bab ii kajian pustaka 2.1. penuaan 2.1.1 definisi penuaan. bab ii.pdfseperti menurunnya gairah...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Penuaan
2.1.1 Definisi Penuaan
Penuaan merupakan suatu proses alami yang pasti dialami oleh setiap
individu di muka bumi ini. Penuaan adalah suatu proses menurunnya hingga
menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri
dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat
bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Dengan begitu manusia akan
mengalami berbagai tanda dan proses penuaan yang pada dasarnya dibagi menjadi
2 bagian, yaitu tanda fisik seperti massa otot berkurang, kadar lemak yang
meningkat, kulit berkerut, daya ingat menurun, fungsi seksual dan reproduksi
terganggu, serta kemampuan kerja menurun, juga dapat ditemukan tanda psikis
seperti menurunnya gairah hidup, sulit tidur, mudah cemas, mudah tersinggung
dan perasaan merasa tidak berarti lagi (Pangkahila, 2011).
Proses penuaan tidak terjadi begitu saja, namun berlangsung melalui 3 tahap
yaitu tahap subklinik pada usia 25-35 tahun dimana mulai terjadi penurunan
berbagai level hormon namun tidak terlihat dari luar sehingga dianggap usia muda
dan normal, kemudian masuk ke tahap transisi pada usia 35-45 tahun dimana level
hormon mulai menurun hingga 25%, masa otot berkurang, komposisi lemak tubuh
bertambah, pada tahap ini gejala mulai muncul dan berlanjut ke tahap klinik pada
usia 45 tahun ke atas dimana penurunan level hormon terus berlanjut, penyakit
2
kronis mulai terlihat lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan,
disfungsi seksual merupakan keluhan yang penting (Pangkahila, 2011).
2.1.2 Penyebab Penuaan
Setelah mencapai usia dewasa, secara alami seluruh komponen tubuh tidak
dapat berkembang lagi. Terdapat 2 faktor yang mempengaruhi, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal adalah radikal bebas,
hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan
yang menurun dan genetik. Faktor eksternal yang utama adalah pola hidup yang
tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, stres, kemiskinan dan diet
yang tidak sehat (Pangkahila, 2011).
Terdapat banyak teori yang menjelaskan tentang proses penuaan, namun
terdapat 4 teori utama yang saling melengkapi satu sama lain untuk terjadinya
proses penuaan di antaranya adalah :
2.1.2.1 Teori Wear and Tear
Teori ini dikenal juga dengan teori pakai dan rusak, diperkenalkan pertama
kali tahun 1882 oleh August Weismann yang merupakan seorang ahli biologi dari
Jerman yang pada prinsipnya menyatakan bahwa tubuh dan sel akan rusak karena
penggunaan dan disalahgunakan, baik penggunaan secara alami apalagi
penyalahgunaan. Kerusakan yang terjadi tidak terbatas pada organ melainkan juga
terjadi di tingkat sel. Pada usia muda, kerusakan yang terjadi dapat diatasi atau
dikompensasi karena sistem perbaikan dan pemeliharan yang masih baik, tetapi
3
seiring dengan bertambahnya umur, tubuh mulai kehilangan kemampuan
memperbaiki kerusakan karena penyebab apapun. Teori ini juga meyakini
pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat
membantu mengembalikan proses penuaan dengan merangsang kemampuan
tubuh untuk melakukan perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel
(Goldman dan Klatz, 2003; Pangkahila, 2011).
2.1.2.2 Teori Neuroendokrin
Teori ini berdasarkan pada peranan berbagai hormon yang mengatur
fungsi tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh
hipotalamus. Fungsi hormon mengatur dan memperbaiki fungsi tubuh. Pada usia
muda, berbagai hormon masih berfungsi baik dalam mengendalikan berbagai
fungsi organ tubuh. Ketika manusia menjadi tua, produksi hormon menurun,
fungsi tubuh menjadi terganggu. Beberapa contoh yang sering ditemui adalah
menopause pada wanita dimana terjadi penurunan hormon estrogen yang terjadi
karena proses penuaan, lebih jauh kualitas hidup menurun karena berbagai
keluhan yang muncul sebagai akibatnya, juga terjadinya penurunan kadar hormon
testosteron pada pria yang dimulai sejak usia 30 tahun dan terus menurun yang
kemudian menimbulkan berbagai keluhan yang disebut andropouse (Pangkahila,
2011).
