bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...

24
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara yang pernah dijajah sampai berabad-abad lamanya oleh negara-negara penjajah Eropa, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Selain itu, Indonesia juga pernah dijajah oleh salah satu negara Asia yakni negara dengan julukan Negara Matahari Terbit, yaitu Jepang. Kemudian Portugis adalah negara Eropa pertama yang mencapai negeri Indonesia, karena pada zaman itu, Bangsa Portugis telah mencapai kemajuan-kemajuan di bidang teknologi tertentu yang kemudian melibatkan bangsa Portugis dalam salah satu petualangan mengarungi samudera (Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 2005). Kemerdekaan Republik Indonesia yang kita nikmati sekarang adalah hasil dari sebuah proses perjuangan yang dilakukan oleh segenap Bangsa Indonesia. Meskipun tidak ada data akurat mengenai perhitungan dari berapa banyak korban di pihak Indonesia yang gugur dalam gerakan Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia. Perkiraan dari berbagai sumber bahwa militer dan laskar rakyat Indonesia yang tewas dalam peperangan untuk Perjuangan kemerdekaan Indonesia berkisar dari 45.000 jiwa sampai 100.000 jiwa lebih, dan rakyat sipil diperkirakan meninggal dalam kisaran 25.000 atau mungkin mencapai angka 100.000 jiwa atau lebih. Selain itu tentara Inggris (Sekutu) yang berjumlah 1.200 diperkirakan dibunuh dan hilang di Jawa dan Sumatera antara tahun 1945 sampai dengan tahun 1946 termasuk dua orang Jenderal yaitu Brigadir Jenderal Aubertin

Upload: others

Post on 29-Nov-2019

33 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Indonesia adalah negara yang pernah dijajah sampai berabad-abad lamanya

oleh negara-negara penjajah Eropa, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda.

Selain itu, Indonesia juga pernah dijajah oleh salah satu negara Asia yakni negara

dengan julukan Negara Matahari Terbit, yaitu Jepang. Kemudian Portugis adalah

negara Eropa pertama yang mencapai negeri Indonesia, karena pada zaman itu,

Bangsa Portugis telah mencapai kemajuan-kemajuan di bidang teknologi tertentu

yang kemudian melibatkan bangsa Portugis dalam salah satu petualangan

mengarungi samudera (Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 2005).

Kemerdekaan Republik Indonesia yang kita nikmati sekarang adalah hasil

dari sebuah proses perjuangan yang dilakukan oleh segenap Bangsa Indonesia.

Meskipun tidak ada data akurat mengenai perhitungan dari berapa banyak korban

di pihak Indonesia yang gugur dalam gerakan Perjuangan Kemerdekaan Republik

Indonesia. Perkiraan dari berbagai sumber bahwa militer dan laskar rakyat

Indonesia yang tewas dalam peperangan untuk Perjuangan kemerdekaan

Indonesia berkisar dari 45.000 jiwa sampai 100.000 jiwa lebih, dan rakyat sipil

diperkirakan meninggal dalam kisaran 25.000 atau mungkin mencapai angka

100.000 jiwa atau lebih. Selain itu tentara Inggris (Sekutu) yang berjumlah 1.200

diperkirakan dibunuh dan hilang di Jawa dan Sumatera antara tahun 1945 sampai

dengan tahun 1946 termasuk dua orang Jenderal yaitu Brigadir Jenderal Aubertin

2

Walter Southern Mallaby Komandan Brigade 49 Inggris dan Brigadir Jenderal

Robert Guy Loder Symons Komandan Detasemen Artileri Divisi 5 Inggris yang

gugur dalam Palagan 10 Nopember 1945 di Surabaya. Sedangkan untuk Belanda

sendiri sejumlah 5.000 jiwa lebih tentaranya kehilangan nyawa mereka di

Indonesia, korban meninggal dari pihak Belanda termasuk Jenderal Spoor yang

saat itu menjabat sebagai Komandan tertinggi tentara Belanda di Indonesia.

Jumlah tentara Jepang yang gugur juga besar, di area Bandung sendiri

diperkirakan tentara Jepang yang tewas dalam peperangan sebanyak seribu

personil lebih, separuhnya gugur dalam perang, sementara yang lainnya tewas

diamuk oleh rakyat Indonesia. Berbagai pertempuran dahsyat juga terjadi di

berbagai belahan penjuru tanah air sepanjang tahun 1945 sampai dengan tahun

1949 antara lain Pertempuran Medan Area, Pertempuran 5 hari di Palembang,

Perang Konvoi Sukabumi – Cianjur, Bandung Lautan Api, Palagan Ambarawa,

Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta, Pertempuran 5 hari di Semarang,

Palagan 10 Nopember di Surabaya dan sebagainya.

Hal tersebut di atas menggambarkan betapa besarnya pengorbanan baik

jiwa raga maupun harta benda Bangsa Indonesia dalam meraih dan

mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Kegigihan perjuangan dan

pengorbanan para Pejuang Kemerdekaan tersebut tersebar di seluruh Indonesia

bisa kita lihat dan rasakan keabadian kobaran api semangatnya di berbagai

Museum Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah menjadi suatu tonggak

sejarah yang sampai saat ini menjadi salah satu tujuan wisata. Namun sampai saat

3

ini wisata sejarah masih relatif kurang diminati oleh para pengunjung

dibandingkan wisata modern yang saat ini sangat berkembang, seperti wisata

belanja, kuliner, dan wisata alam yang dikemas secara modern (Cristin dan Deny,

2007).

