputusan yang diambil merupakan

sarana yang paling cocok untuk meraih sasaran yang telah disepakati. Terakhir

yang perlu diperhatikan dalam model inkrementalis ini bahwa pembuatan

keputusan incremental pada dasarnya merupakan remedial dan diarahkan lebih

banyak kepada perbaikan terhadap ketidak-sempurnaan sosial yang nyata

sekarang ini dari pada mempromosikan tujuan sosial di masa depan.

Teori inkremental merupakan model teori yang mencoba menyesuaikan

dengan realitas kehidupan praktis dengan mendasarkan pada pluralisme dan

demokrasi maupun keterbatasan-keterbatasan kemampuan manusia.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

- Teori mixed scanning adalah teori yang intinya menggabungkan antara teori

rasional-komprehensif dengan teori inkremental. Anderson (2003; 125)

menyatakan :

Mixed scanning enables decision-makers to utilize both the rational-comprehensive and incremental theoris, but in different situations. In someinstance, incrementalism will be adequate ; in others, a more thoroughapproach along rational-comprehensive lines will be needed. Mixed scanningalso takes into account differing capacities of decision - makers.

Hal tersebut Anderson kemukakan merujuk pada pendapat Amitai Etzioni

(1967) dalam Anderson (2003; 124) yang menyatakan

"Amitai, Etzioni beleives that both the rational-comprehensive theory andincremental theory have shortcomings . for instances, he says that decisionsmake by incrementalists will reflect the interest of the most powerful andorganized interest in society. White neglecling the interest of theunderprivileged and politically and unorganized. Great fundamentaldecisions, a declaration of war for example, do not come within the ambitincermentalism.' Although limited in number, these fundamental decisions arehighly significant and often provide the context for numerous incrementaldecision. etzioni present mixed scanning as an approach to decision - makingthat draws on both fundamental and incremental decision and provides for"high-order, fundamental policy-making processes which set basic directionsand... incremental processes which prepare for fundamental decisions andwork them out after they have been reached"

Amitai Etzioni menggabungkan antara model rasional Komprehensif dengan

model inkremental dengan menamakan "mixed-scanning". Secara mendasar

etzioni berpendapat ada hal - hal yang bisa digunakan dalam model rasional

dalam mengambil suatu keputusan, namun ada juga beberapa hal menjadi

kelemahan dari model teori rasional komprehensif, begitu pula dengan

inkremental ada hal - hal yang terlihat menjadi kelemahan - kelemahan dalam

model pembuatan keputusan inkremental. Menurut Etzioni, dalam pembuatan

keputusan incremental keputusan yang dibuat lebih merefleksikan kepentingan

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

kelompok - kelompok yang yang paling kuat dan terorganisir dalam masyarakat

sedangkan masyarakat yang lemah dan tidak terorganisir cenderung diabaikan.

Dalam mengambil suatu keputusan, Anderson (2003, 126-134)

mengemukakan ada enam kriteria yang harus dipertimbangkan, yakni (1) nilai

nilai yang dianut baik oleh organisasi, profesi, individu, kebijakan maupun

ideologi; (2) afiliasi partai politik; (3) kepentingan konstituen; (4) opini publik;

(5) penghormatan terhadap pihak lain; serta (6) aturan kebijakan.

3) Siklus / Proses Kebijakan

Proses pembuatan sebuah kebijakan publik melibatkan berbagai aktivitas

yang kompleks. Pemahaman terhadap proses pembuatan kebijakan oleh para ahli

dipandang penting dalam upaya melakukan penilaian terhadap sebuah kebijakan

publik. Untuk membantu melakukan hal ini, para ahli kemudian mengembangkan

sejumlah kerangka untuk memahami proses kebijakan (policy process) atau

seringkali disebut juga sebagai siklus kebijakan (policy cycles). Sejumlah ahli

yang mengembangkan kerangka pemahaman tersebut diantaranya adalah Thomas

R. Dye (2005) dan James E. Anderson (2003). Menurut Dye (2005, 31),

bagaimana sebuah kebijakan dibuat dapat diketahui dengan mempertimbangkan

sejumlah aktivitas atau proses yang terjadi didalam sistem politik. Terkait hal ini,

dalam pandangan Dye (2005, 31-32), pembuatan kebijakan sebagai sebuah proses

akan meliputi sejumlah proses, aktivitas, dan keterlibatan peserta sebagaimana

dapat dilihat dalam tabel berikut.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

Tabel 2

Pembuatan Kebijakan sebagai sebuah Proses

Proses Aktivitas Peserta

Identifikasi Masalah Publikasi masalah sosial;mengekspresikan tuntutan akantindakan dari pemerintah

Media massa; kelompokkepentingan; inisiatifmasyarakat; opini publik

Penetapan Agenda Menentukan mengenaimasalah-masalah apa yangakan diputuskan; masalah apayang akan dibahas/ditanganioleh pemerintah

Elit, termasuk presidendan kongres; kandidatuntuk jabatan publiktertentu; media massa

Perumusan Kebijakan Pengembangan proposalkebijakan untuk menyelesaikandan memperbaiki masalah

Pemikir; Presiden dan.lembaga eksekutif;komite kongres;kelompok kepentingan

Legitimasi Kebijakan Memilih proposal;mengembangkan dukunganuntuk proposal terpilih;menetapkannya menjadiperaturan hukum; memutuskankonstitusionalnya

Kelompok kepentingan;presiden; kongres;pengadilan

ImplementasiKebijakan

Mengorganisasikandepartemen dan badan;menyediakan pembiayaan ataujasa pelayanan; menetapkanpajak

Presiden dan stafkepresidenan; departemendan badan

Evaluasi Kebijakan Melaporkan output dariprogram pemerintah;

mengevaluasi dampakkebijakan kepada kelompoksasaran dan bukan sasaran;mengusulkan perubahan danreformasi

Departemen dan badan;komite pengawasankongres; media massa;pemikir

Sumber: Dye, 2005, 32

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

Terkait dengan pendapat dari Dye mengenai siklus kebijakan sebagaimana

dapat dilihat dalam tabel 1 diatas, Anderson (2003,27-28) memiliki pandangan

yang sedikit berbeda mengenai proses atau siklus kebijakan tersebut, menurut

Anderson, proses kebijakan terdiri atas lima tahapan sebagaimana dapat dilihat

dalam tabel 2 berikut.

Tabel 3

Proses Kebijakan

Terminologikebijakan

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5

AgendaKebijakan

PerumusanKebijakan

Pembuatankebijakan

ImplementasiKebijakan

EvaluasiKebijakan

Definition Sejumlahpermasalahandiantarabanyakpermasalahanlainnya yangmendapatperhatianserius daripejabatpublic

Pengembangan usulan akantindakan yangterkait dandapat diterimauntukmenanganipermasalahanpublic

Pengembangan dukunganterhadapsebuahproposaltertentusehinggasebuahkebijakandapatdilegitimasiatau disahkan

Aplikasikebijakanoleh mesinadminsitrasipemerintah

Upayapemerintahuntukmenentukanapakahkebijakanefektif, sertamengapaefektif atautidak efektif

Commonsense

Membuatpemerintahuntukmempertimbangkantindakanterhadapmasalah

apa yangdiusulkanuntukdilakukanterhadapmasalah

membuatpemerintahuntukmenerimasolusitertentuterhadapmasalah

menerapkankebijakanpemerintahterhadapmasalah

ApakahKebijakanbekerjadengan baik?