4
2.1.2.3 Teori Kontrol Genetika
Teori terfokus pada kode genetik yang ada dalam DNA, meskipun seluruh
aspek diwariskan dalam gen tiap individu, waktu jam biologis tergantung pada
pola hidup penuaan masing-masing individu. Tiap individu memiliki jam biologis
yang telah diatur waktunya. Berhentinya jam biologis menandakan proses
penuaan dan meninggal (Goldman dan Klatz, 2003).
2.1.2.4 Teori Radikal Bebas
Radikal bebas adalah molekul tidak stabil yang sangat reaktif karena
mempunyai elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya, dapat bereaksi dengan
molekul lain, menimbulkan reaksi berantai yang sangat destruktif (Goldman dan
Klatz, 2003).
Radikal bebas dihasilkan dari pembakaran gula dan lemak yang kita
konsumsi untuk memberikan energi pada tubuh kita. Radikal bebas merusak
membran sel, kode DNA, enzim, protein, dan akhirnya terjadi kerusakan pada
seluruh organ. Kerusakan terjadi mulai dari lahir dan terus berlanjut hingga
meninggal. Pada usia muda, dampak penggantian sel yang masih berfungsi baik.
Seiring dengan usia bertambah, akumulasi kerusakan akibat radikal bebas akan
mengganggu metabolisme sel, terjadilah mutasi sel yang mengakibatkan
timbulnya kanker dan kematian (Goldman dan Klatz, 2003).
Antioksidan diyakini dapat menghambat kerusakan akibat radikal bebas
dimana superoksid dismutase pada antioksidan dapat mengubah radikal oksigen
5
menjadi hidrogen peroksida yang mengakibatkan degradasi oleh enzim katalase
menjadi oksigen dan air (Pangkahila, 2011).
2.1.3 Anti-Aging Medicine
Perkembangan ilmu Anti-Aging Medicine telah membawa konsep baru di
dunia kedokteran dimana berdasarkan konsep baru ini manusia tetap dapat hidup
dengan kualitas yang prima walaupun usia semakin menua, bahkan proses
penuaan dapat diperlambat, ditunda atau dihambat dan usia harapan hidup dapat
menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik. Proses penuaan
sebenarnya dapat dianggap sebagai penyakit yang dapat dicegah dan diobati.
Dengan mencegah proses penuaan, maka fungsi berbagai organ tubuh dapat
dipertahankan agar tetap optimal (Pangkahila, 2011).
2.2. Pronojiwo
2.2.1 Deskripsi Pronojiwo
Pronojiwo (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn) adalah salah satu jenis
tumbuhan obat yang hidup di daerah pegunungan dan cukup dikenal oleh
masyarakat. Tumbuhan ini juga termasuk dalam kategori dua ratus tumbuhan
langka Indonesia (Mogea et al., 2001). Di Bali dikenal dengan nama Purnajiwa,
sedangkan di Jawa dikenal sebagai Pronojiwo. Para balian usada (dukun pengobat
tradisional Bali) percaya bahwa biji Pronojiwo dapat digunakan sebagai obat kuat
penambah gairah seksual sehingga banyak dijadikan target eksplorasi masyarakat
sekitar hutan secara sporadis (Lemmens dan Bunyapraphatsara, 2003).
6
(A) (B) (C)
Gambar 2.1. Biji (A), Bunga (B) dan Pohon Pronojiwo (C) (Tirta et al, 2010).
2.2.2. Morfologi Pronojiwo
Morfologi Pronojiwo dapat dideskripsikan sebagai berikut : tanaman perdu
atau semak, tegak, tinggi mencapai 2 m. Batang mempunyai percabangan agak
jarang. Daun majemuk, tersusun spiral, berjumlah 3-5 helai, bentuk melonjong
atau membulat telur, agak berdaging. Perbungaannya berbentuk tandan, tegak,
berbulu halus, panjang 4-12 cm. Bunganya kecil, berwarna putih kekuningan,
berbentuk seperti kupu-kupu. Buahnya kecil, mengkilap, berbentuk lonjong,
panjang 1-2 cm, ketika belum masak berwarna hijau dan saat masak berwarna
hitam kebiruan, tiap buah berisi atau mengandung satu biji. Biji berbentuk lonjong
(Lemmens dan Bunyapraphatsara, 2003). Biasanya buah mulai masak sekitar
bulan Agustus sampai September (Siregar et al., 2004). Umumnya Pronojiwo
tumbuh secara mengelompok di hutan sekunder dan lereng gunung dengan
7
ketinggian antara 1.000-2.000 m dpl. Pronojiwo dapat pula dijumpai di kawasan
lainnya di Asia, seperti India, Filipina, dan di Indonesia tersebar di Sumatera,
Jawa dan Bali. Secara sistematis Pronojiwo dapat diklasifikasikan sebagai berikut
(Lemmens dan Bunyapraphatsara, 2003) :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Resales
Suku : Fabaceae
Marga : Euchresta
Jenis : Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.
