12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Penelitian Terdahulu
Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang temanya dianggap
relevan dengan penelitian ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Taufik Lukman pada tahun 2009 yang
mengetengahkan judul Pengaruh Introduksi Teknologi dan Kelembagaan terhadap
Peningkatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani, dengan sub judul Kasus di
Lokasi Prima Tani Desa Sangiang Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui pengaruh introduksi teknologi dan
kelembagaan usahatani terhadap pendapatan petani dan ketahanan pangan rumah
tangga petani di Desa Sangiang, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka.
Penelitian Taufik Lukman ini dilatarbelakangi oleh pengalaman dari
pelaksanaan berbagai program dan kegiatan di lingkup pertanian seperti program
kredit usahatani, program peningkatan produktivitas padi terpadu yang
menunjukkan pembinaan, introduksi teknologi, dan kelembagaan sarana prasarana
yang diaplikasikan kepada petani kurang sesuai dengan kebutuhan petani baik dari
segi jenis, waktu, dan jumlah. Keadaan tersebut menjadi masalah bagi
pelaksanaan kegiatan, sehingga hasil kegiatan tidak sesuai dengan tujuan yang
diharapkan.
Desain penelitian Taufik Lukman menggunakan metode survey eksplanatori
yang dilaksanakan melalui pengumpulan data di lapangan dengan unit analisis
13
petani yang tergabung dalam kelompok tani yang mendapat pembinaan dari tim di
desa lokasi kegiatan Prima Tani yaitu Desa Sangiang. Dan populasi untuk sampel
dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani yang mendapat pembinaan dalam
usaha tani. Penentuan sampel dilakukan secara propotional random sampling, dari
anggota kelompok tani yang menjadi binaan kegiatan Prima Tani. Jumlah sampel
yang diperlukan 20 persen dari populasi petani yang dibina, dengan harapan dapat
mewakili seluruh rumah tangga petani di desa tersebut.
Berbeda dengan penelitian ini, penelitian Taufik Lukman menggunakan 3
(tiga) operasional variabel, yaitu variabel teknologi, kelembagaan dan ketahanan
pangan. Sebagai indikator ketahanan pangan, Taufik Lukman menggunakan
pendapatan dari usahatani, pendapatan dari non-usahatani, pengeluaran untuk
konsumsi dan pengeluaran untuk non-konsumsi.
Hasil dari penelitian Taufik Lukman ini menunjukkan bahwa teknologi dan
kelembagaan berpengaruh positif terhadap peningkatan ketahanan pangan rumah
tangga petani dan terdapat hubungan yang erat antara teknologi dan kelembagaan
sebagai bagian dari program Prima Tani dalam meningkatkan ketahanan pangan
rumah tangga petani.
Penelitian berikutnya yang berkenaan dengan implementasi kebijakan
program yaitu penelitian yang dilakukan oleh Sri Endang Wijayanti pada tahun
2003, dengan judul Pengaruh Implementasi Program Pembinaan Lumbung
Pangan terhadap Kualitas Pengelolaan Lumbung Pangan Masyarakat Desa di
Kabupaten Sumedang. Lokasi penelitian difokuskan pada 6 (enam) lumbung
pangan di Kabupaten Sumedang yang pernah dibina oleh Pemerintah Propinsi
Jawa Barat tahun 1999 – 2001.
14
Latar belakang penelitian ini adanya kebijakan pembinaan Lumbung Pangan
Masyarakat Desa yang sudah lama diinisiasi dan tetap menjadi salah satu kegiatan
dalam melaksanakan Program Pembangunan Pertanian di Indonesia. Dalam
perkembangannya, jumlah lumbung pangan tidak berkembang cukup baik bahkan
sebaliknya mengalami penurunan.
Oleh sebab itu, penelitian Sri Endang ini bertujuan untuk mengetahui
pelaksanaan Program Pembinaan Lumbung Pangan dalam meningkatkan kualitas
pengelolaan lumbung pangan masyarakat desa, dan mengetahui serta menganalisis
sejauhmana implementasi Program Pembinaan Lumbung Pangan berpengaruh
terhadap kualitas pengelolaan lumbung pangan masyarakat desa.
Metode penelitian yang digunakan oleh Sri Endang yaitu metode deskriptif
analisis melalui survey. Responden diambil secara sensus, artinya diambil secara
keseluruhan dalam suatu populasi penelitian yaitu semua orang yang pernah
dilibatkan dalam Program Pembinaan Lumbung Pangan ditingkat propinsi.
