bab i pengembalian kerugian keuangan negara tp korupsi tdk hapuskan pidana

27
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan. Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam 1

Upload: andy-susanto

Post on 21-Jun-2015

1.879 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur,

sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan

sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta

tindak pidana korupsi pada khususnya.

Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang

menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga

penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar

diprioritaskan. Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam

masyarakat modern dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang

dengan cepat baik kualitas maupun kuantitasnya. Sekalipun

penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui

bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit

penaggulangan maupun pemberantasannya.

1

Page 2: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

2

Kesulitan tersebut terutama terjadi dalam proses pembuktian. Hal ini

dikarenakan korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-

orang berdasi yang memiliki intelektualitas tinggi (white collar crime).

Untuk mengungkap perkara korupsi salah satu aspeknya adalah sistem

pembuktian yang terletak pada beban pembuktian yang pada gilirannya

dapat digunakan sebagai salah satu alasan untuk pengembalian kerugian

keuangan Negara.

Korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi,

yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta

keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi

merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan

pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-Iangkah

pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis,

dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat

internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan

tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan

manajemen tata laksana pemerintahan yang baik dan kerja sama

internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak

pidana korupsi.

Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di

Indonesia sudah dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-

Page 3: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

3

undangan khusus yang berlaku sejak tahun 1957 dan telah beberapa kali

diperbaharui yaitu :

1. Undang-undang No. 24 Prp. tahun 1960 tentang Pengusutan,

penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana Korupsi. 1

2. Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan tindak

pidana Korupsi. 2

3. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

negara yang bersih dan bebas dari KKN. 3

4. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak

pidana Korupsi. 4

5. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas

Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak

pidana Korupsi. 5

Akan tetapi peraturan perundang-undangan dimaksud belum

memadai, antara lain karena belum adanya kerja sama internasional

dalam masalah pengembalian hasil tindak pidana korupsi.

Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 18 Desember 2003 di

Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa telah ikut menandatangani

1. Download Internet PERPU No. 24 tahun 1960 hari Jumat tanggal 16 Oktober 2009 jam 08.00 Wib2. Download Internet UU No. 3 tahun 1971 hari Jumat tanggal 16 Oktober 2009 jam 09.00 Wib3. Progresif books, Undang-undang tentang Korupsi, penerbit Progresif books cetakan pertama, Bekasi,

Januari 2006, hal. 514. Pustaka Yustisia Himpunan Perundangan tentang Pemberantasan KKN cetakan pertama, Pustaka

Yustisia, Yogyakarta, Juni 2006, hal. 425. Progresif books, Op.Cit, hal. 1

Page 4: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

4

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Anti Korupsi yang

diadopsi oleh Sidang ke-58 Majelis Umum melalui Resolusi Nomor 58/4

pada tanggal 31 Oktober 2003. 6

Bangsa Indonesia telah ikut aktif dalam upaya masyarakat

internasional untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi

dengan telah menandatangani United Nations Convention Against

Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi,

2003). 7

Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip

demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, integritas,

dan keamanan serta stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi

merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan

pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-langkah

pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis,

dan berkesinambungan pula, baik pada tingkat nasional maupun tingkat

internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan

tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan

manajemen tata pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional,

termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.

6. Download internet Konvensi PBB anti korupsi hari Sabtu tanggal 10 Oktober 2009 jam 10.00 Wib7. Ibid

Page 5: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

5

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan yang sangat tegas dalam hal

pengembalian kerugian keuangan negara dimana pelaku tindak pidana

Korupsi yang terbukti melakukan tindak pidana, disamping mendapat

sanksi penjara kurungan juga mendapat sanksi untuk mengembalikan

kerugian keuangan negara. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah :

1) Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara

tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 (Pasal 4 Undang-Undang

Nomor 31 tahun 1999). 8

2) Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberi keterangan

tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami,

anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui

dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana

korupsi yang dilakukan tersangka (Pasal 28 Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999). 9

3) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di

sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang

meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan

tersangka atau terdakwa. Permintaan keterangan kepada bank

8. Ibid, hal. 46 9. Progresif books, op cit, hal. 56

Page 6: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

6

sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) diajukan kepada

Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Gubernur Bank Indonesia berkewajiban

untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak

dokumen permintaan diterima secara lengkap (Pasal 29 ayat (1), (2)

dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999). 10

4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank

untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa

yang diduga hasil korupsi. Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap

tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas

permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu

juga mencabut pemblokiran (Pasal 29 ayat (4) jo. ayat (5) Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999). 11

5) Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat dan

kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai

mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang

sedang diperiksa (Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999).12

10. Ibid, hal 56 11. Ibid, hal 5712. Ibid, hal 57

Page 7: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

7

6) Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli,

kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, isteri atau suami,

anak dan cucu dari terdakwa. Orang yang dibebaskan sebagai saksi

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diperiksa sebagai

saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh

terdakwa (Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999).13

7) Kewajiban memberi kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal

35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat

dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia,

kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus

menyimpan rahasia (Pasal 36 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999).14

8) Terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya

dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap

orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan

perkara yang bersangkutan (Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999).15

9) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaannya

yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber

13. Ibid, hal 5914. Ibid, hal 5915. Ibid, hal 60

Page 8: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

8

penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat

dipergunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa

terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (4)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).16

Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga

harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur

berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat

pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut

efisiensi tinggi.

Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur,

sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan

sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha

pencegahan dan pemberantasan terhadap tindak pidana Korupsi dan

kepada pelaku tindak pidana Korupsi dijatuhkan hukuman yang berat

dengan ditambah hukuman pengembalian kerugian keuangan negara.

Untuk mengembalikan kerugian keungan negara tersebut, dapat dilakukan 16. Ibid, hal 60

Page 9: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

9

melalui dua instrumen hukum, yaitu instrumen pidana dan instrumen

perdata. Instrumen pidana dilakukan oleh penyidik dengan menyita harta

benda milik pelaku dan selanjutnya oleh penuntut umum dituntut agar

dirampas oleh Hakim. Instrument perdata dilakukan oleh Jaksa Pengacara

Negara (JPN) atau instansi yang dirugikan terhadap pelaku korupsi

(tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya bila terpidana

meninggal dunia). Instrumen pidana lebih lazim dilakukan karena proses

hukumnya lebih sederhana dan mudah.

Undang-undang korupsi lama yaitu Undang-undang No.3 tahun

1971, tidak menyatakan digunakannya instrumen perdata untuk

mengembalikan kerugian keuangan negara, tetapi dalam praktek

instrumen perdata ini digunakan oleh Jaksa, berkaitan dengan adanya

hukuman tambahan yaitu pembayaran uang pengganti terhadap terpidana

vide pasal 34 (C) Undang-undang tersebut. Dalam hal ini Jaksa

Pengacara Negara (selanjutnya disingkat JPN) melakukan gugatan

perdata terhadap terpidana, agar membayar uang pengganti sebagaimana

ditetapkan oleh Hakim pidana yang memutus perkara korupsi yang

bersangkutan.

Selanjutnya Undang-undang Korupsi yang berlaku saat ini, yaitu

Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 tahun 2001

dengan tegas menyatakan penggunaan instrumen perdata, sebagaimana

Page 10: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

10

pada pasal 32, 33, 34, Undang-undang No. 31 tahun 1999 dan pasal 38 C

Undangundang No. 20 tahun 2001.

Kasus perdata yang timbul berhubungan dengan penggunaan

instrumen perdata tersebut adalah sebagai berikut :

a. Bila penyidik menangani kasus yang secara nyata telah ada kerugian

keuangan negara, tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk

membuktikan unsur-unsur pidana korupsi, maka penyidik

menghentikan penyidikan yang dilakukan.

Dalam hal ini penyidik menyerahkan berkas perkara hasil

penyidikannya kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada

instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap

bekas tersangka yang telah merugikan keuangan negara tersebut

(pasal 32 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999). 17

b. Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas dalam perkara korupsi,

meskipun secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, karena

unsur-unsur pidana korupsi tidak terpenuhi. Dalam hal ini penuntut

umum menyerahkan putusan Hakim kepada Jaksa Penuntut Negara

atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan

perdata terhadap bekas terdakwa yang telah merugikan keuangan

negara (pasal 32 ayat (2) UU No. 31 tahun 1999). 18

17. Ibid, hal 5818. Ibid, hal 58

Page 11: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

11

c. Dalam penyidikan perkara korupsi ada kemungkinan tersangka

meninggal dunia, sedangkan secara nyata telah ada kerugian

keuangan negara. Penyidikan terpaksa dihentikan dan penyidik

menyerahkan berkas hasil penyidikannya kepada Jaksa Pengacara

Negara atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan

gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka (pasal 33 UU No. 31

tahun 1999). 19

d. Bila terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di

sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian

keuangan negara, maka penuntut umum menyerahkan salinan

berkas berita acara sidang kepada Jaksa Pengacara Negara atau

kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata

terhadap ahli waris terdakwa (pasal 34 UU No. 31 tahun 1999). 20

e. Ada kemungkinan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan

hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana

korupsi yang belum dikenakan perampasan, (sedangkan di sidang

pengadilan terdakwa tidak dapat membuktikan harta benda tersebut

diperoleh bukan karena korupsi), maka negara dapat melakukan

gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya (pasal 38

C UU No. 20 tahun 2001). 21 Dalam kasus ini instansi yang dirugikan

19. Ibid, hal 5820. Ibid, hal 5921. Progresif books, op.cit, hal 105

Page 12: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

12

dapat memberi kuasa kepada Jaksa Pengacara Negara atau kuasa

hukumnya untuk mewakilinya.