Saat ini Indonesia berupaya untuk mendorong para pelaku bisnis

pariwisata yang berbasis sejarah untuk menjalankan aktivitas bisnisnya sebaik

mungkin. Hal ini berarti Indonesia berupaya mendukung seoptimal mungkin para

pelaku bisnis pariwisata yang berbasis sejarah untuk menawarkan daya tarik

sumber dayanya kepada konsumen global, karena semakin banyak konsumen

global masuk pada suatu negara maka pemasukan devisa akan semakin tinggi.

Fulton (2010) dan Gooroochurn (2009) menyatakan bahwa daerah tujuan

wisata yang kompetitif merupakan suatu indikasi bagi kinerja bisnis pariwisata di

suatu negara. Misalnya Amerika Serikat, Swedia, Norwegia, Finlandia dan

Australia yang memiliki kinerja bisnis pariwisata berbasis sejarah tinggi menjadi

daerah tujuan pariwisata yang paling kompetitif, sementara Burkina Faso, Chad,

Benin, Ethiopia dan Kamboja yang memiliki kinerja bisnis pariwisata berbasis

sejarah yang rendah menjadi tujuan pariwisata yang paling tidak kompetitif.

Fulton dan Gooroochurn juga menyatakan bahwa daerah tujuan pariwisata

berbanding lurus dengan banyaknya objek wisata, sumber daya alam, dan sumber

daya budaya yang dimiliki oleh suatu negara. Sehingga apabila suatu negara

memiliki daerah tujuan pariwisata yang banyak, seharusnya pertumbuhan sektor

pariwisatanya akan tinggi, pendapatan dari wisatawan mancanegara tinggi, serta

investasi yang tinggi dalam sektor pariwisata. Namun pada kenyataannya negara-

4

negara yang memiliki objek wisata berbasis sejarah dan sumber daya budaya yang

banyak, seperti Indonesia, Philipina, Kamboja, Vietnam, Iran, Peru, dan Ekuador

justru kinerja bisnis pariwisatanya masih di bawah Chile, Latvia, Qatar, Taiwan,

dan Uruguay. Padahal negara-negara tersebut memiliki objek wisata berbasis

sejarah, sumber daya alam, dan sumber daya budaya yang relatif lebih sedikit.

Taylor, Rosemann, and Prosser (2000:43) menyatakan bahwa kinerja

bisnis suatu perusahaan akan meningkat apabila perusahaan mampu

meningkatkan daya saing bisnisnya. Daya saing bisnis pariwisata diukur dengan

Travel & Tourism Competitiveness Index yang didasarkan pada empat indikator

yaitu Enabling Environment, T&T Policy and Enabling Conditions,

Infrastructure, dan Natural and Cultural Resources. Enabling environment

mencakup penilaian atas business indicator, safety and security, health and

hygiene, human resources and labor market, dan ICT readiness. T&T Policy and

Enabling Conditions mencakup penilaian atas prioritization of travel & tourism,

international opennes, price competitiveness, dan environmental sustainability.

Infrastructure mencakup penilaian atas air transport infrastructure, ground and

port infrastructure, and tourist service infrastructure. Natural and cultural

resources mengukur penilaian atas aspek natural resources dan cultural resources

and business travel.

Daya saing pariwisata berbasis sejarah untuk negara-negara di dunia

menurut Travel & Tourism Competitiveness Report 2011, menilai bahwa dari 139

negara, Swiss, Jerman dan Perancis memiliki lingkungan yang paling menarik

untuk mengembangkan industri perjalanan dan pariwisata berbasis sejarah diikuti

5

oleh Austria, Swedia, Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Spanyol, dan Singapura

yang berada di peringkat 10 besar. Amerika Serikat masuk di peringkat ke 6

dengan skor 5,3, disusul oleh Inggris di peringkat ke 7 dengan indeks yang sama

yaitu 5,3. Sementara Indonesia berada di peringkat 75 dengan indeks 3,96. Hal ini

menggambarkan bahwa daya saing pariwisata berbasis sejarah di Indonesia masih

ketinggalan jauh dibandingkan negara-negara maju, bahkan di kawasan Asia pun

masih kalah daya saingnya dibandingkan China dan Taiwan.

Negara-negara tersebut dapat dikelompokkan menjadi sebuah matriks

yang terdiri dari empat cluster, yaitu cluster A, B, C, dan D. Pengklasifikasian

cluster tersebut didasarkan pada median yang diperoleh dari indeks daya saing

yang terdapat dalam Travel & Tourism Competitiveness Index 2011. Dari data

tersebut didapatkan median untuk indeks daya saing adalah sebesar 4.14,

sementara median untuk indeks sumber daya manusia, budaya, dan alam adalah

sebesar 4,04. Matriks tersebut menggambarkan pengelompokan berdasarkan

ranking daya saing dibandingkan dengan potensinya. Pada Gambar 1.1 di

halaman berikut ini dijelaskan matriks dari beberapa negara.