Jumlah responden seluruhnya 32 orang terdiri dari 23 orang pengurus lumbung
dan pengawas lumbung yang pernah mendapat pembinaan serta 9 orang pelaksana
kebijakan dari tingkat propinsi, kabupaten dan kecamatan. Teknik analisis data
dilakukan dengan menggunakan perhitungan metode analisis regresi.
Penelitian Sri Endang ini menggunakan 2 (dua) variabel, yaitu variabel x
(implementasi program) yang terdiri dari dimensi pelatihan dan bimbingan, serta
variabel y (kualitas pengelolaan lumbung) yang terdiri dari dimensi perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa pelaksanaan Program Pembinaan Lumbung Pangan berjalan
cukup baik, namun dari hasil perhitungan statistik didapatkan bahwa hanya 21
15
persen saja Program Pembinaan Lumbung Pangan tersebut memberikan pengaruh
terhadap kualitas pengelolaan lumbung pangan sedangkan sisanya 79 persen
ditentukan oleh faktor-faktor lain diluar jangkauan penelitian.
Selanjutnya penelitian untuk tesis yang dilakukan oleh Dandi Pribadi,
mahasiswa Program Magister Universitas Padjadjaran. Beliau mengangkat judul
Pengaruh Implementasi Kebijakan Pemberdayaan Goro Badunsanak terhadap
Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan, suatu studi kasus tentang Program
Goro Badunsanak di Kabupaten Agam.
Penelitian ini berfokus untuk mengungkapkan sejauh mana hubungan
interaksi antara implementasi kebijakan pemberdayaan Goro Badunsanak dan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan serta bagaimanakah implementasi
kebijakan pemberdayaan Goro Badunsanak mempengaruhi partisipasi masyarakat
dalam pembangunan di Kabupaten Agam.
Penelitian ini menggunakan desain eksplanasi. Secara operasional, dimensi
implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat terdiri dari organisasi,
interpretasi dan aplikasi. Variabel partisipasi masyarakat dalam pembangunan
yaitu perencanaan, pelaksanaan, penerimaan dan pemanfaatan hasil serta evaluasi
dalam pembangunan. Responden berasal dari masyarakat di Kabupaten Agam
yang diambil berdasarkan metode cluster sampling. Secara kuantitatif data
dikumpulkan dengan teknik kuesioner dan telaah kepustakaan. Selanjutnya diolah
dan dianalisis koefisien determinasinya.
Hasil dari penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, terdapat
pengaruh antara implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat terhadap
partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dimana pengaruhnya bersifat
16
signifikan dan positif. Besarnya pengaruh implementasi kebijakan pemberdayaan
masyarakat (Goro Badunsanak) terhadap partisipasi masyarakat dalam
pembangunan ditunjukkan oleh hasil penelitian bahwa efektivitas implementasi
kebijakan pemberdayaan masyarakat yang terdiri dari dimensi organisasi,
interpretasi dan aplikasi membawa implikasi yang positif terhadap partisipasi
masyarakat dalam pembangunan yang ditandai oleh adanya kesertaan masyarakat
secara dominan di perencanaan, pelaksanaan, penerimaan dan pemanfaatan hasil
serta evaluasi Program Goro Badunsanak.
2.1.2. Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan
proses kebijakan. Implementasi merupakan terjemahan dari kata
“implementation”, berasal dari kata kerja “to implement”. Dalam kamus Webster
(dalam Wahab, 2001 : 64) bahwa “to implement” berarti to provide the means for
carrying but; yang menekankan bahwa implementasi itu menimbulkan dampak
terhadap sesuatu. Implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses
untuk melaksanakan keputusan kebijaksanaan (biasanya dalam bentuk Undang-
undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau dekrit
presiden). Mazmanian dan Sabatier (dalam Hamdi, 1999 : 14) memberikan
penjelasan mengenai makna implementasi tersebut sebagai berikut :
Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program
dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian
implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-
kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman
kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/ dampak
nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.
17
Meter dan Horn (dalam Wahab, 2001 : 65) secara konseptual memberi
rumusan atau batasan tentang implementasi kebijakan sebagai berikut :
"those action by publics or private individuals (or groups) that are
directed at the achievement of objectives set forth in prior policy
decisions" (tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu--
individu / pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah
atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang
telah digariskan dalam keputusan kebijakan).
Pandangan itu memberi pemahaman bahwa implementasi kebijakan
merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana
tertentu dan dalam urutan waktu tertentu, dengan demikian yang diperlukan dalam
implementasi kebijakan adalah suatu tindakan seperti tindakan yang sah atau
implementasi suatu rencana peruntukan.