2.2.3. Kandungan Pronojiwo
Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa dari 40 senyawa kimia yang
ditemukan, senyawa Kaur-16- ene tertinggi terdapat di akar (51,29%) dan batang
(36,13%). Selanjutnya senyawa asam palmitat ditemukan pada akar (16,07%),
batang (34,79%), daun (23,55%), kulit biji (13,79%), dan biji (36,13%). Hasil
analisis dari 8 senyawa di Laboratorium Universitas Udayana, diketahui
kandungan Vitamin C tertinggi terdapat pada kulit biji (2.254,32 mg/100 g) dan
antioksidan tertinggi ditemukan pada daun (126,94 ppm) (Tirta et al., 2010).
Tingginya kadar antioksidan dapat digunakan untuk mengikat radikal
bebas yang merupakan salah satu penyebab timbulnya penyakit. Antioksidan
8
merupakan zat yang dapat memperlambat proses oksidasi. Oksidasi adalah jenis
reaksi kimia yang melibatkan pengikatan oksigen, pelepasan hidrogen, atau
pelepasan elektron. Proses oksidasi adalah peristiwa alami yang terjadi di alam
dan dapat terjadi dimana-mana tak terkecuali di dalam tubuh kita. Vitamin C dan
vitamin E adalah salah satu antioksidan dari golongan vitamin. Terjadinya reaksi
oksidasi pada suatu tempat akan menghasilkan produk sampingan berupa radikal
bebas (OH). Tanpa kehadiran antioksidan maka radikal bebas ini akan menyerang
molekul-molekul lain di sekitarnya. Reaksi ini akan dapat menghasilkan radikal
bebas lain yang siap menyerang molekul lainnya lagi, sehingga akhirnya akan
terbentuk reaksi berantai yang sangat membahayakan. Berbeda halnya bila
terdapat antioksidan, radikal bebas akan segera bereaksi dengan antioksidan
membentuk molekul yang stabil dan tidak berbahaya (Tirta et al., 2010).
Secara tradisional khasiat biji Pronojiwo dikenal terbatas di kalangan
keluarga maupun masyarakat tertentu yakni sebagai penyegar tubuh dan sebagai
obat perangsang. Akar dan batang Pronojiwo mengandung flavonoid, isoflavon,
pterocarpan, flavonon, dan kumaronokhromon yang berfungsi sebagai anti
mikroba dan antivirus. Biji Pronojiwo mengandung alkaloid berupa cytosin
(1,5%), matrin dan matrin-N-oxid (Lemmens dan Bunyapraphatsara, 2003).
Telah dilakukan pengujian sampel di Laboratorium Analitik Universitas
Udayana dari 1 kg biji Pronojiwo yang diekstrak menghasilkan 15,28 %
fitotestosteron.
9
Tabel 2.1 Komposisi Senyawa Pronojiwo Pada Tiap Bagian Tumbuhan
No.
