bab i-v.docx

125
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk yang membutuhkan bahan pangan untuk dapat melangsungkan hidupnya. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut manusia melakukan berbagai cara, salah satu diantaranya adalah melakukan kegiatan pertanian. Dalam aktifitas ini, manusia melakukan perubahan lingkungan dari ekosistem alami menjadi sebuah agroekosistem. Di dalam ekosistem terdapat interaksi antara organisme dengan lingkungannya yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang terlibat dalam aliran energi dan siklus nutrisi. Pada agroekosistem terjadi hubungan timbal balik antara sekelompok manusia dan komponen-komponen ekosistem, disertai usaha memodifikasi lingkungan meliputi sistem budidaya, pengolahan tanah dan pengendalian hama dan penyakit sehingga secara tidak langsung akan merubah keseimbangan ekosistem. Apabila tidak dilakukan manajemen agroekosistem yang baik, semakin lama akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Masalah lingkungan serius di pedesaan dan pertanian adalah kerusakan hutan, meluasnya padang alang-alang, degradasi lahan serta menurunnya keanekaragaman biota. Masalah ini timbul seiring meningkatnya populasi penduduk, komersialisasi pertanian, masukan teknologi pertanian dan permintaan konsumsi masyarakat. Sehingga perlu dilakukan pengkajian dan penelitian mengenai agroekosistem yang telah diterapkan meliputi aspek budidaya, aspek tanah serta aspek 1

Upload: jenengku-kok-ilang

Post on 04-Apr-2016

37 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I-V.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk yang membutuhkan bahan pangan untuk dapat

melangsungkan hidupnya. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut manusia melakukan

berbagai cara, salah satu diantaranya adalah melakukan kegiatan pertanian. Dalam

aktifitas ini, manusia melakukan perubahan lingkungan dari ekosistem alami menjadi

sebuah agroekosistem.

Di dalam ekosistem terdapat interaksi antara organisme dengan lingkungannya yang

terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang terlibat dalam aliran energi dan siklus

nutrisi. Pada agroekosistem terjadi hubungan timbal balik antara sekelompok manusia

dan komponen-komponen ekosistem, disertai usaha memodifikasi lingkungan meliputi

sistem budidaya, pengolahan tanah dan pengendalian hama dan penyakit sehingga secara

tidak langsung akan merubah keseimbangan ekosistem. Apabila tidak dilakukan

manajemen agroekosistem yang baik, semakin lama akan menimbulkan kerusakan

lingkungan.

Masalah lingkungan serius di pedesaan dan pertanian adalah kerusakan hutan,

meluasnya padang alang-alang, degradasi lahan serta menurunnya keanekaragaman

biota. Masalah ini timbul seiring meningkatnya populasi penduduk, komersialisasi

pertanian, masukan teknologi pertanian dan permintaan konsumsi masyarakat. Sehingga

perlu dilakukan pengkajian dan penelitian mengenai agroekosistem yang telah diterapkan

meliputi aspek budidaya, aspek tanah serta aspek hama dan penyakit untuk dapat

menentukan manajemen yang tepat terhadap agroekosistem tersebut.

1.2 Tujuan Praktikum

Untuk mengetahui kondisi dari berbagai aspek dalam agroekosistem di daerah

Lawang.

Untuk mengetahui kondisi umum lahan, sistem budidaya, dan pengelolaan tanaman

yang dilakukan oleh petani daerah Lawang.

Untuk mengetahui pengaruh antara kualitas dan kesehatan tanah terhadap kesuburan

tanaman.

Untuk mengetahui keadaan hama dan penyakit serta keragaman Arthopoda yang ada

di lahan.

1

Page 2: BAB I-V.docx

1.3 Manfaat Praktikum

Memahami hubungan timbal balik yang terjadi dalam agroekosistem di daerah

Lawang meliputi pengelolaan tanah, sistem budidaya dan pengendalian hama

penyakit.

Menentukan rekomendasi manajemen agroekosistem yang sesuai di daerah lawang

dalam upaya menciptakan keseimbangan ekosistem.

2

Page 3: BAB I-V.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Agroekosistem Lahan Basah dan Lahan Kering

2.1.1 Lahan Kering

Secara umum lahan kering atau yang sering disebut dengan upland merupakan

suatu lahan pertanian yang mengandalkan kebutuhan airnya dari hujan dan biasanya

ditanami komoditas tanaman palawija seperti . Selama ini makna dari lahan kering

tidak hanya mengacu pada hal itu saja tetapi juga berkonotasin pada hal-hal lain,

pertama agroekosistem lahan kering dimaknai sebagai suatu wilayah yang

komoditasnya berbasis pada tanaman kering (palawija) yakni selain tanaman padi.

Kedua agroekosistem lahan kering dimaknai sebagai suatu wilayah yang memiliki

iklim kering dengan sektor utama adalah sektor pertanian, dan yang ketiga

agroekosistem lahan kering juga dimaknai sebagai suatu kawasan pertanian yang

berada di hulu sungai atau dengan kata lain merupakan pertanian yang berada di

dataran tinggi. Menurut Rukmana (2001) lahan kering merupakan suatu jenis lahan

yang bisa digunakan untuk proses budidaya pertanian dengan menggunakan air yang

bersifat sangat terbatas, dan biasanya sumber air ini hanya bisa didapatkan dari air

hujan.

Gambar. 1 Agroekosistem Lahan Kering

Selain ciri khas lahan kering yang berada pada daerah yang jumlah airnya

terbatas, ada beberapa karakteristik yang biasanya terdapat pada lahan kering

diantaranya: Rentan terjadi erosi, ini terjadi apabila kondisi lahan tersebut memiliki

kemiringan yang cukup curam karena rata-rata lahan kering ini banyak ditemui di

dataran tinggi, selain itu erosi ini juga akan terjadi jika lahan tersebut tidak tertutup

oleh vegetasi. Kemudian karakterisitik selanjutnya adalah masalah kesuburan yang

cukup rendah karena dampak lanjutan dari adanya erosi, tingkat kesuburan ini bisa

3

Page 4: BAB I-V.docx

berupa kandungan unsur hara yang rendah, bahan organik dan juga reaksi tanah

seperti pH dan KTK. Ciri selanjutnya adalah Sifat fisik tanah kurang baik seperti

struktur yang padat, lapisan tanah atas (top soil) dan lapisan bawah (sub soil)

memiliki kelembaban yang rendah, aerasi udara agak terhambat, dan retensi air relatif

rendah. Dari segi sosial lahan kering juga memiliki karakteristik tersendiri yakni

memudarnya modal sosial-ekonomi dan budaya, rendah atau tidak optimalnya adopsi

teknologi maju, serta terbatasnya ketersediaan modal dan infrastruktur yang tidak

sebaik di daerah sawah.

Potensi dari agroeksosistem lahan kering ini sangat besar, berdasarkan data BPS

tahun 2004, total luas lahan pertanian di indonesia adalah sekitar 73,4 juta hektar, dari

luasan tersebut 65,7 juta hektar atau setara 90%nya merupakan lahan kering

sedangkan sisanya 7,7 juta hekta (10%) merupakan lahan basah. Untuk lahan kering

rincianya adalah yang berupa tegal, kebun, ladang atau huma seluas 14,9 juta hektar,

untuk perkebunan besar seluas 19,6 juta hektar, lahan pekarangan/sekitar bangunan

seluas 5,6 hektar, untuk tambak/kolam sebesar 760 ribu hektar, dan sisanya seluas 2,9

juta hektar berupa lahan yang ditanami kayu dan sebagian juga ada yang tidak terurus.

Begitu besar potensi lahan kering yang ada di indonesia, tetapi pada kenyataanya

itu tetap menjadi sebuah potensi yang belum benar-benar termanfaatkan dan terkelola

secara baik, seharusnya potensi ini benar-benar dikelola dengan baik agar dapat

meningkatkan kesejahteraan para petani lahan kering, salah satu alternatif yang dapat

dilakukan adalah dengan mengembangkan komoditas pangan dan perkebunan seperti

padi gogo, jagung, sorgum kedelai, kopi, dan tpalawija serta tanaman perkebunan

lainya.

2.1.2 Lahan Basah

Agroekosistem lahan basah atau biasa disebut dengan istilah wetland merupakan

wilayah-wilayah yang kondisinya selalu tercukupi bahkan kelebihan air, wilayah ini

memiliki ekosistem yang lebih beragam dibandingkan dengan lahan kering,

kondisinya rata-rata juga jauh lebih subur dibandingkan dengan lahan kering. Sumber

airnya bisa berasal dari laut, sungai, rawa, dan juga irigasi tergantung jenis nya.

Kondisi pH juga relatif netral sehingga jasad renik yang ada di tanah juga sangat

beragam, ini membuat tanah pada lahan basah relatif lebih subur jika dibandingkan

dengan tanah pada lahan basah. Kemudian untuk komoditas yang biasanya ditanam

adalah tanaman padi dan juga palawija sebagai rotasi tanamnya.

4

Page 5: BAB I-V.docx

Lahan basah berdasarkan Sistem Klasifikasi Ramsar, diklasifikasikan menjadi

tiga kelompok utama, yaitu: lahan basah pesisir dan lautan, lahan basah daratan, dan

lahan basah buatan. Lahan basah pesisir dan lautan ini umunya memiliki salinitas

yang cukup tinggi karena berada di daerah pasang surut dan juga muara sungai,

sehingga perlakuanya juga harus berbeda dengan lahan basah yang lain, perlu di ingat

bahwa lahan basah ini tidak harus identik dengan pertanian tetapi juga bisa dipandang

dari sudut pandang perikanan. Beberapa contoh pemanfaatan lahan basah pesisir ini

diantaranya adalah digunakan sebagai hutan mangrove/ bakau sebagai hutan

konservasi dan juga penahan erosi, selain itu manfaat dari hutan bakau ini juga

berfungsi sebagai rumah beberapa jenis hewan laut sehingga dapat menjaga ekosistem

laut. Selain sebagai hutan mangrove, lahan basah pesisir ini juga bisa dimanfaatkan

untuk menanam beberapa jenis komoditas seperti kelapa bahkan juga bisa ditanami

tanaman padi dengan jenis tertentu. Potensi lahan basah pesisir ini sangatlah besar

mengingat Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang ke-2 di dunia.

Selanjutnya lahan basah daratan, ini merupakan lahan basah alami yang berada

daratan contohnya adalah rawa-rawa, lahan gambut, sawah, tepian danau dan juga

daerah aliran sungai. Wilayah-wilayah ini umumnya memiliki karakteristik yang

berbeda satu dengan yang lain, sehingga perlu dilakukan suatu treatment khusus

dalam pemanfaatanya. Contoh perlakuannya adalah pada lahan gambut, lahan gambut

merupakan lahan potensial yang pemanfaatanya masih sangat minim karena

keterbatasan dalam hal pengelolaanya. Dalam pemanfaatan lahan gambut kendalanya

selain kondisi lahan yang rata-rata selalu tergenang air juga karena sifat tanah yang

sangat bersifat asam, maka dari itu perlu diadakan penetralan pH, bisa dengan cara

pengapuran atau juga dengan cara pencucian dengan air, tergantung efisiensinya.

Selain itu untuk mangatasi masalah genangan air, maka perlu dibuat suatu sistem

drainase untuk pengatusanya agar tidak terjadi genangan pada lahan tersebut. Hal ini

berbeda lagi dengan perlakuan pada lahan ditepian danau atau sungai, lahan ini hanya

bisa di tanami/ diusahakan ketika dalam kondisi kemarau karena pada kondisi musim

hujan lahan ini akan tergenang oleh air.

5

Page 6: BAB I-V.docx

Gambar.2 Agroekosistem Lahan Basah

Dan jenis lahan basah yang terahir adalah lahan basah buatan, ini adalah lahan

basah yang sengaja diusahakan oleh manusia untuk mendudkung kegiatan

pertaniannya. Jenis lahan basah buatan yang paling sering ditemui adalah lahan basah

beririgasi, biasanya lahan ini awalnya berasal dari lahan kering yang sengaja di

berikan saluran irigasi untuk mendukung kegiatan budidaya pertaniannya. Setelah di

berikan irigasi, kebutuhan air lahan tersebut akan tercukupi sepanjang musim

sehingga lahan ini berubah status menjadi lahan sawah. (Puspita, 2005)

2.2 Agroekosistem Tanaman Pangan dan Hortikultura

Ekosistem merupakaan suatu kesatuan antara berbagai faktor, mulai dari faktor

biotik hingga faktor abiaotik yang menjalin sebuah kesatuan dan saling mempengaruhi.

Sedangkan agroekosistem merupakan ekosistem yang segaja dibuat dan dirancang oleh

manusia, biasanya tujuanya adalah untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia.

Menurut Angyoyo,(2009) agroekosistem adalah, bahwa agroekosistem

merupakan  salah satu bentuk ekosistem binaan yang bertujuan menghasikan produksi

pertanian guna memenuhi kebutuhan. Jadi Konsepnya adalah manusia sengaja

menciptankan suatu ekosistem yang didalamnya terdapat interaksi antara faktor-faktor

biotik dan abiotik dengan tujuan memenuhi kebutuhan manusia.

Agroekosistem tanamana pangan sebenarnya tidak jauh jika dibandingkan dengan

agroekosistem tanaman hortikultura. Perbedaanya biasanya terletak pada lahan yang

digunakan, biasanya tanaman pangan menggunakan lahan basah yang kondisi airnya

selalu ada dan tercukupi seperti di agroekosistem sawah, ini terutama pada tanaman

padi. tapi tidak sedikit juga tanaman pangan yang dikembangkan di daerah yang

memiliki agroekosistem lahan kering seperti seperti tanaman palawija, biji-bijian,

seerealia dan juga umbi-umbian. Karakteristik agroekosistem tanaman pangan biasanya

diproduksi di dataran rendah dan ditanam dengan jumlah yang cukup banyak, hal ini

6

Page 7: BAB I-V.docx

karena tanaman pangan merupakan kebutuhan pokok setiap manusia, sehingga juga

dibutuhkan dalam jumlah yang cukup banyak.

Sedangkan tanaman Hortikultura, mencakup 4 jenis yakni pomologi (buah-

buahan), florikultur(bunga), olerikultur(sayuran) dan biofarmaka (tanaman obat),

semuanya memiliki jenis agrokosistem yang berbeda-beda, ada yang hidup di

agroekosistem lahan basah dan ada juga yang dibudidayakan di lahan kering. Ada juga

yang bersifat tanaman tahunan, terutama dari kelas pomologi atau buah-buahan.

Kebanyakan dari tanaman hortikultura dibudidayakan di lahan kering dan salah satu

karakteristik agroekosistem tanaman hortikultura adalah biasaya terletak di dataran

tiggi, hal ini karena kebanyakan tanaman hortikultura membutuhkan suhu rendah untuk

dapat bertumbuh dengan optimal terutama pada tanaman sayuran.

2.3 Kualitas Tanah dan Kesehatan Tanah

Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat berfungsi penting dalam

kelangsungan hidup mahluk hidup. Bukan hanya fungsinya sebagai tempat

berjangkarnya tanaman, penyedia sumber daya penting dan tempat berpijak tetapi juga

fungsinya sebagai suatu bagian dari ekosistem. Selain itu, tanah juga merupakan suatu

ekosistem tersendiri. Penurunan fungsi tanah tersebut dapat menyebabkan

terganggunya ekosistem di sekitarnya termasuk juga di dalamnya juga manusia

(Waluyaningsih, 2008).

Kualitas tanah adalah kapasitas dari suatu tanah dalam suatu lahan untuk

menyediakan fungsi-fungsi yang dibutuhkan manuasia atau ekosistem alami dalam

waktu yang lama. Fungsi tersebut adalah kemampuannya untuk mempertahankan

pertumbuhan dan produktivitas tumbuhan serta hewan atau produktivitas biologis,

mempertahankan kualitas udara dan air atau mempertahankan kualitas lingkungan,

serta mendukung kesehatan tanaman, hewan dan manusia. Tanah berkualitas membantu

hutan untuk tetap sehat dan menumbuhkan tumbuhan yang baik atau lansekap menarik

(Waluyaningsih, 2008).

Kualitas tanah diukur berdasarkan pengamatan kondisi dinamis indikator-

indikator kualitas tanah. Pengukuran indikator kualitas tanah menghasilkan indeks

kualitas tanah. Indeks kualitas tanah merupakan indeks yang dihitung berdasarkan nilai

dan bobot tiap indikator kualitas tanah. Indikator-indikator kualitas tanah dipilih dari

sifat-sifat yang menunjukkan kapasitas fungsi tanah. Indikator kualitas tanah adalah

7

Page 8: BAB I-V.docx

sifat, karakteristik atau proses fisika, kimia dan biologi tanah yang dapat

menggambarkan kondisi tanah (SQI, 2001) dalam Partoyo (2005).

Penilaian kualitas tanah dapat melalui penggunaan sifat tanah kunci atau indikator

yang menggambarkan proses penting tanah. Selain itu juga, penilaiannya dengan

mengukur suatu perubahan fungsi tanah sebagai tanggapan atas pengelolaan, dalam

konteks peruntukan tanah, sifat-sifat bawaan dan pengaruh lingkungan seperti hujan

dan suhu (Dittzler and Tugel, 2002cit Andrewet al. 2004: hal 5).

Dalam penilaian atau interpretasi kulaitas tanah harus mempertimbangkan proses

evaluasi sumberdaya lahan berdasar fungsinya dan perubahan fungsi tanah sebagai

tanggapan alami khusus atau cekaman dan juga praktek pengelolaan. Lima fungsi tanah

yaitu (Allan, dkk., 1995: hal 1 dalam Waluyaningsih, 2008) :

1. Menopang aktivitas biologi, keanekaragaman, dan produktivitas;

2. Mengatur dan memisahkan air dari larutan;

3. Menyaring, menyangga, mendegradasi, imobilisasi dan mendetoksifikasi bahan-

bahan organik dan an-organik, termasuk hasil samping industri dan kota serta

endapan atmosfer;

4. Menyimpan dan mendaur hara dan unsur-unsur lain dalam biosfer bumi;

5. Memberikan dukungan bagi bangunan struktur sosial-ekonomi dan perlindungan

kekayaan arkeologis yang berhubungan dengan pemukiman manusia

Doran and Parkir (1996) dalam Partoyo, 2005) berpendapat bahwa indikator

kualitas tanah harus mencakup kisaran situasi ekologi dan sosio-ekonomi yaitu :

1. Mempunyai korelasi yang erat dengan proses-proses alami dalam ekosistem (dan

bermanfaat dalam modeling berorientasi proses).

2. Mengintegrasikan sifat dan proses fisik, kimia dan biologi dan bermanfaat sebagai

input untuk memperkirakan sifat atau fungsi tanah yang sukar untuk diukur secara

langsung.

3. Relatif murah dan mudah digunakan untuk memperkirakan kualitas tanah pada

kondisi lapangan, baik oleh spesiais/ilmuwan maupun petani.

4. Harus cukup peka untuk menggabarkan pengaruh iklim dan pengelolaan terhadap

kualitas tanah dalam jangka panjang, namun tidak begitu peka terhadap pola cuaca

jangka pendek.

5. Bersifat universal, namun menggambarkan pola spasial dan temporal.

6. Apabila mungkin, juga merupakan komponen dari database tanah saat ini.

8

Page 9: BAB I-V.docx

Kualitas tanah memadukan unsur fisik, kimia dan biologi tanah beserta

interaksinya. Agar tanah dapat berkemampuan efektif, ketiga komponen tersebut harus

disertakan. Semua parameter tidak mempunyai keterkaitan yang sama pada semua

tanah dan pada semua kedalaman. Suatu satuan data minimum sifat tanah atau indikator

dari masing-masing ketiga unsurtanah dipilih berdasarkan kemampuannya sebagai

tanda berfungsinya kapasitas tanah pada suatu penggunaan lahan khusus, iklim dan

jenis tanah (Soil Quality Institute, 1999; Ditzler and Tugel, 2002: hal 27 dalam

Waluyaningsih, 2008).

Pengukuran kualitas tanah dibidang pertanian hendaknya tidak hanya terbatas pada

tujuan produktivitas, sebab ternyata penekanan pada produktivitas megakibatkan

degradasi tanah. Pada umumnya, hasil panen dipengaruhi oleh banyak faktor yang tidak

terkait dengan kualitas tanah. Kualitas tanah juga dianggap sebagai unsur kunci

pertanian berkelanjutan (Larson and Piece, 1991: hal 4 dalam Waluyaningsih, 2008).

Bahan organik tanah merupakan indikator dari kualitas tanah, karena merupakan

sumber dari unsur hara esensial dan memegang peranan penting untuk kestabilan

agregat, kapasitas memegang air dan strutur tanah. Oleh karena itu bahan organik tanah

erat kaitannya dengan kondisi tanah baik secara fisik, kimia dan biologis yang

selanjutnya turut menentukan produktivitas suatu lahan. Walaupun bahan organik tanah

sangat penting, tetapi hingga kini belum ada informasi pengelolaan kualitas bahan

organik tanah secara ekplisit dan mendasar. Salah satu penyebabnya adalah belum

adanya nilai atau ukuran kualitas bahan organik tanah secara kualitatif yang dapat

mencerminkan bioaktifitas tanah sekaligus merupakan refleksi dari tingkat kesuburan

tanah (Waluyaningsih, 2008).