Implementasi kebijakan mengacu pada tindakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan, tindakan ini berusaha untuk
mengubah keputusan-keputusan tersebut menjadi pola-pola operasional serta
berusaha mencapai perubahan-perubahan besar atau kecil sebagaimana yang telah
diputuskan sebelumnya. Implementasi pada hakikatnya juga upaya pemahaman
apa yang seharusnya terjadi setelah sebuah program dilaksanakan.
Pandangan pakar ini juga memberi pemahaman bahwa proses implementasi
kebijakan tidak hanya menyangkut tindakan atau perilaku institusi yang
bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada
kelompok sasaran. Keberhasilan dalam implementasi kebijakan juga menyangkut
jaringan kekuatan politik, ekonomi, sosial, dan teknologi yang langsung ataupun
tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku semua pihak yang terlibat. Akhirnya
proses tersebut dapat menimbulkan dampak baik yang diharapkan maupun yang
tidak diharapkan.
18
Implementasi kebijakan merupakan proses yang krusial dalam proses
kebijakan publik. Tanpa adanya implementasi kebijakan, sebuah keputusan
kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan di atas meja para pejabat.
Implementasi kebijakan yang berhasil menjadi faktor penting dari keseluruhan
proses kebijakan (Winarno, 2004 : 162).
Kebijakan dapat melibatkan penjabaran lebih lanjut tujuan yang telah
ditetapkan tersebut oleh pejabat atau instansi pelaksana (Hamdi, 1999: 5). Suatu
program kebijaksanaan publik meliputi penyusunan cara tertentu dan tindakan
yang harus dijalankan, misalnya dalam bentuk tata cara yang harus ditaati atau
diikuti dalam implementasinya, patokan yang harus diadakan pada keputusan
pelaksanaan atau proyek yang konkret yang akan dan hendak dilaksanakan dalam
suatu jangka waktu tertentu, bahwa program tersebut telah menjadi bagian dari
kebijaksanaan publik yang akan diimplementasikan.
Implementasi kebijakan publik pada umumnya diserahkan kepada lembaga-
lembaga pemerintahan dalam berbagai jenjangnya hingga jenjang pemerintahan
yang terendah. Disamping itu, setiap pelaksanaan kebijaksanaan masih
memerlukan pembentukan kebijaksanaan dalam wujud peraturan perundang-
undangan lainnya. Dalam implementasi kebijakan publik biasanya akan terkait
dengan aktor pelaksana dalam berbagai kedudukan dan peran. Para pelaksana
kebijakan adalah para aktor yang satu dengan yang lainnya yang dibebankan
dengan penggunaan sarana. Organisasi pelaksana meliputi keseluruhan para aktor
pelaksana dan pembagian tugas masing-masing. Implementasi kebijakan publik
sangat penting untuk memberikan perhatian yang khusus kepada peran dari
kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) yang bertindak sebagai wakil
19
pelaksanaan atau sebagai objek kebijaksanaan. Dalam rangka mencapai tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya dalam suatu kebijakan publik, maka para
pelaksana kebijaksanaan sebenarnya dihadapkan pada dua masalah yaitu yang
berkaitan dengan lingkungan dan administrasi program.
Selanjutnya pengertian implementasi kebijakan dikemukakan pula oleh
Jones (1991 : 65) bahwa :
Implementasi kebijakan adalah merupakan konsep dinamis yang
melibatkan secara terus menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang
akan dan dapat dilaksanakan, yang mengatur aktivitas-aktivitas yang
mengarah kepada penempatan suatu program.
Lebih lanjut Jones (1991 : 164-166) menyebutkan bahwa ada tiga aktivitas
utama yang paling penting dalam implementasi kebijakan yaitu :
1. Organisasi : pembentukan atau penataan kembali sumber daya, unit- unit serta
metoda untuk menunjang agar program berjalan.
2. Interpretasi : menafsirkan agar program (umumnya dalam status) menjadi
rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta di laksanakan.
3. Aplikasi : ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran atau hal lainnya yang
disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program.
Penerapan suatu kebijakan publik akan melibatkan beraneka macam
kegiatan seperti, menyampaikan dan menekankan pengarahan, mengeluarkan
dana, pembentukan suatu organisasi, suatu birokrasi pemerintahan dan bahkan
melibatkan daerah atau negara lain, hal ini sesuai seperti yang dikemukakan oleh
Edward III dalam Tangkilisan (2003:11) bahwa :
Implementasi kebijakan dapat mencakup sekumpulan tindakan yang
luas yaitu : menetapkan dan mengimplementasikan instruksi-instruksi,
menentukan dana, pinjaman, menyerahkan bantuan, menyetujui
perjanjian, mengumpulkan data, menyerahkan informasi, menganalisa
20
masalah-masalah, mengangkat dan mengkaji membentuk organisasi,
menetukan alternatif, merencanakan masa yang akan datang, dan
bermusyawarah dengan rakyat, dengan kelompok-kelompok
kepentingan, dengan aktivitas bisnis, dengan komisi legislatif, unit-
unit birokrasi, serta bahkan dengan negara-negara lain.