Sumber: Anderson, 2003, 28 (diadaptasi dari Anderson, Brady dan Bullock III,1984)

Berdasarkan tabel 1 dan 2 tersebut, dapat dilihat bahwa perbedaan pandangan

dari Dye dan Anderson mengenai proses kebijakan //hanya terletak pada masalah

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

identifikasi kebijakan saja. Dye membedakan tahapan antara aktivitas identifikasi

masalah dengan penetapan agenda, sementara Anderson menganggap kedua hal

tersebut sebagai tahap agenda kebijakan. Tahapan lainnya cenderung sama antara

pendapat Dye dan Anderson, yang berbeda hanya istilah penyebutannya saja. Baik

Dye dan Anderson juga cenderung sepakat bahwa tahapan perumusan kebijakan

merupakan tahap dimana dikembangkan proposal yang berisikan sejumlah

alternatif untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Dijelaskan oleh Anderson (2003, 27-29) tahapan Proses Kebijakan dimulai

dengan agenda kebijakan dimana dari sejumlah permasalahan, ada permasalahan

yang akan mendapat perhatian secara serius dari pejabat publik dan pemerintah

akan mempertimbangkan tindakan atau langkah apa yang akan dilakukan

terhadap permasalahan tersebut dengan mengidentifikasi dan menspesifikasi

permasalahan dan menetapkannya sebagai agenda kebijakan pemerintah.

kemudian tahap perumusan kebijakan, dimana dikembangkan usulan tindakan

yang akan dilakukan dan dapat diterima dalam menangani permasalahan, pada

tahap ini akan dihasilkan sejumlah usulan kebijakan yang akan diputuskan untuk

diambil oleh pemerintah dan aktor aktor kebijakan. selanjutnya tahap adopsi

kebijakan, tahap ini dilakukan pengembangan dukungan terhadap usulan tertentu

sehingga menjadi sebuah kebjakan yang dilegitimasi dan disahkan oleh

permerintah. Kemudian tahap implementasi kebijakan dimana kebijakan yang

sudah dibuat dan disahkan tersebut diterapkan oleh mesin adiminstrasi

pemerintah. Tahap terakhir yaitu evaluasi kebijakan dimana pemerintah

menentukan apakah kebijakan tersebut berjalan efektif atau tidak.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

Sebagai salah satu tahapan dalam siklus kebijakan, Perumusan kebijakan

dinyatakan Anderson (2003; 27) bahwa :

"Formulation. This encompasses the creation, identification, or borrowingof proposed courses of action, often called alternatives or options, forresolving or ameliorating public problems. Who participates in policyformulation? How are alternatives for dealing with a problem developed?Are there difficulties and biases in formulating policy proposals?

Perumusan kebijakan menurut Anderson (2003; 27) merupakan suatu

aktivitas yang meliputi pembuatan, identifikasi, dan mengambil program untuk

dilakukan tindakan terhadap suatu masalah atau sering disebut juga alternatif atau

pilihan - pilihan. Untuk menyelesaikan atau memperbaiki masalah publik. Siapa

yang terlibat dalam merumuskan kebijakan, bagaimana alternatif - alternatif yang

ada untuk menangani permasalahan yang berkembang, dan apakah ada kesulitan

dan ketidak-jelasan dalam merumuskan usulan kebijakan. Hal ini juga diperkuat

dalam pandangan Sidney (Fischer, Miller and Sidney, 2007;79), tahapan

perumusan kebijakan merupakan tahap kritis dari sebuah proses kebijakan. Hal ini

terkait dengan proses pemilihan alternatif kebijakan oleh pembuat kebijakan yang

biasanya mempertimbangkan besaran pengaruh langsung yang dapat dihasilkan

dari pilihan alternatif utama tersebut. Proses ini biasanya akan mengekspresikan

dan mengalokasikan kekuatan dan tarik menarik diantara berbagai kepentingan

sosial, politik dan ekonomi.

Menurut Sidney (Fischer, Miller and Sidney, 2007; 79), tahap perumusan

kebijakan melibatkan aktivitas identifikasi dan atau merajut seperangkat alternatif

kebijakan untuk mengatasi sebuah permasalahan; serta mempersempit

seperangkat solusi tersebut sebagai persiapan dalam penentuan kebijakan akhir.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

Dengan mengutip pendapat dari Cochran dan Malone (1999), menurut Sidney

(Fischer, Miller and Sidney, 2007; 79), perumusan kebijakan mencoba menjawab

terhadap sejumlah pertanyaan "apa", yakni: apa rencana untuk menyelesaikan

masalah? Apa yang menjadi tujuan dan prioritas? Pilihan apa yang tersedia untuk

mencapai tujuan tersebut? Apa saja keuntungan dan kerugian dari setiap pilihan?

Eksternalitas apa, baik positif maupun negatif yang terkait dengan setiap

alternatif?

Selanjutnya, menurut Sidney (Fischer, Miller and Sidney, 2007; 79),

perumusan seperangkat alternatif akan melibatkan proses identifikasi terhadap

berbagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah; serta kemudian

mengidentifikasi dan mendesain seperangkat perangkat kebijakan spesifik yang

dapat mewakili setiap pendekatan. Tahap perumusan juga melibatkan proses

penyusunan draft peraturan untuk setiap alternatif-yang isinya mendeskripsikan

diantaranya mengenai sanksi, hibah, larangan, hak, dan lain sebagainya-serta

mengartikulasikan kepada siapa atau kepada apa ketentuan tersebut akan berlaku

dan memiliki dampak.

Apa yang dinyatakan oleh Sidney tersebut menguatkan pernyataan Jann dan

Wegrich (dalam Fischer, Miller and Sidney, 2007; 48). Menurut Jann dan

Wegrich (Fischer, Miller and Sidney, 2007; 48), didalam tahap perumusan

kebijakan permasalahan kebijakan, usulan proposal, dan tuntutan masyarakat

ditransformasikan kedalam sejumlah program pemerintah. Perumusan kebijakan

dan juga adopsi kebijakan akan meliputi definisi sasaran-yakni apa yang akan

dicapai melalui kebijakan-serta pertimbangan-pertimbangan terhadap sejumlah

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

alternatif yang berbeda.

Sementara itu, menurut Anderson (2003, 101-102), menyatakan bahwa

"perumusan kebijakan melibatkan proses pengembangan usulan akan tindakan

yang terkait dan dapat diterima (biasa disebut dengan alternatif, proposal atau

pilihan) untuk menangani permasalahan publik." Perumusan kebijakan menurut

Anderson tidak selamanya akan berakhir dengan dikeluarkannya sebagai sebuah

produk peraturan perundang–undangan. Seringkali pembuat kebijakan

memutuskan untuk tidak mengambil tindakan terhadap sebuah permasalahan dan

membiarkannya selesai sendiri. Atau seringkali pembuat kebijakan tidak berhasil

mencapai kata sepakat mengenai apa yang harus dilakukan terhadap suatu

masalah tertentu. Namun demikian, pada umumnya sebuah proposal kebijakan

biasanya ditujukan untuk membawa perubahan mendasar terhadap kebijakan yang

ada saat ini.

Menurut Sidney (Fischer, Miller and Sidney, 2007; 79), terdapat sejumlah

kriteria yang membantu dalam menentukan pemilihan terhadap alternatif

kebijakan untuk dijadikan sebuah kebijakan, misalnya: kelayakannya, penerimaan

secara politis, biaya, manfaat, dan lain sebagainya. Hal tersebut mengutip

pendapat Jann dan Wegrich dalam Fischer, Miller and Sidney (2007; 50)

mengemukakan dua faktor utama yang menentukan sejauhmana alternatif

kebijakan akan diadopsi menjadi kebijakan, yakni: (1) penghilangan alternatif

kebijakan yang akan ditentukan oleh sejumlah parameter susbtansial dasar

misalnya kelangkaan sumberdaya untuk dapat melaksanakan alternatif kebijakan.

Sumberdaya ini dapat berupa sumberdaya ekonomi maupun dukungan politik

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

yang didapat dalam proses pembuatan kebijakan. Apabila dalam proses

pembuatan kebijakan suatu alternatif kebijakan banyak mendapat kritikan secara

politik, maka alternatif tersebut layak untuk dihilangkan karena kurangnya

dukungan politik. (2) alokasi kompetensi yang dimiliki oleh berbagai aktor juga

memainkan peranan penting dalam penentuan kebijakan.