Nama Senyawa Kimia /Name of
Chemical compound
Komposisi senyawa kimia (%) /
Composition Chemical compound (%)
Akar /
Roots
Batang
/ Stems
Daun /
Leaves
Kulit Biji/
Skin of
seeds
Biji /
Seeds
1. 1-Undecyne 0,24 0,38
2. 2,4- Decadienal 0,65
3. 2 – Decenal 0,64
4. 2 – Tridecanone 2,4 2,41 0,22 0,17
5. 4a,6a –Dimethyloctadecahydro-
chrysene
0,98
6. 4 – Ethyloctane 0,63
7. 4 – Propylheptadecane 0,28
8. 5 – Tetradecene 1,8
9. 6 – Methyloctadecane 0,3
10. 9,12 – Octadecadienal 8,56
11. Alpa – Cedrene 1,36 0,46
12. Androstanolone 2,33
13. Arachidic Acid 0,87 0,73
14. Behenic acid 0,13 0,63
15. Caproic Acid 1,33
16. Caprylic Acid 0,12
17. Copaene 0,62
18. Curcumene 2,18 0,77 0,22
19. Dihydroactinidiolide 1,2
20. Eugenol 1,97
21. Germacrene D 2,13 0,8
22. Hexaldehyde 0,57
23. Isoamyl acetate 4
24. Isophyllocladene 1,89
25. Kaur – 16 – ene 51,29 36,13
26. Lauric acid 1,49 1,18 0,46 0,35
27. Limonene 0,96
28. Linolenic acid 0,66 8,71 1,09 1,51
29. Margaric acid 0,3 0,19 0,62
30. Methyl palmitate 0,12
31. Myristic acid 1,19 0,75 0,62
32. Naphthalene 0,44 0,91 0,2
33. Oleic acid 3,15 11,39
34. Palmitic acid 16,07 34,79 23,55 13,79 36,16
35. Pelargic acid 0,34
36. Pentadecylic acid 0,76 0,26 0,3
37. Phytol 12,88
38. Stearic acid 18,87
39. Trans – caryophyllene 0,39
40. Vitamin E 0,89
41. Antioksidan ppm GAEAC 86,08 70,07 126,94 27,83 35,48
42. Fenol 1,76 1,14 1,25 0,48 0,47
10
43. Klorofil a (ppm) - - 3.701,50 - -
44. Klorofil b (ppm) - - 2.096,70 - -
45. Klorofil – total (ppm) - - 5.798,20 - -
46. Lemak (%) 8,18 6,22 11,34 13,90 10,44
47. Protein 6,05 10,32 11,30 6,53 9,07
48. Vitamin C (mg/100 g) 520,77 516,07 571,32 2.254,32 375,25
- = tidak dianalisis / not analysed
GAEAC = Garlic acid equivalent antioxidant capacity
(Sumber : Tirta et al ., 2010)
2.2.4. Kemungkinan Proses Kerja Ekstrak Biji Pronojiwo dan Peningkatan
Hormon Testoteron
Hormon testosteron dan spermatozoa adalah dua produk utama dari testis.
Spermatogenesis berlangsung di dalam tubulus seminiferus sedangkan testosteron
diproduksi oleh sel Leydig yang letaknya pada ruang antara tubulus seminiferus
(interstisial) (Colon, 2007).
Pada tikus, diferensiasi sel Leydig pada postnatal dimulai sekitar minggu
kedua setelah kelahiran, yaitu hari ke-10. Perkembangan sel Leydig terdiri dari
beberapa tahap yaitu; pertama proliferasi sel-sel progenitor menjadi bentukan baru
(newly formed) sel Leydig, kemudian berkembang menjadi sel Leydig muda dan
terakhir menjadi sel Leydig dewasa (Mendis-Handagama dan Ariyaratne, 2001;
Chen dan Zirkin, 2009).
Penurunan jumlah sel Leydig pada testis dapat dipengaruhi oleh
bertambahnya umur, dimana semakin tua secara histologis sel Leydig banyak
menampakkan struktur yang abnormal begitu pula dengan jumlahnya juga
semakin berkurang. Selain itu menurunnya jumlah sel Leydig juga dipengaruhi
oleh faktor eksternal seperti terpapar zat kimia toksik (Chen dan Zirkin, 2009).
11
Salah satu penelitian yang dilakukan di oleh Widhiantara (2010)
Universitas Udayana menunjukkan bahwa terapi testosteron mampu
meningkatkan jumlah sel Leydig yang menurun akibat terpapar asap rokok
(Widhiantara, 2010).
Terapi testosteron dapat meningkatkan kuantitas sel Leydig fungsional.
Hal ini menunjukkan bahwa testosteron mempunyai efek regeneratif terhadap sel
Leydig dan tentunya secara langsung akan meningkatkan sekresi hormon
testosteron yang menurun akibat paparan asap rokok. Peningkatan sekresi
testosteron berpengaruh terhadap proses-proses yang terkait dengan sistem
reproduksi pada hewan coba maupun manusia (pria) secara umum (Widhiantara,
2010).
Pada tikus yang mengalami kekurangan reseptor androgen (AR-null),
terjadi kegagalan diferensiasi maupun perkembangan sel Leydig muda menjadi sel
Leydig dewasa (O’shaughnessy et al., 2002). Hal ini menunjukkan bahwa hormon
androgen khususnya testosteron memiliki peran sangat penting dalam proses
maturasi sel Leydig. Perkembangan fungsi dan morfologi sel Leydig mulai dari
sel prekursor yang berada pada daerah peritubular interstisium dan berdiferensiasi
menjadi sel-sel progenitor belum memerlukan stimulasi dari testosteron.