Jadi implementasi kebijakan adalah kompleks, tidak akan diselesaikan
dalam waktu singkat dan tidak akan mungkin dapat mewakili seluruh kelompok
yang ada dalam masyarakat.
Sejalan dengan definisi implementasi kebijakan yang dikemukakan, jelaslah
bahwa mereka yang terlibat dalam implementasi kebijakan negara atau daerah
dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan yang telah ditetapkan
sebelumnya adalah pihak pemerintah sendiri dengan pihak kelompok-kelompok
individu yang berkepentingan yang ada dalam masyarakat dimana kebijakan itu
diimplementasikan. Peranan pemerintah dalam proses implementasi kebijakan
tampak dalam cara-cara suatu pemerintahan mengadakan intervensi kebijakan,
oleh Mustopadjaja (1994 : 124) menjelaskan bahwa hal ini bisa berupa:
1. Kebijakan langsung yaitu kebijaksanaan dimana untuk mencapai tujuan yang
dimaksud pemerintah mengimplementasikan berbagai keputusan, ketentuan
dan aturan yang terdapat dalam kebijaksanaan.
2. Kebijakan tidak langsung adalah berbagai keputusan atau perundang--
undangan, dimana untuk mcncapai tujuan yang dimaksud, pemerintah tidak
mengimplementasikan sendiri kebijakan tersebut tetapi hanya mengeluarkan
ketentuan atau aturan yang dapat mempengaruhi perilaku atau tindakan
masyarakat sehingga bergerak kearah yang sesuai dengan tujuan yang
dimaksud.
21
3. Kebijakan campuran adalah kebijakan dimana untuk mencapai tujuan-tujuan
yang dimaksudkan, terbuka kesempatan atau peran yang dapat di
implementasikan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh organisasi
kemasyarakatan ataupun campuran keduanya.
Implementasi kebijakan publik pada umumnya diserahkan kepada lembaga-
lembaga pemerintahan dalam berbagai jenjang. Dari pemerintah pusat hingga ke
pemerintah desa. Disamping itu, setiap pelaksanaan kebijakan masih memerlukan
pembentukan kebijakan dalam wujud peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam implementasi kebijakan publik biasanya terkait dengan aktor pelaksana
dalam berbagai kedudukan dan peran yang disertai dengan penggunaan berbagai
sarana. Organisasi pelaksana meliputi keseluruhan para aktor pelaksana dan
pembagian tugas masing-masing. Implementasi kebijakan publik sangat penting
untuk memberikan perhatian yang khusus kepada peran dari kelompok-kelompok
kepentingan (interest groups) yang bertindak sebagai wakil pelaksana atau
sebagai objek kebijakan. Dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya dalam suatu kebijakan publik, maka para pelaksana kebijakan
sebenarnya dihadapakan pada dua permasalahan yaitu yang berkaitan dengan
lingkungan interaksi program dan administasi program.
Dapat disimpulkan bahwa kebijakan memiliki tiga buah komponen yang
berinteraksi secara timbal balik sebagai berikut :
1. Pelaku kebijakan, yaitu badan pemerintah maupun orang atau lembaga non-
pemerintah yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Mereka dapat
mempengaruhi dan sekaligus terkena pengaruh dari suatu kebijakan.
22
2. Lingkungan kebijakan, yang dimaksud dengan lingkungan kebijakan
bukannya orang-orang atau lembaga yang berada disekitar dan mempengaruhi
pemerintah selaku penentu akhir suatu kebijakan, melainkan menunjuk pada
bidang-bidang kehidupan, masyarakat yang dapat atau perlu dipengaruhi oleh
pelaku kebijakan. Seperti demokrasi, pengangguran, produktivitas kerja,
pencemaran alam, urbanisasi dan ketimpangan distribusi pendapatan.
3. Kebijakan publik, yaitu serangkaian pilihan tindakan pemerintah untuk
menjawab tantangan kehidupan masyarakat.
Kemudian Warwick dalam Islamy (2004 : 63) menyatakan bahwa dalam
proses implementasi kebijakan terdapat faktor-faktor pendorong yang terdiri atas :
1. Kemampuan organisasi; dalam tahap ini, implementasi kebijakan dapat
diartikan sebagai kemampuan melaksanakan tugas-tugas yang seharusnya,
seperti yang telah dibebankan atau ditetapkan pada suatu organisasi.