6

Potensi Sejarah yang Dimiliki Suatu Negara

Cluster A

Inggris, Amerika Serikat,

Australia, Spanyol,China, Brasil,

Argentina, Rusia

Cluster B

Chile, Latvia, Qatar, Taiwan,

Uruguay

Cluster C

India, Indonesia, Vietnam,

Kamboja, Mesir, Iran, Peru,

Ekuador

Cluster D

Pakistan, Banglades, Burkina

Faso, Chad, Benin,

Ethiopia

Sumber : Diadaptasi dari Blanke & Chiesa, 2011 (dalam AB Susanto, 2013)

Gambar 1.1. Potensi dan Ranking Daya Saing Pariwisata berbasis sejarah

Beberapa Negara di Dunia

Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa negara-negara yang tergabung pada

Cluster C ternyata memiliki potensi sejarah yang besar, seharusnya dapat

mencapai peringkat daya saing pariwisata berbasis sejarah yang tinggi, namun

pada kenyataannya justru memiliki peringkat daya saing yang rendah.

Berdasarkan Travel & Tourism Competitiveness Index 2017, Spanyol

menduduki peringkat teratas global TTCI untuk kedua kalinya, diikuti oleh

Prancis (2), Jerman (3), Jepang (4), Inggris (5), Amerika Serikat (6), Australia (7),

Italia (8), Kanada (9) dan Swiss (10). Eropa dan Eurasia merupakan wilayah

dengan kinerja daya saing T & T terkuat secara keseluruhan, dikarenakan

kekayaan budayanya, infrastruktur layanan pariwisata yang sangat baik,

R

A

N

G

K

I

N

G

D

A

Y

A

S

A

I

N

G

Besar Kecil

Tinggi

Rendah

7

keterbukaan internasional dan juga persepsi keamanan, meskipun terdapat

penurunan persepsi keamanan di Eropa Barat dan Selatan.

TTCI 2017 juga menemukan bahwa beberapa negara berkembang dan

emerging economy (negara dengan ekonomi rendah menuju ke level menengah

dalam pendapatan per kapita) telah berhasil meningkatkan skor kinerja mereka

secara signifikan dibandingkan tahun 2015. World Travel and Tourism Council

(WTTC) memperkirakan bahwa antara 2016 dan 2026, akan terdapat 10 tujuan

negara berkembang dan sedang berkembang yang akan memiliki pertumbuhan

tercepat untuk belanja pariwisata yaitu India, diikuti oleh Angola, Uganda,

Brunei, Thailand, Cina, Myanmar, Oman, Mozambik dan Vietnam. Berikut

adalah gambaran negara-negara yang paling maju dalam tabel berikut ini:

Tabel 1.1 Most-improved countries in the Travel & Tourism Competitiveness

Index2017

Country/Economi Global Rank Change in performance (%) Change in rank

2017 since 2015 since 2015

Japan 4 6,18 +5

Azerbaijan 71 5,98 +13

Tajikistan 107 5,01 +12

Vietnam 67 4,80 +8

Israel 61 4,79 +11

Algeria 118 4,68 +5

Bhutan 78 4,52 +9

Gabon 119 4,47 +5

Korea Rep. 19 4,33 +10

Egypt 74 4,32 +9

Peru 51 3,93 +7

India 40 3,86 +12

Mexico 22 3,86 +8

Chad 135 3,83 +6

Albania 98 3,81 +8

Sumber : Travel & Tourism Competitiveness Index 2017

8

Pada tabel tersebut, dapat dilihat negara-negara dengan pertumbuhan

tertinggi dalam peningkatan indeks daya saing pariwisata, dimana Indonesia tidak

termasuk ke dalam salah satu di antaranya. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia

dinilai belum menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam pertumbuhan

kinerja pariwisatanya.

Padahal pariwisata berperan dalam memperkuat perekonomian suatu

negara menyediakan lapangan kerja dan peluang pengembangan karir, mendorong

pembangunan, memberikan layanan bagi pelanggan, serta meningkatkan derajat

hidup orang banyak. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya pengangguran

dan kemiskinan, mengingat pariwisata adalah industri yang bersifat padat karya

(Eugenio-Martin, Morales, dan Scarpa, 2004). Pengaruh bisnis pariwisata tidak

hanya terbatas pada sektor-sektor yang memiliki kaitan langsung, namun juga

pada sektor-sektor yang tidak terkait secara langsung (Kohli and Eizenga, 2011).

Dampak langsung bisnis pariwisata adalah perubahan yang berkaitan dengan

pengeluaran wisatawan (Pao, 2005). AB Susanto (2013) mencontohkan,

bertambahnya wisatawan yang menginap akan meningkatkan pendapatan industri

perhotelan. Selanjutnya hotel akan merekrut serta membayarkan gaji karyawan.

Sementara dampak tidak langsung mencakup penjualan, pendapatan, dan

penciptaan lapangan kerja sebagai hasil pembelian sekunder yang dilakukan

sektor perhotelan kepada sektor-sektor industri lain di sebuah wilayah.