Testosteron membantu mengaktifkan enzim-enzim steroidogenesis seperti P450c17
dan 17β-Hydroxysteroid dehydrogenase (17β-HSD) yang menunjang aktivitas
diferensiasi sel Leydig. Peran testosteron dalam diferensiasi dan perkembangan
sel Leydig secara umum yaitu menstimulasi diferensiasi dan perkembangan sel-sel
progenitor hingga menjadi sel Leydig dewasa, menjaga proses perkembangan
12
morfologi sel Leydig muda menjadi sel Leydig dewasa, menstimulasi pergerakan
sel Leydig dewasa ke tengah-tengah ruang interstisial dan menghambat
diferensiasi sel-sel prekursor untuk menjaga jumlah sel Leydig dewasa tetap
konstan (Mendis-Handagama dan Ariyaratne, 2001). Tanpa kehadiran hormon
testosteron, sel Leydig muda masih mampu untuk berdiferensiasi namun akan
gagal untuk berkembang menjadi sel Leydig sesuai dengan karakteristik
morfologinya (O’shaughnessy et al., 2002; Misro et al., 2008).
Tanaman yang mengandung komponen-komponen seperti isoflavonoid
yang mempunyai efek menyerupai efek dari hormone sex wanita (female hormone
like-effects) yang terikat pada reseptor estrogen pada manusia yang dikenal
dengan phytoestrogen. Penelitian yang dilakukan oleh Ong dan Tan (2007)
menemukan komponen phytoandrogenic untuk pertama kalinya, dimana
phytoandrogen ini mempunyai efek androgenik pada organ tubuh. Penelitian ini
membuktikan bahwa phytoandrogen dapat berkompetisi menggeser ikatan
testosteron dengan reseptor androgen (AR) dan memberikan efek androgenik yang
lebih kuat dari testosteron sendiri. Efek androgenik yang lebih kuat tersebut
disebabkan oleh kandungan asam-asam lemak yang terikat pada tanaman (Ong
dan Tan, 2007).
Asam-asam lemak yang terkandung dalam tanaman terutama asam lemak
bebasterkonjugasi (conjugated free fatty acid) dapat meningkatkan produksi
testosteron di dalam sel Leydig dengan cara mengaktifkan cholesteryl esterase
yaitu enzim yang mengubah choleteryl ester menjadi kolesterol dimana kolesterol
adalah bahan baku untuk membuat testosteron. Selain itu conjugated free fatty
13
acid dapat menghambat ikatan testosteron dengan albumin dan SHBG, sehingga
lebih banyak testosteron bebas yang memiliki efek langsung terhadap target organ
(Bird et al., 2006).
Pengujian sampel yang digunakan pada penelitian ini dilakukan di
Laboratorium Analitik Universitas Udayana menunjukkan bahwa biji Pronojiwo
mengandung fitotestosteron sebanyak 15,28 %. Hal ini mengindikasikan bahwa
biji Pronojiwo yang mengandung fitotestosteron memiliki kemungkinan dapat
meningkatkan kadar testosteron melalui peningkatan jumlah sel Leydig (Ong dan
Tan, 2007).
2.3 Hormon Testosteron
Hormon memiliki peranan yang sangat penting bahkan mutlak pada
kehidupan manusia, bahkan sejak awal kehidupannya hormon sudah sangat
diperlukan dalam kehidupan. Hormon berasal dari bahasa Yunani “hormao” yang
berarti bergairah atau bangkit. Hormon memberikan pengaruh melalui struktur
kimianya yang unik yang dikenali oleh reseptor spesifik pada sel targetnya.
Karena peran hormon yang sangat penting maka setiap terjadi gangguan hormon
akan menyebabkan terjadinya berbagai keluhan baik bersifat fisik maupun psikis
(Pangkahila, 2011).
