bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...

22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menciptakan sistem pemerintahan yang baik (Good Governanace) sesungguhnya merupakan hal yang sangat penting dalam upaya membangun kondisi bangsa yang sedang mengalami proses pembangunan diberbagai bidang. Oleh sebab itu, hal yang harus tetap dikembangkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah adalah bagaimana menciptakan suatu manajemen pemerintahan yang berpihak kepada rakyat melalui penyediaan public goods and services. Perubahan paradigma pemerintahan dari Rulling driven ke Mission driven dan adanya pergeseran tuntutan pelayanan publik kearah yang lebih transparan, partisipatif, dan akuntabel merupakan fenomena yang berkembang belakangan ini. Keinginan untuk perubahan tersebut bermuara dari meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang dipicu oleh meningkatnya pengetahuan serta semakin mandirinya media massa yang didukung oleh teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih. Fenomena yang berkembang lebih lanjut adalah bahwa masyarakat menuntut adanya program kerja yang lebih bertanggung jawab dari pemerintah. Itulah sebabnya kemudian pemerintah termasuk pemerintah daerah dituntut memiliki perangkat organisasi atau perangkat daerah yang mampu menjawab berbagai tuntutan dan kebutuhan publik terhadap layanan yang dapat dipertanggungjawabkan dari beragam aspek.

Upload: dangkhanh

Post on 24-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Menciptakan sistem pemerintahan yang baik (Good Governanace)

sesungguhnya merupakan hal yang sangat penting dalam upaya membangun kondisi

bangsa yang sedang mengalami proses pembangunan diberbagai bidang. Oleh

sebab itu, hal yang harus tetap dikembangkan oleh pemerintah, baik pusat maupun

daerah adalah bagaimana menciptakan suatu manajemen pemerintahan yang

berpihak kepada rakyat melalui penyediaan public goods and services.

Perubahan paradigma pemerintahan dari Rulling driven ke Mission driven

dan adanya pergeseran tuntutan pelayanan publik kearah yang lebih transparan,

partisipatif, dan akuntabel merupakan fenomena yang berkembang belakangan ini.

Keinginan untuk perubahan tersebut bermuara dari meningkatnya kesadaran

masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang dipicu oleh

meningkatnya pengetahuan serta semakin mandirinya media massa yang didukung

oleh teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih. Fenomena yang

berkembang lebih lanjut adalah bahwa masyarakat menuntut adanya program kerja

yang lebih bertanggung jawab dari pemerintah. Itulah sebabnya kemudian

pemerintah termasuk pemerintah daerah dituntut memiliki perangkat organisasi

atau perangkat daerah yang mampu menjawab berbagai tuntutan dan kebutuhan

publik terhadap layanan yang dapat dipertanggungjawabkan dari beragam aspek.

2

Philippidou et al (2004) menjelaskan adanya pergeseran struktur birokrasi menjadi

new management public.

Sejalan dengan konteks di atas, maka kehadiran Organisasi Perangkat

Daerah (OPD) di lingkungan pemerintah kabupaten/kota yang handal dan mampu

menterjemahkan setiap visi dan misi organisasi menjadi sebuah keharusan yang

tidak bisa diabaikan. Urgensitas visi dan misi Organisasi Perangkat Daerah (OPD)

tersebut, diilhami oleh peran dan fungsinya sebagai leading sector dalam

penyelenggaraan administrasi pemerintahan serta program dan kegiatan pemerintah

daerah. Selain itu, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) juga memiliki peran dan

fungsi sebagai lembaga atau institusi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangan pemerintah daerah sebagaimana di amanatkan dalam

Undang-undang Nomor 23 tahun 2014. Oleh sebab itu, Organisasi Perangkat

Daerah (OPD) memiliki posisi yang sangat strategis dalam mewujudkan

penyelenggaraan manajemen pemerintahan daerah yang baik (good governance)

sesuai dengan visi dan misinya.

Hadirnya manajemen pemerintahan daerah yang baik tersebut, salah satunya

tercermin dari tingginya akuntabilitas pemerintah daerah dalam menjalankan

tugasnya sesuai dengan program atau rencana yang telah ditetapkan. Tuntutan

terhadap akuntabilitas belum menyentuh beragam profesi dalam struktur

masyarakat padahal akuntabilitas telah menjadi paradigma dalam sistem tata kelola