Kemapuan organisasi terdiri dari tiga unsur pokok yaitu : (1) Kemampuan
teknis, (2) Kemampuan dalam menjalin hubungan dengan organisasi lain yang
beroperasi dalam bidang yang sama dalam arti perlu koordinasi antara instansi
terkait, (3) Meningkatakan sistem pelayanan dengan mengem-bangkan SOP
(Standard Operating Procedures) yaitu pedoman tata aliran dalam
pelaksanaan kebijakan.
2. Komitmen para pelaksana; salah satu asumsi yang sering keliru ialah jika
pemimpin telah siap untuk bergerak, maka bawahan akan segera ikut. Dalam
kenyataanya kesediaan dan kemauan bawahan untuk rnengerjakan dan
melaksanakan suatu kebijakan yang telah disetujui sangat bervariasi.
23
3. Dukungan dari kelompok kepentingan; pelaksanaan kebijakan sering lebih
berhasil bila mendapat dukungan dalam kelompok-kelompok kepentingan
dalam masyarakat.
Sedangkan faktor-faktor penghambat dalam proses implementasi kebijakan
terdiri atas :
1. Banyaknya pelaku (aktor) yang terlibat; yaitu bilamana terlalau banyak pihak
maka turut mempengaruhi pelaksanaan, makin rumit pengambilan keputusan
sehingga terjadi kelambatan dalam proses pelaksanaan kebijakan.
2. Komitmen yang melekat pada kebijakan itu sendiri, seringkali mengalami
kesulitan dalam pelaksanaan karena sifat hakiki dari kebijakan itu sendiri
seperti faktor teknik, ekonomi, pengadaan sarana dan perilaku pelaksana.
3. Pengambilan keputusan yang terlalu banyak; hal ini menyebabkan banyak
jenjang dan tempat pengambilan keputusan yang diperlukan sebelum
kebijakan dilakukan, berarti makin banyak waktu yang dibutuhkan guna
persiapan pelaksanaan. Begitu pula pada tahap operasionalnya.
Dengan demikian apabila suatu kebijakan publik memperhatikan faktor--
faktor yang mempengaruhi serta juga memperhatikan prosedur yang ada, maka
diharapkan pelaksanaan suatu kebijakan akan berhasil dengan efektif.
Winarno (2004 : 112) menyatakan implementasi akan berjalan efektif bila
ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan dipahami oleh individu-individu yang
bertanggung jawab dalam pencapaian kebijakan. Selanjutnya menurut Van Meter
dan Van Horn (dalam Winarno, 2004 : 113), implementasi yang berhasil
seringkali membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga.
Hal ini sebenarnya akan mendorong kemungkinan yang lebih besar bagi pejabat-
24
pejabat tinggi (atasan) untuk mendorong pelaksana (bawahan) bertindak dalam
suatu cara yang konsisten dengan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan
kebijakan.
2.1.3. Ketahanan Pangan Masyarakat Desa
Ketahanan pangan merupakan salah satu isu strategis dalam pembangunan
yang berkelanjutan, namun seringkali terlupakan dalam suatu proses perencanaan
pengembangan wilayah. Menurut Sen (dalam Simatupang, 2007), ketahanan
pangan memiliki peran ganda yaitu sebagai salah satu sasaran utama
pembangunan dan sebagai salah satu instrumen utama pembangunan ekonomi.
Peran pertama merupakan fungsi ketahanan pangan sebagai prasyarat untuk
terjaminnya akses pangan bagi semua penduduk negara dalam jumlah dan kualitas
yang cukup untuk eksistensi hidup, sehat, dan produktif. Akses terhadap pangan
yang cukup merupakan hak azasi manusia yang harus selalu dijamin oleh negara
bersama masyarakat. Peran kedua, merupakan implikasi dari fungsi ketahanan
pangan sebagai syarat keharusan dalam pembangunan sumberdaya manusia yang
kreatif dan produktif yang merupakan determinan utama dari inovasi ilmu
pengetahuan, teknologi dan tenaga kerja produktif. Sehingga dapat dikatakan
bahwa ketahanan pangan juga memiliki fungsi sebagai salah satu determinan
lingkungan perekonomian yang stabil dan kondusif bagi pembangunan.