Kandungan bahan organik tanah telah terbukti berperan sebagai kunci utama dalam

mengendalikan kualitas tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Bahan organik

mampu memperbaiki sifat fisik tanah seperti menurunkan berat volume tanah,

meningkatkan permeabilitas, menggemburkan tanah, memperbaiki aerasi tanah,

meningkatkan stabilitas agregat, meingkatkan kemampuan tanah memegang air,

menjaga kelembaban dan suhu tanah, mengurangi energi kinetik langsung air hujan,

mengurangi aliran permukaan dan erosi tanah (Oades, 1989; Elliott, 1986; Puget et al.,

1995; Jastrow et al., 1996; Heinonen, 1985 dalam Riwandi, 2010). Bahan organik

mampu memperbaiki sifat kimia tanah seperti menurunkan pH tanah, dapat mengikat

logam beracun dengan membentuk kelat komplek, meningkatkan kapasitas pertukaran

kation dan sebagai sumber hara bagi tanaman (Stevenson, 1994; Tisdall and Oades,

9

Page 10: BAB I-V.docx

1982 dalam Riwandi, 2010). Dari sifat biologi tanah, bahan organik tanah mampu

mengikat butir-butir partikel membentuk agregat dari benang hyphae terutama dari

jamur mycorrhiza dan hasil eskresi tumbuhan dan hewan lannya (Soegiman, 1982;

Addiscott, 2000 dalam Riwandi, 2010).

Karlen et al. (1996) dalam Partoyo (2005) mengusulkan bahwa pemilihan indikator

kualitas tanah harus mencerminkan kapasitas tanah untuk menjalankan fungsinya yaitu:

1. Melestarikan aktivitas, diversitas dan produktivitas biologis

2. Mengatur dan mengarahkan aliran air dan zat terlarutnya

3. Menyaring, menyangga, merombak, mendetoksifikasi bahan-bahan anorganik dan

organik, meliputi limbah industri dan rumah tangga serta curahan dari atmosfer.

4. Menyimpan dan mendaurkan hara dan unsur lain dalam biosfer.

5. Mendukung struktur sosial ekonomi dan melindungi peninggalan arkeologis terkait

dengan permukiman manusia.

Kesehatan tanah ialah integrasi dan optimasi sifat tanah yang bertujuan untuk

peningkatan produktivitas dan kualitas tanah,tanaman, dan lingkungan. Indikator

kinerja tanah ialah sifat tanah yang terukur dan dapat menunjukkan tanda bahwa tanah

menjalankan fungsinya atau tidak (Riwandi, 2010).

Kesehatan tanah tidak dapat diukur langsung, tetapidiukur dengan menggunakan

indikator kinerja tanah. Perubahan indikator kinerja tanah dapat berguna untuk

menentukan apakah kesehatan tanah perlu dipelihara dengan praktek konservasi tanah.

Ciri tanah yang sehat adalah tanah mudah diolah, jeluk tanah cukup dalam, unsur hara

cukup tidak berlebihan, populasi hama dan penyakit tanaman kecil, drainase sangat

baik, populasi organisme tanah yang menguntungkan sangat banyak, gulma sangat

kecil, bebas bahan kimia dan toksin, tahan degradasi, lentur (resilience) ketika terjadi

kondisi yang buruk (Riwandi, 2010).

Degradasi tanah dapat menurunkan kesehatan tanah, kualitas tanah, dan

produktivitas tanah. Keberlanjutan kesehatan tanah terjamin bila fungsi tanah dapat

berjalan lancar. Konservasi tanah dan air mempunyai peranan penting dalam menjaga

fungsi tanah agar tanah tetap sehat. Fungsitanah untuk tempat produksi pertanian,

pengatur asupan dan kualitas air, tempathidup aneka-ragam-hayati, mendaur-ulang

bahan organik dan unsur hara, dan filter bahan pencemar. Kesehatan tanah dibagi ke

dalam 5 kelas sebagai berikut: >80% tanah Sangat Sehat, 80-60% tanah Sehat, 60-40%

tanah Cukup Sehat, 40-20% tanah Kurang Sehat, dan <20% tanah Tidak Sehat (OSU,

2009) (Riwandi, 2010)

10

Page 11: BAB I-V.docx

2.4 Hama dan Penyakit Tanaman Agroekosistem yang Diamati Beserta Gejala dan

Tanda

Pada pengamatan/observasi lapang ditemukan beberapa jenis serangga yang

termasuk dalam kategori hama dan musuh alami. Serangga hama yang ditemukan yaitu

belalang daun (Oxya chinensis) dan belalang hijau (Atractomorpha crenaticeps).

Sedangkan untuk musuh alami yang ditemukan berasal dari ordo odonata.

- Belalang daun (Oxya chinensis)

Belalang daun ini biasanya juga disebut sebagai belalang cina. Pada lahan, kami

menemukan belalang ini yang berwarna hijau. Belalang ini termasuk dalam kelas

insekta karena memiliki tiga pasang kaki. Lariman (2010) menyatakan bahwa

belalang daun ini memiliki ukuran yang kecil, berwarna coklat atau hijau. Femura

belakang berwarna coklat kehitaman, pada tibia terdapat duri – duri dan ujungnya

berwarna hitam. Antena pendek dan hanya terdapat satu pasang. Sayap terdiri dari dua

pasang yang berwarna coklat gelap pada bagian depan dan berwarna coklat terang

pada sayap belakang. Kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh hama ini cukup berat

juga. Karena pada lahan banyak ditemukan daun dewasa yang berlubang.

Belalang daun ini berkembang biak dengan cara bertelur. Telur berwarna cokelat,

diletakkan dalam tanah atau pada daun secara berkelompok. Telur menetas dalam 4

minggu, nimfa berwarna cokelat keabu-abuan. Jantan mempunyai panjang tubuh 2,1-

2,4 cm dengan sepasang garis tipis di kepala. Berkembang secara cepat dan

menghasilkan kawanan dalam jumlah yang banyak sehingga dapat menyebabkan

kerusakan berat. Kawanan ini dapat terbang dalam jara yang sangat jauh. Nimfa muda

berwarna kuning kehijauan dengan titik-titik hitam dan menjadi bervariasi seiring

pertumbuhan dan perkembangannya. Imago akan kawin 2-4 minggu setelah menjadi

imago (Lariman, 2010)

Klasifikasi Oxya chinensis (Lariman, 2010)

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insekta

Ordo : Orthoptera

Famili : Acrididae

Genus : Oxya

Spesies : Oxya chinensis

11

Gambar 3. Belalang daun (Oxya chinensis)

Sumber: Dokumen pribadi

Page 12: BAB I-V.docx

- Belalang hijau (Atractomorpha crenaticeps)

Belalang ini berwarna hijau serta memiliki antena dan tiga pasang tungkai.

Belalang ini memiliki tungkai belakang yang lebih panjang. Borror, et al., (1992)

menyatakan bahwa serangga ini memiliki tungkai belakang yang lebih panjang dan

tubuhnya berwarna hijau dan kekuningan, nimfanya berwarna tetapi belum

mempunyai sayap.

Menurut Kranz, et al., (1977) spesies ini dibedakan dengan belalang biasa dari

antenanya yang panjang (lebih dari dua kali panjang tubuhnya dan berukuran besar)

dengan muka posisi miring. Lama hidup belalang dewasa selama 3-4 bulan. Belalang

ini termasuk fitofag yaitu memakan daun, tetapi juga sebagai predator yaitu

memangsa telur hama lain. Gejala serangan yang ditimbulkan serangga ini adalah

adanya lubang-lubang pada daun tanaman.

Klasifikasi Atractomorpha crenaticeps (Lariman, 2010)

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insekta

Ordo : Orthoptera

Famili : Pygomorphidae

Genus : Atractomorpha

Spesies : Atractomorpha crenaticeps

- Capung (Ordo Odonata)

Capung termasuk dalam musuh alami. Capung sifatnya terbang cepat sehingga

dapat menangkap serangga lain yang sedang terbang. Panjang bisa antara 2 sampai

13,5 cm. Beberapa jenis capung memakan mangsanya sambil terbang. Jenis lain

hinggap untuk makan. Capung dapat menangkap dan memakan ktu, nyamuk dan

kepik di udara. Capung besar mampu menangkap kupu-kupu yang agak besar di

udara.

Capung melewatkan masa remajanya dalam air seperti sawah, kolam atau sungai.

Capung betina meletakkan telur di dalam air. Nimfa berjalan di dasar air atau merayap

di antara tanaman bawah air, menangkap dan memakan binatang kecil. Serangga

kecil, ikan kecil, jentik nyamuk dan kecebong. Ketika dewasa nimfa merayap ke luar

air dan melepaskan kulitnya menjadi dewasa. Memompa cairan ke dalam urat sayap

untuk membuka sayapnya.

12

Gambar 4. Atractomorpha crenaticeps

Sumber: Dokumen pribadi

Page 13: BAB I-V.docx

2.5 Pengaruh Populasi Musuh Alami Terhadap Agroekosistem

a. Konsep Agroekosistem dengan Populasi Serangga

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia dengan sengaja merubah

ekosistem alami dengan menciptakan suatu ekosistem baru yang khsusus dibuat

untuk kepentingan pertanian yang disebut agroekosistem (Ahmad, 1995). Dalam

suatu agroekosistem, komponen ekosistem menjadi lebih sederhana dan biasanya

terdiri dari populasi tumbuhan pertanian yang kurang seragam (monokultur)

(Ahmad, 1995). Dengan demikian agroekosistem tidak mempunyai keanekaragaman

yang tinggi dan interaksi antar spesies menjadi rendah.

Dengan menyederhanakan ekosistem, manusia sebenarnya telah mengganggu

keseimbangan alam. Keadaan ini membuat semakin bertambahnya populasi

serangga jenis tertentu lewat kompetisi dengan manusia terhadap tanaman budidaya.

Karena serangga yang berkompetisi dengan manusia itu adalah konsumer primer,

berada pada ujung awal rantai makanan, biasanya serangga tersebut mempunyai

tingkat reproduksi yang sangat tinggi dan waktu generasi yang pendek (Ahmad,

1995).

Pada ekosistem alami, populasi serangga selalu dikendalikan berbagai faktor,

sehingga terjadi peledakan populasi. Secara bersamaan faktor-faktor lingkungan ini

mampu melakukan pengendalian secara alami, misalnya pada suatu populasi

serangga (Ahmad, 1995). Di antara pengendalian secara alami ini, musuh alami

serangga cukup besar perananya. Mereka adalah predator, parasit dan patogen.

13

Gambar 5. Musuh alami seranggaSumber: (Direktorat Perlindungan Perkebunan, 2002)

Page 14: BAB I-V.docx

b. Musuh Alami

Sebagai bagian dari komunitas, setiap komunitas serangga termasuk serangga

hama dapat diserang atau menyerang organisme lain. Bagi serangga yang diserang

organisme penyerang yang disebut musuh alami (Sunarno, 2010). Dilihat dari

fungsinya musuh alami dapat dikelompokkan menjadi Parasitoid, Predator dan

Patogen.

Parasitoid

Merupakan serangga yang memarasit serangga atau binatang antropoda

lainnya. Parasitoid bersifat parasit pada fase pradewasa, sedangkan dewasanya

hidup bebas dan tidak terikat pada inangnya. Parasitoid hidup menumpang di luar

atau di dalam tubuh inangnya dengan cara menghisap cairan tubuh iangnyaa guna

memenuhi kebutuhan hidupnya. Parasitoid menyedot energi dan memakan

selaagi iangnya masih hidup dan membunuh atau melumpuhkan iangnya untuk

kepentingan keturunannya. Kebanyakan parasitoid bersifat monofag (memiliki

inang spesifik), tetapi ada juga yang oligofag (inang tertentu). Selain itu

parasitoid memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dari inangnya (Sunarno, 2010).

Predator

Predator adalah binatang atau serangga lain yang memangsa serangga hama.

Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memakan, membunuh

atau memangsa atau serangga lain, ada beberapa ciri predator: (1) Predator dapat

memangsa semua tingkat perkembangan mangsanya (telur, larva, nimfa, pupa dan

imago). (2) Predator membunuh dengan cara memakan atau menghisap

14

Gambar 6. Jaring makanan serangga pada tanaman kubis

Sumber: (Ahmad, 1995)

Page 15: BAB I-V.docx

mangsanya dengan cepat. (3) Seekor predator memerlukan dan memakan banyak

mangsa selama hidupnya. (4) Predator membunuh mangsanya untuk dirinya

sendiri. (5) Kebanyakan predator bersifat karnifor. (6) Predator memiliki ukuran

tubuh lebih besar dari pada mangsanya. (7) Dari segi perilaku makannya, ada

yang mengunyah semua bagian tubuh mangsanya, ada menusuk mangsanya

dengan mulutnya yang berbentuk seperti jarum dan menghisap cairan tubuh

mangsanya. (8) Metamorfosis predator ada yang holometabola dan

hemimetabola. (9) Predator ada yang monofag, oligofag dan polifag (Sunarno,

2010).

Patogen

Golongan mikroorganisme atau jasad renik yang menyebabkan serangga

sakit dan akhirnya mati. Patogen dalah salah satu faktor hayati yang turut serta

dalam mempengaruhi dan menekan perkembangan serangga hama. Karena

mikroorganisme ini dapat menyerang dan menyebabkan kematian serangga hama,

maka patogen disebut sebagai salah satu musuh alami serangga hama. Beberapa

patogen dalam kondisi lingkungan tertentu dapat menjadi faktor mortalitas utama

bagi populasi serangga tetapi ada banyak patogen pengaruhnya kecil terhadap

gejolak populasi serangga. Kelompok serangga dalam kehidupan diserang banyak

patogen atau penyakit yang berupa virus, bakteri, protozoa, jamur, riketzia dan

nematoda. Ini merupakan macam patogenik yang dapat digunakan sebagai agen

pengendali hayati (Sunarno, 2010).

c. Konsep Sistem Kehidupan Musuh Alami di Ekosistem

Untuk memberikan gambaran mengenai dinamika suatu populasi serangga di

alam, konsep sistem kehidupan yang dikembangkan oleh Clark, et al., (1991)

menjelaskan bahwa sistem kehidupan terdiri dari suatu populasi subjek dan

lingkungan efektifnya, termasuk di sini semua faktor eksternal yang berpengaruh

terhadap populasi itu. Dengan demikian dalam program pengendalian hama, dimana

biasanya penekanan hanya diberikan kepada suatu populasi tertentu, pendekatan

secara sistem kehidupan ini dapat membantu orang mengembangkan kerangka kerja

pengendalian hama yang konseptual (Gambar 7.).

15

Page 16: BAB I-V.docx

Dalam kaitannya dengan sistem kehidupan tersebut berkaitan dengan upaya

pengendalian hama. Secara konvensional awalnya pengendalian hama dilakukan

dengan pestisida dan menimbulkan efek samping yang berbahaya seperti resistensi

terhadap insektisida, resurjensi hama, serta kontaminasi lingkungan. Dan hal

tersebut juga berpengaruh dengan keberadaan musuh alami (Gambar 8.)

2.6 Dampak Menejemen Agroekosistem Terhadap Kualitas dan Kesehatan Tanah

16

Gambar 7. Konsep sistem kehidupan suatu serangga hama

Sumber: (Clark, et al., 1991)

Gambar 8. Populasi hama dan musuh alami, ambang kerusakan

ekonomi dan pengaruh aplikasi insektisida

Sumber: (Clark, et al., 1991)

Page 17: BAB I-V.docx

Dalam suatu agroekosistem akan selalu dilakukan pengelolaan-pengelolaan

tertentu terhadap tanah. Pangeloalaan tanah dengan yang baik, bukan hanya mampu

meningkatkan produksi tapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan. Menurut Lal

(1995 dalam Suryani, 2014), pengelolaan tanah yang berkelanjutan berarti suatu upaya

pemanfaatan tanah melalui pengendalian masukan dalam suatu proses untuk

memperoleh produktivitas tinggi secara berkelanjutan, meningkatkan kualitas tanah,

serta memperbaiki karakteristik lingkungan. Dengan demikian diharapkan kerusakan

tanah dapat ditekan seminimal mungkin sampai batas yang dapat ditoleransi, sehingga

sumberdaya tersebut dapat dipergunakan secara lestari dan dapat diwariskan kepada

generasi yang akan datang. Namun, apabila dalam pengelolaan tanah tersebut tidak

tepat salah satunya dampaknya yaitu penurunan kualitas dan kesehatan tanah. Indikator

kualitas dan kesuburan tanah pada suatu agroekosistem dapat dilihat dari sifat kimia,

fisik dan bioligi tanahnya.

1. Dari Segi Kimia Tanah

a. Bahan Organik Tanah

Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu system

kompleks dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman dan atau binatang

yang terdapat di dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan

bentuk, karena dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika, dan kimia (Kononova,

1961 dalam Suryani, 2014). Pada sistem pertanian yang diolah secara intensif

dengan menerapkan sistem monokulttur biasanya jumlah bahan organiknya

sedikit karena tidak ada atau minimnya seresah di permukaan lahan, selain itu

input bahan organik yang berasal dari pupuk organic baik pupuk kandang atau

pupuk hijau minim karena lebih menekankan penggunaan input kimia. Dari

hal tersebut dapat diindikasikan pertanian tanpa penerapan tambahan bahan

organik pada lahan pertanain intensif merupakan pengelolaan agroekosistem

yang tidak sehat.

b. pH Tanah (Kemasaman Tanah) dan Adanya Unsur Beracun

pH tanah pada sistem pertanian intensif biasanya agak masam karena

seringnya penggunaan pupuk anorganik seperti Urea yang diaplikasikan secara

terus-menerus untuk menunjang ketersediaan unsure hara dalam tanah. pH

tanah juga menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi

tanaman. Untuk pengelolaan pH tanah yang berbeda-beda dalam suatu

17

Page 18: BAB I-V.docx

agroekosistem maka pemilihan jenis tanamannya disesuaikan dengan pH

tanah.

c. Ketersediaan Unsur Hara

Unsur hara yang digunakan tanaman untuk proses pertumbuhan dan

perkembangannya diperoleh dari beberapa sumber antara lain : Bahan organik,

mineral alami, unsur hara yang terjerap atau terikat, dan pemberian pupuk

kimia. Pada lahan dengan pengolahan secara intensif sumber unsur haranya

berasal dari input-input kimiawi berupa pupuk anorganik, petani kurang

menerapkan tambahan bahan organic seperti aplikasi pupuk kandang dan

seresah dari tanaman yang diusahkan. Penggunaan pupuk kimia berlebihan

dapat menyebabkan penurunan kesuburan tanah.

2. Dari Segi Fisika Tanah

a. Kondisi kepadatan tanah

Sarief (1986) menyatakan bahwa nilai berat jenis isi tanah dapat dipengaruhi

oleh berbagai faktor diantaranyapengolahan tanah, bahan organik, pemadatan

tanah baik oleh air hujan maupun alat pertanian, tekstur, struktur dan kandungan

air. Tanah-tanah di lahan dengan pengolahan intensif biasanya memiliki nilai BI

dan BJ yang tinggi karena telah mengalami pemadatan akibat penggunaan alat-

alat berat untuk pengolahan tanahnya.

b. Kedalaman efektif tanah

Kedalaman efektif adalah kedalaman tanah yang masih dapat ditembus oleh

akar tanaman. Pengamatan kedalaman efektif dilakukan dengan mengamati

penyebaran akar tanaman. Banyakya perakaran, baik akar halus maupun akar

kasar, serta dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah, dan bila tidak

dijumpai akar tanaman maka kedalaman efektif ditentukan berdasarkan

kedalaman solum tanah (Hardjowigeno, 2007).

Pada lahan dengan sistem pengolahan intensif  terkadang memiliki sebaran

perakaran yang cukup tinggi karena tanaman yang diusahakan dalam kurun waktu

yang lama hanya satu komoditi saja.

c. Erosi Tanah

Erosi adalah terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke tempat

lain. Meningkatnya erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya vegetasi penutup tanah

dan kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah. Erosi

18

Page 19: BAB I-V.docx

tersebut umumnya mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas yang subur dan

baik untuk pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu erosi mengakibatkan terjadinya

kemunduran sifat-sifat fisik dan kimia tanah.

Di lahan pertanian dengan pengolahan intensif, khususnya praktek penebangan

hutan untuk pembukaan lahan baru memiliki tingkat kerusakan lingkungan yang

amat tinggi. Pembukaan hutan tersebut merupakan tindakan eksploitasi lahan

yang berlebihan, perluasan tanaman, penggundulan hutan, telah berdampak pada

keberlangsungan hidup biota yang berada di bumi ini. Bila kondisi tersebut diatas

terus berlangsung dengan cara tidak terkendali, maka dikhawatirkan akan

bertambahnya jumlah lahan kritis dan kerusakan dalam suatu wilayah. Selain itu,

penanaman satu jenis tanaman semusim pada satu areal lahan menyebabkan

tidak adanya tutupan lahan lain yang cukup kuat untuk melindu gi tanah dari

daya pukul air hujan secara langsung ke tanah, hal tersebut mengakibatkan laju

erosi cenderung tinggi.

3. Dari Segi Biologi Tanah

a. Keanekaragaman biota dan fauna tanah.

Biota tanah memegang peranan penting dalam siklus hara di dalam tanah,

sehingga dalam jangka panjang sangat mempengaruhi keberlanjutan produktivitas

lahan. Salah satu biota tanah yang paling berperan yaitu cacing tanah. Cacing

jenis ‘penggali tanah’ yang hidup aktif dalam tanah, walaupun makanannya

berupa bahan organik di permukaan tanah dan ada pula dari akar-akar yang mati

di dalam tanah. Kelompok cacing ini berperanan penting dalam mencampur

seresah yang ada di atas tanah dengan tanah lapisan bawah, dan meninggalkan

liang dalam tanah. Kelompok cacing ini membuang kotorannya dalam tanah, atau

di atas permukaan tanah. Kotoran cacing ini lebih kaya akan karbon (C) dan hara

lainnya dari pada tanah di sekitarnya. (Hairiah, 2004).