Diluar kedua faktor tersebut, Jann dan Wegrich dalam Fischer, Miller and

Sidney (2007; 51) juga mengemukakan mengenai peranan penting dari akademisi

yang berperan sebagai penasehat kebijakan atau pemikir (think tanks). Pengetahun

dari para penasehat ini seringkali berpengaruh dalam proses perumusan kebijakan.

Disamping itu Anderson (2006, 104), juga menyampaikan bahwa perumus

kebijakan perlu mempertimbangkan beberapa faktor agar usulan alternatif –

alternatif kebijakan yang dirumuskan dapat berhasil menyelesaikan permasalahan,

Sejumlah factor tersebut adalah: (1) apakah proposal memadai secara teknis?

Apakah proposal diarahkan kepada penyebab permasalahan? Sejauhmana

proposal akan menyelesaikan atau mengurangi permasalahan? (2) apakah

anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan masuk akal atau dapat diterima?

Hal ini penting untuk diperhatikan khususnya apabila terkait dengan program

kesejahteraan sosial. (3) apakah secara politik proposal dapat diterima? Dapatkah

proposal mendapatkan dukungan dari anggota parlemen atau pejabat publik

lainnya? (4) jika proposal telah menjadi peraturan perundang-undangan, apakah

akan disetujui oleh publik? Keempat hal tersebut menurut Anderson (2006, 104)

sangat penting untuk dipertimbangkan dalam perumusan sebuah kebijakan Publik.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

4) Lingkungan Kebijakan (Aktor dan Partisipasi Publik)

Perumusan kebijakan dalam prakteknya akan melibatkan berbagai aktor, baik

yang berasal dari aktor negara maupun aktor non negara atau yang disebut oleh

Anderson (2003, 46-67) sebagai pembuat kebijakan. resmi (official policy-

makers) dan peserta non pemerintahan (nongovernmental participants). Pembuat

kebijakan resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat

dalam perumusan kebijakan publik. Mereka ini menurut Anderson (2006, 46-57)

terdiri atas legislatif; eksekutif; badan administratif; serta pengadilan. Legislatif

merujuk kepada anggota kongres/dewan yang seringkali dibantu oleh para

staffnya. Adapun eksekutif merujuk kepada Presiden dan jajaran kabinetnya.

Sementara itu, badan administratif menurut Anderson merujuk kepada lembaga-

lembaga pelaksana kebijakan. Dipihak lain menurut Anderson, Pengadilan juga

merupakan aktor yang memainkan peran besar dalam perumusan kebijakan

melalui kewenangan mereka untuk mereview kebijakan serta penafsiran mereka

terhadap undang-undang dasar. Dengan kewenangan ini, keputusan pengadilan

bisa mempengaruhi isi dan bentuk dari sebuah kebijakan publik.

Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat dalam

proses kebijakan yang meliputi diantaranya kelompok kepentingan; partai politik;

organisasi penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini

yang disebut oleh Anderson sebagai peserta non pemerintahan (nongovernmental

participants) karena penting atau dominannya peran mereka dalam sejumlah

situasi kebijakan tetapi mereka tidak mem iliki kewenangan legal untuk membuat

kebijakan yang mengikat. Peranan mereka biasanya adalah dalam menyediakan

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

informasi; memberikan tekanan; serta mencoba untuk mempengaruhi (Anderson,

2006, 57-67). Mereka juga dapat menawarkan proposal kebijakan yang telah

mereka siapkan.

Terkait keterlibatan peserta dalam pembuatan kebijakan ini, khususya dalam

tahapan perumusan kebijakan, menurut Sidney (dalam Fischer, Miller and Sidney,

2007; 79) tahap perumusan kebijakan diharapkan melibatkan peserta yang lebih

sedikit dibandingkan dalam tahapan penetapan agenda. Dalam tahapan ini

menurut Sidney, yang lebih banyak diharapkan adalah kerja dalam merumusakan

alternatif kebijakan yang mengambil tempat diluar mata/perhatian publik. Dalam

sejumlah teks standar kebijakan, tahap perumusan disebut sebagai sebuah fungsi

ruang belakang. Detail dari kebijakan biasanya dirumuskan oleh staff dari

birokrasi pemerintah, komite legislatif, serta komisi khusus. Proses perumusan ini

biasanya dilakukan di ruang kerja dari para aktor perumus tersebut.meskipun pada

akhirnya perumusan alternatif kebijakan dilakukan lebih banyak oleh para aktor

tersebut, menurut Jann dan Wegrich (dalam Fischer, Miller and Sidney, 2007; 49),

tidak sepenuhnya bisa dipisahkan dari masyarakat umum dalam perumusan

kebijakan. Para perumus menurut Jann dan Wegrich senantiasa berinteraksi

dengan aktor sosial dan membentuk pola hubungan kebijakan (policy networks)

yang stabil diantara mereka. Jadi meskipun pada akhirnya kebijakan ditentukan

oleh institusi yang berwenang, keputusan diambil setelah melalui proses informal

negosiasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan. Dengan demikian

keterlibatan aktor lain dalam pemberian ide terhadap proses perumusan kebijakan

tetap atau sangat diperlukan.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

2.2 Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Bersama

2.2.1 Pemilihan Umum

Pemilihan Umum (Pemilu) atau dalam bahasa inggris disebut election adalah

cara yang digunakan untuk mewujudkan partisipasi rakyat dalam pemerintahan

sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Pemilihan umum sudah menjadi bagian

yang tidak terpisahkan dari suatu negara demokrasi, hampir semua negara

demokrasi melaksanakan pemilihan umum. Pemilihan umum dapat dipahami

merupakan sarana bagi masyarakat untuk mewujudkan kedaulatannya dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. bagi negara-negara yang menganut pada

sistem demokratis merupakan suatu hal yang fundamental dalam setiap kurun

waktu tertentu peralihan kekuasaannya diserahkan pilihannya kepada rakyat

sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Menurut Henry B. Mayo dalam buku Introduction to Democratic Theory,

memberi definisi sebagai berikut. Sistem politik yang demokratis ialah di mana

kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang

diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang

didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana

terjaminnya kebebasan politik2.

Morissan (2005:17) pemilihan Umum (pemilu) merupakan salah satu hak

asasi warga negara yang sangat prinsipil sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.

Pemilihan umum adalah cara atau sarana untuk mengetahui keinginan rakyat

mengenai arah dan kebijakan negara kedepan. Paling tidak ada tiga macam tujuan

2Joko J. Prihatmoko, 2005, “Pemilihan Kepala Daerah Langsung”, Filosofi dan ProblemPenerapan di Indonesia, LP3M Universitas Wachid Hasyim, Semarang, hlm. 204

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

pemilihan umum, yaitu

1. Memungkinkan peralihan pemerintahan secara aman dan tertib

2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat

3. Dalam rangka melaksanakan hak asasi warga Negara.

Jadi pemilihan umum adalah suatu cara untuk memilih wakil rakyat balk di

legislatif maupun pemerintahan sebagai ciri dari negara demokrasi. Abd Rohim

Ghazali (1997:68) Dalam jurnal Afkar, Vol. IV. No.2, 1997 mengatakan bahwa

ada tiga aspek yang harus diagendakan dalam menjadikan pemilu sebagai

penunjang demokrasi adalah:

1. Pada aspek filosofi konseptual, pemilih harus diberi makna dinamik.

kontekstual dengan multiperspektif. Pemilu yang monolik hanya akan

menjadi bagian dari proses hegemonik makna yang memperbodoh

masyarakat.

2. pada aspek legal konstitusional, undang-undangdan peraturan bagi

pelaksanaan pemilu harus diubah, disesuaikan dengan aspek filosofi

kontekstual.

3. pada aspek sosiokultur, setiap parpol harus diberikan kewenangan untuk

mengeksoresikan dan melaksanakan program-programnyasecara mandiri.

Parpol bukan pengumpul suara legitimasi bagi pemerintahan yang sedang

berjalan, namun merupakan instrument penggerak kearah demokrasi.