Konsep ketahanan pangan (food security) lebih luas dibandingkan dengan
konsep swasembada pangan, yang hanya berorientasi pada aspek fisik kecukupan
produksi bahan pangan. Menurut Amartya Sen (dalam Lassa, 2006), ketidak-
tahanan pangan dan kelaparan justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas
25
pangan bukan karena soal produksi dan ketersediaan semata, bahkan ketika
produksi pangan melimpah ibarat tikus mati di lumbung padi. Kerawanan pangan
terjadi dimana situasi pangan tersedia tetapi tidak mampu diakses rumah tangga
karena keterbatasan sumberdaya ekonomi yang dimiliki (pendapatan, kesempatan
kerja, sumberdaya ekonomi lainnya). Hal ini konsisten dengan pendapat Sen
(dalam Lassa, 2006) bahwa produksi pangan bukan determinan tunggal ketahanan
pangan, melainkan hanyalah salah satu faktor penentu.
Menurut Hanani (2008), sampai saat ini di Indonesia, banyak kalangan
praktis dan birokrat kurang memahami pengertian swasembada pangan dengan
ketahanan pangan. Akibat dari keadaan tersebut konsep ketahanan pangan
seringkali diidentikkan dengan peningkatan produksi ataupun penyediaan pangan
yang cukup. Swasembada pangan umumnya merupakan capaian peningkatan
ketersediaan pangan dengan wilayah nasional, sedangkan ketahanan pangan lebih
mengutamakan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi
untuk sehat dan produktif. Perbedaan swasembada pangan dengan ketahanan
pangan disajikan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan
Indikator Swasembada Pangan Ketahanan Pangan
Lingkup Nasional Rumah tangga dan
individu
Sasaran Komoditas pangan Manusia
Strategi Substitusi impor Peningkatan ketersediaan
pangan, akses pangan,
dan penyerapan pangan
Output Peningkatan produksi
pangan
Status gizi (penurunan :
kelaparan, gizi kurang,
dan gizi buruk)
Outcome Kecukupan pangan oleh
produk domestik
Manusia sehat dan
produktif (angka harapan
hidup tinggi) Sumber : Hanani, 2008
26
Oleh karenanya saat ini beberapa ahli sepakat bahwa ketahanan pangan
minimal mengandung dua unsur pokok, yaitu “ketersediaan pangan” dan
“aksesibilitas masyarakat” terhadap bahan pangan tersebut. Salah satu dari unsur
diatas tidak terpenuhi, maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai
ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional
dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya
tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh. Aspek distribusi
bahan pangan sampai ke pelosok rumah tangga perdesaan juga tidak kalah
pentingnya dalam upaya memperkuat strategi ketahanan pangan (Arifin, 2004 :
31-32).
Pengertian ketahanan pangan sendiri menurut FAO (1996) adalah situasi
dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk
memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga
tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Pengertian ini
kemudian diadopsi dalam UU Nomor 7 Tahun 1996 Ketahanan Pangan
didefinisikan sebagai kondisi di mana terjadinya kecukupan penyediaan pangan
bagi rumah tangga yang diukur dari ketercukupan pangan dalam hal jumlah dan
kualitas dan juga adanya jaminan atas keamanan (safety), distribusi yang merata
dan kemampuan membeli.
Berdasarkan pengertian tersebut, ketahanan pangan merupakan suatu konsep
yang luas dan kompleks ditentukan oleh interaksi kondisi fisik pertanian, sosial
ekonomi, dan faktor-faktor lingkungan. Menurut Riely et.al. (1999 : 6), dalam
buku Food Security Indicators and Framework for Use in the Monitoring and
Evaluation of Food Aid Programs,
27
The complexity of the food security problem can be effective by
focusing on three distinct, but inter-related dimensions of the concept
as mentioned above : food availability, food access, and food
utilization.
Riely et.al. (1999 : 8) mengungkapkan bahwa ketersediaan pangan (food
availability) dicapai pada saat kecukupan kuantitas pangan tersedia bagi seluruh
individu secara konsisten di seluruh wilayah negeri.
Kemudian keterjangkauan pangan (food access) dipastikan terpenuhi secara
efektif ketika rumah tangga atau seluruh individunya memiliki sumberdaya yang
cukup untuk memperoleh pangan yang sewajarnya dan bergizi. Keterjangkauan
pangan ini lebih jauh ditentukan oleh kemampuan rumah tangga mendapatkan
pangan dari produksi sendiri dan persediaan, dari pasar, dan dari sumber lainnya
(dalam Riely et al, 1999 : 12).
Selanjutnya Riely et al (1999 : 8) juga mengungkapkan efektivitas
pemanfaatan pangan (food utilization) bergantung pada ukuran pemahaman
pengetahuan dari rumah tangga dalam hal penyimpanan pangan dan teknik
pengolahan, prinsip dasar kandungan gizi pangan dan perawatan anak yang tepat,
serta pencegahan penyakit.