Pada lahan dengan pengolahan intensif, jarang terdapat seresah pada lahan

tersebut sehingga keberadaan biota tanah seperti cacing tanah sedikit, padahal

aktifitas cacing tanah dapat memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah,

seperti meningkatkan kandungan unsur hara, mendekomposisikan bahan organik

tanah, merangsang granulasi tanah dan sebagainya.

19

Page 20: BAB I-V.docx

2.7 Kriteria Indikator dalam Pengelolaan Agroekosistem yang Sehat dan

Berkelanjutan

a. Kimia Tanah

- Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan binatang

yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Sumber

primer bahan organik tanah dapat berasal dari Seresah yang merupakan bagian mati

tanaman berupa daun, cabang, ranting, bunga dan buah yang gugur dan tinggal di

permukaan tanah baik yang masih utuh ataupun telah sebagian mengalami

pelapukan. Dalam pengelolaan bahan organik tanah, sumbernya juga bisa berasal

dari pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos,

serta pupuk hayati (inokulan). Bahan organic tersebut berperan langsung terhadap

perbaikan sifat-sifat tanah baik dari segi kimia, fisika maupun biologinya,

diantaranya : Memengaruhi warna tanah menjadi coklat-hitam, Memperbaiki

struktur tanah menjadi lebih remah, Meningkatkan daya tanah menahan air

sehingga drainase tidak berlebihan, kelembapan dan tempratur tanah menjadi stabil,

Sumber energi dan hara bagi jasad biologis tanah terutama heterotrofik. Tanah yang

sehat memiliki kandungan bahan organik tinggi, sekitar 5%. Sedangkan tanah yang

tidak sehat memiliki kandungan bahan organik yang rendah.

- pH Tanah (Kemasaman Tanah) dan Adanya Unsur Beracun. Tanah bersifat asam

dapat pula disebabkan karena berkurangnya kation Kalsium, Magnesium, Kalium

dan Natrium. Unsur-unsur tersebut terbawa oleh aliran air kelapisan tanah yang

lebih bawah atau hilang diserap oleh tanaman. pH tanah juga menunjukkan

keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman. Pada tanah asam banyak

ditemukan unsur alumunium yang selain bersifat racun juga mengikat phosphor,

sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Pada tanah asam unsur-unsur mikro

menjadi mudah larut sehingga ditemukan unsur mikro seperti Fe, Zn, Mn dan Cu

dalam jumlah yang terlalu besar, akibatnya juga menjadi racun bagi tanaman.

Tetapi dengan pH yang agak masam belum tentu kebutuhan tanaman terhadap pH

tanah tidak cocok karena itu tergantung dari komoditas tanaman budidaya yang

dibudidayakan. Untuk pengelolaan pH tanah yang berbeda-beda dalam suatu

agroekosistem maka apabila suatu lahan digunakan untuk pertanian maka pemilihan

jenis tanamannya disesuaikan dengan pH tanah apakah tanaman yang diusahakan

sesuai dan mampu bertahan dengan pH tertentu.

20

Page 21: BAB I-V.docx

- Ketersediaan Unsur Hara, Unsur hara yang digunakan tanaman untuk proses

pertumbuhan dan perkembangannya diperoleh dari beberapa sumber antara lain :

Bahan organik, mineral alami, unsur hara yang terjerap atau terikat, dan pemberian

pupuk kimia.

b. Fisika Tanah

- Kondisi kepadatan tanah, Widiarto (2008) menyatakan bahwa, Bahan organik dapat

menurunkan BI dan tanah yang memiliki nilai BI kurang dari satu merupakan tanah

yang memiliki bahan organik tanah sedang sampai tinggi. Selain itu, Nilai BI untuk

tekstur berpasir antara 1,5 – 1,8 g / m3, Nilai BI untuk tekstur berlempung antara

1,3 – 1,6 g / m3 dan Nilai BI untuk tekstur berliat antara 1,1–1,4 g / m3 merupakan

nilai BI yang dijumpai pada tanah yang masih alami atau tanah yang tidak

mengalami pemadatan.

- Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah yang masih dapat ditembus oleh

akar tanaman. Pengamatan kedalaman efektif dilakukan dengan mengamati

penyebaran akar tanaman. Banyakya perakaran, baik akar halus maupun akar kasar,

serta dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah, dan bila tidak dijumpai

akar tanaman maka kedalaman efektif ditentukan berdasarkan kedalaman solum

tanah (Hardjowigeno, 2007).

- Erosi Tanah adalah terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke tempat

lain. Meningkatnya erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya vegetasi penutup tanah

dan kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah. Erosi

tersebut umumnya mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas yang subur dan baik

untuk pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu erosi mengakibatkan terjadinya

kemunduran sifat-sifat fisik dan kimia tanah.

c. Biologi Tanah

Keanekaragaman biota dan fauna tanah, ditunjukkan dengan adanya kascing

Biota tanah memegang peranan penting dalam siklus hara di dalam tanah, sehingga

dalam jangka panjang sangat mempengaruhi keberlanjutan produktivitas lahan.

Salah satu biota tanah yang paling berperan yaitu cacing tanah. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa cacing tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui

perbaikan sifat kimia, fisik, dan biologis tanah. Kascing (pupuk organik bekas

cacing atau campuran bahan organik sisa makanan cacing dan kotoran cacing)

21

Page 22: BAB I-V.docx

mempunyai kadar hara N, P dan K 2,5 kali kadar hara bahan organik semula, serta

meningkatkan porositas tanah (pori total dan pori drainase cepat meningkat 1,15

kali). Cacing jenis ‗penggali tanah‘ yang hidup aktif dalam tanah, walaupun

makanannya berupa bahan organik di permukaan tanah dan ada pula dari akar-akar

yang mati di dalam tanah. Kelompok cacing ini berperanan penting dalam

mencampur seresah yang ada di atas tanah dengan tanah lapisan bawah, dan

meninggalkan liang dalam tanah. Kelompok cacing ini membuang kotorannya dalam

tanah, atau di atas permukaan tanah. Kotoran cacing ini lebih kaya akan karbon (C)

dan hara lainnya dari pada tanah di sekitarnya. (Hairiah, 2004).

2.8 Pengaruh Pemberian Pupuk yang Digunakan Terhadap Kesuburan Tanaman

yang Diamati

Desa Sumber Ngepoh Lawang yang kami kunjungi merupakan kompleks pertanian

organik dan semi organik, dimana input hara untuk tanaman memakai pupuk organic

berupa pupuk kandang. Pupuk organik merupakan pupuk yang mudah diperoleh dan

murah untuk meningkatkan kualitas tanah. Pada umumnya nilai pupuk yang dikandung

pupuk organic terutama unsure makro nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K) rendah,

tetapi pupuk organic juga mengandung unsure mikro esensial yang lain. Nitrogen dan

unsure hara lain yang dikandung pupuk organic dilepaskan secara perlahan-lahan.

Penggunaan pupuk organic secara berkesinambungan akan banyak bermanfaat dalam

jangka waktu yang panjang. Secara garis besar, keuntungan yang diperoleh dengan

memanfaatkan pupuk organic adalah sebagai berikut (Sutanto, 2002).:

Mempengaruhi sifat fisik tanah. Bahan organic membuat tanah menjadi gembur dan

lepas lepas, sehingga aerasi menjadi lebih baik serta mudah ditembus perakaran.

Pada tanah yang bertekstur pasiran bahan organic akan meningkatkan pengikatan

antar partikel dan meningkatkan kapasitas mengikat air.

Mempengaruhi sifat kimia tanah. Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan ketersediaan

hara meningkat dengan menggunakan bahan organic.

Mempengaruhi sifat biologi tanah. Bahan organic akan menambah energi yang

diperlukan kehidupan mikroorganisme tanah. Tanah yang kaya bahan organic akan

mempercepat perbanyakan makro dan mikro fauna tanah.

22

Page 23: BAB I-V.docx

2.9 Faktor yang Mempengaruhi Kesuburan Tanaman

Kesuburan Tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan produk

tanaman yang diinginkan, pada lingkungan tempat tanah itu berada. Produk tanaman

tersebut dapat berupa: buah, biji, daun, bunga, umbi, getah, eksudat, akar, trubus,

batang, biomassa, naungan atau penampilan. Tanah memiliki kesuburan yang berbeda-

beda tergantung faktor pembentuk tanah yang merajai di lokasi tersebut, yaitu: Bahan

induk, Iklim, Relief, Organisme, atau Waktu. Tanah merupakan fokus utama dalam

pembahasan kesuburan tanah, sedangkan tanaman merupakan indikator utama mutu

kesuburan tanah (Yuwono, 2007).

Kesuburan tanah adalah mutu tanah untuk bercocok tanam, yang ditentukan oleh

interaksi sejumlah sifat fisika, kimia dan biologi tubuh tanah yang menjadi habitat akar-

akar aktif tanaman. Ada akar yang berfungsi menyerap air dan larutan hara, dan ada

yang berufngsi sebagai penjangkar tanaman. Kesuburan tanah tidak dapat diukur atau

diamati, akan tetapi dapat ditaksir berdasarkan sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah

yang terukur dan dikorelasikan dnegan kenampakan tanaman diatasnya serta penelitian

berkaitan (Notohadiprawiro, dkk., 2006).

Kesuburan tanah merupakan kemampuan tanah menghasilkan tanaman yang dipanen

atau produktivitas. Hasil akhir kesuburan tanah adalah hasil panen yang dapat diukur

dengan bobot kering hasil panen tiap luasan (ha) per satuan waktu. Produktivitas yang

tinggi dengan kondisi lingkungan yang mendukung dan cenderung stabil menandakan

kesuburan tanah yang tinggi sebab tanah dapat memberikan produksi tinggi sepanjang

tahun (Notohadiprawiro, dkk., 2006).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesuburan tanah antara lain:

1. Bahan Organik Tanah,

Kandungan bahan organik tanah telah terbukti berperan sebagai kunci utama

dalam mengendalikan kualitas tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi.

Bahan organik mampu memperbaiki sifat fisik tanah seperti menurunkan berat

volume tanah, meningkatkan permeabilitas, menggemburkan tanah, memperbaiki

aerasi tanah, meningkatkan stabilitas agregat, meingkatkan kemampuan tanah

memegang air, menjaga kelembaban dan suhu tanah, mengurangi energi kinetik

langsung air hujan, mengurangi aliran permukaan dan erosi tanah (Oades, 1989;

Elliott, 1986; Puget et al., 1995; Jastrow et al., 1996; Heinonen, 1985 dalam

Riwandi, 2010).

23

Page 24: BAB I-V.docx

Bahan organik yang tinggi menandakan kesuburan tanah yang tinggi. Bahan

organik mampu memperbaiki sifat kimia tanah seperti menurunkan pH tanah,

dapat mengikat logam beracun dengan membentuk kelat komplek, meningkatkan

kapasitas pertukaran kation dan sebagai sumber hara bagi tanaman (Stevenson,

1994; Tisdall and Oades, 1982 dalam Riwandi, 2010). Dari sifat biologi tanah,

bahan organik tanah mampu mengikat butir-butir partikel membentuk agregat

dari benang hyphae terutama dari jamur mycorrhiza dan hasil eskresi tumbuhan

dan hewan lannya (Soegiman, 1982; Addiscott, 2000 dalam Riwandi, 2010).

2. Jenis Pengolahan Lahan,

Praktek pertanian seperti pemberoan tanpa tanaman, pembakaran dan

pengangkutan sisa tanaman dan pengolahan tanah telah mendorong hilangnya

bahan organik tanah. Pengolahan tanah menyebabkan penurunan kandungan

bahan organik tanah sehingga mengarah pada degradasi struktur tanah.

Dekomposisi bahan organik adalah proses aerob, oksigen akan mempercepat

proses tersebut. Dengan pengolahan tanah sisa tanaman dibenamkan bersama

udara dan membuat kontak dengan oragnisme tanah, sehingga memperepat

dekomposisi menghasilkan co2 yang dilepaskan ke udara. Pengolahan yang

berulang-ulang bersaman penurunan input bahan organik ke dalam tanah

menyebabkan disintegrasi agregat sehingga tanah menjadi peka terhadap erosi

dan pemadatan (Supriyadi, 2008).

Praktek konvensional seperti pembakaran sisa panen jerami atau lainnya) dan

pupuk kandang menjadi praktek yang umum oleh petani. Hal ini dapat berdampak

mengurangi input biomassa bahan organik. Demikian pula pengangkutan keluar

sisa panen untuk pakan ternak. Walaupun kotoran ternak dikembalikan ke lahan,

biasanya kotoran ternak tersebut dibakar terlebih dahulu sehingga yang tersisa

hanya abu dan beberpa mineral sedangkan karbon, nitrogen dan sulfur telah

hilang (Supriyadi, 2008).

3. Pola Tanam dan Sistem Tanam

Pola tanam yang monokultur dan dilakukan dalam jangka waktu yang relatif

lama dapat menurunkan kesuburan tanah. Monokultur dengan pengolahan

konvensional akan menguras unsur hara dalam tanah, jika hal ini dibiarkan lama

tanah akan mencapai titik jenuh dan kehilangan unsur hara tersedia seara tajam.

Pola rotasi tanam sangat dianjurkan untuk menjaga kesuburan tanah. Residu

24

Page 25: BAB I-V.docx

tumbuhan dari kelompok legum dapat dimanfaatkan sebagai sumber N dan P

(Alhasni dan Handayanto, 2003 dalam Supriyadi, 2008). Penggunaan pangkasan

pohon gamal (Glirisidia sepium) menunjukkan hasil yang baik dalam peningkatan

unsur hara dalam tanah.

Sistem tanam agroforestri yang mencampurkan pohon di lahan dengan

berbagai jenis tanaman. Ini bertjuan untuk menghasilkan produk kayu,buah dan

pakan ternak. Selain itu pemilihan pohon ini menentukan kualitas bahan organik

yang dihasilkan untuk kelestarian lahan khususnya peningktan bahan organik

tanah (Supriyadi, 2008).

4. Aplikasi Mikoriza

Mikoriza adalah simbiosis mutualism antara fungi dengan akar tumbuhan.

Adanya simbiosis ini akan membantu tanaman inang mendapatkan unsur hara

terutama fosfor, bertahan pada kondisi kering dan patogen tular tanah. Meskipun

tidak secara langsung terlibat pada dekomposisi bahan organik tanah, jamur

mikoriza juga menambahkan karbon organik dari tanaman inang dan dari

produksi glicoprotein atau glomalin yang relatif tahan terhadap dekomposisi

sehingga senyawa ini dapat berfungsi sebagai sumber karbon dan pemantap

agregat tanah. Dinding sel fungi yang banyak mengandung khitin yang tahan

terhadap pelapukan juga merupakan sumber karbon. Selian itu mikoriza akan

berperan dalam meningkatkan agregasi lewat hifa eksternalnya yang mampu

menyatukan butiran tanah sehingga memantapka agregat tanah, sehingga secara

fisik melindungi karbon organik dalam agregat untuk terdekomposisi lebih lanjut

(Jastrow, et al., 2007 dalam Supriyadi, 2008)

2.10 Pengelolaan yang Dilakukan Petani pada Lahan Tanaman yang Diamati

Pengolahan lahan untuk penanaman padi sawah dilakukan dengan cara dibajak dan

dicangkul. Biasanya dilakukan minimal 2 kali pembajakan yangkni pembajakan kasar

dan pembajakan halus yang diikuti dengan pencangkulan: Total pengolahan lahan ini

bisa mencapai 2-3 hari. Setelh selasai, aliri dan rendam dengan air lahan sawah 

tersebut selama 1 hari. Pastikan keesokan harinya benih yang telah disemai sudah siap

ditanam, yakni sudah mencapai umur 7-12 harian, perlu diingat, usahakan bibit yang

disemai tidak melebihi umur 12 hari mengingat jika terlalu tua maka tanaman akan sulit

beradaptasi dan tumbuh ditempat baru (sawah) karena akarnya sudah terlalu besar.

25

Page 26: BAB I-V.docx

Menurut VECO (2007) Sebagai persiapan, lahan diolah seperti kebiasaan kita

dalam mengolah tanah sebelum tanam, dengan urutan sebagai berikut. Mula-mula tanah

dibajak menggunakan traktor atau tenaga sapi. Selanjutnya tanah digaru sambil

disebari pupuk organik. Terakhir, tanah diratakan. Pada saat menggaru dan meratakan

tanah, usahakan agar air tidak mengalir di dalam sawah supaya unsur hara yang ada di

tanah tidak hanyut. Setelah tanah diratakan, buatlah parit di bagian pinggir dan tengah

tiap petakan sawah untuk memudahkan pengaturan air.

2.11 Hubungan antar Aspek Budidaya, Pengeloaan Tanah dan Pengendalian Hama

Penyakit yang Diamati

Manajemen agroekosistem merupakan kegiatan mengelola ekosistem pada lahan

pertanian. Manajemen agroekosistem meliputi tiga aspek, yaitu aspek Budidaya

Pertanian, aspek Tanah dan aspek Hama Penyakit Tanaman. Ketiga aspek tersebut

sangat berhubungan erat satu sama lain dan juga saling mempengaruhi.

Menurut Widjajanto dan Sumarsono (2005) dalam komponen agroekosistem di

atas saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Tanah sebagai komponen

sumberdaya alam yang mencakup semua bagian permukaan bumi, termasuk yang di

atas dan di dalamnya yang terbentuk dari bahan induk yang dipengaruhi kinerja iklim

dan biota tanah. Tanah yang diberikan pestisida kimia yang berlebihan dapat membuat

tanah kekurangan nutrisi, musuh alami menjadi berkurang, dan terjadi ledakan hama.

Pemilihan sistem budidaya monokultur atau polikultur sangat mempengaruhi

tingkat biodiversitas. Pemilihan sistem polikultur akan lebih meningkatkan

keanekaragaman dibandingkan sistem pola tanam monokultur sehingga akan cenderung

lebih stabil (Reijntjes, Coen. 1992). Jika keanekaragaman fungsional bisa dicapai maka

komponen dalam agroekosistem akan saling berhubungan dalam interaksi sinergetik

dan positif, sehingga meningkatkan produktivitas sistem pertanian, menciptakan iklim

mikro yang cocok bagi komponen-komponen lain, menghasilkan senyawa kimia untuk

mendorong komponen yang diinginkan atau menekan komponen yang berbahaya,

menurunkan populasi hama, mengendalikan gulma, memproduksi tanaman obat-obatan

dan memobilisasi dan memproduksi unsur-unsur hara yang dibutuhkan komponen lain.

(Reijntjes, Coen. 1992)

Pada lahan yang kami amati, petani melakukan budidaya padi dengan sistem

pertanian organik. Pertanian organik menurut IFOAM (2005) didefinisikan sebagai

sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan

26

Page 27: BAB I-V.docx

kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami. Dalam sistem budidaya

pertanian organik menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida dan hasil rekayasa

genetik sehingga menekan pencemaran udara, tanah, dan air serta mempercepat

biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah.

27

Page 28: BAB I-V.docx

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat serta Deskripsi Lokasi Fieldtrip Secara Umum

Fieldtrip manajemen agroekosistem dilaksanakan pada tanggal 22 Mei 2014 di Desa

Sumber Ngepoh, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Jenis agroekosistem lokasi

fieldtrip adalah lahan sawah dengan komoditas padi dengan sistem organik. Desa ini

terletak disebelah utara Kota Malang yang merupakan perbatasan antara Malang dan

Pasuruan. Desa Sumber Ngepoh berada di wilayah pegunungan dan perbukitan yang

masih asri dan sejuk. Kondisi lahan pada Desa Sumber Ngepoh adalah lahan basah.

Dimana kondisi lahan berupa sawah yang selalu jenuh air dalam waktu yang lama. Letak

desa yang dekat dengan sumber air sangat sesuai untuk dijadikan lahan basah karena

ketersediaan air yang melimpah sehingga tidak perlu khawatir akan kekeringan. Kondisi

lahan yang basah dan lingkungan yang masih alami sangat mendukung untuk

dilakukannya budidaya pertanian padi organik.