Ditegaskan dalam ketentuan pasal 22E UUD 1945 bahwa

(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,jujur,

dan adil setiap lima tahun sekali.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.

(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat

dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.

(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah

adalah perseorangan.

(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang

bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan

undang undang. Selanjutnya dalam pasal 18 UUD 1945 ayat ( 4 ) menegaskan

mengenai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang

harus dipilih secara demokratis, yakni "Gubernur, Bupati, dan Walikota

masing - masingsebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan

kota dipilih secara demokratis".

Dalam ketentuan umum Undang-Undangno 10 tahun 2008 tentang pemilihan

umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, pemilihan umum diartikan sebagai :

"Pemilihan umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaankedaulatan yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,dan adil dalan Negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasiladan UUD 1945"

Yang kemudian selanjutnya dalam perkembangannya pelaksanaan pemilihan

umum baik DPR, DPD, dan DPR serta Presiden dan Wakil Presiden, Bupati dan

Wakil Bupati / Walikota dan Wakil Walikota dilaksanakan pemilihan secara

langsung oleh masyarakat sebagai mana diatur dalam berbagai ketentuan

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

perundang - undangan baik UU no. 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum DPR,

DPD, dan DPRD sebagaimana diubah melalui UU No 10 tahun 2008 untuk

pemilihan umum DPR, DPD, dan DPRD dan UU no. 32 tahun 2004 mengenai

pemerintahan daerah sebagaimana diubah oleh UU No. 12 tahun 2008 yang

didalamnya mengatur masalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah

yang oleh ketentuan UU no 22 tahun 2007 sebagaimana telah dirubah menjadi UU

No 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu rezim pemilihan kepala daerah

dan wakil kepala daerah menjadi termasuk pemilihan umum secara langsung.

2.2.2 Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

(Pemilukada)

Pemilihan Umum Kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan produk

kebijakan pemerintah pusat dalam mewujudkan tuntutan masyarakat untuk

dijalankannya pembagian kekuasaan dan kewenangan dalam mengurus

daerahnya, Hal ini sejalan dengan semangat reformasi yang menghendaki adanya

desentralisasi / otonomi daerah tidak terkecuali dalam perwujudan demokrasi

lokal. "Istilah Demokrasi yang menurut asal kata berarti "rakyat berkuasa" atau

"government of rule by the people" Kata Yunani demos berarti rakyat,

kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa3. Oleh karenanya pemilukada sebagai

wujud demokrasi di daerah pada hakekatnya menempatkan rakyat sebagai penentu

dalam memberikan mandatnya terhadap kekuasaan pemerintahan di daerah. Hal

ini sejalan dengan yang dikemukakan Peny Khalid Semangat pemilihan Kepala

3Miriam Budiharjo, 1989, "Dasar-dasar Ilmu Poline', PT Gramedia, Jakarta, hlm 50

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

Daerah langsung adalah memberikan ruang yang luas bagi partisipasi politik

masyarakat untuk menentukan kepala daerah sesuai dengan aspirasi dan

kebutuhan didaerah masing - masing, sehingga diharapkan kebijakan dari

pemerintah nantinya sesuai dengan harapan dan keinginan rakyat pada umumnya.

Atau dengan kata lain lebih mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya.4

Leo Agustino (2006) mengemukakan dalam arti yang (relatif) agak luas

demokrasi sering dimaknai sebagai pemerintahan dengan segenap kegiatan yang

dikelola, dengan menjadikan rakyat sebagai subyek dan titik tumpu roda penentu

berjalannya kepolitikan dan kepemerintahan.5

Demokrasi di daerah dalam bentuk pemilukada dapat dipahami secara

kontekstual sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 1 peraturan pemerintah no 6

tahun 2005 yaitu :

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang selanjutnyadisebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayahprovinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilihKepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.6

Dalam era reformasi ini pemilu lokal bagi elit ekesekutif secara langsung

tentunya akan terjadi penguatan dalam sistem pemerintahan daerah. Sejarah

Pilkada di era Reformasi diawali dengan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah dipi.lih oleh DPRD dengan dasar hukumnya UU No.22 tentang

4Leo Agustino. Politik dan Kebijakan Publik. Bandung: AIPI dan Puslit KP2W Lemlit Unpad2006ha142-4325lbid hal 2126PP no 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan Pemberhentiankepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana telah diubah oleh PP no 49 tahun2008tentangPerubahan ketiga atasPeraturan pemerintah nomor 6 tahun 2005Tentangpemilihan, pengesahan pengangkatan,Dan pemberhentian kepala daerah dan wakilkepala daerah.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

Pemerintahan Daerah tahun 1999. Sesuai dengan perkembangan keadaan,

ketatanegaraan dan penyelenggaraan otonomi daerah maka diganti dengan UU

No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyempurnakan UU

sebelumnya, sehingga Kepala Daerah dan Wakilnya dipilih langsung oleh

masyarakat dengan penyelenggaranya KPUD.

Sejak era reformasi, demokrasi yang diusung mengarah pada demokrasi

partisipatif atau langsung, salah satunya karena banyak pejabat politik yang tidak

melakukan tanggung jawabnya dengan balk, sehingga legitimasi mereka lemah.

Di sisi lain memunculkan ketidak percayaan rakyat pada penguasa mendorong

rekrutmen pejabat politik ke arah demokrasi langsung. Sehingga tidak

mengherankan bila rekrutmen hampir semua jabatan politik dilaksanakan dalam

format demokrasi yang bergerak pada hubungan state and society secara langsung.

Mulai dari pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Kemudian dilanjutkan

dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Pada fase demokrasi

langsung ini merupakan era baru reformasi politik di Indonesia yang pertama kali

digelar sejak kemerdekaan Indonesia. Rekrutmen politik skala nasional ini

merupakan perkembangan demokrasi yang mendapat pengakuan dunia karena

keberhasilannya.Sebagai tindak lanjut dari keberhasilan rekrutmen poltik dalam

tataran demokrasi ini, diawali pada tahun 2005 juga dilakukan 'proses rekrutmen

politik elit daerah sebagai kelanjutan dari pemilihan umum presiden dan wakil

presiden yang telah melahirkan pasangan pemimpin politik berbasis legitimasi

rakyat. Pemilihan Umum Kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan

proses demokrasi yang akan menyetarakan legitimasinya dengan keberadaan

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

DPRD yang telah dipilih secara langsung.

Dari sisi kedaulatan rakyat daerah. demokrasi lokal dibangun untuk

memberikan porsi yang seharusnya diperoleh rakyat lokal dalam pemberian

legitimasi pada elit eksekutifnya. Selama ini rakyat daerah memberikan

kedaulatan hanya pada legislatif daerah sajamelalui pemilu legislatif. Hal ini

terkait dengan pola hubungan pemerintahan pusat daerah dalam asas

desentralisasi. Kedaulatan rakyat dalam kerangka sistem pemerintahan dapat

dibagi kedalam hierarkhi demokrasi nasional dan lokal dari tata cara rekrutmen

politiknya.

Pemilukada sebagai wujud demokrasi lokal dengan penempatannya sebagai

implementasi desentralisasi dan otonomi daerah telah menarik perhatian beberapa

penulis untuk melakukan penelitian sebagaimana telah diuraikan pada latar

belakang diatas, persoalan - persoalan dalam pemilukada yang diangkat dalam

penelitian seperti yang dilakukan oleh Ratna Fitria (2011) Penelitian ini

menekankan pada aspek pemilih pada pemilihan kepala daerah Kota Bandung

yang dilaksanakan pada tahun 2008, pada penelitian ini Ratna (2001)

menggambarkan fenomena tentang perilaku pemilih dalam pemilihan kepala

daerah melalui pokok permasalahan yang menjadi pertanyaan penelitiannya yaitu:

pertama, bagaimana keterkaitan perilaku memilih dengan kandidat, dalam hal ini

aspek yang menjadi gambaran penelitiannya adalah masyarakat melakukan

evaluasi terhadap kandidat sebagai dasar dari pilihan mereka, maka masyarakat

akan cenderung memilih kandidat yang telah terbukti memberikan keuntungan

kepada mereka daripada kepada kandidat yang baru muncul dengan janji - janji

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

baru. Kedua, Bagaimana Keterkaitan Opini Publik dengan Perilaku memilih,

dalam hal ini aspek yang menjadi gambaran penelitiannya yaitu masyarakat

sebagai pemilih yang mendapatkan informasi (isu) tentang partai/kandidat yang

akan memberikan keuntungan pada mereka dibandingkan partai/kandidat lainnya,

maka masyarakat lebih sukarela memberikan suaranya kepada partai/kandidat

yang memberikan keuntungan tadi.