modern seperti dikemukakan Dubnick (2012). Hal yang sama dinyatakan Frey et al

(2013) bahwa salah satu kelemahan dalam membangun akuntabilitas adalah

kurangnya landasan teori yang memadai dari sistem pengelolaan publik. Kajian

tentang akuntabilitas di sektor publik menjadi hal penting sebagai bentuk

3

perkembangan ilmu manajemen. Alvesson dan Wilmot, (2003) menjelaskan bahwa

studi manajemen dalam perspektif kritis telah mengarahkan penelitian-penelitian

pada persoalan-persoalan kemasyarakatan. Hasil penelitian menjadi landasan

orientasi dalam mewujudkan akuntabilitas publik sebagai salah satu aspek penting

dalam tata kelola lembaga publik. Kecenderungan penelitian yang lebih kritis dan

diperuntukan bagi masyarakat merupakan sebuah fenomena umum sebagai wujud

nilai aksiologi dalam ilmu manajemen. Pernyataan Alvesson dan Wilmot (2003)

tampaknya masih relevan tentang penelitian manajemen secara kritis sebagai hasil

refleksi bahwa ilmu tidak bebas nilai.

Penelitian tentang akuntabilitas di manajemen publik lebih fokus pada

akuntabilitas berdasarkan aspek keuangan. Monfardini (2013) mengemukakan

akuntabilitas dibangun atas budaya. Agyemang dan Ryan (2013) mengemukakan

akuntabilitas dengan sistem manajemen kinerja. Ferry & Murphy (2017)

mengemukakan akuntabilitas dihubungkan dengan keuangan dan transparansi dan

lebih fokus pada akuntabilitas keuangan. Penelitian akuntabilitas lebih banyak

didasarkan pada disiplin yang berkaitan dengan akuntansi.

Tinjauan studi manajemen dalam perspektif kritis merupakan sebuah telaah

mendalam yang perlu dilakukan guna menghasilkan penelitian yang relevan dengan

kebutuhan masyarakat. Sejalan dengan konteks tersebut, Finer (1941) menjelaskan

beberapa ciri pemerintahan yang akuntabel di antaranya : mampu menyajikan

informasi penyelenggaraan pemerintah secara terbuka, cepat, dan tepat kepada

masyarakat; mampu memberikan pelayanan yang memuaskan bagi publik; mampu

menjelaskan dan mempertanggungjawabkan setiap kebijakan Publik secara

proposional; mampu memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses

4

pembangunan dan pemerintahan; adanya sasaran bagi publik untuk menilai kinerja

(performance) pemerintah. Masyarakat dapat menilai derajat pencapaian

pelaksanaan program/kegiatan pemerintah dengan adanya pertanggungjawaban

publik.

Oleh karena itu Ellwood (1993) menjelaskan empat dimensi akuntabilitas

yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor publik, yaitu: pertama, akuntabilitas

kejujuran dan akuntabilitas hukum. Akuntabilitas kejujuran terkait dengan

penghindaran terhadap penyalahgunaan jabatan, sedangkan akuntabilitas hukum

terkait dengan jaminan terhadap kepatuhan hukum dan peraturan. Kedua

akuntabilitas proses. Akuntabilitas proses terkait dengan prosedur yang digunakan

dalam melaksanakan tugas. Akuntabilitas ini tercermin dari pemberian pelayanan

publik yang cepat, responsif, dan murah. Ketiga, akuntabilitas program.

Akuntabilitas program ini terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang telah

ditetapkan tercapai atau tidak. Kemudian apakah program yang telah ditetapkan

dapat dicapai secara efektif atau tidak. Keempat, akuntabilitas kebijakan.

Akuntabilitas kebijakan ini terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah, baik

pusat maupun daerah terhadap DPR/DPRD dan masyarakat. Free dan Radcliffe

(2009) menyatakan bahwa di sektor pemerintah akuntabilitas dicapai melalui audit

dan pengendalian keuangan, menciptakan standar keuangan, memelihara

pengembangan profesional, dan pengawasan pengeluaran pemerintah. Andre (2010)

menyatakan dimensi akuntabilitas di lembaga publik yaitu misi, desain organisasi,

hasil organisasi, dan proses umpan balik informasi. Dubnick (2012) menekankan

norma dan nilai sebagai landasan untuk membangun akuntabilitas.

5

Akuntabilitas bagi lembaga pemerintah memiliki kedudukan startegis.

