hasan ali - tdk

53

Click here to load reader

Upload: nurul-amin

Post on 28-Nov-2015

85 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hasan Ali - Tdk

1

LEMBAGA KAJIAN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

(KLPP)

LAPORAN MODUL PEMBELAJARAN BERBASIS SCL

JUDUL :

SEMANTIK BAHASA INDONESIA

MELALUI PENERAPAN

STUDENT CENTERED LEARNING (SCL)

oleh :

Drs. H. Hasan Ali, M. Hum.

Nip 19580819 198403 1 002

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS HASANUUDDIN

MAKASSAR 2012

lkpp

unha

s

Page 2: Hasan Ali - Tdk

2

LEMBAGA KAJIAN DAN PENGEMBANGAN PPENDIDIKAN

Lantai Dasar Gedung Perpustakaan Univesitas Hasanuddin

HALAMAN PENGESAHAN

MODUL PEMBELAJARAN BERBASIS SCLTAHUN 2012

Judul : SEMANTIK BAHASA INDONESIA MELALUI PENERAPAN

STUDENT CENTERED LEARNING (SCL)

Penyusun/Pembuat :

Nama : Drs. H. Hasan Ali, M. Hum.

Nip : 19580819 198403 1 002

Pangkat/Golongan : Lektor Kepala (Gol. IV/b)

HP Pembuat : 081 242 850 92

Jangka waktu kegiatan : 2 bulan (1 Oktober s.d 30 November 2012)

Biaya : Rp. 5.000.000.00 (lima juta rupiah)

Makassar, 25 November 2012

Mengetagui

a.n. Dekan Fakultas SastraPembantu Dekan I, Pembuat Modul,

Prof. Dr. Najmuddin H. Abd. Safa, M.A. Drs. H. Hasan Ali, M. Hum.Nip 19510715 198803 1 001 Nip 19580819 198403 1 002

ii

lkpp

unha

s

Page 3: Hasan Ali - Tdk

3

KATA PENGANTAR

Sesuai dengan tujuan pembelajaran mata kuliah Semantik Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah pengembangan ilmu yang berbasis kompetensi dan dalam rangka penyelenggaraan metode pembelajaran berbasis learning, modul ini dihadirkan untuk memfasilitasi mahasiswa dan dosen dalam proses pembelajaran yang inovatif, interaktif, dan atraktif. Pembelajaran dan penyususnan materi ajar tidak hanya terfokus pada silabus dan kurikulum yang sudah ada. Akan tetapi perlu eksplorasi dengan melakukan terobosan-terobosan baru sesuai perkembangan ilmu dan kebutuhan masyarakat. Pengembangan materi ajar (modul) ini dirancang berbasiskan evaluasi diri dan profil lulusan dengan mempertimbangkan peningkatan pengetahuan mahasiswa secara bertahap dan sistematik. Selain itu, perlu dilakukan pengembangan metode-metode pembelajaraan yang dapat menyentuh dan merangsang peserta pembelajaran (dosen dan mahasiswa) untuk mengembangkan kreativitas dan keterampilannya. Oleh karena itu, perlu dirancang sebuah kontrak perkuliahan yang dapat mengakomodir seluruh kebutuhan perkuliahan, baik dari pihak dosen maupun mahasiswa yang selanjutnya disepakati bersama antara dosen dan mahasiswa tersebut dalam satu semester ke depan. Menata kembali sistem pembelajaran mata kuliah SBI yang di dalamnya akan hadir berbagai kreativitas belajar dalam menerima dan mengolah informasi dengan menumbuhkan motivasi dan mengoptimalkan fungsi motivasi yang dirancang oleh dosen berdasarkan kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman positifnya. Salah satu strategi yang dapat pula digunakan adalah kombinasi antara teacher directed dan student directed. Strategi yang diarahkan pada pengajar (teacher directed) antara lain: ceramah, Tanya jawab, dan latihan. Adapun strategi yang terpusat pada mahasiswa (student directed) anatara lain: diskusi kelompok (small group discussion), simulasi, case study, discovery learning, cooperative learning, dan penyingkapan yang terbimbing (guided discovery). Akhirnya, penyusun mengucapkan syukur kepada Sang Yang Maha Pencipta dan Yang Maha Memiliki Ilmu karena dengan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan modul ini. Terima kasih kepada reviewer yang banyak memberikan arahan kepada penyusun. Terima kasih pula penyusun sampaikan kepada rekan-rekan anggota tim pengajar SBI dan rekan-rekan kolega di Jurusan Sastra Indonesia atas saran dan masukannya dalam penyusunan modul ini.

iii

lkpp

unha

s

Page 4: Hasan Ali - Tdk

4

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………………………….................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………………………………………………………………. ii

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………………………………………….. iii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………………………………………………… iv

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………………………………………………….. 1

BAB II MODUL 1. Ruang Lingkup Semantik ……………………………………………………………………………… 3

BAB III MODUL 2. Teori dan Metode Pendekatan …………………………………………………………………. 10

BAB IV MODUL 3. Jenis / Ragam Makna ………………………………………………………………………………… 16

BAB V MODUL 4. Struktur Leksikal (Pertalian Makna)……………………………………………………………. 22

BAB VI MODUL 5. Ketaksaan Makna (Ambiguitas) ………………………………………………………………… 28

BAB VII MODUL 6. Perubahan Makna …………………………………………………………………………………… 33

BAB VIII MODUL 7 Teknik Analisis Makna …………………………………………………………………………….. 39

SISTEM EVALUASI …………………………………………………………………………………………………………………. 48

PENUTUP ……………………………………………………………………………………………………………………………… 48

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………………………………………………… 49lkp

p

unha

s

Page 5: Hasan Ali - Tdk

5

BAB I PENDAHULUAN

A. Profil Lulusan Jurusan/Program Studi

Penerapan kurikulum yang berbasis kompetensi menuntut perubahan strategi pembelajaran dari teaching centered yang lebih menekankan pada metode yang umumnya dilakukan di dalam kelas ke strategi pembelajaran student centered yang menekankan pada pembelajaran kelompok. Profil lulusan Jurusan/Program Studi Sastra Indonesia sesuai dengan bidang ilmu yang dibinanya, yaitu:1. Jurusan/Program Studi Sastra Indonesia mempersiapkan mahasiswa menjadi ahli bahasa

Indonesia yang dapat bekerja secara professional dan mandiri dalam bidang penelitian danpengajaran bahasa, jurnalistik, kritikus, editor, leksikograf, dan penulisan;

2. Jurusan/Program Studi Sastra Indonesia mempersiapkan mahasiswa menjadi ahli kesusastraan Indonesia yang dapat bekerja secara professional dan mandiri dalam bidang penelitian dan pengajaran sastra, jurnalistik, kritikus, editor, dan penulis skenario;

3. Jurusan/Program Studi Sastra Indonesia mempersiapkan mahasiswa menjadi ahli kebudayaan Indonesia yang dapat bekerja secara profesional dan mandiri dalam bidang penelitian kebudayaan, kritikus dan penulisan.

B. Kompetensi Lulusan

Kompetensi yang dimiliki lulusan Jurusan Sastra Indonesia terbagi atas tiga kategori, yaitu (1) kategori utama, (2) kategori penunjang, dan (3) kategori lainnya.

Kompetensi Utama: 1. memiliki pemahaman teori bahasa, sastra, dan budaya, yang sasarannya pada penguasaan ilmu dan keterampilan;

2. memiliki kemampuan mengkaji bahasa, sastra, dan kebudayaan Indonesia sebagai sebuah teks dan fenomena sosial; 3. memiliki kemampuan pedagogis dalam pembelajaran bahasa, sastra, dan kebudayaan Indonesia, yang sasarannya pada penguasaan ilmu, keterampilan, dan kemampuan berkarya.

Kompetensi Penunjang: 1. memiliki kemampuan mengidentifikasi masalah-masalah bahasa, sastra, kebudayaan Indonesia, yang sasarannya pada penguasaan ilmu dan keterampilan, serta sikap dan perilaku dalam berkarya; 2. Kemampuan berbahasa asing, yang sasarannya pada penguasaan ilmu dan keterampilan, serta sikap dan perilaku dalam berkarya; 3. Kemampuan beradaptasi terhadap perkembangan IPTEKS, yang sasarannya pada sikap dan perilaku dalam berkarya.

Kompetensi Lainnya: 1. Mampu bersikap dan berperilaku professional dalam penerapan nilai-nilai budaya bahari, yang sasarannya pada pemahaman kaidah

lkpp

unha

s

Page 6: Hasan Ali - Tdk

6

berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.

C. Garis-garis Besar Rencaana Pembelajaran (GBRP)

lkpp

unha

s

Page 7: Hasan Ali - Tdk

7

BAB II MODUL 1

SEMANTIK DAN RUANG LINGKUPNYA

A.Pendahuluan

Beberapa ahli pernah mengatakan bahwa, “dalam telaah bahasa, seperti juga halnya dalam setiap telaah bersistem lainnya, tidak ada istilah atau terminologi yang netral; setiap istilah teknis merupakan pengekspresian asumsi-asumsi dan perkiraan-perkiraan teoritis dari para pemakainya”. Searle (dalam Tarigan, 1885: 2). Menyadari kebenaran ucapan tersebut maka dalam bab ini akan dijelaskan beberapa istilah dan pengertian semantik.

B. Ruang Lingkup Isi Modul

Yang menjadi ruang lingkup isi modul ini ialah pengertian semantik, sejarah perkembangan semantik, semantik dalam studi linguistik, semantik dan disiplin ilmu lain, dan aspek-aspek yang mendasari semantik.

C. Kaitan Modul

Modul ini merupakan modul pertama yang tujuannya membentuk sikap dan kesadaran mahasiswa akan pentingnya pemahaman tentang sebuah ilmu dan latar belakang lahirnya, serta aspek-aspek dan bidang kajiannya (seperti yang diuraikan pada modul-modul berikutnya).

D. Sasaran Pembelajaran Modul

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:

1. mengetahui, memahami, dan menguasai pengertian semantik, baik dari segi istilah, maupun pengertian semantik secara sempit dan luas;2. menhgetahui dan memahami sejarah perkembangan semantik;3. mengetahui dan memahami kedudukan semantik dalam linguistik;4. mengetahui dan memahami hubungan semantik dengan bidang disiplin ilmu lain;5. mengetahui dan memahami aspek-aspek yang mendasari semantik

.

lkpp

unha

s

Page 8: Hasan Ali - Tdk

8

E. Garis-garis Besar Modul Pembelajaran

1. Pengertian Semantik

2. Sejarah Perkembangan Semantik

3. Semantik dalam Studi Linguistik

4. Semantik dan Disiplin Ilmu Lain

5. Aspek-aspek Semantik

F. Uraian Singkat Masing-masing Pokok Bahasan

1. Pengertian Semantik

Semantik sebagai istilah teknis mengandung pengertian, “studi tentang makna”. Bebepa pakar linguistic merumuskan pengertian semantic, antara lain: Kambartel (dalam Pateda, 1986) mengatakan bahwa, “Semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek lain di dunia”. Verhaar (1981) mengatakan bahwa, “Semantik berarti teori makna atau teori arti”. Selanjutnya, Dalam Encyclopedia Britanica vol. 20 (1965) dijelaskan bahwa, “Semantik dalan studi hubungan proses mental atau simbolisme dalam aktivitas bicara”. Dan, Surana (1984) menjelaskan, “Semantik adalah salah satu cabang ilmu bahasa (linguistic) yang bertugas meneliti makna kata dalam suatu bahasa; meneliti bagaimana mula-mulanya atau asal-usulnya; meneliti bagaimana perkembangannya; dan apa sebab-sebanya terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa tertentu, serta bagaima aplikasinya dalam pemakaian bahasa”.

Istilah semantik dapat dipakai dalam pengertian luas dan dalam pengertian sempit. Semantik dalam pengertian luas dapat dibagi atas tiga pokok bahasan, yaitu (1) sintaksis, yang menelaah hubungan-hubungan formal antara tanda-tanda satu sama lain; (2) semantik, yang menelaah hubungan-hubungan tanda-tanda dengan objek-objek yang merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut; (3) pragmatik, yang menelaah hubungan-hubungan tanda-tanda dengan para penafsir atau interpretator. Selanjutnya, semantik dalam pengertian sempit mencakup dua pokok bahasan, yaitu (1) teori referensi, yang mencakup denotasi dan ekstensi; dan (2) teori makna, yang mencakup konotasi dan intensi.

2. Sejarah Perkembangan Semantik

Pada abad ke-17 istilah semantik (Inggris semantics) sudah ada, misalnya dalam kelompok kata semantic philosophy. Istilah semantik ini baru muncul dan diperkenalkan melalui organisasi filologi Amerika (American Philological Assiciation) tahun 1894 dengan judul Reflected Meanings A Point in Semantics.

M. Breal memperkenalkan istilah semantik dalam bahasa Prancis yakni semantique yang berpadanan dengan istilah semantics dalam bahasa Inggris. Pada kedua istilah itu sebenarnya

lkpp

unha

s

Page 9: Hasan Ali - Tdk

9

semantik belum tegas membicarakan makna sebagai objeknya, yang dibicarakan lebih banyak sejarahnya (historical semantics).

Semantik sebagai ilmu yang berdiri sendiri baru muncul pada abad ke-19. Tahun 1820 –1925 muncul ilmu baru tetapi belum disadari oleh ahli yang menemukannya. Pada waktu itu seorang ahli klasik yang bernama C.Reising mengemukakan pendapatnya tentang tata bahasa yang dibaginya ke dalam tiga bagian, yaitu etimologi, sintaksis, dan semasiologi. Berdasarkan pemikiran Reising perkembangan semantik dapat dibagi atas tiga fase.

Fase pertama, meliputi masa setengah abad termasuk di dalamnya kegiata Reising.

Fase kedua, awal tahun 1880 yang dimulai dengan munculnya buku M. Breal. Breal menganggap semantik merupakan studi murni historis.

Fase ketiga, yakni tiga dekade pertama abad XX, di mana semantik sebagai ilmu telah tercapai dengan munculnya buku yang berjudul, Meaning end Change of Meaning With Special Reference to the English Language yang dikarang oleh Gustaf Stern (1931) seorang filolog Swedia.

Sebelum munculnya buku Gustaf Stern (1931) maka F. de Saussure (1916) dengan bukunya yang berjudul Cours de Linguistique Generale mengemukakan pandangan baru, bahwa: (1) pandangan historis tentang semantik sudah ditinggalkan, (2) perhatian telah diarahkan pada struktur dalam kosa kata, (3) semantik dipengaruhi oleh stilistika, (4) studi semantik diarahkan pada bahasa tertentu dan tidak bersifat umum lagi, (5) dipelajari hubungan antara bahasa dengan pikiran karena bahasa tidak dianggap suatu kekuatan yang menentukan dan mengarahkan pikiran, dan (6) meskipun semantik telah melepaskan diri dari filsafat, namun tidak berarti bahwa filsafat tidak dapat membantu perkembangan semantik. Untuk itu, lahir semantik yang bersifat filosofis yang merupakan cabang logika simbolis.