Melanjutkan contoh sebelumnya, hotel membeli produk dari industri lain,

misalnya industri makanan, guna melayani pelanggannya. Penjualan produk-

produk yang dihasilkan oleh industri terkait ini serta pendapatan dan lapangan

9

kerja yang dihasilkannya berasal dari dampak tidak langsung. Demikian pula

dengan penjualan, pendapatan, dan lapangan kerja yang dihasilkan dari

pengeluaran rumah tangga sebagai hasil yang diperoleh dari pengeluaran

wisatawan. Karyawan hotel dan perusahaan katering, misalnya, akan

membelanjakan gaji yang mereka terima sehingga menghasilkan penjualan,

pendapatan, dan lapangan kerja baru. Demikian seterusnya, inilah yang dikenal

dengan istilah efek pengganda (multipliers effect), yang oleh Archer dalam

Hassan (2011) didefinisikan sebagai perubahan akhir dalam keluaran (output)

dalam perekonomian relatif terhadap perubahan awal dalam pengeluaran

wisatawan dan menjadi sentral bagi setiap pengukuran dampak pariwisata bagi

perekonomian.

Jika merujuk kepada Blanke dan Chiesa (2011), misalnya sektor pariwisata

Indonesia, dalam peraturan dan kebijakan, masih relatif belum memiliki

keunggulan prevalensi terhadap kepemilikan asing dibandingkan dengan Malaysia

dan Singapura, juga belum secara optimal menindaklanjuti keterbukaan dalam

perjanjian layanan udara bilateral. Kegiatan pemasaran yang dilakukan guna

menarik kunjungan wisatawan ke Indonesia ternyata juga masih relatif kurang

efektif dibandingkan kedua negara tetangga tersebut. Dalam hal transportasi

udara, tersedia tempat duduk dengan kapasitas yang memadai bagi para

wisatawan yang berangkat dari berbagai kota di Indonesia, namun pelayanan yang

diberikan masih di bawah pelayanan beberapa maskapai penerbangan asing,

misalnya Singapore Airlines, Cathay Pacific dan Royal Thai Airlines.

10

Sementara semakin banyak negara yang mengakui peran bisnis pariwisata

sebagai penggerak yang dinamis bagi kemajuan ekonomi dan sosial, sehingga

menarik untuk mengkaji aspek–aspek yang berpengaruh pada kinerja museum di

Indonesia, terutama dengan menggunakan pendekatan ilmiah.

Berdasarkan pernyataan di atas, disinyalir bahwa kinerja pariwisata

berbasis sejarah di Indonesia masih relatif rendah. Salah satu destinasi pariwisata

adalah museum sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Sehingga

dapat dikatakan bahwa kinerja museum sejarah masih belum optimal. Kondisi

demikian diduga disebabkan oleh permasalahan belum tingginya citra destinasi

wisata Museum jika dibandingkan dengan destinasi lainnya.

Citra yang efektif menurut Kotler & Keller (2009), akan melakukan tiga

hal, yaitu menyampaikan satu pesan tunggal yang memantapkan karakter produk

dan usulan nilai, menyampaikan pesan ini dengan cara yang berbeda sehingga

tidak dikelirukan dengan pesan serupa dari para pesaing, dan mengirimkan

kekuatan emosional sehingga membangkitkan hati maupun pikiran pembeli.

Sementara itu, masyarakat cenderung belum begitu tertarik untuk mengunjungi

destinasi museum dikarenakan kurangnya informasi mengenai event atau promosi

yang ditawarkan sehingga lebih tertarik untuk mengunjungi destinasi wisata

lainnya. Sementara itu, citra memiliki beberapa elemen, seperti yang dijelaskan

oleh Kotler & Keller (2009) yaitu meliputi lambang, ruang fisik, event dan media.

Berkaitan dengan citra museum, Ketua Departemen Arkeologi Fakultas

Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia yang juga seorang Museolog; Kresno

Yulianto (2012), menyatakan ada banyak aspek yang perlu disiapkan, mulai fisik,

11

manajemen, program, jaringan, hingga pencitraan. Pandangan statis tentang

museum ini harus diubah menjadi dinamis. Museum harus dicitrakan sebagai

rempat rekreasi reresentatif dan menyenangkan, di samping tempat menambah

ilmu pengetahuan.

Penelitian Alexander Joseph Ibnu Wibowo (2015) tentang layanan salah

satu museum di Jakarta menggambarkan bahwa citra museum belum tinggi di

masyarakat, sehingga Alexander Joseph Ibnu Wibowo (2015:33) berpendapat

bawah pengelola museum perlu membangun kembali citra negatif museum

menjadi positif. Museum yang sering dicitrakan dengan istilah “kuno, tua, kotor,

berdebu, dan panas” secara perlahan perlu digeser menjadi “modern, muda,

bersih, dan dingin”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa promosi juga

berguna untuk membenahi citra museum menjadi “modern, muda, bersih, dan

dingin”, sehingga mampu memperbaiki persepsi kualitas layanan museum secara

keseluruhan, namun promosi yang dilakukan selama ini dinilai belum efektif,

sehingga banyak masyarakat yang belum menyadari keberadaan museum.

Pengelola museum sebaiknya sering meng-update foto-foto museum ke berbagai

media sosial dan mempromosikan museum melalui media, dan menyelenggarakan

berbagai event.