3.2 Alat, Bahan dan Fungsi

3.2.1 Aspek Tanah

3.2.1.1 Lapangan

Tabel 1. Alat yang digunakan dilapang aspek tanah

No. Alat Fungsi1 Meteran Mengukur panjang tali rafia2 Tali rafia Membuat plot besar3 Frame seresah Membatasi area pengamatan plot kecil4 Ring sampel Mengambil sampel tanah utuh5 Balok kayu Menekan ring sampel6 Palu Memukul ring sampel (diberi balok kayu)7 Cetok Memudahkan mengambil ring sampel8 Gunting Memotong tali rafia9 Penetrometer Mengukur ketahanan tanah10 Alat tulis Mencatat hasil pengukuran11 Kamera Mendokumentasikan kegiatan dan hasil pengamatan

28

Page 29: BAB I-V.docx

3.2.1.2 Laboratorium

3.2.1.2.1 BI, BJ, dan Porositas Total

Tabel 2. Alat pengukuran BI, BJ dan porositas totalNo. Alat Fungsi1 Timbangan

analitikMenimbang sampel tanah utuh dan komposit

2 Piknometer Tempat pengukuran berat jenis3 Cawan Alas untuk menimbang tanah4 Oven Mengering-ovenkan tanah

Tabel 3. Bahan pengukuran BI, BJ dan porositas totalNo. Bahan Fungsi1 Sampel tanah Bahan yang diuji2 Air matang Menghilangkan udara dalam sampel tanah

3.2.1.2.2 pH, C-Organik

Tabel 4. Alat pengukuran pH dan C-OrganikNo. Alat Fungsi1 Timbangan analitik Menimbang sampel tanah2 Erlenmeyer Tempat pengukuran C-Organik3 Cawan Alas untuk menimbang tanah4 Mortar & pistil Menghaluskan tanah5 Ayakan Mengayak tanah (didapat tanah halus)6 Gelas ukur Mengukur larutan yang diperlukan7 Buret dan statif Alat titrasi H2SO4

8 Ruang asam Menghilangkan pengaruhTabel 5. Bahan pengukuran pH dan C-OrganikNo. Bahan Fungsi1 Sampel tanah Bahan uji C-Organik2 K2Cr2O7 Mengikat rantai karbon3 H2SO4 Memisahkan rantai karbon4 H3PO4 85% Menghilangkan pengaruh Fe3+

5 H2O Menghentikan reaksi H2SO4

6 FeSO4 Larutan titrasi7 Difenilamina Sebagai indikator perubahan warna

29

Page 30: BAB I-V.docx

3.2.2 Aspek Hama dan Penyakit Tanaman

Tabel 6. Alat untuk aspek hama dan penyakit tanaman

No. Alat Fungsi

1 Swept net Menangkap serangga yang terbang cukup tinggi

2 Pan trap Menangkap serangga yang terbang sejajar dengan tanaman

3 Pit fall Menangkap serangga yang berjalan diatas tanah

4 Kamera Mendokumentasikan hasil pengamatan

Tabel 7. Bahan untuk aspek hama dan penyakit tanaman

No. Bahan Fungsi

1 Alkohol Membius serangga yang tertangkap

2 Detergen Membuat larutan perangkap (pit fall dan pan trap)

3 Plastik Tempat serangga dan sampel penyakit yang tertangkap

3.2.3 Aspek Budidaya Pertanian

Tabel 8. Alat untuk aspek budidaya pertanian

No. Alat Fungsi1 Kuisioner Sebagai pedoman wawancara2 Alat tulis Mencatat hasil wawancara3 Kamera Mendokumentasi kegiatan wawancara

3.3 Operasional

3.3.1 Kriteria Indikator Yang Diamati

Pada praktikum lapang yang dilakukan di Desa Sumber Ngepoh,

Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang dilakukan pengamatan terhadap seberapa

besar kontribusi setiap aspek dalam usahatani yang meliputi aspek hama

penyakit, aspek agronomi serta aspek lahan (tanah). Masing-masing dari aspek-

aspek tersebut memiliki kajian yang spesifik sebagai suatu identifikasi apakah

pada kondisi lapangan di Desa Ngepoh memerlukan upaya perbaikan ataukah

tidak.

Pada aspek kondisi lahan (Tanah) kriteria indikator yang diamati berupa

kondisi dan sifat tanah di lapangan dimana kondisi yang ditunjukan tanah adalah

suatu cerminan atau akibat dari pengolahan yang dilakukan, maka dapat di analisa

30

Page 31: BAB I-V.docx

mengenai permasalahan yang ada serta dengan tepat sasaran akan dapat

menentukan upaya konservatif apa yang perlu dilakukan pada lahan tersebut.

Sifat tanah yang diamati adalah BI, BJ, C-Organik dan pH tanah.

Pada aspek hama penyakit, kriteria indikator permasalahan yang diamati

adalah bagaimana kondisi interaksi antara hama penyakit, musuh alami dan

lingkunganya. Kondisi tersebut akan dapat diketahui dengan jalan mengamati

indikator pada lahan yaitu intensitas serangan penyakit dan populasi dominan

yang di temukan pada lahan, dan keberdaan musuh alami.

Pada aspek agronomi (BP), kriteria indikator yang diamati adalah

bagaimana para pelaku usahatani menjalankan usahanya. Informasi mengenai hal

tersebut dapat diperoleh melalui kajian terhadap petani mengenai proses bercocok

tanam, perkembanga produksi tanaman dan seberapa jauh adopsi teknologi yang

ada di lapangan sehingga dengan informasi yang didapatkan akan dapat

memastikan apakah dari segi pembudidayaan komoditas pertanian telah memiliki

keseuaian melalui beberapa sudut pandang budidaya.

3.3.2 Parameter atau Variabel Yang Diamati Dan Diukur

Dalam setiap aspek pengamatan di Desa Ngepoh tentunya memiliki kriteria

yang merupakan parameter dalam pengamatan. Diharapkan dengan penentuan

variabel pengamatan akan mendapatkan informasi yang komparatif terhadap

kondisi aktual yang ada di Desa Sumberbrantas sehingga akan memudahkan

dalam analisa data serta pengambilan kesimpulan dari sebuah pengamatan.

Variabel pengamatan pada aspek tanah tidak jauh dari kondisi sifat-sifat

tanah pada lahan yaitu sifat fisik, kimia dan biologi tanah tersebut. Dengan

variabel pengamatan berupa informasi mengenai kondisi tanah yang baik dan

kelas kesesuain tanah dalam upaya pengelolaan dan penggunaan lahan tersebut.

Parameter berupa berat isi, seresah, pH tanah, dan lain-lainya yang memerlukan

analisa laboratorium guna mendapatkan informasi yang aktual mengenai kondisi

tanah pada lahan. Parameter pengamatan ini memiliki keterkaitan hubungan

dengan pengelolaan tanah dan juga penggunaanya sebagai lahan produksi

komoditas pertanian.

Parameter yang diamati untuk aspek hama penyakit adalah seberapa besar

interaksi yang terjadi pada skala hamparan lahan di Desa Sumber Ngepoh.

31

Page 32: BAB I-V.docx

Interaksi tersebut melibatkan hama, serangga lain dan musuh alami. Untuk

mengetahui bagaiman kesimpulan interaksi yang terjadi diperlukan pengamatan

populasi komponen-komponen interaksi tersebut melalui penangkapan dengan

sweep net dan pan trap kemudian di identifikasi dan dianalisis brdasarkan

persentase komponen-komponen tesebut alam suatu interaksi menggunakan

segitiga faktorial dan juga dengan perhitungan intensitas oenyakit yang mnyerang

dan keseluruhan proses tersebut diharapkan agar dapat dengan mudah menetukan

kesimpulan di lapangan.

Parameter yang diamati untuk aspek budidaya pertanian (agronomi) yaitu

mengenai informasi proses bercocok tanam yang dilakukan dengan cara

melakukan wawancara pada petani. Secara garis besar inti yang menjadi

parameter dalam aspek budidaya tanaman ini adalah mengenai apa yang petani

lakukan dalam proses produksi pertania (on farm process) yang meliputi

pembuatan benih, persemaian, perawatan dan pemanenan serta mengenai masalah

pemasaranya. Parameternya yaitu bagaimana proses-proses tersebut berlangsung

dan menjadi suatu mata pencaharian yang menjadi sumber pendapatan utama bagi

petani dan juga apakah dalam pelaksanaan proses tersebut mengalami

permasalahan. Masalah yang ditemukan pastinya akan berhubungan dengan

teknik dan teknologi apa yang petani terapkan maka atas dasar hal tersebut dapat

di analisa sesuai dengan ketentuan budidaya yang dianggap benar dan disarankan.

3.3.3 Metode Dan Fungsi (Output Umum)

Pada praktikum manemen agroekosistem memiliki tujuan yang spesifik yang

diharapkan, tujuan tersebut dapat memperbaiki kondisi suatu lahan agar tetap

memiliki keberlanjutan dalam hal penggunaan lahan tersebut. Masing-masing

aspek pengamatan akan memiliki keluaran yang berbeda-beda dan memiliki

informasi yang spesifik.

Pada aspek tanah keluaran yang bisa didapatkan adalah berupa informasi

kondisi tanah dalam kaitanya kesehatan dan kesesuaian tanah untuk diberdayakan

sebagai suatu sumber daya lahan. Dengan informasi tersebut secara langsung

akan dapat menjadi sebuah dasar dalam upaya atau perlakuan apa yang harus dan

sekiranya perlu dilakukan pada lahan dengan tidak mengesampingkan aspek

ekonomi mengenai pengelolaan terkait sehingga akan mendukung keberlanjutan

sektor pertanian di lahan tersebut yang menjadi matapencaharian utama

32

Page 33: BAB I-V.docx

masyarakatnya. Faktor kondisi lahan ini juga sangat berhubungan erat dengan

produksi tanaman yang ditanam jadi diharapkan dengan informasi kondisi aktual

yang telah di evalusi hendanya dilakukan suatu upaya penanggulangan yang

sesuai

Pada aspek hama dan penyakit tanaman dengan dilakukanya pengamatan dan

dilanjutkan dengan analisa data hasil pengamatan maka keluaran yang dihasilkan

adalah bagaimana kondisi aktual mengenai interaksi hama dan penyakit yang ada

di lahan, kondisi ini memaparkan persentase komponen interaksi hama dan

penyakit serta musuh alaminya sehingga dapat diketahui informasi tingkat

serangan hama penyakit yang terjadi. Informasi tersebut dapat dikaitkan dengan

upaya penanggulangan hama penyakit yang dilakukan dan dapat dilakukan

evaluasi mengenai pengelolaan hama penyakit yang di lakukan di Desa

Sumberbrantas.

Pada aspek budidaya tanaman (BP) dengan melakukan pengamatan terhadap

sendi-sendi budidaya maka dapat bermanfaat untuk proses analisa usahatani yang

akan berdampak pada kesejahteraan petani. Karena pada dasarnya terdapat

hubungan antara proses budidaya dengan hasil produksi pertananya. Maka

dengan ini bisa didapatkan keluaran berupa informasi yang berkaitan dengan

sejauh mana sistem pertanian di Desa Sumber Ngepoh tersebut dapat memberikan

hasil yang maksimal dan tetap memiliki prospek keberlanjutan produksi lahan.

Dan dengan masalah-masalah terkait budidaya tanaman dapat mengatur

rancangan penanganan masalah dengan cepat dan tepat.

.

33

Page 34: BAB I-V.docx

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Kondisi Umum Lahan

Fieldtrip dilaksanakan di Desa Sumber Ngepoh, Kecamatan Lawang,

Kabupaten Malang. Desa ini terletak disebelah utara Kota Malang yang

merupakan perbatasan antara Malang dan Pasuruan. Desa Sumber Ngepoh berada

di wilayah pegunungan dan perbukitan yang masih asri dan sejuk. Kondisi lahan

pada Desa Sumber Ngepoh adalah lahan basah. Dimana kondisi lahan berupa

sawah yang selalu jenuh air dalam waktu yang lama. Letak desa yang dekat

dengan sumber air sangat sesuai untuk dijadikan lahan basah karena ketersediaan

air yang melimpah sehingga tidak perlu khawatir akan kekeringan. Kondisi lahan

yang basah dan lingkungan yang masih alami sangat mendukung untuk

dilakukannya budidaya pertanian padi organik.

Lahan pada Desa Sumber Ngepoh ini memiliki tanah yang sangat subur,

sehingga mayoritas penduduk berprofesi sebagai petani. Menurut salah satu

petani yang menjadi narasumber kami yaitu Bapak Suroto, beliau adalah petani

yang menjadi pelopor pertanian orgamik di desanya, dahulu para petani disana

selalu menggunakan bahan kimia seperti pupuk dan pestisidia kimia untuk

meningkatkan produksi, namun sadar akan bahaya yang ditimbulkan dan

produksi padi yang menurun akibat degradasi lahan maka Pak Suroto mulai

berpikir kembali dan mulai kembali ke sistem pertanian yang dilakukan nenek

moyang dahulu. Menurut beliau pada zaman dahulu para nenek moyang juga bisa

bertanam tanpa pupuk dan pestisida kimia dan hasilnya juga tinggi, lalu mengapa

saat ini tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu bapak Suroto mulai mengajak para

petani lainnya untuk bertani organik yang sehat dan aman, serta di desa sumber

Ngepoh tersebut dikaruniai alam dan sumber air yang masih alami dan melimpah

sehingga sudah patut untuk dijaga, dilestarikan, dan digunakan dengan arif.

Keadaan lingkungan perbukitan yang berada di sekililingnya lahan sawah

berupa agroforestri yang ditanami oleh tanaman sengon. Tanaman yang berada

pada bukit tersebut sengaja untuk tidak ditebangi agar dapat menahan erosi

sehingga longsor sangat jarang terjadi disana. Menurut penuturan Bapak Suroto

lahan-lahan sawah yang diusahakan untuk lahan pertanian padi organik

34

Page 35: BAB I-V.docx

merupakan lahan milik penduduk setempat, namun ada pula yang petani yang

bertani padi organik dengan sistem sewa.

Dengan kondisi lingkungan yang masih alami dan terdapat wisata air

Krabyakan yang merupakan kolam yang berasal dari sumber mata air setempat

serta pertanian yang diusahakan dengan sistem organik, membuat desa tersebut

sering sekali menjadi tujuan wisata alam.

4.1.2 Pengelolaan Tanaman Dan Tanah Yang Dilakukan Setiap Petani

Sistem pertanian di desa Sumber Ngepoh terdapat 2 jenis yaitu padi organik

dan padi semi organik. Pada pertanian padi organik tidak menggunakan input

kimia sama sekali baik untuk pupuk maupun pestisida. Para petani menggunakan

pupuk kandang yang berasal dari kotoran hewan ternak mereka sendiri .

Sedangkan pada pertanian padi semi organik masih menggunakan input kimia

namun dengan porsi yang tidak berlebih-lebih dan semakin hari semakin

dikurangi dosisnya atau dapat dikatakan pada padi semi organik ini juga

mengarah ke organik.

Varietas yang digunakan untuk padi organik yaitu varietas Mentik Wangi

sedangkan pada semi organik adalah varietas IR 64. Bibit mentik wangi awalnya

berasal dari pemberian Universitas Brawijaya yang kemudian dikembangbiakan

sendiri oleh petani disana. Varietas padi Mentik Wangi dipilih karena merupakan

beras lokal asli dari Jawa yang tergolong padi aromatik, dan beras yang

dihasilkan pulen, beraroma wangi dan sehat. Pemilihan varietas Mentik Wangi ini

sesuai dengan kondisi lingkungan pegunungan pada Desa Sumber Ngepoh yang

merupakan kawasan perbukitan dan pegunungan sebab varietas mentik wangi

merupakan beras pegunungan dengan suhu udara lebih rendah dan cenderung

memiliki umur yang panjang serta termasuk varetas padi dalam (bukan hibrida)

yang lebih cocok didataran tinggi seperti di Desa sumber Ngepoh.

Untuk varietas yang digunakan pada sistem pertanian semi organik yaitu

padi varietas IR 64 yang dibeli dari Dinas Pertanian setempat. Varietas IR 64 ini

merupakan varietas unggul nasional yang memiliki keunggulan rasa nasi yang

enak dan tahan terhadap hama wereng coklat dan wereng hijau. Walaupun beras

ini cocok tumbuh didataran rendah namun petani disini mencoba untuk

menanamnya didataran agak tinggi namun dengan irigasi yang baik.

35

Page 36: BAB I-V.docx

Pengelolaan tanah yang dilakukan pada lahan sawah padi organik dilakukan

sebelum tanam dengan menggunakan mesin traktor namun tak jarang pula

menggunakan sapi atau kerbau sebagai tenaga utama untuk membajak sawah

karena pada desa tersebut sebagian besar petani memiliki sapi atau kerbau

sebagai hewan ternak. Menurut penuturan Bapak Suroto pengolahan tanah pada

pertanian organik yang dilakukan tidak terlalu intensif karena dengan mengurangi

pengolahan tanah maka tianak tidak dibalik dan tidak terpapar oleh udara

sehingga unsur hara yang bersifat mudah menguap seperti nitrogen akan semakin

sedikit yang hilang, dengan begitu nutrisi dalam tanah akan tetap terjaga.

Pada pertanian organik bergantung sepenuhnya pada dekomposisi bahan

organik tanah oleh karena itu pada saat pengolahan tanah dilakukan pula

pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang yang berasal dari kotoran

hewan ternak yang sudah kering, pupuk kandang yang sering digunakan adalah

pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi. Di lahan sawah sering dijumpai

gubuk-gubuk yang merupakan kandang sapi, menurut penuturan Bapak Suroto

yang merupakan petani padi organic kandang sapi sengaja diletakkan di sawah

untuk memudahkan pengambilan pupuk kandang. Selain itu petani setempat juga

membuat pupuk sendiri yaitu campuran antara kotoran hewan, jerami dan sekam

padi yang difermentasikan dengan menggunkaan decomposer “Superdegra”.

Penggunaan pupuk organik pada pertanian padi ini sekitar 3,5 – 4 ton per

hektar, jumlahnya memang cukup besar jika dibandingkan dengan penggunaan

pupuk organik pada pertanian semi organik. Hal ini dikarenakan pertanian

organic sama sekali tidak menggunakan pupuk kimia. Sedangkan pada pertanian

padi semi organik petani setempat menggunakan pupuk organik sebesar 2,5 ton

per hektar, dan pupuk kimia berupa UREA sebesar 2,5 dan ZA sebesar 1 ,namun

karena pertanian semi organik ini juga mengarah ke pertanian organik maka dosis

pupuk kimia yang diberikan selalu dikurangi setiap kali musim tanam yang baru.

Pengurangan dosis pupuk kimia secara bertahap ini dimaksudkan agar tanah tidak

kaget jika langsung diberikan bahan organik secara langsung dan berdampak pada

hasil yang akan dihasilkan nantinya. Seiring dengan pengurangan pupuk kimia

maka harus dilakukan penambahan bahan organik. Pada intinya pertanian padi

semi organik juga mengarah ke pertanian organik , namun dikarenakan tidak

mudah untuk langsung menjadikan lahan tersebut sebagi pertanian organic

sehingga harus dilakukan tahap demi tahap.

36

Page 37: BAB I-V.docx

4.1.3 Pemeliharaan Tanaman Yang Dilakukan Setiap Petani

Dari hasil wawancara dengan petani, sistem pemeliharaan tanaman yang

dilakukan yaitu sama seperti petani padi pada umumnya. Tetapi, yang

membedakan sistem pertanian organik ini dengan yang lainnya yaitu tidak adanya

penggunaan pestisida kimia dalam sistem pengendalian hamanya. Konservasi

musuh alami serta pengelolaan agroekosistem yang baik mengakibatkan populasi

hama dan musuh alami tetap seimbang sehingga tidak perlu adanya masukan

pestisida kimia untuk mengendalikan hama. Untuk pengendalian gulma, sistem

“matun” tetap digunakan dengan mempekerjakan pekerja wanita dengan upah

kisaran 15 ribu rupiah setiap harinya. Pupuk yang digunakan para petani juga

berasal dari bahan organik yaitu mulai dari pupuk kandang yang diolah sendiri,

serta penggunaan pupuk organik yang berasal dari sisa-sisa tanaman yang juga

diolah sendiri oleh para petani. Sehingga, dapat dipastikan bahwa dalam sistem

pertanaman organik ini benar-benar tidak ada input bahan kimia sama sekali, baik

itu pupuk maupun pestisida.

4.1.4 Sistem Tanam Yang Diterapkan Dilahan (Sesuai Lokasi)

Sistem tanam yang diterapkan dalam pertanaman padi organik ini menganut

sistem tanam konvensional tetapi tanpa adanya input kimia. Artinya, para petani

tidak menerakan sistem SRI maupun jajar legowo pada pertanaman mereka. Jarak

tanam yang digunakan 30cm x 30cm terkait pengelolaan pengairan, air irigasi

terus tersedia, sehingga para petani tidak mengalami kendala untuk

mempraktekkan sistem tanam konvensional. Dalam 14 bulan, para petani

menanam padi secara monokultur dan terus menerus tanpa adanya pergantian

tanaman ataupun tanaman tumpang sari. Dimulai dari MP (musim penghujan)

yang biasanya memiliki tingkat produksi paling rendah dikarenakan kurangnya

dinar matahari yang didapat tanaman, sehingga hasil produksi kalah dengan 2

musim tanam lainnya. Kedua dan ketiga yaitu MK1 dan MK2. Pada MK1 dan

MK2 ini hasil yang didapatkan sangatlah tinggi, jauh diatas MP. Dikarenakan

tercukupinya sinar matahari serta air irigasi, sehingga padi dapat berproduksi

maksimal.

37

Page 38: BAB I-V.docx

4.1.5 Hasil Keragaman Arthropoda

a. Pengamatan Keragaman Arthropoda

Tabel 9. Pengamatan keragaman arthropoda

Jumlah

Jenis perangkap

Total AthropodaPantra

pSweptnet Fittpall

Hama 0 4 0 4

Musuh Alami 0 2 0 2

Serangga lain 0 0 0 0

Total Arthropoda 0 6 0 6

Persentase (%)

Hama 0 67 0 67

Musuh Alami 0 33 0 33

Serangga lain 0 0 0 0

Pada Pantrap

Total Arthropoda = 0

Hama = 0

Musuh alami = 0

Serangga Lain = 0

Hama : Jumlah Hama

Total Arthropoda×100% =

00×100%= 0 %

Musuh alami (MA) : Jumlah MA

Total Arthropoda×100% =

00×100%= 0 %

Serangga lain (SL) : JumlahSL

Total Arthropoda×100% =

00×100%= 0 %

Pada Sweptnet

Total Arthropoda = 6

38

Page 39: BAB I-V.docx

Hama = 4

Musuh alami = 2

Serangga Lain = 0

Hama : Jumlah Hama

Total Arthropoda×100% =

46 ×100%= 67 %

Musuh alami (MA) : Jumlah MA

Total Arthropoda×100% =

26×100%= 33 %

Serangga lain (SL) : JumlahSL

Total Arthropoda×100% =

06×100%= 0 %

Pada Pitfall

Total Arthropoda = 0

Hama = 0

Musuh alami = 0

Serangga Lain = 0

Hama : Jumlah Hama

Total Arthropoda×100% =

00×100%= 0 %

Musuh alami (MA) : Jumlah MA

Total Arthropoda×100% =

00×100%= 0 %

Serangga lain (SL) : JumlahSL

Total Arthropoda×100% =

00×100%= 0 %

Pada Keseluruhan

Total Arthropoda = 6

Hama = 4

Musuh alami = 2

Serangga Lain = 0

Total Arthropoda = 6

Hama : Jumlah Hama

Total Arthropoda×100% =

46 ×100%= 67 %

39

Page 40: BAB I-V.docx

Musuh alami (MA) : Jumlah MA

Total Arthropoda×100% =

26×100%= 33 %

Serangga lain (SL) : JumlahSL

Total Arthropoda×100% =

06×100%= 0 %

b. Segitiga Fiktorial

Gambar 9 . Hasil analisa segitiga fiktorial

Lahan yang kami amati ditanami komoditi padi yang berumur sekitar satu

bulan. Berdasarkan pengamatan terhadap Arthropoda di lahan hanya ditemukan 3

jenis Arthropoda yaitu belalang daun (Oxya chinensis) dan belalang hijau

(Atractomorpha crenaticeps) yang berperan sebagai hama dan capung dari ordo

odonata yang berperan sebagai musuh alami. Namun pada lahan ini tidak

ditemukan adanya serangga lain. Presentase Arthropoda terbesar ditemukan pada

40

Pitfall Total

Pantrap Sweptnet

Page 41: BAB I-V.docx

sweptnet yang terdiri dari hama (67 %) dan musuh alami (33 %). Sedangkan pada

pantrap dan pitfall tidak ditemukan adanya Arthropoda.