3. Semantik dalam Studi Linguistik

Semantik sebagai istilah teknis mengandung pengertian studi tentang makna. Dengan anggapan bahwa makna merupakan bagian dari bahasa maka semantik merupakan bagaian dari linguistik. Dalam tingkatan bahasa (linguistik), makna menduduki tingkatan/komponen yang paling akhir setelah komponen bunyi dan tata bahasa. Komponen-komponen bahasa/linguistik tersebut adalah: (a) komponen bunyi yang merupakan bidang fonologi; (b) komponen tata bahasa (gramatika) yang merupakan bidang morfologi dan sintaksis; (c) komponen makna yang merupakan bidang semantik. Hubungan ketiga komponen itu sesuai dengan kenyataan bahwa, (1) bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi abstrak yang mengacu pada adanya lambang-lambang tertentu; (2) lambang-lambang merupakanseperangkat sistem yang memiliki tataan dan hubungan tertentu; dan (3) seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu mengasosiasikan adanya makna tertentu.

lkpp

unha

s

Page 10: Hasan Ali - Tdk

10

Kedudukan semantik dari segi sistematika linguistik, yaitu (a) tata bahasa (morfologi dan sintaksis) menurunkan makna gramatikal. Pada bidang proses morfologi mempengaruhi perubahan makna sedangkan pada bidang sintaksis (kategori dan peran) menghasilkan makna gramatikal dan struktural. Pada tataran leksikon menghasilkan semantik leksikal. Pada bidang fonologi tak menghasikan semantik tetapi tiap fonem berfungsi membedakan makna.

4. Semantik dan Disiplin Ilmu Lain

Semantik sebagai ilmu yang mempelajari makna sangat terkait dengan bidang-bidang ilmu lain seperti filsafat, psikologi, dan logika. Antara semantik dan filsafat misalnya, semantiksebagi ilmu mepelajari kemaknaan di dalam bahasa sebagimana adanya (das sein) dan terbatas pada pengalaman manusia. Jadi, secara ontology semantik membatasi masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat di dalam ruang lingkup jangkauan pengalaman manusia. Adapun filsafat mengkaji masalah berpikir secara benar. Berpikir secara benar memerlukan kearifan; kearifan dalam berpikir melahirkan pengetahuan. Semantik sangat tampak dalam menentukan pernyataan yang benar maupun tidak benar dalam proses berpikir.

Semantik dan psikologi, semantik membicarakan kebermaknaan kata dan satuan-satuannya yang jelas yang bersifat verbal. Misalnya, orang yang menggelengkan kepala dengan mimik tertentu tanda tidak setuju – sangat menarik bagi psikologi. Ungkapan kalimat, “saya tidak setuju” itu sangat menarik bagi semantik. Psikologi mempelajari gejala kejiwaan yang juga berada dalam jangkauan pemikiran manusia. Psikologi membicarakan kebermaknaan jiwa yang ditampilkan melewati gejala jiwa, baik yang bersifat verbal maupun nonverbal. Semantik membicarakan kebermaknaan kata dan kesatuannya yang jelas lebih bersifat verbal karena orang yang menggerutkan dahi tanda tidak senang misalnya, tidak berarti apa-apa bagi orang yang mempelajari semantik. Kalau ketidaksetujuan itu ditampilkan di dalam kalimat, /saya tidak setuju/ maka satuan ujuran itu menarik bagi seorang yang mempelajari semantik. Namun, kedua-duanya sama-sama mengungkapkan makna (kebermaknaan)

Semantik dan Antropologi, antropologi mengkaji perkembangan masyarakat yang relatif homogen dengan berbagai karakteristiknya; mengkaji bahasa sebagai fenomena sosisal dan kultural karena bahasa merupakan unsur yang digunakan manusia sebagai bagian hidup yang menyertai berbagai aktivitasnya. Hubungan semanti dengan fenomena soaial dan kultural pada dasarnya memang sudah selayaknya terjadi karena aspek sosial dan kultural sangat berperan dalam menentukan bentuk perkembangan maupun perubahan makna kebahasaan. Dalam menentukan fungsi dan komponen semantik bahasa maka ada tiga unsur yang tidak dapat dipisah-pisahkan, (1) idesional, yaitu isi pesan yang ingin disampaikan, (2) interpersonal, yaitu makna yang hadir bagi pemeran dalam peristiwa tuturan, dan (3) tekstual, yaitu bentuk kebahasaan serta konteks tuturan yang merepresentasikan serta menunjang terwujudnya makna tuturan.

lkpp

unha

s

Page 11: Hasan Ali - Tdk

11

5.Aspek-aspek Semantik

Aspek-aspek yang mendasari semantik adalah:

(a)Leksem sebagai Satuan Semantik

Leksem yang dimaksud di sini merujuk kepada kata atau frasa yang merupakan satuan bermakna. Misalnya, satuan yang berbunyi, /adik makan kue/ setiap unsur merupakan satuan bermakna. Karena itu, kita dapat mengatakan bahwa setiap leksem merupakan satuan-satuan semantis. Meskipun setiap leksem itu merupakan satuan semantis, namun tidak semua leksem mempunyai makna leksikal karena ada yang disebut leksem penuh dan ada leksem tugas, leksem fungsi atau partikel. Disebut leksem penuh karena leksem itu mengandung makna tersendiri dan karena itu disebut otosemantis, misalnya pohon, makan, tidur, dsb. Disebut leksem tugas karena leksem-leksem tersebut hanya memiliki tugas secara gramatikal, karena itu disebut synsemantis; hanya bermakna apabila muncul bersama-sama dengan leksem yang lain, misalnya dan, yang, dengan, sebab, dsb.

(b) Tanda dan Simbol

Semantik berhubungan dengan makna tanda-tanda. Tanda dapat digolongkan melalui beberapa cara, yaitu: (1) tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui oleh manusia karena pengalaman, misalnya kalau sudah mendung akan turun hujan dan kalau hujan turun terus-menerus akan terjadi banjir; (2) tanda yang ditimbulkan oleh binatang, misalnya kalau anjing menggonggong (menyalak) terus-menerus kemungkinan ada orang masuk halaman rumah; (3) tanda yang ditimbulkan oleh manusia yang dapat dibedakan atas yang bersifat verbal dan nonverbal. Yang bersifat verbal adalah tanda-tanda sebagai alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat bicara. Adapun yang bersifat nonverbal dapat berupa; (a) taanda-tanda yang menggunakan anggota badan (selain alat bicara), (b) suara, seeperti bersiul; (c) tanda-tanda yang dihasilkan oleh benda-benda yang diciptakan oleh manusia, seperti rambu-rambu lalu lintas.

(c) Penamaan

Bahasa boleh disifatkan sebagai suatu sistem komunikasi dengan menandakan pada satu pihak dan yang ditandakan pada pihak yang lain. Yang menandakan itu merupakan kata-kata dalam bahasa dan yang ditandakan itu adalah benda atau peritiwa yang digantikannya atau yang dirujukinya atau yang didenotasikannya yang terdapat di dunia. Jadi, kata-kata itu adalah nama atau label untuk benda atau peritiwa tersebut.

lkpp

unha

s

Page 12: Hasan Ali - Tdk

12

(d) K o n s e p

Setiap leksem atau kata yang diucapkan atau yang didengar oleh kita mengandung konsep.Kalau kita mendengarkan atau mengucapkan leksem ujian misalnya, maka yang muncul dalam pikiran kita atau ingatan kita adalah siswa/mahasiswa yang sedang menghadapi soal-soal, berpikir, menulis, dan suasana yang tenang. Demikian apabila kita memikirkan suatu nama maka kita akan memikirkan konsepnya. Demikian pula sebaliknya makna itu mengandung upaya dalam mengasosiasikan yang satu dengan yang lain.

(e) Pengertian dan Acuan

Apabila di antara pembicara dengan lawan bicara tidak terjadi perbenturan atau kesalahpahaman tentang apa yang dibicarakan maka baik pembicara maupun lawan bicara sama-sama mempunyai pengertian yang sama untuk sesuatu tuturan. Pengertian yang ada pada pembicara atau lawan bicara mengacu sesuatu. kalau kita mengatakan kursi maka leksem kursi mengacu kepada benda yang disebut kursi. Acuan merujuk kepada hubungan antara elemen-elemen linguistik berupa leksem, kalimat dan pengalaman.

G. Indikator Penilaian

Materi Proporsi (%) JumlahC-T D An P PR

Semantik dan Ruang Lingkupnya 0,5 0,5 1 0,5 1,5 4

Ket : C-T = Ceramah dan Tanya Jawab; D = Diskusi; An = Analisa: P = Penugasan; PR = Praktik (membaca, menulis dan presentasi)

H. Cantoh Soal-soal Latihan

1. Rumuskan pengertian semantik sebagai sebuah simpulan dari pengertian atau definisi yang dikemukakan oleh para pakar.

2. Jelaskan tiga fase perkembangan semantik menurut pemikiran C. Reising.

3. Jelaskan bagaimana kedudukan semantik dalam linguistik.

4. Jelaskan bagaimana hubungan semantic dengan bidang disiplin ilmu Antropologi.

5. Jelaskan dan berikan contoh masing-masing otosemantis dan synsemantis.

lkpp

unha

s

Page 13: Hasan Ali - Tdk

13

I. Bahan Bacaan

1. Mansoer Pateda (1986) Semantik Leksikal.2. Henry Guntur Tarigan (1985) Pengajaran Semantik.3. FX Surana (1984) Semantik Bahasa Indonesia.4. W.J.S. Verhaar (1981) Pengantar Linguitik.

lkpp

unha

s

Page 14: Hasan Ali - Tdk

14

BAB III MODUL 2

MAKNA DAN TEORI PENDEKATANNYA

A.Pendahuluan

Keberadaan makna mempunyai ruang lingkup yang luas dalam penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Keluasan itu ditandai oleh keterikatan makna dengan hal-hal seperti: (a) ciri-ciri atau unsur internal kebahasaan (seperti unsur bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat, maupun unsur suprasegmental); (b) sistem sosial budaya yang melatari masyarakat pemakai bahasa; (c) kontak hubungan antara pembicara/penutur dengan pendengar/penanggap; (d) ciri informasi dan ragam tuturan yang disampaikan (konteks situasional). Akibat keluasan ruang lingkup makna dan keterkaitan makna dengan hal-hal di atas, akan dapat menimbulkan berbagai perbedaan dalam merumuskan pengertian/batasan makna maupun dasar pendekatan yang digunakan.

B.Ruang Lingkup Isi Modul

Yang menjadi ruang lingkup isi modul ini adalah, makna sebagai objek telaah semantik dan batasan-batasannya, teori pendekatan yang digunakan dalam merumuskan makna, dan aspek-aspek yang mendasari kajian makna.

C. Kaitan Modul

Modul ini merupakan implikasi dari modul pertama dan memberikan arah terhadap modul selanjutnya. Tujuannya adalah memberikan pemahaman tentang hakikat makna sebagai objel telaah semantik.

D. Sasaran Pembelajaran Modul

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat

1.memahami dan menguasai bahwa makna itu merupakan objek telaah semantik;

2. memahami dan menguasai arti atau batasan makna;

3. memahami dan menguasai berbagai macam teori pendekatan makna;

4. memahami dan menguasai aspek-aspek yang mendasari pengkajian makna.

lkpp

unha

s

Page 15: Hasan Ali - Tdk

15

E.Garis-garis Besar Modul Pembelajaran

1. Makna sebagai Objek Telaah Semantik

2. Teori Pendekatan Makna

3. Aspek-aspek Makna

F. Uraian Singkat Masing-masing Pokok Bahasan

1. Pengertian Makna sebagai Objek Telaah Semantik

Pengertian makna (menurut istilah) ialah, “hubungan antara bahasa dengan dunia luar (hal yang diacu) yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa yang bersangkutan sehingga dapat saling dimengerti”. Berdasarkan pengertian tersebut, ada tiga hal pokok yang tercakup di dalamnya, yaitu: (1) makna adalah hasil hubungan antara bahasa dengan dunia luar bahasa; (2) penentuan hubungan tersebut terjadi karena kesepakatan para pemakai bahasa bersangkutan; (3) perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling dimengerti.

Perwujudan makna lahir dari keberadaan makna dalam abstraksi pikiran penutur yang berupa proposisi. Misalnya: Dalam tatanan, “Saya lapar” masih dalam abstrakasi pikiran(proposisi). Perwujudannya adalah dapat berupa kalimat seperti: “Tadi pagi saya tidak sarapa”. Atau “Seharian saya belum makan”.

Hornby (1961) mengemukakan bahwa, “Makna adala apa yang kita artikan atau apa yang kita maksud”. Selanjutnya, dalam KUBI (1976) dijelaskan bahwa, “Makna; arti atau maksud (sesuatu kata); mis. mengetahui lafal dan maksudnya; bermakna; berarti; mengandung arti yang penting (dalam); berbilang, mengandung beberapa arti; memaknakan: menerangkan (maksud) sesuatu kata”.

Berdasarkan pengertian/batasan di atas dapat disimpulkan bahwa makna adalah hubungan atau pertalian antara bunyi bahasa atau lambangnya dengan pengertian yang dimksud; atau hubungan antara nama (leksem) dengan konsep-konsep yang dimaksudkan berdasarkan suatu system bahasa.

2. Teori Pendekatan Makna

Makna dapat dibicarakan melalui beberapa pendekatan, antara lain:

(1) Pendekatan analitik (referensial), yaitu ingin mencari esensi makna dengan cara menguraikan atas segmen-segmen utama. Pendekatan analitik (referensial) berpijak pada fungsi bahasa sebagai wakil realitas yang menyertai proses berpikir manusia secara invidual. Pendekatan referensial ini dalam menglkaji makna lebih menekankan pada fakta sebagai objek kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan secara individual. Dalam pendekatan referensial makna diartikan sebagai label yang berada dalam kesadaran manusia untuk

lkpp

unha

s

Page 16: Hasan Ali - Tdk

16

merujuk dunia luar. Jadi, pendekatan referensial mengaitkan makna dengan masalah nilai serta proses berpikir manusia dalam memahami realitas lewat bahasa secara benar.

(2). Pendekatan operasional, yaitu ingin mempelajari leksem-pleksem dalam penggunaannya, bagaimana leksem dioperasikan di dalam tindak fonasi sehari-hari. Pendekatan operasional menggunakan tes substitusi untuk menentukan tepat/tidaknya makna sebuah leksem dalam penggunaannya. Misalnya, apakah leksem sebab sama dengan leksem karena? Untuk itu,dapat kita coba dengan tes kalimat berikut. “Budi tidak hadir kuliah karena sakit”.

“Budi tidak hadir kuliah sebab sakit”.

Ternyata leksem karena dan sebab dapat digunakan dalam kedua kalimat tersebut (dapat disubstitusikan).

Terdapat istilah lain yang sama/sejajar dengan istilah kedua pendekatan di atas, yaitu (a) pendekatan ekstensional dan (b) pendekatan intensional. Pendekatan ekstensionalmemusatkan perhatian pada penggunaan leksem di dalam konteks (bandingkan dengan pendekatan operasional). Adapun pendekatan intensional memusatkan perhatian pada struktur-struktur konseptual yang berhubungan dengan unit-unit linguistik tertentu dalam usaha memaknakan rujukan-rujukan tertentu (bandingkan dengan pendekatan analitik).

(3) Pendekatan idesional, yaitu pendekatan yang berpijak pada fungsi bahasa sebagai media dalam mengolah pesan dan menerima, serta menyampaikan informasi. Pada pendekatan idesional, makna adalah gambaran gagasan dari suatu bentuk kebahasaan yang bersifat sewenang-wenang tetapi memiliki konvensi sehingga dapat saling dimengerti. Menurut pandangan idesional, perangkat kalimat sebagai bentuk kebahasaan memiliki satuan gagasan, dan satuan gagasan itu terkooardinasi dalam perangkat kalimat itu. Hal ini bukan berarti mengabaikan makna pada aspek bunyi, kata, frasa melainkan makna pada aspek-aspek itu dapat lebur dalam peraangkat kalimat yang dapat melahirkan satuan gagasan (ide). Pendekatan idesional menekankan adanya keselarasan pemahaman antara penutur dengan pendengar dalam memakai kode untuk penyampaian pesan. Jadi, pendekatan idesional mengaitkan makna dengan kegiatan menyusun dan menyampaikan gagasan lewat bahasa.

(4) Pendekatan behavioral, yaitu mengkaji makna dalam peristiwa ujaran (speech event) yang berlangsung dalam situasi tertentu (speech situation). Pendekatan behavioral menganggap bahwa konteks sosial dan situasional berperan penting dalam menentukan makna. Mis. kata masuk memiliki banyak makna sesuai dengan konteks dan situasinya, ‘dalam garis’ dalam permainan bulu tangkis, ‘silakan ke dalam’ bagi tamu di rumah, ‘hadir’ bagi mahasiswa yang mengikuti kuliah dosennya, dsb.

lkpp

unha

s

Page 17: Hasan Ali - Tdk

17

3. Aspek-aspek Makna

Aspek-aspek yang mendasari pengkajian makna adalah sebagai berikut.

(1)Pengertian

Aspek makna, pengertian disebut juga “tema”. Pengertian dapat dicapai apabila antara pembicara dan kawan bicara mempunyai kesamaan bahasa atau kesamaan maksud. Misalnya, kalau kita ingin memberitahukan tentang cuaca, katakanlah, /hari ini hujan/ maka yang pertama-tama harus ada yakni pendengar mempunyai pengertian satuan-satuan /hari, ini, dan hujan/. Kalau pendengar mempunyai kesamaan pengaertian mengenai satuan-satuan itu maka pendengar mengerti apa yang dimaksud konteks itu. Jadi, apa yang kita maksudkan dan apa yang kita dengarkan pasti mengandung pengertian atau tema. Kita mengerti tema tersebutkarena kita memahami leksem-leksem yang melambangkan tema dimaksud. Dengan kata lain, pengertian dan tema berhubungan dengan apa yang kita katakana. Itulah sebabnya Lyons (1968) mengatakan bahwa, “Pengertian adalah sistem hubungan-hubungan yang berbeda dengan kata lain di dalam perbendaharaan kata”.

(2) Perasaan

Di dalam kehidupan sehari-hari selamanya kita berhubungan dengan rasa dan perasaan. Katakanlah kita dingin, jengkel, gembira, sedih, dan sebagainya. Untuk menggambarkan hal-hal yang berhubungan dengan aspek perasaan tersebut, kita gunakan leksem yang sesuai dengan yang kita rasakan atau perasaan kita. Tidak mungkin kita berkata, /mari kita bergembira atas meninggalnya si Anu/. Atau /ah, betapa panasnya ruangan yang ber-Ac ini/. Jelaslah bahwa kita harus menggunakan leksem-leksem yang mempunyai makna yang sesuai dengan perasaan yang hendak kita kemukakan. Jadi, aspek makna yang disebut perasaan berhubungan dengan sikap pembicara terhadap apa yang sedang dibicarakan.

Pemaknaan yang berhubungan dengan perasaan, juga terkait dengan dorongan dan penilaian. Kalau kita berkata, /saya akan pergi/, sebenarnya ada dorongan perasaan untuk pergi. Demikian pula kalau kita berkata, /saya minta rori/, memang benar-benar ada dorongan perasaan yang menyebabkan kita meminta roti. Jadi, makna berhubungan dengan perasaan, baik dengan dorongan atau penilaian. Kita berkata, /saya akan pergi/ merujuk pada dorongan sedangkan, /engkau malas/ merujuk pada penilaian.

(3) N a d a

Aspek makna yang disebut nada, adalah “sikap pembicara kepada kawan bicara” (Shipley, 1962). Maksud Shipley adalah apakah pembicara telah mengenal kawan bicara, apakah pembicara sama latar belakang sosial dan budaya dengan kawan bicara dan sebagainya. Jadi, hubungan antara pembicara dengan kawan bicara yang akan menentukan sikap yang akan tercermin dari leksem-leksem yang kita gunakan.

lkpp

unha

s

Page 18: Hasan Ali - Tdk

18

(4) Tujuan atau Maksud

Aspek tujuan merupakan “maksud, senang atau tidak senang, efek usaha keras yang dilaksanakan” (Shipley, 1962). Biasanya kalau kita mengatakan sesuatu memang ada tujuan atau maksud yang kita inginkan. Apakah perkataan itu bersifat deklaratif, imperatif, naratif, persuasif, atau politis, semuanya mengandung maksud tertentu. Kalau kita berkata kepada anak kita yang pulang tengah malam /mengapa tidak pulang pagi saja/ itu mempunyai maksud agar anak itu lain kali tidak boleh pulang larut malam.

G. Indikator Penilaian

Materi Proporsi (%) JumlahC-T D An P PR

Makna dan Teori Pendekatannya 0,5 0,5 1 1 2 6

Ket : C-T = Ceramah dan Tanya Jawab; D = Diskusi; An = Analisa: P = Penugasan; PR = Praktik (membaca, menulis dan presentasi)

H. Cantoh Soal-soal Latihan

1. Rumuskan dengan bahasa Anda pengertian (batasan) makna.

2. Makna menurut istilah adalah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. Dari pengertian tersebut, sedikitnya ada tiga hal yang dapat disimpulkan, sebutkan.

3. Jelaskan apa yang membedakan pendekatan analitik (referensial) dengan pendekatan operasional.

4. Jelaskan mengapa pandangan idesional, perangkat kalimat merupakan unsur bahasa yang sangat penting dalam pemaknaan.

5. Jelaskan apa yang membedakan aspek perasaan dan aspek nada tentang sikap pembicara dan jelaskan pula hubungan keduanya.

lkpp

unha

s

Page 19: Hasan Ali - Tdk

19

I. Bahan Bacaan

1.Henry Guntur Tarigan (1985) Pengajaran Semantik

2. Mansoer Pateda (1986) Semantik Leksikal

3. FX Surana (1984) Semantik Bahasa Indonesia

4. J.D. Parera (1990) Teori Semantik

lkpp

unha

s

Page 20: Hasan Ali - Tdk

20

BAB IV MODUL 3

JENIS/RAGAM MAKNA

A.Pendahuluan

Disadari bahwa berbicara tentang makna sangat kompleks karena terkait dengan isi pikiran pembicara, belum lagi dikaitkan dengan konteks situasional dan sosial budaya masyarakatnya. Oleh sebab itu, para ahli merumuskan jenis/ragam makna itu sangat bervariasi satu dengan yang lainnya sesuai dengan pandangan masing-masing. Ada yang melihat dari segi linguistik dan sosial (cultural), ada yang melihat dari segi kebebasan atau keterikatannya, dari segi kemandirian atau ketergantungannya pada konteks, dan ada pula yang melihat dari segi ada tidaknya perasaan tertentu yang melekat pada unsur bahasa yang digunakannya. Selanjutnya, akan diuraikan jenis/ragam makna dari berbagai sudut pandang itu.

B. Ruang Lingkup Isi Modul

Modul ini berisikan jenis/ragam makna yang telah dipilah-pilah dari berbagai sudut pandang sehingga dapat dikompilasi menjadi makna dari segi linguistik, makna dari segi ruang lingkupnya, makna dari segi ada tidaknya perasaan tertentu yang melekat di dalamnya, dan makna dari segi kemandiriannya.

C. Kaitan Modul

Modul ini merupakan penjabaran dari modul dua sesuai dengan pengertian, pendekatan, dan aspek-aspek yang menjadi dasar acuannya.

D. Sasaran Pembelajaran Modul

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:

1.memahami dan menguasi bahwa makna dilihat dari segi linguitik ada makna leksikal, makna gramatikal, dan ada makna structural;

2. memahami dan menguasai bahwa makna dilihat dari segi ruang lingkupnya ada makna luas dan ada makna sempit;

3. memahami dan menguasai bahwa makna dilihat dari segi ada tidak perasaan tertentu yang melekat di dalamnya ada makna denotasi dan ada makna konotasi;

4. memahami dan menguasai bahwa makna dilihat dari segi kemandiriannya terdapat bermacam-macam makna.

lkpp

unha

s

Page 21: Hasan Ali - Tdk

21

E.Garis-garis Besar Modul Pembelajaran

1. Makna Dilihat dari Segi Linguistik

2. Makna Dilihat dari Segi Ruang Lingkupnya

3. Makna Dilihat dari Segi Ada Tidanya Nilai Rasa Tertentu

4. Makna Dilihat dari Segi Kemandiriannya

F. Uraian Singkat Masing-masing Pokok Bahasan

1. Makna Dilihat dari Segi Linguistik

Dilihat dari segi linguistik makna dapat dibedakan atas makna leksikal dan makna gramatikal serta makna struktural.

(a)Makna leksikal (lexical meaning) adalah makna leksem ketika leksem tersebut berdiri sendiri, baik dalam bentuk dasar maupun dalam bentuk turunan. Atau, makna yang ditimbulkan oleh suatu kata sebagai unsur bebas, tanpa dipengaruhi oleh unsur lain atau bentuk lain. Jadi, makna leksikal ini dipunyai oleh unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya. Misalnya, leksem gawang bermakna (i) dua tiang yang dihubungkan dengan kayu palang, (ii) dua tiang yang terpalang sebagai tujuan bola (dalam permainan bola).

(b) Makna gramatikal (gramacal meaning) adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah leksem di dalam kalimat (konteks). Atau, makna yang muncul sebagai akibat hubungan unsur-unsur bahasa dalam satuan-satuan yang lebih besar. Satuan yang lebih besar itu, apakah berbentuk frasa, klausa, atau kalimat. Misalnya, leksem jalan dalam konteks yang lebih besar dapat menimbulkan arti bermacam-macam, seperti:

(i) Bermacam-macam jalan yang kita usahakan (=cara, taktik, atau siasat);

(ii) Perundingan itu mengalami jalan buntu (=gagal, tidak berhasil)

(iii) Jalan pikirannya bagus (=cara berpikir, sistematika berpikir);

(iv) Jalan masih terbuka bagimu (=kesempatan).

(c) Makna struktural (structural meaning) adalah makna yang ditimbulkan suatu bentuk atau suatu struktur. Atau, makna yang timbul setelah dua kata atau lebih yang digabungkan dalam suatu struktur. Misalnya, /Kami sedang belajar Semantik di dalam kelas/. Makna strukturnya adalah ‘bentuk perbuatan’. Di samping itu, dapat menarik makna struktur yang lain, yaitu ‘melakukan perbuatan’ (kami) dan ‘yang dikenai perbuatan’ (semantik), serta ‘tempat perbuatan’ (di dalam kelas).

lkpp

unha

s

Page 22: Hasan Ali - Tdk

22

(2) Makna Dilihat dari Segi Ruang Lingkupnya

Dilihat dari segi ruang lingkupnya, makna dapat dibedakan atas makna luas dan makna sempit. (a)Makna luas (extended meaning) makna yang terkandung pada suatu leksem lebih luas dari yang dipikirkan. Misalnya, /sekolah kami juara/, yang dimaksud dengan sekolah dalam konteks ini, bukan saja mencakup gedung, tetapi guru-guru, siswa, dan para pegawai sekolah yang bersangkutan. Di sini leksem sekolah telah mengandung makna luas.

(b) Makna sempit (specialized meaning atau norrowed meaning) adalah makna yang lebih sempit dari keseluruhan ujaran. Misalnya, kalau kita mengatakan /ahli bahasa/ maka yang dimaksud bukan keseluruhan ahli melainkan seseorang yang mengahlikan dirinya di bidangbahasa. Jadi, makin luas unsur leksem, makin sempit makna yang diacunya. Sebaliknya, makin sedikit unsur leksemnya makin luas makna yang diacunya.

(3) Makna Dilihat dari Ada Tidaknya Perasaan Tertentu

Makna dilihat dari ada tidaknya perasaan tertentu yang melekat di dalamnya maka dapat dibedakan atas makna denotasi dan makna konotasi.

(a)Makna denotasi adalah makna yang didasarkan atas penunjukan yang lugas (=sahaja, apa adanya, objektif) pada sesuatu di luar bahasa, atau didasarkan atas konvensi tertentu, sifatnya objektif. Makna denotasi mempunyai pertalian dengan informasi-informasi yang bersifat faktual dan dalam bentuk yang murni dihubungkan dengan pemakaian yang bersifat ilmiah.

(b) Makna konotasi adalah makna yang mkuncul sebagai akibat asosiasi perasaan kita terhadap leksem yang kita gunakan. Atau, makna leksem yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, nilai rasa tertentu, di samping arti yang umum. Kridalaksana (1992) menjelaskan bahwa makna kononasi adalah makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Dengan kata lain, makna konotasi merupakan makna leksekal + X.

4. Makna Dilihat dari Segi Kemandiriannya

Makna dilihat dari segi kemandiriannya dapat dibedakan, antara lain sebagai berikut.

(a)Makna afektif (=affective meaning) adalah makna yang muncul akibat reaksi pendengar atau pembaca terhadap penggunaan bahasa. Karena makna afektif berhubungan dengan reaksi pendengar atau pembaca dalam dimensi rasa maka dengan sendirinya makna afektif berhubungan pula dengan gaya bahasa. Misalnya, kalau tuan rumah mengatakan kepadatamunya pada saat menjamu makan, ia berkata /makanlah seadanya/ maka konteks itu merupakan gaya bahasa yang mengandung makna afektif yaitu ‘merendahkan diri’. Dalam makna afektif terlihat reaksi yang berhubungan dengan perasaan pendengar atau pembaca setelah mendengar atau membaca sesuatu. Jika orang berkata kepada kita /bangsat kau/

lkpp

unha

s

Page 23: Hasan Ali - Tdk

23

mengandung makna yang berhubungan dengan nilai rasa (perasaan) yaitu ‘penghinaan’, tentu hal ini menimbulkan perasaan yang kurang baik.

(b) Makna ekstensi (extensional meaning) adalah makna yang mencakup semua cirri objek atau konsep. Misalnya, leksem ayah mengandung ekstensi: (i) orang tua dari anak-anak, (ii) laki-laki, dan (iii) telah beristeri), dan sebagainya. (perhatikan pendekatan analitik).

(c) Makna intensi (intensional meaning) adalah makna yang menekankan maksud pembicara. Misalnya, jika orang berkata /pencuri itu lari/ maka konteks itu mengandung intensi bahwa ada seseorang yang sedang lari dikejar orang yang disebut pencuri, bukan binatang. (perhatikan pendekatan operasinal).

(d) Makna emotif (emotive meaning) adalah makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara atau rangsangan pembicara mengenai penilaian terhadap apa yang dipikirkan atau yang dirasakan. Jadi, hubungannya secara langsung antara leksem yang digunakan dengan orang atau sesuatu yang ditunjuk dengan sifat-sifat tertentu yang ada padanya. Misalnya, jika orang berkata /benalu engkau/ maka leksem benalu dihubungkan dengan makna yang sesuai dengan sifat-sifat yang ada pada tumbuhan tersebut, yaitu ‘suka merampas atau mengambil hak/milik orang lain’. Hubungan dengan pendengar atau orang yang ditunjukkan oleh ungkapan itu, yaitu sebagai ‘penghinaan’.