Menurut Kasryno (dalam Rahadian, 2007) yang sangat sensitif
mempengaruhi ketahanan dan keamanan pangan di tingkat rumah tangga adalah
daya beli atau keterjangkauan komoditi pangan. Golongan masyarakat yang
sangat rentan terhadap perubahan ini adalah angkatan kerja yang bekerja pada
sektor informal dengan kualitas dan produktivitas tenaga kerja yang masih rendah.
Kondisi ini diperparah oleh terbatasnya jangkauan terhadap penguasaan lahan
pertanian dan aset produktif lainnya. Karena itu dapat disimpulkan bahwa masalah
yang sangat mendasar dalam ketahanan pangan adalah keterjangkauan pangan
28
oleh rumah tangga dan masalah kehandalan dan keberlanjutan dari penyediaan
pangan. Keterjangkauan pangan oleh keluarga ditentukan oleh tingkat pendapatan
dan harga pangan. Kehandalan dan keberlanjutan ditentukan oleh kemampuan dan
stabilitas produksi pangan dalam negeri dan kemampuan pembiayaan untuk
mengimpor serta keadaan penyediaan pangan di pasar internasional. Suatu kondisi
ketahanan pangan secara makro dapat terealisasi apabila semua aspek atau
dimensi yang terkait dengan ketahanan tersebut harus bekerja sesuai dengan
sistem dan fungsinya.
2.2. Kerangka Pemikiran
Kebijakan publik merupakan wujud dari komitmen pemerintah yang
diterjemahkan dalam program-program, mempunyai tujuan-tujuan dan prinsip-
prinsip serta tindakan-tindakan pemerintah dalam menyikapi berbagai
permasalahan publik. Dalam konteks implementasi kebijakan, Dunn (1998 : 80)
berpendapat bahwa implementasi kebijakan adalah pelaksanaan dan pengendalian
arah tindakan kebijakan sampai dicapainya hasil kebijakan.
Pelaksanaan kebijakan merupakan langkah yang sangat penting dalam
proses kebijakan. Tanpa pelaksanaan, suatu kebijakan hanyalah sekedar sebuah
dokumen yang tidak bermakna dalam kehidupan bermasyarakat.
Banyak terdapat faktor yang mempengaruhi dalam implementasi kebijakan
negara. Hal ini berkaitan pula dengan efektifnya suatu kebijakan, sebagaimana
dikemukakan oleh Islamy (2000 : 107) :
Suatu kebijakan negara akan bersifat efektif bila dilaksanakan dan
mempunyai dampak positif bagi masyarakat, dengan kata lain,
tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota masyarakat itu
bersesuaian dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara.
29
Dengan demikian kalau mereka tidak bertindak/berbuat sesuai dengan
keinginan pemerintah/negara itu maka kebijakan tidak efektif.
Pemikiran itu, menunjukan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu
tindakan strategis pemerintah untuk memberdayakan masyarakat yang pada
gilirannya bermuara pada kepentingan rakyat. Menurut Chambers (dalam
Kartasasmita, 1996 : 142), “bahwa pemberdayaan merupakan suatu konsep
pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial". Konsep ini
mencerminkan paradigma haru pembangunan yakni yang bersifat people centered,
participatory, empowering and sustainable. Konsep ini lahir sebagai antitesis dari
model pembangunan dan model industrialisasi yang dianggap kurang berpihak
kepada kepentingan rakyat.
Implementasi berkenaan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada
realisasi program (Gordon, 1986 dalam Keban, 2008 : 76). Dalam hal ini,
administrator mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan
menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Mengorganisir berarti mengatur
sumberdaya, unit-unit dan metode-metode untuk melaksanakan program.
Melakukan interpretasi berkenaan dengan menterjemahkan bahasa atau istilah-
istilah program ke dalam rencana-rencana dan petunjuk-petunjuk yang dapat
diterima dan feasible. Menerapkan berarti menggunakan instrumen-instrumen,
mengerjakan atau memberikan pelayanan rutin, melakukan pembayaran-
pembayaran. Atau dengan kata lain implementasi merupakan tahap merealisasi
tujuan-tujuan program. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah persiapan
implementasi, yaitu memikirkan dan menghitung secara matang berbagai
kemungkinan keberhasilan dan kegagalan, termasuk hambatan atau peluang-
30
peluang yang ada dan kemampuan organisasi yang diserahi tugas untuk
melaksanakan program.