Dari segitiga penyakit dapat dianalisa bahwa Arthropoda yang memiliki

peranan paling besar adalah hama. Padahal seharusnya pada pertanian organik

jumlah musuh alami dan serangga lain lebih banyak daripada hama. Hal ini

dikarenakan musuh alami lebih senang bertempat tinggal di tanaman berbunga di

sekitar area lahan sehingga sedikit ditemukan di area pengambilan sampel.

Namun, tidak menutup kemungkinan terjadi gangguan keseimbangan

ekosistem. Keseimbangan ekosistem dapat terganggu oleh faktor internal dan

eksternal. Faktor internal misalnya aplikasi pengendalian hama terpadu yang

kurang baik, rotasi yang salah, penggunaan pupuk kompos yang belum matang

dsb. Sedangkan faktor eksternal misalnya anomali cuaca (FAM Organic, 2009).

4.1.6 Hasil Perhitungan Intensitas Penyakit

Perhitungan penyakit pada lahan tidak mungkin dilakukan pada semua

tanaman, sehingga dilakukan pengambilan sampel/contoh untuk mengamati

gejala serangan penyakit. Teknik pengambilan contoh dilakukan dengan

membuat garis diagonal pada lahan dan mengambil sampel acak dengan jumlah

rumpun 6. Dari pengamatan intensitas penyakit diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 10. Hasil pengamatan intensitas serangan penyakit

Skor Penyakit (v) Jumlah rumpun (n) n.v

0 6 0

1 0 0

2 0 0

3 0 0

4 0 0

Tebel 11. Skoring penyakit

41

Page 42: BAB I-V.docx

Skor penyakit Uraian

0 Tidak ada infeksi

1Luas permukaan tanaman atau bagian tanaman

yang terserang 10%

2Luas permukaan tanaman atau bagian tanaman

yang terserang lebih dari 10% sampai 25%

3Luas permukaan tanaman atau bagian tanaman

yang terserang lebih dari 25% sampai 50%

4Luas permukaan tanaman atau bagian tanaman

yang terserang lebih dari 50%

Perhitungan Intensitas Penyakit

IP =∑(n× v )Z × N

×100%

=(0 )+(0 )+( 0 )+(0 )+ (0 )

4 × 6×100 %

= 0 %

Berdasarkan perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa intensitas penyakit

pada tanaman padi yang kami amati bernilai 0. Menurut Badan Litbang Pertanian

(2010) keberhasilan pengendalian penyakit dipengaruhi oleh kemampuan

pengaturan lingkungan, terutama iklim mikro tanaman, keseimbangan

penyerapan unsur hara dan tingkat kesuburan tanah. Sedangkan pada lahan yang

kami amati tidak ditemukan penyakit karena menggunakan sistem pertanian

organik. Pembudidayaan padi di lahan pertanian organik biasanya diawali dengan

pemilihan bibit atau benih tanaman nonhibrida karena di samping untuk

mempertahankan keanekaragaman hayati, secara teknis bibit nonhibrida

dimungkinkan dapat hidup dan berproduksi optimal pada kondisi yang alami

(Muchtadi, 2010).

4.1.7 Hasil Pengukuran Kondisi Tanah Serta Analisa Tanah

42

Page 43: BAB I-V.docx

Dari hasil analisa sifat fisik tanah yang kami lakukan, didapat hasil berupa

nilai berat isi sebesar 1,28 g/cm3, yang massa tanah 1cm3 (dalam keadaan lapang

dan utuh dengan ruang pori yang utuh) ialah sebesar 1,28 g. Berat isi merupakan

petunjuk utama kepadatan tanah. Berbeda dengan berat isi, berat jenis merupakan

berat tanah kering per satuan volume partikel (tidak termasuk ruang pori), yang

dalam pengamatan ini bernilai 2,519 g/cm3. Perbandingan berat isi dan berat jenis

akan menghasilkan persentase bahan padat tanah, bila 100% dikurangi dengan

persentase bahan padat tanah akan menghasilkan persentase pori total dalam

suatu volume tanah, yang pada pengamatan ini memiliki nilai sebesar 50,81%.

Angka ini menunjukkan bahwa dari 100% tanah, 50,81%-nya diisi oleh pori

tanah.

Sementara itu dari hasil pengukuran pH, kami mendapatkan nilai pH

tanah di daerah pertanian organik lawang pada sampel titik 1 : 5,5 ; titik 2 : 5,6

dan titik 3 : 5. pH yang semakin rendah menunjukkan semakin tingginya kadar

ion asam pada tanah, sedangkan pH yang tinggi menunjukkan tingginya kadar on

basa dalam tanah. pH menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan tanah.

Pada pengukuran C-Organik, kami mendapatkan nilai C-Organik pada

sampel titik 1 sebesar 0,515% dengan perkiraan persentase bahan organik sebesar

0,888% ; pada titik 2 sebesar 0,86% dengan perkiraan presentase bahan organik

sebesar 1,483% ; pada titik 3 sebesar 0,56% dengan perkiraanpresentase bahan

organik sebesar 0,966%.

4.1.8 Teknis Pemanenan, Hasil Panen Dan Pemasaran

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu petani padi organik

yaitu Bapak Suroto, komoditas utama yang dibudidayakan pada Desa Sumber

Ngepoh adalah padi baik itu organik maupun semi organik. Pada padi organik

dengan varietas Mentik Wangi padi bisa dipanen setelah umur 118 hst.

Sedangkan pada padi varietas IR 64 yang digunakan pada sistem pertanian semi

organik juga sekitar 118 hst. Cara panen yang digunakan masih secara tradisional

yanitu dengan cara digeblok, namun ada juga yang menggunkan mesin perontok

padi (Thresher).

Dalam satu tahun dilakukan 3kali penanaman dan hasil yang diperoleh

pada setiap kali penanaman berbeda tergantung pada musimnya. Terdapat

perbedaan hasil panen antara padi organik dan semi organik. Hasil panen yang

43

Page 44: BAB I-V.docx

diperoleh padi organik pada saat musim penghujan sebesar 5 ton, musim kemarau

sebesar 7 ton dan musim kemarau yang kedua naik menjadi 9 ton. . Luas rata-

rata lahan masing-masing petani padi pada desa tersebut adalah 0,25 sampai 1 ha.

Harga jual padi organik lebih mahal jika dibandingkan dengan padi semi

organik hal ini sebanding dengan kualitas yang diberikan karena padi organik

aman dari bahan-bahan kimia dan lebih sehat untuk dikonsumsi. Petani pada Desa

Sumber Ngepoh sudah memiliki pemasaran sendiri sehingga semua hasil nya di

jual pada bagian pemasaran tersebut dengan sistem 1 pintu. Harga gabah untuk

beras organik yaitu Rp. 4.100 per kilogram, sedangkan pada gabah padi semi

organik yaitu Rp.3.900. Menurut pernyataan Bapak Suroto keuntungan yang

didapatkan oleh petani padi organik lebih banyak yaitu sebesar 10-12 juta per ha,

sedangkan menurut Bapak Sutarji yang mengusahakan lahannya untuk padi semi

organik keuntungan yang diperoleh sebesar 2,5 juta per panen.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Analisis Keadaan Agroekosistem Secara Umum (Monokultur, Tumpangsari,

Agroforestry)

Berdasarkan hasil wawancara yang dengan salah satu petani di Desa

Sumber Ngepoh yaitu Bapak Suroto, beliau merupakan petani yang sangat

peduli dengan pertanian organik serta pelopor pertanian organik di desa

tersebut.

Pertanian di desa tersebut menggunakan sistem tanam monokultur padi

secara konvensional tanpa rotasi tanaman dengan tanaman yang lain serta .

Dalam 1 tahun terdapat tiga kali musim tanam. Menurut 4 indikator dalam

agroekosistem, sistem pertanian organik dan semi organik dapat dijabarkan

sebagai berikut:

A. Produktifitas

Pada sistem pertanian padi organik rata-rata rata-rata produktivitas

tanaman per hektar adalah 7 ton. Dengan rincian hasil panen per tahunnya

yaitu pada musim penghujan 5 ton/ha, musim kemarau pertama sebesar 7

ton/ha, dan musim kemarau kedua sebesar 9 ton/ha. Pada musim penghujan

memiliki produktifitas yang lebih rendah dibandingkan dengan musim

kemarau hal ini dikarenakan intensitas dan lama penyinaran lebih pendek

dibandingkan ketika musim kemarau sehingga proses fotosintesis tidak

44

Page 45: BAB I-V.docx

berjalan dengan maksimal. Hal ini mengakibatkan jumlah fotosintat yang

dihasilkan dalam bulir padi lebih sedikit. Hasil produksi tersebut diperoleh

dari sistem taman monokultur padi dengan sistem tanam konvensional.

Jumlah benih yang digunakan per hektar yaitu 20 kg dengan jarak tanam 30

cm x 30 cm untuk varietas Mentik Wangi.

Pemeliharaan yang dilakukan pada budidaya pertanian organic ini

pada umumnya sama dengan pemeliharaan pada padi umumnya. Beberapa

hal yang membedakan dengan pertanian padi pada umumnya adalah pada

pemberian pupuk organik dan pengendalian hama penyakit yang ada yaitu

tanpa menggunakan pestisida atau bahan-bahan kimia lainnya. Sehingga

biaya yang seharusnya digunkan untuk pembelian pupuk kimia dan

pestisida kimia dapat dipangkas.

Sedangkan pada sistem pertanian semi organik hasil panen yang

didapatkan lebih rendah daripada padi organik disebabkan pada pertanian

semi organik memiliki intensitas penyakit dan hama lebih tinggi. Dilihat

dari keseimbangan ekologi pada pertanian organik lebih seimbang sehingga

potensi terjadinya serangan hama lebih rendah. Selain itu pertanian semi

organik masih menggunakan pupuk kimia sehingga tingkat kesuburan tanah

sedikit lebih rendah dibandingkan organik. dampak yang terjadi dari hal

tersebut akan mempengaruhi produktifitasnya.

Dilihat dari tingkat pendapatan, petani yang menggunakan sistem

pertanian organik memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan

petani yang menggunakan sistem semi organik. Pada pertanian organik

menurut Bapak Suroto keuntungan bersih yang diperoleh yaitu sebesar 10-

12 juta/ ha. Keuntungan yang lebih besar ini disebabkan pada pertanian

organik tidak diperlukan biaya untuk pembelian pupuk dan pestisida kimia

serta harga jual beras organik yang lebih tinggi. Sedangkan pada pertanian

semi organik terdapat biaya yang harus dikeluarkan untuk pembelian pupuk

kimia seperti UREA dan ZA sehingga keuntungan yang didapat juga lebih

rendah.

Masalah-masalah yang sering dihadapi oleh para petani di Desa

Sumber Ngepoh adalah kurangnya tenaga kerja, hal ini dikarenakan

regenerasi petani yang kurang menarik, para pemuda pada desa tersebut

lebih memilih untuk menjadi buruh-buruh pabrik yang mendapatkan hasil

45

Page 46: BAB I-V.docx

secara lebih instan dan cepat. Untuk masalah modal para petani tidak terlalu

pusing dengan hal tersebut karena menurut penuturan Bapak Suroto petani

di desa tersebut sudah terbiasa untuk menyimpan keuntungan hasil panen

mereka untuk digunakan sebagai modal untuk masa tanam berikutnya.

B. Stabilitas dan Keberlanjutan

Pada sistem pertanian organik di Desa Sumber Ngepoh, jika

dilihat dari aspek stabilitas dan keberlanjutan menunjukan suatu awal yang

baik kearah berkelanjutan. Dari segi kecukupan dan ketersediaan pangan

yang ada pada desa tersebut sudah tersedia di tempat tersebut, sebab 1/3

hasil pertanian disimpan oleh para petani untuk dikonsumsi sendiri dan

sisanya dijual kepada pengepul didesa tersebut. Pangan yang diproduksi

pada desa tersebut adalah 25-40% lebih atau bisa dikatakan surplus karena

sebagian besar penduduk merupakan petani sehingga kebutuhan pangan

mudah tersedia apalagi pangan yang dibudidayakan adalah padi organik

sehingga kebutuhan gizi juga lebih baik. Sehingga dari segi stabilitas dapat

dikatakan lebih stabil jika dibandingkan pertanian konvensial.

Dilihat dari aspek keberlanjutan, sistem pertanian organik di desa

tersebut sudah menunjukkan kearah keberlanjutan hal ini di tandai dengan

tidak digunakannya pestisida, herbisida, dan pupuk kimia dalam produksi

pangan. Penggunaan pupuk organik sangat ramah lingkungan karena tidak

meninggalkan residu dan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi

tanah sangat mendukung agar pertanian dapat mengelami keberlanjutan.

Dengan menggunakan pupuk organik tanah menjadi tidak padat dan

ekosistem yang ada di dalam tanah dapat terjaga keseimbangannya

sehingga tanah dapat digunakan secara terus menerus (tidak mengalami

degradasi). Kondisi tanah yang subur juga akan mendukung pertumbuhan

tanaman. Tanaman akan tumbuh dengan baik karena tanah mampu

menyuplai unsure hara yang dibutuhkan tanaman dan memberikan tempat

yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Penggunaan pestisida nabati

seperti ekstrak dari tanaman dlingu digunakan para petani untuk

mengendalikan hama sundep, selain itu juga untuk hama tikus diberi

perangkap dengan makanan yang berupa gadung yang diberi terasi.

Pengendaliah hama dengan pestisida nabati ini tidak meninggalkan residu

46

Page 47: BAB I-V.docx

sehingga musuh alami juga masih dapat hidup. Secara tidak sadar musuh

alami yang ada dapat membantu kita dalam mengendalikan OPT yang ada.

Dengan lingkungan yang stabil dan adanya interaksi yang ada antar

komponen yang ada pada suatu ekosistem maka pertanian dalam daerah

tersebut dapat berkelanjutan.Selain itu benih yang digunakan adalah benih

yang dikembangbiakan sendiri yaitu dari varietas lokal Mentik Wangi.

Varietas ini merupakan varietas local yang bisa dijadikan bibit serta dapat

dibiakkan oleh para petani sendiri karena varietas ini bukanlah varietas

hibrida melainkan varietas unggul.

Dilihat dari segi aspek social pada daerah tersebut juga mengalami

keberlanjutan. Sebagai contoh dalam desa tersebut terdapat sebagian besar

warga selain sebagai petani juga sebagai peternak sehingga memenuhi

kebutuhan pupuk organik petani tidak sulit untuk mendapatkannya. Kotoran

ternak yang dihasilkan ternak-ternak mereka seperti kambing, sapi, kerbau

dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang.

C. Pemerataan

Jika dilihat dari segi indikator kemerataan ekonomi penduduk di desa

Sumber Ngepoh tersebut yang rata-rata bermata pencaharian sebagai petani,

maka pendapatan petani belum bisa dikatakan merata. Sebab pendapatan

antara petani organic dan semi organik tidak sama. Menurut Bapak Suroto

pendapatan petani organik setiap musim tanam rata-rata lebih dari

5.000.000 per ha, sedangkan pada petani semi organik pendapatan yang

peroleh setiap musim tanam lebih rendah yaitu rata-rata diatas Rp

3.000.000 per ha.

Status kepemilikan lahan sebagian besar adalah lahan sendiri

walaupun masih ada yang sebagian merupakan lahan sewa. Serta luas lahan

yang dimiliki oleh petani sekitar 0,25 sampai 1 ha. Dari penuturan bapak

Suroto walaupun didesa tersebut menggalakan pertanian organik namun

tidak semua petani menerapkan sistem pertanian organic, hal ini karena ada

beberapa kondisi lingkungan yang tidak tepat untuk dijadikan lahan

organik, seperti kualitas air yang tidak memenuhi persyaratan untuk

pertanian organik. Sedangkan dari segi sosial sebagian masyarakat belum

siap untuk menerapkan sistem pertanian organik karena memerlukan waktu

47

Page 48: BAB I-V.docx

yang cukup lama untuk mengembalikan lahannya yang bebas dari residu

dan pengaruh bahan kimia, serta resiko kegagalan yang besar dalam proses

pengalihan sistem dari anorganik ke organik.

4.2.2 Pembahasan Hasil Fieldtrip Setiap Aspek (BP, HPT, Tanah) Dan Dibandingkan

Dengan Literature Atau Jurnal Terkait.

1. HPT

a) Hubungan kondisi sgroekosistem dengan populasi serangga yang seimbang

dan serangan penyakit.

Agroekosistem adalah sebuah sistem lingkungan yang telah

dimodifikasi dan dikelola oleh manusia untuk kepentingan produksi

pangan, serat dan berbagai produk pertanian lain. (Conway, 1987). Manusia

melakukan intervensi terhadap sistem lingkungan dengan tujuan utama

meningkatkan produktivitas sehingga mampu memenuhi kebutuhan

hidupnya.

Agroekosistem berbeda dengan ekosistem alami, karena dalam

agroekosistem sumber energi tidak hanya berasal dari sinar matahari, air

dan nutrisi tanah, akan tetapi juga berasal dari sumber-sumber lain yang

sudah dikonsolidasi oleh manusia, seperti pupuk, pestisida, teknologi dan

lain sebagainya. Hal ini menyebabkan penurunan tingkat keanekaragaman

hayati dalam agroekosistem. (Nurindah, 2006)

Agroekosistem merupakan suatu ekosistem pertanian yang dapat

dikatakan produktif jika terjadi keseimbangan antara tanah, hara, sinar

matahari, kelembaban udara dan organisme-organisme yang ada, sehingga

dihasilkan suatu pertanaman yang sehat dan hasil yang berkelanjutan

(Altieri dan Altieri, 1994).

Berdasarkan pengamatan kondisi agroekosistem saat fieldtrip

Manajemen Agroekosistem beberapa waktu yang lalu, dapat diketahui

bahwa kondisi agroekosistem yang ada di lokasi praktikum termasuk ke

dalam agroekosistem yang sehat. Hal ini ditunjukkan dengan tidak

ditemukannya organisme hama dalam jumlah yang besar disana. Organisme

yang banyak ditemukan adalah musuh alami dan tidak ditemukan serangga

lain. Selain itu menurut wawancara terhadap petani setempat, dikatakan

bahwa lokasi tersebut merupakan lokasi pertanian organik yang

48

Page 49: BAB I-V.docx

mengedepankan sistem alami atau organik dalam praktek budidayanya.

Organisme-organisme yang ditemukan adalah sebagai berikut:

1. Belalang hijau sebanyak 3 ekor

2. Oxya chinensis sebanyak 1 ekor

3. Capung sebanyak 2 ekor

Manajemen agroekosistem yang baik akan menciptakan interaksi yang

seimbang antara faktor biotik dan abiotik yang ada di dalamnya.

Keseimbangan agroekosistem tersebut akan mendukung peran musuh alami

sebagai fungsinya untuk mengendalikan serangan hama dan organisme

vektor penyakit. Hal ini secara langsung akan mencegah ledakan hama dan

penyakit.

b) Data pengamatan hama dan penyakit pada setiap lokasi terdapat masalah

apa dengan ketidak seimbanagn ekosistem, solusi terkait permasalahan

yang ada

Data hasil pengamatan penyakit di lahan menunjukkan tidak adanya

serangan penyakit di lahan. Sementara itu untuk hama tidak ditemukan

dalam jumlah banyak. Berdasarkan hasil tersebut, tidak ditemukan masalah

yang berarti antara hasil pengamatan hama dan penyakit dengan

ketidakseimbangan ekosistem. Berarti bahwa komponen yang ada telah

menjalankan tugasnya sesuai fungsi masing-masing. Dapat dilihat dari tidak

adanya kerusakan yang berarti di lahan serta hama yang ditemukan tidak

berada di ambang batas ekonomi. Sedikitnya hama ini didukung oleh

system pertanian yang ada yang menjalankan system pertanian organic.

System yang juga mendukung mengapa hanya sedikit hama yang

ditemukan adalah di pinggir-pinggir lahan ada tanaman lain yang sepertinya

sengaja di sebagai inang dari musuh alami dan dapat juga sebagai tanaman

pengalih hama atau inang alternative seperti bunga-bungaan dan tanaman

legume maupun tanaman pohon.

Faktor utama yang menyebabkan hama tidak terlalu menjadi masalah

adalah system pertanian organic yang diterapkan di lokasi yang diamati.