Di sisi lain, Ahmad Sartono (Budayawan Indonesia dan Narasumber pada

Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia) dalam suatu diskusi

bersama dengan Penulis (2017) mengatakan bahwa citra dan kreasi nilai sangat

berpengaruh terhadap kinerja museum. Selain itu, penelitian sebelumnya juga

menunjukkan bahwa citra berkaitan dengan dengan Kinerja museum. Penelitian

12

Pop dan Borza (2016) berkenaan dengan hubungan antara kualitas dan

keberlanjutan, menyimpulkan bahwa setiap perbaikan kualitas berdampak positif

pada keberlanjutan budaya dan sosial museum. Sementara itu, faktor-faktor yang

mempengaruhi kualitas museum dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori:

faktor yang menentukan kualitas museum dari sudut pandang klien / pengunjung

dan dari sudut pandang staf, dan faktor - faktor yang mempengaruhi kualitas

museum terlepas dari persepsi pengunjung atau staf. Dengan mempertimbangkan

komponen sosial keberlanjutan, serta fakta bahwa kualitas terkait langsung

dengan kepuasan konsumen, dapat disimpulkan bahwa setiap proses untuk

menilai keberlanjutan suatu museum harus mencakup, antara lain, pengukuran

kualitas produk, layanan dan pengalaman yang ditawarkan masing-masing

museum.

Permasalahan lain yang diduga berkaitan dengan belum tingginya kinerja

Museum Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Indonesia, adalah

berkenaan dengan implementasi penciptaan nilai yang belum optimal. Kotler dan

Keller (2012:79) berpendapat bahwa untuk mengelola peluang nilai, perusahaan

memerlukan keterampilan penciptaan nilai yang mencakup : pengidentifikasian

manfaat pelanggan berdasarkan sudut pandang pelanggan, kemudian

menggunakan kompetensi intinya yang berasal dari domain bisnisnya, dan

kemudian memilih dan mengatur mitra bisnis dari jaringan kolaborasinya. Untuk

menciptakan manfaat pelanggan, maka pemasar harus memahami apa yang

dipikirkan, diinginkan, dilakukan, dan dikhawatirkan oleh pelanggan dengan cara

meneliti siapa yang dibanggakan oleh pelanggan, dengan siapa mereka

13

berinteraksi, dan siapa yang mampu mempengaruhi mereka. Namun demikian,

fenomena menunjukkan tampaknya pihak Museum belum optimal dalam

mengembangkan domain bisnisnya, maupun dalam melakukan kerjasama dengan

pihak institusi pendidikan atau komunitas-komunitas di masyarakat yang concern

dengan aspek budaya dan sejarah.

Salah satu contoh masih kurangnya penciptaan nilai oleh pengelola

museum, tergambar pada hasil penelitian Alexander Joseph Ibnu Wibowo (2015)

(2015:27) tentang kondisi salah satu museum di Jakarta, dimana pengelola

museum tidak memasang papan penunjuk untuk menegaskan lokasi pembelian

tiket dan penitipan barang. Pengelolaan loket terlihat kurang profesional dan

terkesan seadanya. Bagian loket hanya dilengkapi sarana pendukung berupa

sebuah meja kayu sederhana dengan seorang petugas. Di samping loket, tempat

penitipan barang juga tidak dikelola secara profesional karena tidak menyediakan

rak (loker) penitipan barang. Pengelola museum hanya menyediakan area sempit

di belakang loket untuk penitipan barang di mana pengunjung dipersilakan

menaruh barang bawaannya di lantai. Akibatnya, tampak banyak tas titipan

pengunjung yang berserakan di lantai. Hal ini sangat tidak layak dan kontras

dengan bangunan gedung museum yang terkesan megah, kokoh, dan modern.

Pengunjung pun merasa tidak nyaman dan khawatir dengan keamanan barang-

barang mereka. Hal itu membuat rendahnya nilai yang diperoleh pengunjung dari

kunjungan ke museum tersebut.

Sementara itu, Anna Christy Naomi, Aktivis Kelompok Pecinta Museum

Indonesia (KPMI) juga dalam diskusi mengatakan kepada penulis bahwa jelas

14

dirasakan akan adanya pengaruh dari citra dan kreasi nilai terhadap kinerja

museum (2017). Penelitian lain juga menunjukkan adanya peranan penciptaan

nilai museum dalam mendukung kinerja organisasi. Hal itu seperti yang

dibuktikan dalam hasil penelitian Zorloni (2012) yang menyajikan kerangka

teoritis untuk menilai penciptaan nilai di sektor museum, bersamaan dengan bukti

kurangnya metode saat ini untuk mengevaluasi kinerja museum seni. Dengan

menggunakan data yang dikumpulkan dalam wawancara mendalam dengan para

eksekutif museum di London, New York dan Washington, diidentifikasi sembilan

area yang sangat penting bagi keberhasilan sebagian besar museum yaitu :

melestarikan koleksi, memperkuat penelitian, meningkatkan keterlibatan publik,

memaksimalkan kolaborasi, melayani misi melalui keunggulan organisasi,

menarik dan mengembangkan kapasitas staf, meningkatkan penelitian tentang

pesaing, memajukan tata kelola dan akuntabilitas museum, dan mengelola serta

meningkatkan dukungan finansial.