Hormon testosteron merupakan suatu hormon steroid androgen yang
penting dalam kehidupan seksual dan reproduksi baik wanita maupun pria,
penting untuk pertumbuhan dan perkembangan normal organ kelamin dan
reproduksi laki laki. Selain fungsinya yang berpengaruh besar terhadap kehidupan
14
seksual juga memiliki efek biologik yang penting di antaranya pada metabolisme,
integritas tulang, otot, sistem kardiovaskular dan otak. Apabila kadar hormon
testosteron mengalami penurunan, akan menyebabkan terjadinya hal-hal seperti
berkurangnya sensitivitas insulin, kelemahan otot, gangguan metabolisme
karbohidrat, gangguan fungsi kognitif, berkurangnya dorongan motivasi, lelah dan
letargi, peningkatan lemak tubuh, serta penurunan dorongan dan kemampuan
seksual (Pangkahila, 2011).
2.3.1 Struktur Molekul Hormon Testosteron
Seperti hormon steroid lain, testosteron juga berasal dari derivat kolesterol
dengan nama sistematik (memakai sistem IUPAC) : (8R,9S,10R,13S,14S,17S)-
17hydroxy-10,13-dimethyldodeca hydrociclopenta [a]phenanthren-3-one
(Sherwood, 2007).
Gambar 2.2. Struktur testosteron (Sherwood, 2007)
15
2.3.2 Biosintesis Hormon Testosteron
Hormon testosteron disintesis di jaringan intersisial oleh sel Leydig
dengan menggunakan prekursor dari kolesterol. Sintesis ini dimulai dengan
mengangkut kolesterol ke membran interna mitokondria oleh protein pengangkut
steroidogenic acute regulatory protein (STAR). Setelah berada pada posisi yang
tepat, kolesterol akan bereaksi dengan enzim pemutus rantai samping P450scc dan
menjadi pregnenolon. Konversi pregnenolon menjadi testosteron dapat terjadi
dalam 2 lintasan, yaitu (Sherwood, 2007) :
1. Lintasan progesterone atau lintasan ∆4 (jalur ini dapat dilihat pada sisi
kanan gambar 2.3).
2. Lintasan dehidroepiandosteron atau lintasan ∆5 (dapat dilihat pada sisi
sebelah kiri gambar 2.3).
Gambar 2.3. Jalur Biosintesis testosteron (Brinkmann, 2009).
16
Fungsi testis dikontrol oleh 2 hormon gonadotropik yang disekresikan oleh
hipofisis anterior yaitu Luteinizing Hormon (LH) dan Folicle Stimulating
Hormon (FSH). Kedua hormon ini bekerja pada bagian testis yang berbeda. LH
bekerja pada sel Leydig (intersisial) untuk mensekresi testosteron, sedangkan FSH
bekerja pada tubulus seminiferus, dimana terdapat sel Sertoli yang berpengaruh
terhadap spermatogenesis. Sekresi dari LH dan FSH pada hipofisis anterior
distimulasi oleh hormon hipotalamus, yaitu Gonadotropin Releasing Hormon
(GnRH) (Sherwood, 2007).
Meskipun GnRH sama-sama menstimulasi sekresi dari LH dan FSH, tetapi
kadar kedua hormon ini di dalam darah tidak selalu sama banyak. Hal ini terjadi
karena adanya faktor lain yang ikut mempengaruhi. Hormon testosteron yang
merupakan produk dari stimulasi LH pada sel Leydig juga berfungsi sebagai
umpan balik negatif terhadap sekresi LH. Efek umpan balik ini terjadi melalui 2
cara yaitu testosteron menurunkan pelepasan GnRH dari hipotalamus (secara
indirek menurunkan LH dan FSH dari hipofisis anterior) dan juga secara langsung
bekerja pada hipofisis anterior untuk menurunkan sekresi LH (Sherwood, 2007).
Sedangkan inhibisi spesifik untuk mengontrol sekresi FSH diatur oleh
hormon inhibin, yang diproduksi oleh sel sertoli. Inhibin bekerja secara langsung
pada hipofisis anterior untuk menghambat sekresi FSH (Sherwood, 2007).
17
Gambar 2.4. Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Testis (Finlayson et al., 2007)
Hormon testosteron pada pria diproduksi oleh sel Leydig di dalam testis
sebanyak 95% sedangkan sisanya diproduksi oleh cortex adrenal. Pada pria
setelah pubertas, kadar testosteron serum berkisar antara 300-1000 ng/dL (rata-
rata 611±186 ng). Pada pria, 98% testosteron terikat pada protein plasma, yang
meliputi albumin dan steroid hormon-binding globulin (SHBG). Sisanya sebesar
2% merupakan testosteron bebas karena beredar dalam keadaan tidak terikat pada
protein apapun yang mengalir dalam darah. Persentase testosteron yang terikat
pada SHBG bervariasi antar individu, tetapi pada umumnya sekitar 40-80% dari
testosteron yang beredar (Pangkahila, 2011).