Dalam system pertanian organic berarti bahwa semua input yang diberikan

haruslah organi dan bebas dari residu dan campuran bahan kimia. Itulah

mengapa lahan organi berada di bagian atas sementara bagian bawah adalah

49

Page 50: BAB I-V.docx

pertanian semi organic. Dalam pengendalian hama tidak digunakan

pestisida kimia atau bahan yang menimbulkan residu. Meningkatnya

serangan hama bukan hanya karena penyederhanaan tanaman, tetapi juga

terjadi karena penggunaan pestisida yang tidak bijaksana.penggunaan

pestisida dapat menyebabkan terjadinya gangguan terhadap fungsi dan

faktor-faktor pengendali alami yang ada di dalam ekosistem diduga

disebabkan kematian musuh alami seperti parasitoid dan predator (Tobing,

2009). Oleh sebab itu pengelolaan serangga di masa datang sudah harus

direvisi secara menyeluruh, yaitu dari pendekatan PHT menjadi EBPM

(Ecologically Based Pest Management) atau pengelolaan hama berbasis

ekologik. Pendekatan yang digunakan dalam PHT umumnya hanya terkait

dengan tujuan pencapaian skala dan keuntungan jangka pendek, sebaliknya

pada pendekatan EBPM tujuan akhir sistem produksi yang akan dicapai

adalah ’rancangan’ agroekosistem yang secara ekonomi menguntungkan

dansecara ekologis berkelanjutan (Kogan, 1999). Manajemen

agroekosistem yang baik akan menciptakan interaksi yang seimbang antara

faktor biotik dan abiotik yang ada di dalamnya. Keseimbangan

agroekosistem tersebut akan mendukung peran musuh alami sebagai

fungsinya untuk mengendalikan serangan hama dan organisme vektor

penyakit. Hal ini secara langsung akan mencegah ledakan hama dan

penyakit. Selama ini, system pertanian organic yang ada di lokasi

pengamatan sudah bagus dan perlu dikembangkan dan diupayakan agar

pertanian organic yang ada tetap berjalan dan semakin baik.

2. Aspet Tanah

Didapatkan hasil pengukuran berat isi tanah sebesar 1,28 g/cm3. Nilai

berat isi ini bernilai normal untuk tanah pada umumnya, karena sesuai dengan

pendapat Hardjowigeno (1987) bahwa pada umumnya berat isi tanah berkisar

dari 1,1-1,6 g/cm3, kecuali untuk beberapa jenis tanah (Andisol 0,9 g/cm3

kebawah , Gambut 0,1 g/cm3). Dan diduga tanah di lawang merupakan tanah

normal, dengan tekstur lempung liat berdebu. Bukan tanah histosol dengan

kadar bahan organik yang diatas normal, atau tanah andisol yang merupakan

tanah gunung yang masih belum mengalami perkembangan yang lanjut. Dan

bila nilai berat jenis dimasukkan sebesar 2,519 g/cm3 dan mendapatkan nilai

50

Page 51: BAB I-V.docx

porositas sebesar 50,81%, yang berarti jumlah pori-pori tanah total (baik

makro maupun pori mikro) ialah sebanyak 50,81% dari keseluruhan pori

tanah, sedangkan sisanya (49,19%) diisi oleh padatan tanah. Termasuk normal,

karena proporsi antara padatan tanah dan pori tanah relatif seimbang dalam

suatu volume tanah. Menurut Hardjowigeno (1987), porositas akan tinggi bila

bahan organik tinggi. Dengan kata lain, pemberian pupuk organik pada tanah

akan meningkatkan porositas tanah, karena pada dasarnya pemberian pupuk

organik bukan hanya memperbaiki sifat kimia tanah, tapi juga sifat fisik tanah

seperti kemampuan menahan air, agregasi, struktur, mempermudah

pengolahan, dan perbaikan permeabilitas tanah. (Rosmarkam dan Yuwono,

2002). Menurut informasi juga, pertanian di desa Sumber Ngepoh Lawang

merupakan daerah pertanian organik dan semi organik, dimana semua input

untuk tanaman diduga sudah kembali memakai pupuk kandang. Adapun

pemakaian pupuk anorganik dimungkinkan masih ada, namun tidak dalam

jumlah besar, dan penggunaan pupuk anorganik. Kemungkinan pemakaian

pupuk organik inilah yang menyebabkan berat isi dan porositas tanah tetap

terjaga, dan tanah tidak mengeras dan memadat dengan cepat.

Dari hasil pengukuran pH yang terlah dilakukan, didapatkan nilai pH

sebagai derajat keasaman tanah sebesar 5,6 pada titik 1; 5,5 pada titik 2; 5,0

pada titik 3 dengan nilai rata-rata sebesar 5,367. Hal ini menunjukkan bahwa

tanah yang digunakan sebagai lahan budidaya pada tanah lawang termasuk

tanah yang masam. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), pH tanah 5-5,5

termasuk amat masam dan pH tanah 5,5-6 tergolong asam sedang. Menurut

Hardjowigeno (1987), di Indonesia pada umumnya tanah bereaksi masam

dengan pH 4,0-5,5 sehingga tanah dengan pH 6,0-6,5 sering telah dikatakan

cukup netral meskipun sebenarnya masih agak masam.

Rendahnya pH di tanah lawang diduga disebabkan oleh penggunaan

pupuk organik yang menyebabkan pH tanah menjadi menurun, dan malah

bereaksi masam. Menurut Winarso (2005), salah satu penyebab turunnya pH

tanah antara lain disebabkan oleh dekomposisi bahan organik, bahan organik

tanah secara terus-menerus terdekomposisi oleh mikroorganisme ke dalam

bentuk asam-asam organik, karbondioksida dan air, senyawa pembentuk asam

karbonat. Selanjutnya asam karbonat beeaksi dengan Ca dan Mg karbonat di

51

Page 52: BAB I-V.docx

dalam tanah untuk membentuk bikarbonat yang lebih larut yang bisa tercuci ke

luar yang akhirnya meninggalkan tanah lebih masam.

Rendahnya pH tanah juga bisa disebabkan oleh pemupukan Urea (N) yang

berlebih. Informasi tentang penggunaan pupuk pada pertanian di Desa Sumber

Ngepoh juga kurang cukup adanya untuk menentukan permasalahan

sebenarnya yang terjadi di lapangan. Namun tidak menutup kemungkinan

bahwa pemupukan Urea berlebih juga bisa menyebabkan pH tanah menjadi

masam. Winarso (2005) menjelaskan di dalam bukunya yang berjudul

”Kesuburan Tanah : Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah” bahwa pupuk NH4+

dosisis tinggi pada tanah agak masam dapat menurunkan 1 unit pH dalam

periode 3-4 minggu karena oleh reaksi nitrifikasi (NH4+ cepat diubah menjadi

NO3- dan melepaskan H+, sehingga tanah masam). Selanjutnya penurunan pH

ini dapat berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, penurunan efektivitas

herbisida dan penurunan kecepatan dekomposisi bahan organik.

Cara untuk menanggulangi kemasaman tanah ini ialah dengan cara

pemberian kapur pada tanah, yang dilakukan sebelum pengolahan tanah

dilakukan dan kapur dibalik bersama tanah yang diolah agar pH nya naik.

Menurut Hardjowigeno (1987), tanah yang terlalu masam dapat dinaikkan pH-

nya dengan menambahkan kapur ke dalam tanah, adapun bahan kapur yang

dapat digunakan antara lain : Kalsium Oksida (CaO), Kalsium Hidroksida

(Ca(OH)2), batu kapur (CaCO3), dolomit (CaMg(CO3)2), Marl, dan Slag

(Winarso, 2005) tentunya dengan dosis pengapuran yang sudah ditentukan

sebelumnya, dengan metode perhitungan tertentu yang spesifik dengan

pertimbangan sifat tanah (tekstur, reaksi asam, dll).

Dari hasil pengukuran C-Organik yang telah dilakukan, didapat nilai

kadar bahan organik pada tanah di lawang yang tidak mencapai 5%., padahal

bahan organik dengan kadar 5% dalam tanah ialah kadar bahan organik yang

ideal pada tanah dengan tekstur lempung berdebu (Winarso, 2005). Perlu

adanya penambahan pupuk organik yang berimbang (tentunya dengan

memperhatikan kemungkinan penurunan pH karena penambahan bahan

organik yang berlebih) untuk meningkatkan kadar bahan organik pada tanah

lawang yang bisa dikatakan jauh dari kata ideal.

52

Page 53: BAB I-V.docx

Berikut ini beberapa peranan bahan organik dalam peningkatan

kesuburan tanah menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002) :

1. Bahan organik melepaskan hara yang lebih lengkap dan beragam

walau dalam jumlah kecil dibandingkan dengan pupuk anorganik.

2. Bahan organik memperbaiki struktur tanah, membuat tanah lebih

mudah untuk ditembus akar dan diolah

3. Bahan organik dapat meningkatkan daya menahan air sehingga

kelengasan tanah terjaga

4. Bahan organik juga mampu memperbaiki permeabilitas tanah menjadi

lebih baik (menurunkan permeabilitas tanah pada tanah bertekstur

kasar dan meningkatkan permeabilitas tanah pada tanah bertekstur

halus)

5. Bahan organik juga mampu meningkatkan Kapasitas Tukar Kation

tanah

6. Bahan organik juga memperbaiki kehidupan biologi dalam tanah

7. Bahan organik juga dapat meningkatkan daya sangga tanah terhadap

goncangan perubahan sifat drastis tanah

8. Bahan organik juga mengandung mikrobia dalam jumlah cukup untuk

membantu proses dekomposisi bahan organik.

Namun perlu adanya dilakukan proses pematangan pupuk organik terlebih

dahulu sebelum pupuk organik diberikan ke tanah. Rasio C/N lah yang

menjadi indikator kematangan pupuk organik. Pupuk organik yang masih

mengandung rasio C/N yang tinggi dianggap merugikan karena jika pupuk

dengan rasio C/N yang masih tinggi diberikan pada tanah, bahan organik pada

pupuk itu diserang oleh mikrobia untuk memperoleh energi, hara yang

seharusnya dipakai oleh tanaman dipakai oleh mikrobia. Dengan kata lain,

tanaman harus bersaing dengan mikrobia untuk mendapatkan hara dari pupuk

organik. (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

53

Page 54: BAB I-V.docx

c) Mengaitkan parameter/hasil pengamatan selama praktikum dari berbagai aspek

baik HPT, BP dan Tanah selanjutnya selama memberikan rekomendasi sebaiknya

dipilih manajemen yang bagaimana supaya tercipta kondisi agroekosistem yang

sehat dan berlanjut

o Kriteria dan indikator manajemen agroekosistem yang berkelanjutan dan sehat

ditinjau dari aspek tanah?

1. Kriteria

a. Kegemburan tanah

Agroekosistem yang berkelanjutan dan sehat memiliki tanah yang

gembur, karena semakin gembur suatu tanah maka pori-porinya akan

semakin banyak. Para petani biasanya mengatakan tanah itu sehat dilihat

dari cacingnya. Semakin banyak jumlah cacing di dalam tersebut, maka

tanah itu semakin sehat. Jongmans et al. (2003) bahwa kualitas pori

makro dan mikro tanah, tingkat kepadatan tanah, dekalsifikasi dan

dinamika bahan organik ditentukan oleh aktivitas cacing tanah. Cara

yang paling cepat untuk mengetahui ada/tidaknya cacing tanah di

lahan adalah melalui pengamatan casting. Casting adalah kotoran yang

ditinggalkan oleh cacing tanah, umumnya ditemukan di permukaan

tanah. Semakin banyak casting ditemukan menunjukkan bahwa di

lahan tersebut banyak terdapat cacing tanah. Namun pada hasil

praktikum yang telah dilakukan di Lawang yaitu di lahan sawah tidak

ditemukan cacing tanah. Hal ini disebabkan karena tanah tersebut sudah

diolah dengan intensif, sehingga mengurangi kegemburan tanah.

b. Keseimbangan hara

Suatu agroekosistem yang berkelanjutan akan memilki keseimbangan

hara yang baik. keseimbangan hara ditunjukkan dengan tidak adanya

daun yang mengalami desisiensi unsur hara. Dalam fieldtrip ini tidak

ditemukan adanya defisiensi unsur hara, sehingga dapat disumpulkan

bahwa keseimbangan hara di lahan ini sangat baik. Apabila

keseimbangan hara baik, maka suatu ekosistem akan berlanjut dan sehat.

c. Matrix tanah utuh

Gaya adhesi dan kohesi yang ada didalam tanah sering disebut dengan

matriks tanah. Potensial matrik terjadi karena adanya gaya adhesi dan

kapilaritas yang terjadi dalam tanah. Gaya ini terjadi karena interaksi

54

Page 55: BAB I-V.docx

antara air tanah dengan partikel padatan tanah (matrik tanah). Potensial

matriks dipengaruhi oleh sifat fisik tanah dimana sifat fisik tanah yang

mempengaruhi potensial matriks adalah ruang pori. Kurva ini

dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. Dimana tanah memiliki luas

permukaan yang lebih besar sehingga adsorbsi air permukaan partikel

tanah banyak dipengaruhi sifat tanah (Islami dan Utomo, 1995).

Semakin halus tekstur tanah semakin besar kandungan air suatu kisaran

potensial matriks yang sangat luas. Tanah yang bertekstur halus sanggup

menyimpan air dalam jumlah yang besar karena tanah memiliki volume

ruang pori ukuran kecil yang lebih besar untuk menahan air ketika

potensial matriks turun dibawah nol pada keadaan tidak jenuh.

Sebaliknya pori dalam tanah yang bertekstur kasar kebanyakan

berukuran besar yang tidak terisi air lagi (Foth, 1984).

2. Indikator

Ketebalan seresah

Ketebalan seresah merupakan salah satu indikator untuk

menentukan kegemburan tanah. Semakin tebal seresah maka akan

membuat iklim mikro disekitar tanah menjadi rendah, dan apabila suhu

rendah akan mengakibatkan kelembapan tinggi. kelembapan tinggi ini

lah yang akan membuat organisme tanah dapat hidup. Organisme tanah

ini akan membuat liang-liang di dalam tanah, sehingga akan terbentuk

pori-pori tanah. Semakin banyak pori-pori tanah, maka semakin gembur

pula suatu tanah.

Bahan organik tanah

Bahan organik tanah merupakan salah satu indikator untuk

menentukan kegemburan tanah. Suatu tanah dapat dikatakan gembur

apabila banyak terkandung bahan organik didalamnya. Semakibin

banyak bahan organik, maka warna tanah semakin gelap. Menurut

Hardjowigeno (1992) bahwa warna tanah berfungsi sebagai penunjuk

dari sifat tanah, karena warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor

yang terdapat dalam tanah tersebut. Penyebab perbedaan warna

permukaan tanah umumnya dipengaruhi oleh perbedaan kandungan

bahan organik. Makin tinggi kandungan bahan organik, warna tanah

55

Page 56: BAB I-V.docx

makin gelap. Sedangkan dilapisan bawah, dimana kandungan bahan

organik umumnya rendah, warna tanah banyak dipengaruhi oleh bentuk

dan banyaknya senyawa Fe dalam tanah.

Populasi cacing tanah

Cacing jenis ‘penggali tanah’ yang hidup aktif dalam tanah,

walaupun makanannya berupa bahan organik di permukaan tanah dan

ada pula dari akar-akar yang mati di dalam tanah. Kelompok cacing ini

berperanan penting dalam mencampur seresah yang ada di atas tanah

dengan tanah lapisan bawah, dan meninggalkan liang dalam tanah.

Kelompok cacing ini membuang kotorannya dalam tanah, atau di atas

permukaan tanah. Kotoran cacing ini lebih kaya akan karbon (C) dan

hara lainnya dari pada tanah di sekitarnya. (Hairiah, 2004).

Pada lahan dengan pengolahan intensif, jarang terdapat seresah pada

lahan tersebut sehingga keberadaan biota tanah seperti cacing tanah

sedikit, padahal aktifitas cacing tanah dapat memperbaiki sifat-sifat fisik,

kimia dan biologi tanah, seperti meningkatkan kandungan unsur hara,

mendekomposisikan bahan organik tanah, merangsang granulasi tanah

dan sebagainya.

Untuk menggunakan lahan pada daerah hulu secara rasional maka

diperlukan sistem penggunaan lahan yang menerapkan kaidah-kaidah

konservasi, produktif dan pemanfatan teknologi yang ramah lingkungan.

Dengan demikian akan mewujudkan sistem pertanian yang tangguh dan

secara menyeluruh menciptakan pengelolaan sumberdaya alam dalam

suatu agroekosistem berkelanjutan.

Deskripsi tersebut menggambarkan kerusakan tanah akibat

pemakaian bahan kimia yang intensif. Untuk itu perlu suatu manajemen

untuk mengelola agroekosistem untuk memperbaiki kualitas tanah.

Sehingga bisa mencapai agroekosistem yang berkelanjutan.

Agroekosistem merupakan ekosistem yang dimodifikasi dan

dimanfaatkan secara langsung atau tidak langsung oleh manusia untuk

memenuhi kebutuhan akan pangan dan atau sandang. Karakteristik

esensial dari suatu agroekosistem terdiri dari empat sifat utama yaitu

produktivitas (productivity), kestabilan (stability), keberlanjutan

56

Page 57: BAB I-V.docx

(sustainability) dan kemerataan (equitability). Dengan menggunakan

manajemen agroekosistem

Kepadatan tanah

Widiarto (2008) menyatakan bahwa, “Bahan organik dapat

menurunkan BI dan tanah yang memiliki nilai BI kurang dari satu

merupakan tanah yang memiliki bahan organik tanah sedang sampai

tinggi. Selain itu, Nilai BI untuk tekstur berpasir antara 1,5 – 1,8 g / m3,

Nilai BI untuk tekstur berlempung antara 1,3 – 1,6 g / m3 dan Nilai BI

untuk tekstur berliat antara 1,1 – 1,4 g / m3 merupakan nilai BI yang

dijumpai pada tanah yang masih alami atau tanah yang tidak mengalami

pemadatan”. Bobot isi tanah di lahan dengan pengolahan intensif

biasanya memiliki nilai BI tinggi karena tanah telah mengalami

pemadatan akibat penggunaan alat-alat berat untuk pengolahan tanahnya.

Sedangkan untuk nilai BJ tanah, menurut literature menyatakan bahwa,

“Pada tanah secara umum nilainya BJ antara  2,6 – 2,7 g.cm-3, bila

semakin banyak kandungan BO, nilai BJ semakin kecil”. Pada lahan

dengan pengolahan intensif memiliki BJ bisa lebih dari 2,6 apabila

pemadatan tanah yang terjadi amat tinggi. Apabila nilai BJ terlalu tinggi

juga berpengaruh terhadap penentuan laju sedimentasi serta pergerakan

partikel oleh air dan angin.

Erosi tanah

Erosi tanah merupakan salah satu indikator untuk menentukan matriks

tanah. Apabila matriks tanah rendah, maka akan mudah terjadi erosi di

lahan tersebut. Tujuan pengolahan tanah adalah merubah sifat

fisik/mekanik tanah agar sesuai dengan yang dibutuhkan bagi

pertumbuhan tanaman yang baik. Pengolahan tanah yang intensif pada

tanah yang sudah gembur akan mendorong proses kerusakan tanah dan

erosi, yang berakibat pada meningkatnya proses.

Erosi adalah terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke

tempat lain. Meningkatnya erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya

vegetasi penutup tanah dan kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan

kaidah konservasi tanah. Erosi tersebut umumnya mengakibatkan

hilangnya tanah lapisan atas yang subur dan baik untuk pertumbuhan

57

Page 58: BAB I-V.docx

tanaman. Oleh sebab itu erosi mengakibatkan terjadinya kemunduran

sifat-sifat fisik dan kimia tanah.

Di lahan pertanian dengan pengolahan intensif, khususnya praktek

penebangan hutan untuk pembukaan lahan baru memiliki tingkat

kerusakan lingkungan yang amat tinggi. Pembukaan hutan tersebut

merupakan tindakan eksploitasi lahan yang berlebihan, perluasan

tanaman, penggundulan hutan, telah berdampak pada keberlangsungan

hidup biota yang berada di bumi ini. Bila kondisi tersebut diatas terus

berlangsung dengan cara tidak terkendali, maka dikhawatirkan akan

bertambahnya jumlah lahan kritis dan kerusakan dalam suatu wilayah

daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan ini dapat berupa degradasi

lapisan tanah (erosi), kesuburan tanah, longsor dan sedimentasi yang

tinggi dalam sungai, bencana banjir, disribusi dan jumlah atau kualitas

aliran air sungai akan menurun.