Kemudian Penelitian yang dilakukan oleh Rien A. Muslim Ruhsan (2009)

Penelitian ini menekankan pada aspek pencalonan dalam pemilihan kepala daerah,

pencalonan merupakan salah satu tahapan dan aspek penting dalam

penyelenggaraan pemilukada. Pelaksanaan pemilukada tidak akan terlaksana

apabila tidak ada pesertanya yaitu calon kepala daerah, dalam hal ini Rien (2009)

menggambarkan fenomena seorang calon peserta pemilukada sebagai politikus

juga berasal dari kalangan selebritis (celebrity Politics) yang pada saat itu sedang

begitu maraknya di Indonesia kalangan selebritis mengikuti perhelatan

pemilukada. Fenomena yang digambarkan tersebut didngkat melalui pokok

permasalahan yaitu : Pertama, Mengapa selebriti mencalonkan diri sebagai Wakil

Gurbernur, dalam konteks ini bahasan yang digambarkan oleh Rien (2009) yaitu

seorang selebritis dalam hal ini dede yusuf merupakan seorang warga negara dan

memiliki hak politik yang sama dalam kedudukannya sebagai warga negara untuk

dipilih maupun memilih dan aktualisasi diri merupakan motif partisipasi politik

selebritis (Dede Yusuf ). Kedua, mengapa partai memilih selebritis sebagai Wakil

Gurbernur Jawa Barat, dalam konteks ini Rien (2009) menggambarkan bahwa

popularitas seorang selebritis merupakan modal politik yang harus dimanfaatkan

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

sedemikian rupa, disamping itu pula memanfaatkan kejenuhan masyarakat

terhadap incumbent dan politisi konvensional sehingga membuka ruang

masyarakat untuk memiliki harapan baru terhadap calon kepala daerah yang

berlatar belakang selebritis.

Selanjutnya Penelitian yang dilakukan oleh Novie (2009) menekankan pada

aspek pemilih dimana penelitian mengenai pemilih hampir sama dengan

penelitian yang dilakukan oleh Ratna (2011) yang membedakan penelitian ini

lebih kepada aspek rasionalitas pemilih dengan rumusan permasalahan yang

diangkat yaitu : pertama, seberapa besar tingkat rasionalitas pemilih dalam

pelaksanaan pemilihan Bupati/Wakil Bupati Sumedang Tahun 2008. Dalam

konteks ini Novie (2009) mengukur tingkat rasionalitas pemilih yang diukur

dengan informasi yang memadai, kebutuhan program kerja, dan kalkulasi rasional

para pemilih dalam pelaksanaan pemilihan Bupati/Wakil Bupati Sumedang.

Sehingga semakin tinggi akses informasi/pengetahuan yang diperoleh pemilih,

kesesuaian kepentingan/kebutuhan mengenai isu/program kerja kandidat dan

kebutuhan tentang pemimpin yang ideal serta kalkulasi rasional maka semakin

tinggi pula tingkat rasionalitas pemilih dalam pelaksanaan pemilihan

Bupati/Wakil Bupati Sumedang Tahun 2008. Kedua, bagaimana:kategori pemilih

apakah termasuk traditional-emotional voters (pemilih emosional-tradisional)

ataukah modern-rational voters (Pemilih rasional modern) dalam konteks ini

Novie(2009) mengklasifikasikan apakah para pemilih dalam pelaksanaan

pemilihan Bupati/Wakil Bupati Sumedang tahun 2008 dilihat dari tinggi atau

rendahnya tingkat rasionalitas pemilih dalam pelaksanaan pemilihan Bupati/Wakil

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

Bupati Sumedang Tahun 2008, apabila tinggi maka pemilih dalam pelaksanaan

pemilihan Bupati/Wakil Bupati Sumedang Tahun 2008 termasuk kategori

modern-rational voters (Pemilih rasional modern), apabila rendah tingkat

rasionalitas pemilih dalam pelaksanaan pemilihan Bupati/Wakil Bupati Sumedang

Tahun 2008 maka termasuk kategori traditional-emotional voters (pemilih

emosional-tradisional).

Penelitian - Penelitian ini berbeda dengan permasalahan yang penulis akan

teliti. walaupun sama penelitiannya dalam masalah pemilihan kepala daerah,

penelitian yang dilakukan penulis menyangkut aspek pendanaan pemilukada

bersama dan lebih kepada aspek sumber daya pemilukada yaitu pendanaan yang

tentunya sangat menentukan terhadap penyelenggaraan pemilukada berbeda

dengan penelitian yang dilakukan oleh Ratna (2011) yang mengkaji aspek

pemilih, dan Penelitian yang dilakukan oleh Rien (2009) yang mengangkat aspek

pencalonan (calon Wakil Kepala Daerah) yang Iebih kepada manusianyasebagai

peserta pemilukada dan merupakan bagian dari tahapan pemilukada serta

penelitian Novie (2009) yang menguji variabel pemilih dalam pemilukada.

2.2.3 Pemilukada Bersama

Pemilukada bersama merupakan istilah yang baru dalam menginterpretasikan

ketentuan pasal 235 ayat 2 uu no 12 tahun 2008 yang menentukan bahwa apabila

dalam suatu daerah dalam hal ini kota / kabupaten masa jabatan walikota dan

wakil walikota atau bupati dan wakil bupati berada dalam kurun waktu 90 hari

dengan berakhirnya masa jabatan gubrenur dalam wilayah yang sama, maka hari

dan tanggal pemungutan suara nya dilaksanakan pada hari dan tanggal yang sama

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

dan ini berlaku 90 hari kedepan maupun kebelakang. Sebelumnya istilah yang

digunakan dalam menginterpretasikan penyamaan hari dan tanggal pemungutan

suara antara pemilukada provinsi dan kabupaten/kota yang masa jabatan kepala

daerahnya berakhir dalam kurun waktu 90 hari bermacam - macam ada yang

menyebut pemilukada gabungan (pilgab), pemilukada serentak (piltak) namun

Jawa Barat hasil dari penelaahan berdasarkan nomenklatur yang tertuang dalam

pasal 235 ayat 2 uu no 12 tahun 2008 yang menyebutkan frase "pemungutan

suaranya dilaksanakan pada hari dan tanggal yang sama" oleh karenanya

penggunaan istilah "pemilukada bersama" merupakan istilah yang cukup tepat

terhadap interpretasi ketentuan pasal 235 ayat 2 uu no 12 tahun 2008.

2.3 Pendanaan Bersama

Kata pendanaan berasal dari kata dana atau Anggaran yang merupakan

terjemahan dari kata "budget "dalam bahasa inggris. Menurut Arif ((arif

et.a1.2002:14) Anggaran adalah rencana kegiatan keuangan yang berisi perkiraan

belanja yang diusulkan dalam satu periode dan sumber pendapathn yang

diusulkan untuk membiayai belanja tersebut.

Menurut Govermental Accounting Standards Board (GASB) dalam Bastian

(2006:164), definisi anggaran (budget) adalah: "...rencana operasi keuangan, yang

mencakup estimasi pengeluaran yang diusulkan, dan sumber pendapatan yang

diharapkan untuk membiayainya dalam periode waktu tertentu". Pendapat senada

dikemukakan Freeman dalam Nordiawan (2006: 48), anggaran adalah sebuah

proses yang dilakukan oleh organisasi sektor publik untuk mengalokasikan

sumber daya yang dimilikinya ke dalam kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

Pengertian tersebut mengungkap peran strategis anggaran dalam pengelolaan

kekayaan sebuah organisasi publik. Organisasi sektor publik tentunya

berkeinginan memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, tetapi

seringkali terkendala oleh terbatasnya sumber daya yang dimiliki.7

Sedangkan pendanaan / penganggaran (budgeting) menurut Arif et.al

(.2002:17) merupakan aktifitas pengalokasian sumber daya keuangan untuk

pembiayaan belanja Negara yang cenderung tanpa batas. Dengan arti lain

wildvasky (1975) dalam Arifet.al (2002:17) menyatakan "budgeting is translating

financial resources into human purposes".

Anggaran dalam public policy memainkan peran penting terhadap tercapainya

tujuan dikeluarkannya kebijakan publik hal ini sebaimana dinyatakan Anderson

(2003,158) Yaitu :

It is a rare public policy that can be carried into effect without theexpenditure of money. At a minimum funding will be needed foradministrative personnel, office space, and equipment many importantprograms, such as social security, 'Medicaid and unemploymentcompensation primarily entail transfer payments moving money fromtaxpayer to the government and then to eligible beneficiaries who spend it ongoods and services. Money is also central the farm, highway, public housing,medical research and Pell grant programs.The effectiveness and impact of many regulatory programs antitrust,consumer protections, environmental pollution control and securities andstock exchange regulation among others is determined in part by the amountof money available to agencies responsible for their conduct andimplementation.At the extreme policies without funding become nullities...

Mencermati pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa begitu banyaknya

tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam menangani permasalahan -

7Dikutip dari Sri Rahayu, Unti Ludigdo. Didied Affandy,Studi Fenomenologis Terhadap ProsesPenyusunan Anggaran Daerah Bukti Empiris Dari Satu Satuan Kerja Perangkat Daerah DiProvinsi Jambi pada Simposium Nasional Akuntansi X 2007

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

permasalahan yang rnenyangkut kemasyarakatan baik itu pengangguran,

kesehatan, sarana prasarana umum dan lain sebagainya, sehingga mendorong

untuk pemerintah mengeluarkan berbagai program dan kebijakan untuk

menanggulangi permasalahan - permasalahan tersebut. Tentunya dalam langkah

dan tindakan pemerintah tersebut harus dipersiapkan sumber daya manusia dalam

hal ini aparatur pemerintah (birokrasi) untuk menjalankannya, namun langkah -

langkah untuk terlaksananya suatu program dalam penanganan permasalahan

tersebut tentu juga membutuhkan anggaran yang memadai. Anderson (2003; 158)

menyatakan secara ekstrem bahwa "kebijakan tanpa pendanaan hanya sedikit

tindakan yang bisa dilakukan dan sedikit kemungkinan untuk berhasil mencapai

tujuan"

Pengertian Pendanaan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 Permendagri

nomor 44 tahun 2007 adalah semua aktivitas berkaitan dengan pengelolaan

sumber pendapatan dan pemanfaatan belanja daerah untuk mencapai tujuan dari

kegiatan yang memenuhi prinsip efisiensi, efektivitas, transparansi dan

akuntabilitas.8

Pendanaan diuraikan dalam pasal 8 permendagri no 57 tahun 2009 yang

menyatakan :

(1) Dalam hal pemungutan suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,

Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dalam satu

daerah yang sama diselenggarakan pada hari dan tanggal yang sama,

pelaksanaan Pemilu dilakukan dengan pendanaan bersama.

8Peraturan menteri dalam negeri no 44 tahun 2007 tentang pedoman-pedomanpengelolaanBelanjapemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah dirubah oleh Permendagri 57tahun 2009.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

(2) Pendanaan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup

pembayaran honorarium, uang lembur, perlengkapan KPPS/TPS,

pengangkutan, pembiayaan pemutakhiran data pemilih dan perjalanan dinas.

(3) Honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pembayaran

honorarium kepada KPU Kabupaten/Kota, Sekretariat KPU Kabupaten/Kota,

Anggota Pokja KPU Kabupaten/Kota, PPK, Sekretariat PPK, PPS,

Sekretariat PPS, KPPS, Petugas Pemutakhiran Data Pemilih, Panwaslu

Kabupaten/Kota, Sekretariat Panwaslu Kabupaten/Kota, Anggota Pokja

Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Sekretariat Panwaslu

Kecamatan, Anggota Pokja Panwaslu Kecamatan dan Petugas Pengawas

Pemilu Lapangan di Desa/Kelurahan.

(4) Uang lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pembayaran uang

lembur kepada KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, Petugas Pemutakhiran Data

Pemilih, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan dan Petugas

Pengawas Pemilu Lapangan di Desa/Kelurahan.\

(5) Perlengkapan KPPS/TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi

bantalan dan alat pencoblos, tanda pengenal, lem, tali, spidol, ballpoint,

pemasangan dan pembongkaran kotak dan bilik suara, tanda khusus (tinta

Pemilukada) dan template penyandang cacat.

(6) Pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pengangkutan

dari Kabupaten/Kota ke Kecamatan (PPK), dari Kecamatan ke

Desa/Kelurahan (PPS), dari Desa/Kelurahan ke KPPS (TPS) dan

pengangkutan sebaliknya.

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

(7) Pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi

cetak formulir pemutakhiran data pemilih.

(8) Perjalanan dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi perjalanan

dinas yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, Panwaslu

Kabupaten/Kota dan Panwaslu Kecamatan.

Kemudian di pasal 8A permendagri no 57 tahun 2009 ini pun mengatur

mengenai pendanaan bersama yang menjadi beban pemerintah daerah dalam hal

ini pemerintah provinsi Jawa - Barat dan Pemerintah kota sukabumi sekaitan

dengan pelaksanaan pemilukada gubernur Jawa - Barat dan pemilukada walikota

Sukabumi yang dinyatakan bahwa :

(1) Provinsi dan Kabupaten/Kota yang melakukan pendanaan bersama dalam

rangka Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara

bersamaan menetapkan besaran dana yang akan dibebankan kepada masing-

masing pemerintah daerah.

(2) daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara proporsional

sesuai dengan beban kerja.

(3) Beban kerja masing - masing pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) disepakati bersama dan ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.

(4) Gubernur Penetapan besaran dana yang akan dibebankan kepada masing -

masing pemerintah menetapkan standar honorarium dan/atau uang lembur

penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakilk Kepala Daerah dengan

besaran nilai yang sama dan berlaku untuk seluruh Kabupaten/Kota di

wilayahnya.

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

Selanjutnya di Pasal 8B permendagri no 57 tahun 2009 memberikan ruang

kepada pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah provinsi atau pemerintah kota

/kabupaten untuk memberikan dan atau mendapatkan bantuan keuangan apabila

kondisi keuangan daerah tidak memiliki kemampuan keuangan yang dinyatakan :

(1) Dalam hal Pemerintah Provinsi mengalami keterbatasan kemampuan

keuangan daerah untuk penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur, Pemerintah Kabupaten/Kota di wi layahnya dapat membantu

pendanaan Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur.

(2) Dalam hal Pemerintah Kabupaten/Kota mengalami keterbatasan kemampuan

keuangan daerah untuk penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati

dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, Pemerintah Provinsi dapat membantu

pendanaan Pemilu Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil

Walikota.

Ketentuan yang mengatur pendanaan bersama sebagaimana tertuang dalam

pasal 8 permendagri no 57 yang diuraikan diatas, secara sederhana dapat

digambarkan pada alur bagan pada gambar sebagai berikut :

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

Gambar 3. Alur pola Pendanaan bersama berdasarkan pasal 8 permendagri 57

tahun 2009

Berdasarkan Permendagri No. 57 tahun 2009 tentang perubahan atas PermendagriNo 44 tahun 2007 tentang pedoman pengelolaan belanja Pemilukada.

Dari bagan diatas dimulai dari KPU Provinsi Jawa Barat dan KPU Kota

Sukabumi mengusulkan anggaran untuk kebutuhan penyelenggaraan kepada

pemerintah daerah masing - masing sebagaimana ditentukan dalam peraturan

KPU No 9 tahun 2010, Penyusunan dan Penyampaian Program dan anggaran

untuk kegiatan Pemilukada mengikuti jadwal penyusunan APBD sesuai dengan

tahun anggaran dan kebutuhan tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah

KPU KotaSukabumi

KPU ProvinsiJabar

DPRD KotaSukabumi

PemerintahKota Sukabumi

PemerintahPtovinsi Jabar

DPRDProvinsi Jabar

APBD KotaSukabumi

Pemilu Walikota& Wakil Walikota

Sukabumi

KPU KotaSukabumi

APBD KotaSukabumi

KPU Provinsijabar

Pemilu Gubernur& Wakil Gubernur

Jabar

RKA (Rencana Kegiatan Anggaran) PemiluWalikota & Wakil Walikota Sukabumi dan PemiluGubernur dan Wakil Gubernur di Kota Sukabumi

KesepakatanPembiayaan 6

komponenPendanaanbersama

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

dan Wakil Kepala Daerah. kemudian masing - masing pemerintah daerah pada

mat melakukan pembahasan ABPD setelah menerima usulan program dan

anggaran dari KPUD masing - masing dimana setelah kebijakan mengenai

penganggaran APBD yang didalamnya disamping untuk kegiatan pembangunan

daerah juga sudah teralokasikan untuk pembiayan penyelenggaraan pemilukada.

Kemudian Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota diamanatkan untuk

melakukan pembahasan terkait dengan komponen pembiayaan yang ditentukan

untuk dilakukan pendanaan bersama yaitu 6 komponen yang terdiri dari

honorarium, uang lembur, pengangkutan, perjalanan dinas, alat kelengkapan TPS

dan pemutakhiran data pemilih. Setelah kesepakatan bersama tersebut disepakati

besaran beban masing - masing pemerintah daerah untuk pembiayaan komponen

pendanaan bersama, kemudian anggaran kebutuhan pembiayaan penyelenggaraan

Pemilukada Provinsi Jawa Barat serta pemilukada Kota Sukabumi didistribusikan

kepada masing-masing penyelenggara pemiliukada yaitu KPU Provinsi dan KPU

Kota Sukabumi oleh masing - masing pemerintah daerah, dalam hal ini alokasi

anggaran pelaksanaan pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur di kota sukabumi

oleh KPU Provinsi didistribusikan ke KPU Kota Sukabumi sebagai penyelenggara

Pemilu Gubernur ditingkat Kota Sukabumi. Disinilah Pendanaan Bersama

tersebut akan terlaksana sesuai dengan kesepakatan bersama pemerintah Provinsi

Jawa Barat dan Pemerintah Kota Sukabumi sebagaimana diatur dalam

Permendagri 57 tahun 2009.

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

2.4 Kerangka Pemikiran Dan Proposisi Penelitian

Dari uraian diatas untuk dapat dipahami bahwa mengenai kebijakan yang

sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam hal penyelenggaraan pemilukada diatur

sebagaiaman hierarki ketentuan perundang - undangan dimulai dari UUD 1945

yang mengamanatkan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah dilakukan secara

demokratis yang kemudian dijabarkan oleh para pembuat kebijakan dengan UU

no 32 tahun 2004 sebagaimana telah dirubah 2 kali dan terakhir oleh UU No 12

Tahun 2008 yang mengatur bahwa pelaksanaan Pemilukada dilaksanakan secara

langsung dan dalam satu pasangan dengan wakil kepala daerah selanjutnya secara

tekhnis diatur oleh PP no 6 tahun 2005 sebagaimana telah diubah oleh PP 49

tahun 2008 Tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian

kepala daerah dan wakil kepala daerah dan pendanaan Pemilukada diatur dalam

permendagri no 44 tahun 2005 pedoman pengelolaan belanja pemilihan umum

kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana telah diubah Permendagri no

57 tahun 2009, sejalan dengan itu pengaturan tentang penyelenggara pemilihan

umum yang diatur oleh UU No. 22 tahun 2007 sebagaimana telah diubah oleh UU

No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum juga menempatkan

pemilukada sebagai bagian dari rezim pemilihan umum dengan memberikan

kewenangan KPU sebagai Penyelenggara Pemilu untuk membuat ketentuan -

ketentuan tekhnis melalui Peraturan KPU (PKPU) dalam penyelenggaraan

Pemilukada sehingga secara alur bagan hierarki perundang-undangan tersebut

dapat dilihat pada pada gambar dibawah ini :

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

Gambar 4. Bagan Ketentuan perundang - undangan yang menjadi dasar hukum

pendanaan pemilukada :

Melihat alur Pola Pendanaan bersama (gambar 1) dan bagan ketentuan

perundang - undangan (gambar 2) tesebut dan mencermati pendapat Gerston

UUD 45 pasal 18 ayat 4 (Kepala daerah dipilih secara demokratis)

UU 32 tahun 2004 tentangpemerintahan Daerah Pasal 56ayat 1 (pemaknaan demokratis kepala

daerah dipilih secara langsung)sebagaimana telah dirubah 2 kali dan

terakhir oleh UU No 12 tahun 2008(menegaskan pemilukada dalam wilayah

yang sama dalam kurun waktu 90 haripemungutan suaranya dilaksanakan pada

hari dan tanggal yang sama)

UU 22 tahun 2007 tentangPenyelenggara Pemilu

(mengamanatkan pemilukadasebagai erzim pemilihan umum

dan KPUD sebagaipenyelenggara) sebagaimanatelah dirubah oleh UU no 15

tahun 2011 tentangpenyelenggara pemilu

PP No 2005 tentang pemilihan,pengesahan pengangkatan, dan

pemberhentian kepala daerah danwakil kepala daerah sebagaimana telah

diubah Permendagri no 57

Peraturan – peraturan KPUdiantaranya PKPU no 9 tahun 2009Program jadwal tahapan pemilukada

Permendagri no 44 (pedomanpengelolaan belanja pemilihan umumkepala daerah & wakil kepala daerah)

sebagaimana telah diubah permendagrino 57

Permendagri no 44 (pedomanpengelolaan belanja pemilihan umumkepala daerah & wakil kepala daerah)

sebagaimana telah diubah permendagrino 57

Rincian Kegiatan danAnggaran (RKA) dan Rencana

Kebutuhan Biaya (RKB)Pemilukada

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

(2002, 14) yang menyatakan bahwa kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan

pada semua tingkatan pemerintahan, karenanya tanggung-jawab para pembuat

kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya.

Kebijakan pendanaan bersama yang menjadi beban pemerintah daerah dalam

merumuskan dan menentukan alokasi besaran anggaran untuk mendanai

komponen - komponen pendanaan bersama pemilukada bersama Provinsi Jawa

barat dan Pemilukada Kota Sukabumi sebagaimana ketentuan pasal 8A

Permendagri No 57 Tahun 2009 yang mengamanatkan Provinsi Jawa - Barat dan

Kota sukabumi karena melakukan pendanaan bersama dalam Pemilukada yang

dilaksanakan secara bersamaan menetapkan besaran dana yang akan dibebankan

kepada masing-masing pemerintah daerah. Kemudian penetapan besaran dana

yang akan dibebankan kepada pemerintah Provinsi Jawa - Barat dan Pemerintah

Kota Sukabumi ditetapkan secara proporsional sesuai dengan beban kerja. Yang

selanjutnya Beban kerja masing - masing pemerintah daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) disepakati bersama dan ditetapkan dalam Keputusan

Gubernur. Sebagaimana telah dikemukakan dilatar belakang bahwa Gubernur

telah menetapkan Standar Honorarium dan Uang lembur.

Merujuk pada pendapat Anderson , Jann dan Weidrich, dan Mara Sydney

sebagaimana telah diuraikan dalam tinjauan pustaka yang mengemukakan

pendapat yang hampir sama dalam perumusan kebijakan, bahwa perumusan

kebijakan menyangkut upaya menjawab dua hal yaitu :

1) Bagaimana alternatif - alternatif yang dibangun dalam menentukan

kesepakatan besaran beban komponen - komponen pendanaan bersama

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

2) Siapa dan bagaimana aktor – aktor resmi maupun tidak resmi yang

mempengaruhi dalam memainkan peran menentukan alternatif yang diambil

dalam permasalahan pendanaan bersama.

Gambar 3. Bagan Alur Perumusan Kebijakan Kesepakatan Komponen -

Komponen Pendanaan Bersama di bawah ini :

Prosesnya diawali dari pengalokasian anggaran untuk kebutuhan pemilihan

umum Gurbernur dan Wakil Gurbernur Jawa Barat telah ditentukan dalam APBD

Provinsi untuk kebutuhan pemilu Gurbernur diseluruh wilayah Jawa Barat, dan

Alokasi Anggaran untukpenyelenggaraan Pemilu

Gubernur dan WakilGubernur di Kota Sukabumidari APBD Provinsi Jabar

Alokasi Anggaran untukpenyelenggaraan Pemilu

Walikota dan WakilWalikota di Kota Sukabumidari APBD Kota Sukabumi

Alternatif – alternatif untukmenentukan besaran beban

komponen – komponenpendanaan bersama antaraPemerintah Provinsi JawaBarat dan pemerintah Kota

Sukabumi

Aktor – aktor yang terlibatbaik resmi maupun tidak

resmi yang mempengaruhidan menentukan lesepakatan

besaran beban pendanaanbersama antara pemerintah

Provinsi Jawa barat danpemerintah Kota Sukabumi

Kebijakan Kesepakatan proporsionalitas besaran pembiayaan6(enam) komponen Pendanaan Bersama yang menjadi bebanPemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota Sukabumiuntuk komponen :

1. Honorarium2. Uang lembur3. Pengangkutan4. Alat -alat Kelengkapan TPS5. Perjalanan Dinas6. Pemutakhiran Data Pemilih

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

pada saat yang sama Kota Sukabumi sebagai bagian dari Provinsi Jawa Barat juga

menentukan alokasi anggaran untuk Pemilu Walikota dan Wakil Walikota

Sukabumi namun dengan kondisi APBD Kota Sukabumi dengan Tingkat

Pendapatan Asli Daerah yang minim memiliki keterbatasan anggaran dalam

memenuhi usulan pembiayaan pemilu Walikota dan Wakil Walikota sukabumi

sebesar 19,6 miliar dari penyelenggara pemilu di Kota Sukabumi, dengan hanya

mengalokasikan anggaran 8 miliar untuk tahun 2012 dan anggaran tersebut juga

dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pengawas pemilu dan pengamanan, dan

sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa untuk kebutuhan

penyelenggara pemilu tahun 2012 pemerintah kota Sukabumi hanya

mengalokasikan 4,6 m yang sudah barang tentu sangat jauh dari kebutuhan,

besarnya kebutuhan anggaran untuk penyelenggaraan pemilihan Walikota dan

Wakil Walikota Sukabumi serta adanya kebijakan pendanaan bersama dalam

rangka Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Daerah yang pemungutan suaranya

dilaksanakan pada hari dan tanggal yang sama, menjadi permasalahan yang

mendapat perhatian pemerintah Kota Sukabumi dan pemerintah Provinsi Jawa

Barat. Sehingga menjadi agenda kebijakan untuk selanjutnya dilakukan

perumusan kesepakatan antara pemerintah Kota Sukabumi dan pemerintah

Provinsi Jawa Barat mengenai pendanaan bersama pemilihan Walikota dan Wakil

Walikota Sukabumi dan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat

yang dilaksanakan Di Kota Sukabumi.

Bagaimana proses perumusan kesepakatan komponen pendanaan bersama

tersebut dirumuskan dan disepakati, dengan menjadikan permasalahan beban

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

alokasi pembiayaan pemilihan walikota dan wakil walikota sukabumi bersama

dengan pemlihan Gubernur dan Wakil Gubernur yang harus disediakan oleh

pemerintah Kota Sukabumi dan Pemerintah Jawa Barat dan disepakati sebagai

permasalahan yang masuk kedalam agenda kebijakan pemerintah Kota Sukabumi

dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dengan merumuskan alternatif - alternatif

atau pilihan - pilihan apa saja yang diusulkan untuk disepakati dalam pembiayaan

komponen honorarium, uang lembur, alat - alat kelengkapan TPS, pengangkutan,

perjalanan dinas, dan pemutakhiran data pemilih (sesuai pasal 8 Permendagri no

57 tahun 2009), dalam merumuskan kesepakatan pendanaan bersama,

sebagaimana dinyatakan Anderson (2006,104), para perumus kebijakan perlu

mempertimbangkan beberapa faktor agar usulan kebijakan yang dirumuskan dapat

berhasil menyelesaikan permasalahan beban alokasi pembiayaan pendanaan

bersama antara pemerintah Kota Sukabumi dengan Pemerintah Jawa Barat yang

harus disepakatiu, yaitu : (1) Apakah usulan pembagian alokasi beban

pembiayaan pendanaan bersama tersebut memadai secara tekhnis, (2) apakah

anggaran yang diusulkan untuk pembiayaan komponen pendanaan bersama

tersebut masuk akal atau dapat diterima? (3) apakah secara politik usulan besaran

beban pembiayan komponen pendanaan bersama dapat diterima? Apakah usulan

besaran beban komponen pendanaan bersama tesebut juga mendapat dukungan

dari anggota Dewan ? (4) jika Usulan besaran beban pembiayaan komponen

pendanaan bersama tersebut disepakati, dapatkah juga disetujui oleh Publik?

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan

sebelumnya, maka Proposisi yang dibangun sebagaimana terlihat pada gambar

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumusan Kebijakanmedia.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170520090501_2_2880.pdf · kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya

kerangka pemikiran dibawah ini yaitu :

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Perumusan Kebijakan Kesepakatan Komponen

Pendanaan Bersama Pemilukada Bersama di Kota Sukabumi

Sehingga proposisi yang disusun penulis yaitu sebagai berikut : "Perumusan

kebijakan beban pembiayaan komponen pendanaan bersama dapat menghasilkan

kesepakatan antara pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota

Sukabumi sebagai sebuah kebijakan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan

komponen pendanaan bersama dengan memperhatikan altematif atau pilihan -

pilihan yang diusulkan, serta aktor - aktor yang terlibat baik aktor resmi maupun

aktor tidak resmi dan bagaimana aktor - aktor tersebut mempengaruhi terhadap

perumusan kesepakatan kebijakan pembiayaan komponen pendanaan bersama.

Perumusan Kebijakan KesepakatanPembiayaan Komponen Pendanaan Bersama

Alternatif - alternatif untukmenentukan kesepakatan beban

pembiayaan komponen pendanaanbersama antara Pemerintah Provinsi

Jawa Barat dan Pemerintah KotaSukabumi

Aktor-aktor yang terlibat baik resmimaupun tidak resmi yang mempengaruhi

dan menentukan kesepakatan besaranbeban pendanaan bersama antara

Pemerintah Provinsi Jawa Barat danPemerintah Kota Sukabumi

Kesepakatan alokasi besaran beban pembiayaan komponen PendanaanBersama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota

Sukabumi untuk komponen Honorarium, Uang lembur, Pengangkutan, Alat -alat Kelengkapan TPS, Perjalanan Dinas dan Pemutakhiran Data Pemilih.

Agenda Kebijakan :Tersedianya besaran beban anggaran pembiayaan komponen pendanaan

bersama untuk pemilukada bersama di Kota Sukabumi oleh Pemerintah KotaSukabumi dan Pemerintah Jawa Barat