18
Testosteron yang terikat tidak berfungsi pada proses metabolisme. Selain
testosteron bebas, juga terdapat bioavailable testosteron yaitu testosteron bebas
dan testosteron yang terikat pada albumin serum. Ikatan albumin pada testosteron
relatif lebih lemah dibandingkan dengan ikatan pada SHGB, sehingga keadaan ini
memungkinkan testosteron yang terikat pada albumin juga berfungsi pada
metabolisme (Pangkahila, 2011).
Testosteron yang tidak terikat pada jaringan, dengan cepat akan diubah
oleh hati menjadi androsteron dan dehidroepiandosteron, kemudian secara
serempak dikonfigurasikan sebagai glukoromida dan sulfat kemudian
diekskresikan ke usus melalui empedu ataupun ke dalam urin melalui ginjal
(Guyton et al., 2001).
2.3.3 Fungsi Hormon Testosteron
Hormon testosteron merupakan hormon androgen utama di dalam
sirkulasi darah. Fungsi testosteron tidak hanya dalam aspek seksual dan
reproduksi tapi juga mempunyai peranan pada berbagai organ tubuh, yaitu pada
otot, lemak, tulang, otak, sistem haematopoesis dan sistem imun ( Pangkahila,
2011) .
Secara sistematis hormon testosteron memiliki fungsi di antaranya:
1. Mempengaruhi sistem reproduksi pada saat sebelum lahir
Saat janin dan sebelum lahir, sekresi testosteron pada janin akan
mengakibatkan penurunan testis ke dalam skrotum, maskulinisasi sistem
reproduksi, dan pembentukan genitalia eksternal.
19
2. Mempengaruhi jaringan seks spesifik setelah lahir
Hormon testosteron terutama memegang peranan pada masa pubertas
yaitu usia 10-14 tahun, dimana akan terjadi maturasi dari sistem
reproduksi yang sebelumnya tidak berfungsi menjadi berfungsi dan
mempunyai kemampuan untuk bereproduksi. Pada masa pubertas, sel
Leydig mulai mensekresi hormon testosteron. Testosteron inilah yang
bertanggung jawab untuk pertumbuhan dan perkembangan seluruh sistem
reproduksi laki-laki. Sekresi testosteron berpengaruh terhadap terjadinya
pembesaran testis dan dimulainya produksi sperma untuk pertama kalinya,
terjadinya pembesaran glandula seksual aksesoris dan pembesaran penis
serta skrotum. Setelah masa pubertas, sekresi testosteron dan
spermatogenesis terjadi secara terus-menerus seumur hidup seorang laki-
laki, meskipun produksinya akan berkurang secara bertahap setelah umur
45 atau 50 tahun keatas. Penurunan level testosteron dan produksi sperma
ini tidak disebabkan oleh penurunan stimulasi testis tetapi kemungkinan
besar terjadi karena perubahan degenerasi yang berkaitan dengan penuaan
yang terjadi pada pembuluh darah kecil di testis. Penurunan ini sering
disebut sebagai andropause.
3. Fungsi lain yang berkaitan dengan reproduksi
Testosteron mengatur perkembangan libido dan mempertahankan libido
pada seorang laki-laki dewasa. Libido pada manusia dipengaruhi oleh
berbagai faktor, di antaranya adalah interaksi sosial dan faktor emosional.
20
Testosteron juga berfungsi sebagai umpan balik negatif untuk mengontrol
produksi hormon gonadotropin dari hipofisis anterior.
4. Fungsi perkembangan seksual sekunder
Perkembangan dan pemeliharaan seksual sekunder laki-laki bergantung
pada testosteron, hal ini termasuk pada:
• Pertumbuhan rambut (contoh: janggut, rambut dada).
• Suara yang lebih rendah akibat dari pembesaran laring dan
penebalan pita suara.
• Kulit yang lebih tebal.
• Konfigurasi tubuh laki-laki, contohnya bahu yang lebar, tangan
yang besar dan kaki yang lebih berotot sebagai akibat dari
penyimpanan protein.