Kedalaman perakaran

Kedalam perakaran merupakan salah satu indikator untuk

menentukan kegemburan tanah. Apabila tanah gembur, maka akar akan

mudah untuk m,enembus tanah. Semakin dalam kedalaman perakaran,

maka tanah akan semakin gembur. Kedalaman efektif adalah kedalaman

tanah yang masih dapat ditembus oleh akar tanaman. Pengamatan

kedalaman efektif dilakukan dengan mengamati penyebaran akar

tanaman. Banyakya perakaran, baik akar halus maupun akar kasar, serta

dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah, dan bila tidak

dijumpai akar tanaman maka kedalaman efektif ditentukan berdasarkan

kedalaman solum tanah (Hardjowigeno, 2007). Pada lahan dengan

sistem pengolahan intensif  terkadang memiliki sebaran perakaran yang

cukup tinggi karena tanaman yang diusahakan dalam kurun waktu yang

lama hanya satu komoditi saja.

pH tanah dan ketersediaan hara

PH tanah dan ketersediaan hara merupakan indikator untuk

menentukan keseimbangan hara. Gejala awal defisiensi N ditandai

dengan daun yang menguning dan klorosis karena terjadi

penghambatan sintesis klorofil . Kekurangan nitrogen dapat

58

Page 59: BAB I-V.docx

mengganggu pertumbuhan tanaman, gejala yang ditunjukkan yaitu

tanaman kerdil dan menguning. Kekurangan nitrogen banyak

ditemui pada daun-daun tua dibandingkan pada daun yang lebih

muda. Pada tanaman buah-buahan kadar N rendah dapat

menyebabkan penurunan hasil panen baik secara kualitas maupun

kuantitas. Gejala kekurangan P biasanya mulai tampak pada daun yang

lebih dewasa, tanaman menjadi kerdil dan berwarna hijau tua,

pertumbuhan tanaman menjadi lambat dan kerdil. Pada tanaman yang

mengalamin kekurangan P terjadi penimbunan gula yang

ditunjukkan oleh pigmentasi antosianin pada bagian dasar

batang dan urat daun. Kalium mudah disalurkan dari organ dewasa

ke organ yang muda, sehingga gejala kekurangan K tampak pertama

kali pada daun tua. Pada kebanyakan tanaman monokotil (misalnya

tanaman serealia) gejala ditandai dengan kematian sel pada ujung

dan tepi daun dan nekrotis ke bawah sepanjang tepi menuju bagian

daun yang muda . Secara spesifik kalium di dalam tanaman

memiliki peran penting dalam mengatur tekanan osmotik

tanaman yang menyebabkan pergerakan air ke dalam akar, sehingga

tanaman yang kekurangan K akan memiliki ketahanan terhadap

kekeringan yang rendah dibandingkan dengan tanaman yang cukup

K .

o Faktor penyebab terjadinya ketidakseimbangan status hara dalam tanah?

Terjadinya ketidakseimbangan status hara dalam tanah disebabkan oleh

berbagai faktor, diantaranya yaitu:

1. Kemasaman Tanah

Tanah bersifat asam dapat disebabkan karena berkurangnya kation

Kalsium, Magnesium, Kalium dan Natrium. Unsur-unsur tersebut terbawa

oleh aliran air kelapisan tanah yang lebih bawah atau hilang diserap oleh

tanaman. pH tanah juga menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang

bersifat racun bagi tanaman. Pada tanah asam banyak ditemukan unsur

alumunium yang selain bersifat racun juga mengikat phosphor, sehingga

tidak dapat diserap oleh tanaman. Pada tanah asam unsur-unsur mikro

59

Page 60: BAB I-V.docx

menjadi mudah larut sehingga ditemukan unsur mikro seperti Fe, Zn, Mn

dan Cu dalam jumlah yang terlalu besar, akibatnya juga menjadi racun

bagi tanaman.

Tetapi dengan pH yang agak masam belum tentu kebutuhan tanaman

terhadap pH tanah tidak cocok karena itu tergantung dari komoditas

tanaman budidaya yang dibudidayakan. Untuk pengelolaan pH tanah yang

berbeda-beda dalam suatu agroekosistem maka apabila suatu lahan

digunakan untuk pertanian maka pemilihan jenis tanamannya disesuaikan

dengan pH tanah apakah tanaman yang diusahakan sesuai dan mampu

bertahan dengan pH tertentu

2. PH dan Dinamika Hara

Kation ammonium (NH4+).

Dalam larutan tanah, gas ammonia terlarut (NH3) ternyata

berkesetimbangan dengan kation ammonium (NH4+).

NH4+  ============= NH3 + H+

Pada pH rendah (lebih asam) bentuk NH4 + mendominasi,

sedangkan pada pH tinggi (sangat basa) ada lebih dari bentuk gas NH3.

Proporsi NH3 dan NH4 + adalah sama pada pH 9,2.

Gambar Distribusi amonium

Perilaku amonium dipengaruhi oleh kemasaman (pH).

Distribution of ammonium / ammonia according to soil solution pH.

60

Page 61: BAB I-V.docx

Perilaku Al dalam Tanah

Kelarutan Al menurun dengan drastic dengan meningkatnya pH

tanah, dan konsentrasi monomeric Al anorganik dalam laruitan tanah

juga dipengaruhi oleh adanya anion organim dan anorganik. pH tanah

mempengaruhi kelarutan Al, dan spesiasi Al dalam larutan tanah juga

berubah dengan pH. Pada kondisi pH = 4.0, sebagian besar monomeric

Al anorganik berbentuk Al3+; spesies ini menurun dengan

meningkatnya pH sedangkan aktivitas spesies Al hidroksi (AlOH2+,

Al(OH)2+) mengalami peningkatan. Pada kondisi pH alkalis, ion-ion

aluminate (e.g. Al(OH)4–, Al(OH)5

2–) masuk ke dalam larutan tetapi

tidak toksik bagi akar tanaman (Kinraide 1990). Al terlarut dalam

larutan tanah sangat berpengaruh cepat terhadap pertumbuhan akar

tanaman, dampaknya sering tampak dalam waktu dua hari. Secara

mikroskopis , penurunan pertumbuhan akar dapat terlihat dalam waktu

beberapa jam paparan Al, dan perubahan aktivitas Golgi apparatus

terjadi dalam periode 5 jam penempatan akar dalam larutan yang

mengandung Al. Untuk bersifat toksik, ujung akar harus terpapar Al

(Ryan et al. 1993).

Potensial Redoks

Faktor lain yang sangat penting dalam menentukan konsentrasi

hara dalam larutan tanah adalah potensial redoks (Eh). Faktor ini

berhubungan dengan keadaan aerasi  tanah  yang selanjutnya sangat

tergantung pada  laju respirasi  jasad renik dan laju difusi oksigen. Ia

mempengaruhi kelarutan unsur hara mineral yang mempunyai lebih

dari satu bilangan oksidasi (valensi). Unsur-unsur ini adalah  C, H, O,

N, S, Fe, Mn, dan Cu. Kandungan air yang mendekati atau melebihi

kondisi ke-jenuhan merupakan sebab utama dari buruknya aerasi

karena  kecepatan  difusi oksigen melalui pori yang terisi air jauh lebih

lambat  daripada pori yang berisi udara.

o Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya ketersediaan bahan

organik tanah

61

Page 62: BAB I-V.docx

Tinggi rendahnya ketersediaan bahan organik tanah disebabkan oleh

berbagai faktor, diantaranya yaitu:

1. Iklim

Faktor iklim yang berpengaruh adalah suhu dan curah hujan. Makin

ke daerah dingin, kadar bahan organik dan N makin tinggi. Pada kondisi

yang sama kadar bahan organik dan N bertambah 2 hingga 3 kali tiap suhu

tahunan rata-rata turun 100C. bila kelembaban efektif meningkat, kadar

bahan organik dan N juga bertambah. Hal itu menunjukkan suatu

hambatan kegiatan organisme tanah.

2. Tekstur

Tekstur tanah juga cukup berperan, makin tinggi jumlah liat maka

makin tinggi kadar bahan organik dan N tanah, bila kondisi lainnya sama.

Tanah berpasir memungkinkan oksidasi yang baik sehingga bahan organik

cepat habis.

3. Drainase

Ada tanah dengan drainase buruk, dimana air berlebih, oksidasi

terhambat karena kondisi aerasi yang buruk. Hal ini menyebabkan kadar

bahan organik dan N tinggi daripada tanah berdrainase baik. Disamping

itu vegetasi penutup tanah dan adanya kapur dalam tanah juga

mempengaruhi kadar bahan organik tanah. Vegetasi hutan akan berbeda

dengan padang rumput dan tanah pertanian. Faktor-faktor ini saling

berkaitan, sehingga sukar menilainya sendiri

4. Vegetasi

Vegetasi mempengaruhi bahan organic dalam hal tipe, jumlah dan

sebaran residu organic. Dekomposisi bahan organic berkaitan dengan sifat

komunias flora dan fauna tanah. Pada lahan pertanian, penggunaan pupuk

anorganik, pupuk hijau atau pupuk kandang mempengaruhi kandungan

bahan organic tanah. Mikroorganisme menggunakan bahan organik untuk

respirasi dimana bahan organic termineralisasikan dari CO2 dilepaskan.

o Faktor-faktor penyebab terjadinya masalah pemadatan tanah!

Pemadatan tanah merupakan perubahan keadaan dimana terjadi penyusutan

volume tanah atau terjadi kenaikan berat tanah pada satu satuan volume

62

Page 63: BAB I-V.docx

tertentu. Kondisi tanah atau tingkat kepadatan tanah dapat ditentukan dengan

parameter parameter tertentu seperti Void ratio, porositas, bulk density, dan

berat jenis isi. Void ratio adalah perbandingan antara volume pori terhadap

volume padatan. Porositas adalah perbandingan volume pori terhadap volume

total. Bulk density adalah perbandingan berat tanah terhadap volume tanah

total dan berat isi tanah adalah perbandingan berat kering tanah terhadap

volume padatan (Mandang dan Nishimura dalam Burdiono, 2012).

Harris dalam Burdiono (2012) menyatakan bahwa ada empat hal yang

mungkin terjadi sehingga menghasilkan perubahan tingkat kepadatan tanah,

yaitu : pemampatan partikel-partikel padatan tanah, pendesakkan cairan dan

gas pada ruang pori tanah, perubahan kandungan cairan dan gas di dalam

ruang pori tanah, dan perubahan susunan partikel-partikel padatan tanah.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pemadatan tanah antara

lain berat alat, tekanan udara ban, kadar air tanah pada saat melintas. Selain itu

ada faktor lain yang perlu diperhatikan yaitu intensitas lalu lintas alat, slip

roda, dan baru tidaknya lahan tersebut diolah sebelumnya (Hersyami dan

Sembiring dalam Burdiono, 2012).

1. Pemadatan tanah dapat disebabkan oleh kegiatan pembajakan

Semua kerja pembajakan mengubah struktur tanah. Kegiatan

pengangkatan, pemutaran, dan pembalikan oleh bajak pembalik

menyebabkan tanah berada pada kondisi agregasi dan lepas. Akan tetapi,

stabilitas agregat tetap tidak berubah. Cangkul, cakram, dan pemotongan

menghancurkan beberapa diantara agregat tanah. Penggarapan suatu

lapangan mungkin mempunyai efek langsung dalam melonggarkan tanah,

meningkatkan aerasi dan penyusupan air. Efek penggarapan jangka panjang

(beberapa minggu atau bulan) yang ditimbulkan oleh penghancuran agregat

anah adalah tanah kurang teragregasi dan lebih padat. Lahan garapan yang

terbuka juga menderita gangguan agregat karena dampak curah hujan tanpa

adanya vegetasi penutup Foth (1994).

Pemadatan mendesak agregat dan partikel tanah menjadi lebih

mengumpul. Voluime total ruang pori menjadi berkurang dan kerapatan

lindak meningkat. Pendesakan partikel-partikel menjadi lebih berdekatan

mengakibatkan penurunan dalam rata-rata ukuran pori. Beberapa ruangan

63

Page 64: BAB I-V.docx

makropori menyusut ukurannya menjadi mikropori. Hasilnya adalah

peningkatan dalam ruangan mikropori Foth (1994).

Berdasarkan hasil penelitian Laws dan Evans dalam Foth (1994)

diperoleh bukti bahwa penggarapan jangka panjang menyebabkan

penurunan agregasi tanah dan ruangan horizontal yang nyata serta

peningkatan dalam kerapatan lindak.

2. Pemadatan tanah dapat disebabkan oleh berat mesin, ukuran ban dan

tekanan udara ban.

Mesin seperti combine dan mesin pemupukan beratnya bisa mencapai

lebih dari 30 ton. Beban yang ringan pada mesin hanya menyebabkan

pemadatan di permukaan tanah, sedangkan beban yang berat dapat

menyebabkan pemadatan yang lebih dalam yang tidak dapat diperbaiki

dengan pengolahan tanah. Pembebanan dan ukuran ban menyebabkan

pemadatan yang lebih dalam pada tanah basah daripada tanah kering (James

dan Donald, dalam Burdiono, 2012).

Menurut Faozi dalam Burdiono (2012), perlakuan lintasan traktor

terhadap tanah memberikan pengaruh pada nilai bulk density, dimana

semakin meningkat intensitas lintasan traktor yang diberikan maka nilai

bulk density yang dihasilkan juga meningkat. Pada perlakuan tanpa lintasan

traktor di kedalaman 0 – 10 cm nilai bulk density-nya 1,012 g/cc, sedang

pada perlakuan dengan tiga lintasan traktor di kedalaman yang sama nilai

bulk density-nya 1,330 g/cc, kemudian untuk perlakuaan lima lintasan

traktor di kedalaman yang sama nilai bulk density naik menjadi 1,403 g/cc.

Pengaruh lintasan terhadap pemadatan tanah memperlihatkan hubungan

yang nyata, dimana tahanan penetrasi dan nilai bulk density meningkat

setelah dilintasi traktor. Tahanan penetrasi paling besar terjadi pada proses

pemadatan dengan tiga dan lima kali lintasan, nilai tahanan penetrasi

tertinggi pada kedalaman 15 dan 25 cm sebesar 24,2 kg/cm2. Secara umum

nilai bulk density tanah setelah mendapat perlakuan lintasan

memperlihatkan nilai yang meningkat sejalan dengan penambahan jumlah

lintasan pada tiap kedalaman (Kusuma dalam Burdiono, 2012).

3. Pemadatan tanah dapat disebabkan oleh limbah

64

Page 65: BAB I-V.docx

Limbah industri yang mengandung logam berat, bahan beracun dan

senyawa kimia lain sering merusak sifat tanah, selain mengakibatkan

kerusakan kimiawi tanah. Tanah menjadi padat atau mengeras, sering

disebabkan oleh limbah industri tersebut (Sumarno, 2006).

4. Pemadatan tanah dapat disebabkan oleh penggunaan pestisida kimia dan

pupuk kimia anorganik

Tingginya intensitas pengolahan tanah dan pemakaian pestisida banyak

menekan populasi fauna tanah, termasuk cacing tanah, sehingga berakibat

penurunan aerasi tanah dan konservasi bahan organik tanah, meningkatkan

kepadatan tanah, populasi mikroorganisme tanah secara bertahap juga akan

mengalami penurunan, terutama untuk mikroorganisme aerobik (Kosman

dan Subowo, 2011).

o Sebutkan dan jelaskan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau

mencegah terjadinya pemadatan tanah!

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau mencegah terjadinya

pemadatan tanah antara lain yaitu:

1. Melakukan konsep pembajakan minimum

Sistem pembajakan minimum menggunakan lebih sedikit pelaksanaan

untuk memproduksi hasil pertanian. Percobaan Cook et al. dalam Foth

(1994) menunjukkan bahwa hasil produksi bit gula yang paling tinggi

adalah pada lahan yang digarap hanya satu atau dua kali diantara

pembajakan dan penanaman, lebih tinggi dibandingkan pada lahan yang

digarap empat kali atau lebih.

2. Menggunakan peralatan untuk mempersiapkan lahan, menanam biji,

menabur pupuk dan herbisida dalam satu perjalanan diatas lapangan pada

kegiatan pertanian dilahan yang luas.

3. Mencegah masukan limbah ke dalam tanah

Pencemaran limbah industri berupa bahan kimia anorganik perlu

dicegah dengan peraturan yang tegas terhadap pelaku industri, yang

dikaitkan dengan persyaratan analisis dampak lingkungan (Sumarno,

2006).

4. Mengurangi penggunaan pestisida kimia dan pupuk kimia anorganik

65

Page 66: BAB I-V.docx

Dengan mengurangi penggunaan pestisida kimia dan pupuk kimia

anorganik maka secara lagsung akan mengurangi pemasukan bahan-bahan

kimia kedalam lahan pertanian. Peran pestisida kimia untuk

mengendalikan hama dapat digantikan oleh pestisida nabati dan musuh

alami. Sedangkan penggunaan pupuk kimia anorganik bisa secara

perlahan dikurangi dan digantikan dengan pupuk organik, seperti pupuk

kandang, kompos, pupuk hijau, dan lain-lain.

o Jelaskan peran cacing tanah dalam mengatasi permasalahan kesehatan tanah

(terkait dengan aspek biologi, fisika dan kimia tanah)

Cacing tanah merupakan bagian dari biodiversitas tanah yang berperan

penting dalam perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah melalui proses

imobilisasi dan humifikasi. Dalam dekomposisi bahan organik, makrofauna

tanah lebih banyak berperan dalam proses fragmentasi (comminusi) serta

memberikan fasilitas lingkungan mikrohabitat yang lebih baik bagi proses

dekomposisi lebih lanjut yang dilakukan oleh kelompok mesofauna dan

mikrofauna tanah serta berbagai jenis bakteri dan fungi (Lavelle et al. dalam

Jayanthi, 2013).

Peranan cacing tanah pada sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang dapat

mengatasi permasalahan kesehatan tanah antara lain :

1. Memperbaiki struktur tanah, ruang pori, berat isi, dan porositas (fisika

tanah)

Cacing tanah dapat memperbaiki sifat fisik tanah melalui fungsinya

sebagai agen bioturbasi (agen pembalik tanah). Cacing tanah jenis anesik

naik ke permukaan tanah mengambil makanan berupa seresah, kemudian

membawa seresah tersebut masuk ke dalam tanah. Pergerakan cacing tanah

yang naik dan turun tersebut bisa menambah jumlah ruang pori sehingga

bisa mengurangi berat isi tanah dan meningkatkan porositas. Selain itu,

tubuh cacing tanah menghasilkan suatu cairan yang berfungsi untuk

merekatkan partikel tanah agar liangnya tidak mudah rusak, cairan yang

dihasilkan cacing tanah tersebut dapat membantu memperbaiki struktur

tanah.

66

Page 67: BAB I-V.docx

Satchell dalam Lubis (2011) melaporkan bahwa cacing tanah

mempunyai kontribusi yang penting pada struktur tanah dan pembentukan

agregat tanah. Hasil uji oleh Blanchart’s dalam Lubis (2011) di lapangan

menunjukkan bahwa kerusakan agregat pada padang rumput di daerah

tropis dapat diatasi oleh cacing (Megascolecidae): tanah yang diinokulasi

dengan cacing tanah memiliki 12.9% makroagregat (> 2 mm) setelah 3

bulan; dan makroagregat menjadi 31,7% setelah 6 bulan dan menjadi 60,6%

setelah 30 bulan inokulasi cacing. Agregat yang dibentuk oleh cacing

memiliki stabilitas terhadap air yang lebih tinggi.

Ketterings et al. dalam Lubis (2011) menemukan bahwa kebanyakan

kompleks organik-mineral dibentuk setelah aktifitas cacing tanah. Sebagai

hasilnya, agregat yang tahan air dengan > 1000 μm meningkat dengan

nyata. Bossuyt et al. dalam Lubis (2011) juga setuju bahwa karbon

terkombinasi dengan agregat tanah yang stabil melalui aktifitas cacing

tanah. Dengan meningkatnya stabilitas agregat, bahan organik yang

terkombinasi akan lebih tahan lama di dalam tanah dan tidak didekomposisi

dengan mudah. Ditambah lagi saluran/ lubang dari cacing penuh dengan

kotoran cacing baik. Kotoran-kotoran yang diproduksi terus menerus akan

memproduksi pori nonkapiler, selanjutnya memperbaiki ventilasi dan

permeabilitas, dan memperbaiki struktur tanah. Berikut ini tabel pengaruh

pemberian cacing tanah Pheretima hupiensis terhadap sifat fisik tanah

Ultisols (Anwar dalam Kosman dan Subowo, 2011).

Tabel 12. Pengaruh pemberian cacing tanah Pheretima hupiensis terhadap sifat fisik tanah

Ultisols

Perlakuan Ruang

Pori Tanah

(% vol)

Berat Isi

(gr.cc-1)

Pori Drainase

Cepat

(% vol)

Pori Drainase

Lambat

(% vol)

Permeabilitas

(m.jam-1)

Tanpa

cacing72,6 0,75 32,4 4,4 12,4

67

Page 68: BAB I-V.docx

Dengan

cacing74,9 0,67 37,4 4,6 17,0

2. Meningkatkan dan menstabilkan suplai hara tanah (kimia tanah)

Cacing tanah dapat meningkatkan dan menstabilkan suplai hara tanah

karena cacing memakan bahan organik yang berasal dari sisa-sisa tanaman

(seresah) kemudian menghasilkan kotoran yang mengandung berbagai

unsur hara yang dapat meningkatkan kesuburan tanah.

Cacing dapat mengubah sifat fisik dan kimia tanah, memperlancar proses

mineralisasi bahan organik, dan menstabilkan siklus hara (Parkin dan Berry

dalam Lubis, 2011). Aktivitas cacing tanah meningkatkan ketersediaan hara

tanah dan meningkatkan laju siklus hara (Basker et al. dalam Lubis, 2011).

Nisbah C/N dari bahan organik berkurang dengan cepat dengan adanya

aktifitas cacing tanah (Amador et al. dalam Lubis, 2011). Semua hal

tersebut berkontribusi terhadap perubahan bentuk N organik, P, dan K yang

terikat menjadi ke bentuk yang tersedia bagi tanaman dan memperpendek

masa penyediaan hara. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanah yang

dipengaruhi oleh cacing tanah selalu memiliki bahan organik, total N,

kapasitas tukar kation (KTK), Ca, Mg, dan K yang dapat dipertukarkan, N

dan P tersedia yang lebih tinggi (Cortez et al. dalam Lubis, 2011).. Hal ini

disebabkan karena aktifitas cacing tanah sangat meningkatkan konsentrasi

N inorganik (terutama NH4 +-N) dalam tanah. Kandungan N mineral (NO3-

N+NH4+- N), total karbon, total nitrogen, dan biomasa mikroba meningkat

pada lahan yang diinokulasi cacing tanah (Li et al. dalam Lubis, 2011).