Sebagaimana disinggung di atas, bahwa upaya pengembalian

kerugian keuangan negara menggunakan instrumen perdata, sepenuhnya

tunduk pada disiplin hukum perdata materiil maupun formil, meskipun

berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

Berbeda dengan proses pidana yang menggunakan sistem

pembuktian materiil, maka proses perdata menganut sistem pembuktian

formil yang dalam prakteknya bisa lebih sulit daripada pembuktikan

materiil. Dalam tindak pidana korupsi khususnya, di samping penuntut

umum, terdakwa juga mempunyai beban pembuktian, yaitu terdakwa wajib

membuktikan bahwa harta benda miliknya diperoleh bukan karena

korupsi. Beban pembuktian pada terdakwa ini disebut “pembuktian terbalik

yang terbatas” (penjelasan pasal 37 UU no.31 tahun 1999). 22

Dalam proses perdata beban pembuktian merupakan kewajiban

penggugat, beban pembuktian ada pada Jaksa Pengacara Negara atau

instansi yang dirugikan sebagai penggugat. Dalam hubungan ini

penggugat berkewajiban membuktikan antara lain :

a. Bahwa secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.

b. Kerugian keuangan negara sebagai akibat atau berkaitan dengan

perbuatan tersangka atau terdakwa atau terpidana.22. Ibid, hal. 83

Page 13: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

13

c. Adanya harta benda milik tersangka, terdakwa atau terpidana yang

dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara.

Untuk melaksanakan gugatan perdata tersebut sungguh tidak

gampang. Ichwal yang menghadang dalam praktek dapat dicontohkan

seperti di bawah ini :

a. Dalam pasal 32, 33 dan 34 Undang-undang No. 31 tahun 1999

terdapat rumusan “secara nyata telah ada kerugian negara”.

Penjelasan pasal 32 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

“secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian

keuangan negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan

hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang

ditunjuk”. Pengertian “nyata” di sini didasarkan pada adanya kerugian

negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya oleh instansi yang

berwenang atau akuntan publik. Jadi pengertian “nyata” disejajarkan

atau diberi bobot hukum sama dengan pengertian hukum “terbukti”.

Dalam sistem hukum kita, hanya Hakim dalam suatu persidangan

pengadilan mempunyai hak untuk menyatakan sesuatu terbukti atau

tidak terbukti atau bersalah atau tidak bersalah. Perhitungan instansi

yang berwenang atau akuntan publik tersebut dalam sidang

pengadilan tidak mengikat Hakim. Hakim tidak akan serta merta

Page 14: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

14

menerima perhitungan tersebut sebagai perhitungan yang benar, sah

dan karenanya mengikat.

Demikian halnya dengan tergugat (tersangka, terdakwa atau

terpidana) juga dapat menolaknya sebagai perhitungan yang benar,

sah dan dapat diterima. Siapa yang dimaksud dengan “instansi yang

berwenang”, juga tidak jelas; mungkin yang dimaksud instansi seperti

BPKP, atau BPK. Mengenai “akuntan publik”, juga tidak dijelaskan

siapa yang menunjuk akuntan publik tersebut; penggugat atau

tergugat atau Pengadilan ?

b. Penggugat (Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan)

harus dapat membuktikan bahwa tergugat (tersangka, terdakwa, atau

terpidana) telah merugikan keuangan negara dengan melakukan

perbuatan tanpa hak (onrechmatige daad, factum illicitum). Beban ini

sungguh tidak ringan, tetapi penggugat harus berhasil untuk bisa

menuntut ganti rugi.

c. Kalau harta kekayaan tergugat (tersangka, terdakwa atau terpidana)

pernah disita, hal ini akan memudahkan penggugat (Jaksa

Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan) untuk melacaknya

kembali dan kemudian dapat dimohonkan oleh penggugat agar

Hakim melakukan sita jaminan (conservatoir beslag). Tetapi bila

harta kekayaaan tergugat belum (tidak pernah disita), maka akan

Page 15: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

15

sulit bagi penggugat untuk melacaknya, kemungkinan besar hasil

korupsi telah diamankan dengan di atas namakan orang lain.

d. Pasal 38 C Undang-undang No. 20 tahun 2001 menyatakan bahwa

terhadap “harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga

berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan

perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 B

ayat 2 maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap

terpidana dan atau ahli warisnya”.

Dengan bekal “dugaan atau patut diduga” saja penggugat (Jaksa

Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan) pasti akan gagal

menggugat harta benda tergugat (terpidana). Penggugat harus bisa

membuktikan secara hukum bahwa harta benda tergugat berasal dari

tindak pidana korupsi; “dugaan atau patut diduga” sama sekali tidak

mempunyai kekuatan hukum dalam proses perdata.

e. Proses perkara perdata dalam prakteknya berlangsung dengan

memakan waktu panjang, bahkan bisa berlarut-larut. Tidak ada

jaminan perkara perdata yang berkaitan dengan perkara korupsi

akan memperoleh prioritas. Di samping itu, sebagaimana

pengamatan umum bahwa putusan Hakim perdata sulit diduga

(unpredictable).

Page 16: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

16

Kalau kita simak penjelasan umum Undang-undang No. 20 tahun

2001, maka pembuat Undang-undang berikrar akan memberantas tindak

pidana korupsi dengan “cara luar biasa” dan dengan “cara yang khusus”,

karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistimatik dan meluas sehingga

tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga telah melanggar hak-

hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.

“Cara luar biasa” dan “cara yang khusus” yang dimaksud antara lain

penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan

kepada terdakwa, dan pengembalian kerugian keuangan negara tidak

menghapuskan dipidananya pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana

Korupsi.

Kalau kita perhatikan uraian mengenai hambatan-hambatan yang

diperkirakan dapat timbul dalam penggunaan instrumen perdata untuk

mengembalikan kerugian keuangan negara, maka gugatan perdata

terhadap tersangka, terdakwa atau terpidana yang dimaksud oleh

Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 tahun 2001

merupakan upaya standard bahkan konvensional dan sama sekali bukan

“cara luar biasa” atau “cara yang khusus”.

Mengingat proses perdata yang tidak mudah, maka dapat

diperkirakan bahwa upaya pengembalian kerugian keuangan negara sulit

memperoleh keberhasilan. Kalau ketidak berhasilan ini sering terjadi,

Page 17: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

17

maka akan menimbulkan penilaian yang keliru, khususnya terhadap Jaksa

Pengacara Negara karena dianggap gagal melaksanakan perintah

Undang-undang.

Adanya ketentuan yang mengatur tentang pengembalian kerugian

keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan

dipidananya pelaku tindak pidana Korupsi, menarik minat Penulis untuk

meneliti tentang hal tersebut dan menuliskan hasilnya dalam karya ilmiah

skripsi yang berjudul :

PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK

PIDANA KORUPSI TIDAK MENGHAPUSKAN DIPIDANANYA PELAKU

TINDAK PIDANA KORUPSI.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang

masalah di atas, maka yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini

adalah :

1. Apakah yang melatar belakangi munculnya Undang-undang No. 31

tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi ?

2. Apakah semua perbuatan melawan hukum yang merugikan

keuangan negara dikategorikan sebagai tindak pidana Korupsi ?

3. Mengapa pengembalian kerugian keuangan negara tidak serta merta

Page 18: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

18

menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana Korupsi ?

C. Ruang lingkup

Agar penulisan skripsi ini tidak menyimpang dari pokok masalah yang

seharusnya dibahas, maka penulis membatasi ruang lingkup pembahasan

dan penelitiannya pada analisis wewenang penyidik Kepolisian dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi dan pengembalian kerugian

keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana

Korupsi.

D. Metodologi

Dalam penulisan skripsi ini jenis penelitian yang digunakan adalah

penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian

yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan hukum, yaitu dengan

cara penelusuran dan pengkajian beberapa literatur yang berhubungan

dengan pokok pembahasan.

Untuk mendapatkan data maka sipenulis menggunakan Metode

Normatif, yaitu mengelompokkan data pustaka yang berhubungan

kemudian disusun sehingga menghasilkan pengertian sesuai dengan

permasalahan yang diteliti, dan pengertian tersebut dihubungkan satu

Page 19: Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

19

sama lain sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang

memperhatikan keterkaitan data yang satu dengan yang lain, sehingga

diperoleh kesimpulan yang benar. Penarikan kesimpulan dilakukan

dengan memilih dari data isi yang bersifat ilmiah, kemudian diajukan saran

saran.