5. Fungsi non reproduksi
Testosteron juga mempunyai efek anabolik protein dan pertumbuhan
tulang yang akan mengarah pada pembentukan fisik laki-laki yang lebih
berotot dan pertumbuhan yang cepat selama masa pubertas. Testosteron
juga menstimulasi sekresi kelenjar minyak (Sherwood, 2007).
2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kadar Hormon Testosteron
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi penurunan kadar hormon
testosteron di antaranya terdapat faktor eksternal yaitu alkohol, obat-obatan,
trauma testis, infeksi dan merokok sementara faktor internal dipengaruhi oleh
21
penuaan, obesitas, kurang tidur, penyakit kronis dan tumor testis. Alkohol
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kadar hormon testosteron.
Hubungan antara kadar alkohol dalam darah dengan konsentrasi testosteron
berpengaruh secara berbanding terbalik, hal ini terjadi akibat munculnya enzim
inhibisi pada testis yang menurunkan konversi kolesterol menjadi testosteron.
Pada keadaan intoksikasi, terjadi penurunan kadar testosteron kira-kira 25% dan
hal ini akan terus berlangsung selama 10-16 jam setelah kadar alkohol dalam
darah kembali normal. Berbeda dengan testosteron, kadar LH akan meningkat
dibawah pengaruh alkohol. Hal ini merupakan respons tubuh dalam mencapai
homeostasis testosteron. Obat lain yang dapat menekan kadar testosteron adalah
analgesik seperti aspirin dan kodein, obat-obatan ini tidak mempengaruhi testis
tetapi bekerja pada hipofisis dengan cara menurunkan sekresi LH. Semakin kuat
efek analgesik yang digunakan, maka akan semakin menurunkan kadar
testosteron. Selain oleh alkohol dan obat-obatan, hal lain yang juga berpengaruh
adalah tingkat emosi seseorang, dimana kadar testosteron sangat sensitif terhadap
status emosional seseorang. Stres yang diakibatkan oleh pekerjaan dan hubungan
personal dapat mengakibatkan penurunan sekresi testosteron yang berlangsung
lama (tidak seperti sekresi hormon adrenal yang pada awalnya meningkat dan
kemudian kembali pada keadaan semula bila stres berlangsung lama). Sebaliknya,
status emosi yang positif dapat meningkatkan kadar hormon testosteron
(Woodhouse, 2003) .
22
2.4.Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Sebagai Hewan Coba
Dalam dunia kedokteran dan pengobatan tidak jarang melibatkan
penggunaan hewan coba dalam penelitiannya. Ada dua sifat yang membedakan
tikus dari hewan percobaan lain, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur
anatomi yang tidak lazim di tempat oesephagus bermuara karena ke dalam
lambung dan tikus tidak mempunyai kandung empedu (Smith et al.,1988).
Pada penelitian ini menggunakan tikus putih jantan usia 18 bulan yang
setara dengan usia manusia 45 tahun. Karena pada manusia usia 45 tahun, sudah
mulai terjadi penurunan kadar hormon testosteron. Tikus putih jantan juga
mempunyai kecepatan metabolisme obat lebih cepat dan kondisi biologis tubuh
yang lebih stabil dibanding tikus betina (Sengupta, 2013).
Tikus putih sebagai hewan percobaan relatif lebih resisten terhadap
infeksi, tidak begitu bersifat fotofobik seperti halnya mencit dan kecenderungan
untuk berkumpul dengan sesamanya tidak begitu besar. Aktivitasnya tidak
terganggu oleh adanya manusia di sekitarnya. Tikus putih jantan juga jarang
berkelahi seperti mencit jantan. Tikus putih dapat tinggal sendirian dalam kandang
dan hewan ini lebih besar dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan
laboratorium tikus putih lebih menguntungkan daripada mencit (Smith et al.,
1988).
23
Gambar 2.5. Tikus putih (Rattus norvegicus) sebagai hewan coba
(Ramesh, 2010)
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Noguchi, dkk (1993) yang
mengukur kadar testosteron dalam darah tikus terkait dengan usia tikus yang
dihitung dalam minggu, dimana penelitian ini dilakukan pada tikus sejak usia 3
minggu sampai 25 minggu. Sejak usia 10 minggu kadar testosteron terus
meningkat sampai level maksimal di usia 10 minggu. Setelah usia 10-25 minggu
kadar testosteron plasma tikus terus menurun, hal ini dapat terlihat pada gambar
2.6.
Gambar 2.6 Kadar Testosteron pada Tikus (Noguchi et al., 1993)