Edwards dalam Lubis (2011) menemukan bahwa ketika bahan organik

dan tanah masuk ke dalam pencernaan tanah kalsium, asam humat, bahan

organik dan polisakarida akan melekat satu dengan lainnya dan membentuk

kotoran cacing, dimana kotoran cacing tersebut lebih porous dan remah dan

mempunyai banyak kelebihan seperti stabilitas terhadap hantaman air

sangat kuat, ketersediaan hara tinggi, dan kemampuan menahan hara yang

tinggi. Berikut ini tabel mengenai komposisi komponen kimiawi pada

kascing (Subowo dalam Jayanthi, 2013).

Tabel 13. Komposisi komponen kimiawi pada kascing

68

Page 69: BAB I-V.docx

Komposisi Kimiawi Komposisi (%)

Na 0,82

Kalium (K) 0,43

KTK 13,20

Magnesium (Mg) 1,41

Al 0,00

Ca 13,59

3. Meningkatkan kandungan bahan organik tanah (biologi tanah)

Tubuh cacing merupakan sumber hara yang potensial. Tubuh cacing

dapat terdekomposisi secara sempurna hanya dalam 4 hari saja setelah

cacing itu mati dan 70% N yang berasal dari tubuh cacing akan diserap

tanaman setelah 16 hari. Cacing tanah juga melepaskan hara ke dalam tanah

dari aktifitas metabolismnya (Whalen et al. dalam Lubis, 2011).

Diantara fauna tanah di daerah humid sedang, cacing tanah merupakan

penyumbang bahan organik tanah terbesar, yaitu kira-kira 100 kg/ha

(0,005%) dengan populasi 7.000 ekor hingga 1.000 kg/ha dengan populasi

1 juta ekor (Foth dalam Hanafiah, 2012).

4. Peranan cacing tanah terhadap peningkatan serapan hara oleh tanaman

(efektifitas cacing tanah)

Kontribusi cacing tanah dalam meningkatkan serapan hara P oleh

tanaman Setaria splendida lebih tinggi dibandingkan kontribusi dari jamur

mikoriza arbuskula (Sabrina et al. dalam Lubis, 2011). Bahkan kehadiran

cacing tanah dapat mengurangi besar kontribusi jamur mikoriza dalam

meningkatkan serapan P oleh tanaman S.splendida.

o Jelaskan kaitan antara populasi dan biomassa cacing tanah denagn bahan

organik tanah!

Bahan organik tanah adalah kumpulan beragam (continuum) senyawa-

senyawa organik kompleks yang sedang atau telah mengalami proses

dekomposisi, baik berupa humus hasil humifikasi maupun senyawa-senyawa

anorganik hasil mineralisasi (disebut biontik), termasuk mikrobia heterotrofik

dan ototrofik yang terlibat (biotik) (Hanafiah, 2012).

69

Page 70: BAB I-V.docx

Sumber primer bahan organik tanah adalah jaringan organik tanaman,

baik berupa daun, batang/cabang, ranting, buah maupun akar, sedangkan

sumber sekunder berupa jaringan organik fauna termasuk kotorannya serta

mikroflora (Hanafiah, 2012).

Cacing merupakan salah satu makrofauna tanah. Dari pendapat Hanafiah

diatas maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi populasi dan biomassa

cacing tanah maka semakin tinggi bahan organik tanah. Cacing tanah dapat

meningkatkan kandungan bahan organik tanah melalui kotoran yang

dihasilkan serta tubuhnya (tubuh cacing yang mati).

Diantara fauna tanah di daerah humid sedang, cacing tanah merupakan

penyumbang bahan organik tanah terbesar, yaitu kira-kira 100 kg/ha (0,005%)

dengan populasi 7.000 ekor hingga 1.000 kg/ha dengan populasi 1 juta ekor

(Foth dalam Hanafiah, 2012).

Cacing tanah merupakan pemakan tanah dan bahan organik segar

dipermukaan tanah, masuk (sambil menyeret sisa-sisa tanaman) ke liangnya,

kemudian mengeluarkan kotorannya (bunga tanah) di permukaan tanah. Naik

turunnya cacing ini berperan penting dalam pendistribusian dan pencampuran

bahan organik dalam solum tanah, yang kemudian berpengaruh positif

terhadap kesuburan tanah, baik secara fisik, kimia, maupun biologis. Pada

kondisi normal, bunga tanah hasil pencernaan cacing ini adalah sekitar 15

ton/tahun/hektar, oleh karena itu selama periode 75 tahun dapat dihasilkan

bunga tanah setebal 20 cm (Hanafiah, 2012).

4.3 Rekomendasi

4.3.1 Monokultur, Tumpangsari, dan Agroforestry

Lokasi yang kami analisis merupakan lahan pertanian organik padi. Sistem

tanam yang dijalankan adalah monokultur. Rekomendasi yang tepat untuk lokasi

yang diteliti adalah tetap monokultur. Dimana system pertanian organic yang ada

lebih dikembangkan lagi.

Pertanian monokultur adalah pertanian yang memiliki penataan tanaman

secara tunggal sepanjang umur tanaman tertentu pada suatu lahan. System tanam

monokultur yang direkomendasikan di lokasi ini maksudnya adalah padi

dikembangkan dengan system tanam monokultur dengan jarak tanam yang

70

Page 71: BAB I-V.docx

optimum misalnya mengambil pola tanam seperti jajar legowo. Hal ini untuk lebih

mudah dalam pemeliharaan dan mencegah hama tikus. Monokultur disini

sebenarnya bukan monokultur seperti pada lahan konvensional dimana semua area

lahan ditanami padi semua. Dibagian border atau dekat pematang atau disekitar

ditanami dapat tanaman border. Tanaman border ini bisa dari jenis legume, bunga-

bungaan, tanaman hortikultura, pisang atau bahkan tanaman tahunan (agroforestri).

Penanaman tanaman border disini dimaksudkan untuk mencegah dan mengurangi

serangan hama dan penyakit serta beberapa tanaman dapat menjadi pupuk hijau

bagi padi terutama dari jenis legume. Diketahui beberapa tanaman antara lain

kedelai merupakan shelter dari hama dan musuh alami, sehingga dapat

dimanfaatkan sebagai perangkap hama yang menyerang padi maupun palawija

(Tarbiah dkk., 2010). Pengetahuan akan tanaman yang dapat menyumbangkan hara

tanaman seperti legum sebagai tanaman penyumbang nitrogen dan unsur hara

lainnya sangatlah membantu untuk kelestarian lahan pertanian organik. Selain itu

teknologi pencegahan hama dan penyakit juga sangat diperlukan, terutama pada

pembudidayaan pertanian organik di musim hujan. Pertanian organik

membutuhkan dukungan riset yang kuat sehingga dapat dihasilkan hal-hal baru

yang sesuai dengan prinsip-prinsip pertanian organic (Suwantoro, 2008).. Di lokasi

yang diamati sebenarnya beberapa lahan sudah menerapkan system ini, tetapi harus

dimaksimalkan lagi. Hal ini agar system yang ada lebih optimal lagi.

Selain itu, dalam pertanaman secara tunggal (monokultur) pada lahan sawah,

dapat dilakukan penataan bergiliran secara berurutan (rotasi tanam). Salah satu

strategi pertanian berkelanjutan adalah melakukan rotasi tanaman. Untuk sistem

bergiliran secara berurutan, sistem tersebut dilakukan pada musim hujan, yakni

tanah sawah ditanami padi. Sedangkan pada musim kemarau lahan ditanami

palawija atau bero tergantung pada keadaan tanah, pengairan, iklim, dan

sebagainya. Hal lain yang dapat dilakukan saat melaksanakan pola rotasi tanam

adalah melakukan rotasi varietas padi maupun keragamannya setiap pergantian

musim tanam (Praptono, 2010). Jadi, ada pergantian varietas atau jenis padi yang

ditanam di lapang.

4.3.2 Pengelolaan Tanah, Sistem Budidaya dan Pengendalian Hama Penyakit

Pengelolaan agroekosistem dalam pengendalian hama, merupakan salah satu

metode dalam Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang diterapkan dengan

71

Page 72: BAB I-V.docx

pendekatan ekologi. Pengembangan PHT selanjutnya lebih mengarah pada

pengelolaan agroekosistem yang dikembangkan berdasarkan teori-teori ekologi,

terutama dalam merancang suatu agroekosistem yang lebih tahan terhadap

peledakan populasi hama. Pada umumnya yang ditekankan adalah pemanfaatan

kekuatan alami yang dimungkinkan dengan melakukan pengurangan penggunaan

insektisida pada suatu agroekosistem.

Faktor-faktor penyebab rentannya suatu agroekosistem terhadap eksplosi

hama dapat diatasi dengan melakukan pengelolaan agroekosistem supaya menjadi

lebih tahan terhadap eksplosi hama. Tujuan dari pengelolaan agroekosistem adalah

menciptakan keseimbangan dalam lingkungan dengan hasil yang berkelanjutan,

serta kesuburan tanah yang dikelola secara biologis dan pengaturan populasi hama

melalui keragaman hayati serta penggunaan input yang rendah (Altieri, 1994).

Untuk mencapai tujuan ini, strategi yang dikembangkan adalah optimalisasi daur

hara dalam tanah dan pengembalian bahan organik, konservasi air dan tanah serta

keseimbangan populasi hama dan musuh alaminya. Strategi ini mengarah pada

suatu pengaturan lanskap yang ada, sehingga didapatkan kemantapan fungsi dari

keragaman hayati yang membantu dalam proses menuju agroekosistem yang sehat.

Konsep ekologi dalam PHT, merupakan konsep dari proses alami dan

interaksi-interaksi biologi yang dapat mengoptimalkan sinergi fungsi dari

komponen-komponennya. Dengan demikian, lahan dengan keragaman hayati yang

tinggi, mempunyai peluang tinggi untuk terjaga kesuburan tanahnya melalui

aktivasi biota tanah. Selain itu, perkembangan populasi herbivora dapat terjaga

melalui peningkatan peran arthropoda yang berguna dan antagonis. Pengelolaan

agroekosistem untuk mendapatkan produksi yang berkelanjutan dan sesedikit

mungkin berdampak negatif terhadap lingkungan dan sosial, serta input rendah

dimungkinkan dengan menerapkan prinsip-prinsip ekologi sebagai berikut (Reijntes

et al., 1992):

1. Meningkatkan daur ulang dan optimalisasi ketersediaan dan keseimbangan

alur hara. Prinsip ini dapat dilakukan dengan melakukan rotasi dengan

tanaman-tanaman pupuk hijau. Memantapkan kondisi tanah untuk

pertumbuhan tanaman dengan mengelola bahan organik dan meningkatkan

biota tanah. Pemberian biomassa pada lahan akan menambah bahan organik

72

Page 73: BAB I-V.docx

yang selanjutnya akan meningkatkan biota tanah yang berguna dalam

peningkatan kesuburan tanah.

2. Meminimalkan kehilangan karena keterbatasan ketersediaan air melalui

pengelolaan air. Air dibutuhkan tanaman untuk dapat berproduksi optimal,

sehingga ketersediaan ketersediaannya pada waktu dan jumlah yang cukup,

sangat berpengaruh terhadap produktivitas lahan. Pengelolaan air dapat

dilakukan dengan teknik-teknik pengawetan air tanah.

3. Meningkatkan keragaman spesies dan genetik dalam agroekosistem,

sehingga terdapat interaksi alami yang menguntungkan dan sinergi dari

komponen-komponen agroekosistem melalui keragaman hayati.

4. Peningkatan keragaman tanaman pada suatu agroekosistem dapat dilakukan

melalui praktek budidaya dengan sistem tumpangsari, agroforestry atau

dengan menggunakan tanaman pelindung atau penutup tanah.

73

Page 74: BAB I-V.docx

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan Kegiatan Fieldtrip

Pertanian yang terdapat di Desa Sumber Ngepoh, Kecamatan Lawang, Kabupaten

Malang merupakan pertanian lahan basah berupa sawah yang dilakukan secara organik

dan semi organic. Dilihat dari aspek BP, sistem budidaya yang dilakukan petani yaitu

system tanam monokultur secara konvensional tanpa adanya rotasi tanaman dan

pengolahan tanah yang intensif. Walaupun dengan system tanam yang seperti lokasi

tersebut memiliki produktifitas yang tinggi serta stabilitas dan keberlanjutan yang

cukup baik, namun dilihat dari pendapatan petani di sana belum bisa dikatakan merata.

Dilihat dari aspek hama dan penyakit yang, tidak banyak ditemui di lokasi. Di

lahan yang diamati, hanya ditemukan 3 jenis Arthropoda dan tidak ditemukan gejala

penyakit. Arthropoda yang ditemukan yaitu 1 ekor belalang daun (Oxya chinensis) dan

3 ekor belalang hijau (Atractomorpha crenaticeps) yang berperan sebagai hama serta 2

ekor capung dari ordo odonata yang berperan sebagai musuh alami. Presentase

Arthropoda terbesar ditemukan pada sweptnet yang terdiri dari hama (67 %) dan musuh

alami (33 %).

Dilihat dari aspek tanah, didapat nilai hasil pengukuran pH berkisat antara 5-5,6

serta perhitungan berat isi sebesar 1,28 g/cm3, berat jenis sebesar 2,519 g/cm3. Dan C-

organik antara 0,515 - 0,86% dengan tekstur lempung liat berdebu. Walaupun dari hasil

analisis laboratorium menunjukkan bahea tanah di lokasi pengamatan merupakan tanah

yang cemderung masam dan memiliki kandungan bahan organic yang masih, namun

penerapan sistem organik yang tepat oleh petani setempat diharapkan mampu menjaga

kualitas dan kesehatan tanah tetap terjaga.

Berdasarkan hasil fieldtrip, dapat disimpulkan bahwa agroekosistem di Desa

Sumber Ngepoh, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang termasuk ke dalam

agroekosistem yang cukup sehat. Management agroekosistem yang telah diterapkan di

lokasi tersebut sudah cukup baik, hali ini dapat dilihat dari indikator indikator yang

teramati dari aspek BP, tanah dan HPT.

74

Page 75: BAB I-V.docx

5.2 Saran Terhadap Keberlanjutan Agroekosistem

Pengelolaan agroekosistem di Desa Sumber Ngepoh, Kecamatan Lawang,

Kabupaten Malang dengan system pertanian orgaik dan semi organic dirasa sudah

cukup baik dan perlu dipertahankan.

5.3 Saran Terhadap Praktikum

Praktikum anagemen agroekositem telah berjalan dengan baik, namun sebaiknya

koordinasi dalam praktikum lebih ditingkatkan, baik antar asisten dari masing-masing

aspek maupun antar asiten dengan praktikan.

75

Page 76: BAB I-V.docx

DAFTAR PUSTAKA

Altieri, M.A.1994. Biodiversity and Pest Management in Agroecosystems. Haworth Press.

New York.

Angyoyo, Uwitya. 2009. Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering dalam Jurnal

LingkunganHidup.JurnalOnline. http://uwityangyoyo.wordpress.com /2009/04/12/

pengelolaan- agroekosistem-lahan-kering/. Diakses 31 Mei 2014.

Badan Litbang Pertanian. 2010. Hama dan Penyakit pada tanaman Padi.

(Online) http://cybex.deptan.go.id. Diakses tanggal 1 Juni 2014

Burdiono, Muh. 2012. Pemanfaatan Seresah Tebu sebagai Mulsa Terhadap Pemadatan

Tanah Akibat Lintasan Roda Traktor pada PG. Takalar. Fakultas Pertanian Universitas

Hasanudin: Makassar

FAM Organic. 2009. Prinsip & Proses Organik Kami. (Online)

http://www.famorganic.com/prinsip%20organik.html. Diakses tanggal 1 Juni 2014

Foth, Henry D. 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah Edisi Keenam. Penerbit Erlangga: Jakarta

Hairiah, Kurniatun, dkk. 2004. Ketebalan Seresah sebagai Indikator Daerah Aliran Sungai

(DAS) Sehat. FP-UB. Malang.

Hanafiah, Kemas A. 2012. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Cetakan ke-5. PT Raja Grafindo

Persada: Jakarta

Hardjowigeno, Sarwono. 2010. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Pressindo

IFOAM. 2005. The IFOAM Norms For Organic Production And Processing. International

Federation of Organic Agriculture Movements, Germany.

Islami, T. dan W. H Utomo, 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP Semarang

Press, Semarang.

Kasus Jayanthi, S. 2013. Komposisi Komunitas Cacing Tanah pada Lahan Pertanian

Organik dan Anorganik. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas

Sumatera Utara: Medan

Kogan, M. 1999. Integrated Pest Management: Constructive Criticism or Revolutionism.

Phytoparasitica 27(2):1-6.

Kosman, E. dan Subowo. 2011. Cacing Tanah Mampu Perbaiki Kesuburan Tanah. Sinartani

Edisi 6-12 April 2011 No. 3400 Tahun XLI. Badan Litbang Pertanian

76

Page 77: BAB I-V.docx

Lubis, Ahmad F. 2011. Keberadaan Cacing Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan

Pertanian dan Pemanfaatannya Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah Ultisol dan

Pertumbuhan Jagung (Zea Mays L.). Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara:

Medan

Muchtadi, T. R, Sugiyono, Ayustaningwarno, F. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan.

Bandung: Alfabeta

Notohadiprawiro, T., Soeprapto, S. dan Endang S. 2006. Pengelolaan Kesuburan Tanah Dan

Peningkatan Efisiensi Pemupukan. .Repro: Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Nurdin. 2008. Optimalisasi Produktifitas Lahan Kering melalui Pengembangan Sistem

Usahatani Konservasi Tanaman Jagung di Provinsi Gorontalo. Jurnal Ilmiah

Agropolitan. Vol 1(1): 1-63.

Nurdin.2011. Penggunaan Lahan Kering Di Das Limboto Provinsi Gorontalo Untuk

Pertanian Berkelanjutan. Jurnal Litbang Pertanian. Vol 30 (3):98-107

Nurindah. 2006. Pengelolaan Agroekosistem dalam Pengendalian Hama. Balai Penelitian

Tanaman Tembakau dan Serat. Malang

Partoyo. 2005. Analisis Indeks Kualitas Tanah Pertanian Di Lahan Pasir Pantai Samas

Yogyakarta. Ilmu Pertanian Vol. 12 No.2, 2005 : 140 – 151

Praptono, Bakdo. 2010. Kajian Pola Bertani Padi Sawah Di Kabupaten Pati Ditinjau Dari

Sistem Pertanian Berkelanjutan (Studi Kasus Di Kecamatan Pati). Tesis. Program

Magister Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Unversitas Diponegoro Semarang.

Puspita,Leni.2005. Lahan Basah Buatan di Indonesia.Ditjen PKHA: Bogor.

Reijntes, C., Haverkort, B. Dan Water-Bayer, A. 1992. Farming for the Future. Macmillan,

London.

Reijntjes, Coen, Bertus Haverkort, Ann Waters-Bayer. 1992. Pertanian Masa Depan.

Yogyakarta: Kanisius

Riwandi. 2010. Identifikasi Dan Interpretasi Indikator Kesehatan Tanah. P.S.

Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu (Makalah disajikan pada

77

Page 78: BAB I-V.docx

Seminar Nasional dan Kongres Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI)

tanggal 24-25 Nopember 2010.

Rosmarkam, Afandie dan Nasih Widya Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Yogyakarta :

Kanisius

Rukmana, R. 2001. Teknik Pengelolaan Lahan Berbukit dan Kritis. Kanisius, Yogyakarta.

Setiawan,Iwan.2008. Alternatif Pemberdayaan Bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani

Lahan Kering. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas

Padjadjaran: Bandung

Soemarno. 2010. Ekologi Tanah. Bahan Kajian MK Manajemen Agroekosistem. Jurusan

Tanah.Fakultas Petanian. Universitas Brawijaya; Malang

Sumarno. 2006 . Sistem Produksi Padi Berkelanjutan dengan Penerapan Revolusi Hijau

Lestari. Buletin Iptek Tanaman Pangan

Suwantoro, Andreas avelinus. 2008. Analisis Pengembangan Pertanian Organic di

Kabupaten Magelang (Studi Kasus di Kecamatan Sawangan). Tesis. Program Magister

Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Tarbiah, Siti dkk. 2010. Kajian Tingkat Pendapatan Petani Sawah Irigasi dengan

Diversifikasi Pola Tanam di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Manajemen IKM Vol. 5

No. 2 : 101-110.

Tobing, Maryani Cyccu. 2009. Keanekaragaman Hayati dan Pengelolaan Serangga Hama

dalam Agroekosistem. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang

Entomologi Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

VECO Indonesia. 2007. Metode SRI dalam Budidaya Padi.

Waluyaningsih, S. R. 2008. Studi Analisis Kualitas Tanah Pada Beberapa Penggunaan

Lahan Dan Hubungannya Dengan Tingkat Erosidi Sub-Das Keduang Kecamatan

Jatisrono Wonogiri. (Tesis). Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana.

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Widjajanto, D. W. dan Sumarsono. 2005. Pertanian Organik. Badan Penerbit UNDIP,

Semarang.

78

Page 79: BAB I-V.docx

Winarso, Sugeng. 2005. Kesuburan Tanah : Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah.

Yogyakarta : Gava Media

Yuwono, N. W. 2007. Kesuburan Dan Produktivitas Tanah Sawah. (Materi Pembekalan

Petugas Lapangan Untuk Pengambilan Sampel Tanah Kegiatan Fasilitasi Reklamasi

Lahan Dalam Mendukung Peningkatan Produksi Padi, Dinas Pertanian Propinsi DIY,

Yogyakarta. Lab.Kimia dan Kesuburan Tanah, Fakultas Pertanian UGM, e-mail:

[email protected]

79