Aspek lain yang diduga berdampak pada belum optimalnya kinerja

Museum Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia adalah berkenaan dengan

kapabilitas unik yang belum dikembangkan dengan baik. Hassan (2011)

menyatakan bahwa apabila potensi yang dimiliki suatu negara berupa sejarah,

SDM, sumber daya budaya, dan sumber daya alam yang dimiliki suatu negara

dimanfaatkan dengan baik menjadi tujuan wisata pada negara tersebut, maka akan

meningkatkan peringkat daya saing pariwisata negara tersebut. Sementara itu,

menurut pendapat Pearce dan Robinson (2015:166), berdasarkan RBV, setiap

perusahaan berbeda secara fundamental karena memiliki sekumpulan sumber

15

daya yang unik yang terdiri dari aset berwujud, aset tidak berwujud, serta

kapabilitas organisasi untuk memanfaatkan aset – aset tersebut.

Upaya pemerintah untuk mengelola aset museum adalah dengan

menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2015 tentang Museum.

Namun demikian, Sumber Daya Manusia (SDM) permuseuman ternyata belum

memadai, ketersediaan tenaga ahli masih terbatas. Kasubdit Permuseuman Ditjen

Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sri Patmiarsi

Retnaningtyas, M.Hum. dalam suatu diskusi bersama dengan penulis di ruang

meeting Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman tanggal 12

Februari 2018 menjelaskan bahwa tenaga ahli yang dibutuhkan bermacam-

macam; mulai dari bidang registrasi, kurator, konservator, edukator, penata

pameran, hingga promosi. Kenyataannya tidak semua museum memiliki SDM (di

enam bidang) itu, terutama museum di daerah, ada yang tidak punya humas

(promosi) dan kurator, padahal ini sangat penting. Selain itu, berkaitan dengan

anggaran pengelolaan, Pemerintah Daerah/ Pemerintah Provinsi, terutama di

daerah-daerah, yang masih memandang bahwa museum adalah satu tempat yang

memang membuang uang. Sementara di sisi lain pihak swasta tidak banyak yang

fokus membantu di bidang sejarah dan budaya.

Fenomena lain terungkap dalam hasil penelitian Alexander Joseph Ibnu

Wibowo (2015) yang meneliti tentang layanan salah satu museum di Jakarta, yang

mana lokasi museum sangat strategis karena berada di pusat kota Jakarta dan

berada dekat dengan monumen nasional (Monas), yang merupakan salah satu

objek wisata terkenal di Jakarta. Selain itu, museum ini berada tepat di samping

16

jalan raya utama, sehingga memberikan kemudahan bagi siapa pun yang ingin

berkunjung. Namun demikian, orang yang belum pernah mengunjungi mungkin

akan kesulitan menemukan museum ini karena tidak adanya petunjuk lokasi yang

jelas. Apalagi, museum tidak memasang nama museum di depan gedung museum

tersebut. Selain itu, pendingin ruangan juga kurang berfungsi dengan baik, lobi

yang hanya menyediakan sedikit tempat duduk, padahal banyak pengunjung yang

kelelahan dan ingin duduk santai setelah berjalan menelusuri berbagai koleksi

museum. Pengunjung yang berusia lanjut dan anak-anak sangat terganggu dengan

kekurangan layanan ini, akibatnya banyak pengunjung yang terpaksa duduk di

lantai untuk beristirahat.

Berkaitan dengan kapabilitas unik dari segi pembiayaan menunjukkan

masih adanya keterbatasan. Hasil penelitian Suraya Yoyok (2016:2) menunjukkan

bahwa museum milik negara pada umumnya, cenderung bersikap “pasif‟ dengan

mengandalkan anggaran pemerintah yang tentu saja terbatas pada kewajiban

terhadap perawatan dan penyimpanan koleksi berupa tinggalan materi yang

memiliki nilai budaya atau identitas bangsa sesuai dengan Undang- Undang No.

11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Di sisi lain, Kohli and Eizenga (2011:3) menyatakan, sebuah industri akan

meraih keunggulan bersaing apabila lokasi tempat mereka menjalankan bisnisnya

memungkinkan terciptanya akumulasi aset dan keterampilan dengan cara yang

cepat, yang kadang-kadang dapat diwujudkan melalui komitmen yang besar serta

didukung oleh peluang yang ada.

Aspek lain yang diduga berkaitan dengan kondisi yang disampaikan di

17

atas, adalah berkaitan dengan belum optimalnya orientasi pasar yang

dikembangkan oleh pihak pengelola Museum Sejarah Perjuangan Kemerdekaan

Republik Indonesia. Adapun pengertian orientasi pasar menurut Slaver dan

Narver (1990:21) adalah budaya organisasi yang secara efektif mampu

menciptakan perilaku yang diperlukan untuk penciptaan nilai pelanggan yang

unggul dan kinerja bisnis yang berkelanjutan. Model konseptual dari orientasi

pasar mencakup tiga dimensi yaitu: 1) orientasi pelanggan; 2) orientasi pesaing;