Akuntabilitas menggambarkan keberhasilan pemerintah dalam mewujudkan

keadilan sebagai kebajikan utama dengan pertanggungjawaban. Christensen dan

Laegreid (2015) menyampaikan ada saling hubungan antara akuntabilitas, reformasi

administrasi dan Kinerja. Omotoso (2014) menegaskan menjalankan kekuasaan dan

wewenang dalam kepercayaan harus didasarkan pada akuntabilitas. Minja (2013)

menegaskan bahwa Akuntabilitas sangat penting sebagai sarana untuk

meningkatkan kualitas pelayanan publik. Kurangnya akuntabilitas telah

menyebabkan terjadinya kehilangan kepercayaan pada pemerintahan yang dapat

berakhir dengan penggulingan kekuasaan pemerintah. Slaughter (2013) menjelaskan

bagaimana akuntabilitas dapat mempengaruhi legitimasi pemerintah negara-negara

maju. Artinya bahwa akuntabilitas bersifat multidimensional dan berfungsi strategis

bagi kehidupan organsiasi. Tanpa ada akuntabilitas maka sulit mencapai kinerja

organisasi yang optimal. Terjadi tren peningkatan jumlah laporan atas pelayanan

publik yang menunjukan kurangnya pertanggungjawaban atas layanan publik.

6

Gambar 1.1

Data Penyelesaian Laporan Masyarakat Triwulan I Tahun 2017

( Sumber : laporan Ombudsman 2017)

Pada tahun 2016, Ombusman menyatakan pelayanan publik di Indonesia

masih jauh dari harapan masyarakat dengan ditandai oleh pelayanan publik yang

tidak transparan, diskriminatif, berbelit-belit, dan kurang menunjukan empati pada

kebutuhan masyarakat. Pemerintah daerah adalah lembaga publik yang memiliki

persentase Sebaran Dugaan Maladministrasi selama periode tahun 2017. Sebesar

23.9 % dugaan penundaan layanan berlarut, 27.3 % tidak memberikan layanan dan

18.1 terjadi penyimpangan prosedur. Menurut Ringkasan eksekutif (2016) berada di

zona kuning seperti dapat dilihat dibawah ini

7

Penilaian terhadap pemenuhan komponen standar pelayanan di 33

pemerintah provinsi (pemprov) menunjukkan bahwa sebanyak 39,39% atau 13

pemprov masuk dalam zona hijau dengan predikat kepatuhan tinggi, 39,39% atau 13

pemprov masuk dalam zona kuning dengan predikat kepatuhan sedang dan 21,21%

atau 7 pemprov masuk dalam zona merah dengan predikat kepatuhan rendah.

Tingkat kepatuhan tinggi di tingkat Pemerintah Provinsi pada tahun 2016 yang

mencapai 39,39 % ini masih jauh dari capaian target sasaran RPJMN 2015 – 2019

dalam hal mendorong Kepatuhan Terhadap UU No. 25 Tahun 2009 Tentang

Pelayanan Publik, dengan target capaian tahun 2016 sebesar 70 %.

Masing-masing provinsi memiliki nilai berbeda. Jawa Barat termasuk

provinsi dengan nilai sedang. Menurut data yang disampaikan, hanya satu kabupaten

Gambar 1.2

8

di Jawa Barat yang mencapai zona hijau, sisanya masuk di zona kuning dan merah

seperti dapat dilihat pada gambar berikut:

Hasil survey awal yang dilakukan pada Organisasi Perangkat Daerah (OPD)

Kabupaten/Kota di Jawa Barat, masalah yang terdeteksi tercermin dari beberapa

indikasi yaitu : pertama, dari sisi akuntabilitas kejujuran hukum ditemukan fakta

masih adanya sebagian pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Barat, khususnya

di lingkungan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang belum sepenuhnya

mentaati aturan hukum yang telah ditetapkan, seperti munculnya tindak

penyimpangan dalam melaksanakan tugasnya. Kedua, dari sisi akuntabilitas proses

ditemukan fenomena masih rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan

Gambar 1.3

9

oleh sebagian Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

Hal ini tercermin dari masih menguatnya keluhan publik seputar layanan yang

diberikan aparat di lingkungan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), seperti

pelayanan yang lambat, kurang responsive dan kurang jelasnya waktu pelayanan

yang diberikan. Ketiga, dari sisi akuntabilitas program ditemukan fenomena masih

terjadinya disparitas (gap) antara visi dan misi pemerintah daerah dengan

implementasi program Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang telah diamanatkan

dalam resntra pemerintah daerah. Dalam konteks tersebut, masih ditemukan adanya

beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten/Kota yang menyusun

program kerja secara kurang professional dan cenderung bersifat pragmatis. Dengan

perkataan lain, penyusunan program kerja tersebut “hanya didasarkan” pada

program kerja tahun sebelumnya. Padahal, idealnya sebuah program kerja yang

akan didesain dilandasi oleh suatu kajian yang sistematis dan komprehensif seraya

mempertimbangkan fakta empiris, kebutuhan publik, peluang, tantangan dan

kendala yang mungkin dihadapi oleh pemerintah daerah.

Berkenaan dengan permasalahan SDM aparatur pelayanan sebagaimana

tersebut di atas, Sofian Effendi (2010) mengidentifikasi rendahnya kapasitas SDM

pelayanan publik di Kabupaten/Kota. Dari pelayanan investasi, kesehatan dan

pendidikan dapat dilihat bahwa kapasitas SDM pelayanan publik masih rendah.

Kapasitas SDM pelayanan yang terendah ada dalam pelayanan investasi sebanyak

55,04%, kemudian yang kedua adalah pelayanan kesehatan 36,77% dan pelayanan

pendidikan 36,5%. SDM termasuk pada level pimpinan belum sesuai dengan

kualifikasi yang diperlukan guna mengoptimalkan fungsi layanan publik..

10

Penguatan atas masalah di atas, tercermin pula dari hasil penilaian

akuntabilitas oleh Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yang

memperlihatkan hasil sebagaimana dapat dilihat dari tabel sebagai berikut :

Tabel 1.1

Hasil Penilaian Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Daerah

di Jawa Barat Oleh Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara

dan Reformasi Birokrasi Tahun 2016

No Kabupaten/Kota Nilai

1 Kab. Bandung CC

2 Kab. Bandung Barat C

3 Kab. Bekasi CC

4 Kab. Bogor CC

5 Kab. Ciamis CC

6 Kab. Cianjur CC

7 Kab. Cirebon C

8 Kab. Garut CC

9 Kab. Indramayu CC

10 Kab. Karawang CC

11 Kab. Kuningan C

12 Kab. Majalengka C

13 Kab. Purwakarta B

14 Kab. Subang C

15 Kab. Sukabumi CC

16 Kab. Sumedang CC

17 Kab. Tasikmalaya C

18 Kota Bandung A

19 Kota Banjar B

20 Kota Bekasi CC

21 Kota Bogor CC

22 Kota Cimahi CC

23 Kota Cirebon CC

24 Kota Depok C

25 Kota Sukabumi B

26 Kota Tasikmalaya C

27 Kab. Pangandaran -

Sumber : Kemenpan RB, Tahun 2016.

Dari tabel tersebut diatas menunjukan bahwa terdapat beberapa

kabupaten/kota di Jawa Barat, yakni Kabupaten Bandung Barat, Cirebon, Kuningan,

11

Majalengka, Subang, Tasikmalaya, Kota Depok dan Kota Tasikmalaya adalah

masuk kedelapan kabupaten/kota di Jawa Barat yang mendapatkan nilai paling kecil

dibandingkan kabupaten/kota yang lain, yakni mendapat nilai rendah C. Hal ini

mencerminkan bahwa pemerintah daerah, khususnya OPD dinilai belum

sepenuhnya mampu menunjukan kinerja yang efektif dalam menterjemahkan visi,

misi dan program organisasi.

Faktor-faktor yang dapat mendukung menyelesaikan masalah tersebut diatas,

adalah kepemimpinan dan budaya organisasi melalui sistem pengendalian internal.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh O’Hagan dan Persaud (2009), yaitu

pentingnya pimpinan yang berkomitmen untuk membangun akuntabilitas pada

organisasi publik. Monfardini (2013) mengemukakan bahwa akuntabilitas dibangun

atas budaya organisasi, dan menurut Sanusi et al (2015) mengemukakan bahwa

akuntabilitas pemerintah daerah meningkat seiring dengan penerapan sistem

pengendalian internal yang efektif. SPI memainkan peran kunci dalam tercapainya

penjaminan akuntabilitas.

Faktor yang harus dimiliki oleh pemerintah daerah adalah kemampuan yang

dimiliki oleh individu atau kolektivitas individu berupa pengetahuan, keterampilan

dan sikap perilaku dalam melaksanakan tugasnya secara profesional, efektif, dan

efisien dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

12

Dalam hal ini, tentunya pemimpin daerah yaitu kepala daerah memiliki peran

dan tugas dalam mengatur daerahnya. Kepala daerah mempunyai andil besar dalam

menggerakan dan mengembangkan daerah yang dipimpinnya. Kepala daerah yaitu

para gubernur, bupati/walikota merupakan pemimpin formal di daerahnya yang

bertugas untuk membangun dan memajukan kehidupan masyarakat di daerahnya

masing-masing. Hal ini pula yang merupakan tugas utama kepala daerah. Oleh

karena itu, peran pemimpin daerah menjadi sangat penting dan strategis terutama

dalam proses pembangunan di era otonomi daerah ini.

Di tengah gencarnya pemerintah dalam melaksanakan reformasi birokrasi,

pembahasan mengenai kepala daerah juga menjadi fokus utama yang mewarnai

proses reformasi tersebut. Banyaknya kasus mengenai kepala daerah yang

tersandung masalah hukum, dapat menghambat pelaksanaan pembangunan dalam

otonomi daerah. Hal ini disebabkan, mereka akan banyak mencurahkan waktu dan

perhatian pada masalah hukum yang sedang mereka hadapi. Hingga saat ini,

Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 278 kepala daerah di seluruh Indonesia

yang tersandung hukum, baik gubernur maupun bupati/walikota. Data dari KPK

juga menunjukan, sudah 8 orang gubernur dan 31 orang bupati/walikota tersandung

perkara korupsi dan sudah dihukum selama periode 2004-2012

(www.hukumonline.com, 2012).

Banyaknya kepala daerah yang tersandung korupsi, dapat ditengarai karena

mahalnya ongkos politik dan faktor kepemimpinan. Hal ini dipaparkan pula oleh

Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah Djohan, bahwa dalam pilkada

langsung dan untuk memenangkan kontestasi politik, tidak dapat dipungkiri biaya

politik pilkada langsung sangat mahal, sehingga berbagai cara dilakukan untuk

13

memenuhi kebutuhan tersebut. Ongkos politik juga dikeluarkan bukan saja saat

pencalonan dan kampanye saja. Setelah berhasil mendapat jabatannya, kepala

daerah harus mengeluarkan biaya untuk memelihara konstituen dan balas jasa

terhadap partai politk pengusung, hal ini hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang

berani mengambil resiko. Apabila dilihat dari gaji kepala daerah yang hanya sebesar

Rp 7 – 8 juta, tentunya belum memenuhi biaya yang dibutuhkan oleh para pemimpin

(www.fajar.co.id, 2012).

Modus korupsi dilakukan dengan berbagai cara, misalnya melalui

penyalahgunaan wewenang terutama dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.

Bukan hanya itu, menurut KPK, modus lain dapat melalui perizinan yang

dikeluarkan kepala daerah menjelang pemilihan kepala daerah. Seperti kasus yang

menjerat salah satu kepala daerah yakni terkait dengan adanya pengusaha yang

menyumbang dana kampanye secara ilegal dan penerbitan izin usaha perkebunan

dan hak guna Usaha PT tertentu. Modus lain juga terjadi dalam hal penyelahgunaan

dana APBD, dengan menyuap anggota DPRD terkait pembahasan APBD. Selain itu

masih banyak lagi kasus korupsi yang menimpa kepala daerah, misalnya

penyalahgunaan dana bantuan sosial dan hibah. Hasilnya kemudian digunakan untuk

membiayai konstituen dan parpol pendukung, mengembalikan modal politik atau

untuk memperoleh keuntungan secara pribadi.

Tidak jarang pula, baik kepala daerah maupun wakilnya kurang memiliki

kepemimpinan politik yang memadai. Kepemimpinan seharusnya diarahkan untuk

mewujudkan visi, misi dan program pengembangan daerah yang sudah dijanjikan

oleh para pemilih. Namun demikian, kepala daerah di Indonesia cenderung

14

memahami dan mempraktekan kepemimpinan sebagai konsentrasi dan akumulasi

kekuasaan pada dirinya.

Dalam menyongsong grand design reformasi birokrasi oleh Kementerian

Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, hal yang perlu

dipersiapkan oleh daerah adalah mengenai kepemimpinan. Trend kepala daerah

yang saat ini terjadi perlu menjadi cerminan untuk melakukan perbaikan dan koreksi

agar kepala daerah yang ada mampu menjadi motor penggerak mewujudkan

kesuksesan reformasi birokrasi di tingkat daerah. Dikatakan pula oleh Guru Besar

Ilmu Politik UI, Prof. Iberamsyah, bahwa salah satu keberhasilan pelaksanaan

otonomi daerah ditentukan kepemimpinan kepala daerah baik bupati, walikota

maupun gubernur (www.antarakalsel.com,2012) Oleh karena itu, daerah perlu

mempersiapkan pemimpin yang visioner, berkarakter, inovatif dan yang terutama

memiliki kesadaran yang tinggi akan tugas dan kewajibannya untuk memajukan dan

mengembangkan daerah serta menciptakan kesejahteraan masyarakat daerah.

Memilih kepala daerah seperti yang dibutuhkan bukan pekerjaan yang

mudah. Kondisi ini mengingat bahwa kepala daerah diusung oleh parpol dan dipilih

langsung oleh masyarakat. Dalam hal ini, tidak ada analisis yang tepat untuk

mengetahui tingkat kemampuan calon kepala daerah dalam memimpin daerah. Ada

banyak hal yang mempengaruhi proses tersebut, misalnya kuatnya partai yang

mengusung, ongkos politik, dan juga pengetahuan dan pendidikan masyarakat.

Diperlukan kaderisasi yang tepat oleh Partai Politik sehingga calon yang diusung

benar-benar orang yang mumpuni untuk memimpin suatu daerah. Partai politik

harus diimbau melakukan kaderisasi secara selektif. Jangan asal comot kader yang

belum jelas ideologi politiknya. Apalagi hanya mengandalkan popularitas untuk

15

dicalonkan sebagai kepala daerah yang kemudian akan muncul kepala daerah instan

yang belum paham terhadap masalah daerah. Dalam menyelenggarakan road map

reformasi birokrasi, kepala daerah yang menjabat harus memiliki kualitas dan

mampu mewujudkan keinginan masyarakatnya (www.fajar.com, 2012).

Kepemimpinan merupakan faktor kunci di dalam organisasi sektor publik.

Seorang pemimpin dituntut untuk mampu membawa dan memaksimalkan organisasi

yang dipimpinnya untuk memberikan pelayanan yang berkualitas dan mencapai

kepuasan masyarakat yang optimal. Gaya kepemimpinan merupakan cara pemimpin

mempengaruhi pegawai untuk dapat bekerja lebih baik lagi dalam rangka mencapai

tujuan organisasi karena pada hakikatnya organisasi sektor publik terbentuk untuk

memberikan pelayanan kepada masyarakat. Suatu organisasi akan berjalan lancar

dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sangat dipengaruhi oleh

faktor kepemimpinan.

Oleh karena itu pemimpin selalu menjadi fokus evaluasi sebagai gambaran

penilaian terhadap keberhasilan sebuah organisasi. Kepemimpinan merupakan

persyaratan penting dalam rangka mencapai efektivitas atau kesuksesan organisasi

dalam mengemban peran, tugas, fungsi, atau pun tanggung jawabnya berada pada

tangan pemimpin. Pemimpin merupakan orang yang mempunyai wewenang untuk

mengarahkan orang lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pimpinan tersebut

mempunyai hukum yang kuat atau otoritas pengangkatan dari atasannya untuk

memimpin, mengelola suatu lembaga yang ada di lingkungan organisasi yang

bersangkutan. Kepemimpinan tersebut pada umumnya merupakan jabatan

manajerial yang diperlukan yang dapat mendukung menyelesaikan masalah-masalah

meliputi : Direction Setter , Spokesperson, Change Agent, and Coach.

16

Selanjutnya kondusivitas lingkungan kerja dan terbangunnya saling

pengertian diantara para pegawai atau aparat serta berkembangnya motivasi kerja

pegawai merupakan hal yang sangat penting dalam mendukung akselerasi

peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini Tidak berbeda dengan budaya

pemerintah yang mempengaruhi masyarakatnya, maka budaya organisasi juga akan

mempengaruhi sikap dan perilaku semua anggota organisasi tersebut. Budaya yang

kuat dalam organisasi dapat memberikan paksaan atau dorongan kepada para

anggotanya untuk bertindak atau berperilaku sesuai dengan yang diharapkan oleh

organisasi. Dengan adanya ketaatan atas aturan dan juga kebijakan-kebijakan

pemerintah tersebut maka diharapkan bisa mengoptimalkan akuntabilitas dan

pelayanan di masyarakat untuk mencapai tujuan organisasi.

Berkaitan dengan budaya organisasi tersebut, terdapat peran budaya

organisasi pada organisasi pemerintahan. Adapun masalah yang muncul adalah

disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang secara umum terkesan rendah yang

akhirnya menghasilkan akuntabilitas yang rendah pula. Beberapa kemungkinan

dalam konsep penerapan budaya organisasi akan selalu mendapat tantangan seperti

adanya penyakit dan atau kebiasaaan buruk akuntabilitas organisasi yang

ditimbulkan oleh adanya beberapa meliputi : Tujuan telah ditetapkan, tetapi tidak

dirumuskan secara rinci dan jelas (tidak membumi); Pembagian tugas tidak adil,

tidak merata, tidak tuntas dan tidak jelas batas-batas (tidak adil); Anggota hanya

mau bekerja sesuai dengan tugasnya, terjadi pengkotak-kotakan (kaku); Merasa

dirinya/unitnya yang paling penting, yang lain tidak/kurang penting (sok penting);

Pemberian tanggung jawab yang tidak seimbang dengan wewenang (zalim); Terlalu

banyak bawahan yang harus diawasi – kewalahan (rakus); Seseorang bawahan

17

mendapat perintah dari satu atasan mengenai hal yang sama, tetapi perintahnya

saling bertentangan (plin plan); Sanksi terhadap pelanggaran tidak tegas (banyak

pertimbangan).

Selain itu, sistem ;pengendalian ingternal yang meliputi : Lngkungan

pengendalian merupakan suatu fondasi dari semua komponen pengendalian internal

lainnya yang bersifat disiplin dan berstruktur; Penilaian resiko merupakan proses

penilaian terhadap resiko yang ditanggung oleh para pegawai sesuai dengan beban

tugas yang diberikan, baik yang terkait dengan tugas yang bersifat adminitratif,

teknis maupun manajerial; Aktivitas Pengendalian merupakan kebijakan dan

prosedur yang dapat membantu suatu organisasi dalam meyakinkan bahwa tugas

dan perintah yang diberikan oleh manajemen telah dijalankan; Informasi dan

Komunikasi merupakan pengidentifikasian, penangkapan dan pertukaran informasi

dalam suatu bentuk dan kerangka waktu yang membuat orang mampu

melaksanakan tanggung jawabnya; dan Pemantauan merupakan proses yang

menilai kualitas kerja pengendalian internal pada suatu waktu. Pemantauan

melibatkan penilaian rancangan dan pengoperasian pengendalian dengan dasar

waktu dan mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan.

Ketertarikan terhadap lokus penelitian di lingkungan Organisasi Perangkat

Daerah (OPD) Kabupaten/Kota di Jawa Barat didasarkan pada pertimbangan bahwa

OPD, dalam hal ini Inspektorat, Dinas, Badan, Kantor dan Sekretariat merupakan

perangkat daerah yang memiliki posisi dan tugas strategis, yakni sebagai penopang

pemerintah daerah dalam melaksanakan peran, fungsi dan tugasnya sebagai pelayan

publik. Selain itu, OPD juga merupakan institusi daerah yang bertugas

melaksanakan kewenangan daerah yang telah dilimpahkan oleh pemerintah pusat,

18

baik terkait dengan kewenangan wajib, maupun kewenangan pilihan. Oleh sebab

itu, kehadiran OPD dalam konteks pelaksanaan manajemen pemerintahan

merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Tanpa organisasi perangkat daerah,

mustahil suatu pemerintah daerah akan mampu melaksanakan manajemen

pemerintahan dengan baik. Itulah sebabnya kemudian OPD, khususnya di Jawa

Barat dituntut untuk memiliki akuntabilitas kinerja yang baik. Dengan demikian,

pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Barat diharapkan mampu menampilkan

produk pelayanan yang prima terhadap masyarakat.

Berdasarkan fenomena rendahnya akuntabilitas pada OPD Kabupaten/Kota

di Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Bandung Barat, Cirebon, Kuningan,

Majalengka, Subang, Tasikmalaya, Kota Depok dan Kota Tasikmalaya sebagai

implikasi dari belum efektifnya sistem pengendalian internal, rendahnya

kepemimpinan serta belum terbangunnya budaya organisasi yang kondusif telah

menggugah peneliti untuk mengetahui lebih jauh mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Argumentasi dan pertanyaan di atas semakin menguatkan peneliti untuk melakukan

kajian yang lebih komprehensif dan mendalam melalui penelitian disertasi dengan

judul : “Pengaruh Kepemimpinan Dan Budaya Organisasi Terhadap Akuntabilitas

Melalui Sistem Pengendalian Internal Pada Organisasi Perangkat Daerah

Kabupaten/Kota Di Jawa Barat”

1.2 Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.2.1 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, terlihat bahwa rendahnya

akuntabilitas Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten/Kota di Jawa Barat

diduga disebabkan oleh sistem pengendalian internal yang belum berjalan dengan

19

efektif, rendahnya kepemimpinan serta belum kondusifnya budaya organisasi.

Berangkat dari fenomena tersebut, maka peneliti mengidentifikasi masalah

penelitian sebagai berikut: 1) Masih adanya sebagian OPD kabupaten/kota di Jawa

Barat yang belum sepenuhnya mampu mentaati aturan hukum yang telah ditetapkan.

Banyak Para pejabat tersangkut kasus hukum terkait dengan pemberian izin untuk

pelaksanaan program- program pembangunan. 2) Masih adanya tindak

penyimpangan yang dilakukan sebagian OPD dalam melaksanakan visi, misi dan

program kerjanya. 3) Masih rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan

oleh sebagian OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat. 4) Masih munculnya keluhan

publik seputar layanan yang diberikan aparat di lingkungan OPD, seperti pelayanan

yang lambat, kurang responsive dan kurang jelasnya waktu pelayanan yang

diberikan. 5) Masih adanya fenomena yang menunjukan terjadinya disparitas (gap)

antara visi dan misi pemerintah daerah dengan implementasi program OPD yang

telah diamanatkan dalam renstra pemerintah daerah. 6) Masih ditemukan adanya

beberapa OPD Kabupaten/Kota yang menyusun program kerja secara kurang

professional dan cenderung bersifat pragmatis.

1.2.2 Pembatasan Masalah

Pada hakikatnya akuntabilitas merupakan pengetahuan dan

pertanggungjawaban terhadap setiap tindakan, produk, keputusan dan kebijakan

termasuk pula di dalamnya pelaksanaan dalam lingkup peran atau posisi masing-

masing. Dengan bahasa lain, akuntabilitas publik mencakup suatu kewajiban untuk

melaporkan, menjelaskan dan mempertanyakan terhadap setiap tindakan serta

konsekuensi yang dihasilkan. Namun demikian, untuk memudahkan pemahaman

dalam konteks penelitian ini perlu dilakukan pembatasan masalah penelitian.

20

Peneliti membatasi masalah penelitian pada aspek meliputi : variabel

penelitian kepemimpinan dan budaya organisasi dalam mempengaruhi akuntabilitas

Organisasi Perangkat Daerah (OPD) melalui sistem pengendalian internal,.

Responden pada pegawai di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) kabupaten/kota di

Provinsi Jawa Barat. Unit analisis yaitu Organisasi Perangkat Daerah (OPD)

Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat .

1.2.3 Rumusan Masalah

Berpijak pada latar belakang di atas, maka problem statement dalam

penelitian ini adalah “rendahnya akuntabilitas pada Organisasi Perangkat Daerah

Kabupaten/Kota di Jawa Barat disebabkan oleh kepemimpinan dan budaya

organisasi dan sistem pengendalian internal,”. Selanjutnya, agar masalah yang

tercermin dalam latar belakang penelitian di atas lebih spesifik, perlu dinyatakan

dalam pertanyaan penelitian sehingga dapat memberikan kejelasan serta dapat

mencerminkan pokok masalah yang akan diteliti. Peneliti merumuskan masalah

penelitian dalam bentuk pertanyaan masalah (Problem Questions) yang akan dikaji

sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran, Kepemimpinan, Budaya Organisasi, Akuntabilitas dan

Sistem Pengendalian Internal pada OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

2. Bagaimana pengaruh Kepemimpinan, dan Budaya Organisasi terhadap

Akuntabilitas melalui Sistem Pengendalian Internal pada OPD Kab./Kota di

Jawa Barat.

3. Bagaimana pengaruh Kepemimpinan terhadap Akuntabilitas melalui Sistem

Pengendalian Internal pada OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

21

4. Bagaimana pengaruh Budaya Organisasi terhadap Akuntabilitas melalui Sistem

Pengendalian Internal pada OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

5. Bagaimana pengaruh Sistem Pengendalian Internal terhadap Akuntabilitas

pada OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis :

1. Gambar Kepemimpinan, Budaya Organisasi, Akuntabilitas, dan Sistem

Pengendalian Internal pada OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

2. Pengaruh Kepemimpinan, dan Budaya Organisasi terhadap Akuntabilitas

melalui Sistem Pengendalian Internal pada OPD Kab./Kota di Jawa Barat.

3. Pengaruh Kepemimpinan terhadap Akuntabilitas melalui Sistem Pengendalian

Internal pada OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

4. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Akuntabilitas melalui Sistem

Pengendalian Internal pada OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

5. Pengaruh Sistem Pengendalian Internal terhadap Akuntabilitas pada OPD

Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa kegunaan, baik

secara teoritis maupun praktis. Adapun kegunaan penelitian yang dimaksud dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1.4.1 Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan khasanah keilmuan,

khususnya Ilmu Manajemen yang berkaitan dengan Kepemimpinan, Budaya

Organisasi, Sistem Pengendalian Intern dan Akuntabilitas.

22

1.4.2 Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan

sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan alternatif pemecahan masalah yang

dihadapi oleh institusi pemerintah khususnya Organisasi Perangkat Daerah

Kabupaten/Kota di Jawa Barat untuk meningkatkan akuntabilitas lembaga.

Peningkatan akuntabilitas melalui integrasi sistem pengendalian internal,

kepemimpinan yang efektif dan membangun kondusivitas budaya organisasi di

lingkungan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat .

1.4.3 Bagi Peneliti

Penelitian Disertasi ini sebagai syarat menyelesaikan program studi S-3 pada

Program Studi Doktor Ilmu Manajemen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Pajajaran Bandung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

atau dijadikan bahan penelitian lanjutan bagi para peneliti selanjutnya dalam

mengkaji variabel-variabel khususnya yang mempengaruhi akuntabilitas.