Sebagai tindak lanjut dari komitmen untuk mengatasi masalah pangan, maka
membangun ketahanan pangan menjadi sangat penting dan strategis, karena
berdasarkan pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada satu
negara pun yang dapat melaksanakan pembangunan secara mantap, sebelum
mampu mewujudkan ketahanan pangan terlebih dahulu. Dengan memperhatikan
hal tersebut, kebijakan umum pemantapan ketahanan pangan diarahkan untuk
mengatasi tantangan dan masalah dengan mendayagunakan peluang yang tersedia
untuk memenuhi kecukupan pangan bagi setiap penduduk. Kecukupan pangan
tersebut dihasilkan oleh masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya,
kelembagaan dan budaya lokal sebagai nilai-nilai kearifan setempat.
Berbagai substansi yang menjadi komponen ketahanan pangan selalu
bergerak dinamis dan sinergis yang mendorong tercapainya keseimbangan gizi
masyarakat, dan semua itu merupakan bidang kerja berbagai sektor dalam
pembangunan. Sektor pertanian diharapkan berperan sentral dalam memantapkan
ketahanan pangan, bekerjasama dengan sektor-sektor terkait. Dengan
memperhatikan hal tersebut maka pengembangan ketahanan pangan harus
memperhatikan seluruh komponen dalam sistem ketahanan pangan, dengan
ditunjang fungsi koordinasi, sinkronisasi, fasilitasi dan integrasi yang dinamis
melalui suatu pola pengorganisasian yang padu dan terdesentralisasi.
Program Desa Mandiri Pangan merupakan salah satu program pembangunan
masyarakat desa yang digulirkan untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat
dalam mencapai ketahanan pangan rumah tangga di wilayah-wilayah yang
31
dianggap rawan pangan. Melalui program tersebut diharapkan masyarakat tidak
hanya berpangku tangan saja, tetapi mampu berbuat sesuatu dalam arti tercapai
kemandirian untuk memenuhi kebutuhannya, terutama pangan.
Esensi kebijakan ketahanan pangan dicirikan oleh keterlibatan aktif
pemerintah dalam mengarahkan, merangsang dan mendorong elemen-elemen
terkait sehingga terbentuk suatu sistem ketahanan pangan nasional yang tangguh
dan berkelanjutan. Sistem ketahanan pangan merupakan bagian integral dari
sistem perekonomian nasional secara keseluruhan. Oleh karena itu, kebijakan
ketahanan pangan juga merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan
nasional sehingga perumusannya pun haruslah terpadu dan serasi dengan
kebijakan ekonomi makro. Permasalahan pangan di pedesaan, sebenarnya adalah
permasalahan lokal yaitu bagaimana sebenarnya kemampuan masyarakat
pedesaan dalam memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga didesanya sesuai
dengan preferensi dan kemampuan sumber daya yang dimiliki.
Dalam ketahanan pangan, pencapaian tujuan tidak hanya dilihat dari kualitas
kinerja petugas atau tingkat kepuasan masyarakat. Kepuasan masyarakat
merupakan hal yang subjektif sehingga sulit untuk menentukan pada standar
manakah kondisi ketahanan pangan yang dinilai memuaskan. Untuk mencapai
suatu penilaian yang obyektif maka dapat dilihat apakah ketahanan pangan
tersebut sudah sesuai dengan aturan yang tepat. Banyak ukuran yang dapat
dipakai untuk melihat baik tidaknya kondisi ketahanan pangan tetapi penulis
melihat apakah kondisi ketahanan pangan tersebut sudah baik atau tidak. Jika
kebijakan ketahanan pangan yang dibuat dapat meningkatkan antusiasme
32
masyarakat dalam menjaga ketahanan pangannya, berarti kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah dapat dikatakan baik.
Mencermati pemikiran-pemikiran yang telah diuraikan, maka hubungan
implementasi Program Desa Mandiri Pangan dengan ketahanan pangan di
Kabupaten Purwakarta dapat digambarkan kedalam diagram kerangka pemikiran
sebagai berikut :
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
2.3. Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka pemikiran yang telah
dikemukakan itu, maka dapat diajukan hipotesis bahwa : Besarnya
pengaruh dari implementasi Program Desa Mandiri Pangan terhadap
ketahanan pangan ditentukan oleh dimensi organisasi, interpretasi dan
aplikasi.
Program Desa
Mandiri Pangan
Implementasi
Program Desa
Mandiri Pangan
- Organisasi
- Interpretasi
- Aplikasi (Jones, 1991)
Ketahanan Pangan - Ketersediaan pangan
- Keterjangkauan pangan
- Pemanfaatan pangan
(Riely, et.al, 1999)