dan 3) koordinasi antarfungsi. Orientasi pelangan dan orientasi pesaing mencakup

semua aktivitas yang dilibatkan dalam memperoleh informasi tentang pembeli dan

pesaing pada pasar yang dituju dan tersebar melalui bisnis. Koordinasi

antarfungsi didasarkan pada informasi pelanggan dan pesaing yang terdiri dari

usaha bisnis yang terkoordinasi. Sementara itu, hasil pengamatan menunjukkan

bahwa pihak pengelola kurang mampu merespons dengan baik potensi pasar

berbasis sejarah, dimana pengelola kurang berperan cukup kuat dalam

penyusunan kebijakan serta implementasinya. Seperti yang disampaikan

sebelumnya, Indonesia memiliki potensi sejarah yang besar, seharusnya dapat

mencapai peringkat daya saing pariwisata berbasis sejarah yang tinggi, namun

pada kenyataannya justru memiliki peringkat daya saing yang rendah yaitu

peringkat ke-74 di dunia menurut Travel & Tourism Competitiveness Report

2011.

Sementara itu, hasil penelitian Camarero & Garido (2008) menunjukkan

dukungan dari orientasi pasar terhadap kinerja museum. Mereka mengukur kinerja

museum berdasarkan dua dimensi yaitu kinerja sosial dan kinerja ekonomi.

18

Berdasarkan analisis empiris terhadap 182 museum di Spanyol, ditemukan bahwa

kinerja sosial museum berhubungan dengan kuat dengan orientasi pasar dan

orientasi produk, sementara kinerja ekonomi bergantung terutama pada hasil

sosial dan manajemen yang terkoordinir.

Atas dasar latar belakang tersebut di atas, menarik dikaji ke dalam suatu

penelitian mengenai pengaruh orientasi pasar dan kapabilitas unik terhadap

penciptaan nilai dan citra serta implikasinya pada kinerja Museum Sejarah

Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia.

1.2 Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah

1.2.1 Identifikasi Masalah

Saat ini Indonesia berupaya untuk mendorong para pelaku bisnis

pariwisata yang berbasis sejarah untuk menjalankan aktivitas bisnisnya sebaik

mungkin. Indonesia memiliki potensi sejarah yang besar, seharusnya dapat

mencapai peringkat daya saing pariwisata berbasis sejarah yang tinggi, namun

pada kenyataannya justru memiliki peringkat daya saing yang rendah. Peringkat

indeks daya saing pariwisata berbasis sejarah Indonesia, menurut Travel &

Tourism Competitiveness Report 2011, menempati peringkat ke 74 di dunia.

Padahal pariwisata berperan dalam memperkuat perekonomian suatu negara

menyediakan lapangan kerja dan peluang pengembangan karir, mendorong

pembangunan, memberikan layanan bagi pelanggan, serta meningkatkan derajat

hidup orang banyak. Sementara itu menurut Travel & Tourism Competitiveness

Report 2017, diantara negara-negara dengan pertumbuhan indeks daya saing

tertinggi, Indonesia juga belum termasuk salah satu di antaranya, sehingga

19

disinyalir bahwa kinerja pariwisata berbasis sejarah di Indonesia masih relatif

rendah. Salah satu destinasi pariwisata adalah museum sejarah perjuangan

kemerdekaan Republik Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa kinerja

museum sejarah masih belum optimal.

Kondisi demikian diduga disebabkan oleh permasalahan belum tingginya

citra destinasi wisata Museum jika dibandingkan dengan destinasi lainnya.

Masyarakat cenderung belum begitu tertarik untuk mengunjungi destinasi

museum dikarenakan kurangnya informasi mengenai event atau promosi yang

ditawarkan sehingga lebih tertarik untuk mengunjungi destinasi wisata lainnya.

Disamping itu, penciptaan nilai belum optimal dikembangkan oleh pihak

museum. Pihak Museum belum optimal dalam mengembangkan domain

bisnisnya, maupun dalam melakukan kerjasama dengan pihak institusi pendidikan

atau komunitas-komunitas masyarakat yang concern dengan aspek budaya dan

sejarah.

Aspek lain yang diduga berdampak pada belum optimalnya kinerja

Museum Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia adalah berkenaan

dengan kapabilitas unik yang belum dikembangkan dengan baik dan belum

optimalnya orientasi pasar yang dikembangkan oleh pihak pengelola Museum

Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia. Selain itu, pihak pengelola

kurang mampu merespon dengan baik potensi pasar berbasis sejarah, dimana

pengelola kurang berperan cukup kuat dalam penyusunan kebijakan serta

implementasinya. Hal itu mengindikasikan belum optimalnya pengembangan

orientasi pasar oleh pihak pengelola museum.

20

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka dapat diidentifikasi

permasalahan di mana fakta masalah adalah masih rendahnya kinerja Museum

Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia. Adapun

variabel penyebab fakta masalah tersebut diduga disebabkan karena belum

optimalnya penciptaan nilai dan citra. Kedua variabel tersebut tergolong ke dalam

kriteria variabel intervening, yaitu variabel yang secara teoretis mempengaruhi

hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen menjadi

hubungan tidak langsung dan tidak dapat diamati atau diukur (Trucman, 1988,

dalam Sugiyono, 2009:41).