(e) Makna greflekter adalah makna yang muncul dalam hal makna konseptual yang jamak. Makna yang muncul akibat reaksi kita terhadap makna yang lain. Makna greflekter ini tidak saja muncul karena sugesti emosional tetapi juga yang berhubungan dengan leksem atau ungkapan yang bersifat tabu. Misalnya, berhubungan dengan seks, kepercayaan atau kebiasaan. Misalnya, orang yang mencari hasil hutan di hutan tidak akan berani mengatakan /harimau/ dan orang biasa mencari hasil laut di laut tidak akan berani mengatakan nama binatang seperti sapi, kambing, dan sebaginya. Leksem /harimau/ bagi orang pencari hasil hutan dan leksem /sapi/ atau /kambing/ bagi orang pencari hasil laut termasuk leksem-leksem yang bersifat tabu karena menurut kepercayaan bisa mendatangkan kemalangan atau kesialan.

(f) Makna idesional adalah makna yang muncul sebagai akibat penggunaan leksem yang mempunyai konsekuensi atau hal yang harus berlaku di dalam suatu leksem. Misalnya, leksem /partisipasi/. Kita mengerti ide apa yang hendak ditampilkan di dalam leksem partisipasi. Salah satu ide yang terkandung di dalamnya adalah ‘aktivitas maksimal seseorang untuk ikut di dalamsuatu kegiatan’. Dengan mengetahui ide yang terkandung di dalam leksem tersebut kita dapat memikirkan bagaimana cara memotivasi seseorang untuk berpartisipasi, persyaratan-persyaratan apa yang harus dipersiapkan agar seseorang berpartisipasi, sanksi apa yang dapat diberikan kalau orang tidak ikut berpartisipasi, dsb. Ini semua merupakan penalaran kita terhadap makna idesional yang terkandung di dalam leksem.

(g) Makna kiasan adalah pemakaian leksem dengan makna yang tidak sebenarnya. Kiasan adalah gaya yang dilihat dari segi makna yang tidak ditafsirkan sesuai dengan makna kata-kata yang membentuknya. Orang harus mencari makna di luar rangkaian kata atau kalimat. Jadi,

lkpp

unha

s

Page 24: Hasan Ali - Tdk

24

dapat dikatakan bahwa kiasan merupakan penyimpangan makna dari kata atau kalimat. Kiasandibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain berarti mencoba menemukan cirri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tsb. Misalnya, /Pemuda adalah bunga bangsa/. Perbandingan kiasan adalah perbedaan kelas kata yang diperbandingkan itu. Kelas leksem /pemuda/ dan kelas leksem /bunga/ sangat berlainan, namun ciri kesamaan yang ingin ditemukan adalah ‘harapan’. Jadi, kiasan dari leksem /bunga/ itu adalah ‘harapan’.

(h) Makna piktorial (pictorial meaning) adalah makna yang muncul akibat bayangan pendengar terhadap leksem yang didengarnya. Misalnya, kalau kita berkata /kakus/ pendengar akan merasa jijik, muak, dan apabila sedang makan pasti kita akan menghentikan kegiatan makan. Leksem /kakus/ akan berhubungan dengan kotoran, bentuk, dan bau kotoran tsb.

(i) Makna referensial adalah makna yang langsung berhubungan dengan acuan yang diamanatkan oleh leksem tsb. Misalnya, leksem /meja/ makna yang diacunya adalah sebuah benda yang terbuat dari bisa kayu atau besi dan lain-lain, punya kaki untuk menopang, bentuknya bisa segi empat atau bundar, dan dipergunakan untuk menulis atau bekerja. Jadi, leksem /meja/ langsung berhubungan dengan acuannya. Makna fererensial mengisyaratkan kepada kita tentang makna yang langsung mengacu sesuatu apakah benda, gejala, peristiwa, proses, cirri, sifat, dsb. Jadi, kalau kita mengatakan /marah/ maka yang diacu adalah gejala marah, misalnya muka yang cembrut atau menggunakan ujaran dengan nada tinggi dsb. Referen (=acuan) adalah kenyataan yang disegmentasikan dan merupakan fokus lambang. Atau, hungan elemen-elemen linguistic dan dunia pengalaman di luar bahasa.

(j) Makna stilistika adalah makna yang timbul akibat pemakaian bahasa dan berhubungan dengan lingkungan masyarakat pemakai bahasa. Kita dapat menjelaskan makna stilistikamelalui berbagai dimensi dan tingkatan pemakaian. Misalnya, pemakaian bahasa dialek, situasi resmi, bahasa dalam karya sastra dsb. Makna stilistika berhubungan dengan pemakaian bahasa yang menimbulkan efek, terutama kepada pembaca.

G. Indikator Penilaian

Materi Proporsi (%) JumlahC-T D An P PR

Jenis / Ragam Makna 0,5 1 1 0,5 2 5

Ket : C-T = Ceramah dan Tanya Jawab; D = Diskusi; An = Analisa: P = Penugasan; PR = Praktik (membaca, menulis dan presentasi)

lkpp

unha

s

Page 25: Hasan Ali - Tdk

25

H. Cantoh Soal-soal Latihan

1. Jelaskan perbedaan makna gramatikal dengan makna struktural, lengkapi dengan contoh masing-masing.

2. Jelaskan apa yang membedakan antara makna leksekal, makna denotasi, dan makna referensial.

3. Makna konotasi merupakan makna leksikal + X, jelaskan maksudnya. Jelaskan pula konotasi yang terdapat pada leksem /korupsi/ dan konteks /berikan saja amplop supaya urusanmu cepat selesai/.

4. Jelaskan apa yang membedakan makna ekstensi dan makna intensi.

5. Apa yang dimaksud dengan makna idesional dan jelaskan ide-ide apa yang terkandung pada leksem /gotongroyong/.

I.Bahan Bacaan

1.Aminuddin (2004). Semantik: Pengantar Studi tentang Makna

2.Abdul Khaer (2000) Pengantar Semantik Bahasa In donesia.

3.Henry Guntur Tarigan (1985) Pengajaran Semantik.

4.Mansoer Pateda (1986) Semantik Leksikal.

lkpp

unha

s

Page 26: Hasan Ali - Tdk

26

BAB V MODUL 4

STRUKTUR LEKSIKAL (PERTALIAN MAKNA)

A.Pendahuluan

Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali ditemui adanya hubungan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Inilah yang disebut dengan struktur leksikal adalah bermacam-macam pertalian semantik yang terdapat dalam kata. Atau, dalam istilah yang lain disebut pola struktur leksikal yaitu makna kata-kata yang membentuk pola tersendiri yang disebut pola tautan semantik. Hubungan kemaknaan (relasi) atau tautan semantik dapat berupa kesamaan makna (sinonim), kebalikan/perlawanan makna (antonim), kelainan makna (homonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), dan ketercakupan makna (hiponim).

B. Ruang Lingkup Isi Modul

Ruang lingkup yang akan dibahas dalam modul 4 ini adalah masalah hubungan kemaknaan pada kata-kata yang bersinonim, berhomonim, berantonim, polisemi, dan berhiponim.

C. Kaitan Modul

Modul ini merupakan kelanjutan dari mobul sebelumnya (modul 3) dan secara langsung menunjang kegiatan modul selanjutnya (modul 5).

D. Sasaran Pembelajaran Modul

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:

1.mengetahu, memahami, dan menguasai bahwa sinonim adalah kata-kata yang mengandung makna pusat yang sama tetapi berbeda dalam konteks dan nilai rasa;

2. memahami dan menguasai bahwa keterampilan mendiskriminasikan sinonim turut memperkaya kosa kata pengguna bahasa yang bersangkutan;

3. mengetahui, memahami, dan menguasai bahwa homonim adalah kata-kata yang sama bunyinya dan/ atau sama bentuknya tetapi mengandung makna/arti yang berda.

4. mengetahui bahwa antonim itu beraneka ragam, antara lain pasangan konplementer, pasangan gradable, pasangan relasional, dsb.

5. mengetahui dan memahami bahwa hiponim itu adalah kata-kata yang memiliki relasi secara vertical dan secara horizontal;

lkpp

unha

s

Page 27: Hasan Ali - Tdk

27

6. Mengetahui dan memahami bahwa polisemi adalah kata-kata yang memiliki kelebihan makna dan memiliki ketertautan antara satu dengan yang lainnya.

E.Garis-garis Besar Modul Pembelajaran

1. Sinonimi

2.Hiponimi dan Hipernimi

3. Homonimi dan Polisemi

4. Antonimi, Kontras, dan Oposisi

F. Uraian Singkat Masing-masing Pokok Bahasan

1. Sinonimi

Istilah sinonimi dipakai untuk kata-kata/leksem-leksem yang biasa disebut sinonim. Adapun istilah sinonim itu sendiri adalah kata atau leksem yang menjadi anggota dari sinonimi. Jadi, sinonim adalah kata/leksem yang dikelompokkan dengan kata/leksem lain di dalam klasifikasi yang sama berdasarkaan makna umum. Atau, kata-kata yang mengandung makna pusat yang sama tetapi dapat berbeda dari nilai rasa (konotasinya).

Walaupun makna kata/leksem yang disebut sinonim itu sama secara denotatif tetapi tetap memperlihatkan perbedaan-perbedaan (diskriminasi) yang tajam pada kata-kata tersebut, terutama dalam konteks pemakaiannya. Maksudnya bahwa kata-kata yang sinonim itu kadang-kadang tidak dapat didistribusikan satu sama lainnya dalam konteks tertentu. Misalnya, kata cantik, tampan, indah, bagus, molek, dan permai adalah kata-kata yang sinonim karena mengandung makna pusat yang sama, yaitu ‘tentang sesuatu yang sedap dipandang/dinikmati mata’. Kita dapat mengatakan /wanita itu cantik/ tetapi tidak lazim dikatakan /wanita itu tampan/ atau /gadis itu indah/ atau /perempuan itu permai/. Perbedaan kata-kata sinonim itu disebabkan oleh kelaziman dalam pemakaiannya. Jadi, dalam linguistikmasa kini hampir menjadi aksiomatik, bahwa sinonim mutlak itu tidak ada karena setiap bentuk bahasa mempunyai sebuah makna yang konstan (tetap) dan spesifik. Jika bentuk-bentuk bahasa itu berbeda secara fonemis maka kita bisa berharap bahwa maknanya juga berbeda.

Walaupun kenyataan-kenyataan di atas tidak dapat ditolak, namun tidak dapat disangkal pula bahwa dalam suatu bahasa ada kata-kata yang sama persis maknanya sehingga dapat disubstitusikan dalam segala konteks tanpa ada perubahan sedikit pun dari makna objektifnya. Kata-kata seperti inilah yang dapat digolongkan sebagai sinonim mutlak/sempurna. Misalnya, kata sangat dan amat, dan kata agar dan supaya. Masing-masing dalam konteks /kampus unhas sangat luas/ dan /kampus unhas amat luas/. Demikian pula /kamu harus minum obat supaya cepat sembuh/ dan /kamu harus minum obat agar cepat sempuh/.

lkpp

unha

s

Page 28: Hasan Ali - Tdk

28

Dari uraian dan contoh yang ada ternyata kata-kata yang bersinonim itu terbagi atas dua kelompok berdasarkan dapat tidaknya bersubstitusi satu sama lainnya, yaitu (a) sinonim relatif, yaitu anggota sinonim yang dapat bersubstitusi pada satu konteks dan pada konteks yang lain tidak dapat bersubstitusi; (b) sinonim mutlak/sempurna, yaitu anggota sinonim yang selalu dapat bersubstitusi pada semua konteks (cat. sangat terbatas jumlahnya). Dan ada juga (c) sinonim yang bersifat kolokasional, yaitu anggota sinonim yang hanya dapat muncul dalam hubungannya dengan kata-kata tertentu dalam kelompok yang sinonim itu. Misalnya, kata belia bersinonim dengan kata taruna, remaja, dan muda. Dalam pemakaiannya kata-kata yang boleh diikuti dan didahuluinya tidak selalu sama. Misalnya, kita dapat mengatakan: /ia masih muda/, /ia masih belia/, /ia masih remaja/, dan /ia masih muda belia/ , serta /ia masih muda remaja/. Kata/leksem muda dapat diikuti oleh kata/leksem belia atau remaja, tidak sebaliknya atau oleh kata yang lain. Jadi, muda belia dan muda remaja adalah sinonim kolokasional.

Kemiripan Sinonim

Kemiripan sinonim adalah kata-kata yang tampak mirip dari bentuk atau bunyi dan memiliki makna pusat yang sama tetapi berbeda dalam pemakaian (tidak dapat bersubstitusi). Untuk ketepatan dalam pemakaian kata-kata yang mirip itu harus betul-betul dipahamiperbedaan (diskriminasinya) maknanya. Misalnya, kata menugasi dan menugaskan. Kata menugasi bermakna ‘member tugas’ contoh dalam konteks /Pak guru menugasi murid=muridnya menyelesaikan pekerjaan itu/. Kata menugaskan bermakna ‘menjadikan tugas’ dalam contoh /Pak guru menugaskan untuk menyelesaikan pekerjaan itu kepada murid-muridnya/.

2. Hiponimi dan Hipernimi

Secara harafiah istilah hiponimi berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’. Secara semantik, hiponimi adalah ungkapan (bisa berupa kata, frasa, atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. Misalnya, flamboyan adalah hiponim terhadap kata bunga sebab makna flamboyan berada dalam makna bunga. Jadi, relasi pada dua kata yang berhiponimi adalah searah. Kata flamboyan berhiponim terhadap kata bunga; tetapi kata bunga tidak berhiponim terhadap kata flamboyan, sebab makna bunga meliputi seluruh jenis/nama bunga yang lainnya. Dalam hal ini relasi antara bunga dengan flamboyan (atau nama/jenis bunga yang lainnya) disebut hipernimi. Jadi, kalau flamboyan berhiponim terhadap bunga maka bunga berhipernim terhadap flamboyan.

Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya. Oleh karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial berada di atasnya. Umpamanya, kata ikanyang merupakan hipernimi terhadap kata bandeng, munjair, cakalang, tongkol, dan tangiriakan menjadi hiponim terhadap kata binatang. Mengapa demikian? sebab yang termasuk binatang bukan saja ikan melainkan juga kambing, kerbau,harimau, kuda, dsb. Selanjutnya,

lkpp

unha

s

Page 29: Hasan Ali - Tdk

29

binatang ini merupakan hiponim terhadap kata makhluk sebab yang termasuk makhluk bukan saja binatang melainkan juga manusia.

3. Polisemi dan Homonimi

Sebuah bentuk kebahasaan dapat mengandung makna yang berbeda-beda. Bentuk berjalan misalnya, dapat mengnmdung makna (a) ‘terlaksana’, (b) ‘berlangsung’, (c) ‘berjalan dengn kaki’. Jadi, kata berjalan dapat dikatakan bentuk polisemi. Hubungan antara bentuk kebahasaan dengan perangkat makna itu diistilahkan polisemi sedangkan kata atau frasanya diisebut polisemik. polisemi selain berakibat negatif, juga merupakan unsur positif. Disebut berakibat negatif karena dapat menimbulkan kesalahan penerimaan informasi. Disebut berakibat positif karena justru memperkaya kandungan makna suatu bentuk kebahasaansehingga lebih lentur digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda. Akibat negatif itu relatifdapat dihindari apabila pemakai bahasa secara cermat memperhatikan fitur semantis yang dimiliki bentuk-bentuk polisemik dan menggunakannya secara laras, sesuai dengan relasi struktur maupun konteks pemakaiannya.

Kegandaan makna pada bentuk polisemik dapat menimbulkan keraguan dalam menafsirkan makna kata atau frasa atau kalimat. Bila orang mengatakan leksem/kata korbanbelum jelas bagi kita apakah makna leksem korban yang dimaksud adalah: (a) pemberian untuk menyatakan kebaktian/kebaikan, atau (b) orang yang menderita kecelakaan karena sesuatu perbuatan/peristiwa, atau (c) orang yang menderita kerugian karena tertimpa bencana, atau (d) orang yang meninggal karena tertimpa bencana. Demikian juga misalnya frasa buku sejarah baru. apakah yang dimaksud adalah: (a) nama mata pelajaran, atau (b) buku sejarah yang baru. Untuk menghindari keraguan dalam menfsirkan makna kata, frasa, atau kalimat yang polisemik maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan: (a) situasi (topik) pembicaraan, (b) konteks kalimatnya, (c) intonasi (bahasa lisan) dan tanda baca (bahasa tulis).

Satu persoalan lagi yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana bisa membedakannya dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Perbedaan yang jelas ialah bahwa homonimi bukanlah sebuah kata melainkan dua buah kata atau lebih yang kebetulan bentuk atau bunyinya sama tetapi maknanya berbeda. Selanjutnya, makna pada bentuk-bentuk yang berhomonimi tidak ada kaitannya satu dengan yang lainnya, sedangkan pada polisemi makna yang satu dengan yang lainnya masih terkait. Jadi, polisemi adalah dua kata atau lebih yang (kebetulan) memiliki bentuk atau bunyi yang sama, makna berbeda. Misalnya, kata bisa (I) berarti ‘zat racun’ dan kata bisa (II) berarti ‘dapat atau boleh’. Demikian pula pada bentuk sangsi yang berarti ‘ragu’ dan sanksi yang berarti ‘tidakan atau hukuman’.

Dalam bahasa Indonesia homonimi masih dapat dibedakan lagi atas (1) homografi(homograf) adalah kata-kata yang memiliki bentuk yang sama, makna berbeda, misalnya bisa (I) dan bisa (II), teras (I) dan teras (II). Adapun (2) homofoni (homofon) adalah kata-kata yang bunyi (ucapan) sama, tulisan berbeda dan makna berbeda, misalnya sangsi dan sanksi, sarat dan syarat, serta sah dan syah.

lkpp

unha

s

Page 30: Hasan Ali - Tdk

30

4. Antonimi, Kontras, dan Oposisi

Kata dan/atau antonim terdiri atas anti atau ant yang berarti ‘lawan’ dan akar kata onimatau onuma yang berarti ‘nama’. Jadi, antonim adalah kata-kata yang mengandung makna yang kebalikan atau berlawanan dengan kata yang lain; misalnya: kuat lawan lemah, pintar lawan bodoh, kaya lawan miskin, dsb. Istilah antonimi dipakai untuk menyatakan ‘lawan makna’ sedangkan antonim adalah dua kata atau lebih dengan makna yang berlawanan.

Dalam ilmu bahasa terdapat istilah antonim bertentangan dan antonim kebalikan. Yang dimaksud dengan antonim bertentangan (contradictory antonymy) adalah pasangan antonim, makna yang satu berupa ingkar terhadap makna yang lain, misalnya bawah dan atas, bukan ‘bawah’ sama dengan ‘atas’. Antonim kebalikan (contrary antonymy) adalah pasangan antonim, ingkar yang satu tidak berarti sama dengan makna yang lain, misalnya baik dan jahat; ‘tidak baik’ bukan berarti ‘jahat’.

Antonim itu ada yang berkaitan dengan gradasi atau derajat, seperti kotor – bersih, cepat – lambat, besar – kecil, dsb. Karena menyangkut gradasi maka perbedaannya masih dapat diperinci lagi misalnya, kotor – agak kotor – lebih kotor – amat kotor, cepat – agak cepat – leibh cepat – sangat cepat, dsb. Jadi, gradasi adalah leksem-leksem yang dapat digunakan untuk menyatakan tingkat perbandingan atau untuk menyataakan kualitas sesuatu (misalnya: sangat, amata, paling, agak, cukup, dan lebih, serta semua yang menyatakan ukuran dan timbangan). Karena gradasi digunakan untuk menyatakan tingkat perbandingan/kualitas maka gradasi bertalian dengan kata sifat (ajektif). Dengan demikian antonim yang dapat digradasikan adalah antonim yang berajektifa.

Relasi antonimb yang erlangsung secara komplementer dan tidak dapat digradasikan disebut oposisi. Misalnya, pria dan wanita, suani dan isteri, hidup dan mati, dsb. Dalam oposisi tidak lazim ditemui gradasi seperti agak pria, cukup pria, atau sangat pria. Leksem-leksem seperti di atas dapat digabungkan dengan leksem yang menyatakan negative (penunjuk aspek), misalnya tidak mati atau belum mati.

Ada pula antonim yang terdiri atas kata-kata yang mempunyai relasi serempak tetapi berlawanan, bila satu dilaksanakan maka yang lainnya akan terlaksana pula. Antonim semacam ini disebut lawan kata yang relasional atau oposisi relasional. Misalnya: jual – beli, member –menerima, guru – murid. dsb.

Sesuai dengan kompleksitas dan keragaman referen yang diacu oleh lambang kebhasaan, jenis hubungan bertentangan antarkata akhirnya juga menunjukkan adanya keragaman. Ada jenis hubungan yang berlangsung secara komplementer dan tidak dapat digradasikan, yang diistilahkan oposisi, misalnya pria dan wanita, serta hubungan bertentangan yang masih dapat digradasikan, misalnya antara bentuk baik dan buruk yang diistilahkan antonimi. Sebab itu, apabila dalam oposisi tidak lazim ditemui bentuk agak pria atau agak wanita, maka dalam antonim bentuk tersebut masih lazim ditemukan, misalnya agak baik, cukup baik, sangat baik. Istilah yang mencakup baik oposisi maupun maupun antonimi adalah kontras.

lkpp

unha

s

Page 31: Hasan Ali - Tdk

31

G. Indikator Penilaian

Materi Proporsi (%) JumlahC-T D An P PR

Struktur Leksikal (Pertalian Makna) 0,5 1,5 1 1 2 6

Ket : C-T = Ceramah dan Tanya Jawab; D = Diskusi; An = Analisa: P = Penugasan; PR = Praktik (membaca, menulis dan presentasi)

H. Cantoh Soal-soal Latihan

1. Anda silakan buka kamus atau referensi lainnya, lalu carilah masing-masing minimal dua buah kata: (a) yang bersinonim hanya pada tingkat dasar (kata dasar), (b) yang hanya bersinonim pada tingkat bentukan (kata turunan), dan (c) yang bersinonim pada makna kias saja.

2. Untuk menentukan perbedaan atau diskriminasi pada kata-kata yang bersinonim dapat dilakukan dengan metode apa dan berikan sebuah contoh.

3. Apakah relasi hiponim berlaku dua arah? dan relasi antara burung dan merpati disebut hiponim atau hipernimi? Jelaskan.

4. Jelaskan dengan singkat perbedaan konsep homonimi, homofoni, dan homografi! dan apakah homonimi hanya terjadi antara dua buah kata saja? Jelaskan secara singkat!

5. Camkan baik-baik sekali lagi pengertian homonim dan polisemi, lalu bandingkan apa beda keduanya! Berikan contoh!

6. Apakah relasi antara dua buah kata yang berantonimi juga bersifat dua arah? Jelaskan!

7. Apakah yang dimaksud dengan gradasi dalam istilah antonim? Jelaskan dan berikan contoh!

8. Apakah yang dimasud dengan istilah oposisi dalam antonim? Jelaskan dan berikan contoh!

I.Bahan Bacaan

1. Abdul Chaer (1990). Pengantar: Semantik Bahasa Indonesia.2. Aminuddin (1988). Semantik: Pengantar Studi tentang Makna.

3. F.X. Surana (1984). Semantik Bahasa Indonesia. 4. Henry Guntur Tarigan. (1985). Pengajaran Semantik.

lkpp

unha

s

Page 32: Hasan Ali - Tdk

32

BAB VI MODUL 5

KETAKSAAN MAKNA (AMBIGUITAS)

A.Pendahuluan

Breal dan Frederick Agung melihat bahwa dalam kemultigandaan makana ada suatu tanda keagungan bahasa itu karena makin banyak sebuah bentuk mempunyai timbunan makna, makin banyaklah segi intelektual dan aktivitas social yang diwakilinya. Oleh sebab itu, sebuah bentuk yang mempunyai kegandaan/kemultimaknaan tidak perlu dianggap sebagai kelemahan dalam bahasa; ia bahkan merupakan kondisi esensial bagi efisiensinya. Bentuk yang memiliki kegandaan makna merupakan faktor ekonomi dan fleksibilitas dalam bahasa yang tak ternilai harganya. Pemakaian bentuk yang bermakna ganda tidak akan menimbulkan kekacauan dalam berbahasa tetapi bahkan akan memberikan kemulusan dalam berbahasa, tak peduli berapa pun banyaknya arti yang dipunyai oleh sesuatu bentuk kebahasaan tidak akan ada kekacauan dalam berkomunikasi.

B. Ruang Lingkup Isi Modul

Yang menjadi ruang lingkup isi modul ini adalah: pengertian ambiguitas, ambiguitas pada tingkat fonetik, ambiguitas pada tingkat gramatikal, dan ambiguitas pada tingkal leksikal.

C. Kaitan Modul

Modul ini merupakan modul ke-5 sebagai kelanjutan yang tak terpisahkan dari modul-modul sebelumnya dan teraplikasikan pada modul selanjutnya.

D. Sasaran Pembelajaran Modul

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:

1.memahami dan menguasai konsep ketaksaan makna (ambiguitas) dalam bahasa yang digunakannya;

2.memahami dan menguasai bahwa ambiguitas itu terjadi pada tingkat fonetik, gramatikal, dan leksikal;

3.mampu mengaplikasikan dengan baik kemultimaknaan bentuk bahasa yang digunakannya.

lkpp

unha

s

Page 33: Hasan Ali - Tdk

33

E.Garis-garis Besar Modul Pembelajaran

1. Pengertian Ambiguitas

2. Ambiguitas pada Tingkat Fonetik

3. Ambiguitas pada Tingkat Gramatikal

4. Ambiguitas pada Tingkat Leksem

F. Uraian Singkat Masing-masing Pokok Bahasan

1. Pengertian Ambiguitas

Ambiguitas timbul di dalam berbagai variasi tuturan atau tulisan. Kalau kita mendengarpembicaraan seseorang atau membaca sebuah tulisan, kadang-kadang kita sulit memahami apa yang dituturkan atau yang kita baca. Misalnya, kalau kita mendengar leksem /orang/, kita tidak mengerti apa yang dimaksud dengan /orang/ di sini. Bermacam-macam tafsiran kita. Apakah yang dimaksud adalah orang Makassar, apakah orang yang sedang tertawa, ataukah orang yang sedang diperiksa oleh polisi karena dugaan melakukan sesuatu kesalahan. Demikian pula, misalnya sebuah konstruksi /orang malas lewat di sana/ dapat ditafsirkan sebagai (1) jarang ada orang yang mau lewat di sana, atau (2) yang mau lewat di sana hanya orang-orang malas. Dalam bahasa lisan, penafsiran ganda itu mungkin tidak akan terjadi karena struktur gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi. Akan tetapi di dalam bahasa tulis penafsiran ganda itu dapat saja terjadi jika penanda-penanda ejaan itu tidak lengkap diberikan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ambiguitas adalah sifat konstruksi yang dapat diberi lebih dari satu tafsiran. Atau, suatu kondisi yang dapat timbul dalam berbagai cara penafsiran.

Untuk mengenali apakah sebuah bentuk kebahasaan itu memiliki ketaksaan/kegandaan makna atau tidak, maka ada beberapa ciri yang bisa menandainya, yaitu: (1) cirri bentuk ialah suatu bentuk yang tidak berbeda tetapi maknanya lebih dari satu; (2) ciri relasi ialah suatu bentuk dalam frasa biasa bergabung dengan kata lain (frasa), dan penyimpangan struktur dapat menimbulkan ambiguitas (klausa/kalimat); (3) ciri kekaburan ialah apabila batas makna yang dihubungkan dengan bahasa dan yang ada di luar bahasa tidak jelas.

Empson dalam Ullmann (1976) menyebut tiga bentuk utama ambiguitas. Ketiga bentuk itu berkaitan dengan fonetik, gramatikal, dan leksikal. Atau, ambiguitas dapat terjadi pada tingkat fonetik, pada tingkat gramatikal, dan pada tingkat leksikal.

2. Ambiguitas pada Tingkat Fonetik

Ambiguitas pada tingkat fonetik timbul akibat membaurnya bunyi-bunyi bahasa yang dituturkan. Kadang-kadang karena leksem-leksem yang membentuk kalimat dituturkan sangat cepat sehingga kita menjadi ragu-ragu tentang makna kalimat yang dituturkan. Satuan “akustik” (=pengaruh bunyi) tutur yang berhubungan adalah satu helaan napas dan bukan

lkpp

unha

s

Page 34: Hasan Ali - Tdk

34

berupa satuan kata demi kata. Sebuah helaan napas mungkin terdiri dari dua buah kata dengan akibat menjadi homonim dengan kata lain, dan akibat lebih lanjut ialah timbulnya ambiguitas. Misalnya, sangsi ‘ragu-ragu’ dengan sanksi ‘tindakan hukuman’, syarat ‘ketentuan (peraturan, petunjuk)’ dengan sarat ‘penuh, padat’. Atau, tuturan beruang apakah yang dimaksud adalah ‘mempunyai uang’, atau ‘memiliki ruang’, ataukah ‘nama binatang’.

Contoh-contoh seperti yang telah dikemukakan di atas berhubungan dengan keraguan terhadap bunyi bahasa yang didengar. Karena kecepatan dalam penuturan kata-kata seperti itu, maka kita menjadi ragu-ragu dalam menafsirkan maknanya; akibat selanjutnya timbul penafsiran ganda terhadap makna leksem/kata.

3. Ambiguitas pada Tingkat Gramatikal

Ambiguitas pada tingkat graamatikal muncul pada tataran morfologi dan sintaksis. Dengan demikian, ambiguitas pada tataran ini dapat dilihat dari dua alternatif.

Alternatif pertama adalah ambiguitas yang disebabkan oleh peristiwa pembentukankata secara gramatikal. Misalnya, pada tataran morfologi (proses morfemis) yang mengakibatkan perubahan makna, prefiks peN- pada bentuk pemukul bisa bermakna ganda: ‘orang yang memukul’ atau ‘alat uantuk memukul’. Demikian juga pada bentuk penyapu dapat bermakna ganda, ‘alat untuk menyapu’ atau ‘orang yang menyapu (tukang sapu)’

Alternatif kedua adalah ambiguitas pada tataran frase yang mirip atau kalimat. Tiap kata yang membentuk frase sebenarnya jelas tetapi kombinasinya yang mengakibatkan maknanyadapat diartikan lebih dari satu. Misalnya, frase orang tua dapat bermakna ganda, yaitu ‘orang yang sudah tua’ atau ‘ibu-bapak’. Cantoh lain pada kalimat, Budi anak Amin sakit. dapat menimbulkan ambiguitas sehingga dapat ditafsirkan lebih dari satu pengertian, yaitu (1) Budi!anak Amin sakit ( anak Amin yang sakit); (2) Budi, anak Amin, sakit (Budi dan anak Amin yang sakit); (3) Budi, anak, Amin, sakit ( ketiga-tiganya sakit). Jadi, pada alternatif kedua ini ketaksaan (ambiguitas) bisa muncul karena (a) frase bercabang; pada kata-kata pendukung frase itu secara individual memang tidak bermakna ganda, tetapi kombinasi kata-kata itu dapat diinterpretasikan/ditafsirkan ke dalam makna ganda. (b) ketaksaan pada tingkat (struktur kalimat) biasanya oleh konteks yang kurang jelas atau intonasi kalimat yang tidak jelas.

5.Ambiguitas pada Tingkat Leksikal

Ambiguitas pada tingkat leksikal ini biasa disebut “polivalensi” yang dapat dilihat dari dua segi, yaitu polisemi dan homonimi.

Segi pertama polisemi, misalnya kata haram dapat bermakna:

(1) terlarang, tidak halal: Haram hukumnya apabila makan daging bangkai.

(2) suci, tidak boleh dibuat sembarangan: Tanah haram atau masjidilharam di Mekah adalah

lkpp

unha

s

Page 35: Hasan Ali - Tdk

35

semulia-mulianya tempat di dunia.

(3) sama sekali tidak, sungguh-sungguh tidak: Selangkah haram aku surut.

(4) terlarang oleh undang-undang, tidak sah: PKI dan DI dinyatakan haram oleh pemerintah

(5) haram jadah: Anak haram jadah atau anak jadah adalah anak yang lahir di luar nikah atau anak yang tidak sah. Segi kedua adalah leksem-leksem yang sama bunyinya biasanya disebut homonim. Misalnya, leksem bisa (I) bermakna ‘racun’ dan bisa (II) bermakna ‘dapat/boleh’; sangsi ‘ragu’ dan sanksi ‘tindakan atau hukuman’.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketaksaan atau kegandaan makna pada bentuk kebahasaan itu sebenarnya merupakan kekaburan makna. Hal ini dapat muncul akibat dari, antara lain:

(1) Sifat kata atau kalimat yang bersifat umum (generik). Misalnya, kata buku yang memiliki makna ganda; /Ali anak Amat sakit/ belumlah jelas kepada kita siapa yang sakit, tanpa dibarengi unsur suprasegmental yang jelas.

(2) Kata atau kalimat tidak pernah sama seratus persen. Kata akan jelas maknanya di dalam konteks, meskipun kadang-kadang konteks itu kabur bagi kita.

(3) Batas makna yang dihubungkan dengan bahasa dan yang di luar bahasa tidak jelas. Misalnya, sampai di mana batas kata pandai itu.

(4) Kurang akrabnya kata yang kita pakai dengan acuannya (referennya). Apa yang dimaksud kata demokrasi, politik, dan apa pula maknanya demokrasi terpimpin itu?

Kekaburan makna ini dapat dihindari dengan memperhatikan penggunaan kata di dalam konteks atau ditentukan pula oleh situasi, sebab ada kata-kata khusus digunakan pada situasi tertentu.

G. Indikator Penilaian

Materi Proporsi (%) JumlahC-T D An P PR

Ketaksaan Makna (Ambiguitas) 0,5 1 1 1 1,5 5

Ket : C-T = Ceramah dan Tanya Jawab; D = Diskusi; An = Analisa: P = Penugasan; PR = Praktik (membaca, menulis dan presentasi)

lkpp

unha

s

Page 36: Hasan Ali - Tdk

36

H. Cantoh Soal-soal Latihan

1. Berdasarkan referensi yang Anda baca, apa yang Anda dapat simpulkan tentang pengertian ketaksaan makna (ambiguitas).

2. Untuk mengenali ambiguitas maka ada tiga ciri yang perlu diketahui. Sebutkan dan jelaskan!

3. Apa yang membedakan antara ambiguitas dengan polisemi, Jelaskan dan berikan contoh!

4. Ambiguitas dapat terjadi pada bentuk kebahasaan tingkat apa saja? Sebutkan, jelaskan dan berikan contoh masing-masing!

5. Ketaksaan atau kegandaan makna pada bentuk kebahasaan itu sebenarnya merupakan kekaburan makna. Mengapa demikian?

I.Bahan Bacaan

1.Direktorat Pendidikan Tinggi Dep. DIKBUD. (1983). Tata Makna Bahasa Indonesia dan Pengajarannya.

2. Mansoer Pateda (1986). Semantik Leksikal.

3. M. Ruth Kempson (1977). Semantic Theory.

4.T. Fatimah Djajasudarma (1993). Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna.

lkpp

unha

s

Page 37: Hasan Ali - Tdk

37

BAB VII MODUL 6

PERUBAHAN MAKNA

A.Pendahuluan

Seorang pakar bahasa (linguistik) yang bernama Edward Sapir memperkenalkan konsep baru yang sangat berharga ke dalam linguistik. Ia menulis, “Bahasa bergerak terus sepanjang waktu membentuk dirinya senduiri. Ia mempunyai gerak mengalir … . Tak satu pun yang sama sekali statis. Tiap kata, tiap unsur gramatikal, tiap peribahasa, bunyi dan aksen, secara pelan-pelan mengubah konfigurasi (bentuk/wujud), dibentuk oleh getar yang tidak tampak dan impersonal yang merupakan hidupnya bahasa”.

Konsep baru yang dikemukakan oleh sapir itu menjadi minat khusus orang-orang semantik. Dari semua unsur bahasa yang terlibat, makna mungkin merupakan yang paling lemah daya tahannya untuk berubah. Makna kata dalam pemakaian bahasa tidak bersifat statis, sering mengalami perubahan. Dari waktu ke waktu makna kata dapat mengalami perubahan sehingga akan menimbulkan kesulitan-kesulitan baru bagi para pemakai bahasa yang bersifat konservatif.

B.Ruang Lingkup Isi

Yang menjadi ruang lingkup isi modul ini ialah sebab-sebab perubahan makna danjenis/ragam perubahan makna. Kedua hal ini akan dikaitkan dengan faktor-faktor yang menyertainya.

C. Kaitan Modul

Modul ini terkait langsung dengan modul sebelumnya, yaitu Ketaksaan (Kegandaan) Makna. Ketaksaan (kegandaan) makna merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna dalam suatu bahasa.

D. Sasaran Pembelajaran Modul

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:

1.memahami sebab-sebab terjadinya perubahan makna dalam suatu bahasa;

2.mengetahui jenis/ragam perubahan makna yang ada

E.Garis-garis Besar Modul Pembelajaran

1. Pengertian Perubahan Makna

lkpp

unha

s

Page 38: Hasan Ali - Tdk

38

2. Sebab-sebab Perubahan Makna

a. Bahasa Berkembang Terus

b. Kekaburan Makna

c. Hilangnya Motivasi Kata

d. Perkembangan Sosial dan Budaya

3. Jenis/Ragam Perubahan Makna

a. Perubahan Makna Meluas

b. Perubahan Makna Menyempit

c. Perubahan Makna Total

d. Penghalusan Makna (Eufemisme)

F. Uraian Singkat Masing-masing Pokok Bahasan Modul

1. Pengertian Perubahan Makna

Yang dimaksud perubahan makna di sini mencakup perluasan, pembatasan, pelemahan, pengaburan, dan pergeseran makna yang menampak di dalam penggunaan bahasa. Bahasa berkembang terus sesuai dengan perkembangan manusia pemakai bahasa. Kita telah mengetahui bahwa pemakai bahasa diwujudkan di dalam bentuk leksem-leksem dan kalimat. Manusialah yang menggunakan leksem dan kalimat itu dan manusia pula yang menambah kosa kata yang ada sesuai dengan kebutuhan pemakai bahasa. Karena pemikiran manusia berkembang maka pemakaian leksem dan kalimat berkembang pula. Perkembangan tersebut dapat berwujud penambahan atau pengurangan. Pengurangan yang dimaksud di sini, bukan saja pengurangan dalam kualitas leksem tetapi juga berhubungan dengan kualitas leksem. Jadi, perubahan makna bukan saja mencakup perpindahan atau pergeseran makna sebuah leksem melainkan juga mencakup persoalan-persoalan yang lebih luas di luar bentuk leksem itu sendiri.

Perubahan makna dapat mencakup persoalan waktu dan dapat pula mencakup persoalan tempat. Sebuah kata dengan arti yang mula-mula dikenal oleh semua anggota masyarakat bahasa, pada suatu waktu akan bergeser maknanya pada suatu wilayah, sedangkan wilayah yang lainnya masih tepat mempertahankan makna aslinya. Oleh sebab itu, perlu ditarik garis yang tegas mengenai arti yang mana yang dianggap paling sesuai, arti yang lama atau arti yang baru. Dalam persoalan ini dasar yang dipakai sebagai patokan untuk menentukan apakah suatu makna berubah atau tidak, maka pemakaian kata dengan makna tertentu harus bersifat “ nasional” (masalah tempat), “terkenal” dan “sementara berlangsung” (masalah waktu)

lkpp

unha

s

Page 39: Hasan Ali - Tdk

39

Perubahan makna juga menyangkut “pengertian” (referensi) atau “benda” yang ditunjuk oleh nama atau simbol bahasa. Jadi, namanya tetap sedangkan pengertian yang dimaksud berubah. Kata saudara yang semula berarti ‘satu perut’ (sekandung), tetapi sekarang artinya berkembang menjadi ‘orang yang masih mempunyai pertalian keluarga pun disebut sebagai saudara’ dan lebih jauh lagi berkembang artinya, yaitu ‘orang yang sepaham atau seide’ sebagai ungkapan kekerabatan atau sapaan. Dapat juga terjadi sebaliknya, yaitu nama berubah, sedangkan pengertian atau maknanya tetap. Sebagai contoh: kata ribut didesak pemakaiannya oleh kata heboh, kata ciptaan didesak pemakaiannya oleh kata karya, kata hambatan didesak pemakaiannya oleh kata kendala, dan kata pujaan didesak pemakaiannya oleh kata idola.

2. Sebab-sebab Perubahan Makna

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna, antara lain:

a.Bahasaa Berkembang Terus

Perkembangan dan pengalihan bahasa secara turun-temurun dan suatu cara yang “tak berkesinambungan” dari generasi ke generasi yang satu; demikian seterusnya. Tiap-tiap anak harus belajar bahasa itu seperti barang baru. Tidak mustahil jika anak-anak itu bisa salah mengartikan makna kata-kata atau leksem. Dalam banyak hal kesalahpengertian itu memang dikoreksi sebelum berkelanjutan, tetapi oleh berbagai alasan, jika pengoreksian itu tidak terjadi maka suatu perubahan makna akan terjadi pada generasi baru.

b. Kekaburan Makna

Kata itu sendiri memang kabur makna dan juga bermakna ganda; kondisi yang ditunjukkannya bukanlah suatu unsur seragam melainkan banyak segi dan mungkin diakibatkan oleh berbagai sebab. Ketidaktepatan makna sebuah kata merupakan kritikan yang sering muncul. Valtaire misalnya, secara eksplisit mengemukakan kritik bahwa, “Tidak ada bahasa yang sempurna, tak satu pun yang dapat mengeksplisitkan semua gagasan kita dan semua sensasi kita; bayangan gagasan itu terlalu banyak dan tak dapat dihitung. Kita misalnya dipaksa untuk menunjuk dengan istilah yang umum cinta dan benci untuk seribu cinta dan seribu benci yang sangat berbeda-beda; begitu juga dengan kesengsaraan dan kesenangan kita”.

Kekaburan makna itu sendiri disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) Kata/leksem itu sendiri bersifat umum. Setiap kata itu menunjuk tidak hanya satu melainkan suatu kelompok hal/peristiwa yang terikat menjadi satu oleh suatu unsur yang umum; (2) Kata/leksem itu sendiri tidak pernah homogen. Tiap kata mempunyei berbagai wajah, bergantung pada konteks dan situasi di mana kata itu digunakan; dan bergantung pula pada kepribadian penuturnya. Hanya kontekslah yang akan menunjukkan segi spesifik mana, kegiatan mana dari seseorang yang ada dalam benak kita. Kata buku misalnya yang mempunyai signifikasi atau makna yang berbeda-beda bergantung pada orang/pemakai benda itu. Benda itu akan mempunyai makna yang berbeda pada seorang pengarang, penerbit, pencetak,

lkpp

unha

s

Page 40: Hasan Ali - Tdk

40

penjual buku, kolektor buku, petugas perpustakaan, atau tukang sampah, dan sebagainya. Jelaslah perubahan-perubahan dalam pemakaian kata akan membawanya kepada penjamakan makna; (3) Kurang jelasnya batas-batas makna yang ada di luar bahasa. Dalan kehidupan sehari-hari kita dapat melihat betapa batas makna yang ditunjuk oleh kata itu tidak jelas. Misalnya, sampai di manakah batas makna kata pandai; karena ukuran pandai itu sendiri sangat abstrak sifatnya; (4) Kurangnya keakraban kata yang kita gunakan dengan benda atau hal yang ditunjuk (acuannya). Hal ini merupakan faktor yang sangat bervariasi, bergantung kepada pengetahuan umum dan minat khusus setiap individu. Misalnya, penduduk yang hidup di kota mempunyai pengertian yang terbatas tentang binatang atau tanaman tertentu yang bagi petani yang hidup di desa cukup jelas pengertiannya. Cantoh lain: apakah yang dimaksud dengan kata demokrasi, politik? Kata-kata itu seperti kurang akrab dengan apa yang ditunjuknya.

c. Hilangnya Motivasi Kata

Selama sebuah kata tetap terikat erat pada akarnya dan pada anggota lain dari jenis yang sama maka kata itu akan tetap mengandung maknanya tersendiri dalam batas-batas tertentu. Akan tetapi jenis lingkaran itu terputus oleh salah satu sebab maka makna bisa berkembang tak terkendalikan dan dapat bergerak jauh dari makna aslinya. Misalnya, kata-kata kalut, balut, belut, dan gelut adalah kata-kata yang didasarkan atas akar yang sama, yaitu lut yang berarti ‘berbelit-belit’ atau ‘melingkar-lingkar’. Apabila kata-kata tersebut terputus dari makna akarnya dan berkembang tak terkendalikan maka terjadilah perubahan makna dan hal inilah yang disebut dengan kehilangan motivasi kata

d. Perkembangan Sosial dan Budaya

Sebuah kata yang pada mulanya bermakna ‘A’ lalu berubah menjadi bermakna ‘B’ atau ‘C’. Jadi, bentuk katanya tetap sama tetapi konsep makna yang dikandungnya sudah berubah. Misalnya, kata saudara dalam bahasa Sanskerta bermakna ‘seperut’ atau ‘satu kandungan’. Kini kata saudara, walaupun masih juga digunakan dalam arti ‘orang yang lahir dari kandungan yang sama’, tetapi digunakan juga untuk menyebut atau menyapa siapa saja yang dianggap sederajat atau berstatus sosial yang sama.

3. Jenis/Ragam Perubahan Makna

a. Perubahan Makna Meluas

Yang dimaksud dengan perubahan makna meluas adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah makna, tetapi kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki makna lain. Atau, proses perubahan makna yang pada mulanya mengandung satu makna yang khusus, kemudian meluas sehingga mencakup sebuah kelas makna yang lebih umum. Cantoh kata berlayar, dahulu berarti ‘bergerak di laut dengan menggunakan layar’ namun sekarang maknanya meluas, yaitu ‘semua perbuatan mengarungi lautan/perjalanan dengan menggunakan alat apa saja sebagai transportasi laut.

lkpp

unha

s

Page 41: Hasan Ali - Tdk

41

b. Perubahan Makna Menyempit

Perubahan makna menyempit adalah proses perubahan makna yang dahulu lebih luas cakupannya daripada makna yang sekarang. Atau, perubahan makna yang mengakibatkan makna kata menjadi lebih khusus atau lebih sempit dalam aplikasinya. Cantoh, kata pendeta(Sanskerta) dahulu berarti ‘orang pandai, pintar dalam segala hal’. Sekarang, bermakna ‘orang pintar dalanm soal agama, lebih khusus lagi agama Kristen’. Demikian juga kata madrasah(Arab), pada mulanya bermakna ‘nama semua jenis sekolah apa saja’. Sekarang, khusus nama sekolah agama (Islam). Cantoh lain, kata sarjana yang pada mulanya berarti ‘orang pandai’ atau ‘cendekiawan’, kemudian hanya berarti ‘orang lulusan perguruan tinggi’ seperti pada sarjana sastra, sarjana hukum, sarjana ekonomi, dan sebagainya.

c. Perubahan Makna Total

Yang dimaksud dengan perubahan makna total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dari makna asalnya. Memang ada kemungkinan makna yang dimiliki sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna asalnya, tetapi sangkut pautnya itu sudah jauh. Misalnya, kata ceramah pada nulanya berarti ‘cerewet’ atau ‘banyaak cakap’ tetapi kini berarti ‘pidato atau uraian’ mengenai suatu hal yang disampaikan di depan orang banyak. Demikian juga kata pena pada mulanya berarti ‘bulu’. Kini maknanya berubah total, yaitu berarti ‘alat tulis yang menggunakan tinta’.

d. Penghalusan Makna (Eufemisme)

Dalam pembicaraan mengenai penghalusan makna kita berhadapan dengan gejala ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus atau lebih sopan daripada yang digantikan. Kecenderungan untuk menghaluskan makna kata tampaknya merupakan gejala umum dalam masyarakat bahasa Indonesia. Misalnya, kata penjara atau bui diganti dengan kata/ungkapan yang maknanya dianggap lebih halus, yaitu lembaga pemasyarakatan. Kata ditahan atau dikurung diganti dengan kata/ungkapan diamankan. Kata korupsi diganti dengan menyalahgunakan jabatan. Kata pemecatan (dari pekerjaan) diganti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kata babu atau pembantu diganti dengan pramuwisma. Kata/ungkapan kenaikan harga diganti dengan perubahan harga atau penyesuaian tarif atau pemberlakuan tarif baru.

Selain jenis/ragam perubahan makna yang telah dijelaskan di atas, masih banyak lagi jenis/ragam perubahan makna yang lain seperti: perubahan makna dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia, perubahan makna akibat perubahan lingkungan, perubahan makna akibat pertukaran tanggapan indera, perubahan makna akibat tanggapan pemakai bahasa, perubahan makna akibat asosiasi, dan lain-lain.

lkpp

unha

s

Page 42: Hasan Ali - Tdk

42

G. Indikator Penilaian

Materi Proporsi (%) JumlahC-T D An P PR

Perubahan Makna 0,5 1,5 1 1 2 6

Ket : C-T = Ceramah dan Tanya Jawab; D = Diskusi; An = Analisa: P = Penugasan; PR = Praktik (membaca, menulis dan presentasi)

H. Cantoh Soal-Soal Latihan

1. Kalau secara sinkronis sebuah kata tidak akan berubah maknanya maka secara diakronis setiap kata akan mengalami perubahan makna? Jelaskan!

2. Salah satu faktor penyebab perubahan makna adalah kekaburan makna. Kekaburan makna itu sendiri dapat disebabkan oleh beberapa 42actor. Sebutkan dan jelaskan masing-masing secara singkat.

3. Sebutkan dan jelaskan secara singkat jenis-jenis perubahan makna yang terjadi dalam bahasa Indonesia.

4. Kata sarjana sebenarnya berarti ‘orang pandai’ tetapi sekarang berarti ‘lulusan perguruan tinggi’. Perubahan makna seperti kata sarjana ini disebut perubahan apa? Tulis beberaapa contoh lain lagi.

5. Mengapa dalam bahasa Indonesia kini kata-kata seperti korupsi diganti dengan menyalahgunakan jabatan dan pemecatan diganti dengan pemutusan hubungan kerja? Jelaskan!

I.Bahan Bacaan

1.Abddul Chaer (1990). Pengantar: Semantik Bahasa Indonesia

2.F.X. Surana (1984). Semantik Bahasa Indonesia

3.Henry Guntur Tarigan (1985). Pengajaran Semantik

4.Mansoer Pateda (1986). Semantik Leksikal

lkpp

unha

s

Page 43: Hasan Ali - Tdk

43

BAB VIII MODUL 7

TEKNIK ANALISIS MAKNA

A.Pendahuluan

Kata-kata atau leksem-leksem dalam setiap bahasa dapat dikelompokkan dalam kelompok-kelompok tertentu yang maknanya saling berkaitan atau berdekatan karena sama-sama berada dalam satu bidang kegiatan atau keilmuan. Umpamanya kata-kata menyalin menghafal, belajar, ujian, menyontek, guru, murid, catatan, dan buku dapat dikelompokkan menjadi satu karena semuanya berada dalam satu bidang kegiatan yaitu bidang pendidikan dan pengajaran. Akan tetapi, setriap kata atau leksem dapat juga dianalisis maknanya atas komponen-komponen makna tertentu sehingga akan Nampak perbedaan dan persamaan makna antara kata yang satu dengan kata yang lainnya. Agar dapat diketahui hubungan makna dan perbedaan makna, diperlukan komponen pembeda. Komponen pembeda makna akan jelas apabila diketahui komponen makna.

B. Ruang Lingkup Isi

Yang menjadi ruang lingkup isi modul ini adalah analisis medan makna, analisis komponen makna, analisis kombinatorial makna, dan indicator kemampuan memahami makna.

C. Kaitan Modul

Modul ini merupakan modul terakhir yang membicarakan tentang analisis makna. Oleh karena itu, terkait dengan unsure-unsua atau komponen-komponen yang dibicarakan sebelumnya.

D. Sasaran Pembelajharan Modul

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:

1. menganalisis medan makna

2. menganalisis komponen makna

3. menganalisis kombinatorial makna

4. mengetahui indiator kemampuan memahami makna dalam suatu bahasa.

lkpp

unha

s

Page 44: Hasan Ali - Tdk

44

E.Garis-garis Besar Modul Pembelajaran

1. Medan Makna

2. Komponen Makna

3. Kombinatorial Makna

4. Indikator Kemampuan Memahami Makna

F. Uraian Singkat Masing-masing Pokok Bahasan

1. Medan Makna

Harimurti (dalam Chaer, 1990) menyatakan bahwa medan makna (semantic fielkd, domain) adalah bagian dari system semantic bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh seperangkat unsure leksikal yang maknanya berhubungan. Umpamanya nama-nama warna membentuk medan makna tertentu. Begitu juga dengan nama perabot rumah tangga, istilah pelayaran, istilah olah raga, istilah perkerabatan, istilah alat pertukangan, dan sebagainya.

Kata atau unsure leksikal yang maknanya berhubungan dalam satu bidang tertentu jumlahnya tidaak sama dari satu bahasa dengan bahasa lain, sebab berkaitan erat dengan kemajuan dan situasi budaya masyarakat bahasa yang bersangkutan. Nama-nama warna dalam bahasa Indonesia, misalnya coklat, merah, biru, hijau, kuning, abu-abu, putih dan hitam menurut fisika adalah bukan warna. Lalu, untuk membedakan perbedaan nuansa warna dari warna-warna pokok itu bisanya diberi keterangan perbandingan di belakang nama warna itu. Misalnya merah tua, merah muda, m,erah darah, merah hati,

Kata-kata yang berbeda dalam satu medan makna dapat digolongkan menjadi dua, yaitu yang termasuk golongan kolokasi, dan golongan set.

Kolokasi (berasal dari bahasa Latin colloco yang berarti ada di tempat yang sama dengan) menunjuk kepada hubungan sintagmatik yang terjadi antara kata-kata atau unsure-unsur leksikal itu. Misalnya pada kalimat, Tiang layar perahu nelayan itu patah dihantam badai, lalu perahu itu digulung ombak, dan tenggelam beserta isinya. Kita dapati kata-kata layar, perahu, nelayan, badai, ombak, dan tenggelam yang merupakan kata-kata dalam satu kolokasi, satu tempat atau lingkungan. Jadi, kata-kata yang berkolokasi (seperti contoh di atas) ditemukan bersama atau berada dalam satu tempat atau lingkungan, yaitu laut. Dengan demikian, kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik karena sifatnya yang linier.

Golongan set menunjuk pada hubungan paradigmatic karena kata-kata atau unsure-unsur yang berada dalam suatu set dapat saling menggantikan (disubstitusikan). Suatui set biasanya berupa sekelompok unsure leksikal dari kelas yang sama yang tampaknya merupakan satu

lkpp

unha

s

Page 45: Hasan Ali - Tdk

45

kesatuan. Setiap unsure leksikal dalam suatu set dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan dengan anggota-anggota dalam set tersebut. Misalnya, kata remaja merupakan tahaap pertumbuhan antara kanak-kanak dengan dewasa; sejuk adalah suhu di antara dingin dengan hangat. Kalau dibagankan kata-kata yang berada dalam satu set dengan kata remaja dan sejuksebagai berikut.

SET bayi dingin(paradigmatic) Kanak-kanak sejuk

remaja hangatdewasa panasmanuka terik

Pengelompokan kata berdasarkan kolokasi dan set dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai teori medan makna, meskipun makna unsure-unsur leksikal itu sering bertumpang tindih dan batas-batasnya seringkali juga menjadi kabur. Selain itu, pengelompokan ini juga kurang memperhatikan perbedaan antara yang disebut makna denotasi dan makna konotasi; antara makna dasar dari suatu kata atau leksem dengn makna tambahan dari kata itu. Misalnya kata remaja dalam contoh di atas hanya menunjuk pada jenjang usia yang barangkali antara 14 – 17 tahun. Padahal remaja juga sekaligus mengandung pengertian atau makna tambahan belum dewasa, keras kepala, bersifat kaku, suka mengganggu dan membantah, serta mudah berubah-ubah sikap, pendirian atau pendapat. Oleh karena itu secara semantic diakui bahwa pengelompokan kata atau unsure leksikal secara kolokasi dan set hanya menyangkut satu segi makna, yaitu makna dasarnya saja. Adapun makna tiap kata atau unsure-unsur leksikal itu perlu dilihat dan dikaji secara terpisah dalam kaitannya dengan penggunaan kata atau unsure-unsur leksikal tersebut dalam pertuturan. Setiap unsure leksikal memiliki komponen makna masing-masing yang mungkin ada persamaannya dan ada perbedaannya dengan unsure leksikal lain.

2. Komponen Makna

a. Prosedur Menganalisis Komponen Makna

Nida (lihat Pateda, 1986) menyebut empat prosedur untuk menganalisis komponen makna, yaitu:

(1)Penamaan

Proses penamaan berhubungan dengan rujukannya. Misalnya, kalau kita melihat binatang yang berkaki empat dan biasa dipakai untuk dipacu, segera kita mengatakan bahwa binatang itu adalah kuda. rujukan boleh saja benda, tingkah-laku, peristiwa, gejala, proses, system, dan sebagainya. Tentu saja kita mempunyai alasan yang kuat, mengapa rujukan seperti itu kita sebut atau kita namai seperti yang kita katakana. Orang menyebut sesuatu seolah-olah bersifat otomatis tanpa harus melalui proses analisis makna. Penyebutan atau penamaan bersifat

lkpp

unha

s

Page 46: Hasan Ali - Tdk

46

konvensional. Jadi, kalau saya menyebut kuda maka orang lain mengerti apa yang saya sebut kuda, dan mereka juga menyetujui bahwa nama binatang itu adalah kuda.

(2) Memparafrase

Peirce (lihat Pateda, 1986) mengatakan bahwa lambang mempunyai obyek dan interpretasi. Interpretasi itu merupakan kapasitas pada sistem untuk menspesifikasi setiap bagian dari sistem supaya lebih analisis lagi. Untuk menganalisis komponen sehingga menjadi lebih terinci, digunakan paraphrase. Parafrase bertolak dari deskripsi secara pendek tentang sesuatu. Misalnya, kalau saya berkata / paman / dapat kita parafrasekan menjadi: -- saudara laki-laki ayah atau –saudara laki-laki ibu.

Dalam hubungan dengan usaha memparafrase, kita perlu membedakan dua tipe unit semantik, yakni unit inti dan ujaran yang dihubungkan dengan unit inti di dalam paraphrase. Misalnya, leksem /berjalan/ dapat dihubungan dengan: -berdarmawisata, -berjalan-jalan, -bertamasya, -karyawisata, dan –pesiar. Inti satuan-satuan ini adalah satuan yang ada hubungannya dengan berjalan tanpa mempersoalkan kendaraan yang digunakan, dengan siapa kita berjalan-jalan, kapan kita berangkat, untuk berapa lama kita berjalan-jalan, dan sebagainya.

(3) Mendefinisi

Ada tiga hal yang dicoba dijelaskan sehubungan dengan usaha menjelaskan makna, yaitu (1) mendefinisikan kata secara alamiah, (2) mendefinisikan kalimat secara alamiah, (3) menjelaskan proses komunikasi. Mendefinisi merupakan usaha untuk menjelaskan sesuatu. Usaha mendefinisi berpangkal dari analisis makna dan paraphrase. Misalnya kita mendefinisikan leksem /kursi/ sebagai berikut: -berkaki empat, -digunakan untuk tempat duduk, -mempunyai sandaran, terbuat dari kayu atau besi. Berdasarkan analisis seperti itu, kita mengatakan bahwa kursi adalah benda yang terbuat dari kayu atau besi yang berkaki empat, mempunyai sandaran dan digunakan sebagai tempat duduk. Dengan definisi seperti itu kita akan mengetahui secara tepat apa yang disebut kursi.

(4) Mengklasifikasi

Langkah pertama untuk membatasi suatu pengertian adalah menghubungkan sesuatu leksem dengan genusnya atau kelasnya. Proses menghubungkan sebuah leksem dengan genus atau kelas, disebut mengklasifikasi. Kelas yang dimaksud dapat juga merupakan ciri benda yang diklasifikasi. Cantoh:

Pokok Genus/Kelas1. Ayam Adalah hewan yang boleh terbang2. Kuda Adalah hewan yang berkaki empat

Pada umumnya makin sempit klasifikasinya makin jelas definisinya, misalnya:

lkpp

unha

s

Page 47: Hasan Ali - Tdk

47

-kuda adalah hewan berkaki empat (kurang jelas)

-kuda adalah hewan berkuku ganjil (lebih jelas)

Langkah berikutnya yakni membedakan leksem atau istilah yang diklasifikasi dari anggota-anggota lainnya di dalam kelas tertentu dengan memberikan ciri-cirinya. Proses ini disebut diferensiasi. Cantoh:

Pokok Genus/Kelas DiferensiasiKuda adalah

hewan Yeng berkuku ganjil, menyusui, dapat diperlombakan dan dapat dipergunakan untuk menarik gerobak

b. Analisis Komponen Makna

Komponen makna atau komponen semantik (semantic feature, semantic property, atau semantic marker) mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal lainnya terdiri atas satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau unsur leksikal tersebut. Misalnya kata ayah mengandung komponen makna atau unsur makna: +insan, +dewasa, +jantan, dan +kawin; kata ibu mengandung komponen makna: +insan, +dewasa, -jantan, dan +kawin. Kalau dibandingkan komponen makna keduanya dapat dilihat seperti berikut.

Komponen makna ayah ibu1. insan + +2. dewasa + +3. jantan + -4. kawin + +

Keterangan: tanda (+) berarti mempunyai komponen makna tersebut, dan tanda (-) berati tidak mempunyai komponen makna tersebut.

Konsep analisis seperti ini (lazim disebut analisis biner) oleh para ahli kemudian diterapkan juga untuk membedakan makna suatu kata dengan kata yang lain. Misalnya, kata ayah dan ibu dapat dibedakan berdasarkan ada tidaknya ciri jantan (seperti terlihat pada contoh di atas).

Perumusan makna di dalam kamus pun nampaknya memanfaatkan atau berdasarkan analisis biner ini. Sebagai contoh Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta mendefinisikan kata kuda sebagai ‘binatang menyusui yang berkuku satu dan biasa dipiara orang untuk kendaraan’. Jadi, ciri binatang menyusui, berkuku satu, dan biasa dipiara orang adalah yang menjadi ciri umum. Lalu, ciri makna ‘kendaraan’ menjadi ciri khusus

lkpp

unha

s

Page 48: Hasan Ali - Tdk

48

yang membedakannya dengan sapi atau kambing. Sapi dan kambing juga biasa dipiara tetapi bukan untuk kendaraan. Perhatikan bagan berikut ini.

Ciri-ciri kuda sapi kambing1. menyusui + + +2. berkuku satu + + +3. dipiara + + +4. kendaraan + - -

Dari bagan itu nampak ciri pembeda kuda dari sapi dan kambing.

Analisis biner ini dapat juga digunakan untuk mencari perbedaan semantik kata-kata yang bersinonim. Umpamanya kata-kata kandang, rumah, pondok, istana, keraton, dan wisma. Kata-kata tersebut dianggap bersinonim dengan makna dasar atau makna denotatif, yaitu ‘tempat tinggal’ atau ‘tempat kediaman’. Kata kandang pada satu pihak dapat diperbedakan dengan kata yang lain berdasarkan ciri (+manusia) dan (-manusia). Kandang berciri (-manusia) sedangkan yang lainnya berciri (+manusia). Kata pondok dengan yang lainnya dapat diperbedakan berdasarkan ciri (+sederhana) sedangkan yang lainnya berciri (-sederhana), meskipun akhir-akhir ini banyak kompleks mewah menggunakan istilah pondok, seperti, Pondok Kelapa, Pondok Asri, Pondok Indah, dan sebagainya. Kata rumah dapat diperbedakan dengan kata yang lainnya berdasarkan ciri (+umum) dan (-umum). Kata rumah berciri (+umum) sedangkan yang lainnya berciri (-umum). Selanjutnya, kata istana dan keraton di satu pihak dapat diperbedakan dengan kata wisma berdasarkan ciri (+kepala negara) dan (-kepala negara). Dan terakhir kata istana dan keraton dapat diperbedakan berdasarkan ciri (+raja) dan (-raja). Kata istana dapat berciri (+raja) dan (-raja) (misalnya presiden) sedangkan kata keratonberciri (+raja).

Persoalan yang muncul sehubungan dengan analisis biner ini adalah, apakah analisis biner ini selalu dapat diterapkan pada setiap unsur leksikal? Berdasarkan pengamatan terhadap data/unsur-unsur leksikal, ada tiga hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan analisis biner tersebut.

Pertama, ada pasangan kata yang salah satunya lebih bersifat netral atau umum sedangkan yang lain lebih bersifat khusus. Misalnya, pasangan kata mahasiswa dan mahasiswi. Kata mahasiswa umum dan netral karena dapat termasuk “pria” dan “wanita”. Sebaliknya kata mahasiswi lebih bersifat khusus karena hanya mengenai “wanita” saja. Unsur leksikal yang bersifat umum seperti kata mahasiswa ini dikenal sebagai anggota yang tidak bertanda dari pasangan itu.

Kedua, ada kata atau unsur leksikal yang sukar dicari pasangannya karena memang mungkin tidak ada; tetapi ada juga yang mempunyai pasangan lebih dari satu. Cantoh yang sukar dicari pasangannya antara lain, kata-kata yang berkenaan dengan nama warna. Selama ini, kata putih memang dapat dipasangkan dengan kata hitam, tetapi nama-nama warna lain

lkpp

unha

s

Page 49: Hasan Ali - Tdk

49

tidak mudah untuk dicari pasangannya. Apakah merah pasangannya dengan putih, atau hitam, atau hijau, atau yang lainnya? Sukar dijawab, saling bertumpang tindih. Dalam bahasa Indonesia kita tidak tahu mau mempertentangkan merah dengan apa? Cantoh kata atau unsur leksikal yang pasangannya lebih dari satu adalah kata berdiri. Kata berdiri bukan hanya bisa dipertentangkan dengan kata duduk, tetapi dapat juga dengan kata tiarap, rebah, tidur, jongkok, dan berbaring.

Ketiga, kita seringkali sukar mengatur ciri-ciri semantik itu secara bertingkat, mana yang lebih bersifat umum dan mana yang bersifat khusus. Umpamanya ciri (jantan) dan (dewasa), mana yang lebih bersifat umum jantan atau dewasa. Bisa jantan tetapi bisa juga dewasa, sebab tidak ada alasan bagi kita untuk menyebut ciri (jantan) lebih bersifat umum daripada ciri dewasa. Atau, juga sebaliknya karena ciri yang satu tidak menyiratkan ciri makna yang lain. Oleh karena itu, keduanya (jantan) dan (dewasa) tidak dapat ditempatkan dalam suatu hierarki. Keduanya dapat ditempatkan sebagai unsur yang lebih tinggi dalam diagram yang berlainan.

Walaupun analisis komponen makna ini dengan pembagian biner banyak kelemahannya, tetapi cara ini banyak memberi manfaat untuk memahami makna kalimat. Para bahasawan transformasional telah menggunakan teknik ini sehingga minat terhadap analisis komponen makna ini menjadi meningkat.

c. Urutan Hubungan Antara Komponen

Dari komponen diagnostik (dengan pengertian bahwa diagnostik itu dapat melayani perbedaan makna dari suatu bentuk dengan bentuk yang lain dalam domein yang sama), kita melihat bahwa leksem /ayah/ sebagai leluhur tidak mempunyai hubungan makna dengan bentuk lain, misalnya dengan leksem /ibu, kakek, kemenakan/ dan seterusnya.

Tiap leksem tentu mempunyai hubungan internal, baik yang bersifat temporal maupun yang bersifat logis. Cantoh leksem /penyesalan/ memiliki komponen diagnostik yang bersifat temporal, yakni (1) merasa bahwa ada tingkah laku yang keliru, (2) merasa berdosa, dan (3) mengubah tingkah laku yang salah. Di sini imajinasi kita harus bekerja keras karena rujukannya sangat berbeda dengan leksem /saya/ seperti yang dikatakan di atas. Penyesalan memang terlihat dari gejala jiwa yang menyebabkan seseorang mengubah tingkah lakunya. Peristiwa menyesal itu sendiri bersifat temporal karena orang tidak selamanya menyesal atas kekeliruannya.

d. Beberapa Kesulitan Menganlisis Komponen Makna

Banyak kesulitan yang dihadapi apabila kita menganalisis komponen makna suatu leksem. Kesulitan itu berhubungan dengan:

(1) Lambang yang kita dengar atau yang kita baca tidak diikuti dengan unsur-unsur ekstra linguistik. Misalnya, kita membaca leksem /buku/ di depan sebuah toko. Kita dapat menganalisis dari berbagai segi menurut dugaan kita tentang makna leksem tersebut.

lkpp

unha

s

Page 50: Hasan Ali - Tdk

50

(2) Tiap leksem berbeda pengertiannya untuk tiap bidang ilmu. Misalnya, istilah morfologi, ada pada bidang linguistik dan bidang pertanian. Demikian juga istilah kompetensi ada pada bidang linguistik, psikologi, dan bidang pendidikan. Meskipun istilah-istilah tersebut mempunyai titik persamaan, tetapi pasti ada perbedaannya.

(3) Tiap leksem memiliki pemakaian yang berbeda terutama untuk leksem-leksem yang mempunyai hubungan renggang. Misalnya, kita dapat mengatakan /di belakang rumah/ sebab kita menganggap bahwa rumah mempunyai bagian depan dan bagian belakang.

(4) Leksem yang bersifat abstrak sulit dideskripsikan. Misalnya, kita sulit memerikan leksem- leksem seperti /liberal atau sistem/, dan sebagainya.

(5) Leksem yang tergolong deiksis, seperti /ini, itu, di sana, di sini/ dan leksem yang tergolong kata fungsi sulit dideskripsi. Leksem-leksem yang tergolong kata fungsi hanya dapat dipahami maknanya melewati hubungan leksem dalam suatu kalimat.

(6) Leksem-pleksem yang yang bersifat umum sulit dideskripsi. Misalnya, leksem-leksem /binatang, burung, ikan, manusia, tumbuhan/ dan sebagainya.

3. Indikator Kemampuan Memahami Makna

Kita dapat mengukur pemahaman makna pada setiap orang, caranya yakni dengan menggunakan indiator-indikator sebagai berikut.

a.Dapat menjelaskan makna yang dimaksud pembicara atau penulis. Misalnya, seorang berkata /coba sebut identitas pencuri itu/. Kalau pendengar dapat menyebutkan ciri-ciri pencuri secara jelas, ini menandakan bahwa pendengar memahami makna leksem/ identitas/.

b. Dapat berbuat atau tidak berbuat apa yang dikatakan oleh pembicara atau penulis. Misalnya kalau seseorang berkata /tiaraplah pesawat musuh datang/ dan kemudian pendengar segera tiarap, ini menandakan bahwa pendengar mengerti makna leksem /tiaraplah/.

c. Dapat menggunakan leksem dalam suatu kalimat sesuai dengan makna dan fungsinya. Misalnya, kalau seseorang berkata /burung saya wafat kemarin/, ini menandakan bahwa pendengar tidak memahami makna dan pemakaian leksem /wafat/.

d. Dapat menyuebut sinonim atau antonim leksem yang memang sinonim dan antonimnya dapat dicari.

e. Dapat mereaksi dalam wujud gerakan motoris atau afektif, apabila mendengar leksem yang menjengkelkan atau mengharukan hatinya. Misalnya, kalau seseorang berkata, /anjing kau/, kemudian muka pendengar menjadi merah, lalu ia memukul pembicara, ini menandakan

lkpp

unha

s

Page 51: Hasan Ali - Tdk

51

bahwa pendengar mengerti makna leksem /anjing kau/ yang bermakna penghinaan. Selanjutnya, kalau seseorang berkata /anak itu tidak dapat membayar SPP karena ia sudah yatim-piatu/, lalu pendengar berkata /kasihan/, ini menandakan bahwa pendengar dapat merasakan makna kalimat tersebut.

f. Dapat membetulkan pembicara apabila ternyata salah menggunakan leksem yang tidak sesuai dengan makna dan pemakaiannya.

G. Indikator Penilaian

Materi Proporsi (%) JumlahC-T D An P PR

Teknik Analisis Makna 0,5 1,5 2 1,5 2,5 8

Ket : C-T = Ceramah dan Tanya Jawab; D = Diskusi; An = Analisa: P = Penugasan; PR = Praktik (membaca, menulis dan presentasi)

H. Contoh Soal-soal Latihan

1. Adakah hubungan antara teori medan makna dengan teori mengenai makna kolokasi dalam pembicaraan mengenai jenis makna? Jelaskan!

2. Jelaskan perbedaan pengelompokan makna menurut set dan kolokasi!

3. Apakah analisis biner dapat diterapkan pada setiap unsur leksikal? Jelaskan secara singkat!

4. Jelaskan secara singkat dan disertai contoh masing-masing kesulitan yang dihadapi apabila kita menganalisis komponen makna suatu leksem.

5. Kita dapat mengukur pemahaman makna pada setiap orang dengan cara menggunakan indikator. Jelaskan secara singkat indikator-indikator tersebut.

I.Bahan Bacaan

1.Abdul Chaer (1990). Pengantar: Semantik Bahasa Indonesia.

2.Mansoer Pateda (1986). Semantik Leksikal.

3.Edi Setiyanto, Restu Sukesti, dan Wiwin Erni Siti Nurlina (1997). Medan Makna Aktivitas Tangan dalam Bahasa Indonesia.

lkpp

unha

s

Page 52: Hasan Ali - Tdk

52

SISTEM EVALUASI

Evaluasi merupakan titik tolak semua kemajuan. Evaluasi bertujuan mengungkap kinerja belajar mahasiswa, sekaligus sebagai alat ukur tercapainya sasaran pembelajaran. Krikteria penilaian harus disampaikan pada kuliah pertama (kontrak pembelajaran) dengan menganut prinsip objektivitas dan transparan. Evaluasi dan penilaian yang akan dilakukan melalui empat tahap, yaitu (1) Penilaian proses pembelajaran/tugas kelompok (40%), (2) Tugas latihan (mandiri) (15%), (3) Uji kompetensi tengah semester (20%), dan (4) Uji kompetensi akhir semester (25%). Indikator penilaian dapat dilihat pada table berikut ini.

Tabel Indikator Penilaian

Materi Proporsi (%) JumlahC-T D An P PR

Semantik dan Ruang Lingkupnya 0,5 0,5 1 0,5 1,5 4Makna dan Teori Pendekatannya 0,5 1,5 1 1 2 6Jenis / Ragam Makna 0,5 1 1 0,5 2 5Struktur Leksikal (Pertalian Makna) 0,5 1,5 1 1 2 6Ketaksaan Makna (Ambiguitas) 0,5 1 1 1 1,5 5Perubahan Makna 0,5 1,5 1 1 2 6Teknik Analisis Makna 0,5 1,5 2 1,5 2,5 8Ujian Tengah Semester 20Ujian Akhir Semester 25Tugas Latihan 15

Jumlah 100

Ket : C-T = Ceramah dan Tanya Jawab; D = Diskusi; An = Analisa: P = Penugasan; PR = Praktik (membaca, menulis dan presentasi)

PENUTUP

Materi pembelajaran yang telah diuraikan mulai modul 1 sampai dengan modul 7 bukanlah satu-satunya bahan acuan yang menjadi pegangan dosen dan mahasiswa dalam proses pembelajaran ini. Tentunya, baik dosen maupun mahasiswa harus perkaya lagi dengan sumber referensi lain yang sesuai dengan Silabus dan Garis-garis Besar Rencana Pembelajaran (GBRP) mata kuliah Semantik Bahasa Indonesia (SBI).

Proses pembelajaran modul ini menggunakan metode SCL karena metode konvensional yang dilaksanakan selama ini, mulai dirasakan kurang efektif dalam pencapaian sasaran pembelajaran. Oleh karena itu, pembelajaran mata kulia SBI perlu dikembangkan malalui

lkpp

unha

s

Page 53: Hasan Ali - Tdk

53

beberapa perbaikan dan penyempurnaan beserta implementasinya. Penerapan SCL untuk peningkatan kualitas pembelajaran pada mata kuliah SBI ini, konsep keberlanjutan (pengembangan) yang akan dilaksanakan meliputi: (1) tahap persiapan materi ajar, (2) tahap presentasi, (3) tahap riset, (4) tahap evaluasi dan elaborasi, (5) tahap umpan balik dan implikasi.

Akhirnya, mahasiswa harus diarahkan untuk dapat mengidentifikasi implikasi-implikasi dari semua butir tentang materi (modul yang telah ditutorialkan lewat diskusi kelompok dan masing-masing kelompok menyerahkan hasil diskusinya.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1988. Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru.

Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: PT Eresco.Pateda, Mansoer. 1986. Semantik Leksikal. Ende – Flores: Nusa Indah.

Parera, J.D. 1990. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.

Surana, F.X. 1984. Semantik Bahasa Indonesia. Solo: Tiga Serangkai.

Setiyanto, Edi, Restu Sukesti, Wiwin Erni Siti Nurlina. 1997. Medan Makna Aktivitas Tangan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

lkpp

unha

s