Dugaan penyebab fenomena tersebut, juga dipengaruhi oleh masih belum

optimalnya pengembangan orientasi pasar dan kapabilitas unik. Kedua variabel

tersebut termasuk ke dalam kriteria variabel eksogen, yaitu variabel yang

mempengaruhi variabel endogen tetapi ia ditentukan oleh faktor-faktor yang

berada di luar teori tersebut (Syamsuddin Jafar,1993:71).

Sehingga dalam penelitian ini, patut diduga bahwa orientasi pasar dan

kapabilitas unik adalah eksogen yang mampu mempengaruhi kinerja Museum

Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia jika melalui penciptaan

nilai dan citra sebagai variabel intervening, sedemikian rupa sehingga formulasi

komposisi variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel eksogen (orientasi

pasar dan kapabilitas unik) dan dua variabel intervening (penciptaan nilai dan

citra) serta satu variabel endogen (kinerja Museum Sejarah Perjuangan

Kemerdekaan Republik Indonesia).

21

1.2.2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah

meliputi aspek:

a. Variabel penelitian :

Orientasi pasar

Kapabilitas Unik

Penciptaan Nilai

Citra

Kinerja Museum Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia

b. Unit analisis dalam penelitian ini adalah Museum Sejarah Perjuangan

Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia dengan unit pengamatan

adalah pihak pengelola dari Museum tersebut.

1.2. 3. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, maka terungkap rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Apakah ada pengaruh Orientasi Pasar terhadap Penciptaan Nilai Museum

Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia?

2. Apakah ada pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Penciptaan Nilai Museum

Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia?

3. Apakah ada pengaruh Orientasi Pasar terhadap Citra Museum Sejarah

Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia?

4. Apakah ada pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Citra Museum Sejarah

Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia?

22

5. Apakah ada pengaruh Orientasi Pasar terhadap Kinerja Museum Sejarah

Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia?

6. Apakah ada pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Kinerja Museum Sejarah

Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia?

7. Apakah ada korelasi antara Penciptaan Nilai dengan Citra Museum Sejarah

Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia?

8. Apakah ada pengaruh Penciptaan Nilai terhadap Kinerja Museum Sejarah

Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia?

9. Apakah ada pengaruh Citra terhadap Kinerja Museum Sejarah Perjuangan

Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia?

10. Apakah ada pengaruh Orientasi Pasar terhadap Kinerja Museum Sejarah

Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia melalui

Penciptaan Nilai?

11. Apakah ada pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Kinerja Museum Sejarah

Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia melalui

Penciptaan Nilai?

12. Apakah ada pengaruh Orientasi Pasar terhadap Kinerja Museum Sejarah

Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia melalui Citra?

13. Apakah ada pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Kinerja Museum Sejarah

Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia melalui Citra?

23

1.3. Tujuan Penelitian

Atas dasar pengungkapan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini

bertujuan untuk menganalisis, menggali, dan mengkaji data dan informasi yang

berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Pengaruh Orientasi Pasar terhadap Penciptaan Nilai Museum Sejarah

Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia.

2. Pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Penciptaan Nilai Museum Sejarah

Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia.

3. Pengaruh Orientasi Pasar terhadap Citra Museum Sejarah Perjuangan

Kemerdekaan Republik Indonesia.

4. Pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Citra Museum Sejarah Perjuangan

Kemerdekaan Republik Indonesia.

5. Pengaruh Orientasi Pasar terhadap Kinerja Museum Sejarah Perjuangan

Kemerdekaan Republik Indonesia.

6. Pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Kinerja Museum Sejarah Perjuangan

Kemerdekaan Republik Indonesia.

7. Korelasi antara Penciptaan Nilai dengan Citra Museum Sejarah Perjuangan

Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia.

8. Pengaruh Penciptaan Nilai terhadap Kinerja Museum Sejarah Perjuangan

Kemerdekaan Republik Indonesia.

9. Pengaruh Citra terhadap Kinerja Museum Sejarah Perjuangan Kemerdekaan

Republik Indonesia.

24

10. Pengaruh Orientasi Pasar terhadap Kinerja Museum Sejarah Perjuangan

Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia melalui Penciptaan Nilai.

11. Pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Kinerja Museum Sejarah Perjuangan

Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia melalui Penciptaan Nilai.

12. Pengaruh Orientasi Pasar terhadap Kinerja Museum Sejarah Perjuangan

Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia melalui Citra.

13. Pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Kinerja Museum Sejarah Perjuangan

Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia melalui Citra.

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai

bahan masukan bagi pengelola Museum Sejarah Perjuangan Kemerdekaan

Republik Indonesia serta berguna bagi semua pihak yang bergerak dalam bisnis

praktis yang terkait dalam pemahaman Orientasi Pasar, Kapabilitas Unik,

Penciptaan Nilai, Citra, dan Kinerja Museum Sejarah Perjuangan Kemerdekaan

Republik Indonesia.

1.4.2 Kegunaan Teoretis (Kegunaan Akademik)

Diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu

manajemen bisnis, khususnya dalam teori Manajemen Stratejik, dan diharapkan

juga dapat mendorong peneliti-peneliti berikutnya untuk dapat mengembangkan

lebih lengkap lagi terutama yang berhubungan dengan Orientasi Pasar,

Kapabilitas Unik, Penciptaan Nilai, Citra, dan Kinerja Museum Sejarah

Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia.