bab i pendahuluan 1.1. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Fenomena disrupsi digital menemukan momentumnya saat secara faktual
memiliki implikasi yang cukup besar terhadap perusahaan – perusahaan
telekomunikasi. Hal tersebut diperkuat oleh hasil riset yang dilakukan Grossman
(2016) dalam artikelnya yang berjudul “The Industries That Are Being Disrupted
the Most by Digital”, bahwa disrupsi digital akan memberi implikasi yang cukup
besar setidaknya selama periode 12 bulan ke depan terhadap perusahaan–
perusahaan telekomunikasi. Pada akhir 2016, tercatat sebanyak 65% dari populasi
dunia atau 4,8 miliar penduduk merupakan pelanggan telekomunikasi seluler
(Sumber: Rilis Data Mobile Economy, 2017). Artikel Grossman (2016) terbukti
dan kini industri telekomunikasi mengalami periode yang cukup berat. Sejak
tahun 2010, bahkan perusahaan telekomunikasi mengalami perlambatan
pertumbuhan yang secara faktual terkonversi melalui pertumbuhan pendapatan
yang turun dari 4.5% ke 4%, marjin EBITDA (Earnings Before Interest, Taxes,
Depreciation, and Amortization) turun dari 25% ke 17% dan marjin arus kas yang
mengalami penurunan dari 15.6% ke 8% (Caylar dan Menard, 2016). Namun
demikian, fenomena menurunnya jumlah pelanggan seluler kemudian juga
diprediksi oleh Mobile Economy di tahun 2017 melalui kalkulasi Compound
Annual Growth Rate (CAGR) dari angka 5,6% sepanjang tahun 2012-2016
menjadi hanya 4,2% sepanjang tahun 2020.
2
Sumber: Mobile Economy, 2017
Gambar 1.1 Tren Pasar Industri Telekomunikasi dan Adjecency Dunia
Gambaran data dan fakta di atas kemudian menjadi alasan mengapa
perusahaan telekomunikasi harus segera mencari potensi bisnis di luar skema
tradisional dimana mereka berkutat selama ini yakni layanan suara dan sms.
Merujuk pada data yang dirilis oleh AC Nielsen tahun 2016, trafik SMS sudah
mengalami penurunan sejak pertengahan tahun 2015, sedangkan trafik layanan
suara mengalami penurunan terlihat sejak akhir tahun 2016. Menurut riset dari
McKinsey & Company (2016)menjelaskan pula bahwa perusahaan yang
mengimplementasikan inisiatif digitalisasi, akan mendapatkan manfaat baik dari
sisi annual growth maupun cost efficiencies sebesar lebih dari 10%.
3
Sumber: AC Nielsen, 2016
Gambar 1.2 Tren Penggunaan Layanan Suara dan SMS
Melalui sumber yang sama, AC Nielsen pada tahun 2016 merilis fakta
pendukung lainnya dimana terjadi peningkatan tren yang sangat signifikan
terhadap layanan data.
Sumber: AC Nielsen, 2016
Gambar 1.3 Tren Penggunaan Layanan Data
4
Penggunaan layanan data kemudian juga teridentifikasi dengan
peningkatan penetrasi penggunaan mobile connection, pengguna internet, dan
pengguna media sosial aktif masing – masing sebesar 142%, 51%, dan 40%
(sumber: GSMA, 2017).
Sumber: Riset Telkomsel, 2018
Gambar 1.4 Tren Penggunaan Layanan Data
Peningkatan penetrasi penggunaan produk digital juga dirilis melalui riset
yang dilakukan Telkomsel tahun 2018 dimana voice OTT user cenderung
mengalami peningkatan hingga kuartal 2 tahun 2018, hal berbeda terjadi pada
voice legacy user yang cenderung mengalami penurunan di periode yang sama
(year on year). OTT (Over-The-Top) mengacu pada aplikasi dan layanan, yang
dapat diaksesmelalui internet dan jaringan Operator yang menawarkan akses
5
internetlayanan misalnya jaringan sosial, mesin pencari, situs agregasi video
amatir, dan lain - lain (Moktar Mnakri, 2015).
Selanjutnya, merujuk pada data we are social (Januari 2018) pengguna
internet yang menggunakan akses melalui komputer dan tablet hanya sebesar 3
persen, sementara yang hanya menggunakan akses melalui smart phone sebesar
81 persen, dan yang menggunakan akses melalui keduanya sebesar 6 persen.
Menurut Caylar dan Menard (2016) disrupsi digital juga menghadirkan
peluang yang bisa digali oleh industri telekomunikasi. Peluang tersebut tertangkap
bila melihat sejumlah data dan fakta yang ada diantaranya pertumbuhan pengguna
internet nomor 1 di dunia (lihat gambar 1.5), pengguna sosial media nomor 3
terbesar di dunia (lihat gambar 1.6), pengguna internet dengan akses paling lama
nomor 3 di dunia (lihat gambar 1.6), dan peningkatan signifikan pada kelas
menengah (lihat gambar 1.7).
Sumber: Info Memo XL, Indosat, Telkomsel, dan Spire, 2018
Gambar 1.5 Pengguna Internet di Indonesia
6
Sumber: MacKinsey and Company, 2018 Gambar 1.6Data Waktu Penggunaan Internet atau Sosial Media di Indonesia
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2018 dan A.T. Kearney analyses, 2018
Gambar 1.7Tren Demografi Pelanggan Indonesia
7
Selanjutnya peluang lain juga muncul dimana Indonesia secara data
mempunyai populasi terbesar ketiga di Asia, namun penetrasi pengguna internet
baru berada di peringkat ke-14 di antara negara – negara Asia (lihat gambar 1.8).
Sumber: GSMA, 2017 Gambar 1.8 Posisi Indonesia di Asia
Beragam peluang di atas juga semakin diperkuat dengan munculnya keinginan
Presiden Joko Widodo yakni dengan menempatkan infrastruktur digital pada
nomor 5 dari 10 prioritas nasional yang ditetapkan pada tahun 2018 (Kementerian
Perindustrian, 2018). Salah satu bentuk dukungan pemerintahan Presiden Joko
Widodo adalah membangun jalur digital dan jaringan dari 4G ke 5G, kecepatan
akses hingga 1 Giga byte per second (Gbps), jaringan pusat data dan sistem cloud.
Saat ini, upaya menuju layanan yang terdigitalisasi terus diupayakan oleh
perusahaan – perusahaan yang terlibat pada industri telekomunikasi seluler di
Indonesia. Namun demikian, upaya yang mereka tunjukkan masih belum memiliki
dampak signifikan terhadap pencapaian nilai pendapatan. Berdasarkan data yang
dirilis pada Laporan Tahunan Telkomsel 2017, Laporan Tahunan Indosat 2017,
dan Laporan Tahunan XL 2017 menjelaskan bahwa pendapatan industri
telekomunikasi terkait layanan digital baru menyentuh angkaberturut – turut pada
8
8,5%, 3,8%, dan 8,4% untuk produk layanan digital Telkomsel, Indosat, dan
XL.Data ini juga sesuai dengan data profile Industri Telekomunikasi di Indonesia,
dimana proporsi pendapatan dari layanan digital berturut-turut mulai tahun 2016,
2017, 2018 adalah sebesar 9,7%; 9,1%; dan 20,7% seperti terlihat pada gambar
1.9
Sumber: Data Diolah, 2019
Gambar 1.9Pendapatan dari Layanan Digital di Industri Telekomunikasi.
Menurut Gartner (2018), pelanggan digital dimaksudkan sebagai pengguna
layanan digital (web, mobile, dan media sosial) untuk menikmati konten,
terhubung dengan merek, dan menyelesaikan transaksi secara digital. Dari definisi
pelanggan digital menurut Gartner (2018), maka dapat disimpulkan bahwa
pelanggan digital adalah pengguna internet yang menggunakan akses melalui
online connection. Dari riset yang dilakukan oleh institusi Gartner, diprediksikan
bahwa penyumbang terbesar pertumbuhan industri telekomunikasi dunia akan
9
berasal dari bisnis mobile data, sedangkan penyumbang growth yang relatif tinggi
akan berasal dari industri di sekeliling telekomunikasi dimana telekomunikasi
akan berperan sebagai layanan perantara seperti mobile payment, mobile games,
mobile advertising dan layanan machine-to-machine (M2M). Peningkatan
penetrasi pengguna internet terus diupayakan oleh berbagai operator
telekomunikasi seluler di Indonesia. Hal ini kemudian menjadi sangat penting
untuk mengidentifikasi apa yang menjadi kebutuhan pengguna internet.
Studi lain juga menjelaskan bahwa brand image berpengaruh kuat dalam
menghadapi era disruptif di industri yang berkaitan dengan telekomunikasi
(Ashley dan Tuten (2015), Hudson, Roth, Madden, dan Hudson (2015), Killian
dan McManus (2015), Hansen dan Sia (2015), Lipiäinen dan Karjaluoto (2015),
Godey, Manthiou, Pederzoli, Rokka, Aiello, Donvito, dan Singh (2016), Hudson,
Huang, Roth, dan Madden, T. J. (2016), dan García-Avilés, Carvajal-Prieto, De
Lara-González, dan Arias-Robles (2018). Studi yang dilakukan García-Avilés,
Carvajal-Prieto, De Lara-González, and Arias-Robles (2018) bahwa brand
imageperlu didukung secara kuat melalui pelaksanaan inovasi, bahkan industri
perlu mengukur indeks inovasi tersebut secara lebih mendalam untuk
meningkatkan pengetahuan kita tentang perubahan yang terjadi pada brand image.
Lee dan Wu (2011) menyatakan bahwa brand image terdiri dari
pengetahuan dan keyakinan konsumen mengenai atribut produk dan non-produk
yang beragam dari suatu merek. Brand image melambangkan simbolisme pribadi
yang konsumen asosiasikan dengan merek yang terdiri dari semua informasi
deskriptif dan evaluatif yang berhubungan dengan merek (Iversen dan Hem, 2008;
10
Lee dan Wu, 2011). Wijaya (2013) menjelaskan lima dimensi yang dianggap
mampu membentuk variabel brand image. Pertama, brand identity mengacu pada
identitas fisik atau nyata terkait dengan merek atau produk yang membuat
konsumen mudah mengidentifikasi dan membedakan suatu merek/produk dengan
merek/produk lainnya, seperti: logo, warna, suara, bau, kemasan, lokasi, identitas
perusahaan, slogan, dan lain-lain. Kedua, brand personality adalah karakter khas
dari merek yang membentuk kepribadian tertentu layaknya manusia sehingga
konsumen dapat dengan mudah membedakan suatu merek dengan merek lain
dalam kategori yang sama, seperti: tegas, kaku, bermartabat, mulia, ramah,
hangat, penuh kasih sayang, sosialis, dinamis, kreatif, mandiri, dan sebagainya.
Ketiga, brand association adalah hal-hal tertentu yang layak atau selalu terkait
dengan sebuah merek, timbul dari penawaran yang unik dari produk. Keempat,
brand behavior dan attitude adalah sikap dan perilaku dari sebuah merek ketika
merek berkomunikasi dan berinteraksi dengan konsumen dalam rangka
menawarkan manfaat dan nilai yang dimilikinya. Kelima, brand competence dan
benefit adalah nilai-nilai, keunggulan, dan perbedaan kompetensi yang ditawarkan
oleh merek dalam menyelesaikan masalah konsumen, sehingga konsumen
mendapatkan manfaat karena kebutuhan, keinginan, harapan, dan obsesi yang
diwujudkan dengan penawaran dari merek.
Sementara itu, berdasarkan hasil pengamatan diketahui fenomena
berkaitan dengan brand image layanan digital seluler saat ini :
- Pelanggan digital produk seluler masih beranggapan bahwa operator belum
memberikan layanan yang mengesankan sehingga masih dianggap kurang
11
profesional. Hal itu tercermin dari lamanya waktu dalam merespon keluhan
pelanggan, maupun koneksi yang masih sering terputus.
- Inovasi layanan relatif sama antara operator yang satu dengan yang lainnya.
- Produk digital seluler juga relatif belum sepenuhnya memiliki keunggulan
solusi dibandingkan pesaingnya, karena rata-rata memberikan layanan yang
serupa, sehingga atribut produk relatif belum mampu dilekatkan pada merek
tertentu.
- Ketika pelanggan menggunakan produk layanan seluler tertentu, pelanggan
masih tetap memperhatikan fitur layanan merek layanan seluler lain yang
lebih menarik sebagai pembanding, sehingga rentan untuk berpindah ke
merek lain yang lebih menarik.
Sementara itu, riset yang dilakukan oleh AC Nielsen pada tahun
2017berhasil mengidentifikasi bahwa brand image merupakan zona kekuatan
sebagai modal ke depan untuk meningkatkan penetrasi pengguna internet di
Indonesia.
12
Sumber: AC Nielsen, 2017
Gambar 1.10 Identifikasi Faktor Peningkat Kepuasan Pengguna Internet
Hasil yang dirilis oleh AC Nielsen pada tahun 2017 tersebut kemudian
ditindaklanjuti melalui pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) yang
dilakukan pada tanggal 30 Desember 2017, dengan melibatkan 6 (enam)
responden yang merupakan pelanggan digital lebih dari 2 (dua) tahun dalam
rentang usia 20 – 35 tahun. Hasil FGD kemudian menjelaskan bahwa brand image
sangat menentukan dan menjadi faktor yang sangat penting bagi pelanggan
(produk) digital (lihat gambar 1.11. Produk Digital).
13
Gambar 1.11 Produk Digital Operator Telekomunikasi
Setiap brand yang dimiliki oleh operator telekomunikasi seluler pada
dasarnya memiliki keunikan di mata pelanggannya, seperti yang dijelaskan pada
tabel 1.1 di bawah ini.
Tabel 1.1 Keunikan Citra Merk yang dimiliki Operator Telekomunikasi Seluler di Indonesia
Operator Telekomunikasi
Keunikan Merk Di Mata Pelanggan
Telkomsel Memiliki keunikan dibanding provider lainnya adalah adanya layanan digital money yaitu T-Cash dengan mudah dalam menggunakan dan aksesnya, serta adanya diskon berbagai macam pembelian atau pembayaran kebutuhan responden. Kemudian Telkomsel dikenal dengan jangkauannya dan koneksi data yang luas hingga ke pelosok dan menurut responden belum ada provider lain yang mengimbangi jangkauan dari Telkomsel ini. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan dalam memilih Telkomsel.
Indosat Dikenal sebagai provider yang menawarkan fasilitas telepon murah
14
Operator Telekomunikasi
Keunikan Merk Di Mata Pelanggan
baik untuk layanan nasional maupun internasional (roaming) namun dengan jaringan tidak seluas dan sekuat Telkomsel. Menyediakan fitur yang tidak jauh berbeda namun tidak selengkap yang ditawarkan oleh Telkomsel terutama dalam hal digital experience.
XL Menawarkan fitur unik free youtube dan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan oleh pelanggan saat ini terkait dengan digital experience, yaitu layanan tambah kuota dalam rentang masa aktif paket.
3 (Three) Dinilai banyak digunakan oleh anak sekolah karena menyediakan voucher isi ulang sampai dengan Rp. 1000,-. Untuk memenuhi kebutuhan pelanggan saat ini, “3” menawarakan fitur free whatsapp, akantetapi saat ini “3” masih memililki image “susah sinyal”
AXIS Memiliki image sebagai provider “anak sekolah”, selain itu dengan banyaknya TVC yang dikeluarkan oleh AXIS, provider ini dikenal sebagai provider untuk kalangan “middle down” dengan jaringan 3G yang murah.
Smartfren Memiliki sinyal yang cukup baik dan dikenal dengan harga yang murah untuk layanan telepon terutama landline dan sesama Smartfren namun dengan keterbatasan jaringan per region. Smartfren menawarkan unlimited kuota namun dengan kecepatan berkurang apabila telah mencapai kuota tertentu.
Sumber: FGD Tanggal 30 Desember 2017
Hasil dari FGD 30 Desember 2017 di atas juga kemudian diperkuat
dengan rilis data yang dilakukan AC Nielsen pada kuartal kedua tahun 2018 yang
menggambarkan bagaimana brand image seluruh produk digital operator
telekomunikasi seluler di Indonesia yang masih jauh di bawah legacy service
berupa layanan voice dan sms (lihat Gambar 1.9).
15
Gambar 1.12 Perbandingan Brand Image Data Service dengan Legacy Service
Sementara itu, brand image yang kuat dan positif dipercaya dapat
menciptakan preferensi di tengah ketiadaan perbedaan lain (Kotler, 2006),
sehingga kemudian perlu bagi perusahaan telekomunikasi seluler meningkatkan
brand image produk digitalnya. Pendapat yang disampaikan Kotler (2006)
kemudian direspons dengan cara yang sama oleh Iversen dan Hem (2008) dan Lee
dan Wu (2011).
Aspek yang diduga berpengaruh pada brand image adalah digital customer
loyalty. Hal itu merujuk pada temuan penelitian Rahma (2016) dan Saleem dan
Raja (2014), bahwa brand image dipengaruhi oleh customer loyalty.Keller (2009)
menyampaikan bahwa loyalitas pelanggan mampu mengkomunikasikan opini
mereka yang kuat terhadap apa langkah yang harus dilakukan perusahaan
terhadap brand image-nya. Ferguson, Paulin, dan Bergeron, (2010) menjelaskan
bahwa loyalitas pelanggan adalah suatu sikap tentang sebuah organisasi dan
16
layanannya yang diwujudkan terutama oleh maksud dan perilaku berlangganan
dan merekomendasikan. Oliver (1999) menjelaskan bahwa pelanggan yang benar-
benar setia harus bersikap dan berperilaku setia. Dimensi loyalitas dikelompokkan
menjadi tradisional (perilaku, sikap dan komposit) dan multi-dimensi (kognitif,
afektif dan konatif). Konsep Oliver (1999) merupakan dasar pemikiran yang
disampaikan oleh studi selanjutnya yang dilakukan oleh Mascarenhas, et al
(2006), Dimyati (2015), dan Veloutsou (2015). Loyalitas kognitif adalah aspek
lain dari kesetiaan yang teridentifikasi dalam beberapa tahun terakhir, yang
memandang loyalitas sebagai dimensi tingkat yang lebih tinggi dan melibatkan
proses pengambilan keputusan konsumen dalam evaluasi merek alternatif yang
ada sebelum pembelian dilakukan (Caruana, 2002).Sebagian besar peneliti
pemasaran menekankan loyalitas afektifkemudian berimplikasi terhadap frekuensi
pembelian, volume pembelian, pembelian ulang dan konsistensi (Jacoby dan
Chestnut, 1978).Rundle-Thiele (2005) memasukkan indikator complaint behavior
danresistance to competing offers items sebagai bagian dari dimensi conative
loyalty.
Sementara itu, berdasarkan hasil pengamatan diketahui fenomena belum
tingginya loyalitas pelanggan digital produk seluler saat ini.
- Dalam menggunakan layanan digital seluler, pelanggan masih memikirkan
produk atau jasa perusahaan lain sebagai pembanding.
- Pelanggan belum sepenuhnya mengetahui keunggulan produk atau jasa
perusahaan yang digunakan selanjutnya.
17
- Disamping hal positif yang diberikan oleh operator seluler, pelanggan
ternyata masih mengingat keluhan dan kendala yang dihadapi dalam
menggunakan layanan seluler.
- Adanya kendala dan keluhan dalam penggunaan layanan menyebabkan
suasana hati pelanggan belum sepenuhnya menyenangkan ketika
menggunakan layanan sehingga menyebabkan niat untuk mencari produk
pengganti yang lebih baik.
- Pelanggan masih ada yang memberikan komentar negatif atas layanan seluler
yang digunakan saat ini.
- Masih ada pelanggan yang tertarik dengan produk lain ketika ada perbedaan
harga kecil dengan layanan seluler lain.
- Belum adanya keunikan karakter khas dari merek membuat pelanggan akan
mencari produk lain yang lebih unik.
- Perbedaan kompetensi yang ditawarkan oleh merek lain dalam menyelesaikan
masalah konsumen, membuat pelanggan akan mencari merek lain yang
mampu merespons keluhan atas layanan operator dalam memberikan manfaat
pemenuhan kebutuhan, keinginan, harapan, atas penawaran merek.
Sementara itu, hasil FGD menyatakan bahwa loyalitas pelanggan digital
ternyata diduga menjadi hal yang dapat menunjang brand image produk digital
perusahaan – perusahaan telekomunikasi seluler di Indonesia. Pernyataan hasil
pada FGD dan teori tersebut ternyata bertolak belakang dengan teori yang
disampaikan oleh hasil studi yang dilakukan oleh Fornell, Mithas, Morgeson, dan
Khrisnan (2006) dan Ike-Elechi dan Tan (2009). Pada penelitiannya, Ike-Elechi
18
dan Tan (2009) menjelaskan bahwa brand image secara positif akan
mempengaruhi loyalitas pelanggan pada suatu penawaran pasar dan kemungkinan
akan meningkatkan komitmen pelanggan di sektor mobile phone. Penelitian Ike-
Elechi dan Tan (2009) dilakukan di negeri Cina. Kontradiktif antara hasil FGD
dengan teori yang disampaikan Fornell, et al. (2006) dan Ike-Elechi dan Tan
(2009) akan menjadi gap yang menarik untuk dibahas lebih lanjut dalam
penelitian ini, sehingga penelitian ini mampu menempatkan posisinya terhadap
perdebatan hasil studi tersebut.
Tingkat loyalitas pelanggan terhadap suatu produk, layanan atau jasa
sebenarnya dapat diukur dari rasio tingkat perpindahan pelanggan atau biasa
dikenal dengan Churn Rate (Riset Spire, 2018).
Gambar 1.13Churn Rate Pelanggan Digital Seluler di Indonesia
Merujuk pada data yang tersaji pada Gambar 1.13 menjelaskan bahwa
pada pelanggan digital seluler di Indonesia mengalami tingkat perpindahan dari
bulan Januari 2016 hingga bulan Desember 2017 yang cenderung meningkat
hingga 19,1% terhadap total pelanggan seluler. Implikasi churn rate tentunya
perlu disikapi dengan adanya langkah antisipasi karena cost akuisisi pelanggan
19
akan semakin membengkak dan disertai dengan potensi kehilangan revenue
(Winer, 2001; Ahn, Han, dan Lee, 2006; Neslin, Gupta, Kamakura, Lu, dan
Mason, 2006; Kim dan Moon, 2012). Terkait dengan loyalitas pelanggan memang
sangat menarik untuk dibahas, studi yang dilakukan Zhang, Van Doorn, dan
Leeflang (2014) misalnya, mereka menjelaskan bahwa pelanggan yang berasal
dari negara – negara di Asia, tanpa terkecuali di Indonesia, sebenarnya memiliki
tingkat loyalitas yang tinggi dibanding negara – negara di belahan dunia bagian
barat. Namun, studi Zhanget al. (2014) lalu berbeda dengan data dan fakta yang
disampaikan pada data yang dirilis oleh Telkomsel (2017) mengenai churn rate
pelanggan digital dan non digital di Indonesia yang tinggi.
Pentingnya menjaga customer loyalty dalam rangka meningkatkan brand
image, sejalan dengan temuan penelitian Saleem dan Raja (2014) yang
menjelaskan bahwa kuatnya loyalitas pelanggan memiliki pengaruh secara
langsung terhadap penguatan brand image. Hal itu diperkuat dengan hasil
penelitian Rahma (2016) bahwa loyalitas pelanggan berpengaruh positif terhadap
peningkatan brand image.Selain itu, temuan Md. Hafez dan Naznin Akther (2017)
menunjukkan adanya hubungan antara kualitas layanan, kepuasan pelanggan,
kepercayaan, dan citra perusahaan dengan loyalitas pelanggan pada layanan
operator telekomunikasi di Bangladesh. Temuan lain dari Rashid Saeed et al.
(2013), pada industri telekomunikasi nirkabel di Pakistan menunjukkan adanya
korelasi antara brand image dan brand loyalty.
Klaus (2011) melalui studinya menjelaskan bahwa untuk mengurangi
churn rate pelanggan, salah satu faktor yang paling penting bagi perusahaan jasa
20
seperti perusahaan – perusahaan telekomunikasi seluler adalah meningkatkan
perhatian pada pengalaman pelanggan. Pendapat Klaus (2011) kemudian
didukung oleh penelitian yang disampaikan oleh Schmitt (2003), Millard (2006),
Meyer dan Schwager (2007), dan Chauhan dan Manhas (2014). Pengalaman
pelanggan kini lebih kompleks daripada kepuasan pelanggan dan kualitas layanan
(Klaus, 2011). Di Indonesia, perhatian terhadap pemenuhan standar kualitas
layanan pelanggan oleh operator telekomunikasi diatur dalam Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2013. Adapun
regulasi yang lain juga mengatur terkait kualitas pelayanan jasa internet telepon
untuk keperluan publik melalui regulasi berupa Peraturan Menteri Komunikasi
dan Informasi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 dan yang terbaru berupa
Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 3 Tahun 2016 tanggal
31 Maret 2016. Pada perkembangannya, regulasi terkait OTT ini juga menjadi isu
yang hangat di ASEAN dimana Negara – Negara ASEAN baru akan membuat
forum konsultasi bersama (pada awal tahun 2019) untuk membahas kesepakatan
dengan platform (perusahaan penyedia layanan OTT).
Literatur mengenai pengalaman pelanggan terus berkembang hingga kini,
bahkan Roytman (2015) tanpa ragu mengakui betapa kuatnya hubungan dan
saling keterkaitan antara pengalaman pelanggan (customer experience) dengan
dunia digital. Studi khusus terkait digital customer experience menjadi krusial dan
penting. Hal tersebut juga dibahas pada penelitian yang dilakukan oleh Silalahi
dan Rufaidah (2017) dan Latteman dan Robra-Bissantz (2017). Dalam
penelitiannya, Latteman dan Robra-Bissantz (2017) menjelaskan bahwa digital
21
customer experiencediduga menjadi cara untuk menguatkan loyalitas pelanggan
dan tentunya mengurangi churn rate.
Chauhan dan Manhas (2014) menjelaskan bahwa customer experience
berasal dari satu set interaksi antara pelanggan dengan perusahaan yang
menimbulkan sebuah reaksi. Pengalaman yang dimaksud dirasakan oleh
pelanggan, menunjukkan keterlibatan pelanggan pada tingkatan yang berbeda,
baik dapat secara rasional, emosional, sensorik, fisik, dan spiritual (Gentile et al.,
2007). Klaus (2015) dalam penelitiannya mengukur variabel customer experience
dengan menggunakan dimensi brand experience, service experience, dan post-
purchase experience. Sementara, Silalahi dan Rufaidah (2017), mengukur digital
customer experience melalui digital service experience, digital image experience,
digital touch point experience, dan digital broadband experience.
Sementara itu, hasil pengamatan menunjukkan fenomena terkait digital
customer experience layanan seluler saat ini di antaranya :
- Pelanggan masih ada yang belum merasakan kepuasan dalam pengalaman
menggunakan fitur layanan digital.
- Pelanggan masih ada yang menilai bahwa layanan dan manfaat yang
diberikan kurang sesuai dengan tarif yang ditetapkan.
- Kepercayaan layanan digital masih belum tinggi karena masih adanya
gangguan atau kendala dalam penggunaan layanan.
- Kecepatan akses internet kadang-kadang masih terganggu.
- Masih ada masalah dalam kestabilan akses internet.
22
- Masih ada keluhan atas layanan operator dalam menangani masalah yang
dihadapi pelanggan.
- Pelayanan operator belum sepenuhnya melibatkan pelanggan agar pelanggan
merasa lebih terlibat dan terikat dengan merek.
Adanya permasalahan dalam digital customer experience tersebut diduga
dapat mempengaruhi brand image perusahaan dan dapat membuat pelanggan
beralih ke operator lain. Sementara itu, hasil FGD mengemukakan bahwa
pelanggan yang memperoleh pengalaman yang baik dan berkesan akan membuat
mereka menjadi pelanggan yang setia dan sangat mempengaruhi peningkatan
brand image. Terlebih pada era disrupsi digital saat ini yang membawa dampak
mudahnya masyarakat dalam proses pertukaran informasi, sehingga berdampak
pula pada kualitas digital customer experience. Layanan messaging, misalnya kini
dapat dilakukan melalui aplikasi smartphone seperti Line, Whatsapp, Telegram,
dengan fitur-fitur yang beragam membuat koneksitas antar personal ke dalam
suatu model baru, dimana sharing bisa dilakukan secara online. Bahkan tidak
hanya sebatas relasi personal, untuk keperluan bisnis juga sudah mulai
menggunakan online discussion.
Sementara itu, temuan penelitian terdahulu menegaskan peranan customer
experience terhadap customer loyalty maupun terhadap brand image, seperti yang
ditunjukkan dalam hasil penelitian Venkat (2007) yang didukung oleh Azhari,
Fanani, dan Mawardi (2011) yang menjelaskan gambaran pengaruh yang
signifikan antara pengalaman pelanggan terhadap loyalitas pelanggan. Begitu pula
dengan temuan Klaus dan Maklan (2012) bahwa customer experiencememberikan
23
dampak yang signifikan pada customer loyalty, sehingga menciptakan
pengalaman pelanggan yang unggul (superior customer experience) telah menjadi
tujuan utama perusahaan pada sektor jasa dalam usahanya untuk membangun
customer loyalty.
Selain itu, Salmiah Mohamad Amina, Ungku Norulkamar Ungku Ahmada
& Lim Shu Huib (2012) meneliti faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
loyalitas pelanggan layanan telekomunikasi penyedia di Malaysia. Data
dikumpulkan dari 185 pengguna telekomunikasi di kalangan mahasiswa. Temuan
menunjukkan bahwa persepsi kualitas layanan ditemukan menjadi faktor paling
penting dalam mempengaruhi loyalitas pelanggan pengguna.Di samping itu,
Imbug, Ambad, &Bujang (2018) menguji hubungan antara pengalaman
pelanggan dan loyalitas pelanggan dalam konteks industri telekomunikasi di
Malaysia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa customer experience memiliki
dampak signifikan terhadap loyalitas pelanggan.
Di samping itu, temuan lain menunjukkan peranan customer experience
terhadap brand image seperti yang ditunjukkan oleh Menurut Ike-Elechi dan Tan
(2009) bahwa asosiasi merek yang dimiliki oleh pelanggan, sebagai dimensi
pembentuk dari brand image, dapat timbul dari pengalaman langsung penggunaan
produk atau tidak langsung melalui informasi yang diterima sehubungan dengan
penawaran pasar. Hal itu diperkuat oleh temuan Ernawati (2017) dan Nogati
(2015) yang keduanya menunjukkan pengaruh dari customer experience terhadap
brand image.Hal itu juga sejalan dengan temuan penelitianSirapracha dan
Tocque (2012) yang mengeksplorasi hubungan antara customer experience, brand
24
image, dan customer loyalty dalam layanan telekomunikasi di Thailand. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa customer experience berpengaruh signifikan pada
brand image dan terhadap customer loyalty.
Di sisi lain, terungkap fenomena keterhubungan pengalaman pelanggan
dengan electronic word of mouth (e-WOM). Voyer dan Ranaweera (2015)
mendefinisikan word of mouth (WOM) sebagai komunikasi interpersonal dan
informal yang berlangsung antara dua orang atau lebih, mereka tidak
merepresentasikan sumber jual komersial yang akan mendapatkan hasil langsung
dari penjualan atas sesuatu. Pada era digital saat ini, WOM berkembang menjadi
Electronic word of mouth (e-WOM) dimana digambarkan sebagai pernyataan
positif atau negatif yang dibuat oleh pelanggan potensial, pelanggan aktual dan
mantan pelanggan tentang produk atau perusahaan melalui internet (Henning-
Thurau, Gwinner, Walsh, dan Gremler, 2004). Fan, et al. (2013) menjelaskan
Electronic Word of Mouth sebagai sebuah proses dari pengaruh personal dimana
komunikasi yang terjadi antara pengirim dan penerima eWOM dapat merubah
sikap penerima dan keputusan pembeliannya. Fan, et al. (2013) membagi e-WOM
dalam lima dimensi yaitu source credibility, eWOM quantity, ewom quality,
consumer expertise, dan consumer involvement.
Sementara itu, mengamati e-WOM pada layanan digital seluler di
Indonesia, ditemukan fenomena antara lain :
- Pelanggan masih merasa perlu untuk mengecek kebenaran informasi yang di-
share dari rekannya khususnya yang berasal dari search engine.
25
- Pelanggan masih perlu mengecek sendiri kualitas informasi yang
disampaikan rekannya.
- Pelanggan masih perlu mengecek kembali relevansi atau ketersesuaian
informasi yang di-share rekannya apakah sesuai dengan kebutuhan pelanggan
atau tidak.
- Pelanggan masih perlu mengecek kembali relevansi atau keterhubungan
informasi yang diterima dari rekannya melalui whatsapp group atau media
sosial yang lainnya apakah bermanfaat atau tidak.
- Pelanggan masih belum sepenuhnya mempercayai informasi yang dishare
rekannya sebelum mengecek kembali melalui berbagai media yang mereka
gunakan.
Fenomena keterkaitan hubungan juga jelas terlihat pada hasil FGD tanggal
30 Desember 2017 dimana “pengalaman pelanggan terhadap layanan digital yang
lengkap disediakan beserta dengan promo-promonya (digital customer
experience) yang didapatkan melalui social media (instagram, line, sms pop-up)
dimana mereka konfirmasikan terhadap sumber informasi terpercaya terutama
website dan aplikasi provider (electronic word of mouth), menjadikan suatu
pengaruh yang sangat baik terhadap loyalitas konsumen (customer loyalty).
Penggunaan yang sudah cukup lama dan peran aktifnya dalam mencari hal-hal
semacam promo menjadikan mereka semakin tertarik akan produk tersebut
sehingga mempunyai pengaruh baik terhadap brand image nya”.
26
Sumber: APJII, 2016
Gambar 1.14 Trend Penggunaan Aplikasi Social Media
Implikasi lain dari penggunaan aplikasi di media sosial adalah semakin
banyaknya ujaran positif dan negatif terhadap suatu produk dan layanan yang
disampaikan pelanggan berdasarkan pengalamannya atas penggunaan produk dan
layanan, sehingga ini menjadi suatu tren baru yang disebut electronic Word of
Mouth (eWOM). EWOM kini menjadi source of credibility bagi calon pelanggan
dan pelanggan yang sudah lama menggunakan produk dan layanan. Implikasi
eWOM menjadi sangat mempengaruhi brand image atas suatu produk dan
layanan (Sumber: Hasil FGD, 30 Desember 2017).
27
Sumber: SPIRE, 2017
Gambar 1.15 Tren Total Sentimen pada Media Sosial
Bukti empiris yang diperoleh dari hasil FGD di atas ternyata juga
didukung oleh rilis riset yang disampaikan oleh AC Nielsen tahun 2017 yang
menjelaskan ujaran negatif maupun positif akan sangat berimplikasi terhadap
brand image. Rilis data AC Nielsen di tahun tersebut menunjukkan bahwa terjadi
penurunan brand image (43 menjadi 41) terhadap salah satu brand operator
telekomunikasi seluler akibat insiden hacking yang menimpanya.
Dukungan dugaan pengaruh eWOM terhadap brand image secara
teoritikal juga mendapat dukungan dari hasil studi terdahulu yang menjelaskan
bahwa eWOM menjadi sarana infrastruktur bagi pelanggan dalam memperoleh
informasi terkait perusahaan, selain itu informasi melalui eWOM mampu
meningkatkan brand image (Chang dan Ngai, 2011; Jalilvand dan Samiei, 2012;
Pranggadita, 2012; dan Riyandika, 2013). Chang dan Ngai (2011) menemukan
28
bahwa eWOM menjadi sebuah informasi penting bagi konsumen sehingga
pemasar percaya bahwa sebuah situs harus menghasilkan konten yang cukup
dalam rangka meningkatkan brand image.Sementara Jalilvand dan Samiei (2012)
menemukan fakta adanya pengaruh yang signifikan dari EWOM terhadap brand
image. Bahkan, Pranggadita (2012) dan Riyandika (2013) menjelaskan hubungan
yang positif pada eWOM dalam rangka mempengaruhi brand image.Hal itu
diperkuat oleh hasil penelitian Torlak, Ozkara, Tiltay, Cengiz, Dulger (2014) yang
menemukan hubungan yang signifikan dari e-WOM dengan brand image dan
purchase intention.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka menjadi
sangat menarik untuk membahas pengaruh digital customer experience dan
eWOM terhadap brand image melalui digital customer loyalty. Unsur novelty
yang terdapat dalam penelitian ini selain akan menarik untuk dibahas juga akan
berimplikasi untuk mempertajam teori di bidang manajemen strategi serta dapat
menjadi dasar penyesuaian tindakan strategis bagi perusahaan – perusahaan
telekomunikasi seluler di Indonesia.
1.2. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1.2.1. Identifikasi Masalah
Fenomena disrupsi digital telah menyebabkan perusahaan telekomunikasi
mengalami perlambatan pertumbuhan yang secara faktual terkonversi melalui
penurunan pertumbuhan pendapatan, marjin EBITDA, dan marjin arus kas.
Skema bisnis tradisional yang selama ini dilakukan operator telekomunikasi
seluler mengalami titik jenuh dan kini mereka harus segera beralih ke layanan
29
bisnis baru. Tanda – tanda kejenuhan mulai teridentifikasi dengan semakin
banyaknya pelanggan digital yang mulai beralih. Riset AC Nielsen tahun 2017
kemudian merilis fakta masalah bahwa brand image kemudian menjadi faktor
yang sangat penting untuk mengantisipasi perpindahan pelanggan digital dan
penetrasi pengguna internet yang masih rendah di Indonesia.
Selama ini praktik yang terjadi ditemukan bahwa loyalitas pelanggan
menjadi faktor utama penguat brand image (Hasil FGD pada tanggal 30 Desember
2017). Oleh karena itu, merawat loyalitas pelanggan kini menjadi pekerjaan
rumah bagi perusahaan – perusahaan telekomunikasi. Loyalitas pelanggan digital
kini juga mengalami kemunduran dimana indikator utamanya berupa tingkat
churn rate pelanggan digital mengalami kenaikan signifikan dari bulan Januari
2017 hingga bulan Juli 2017 sehingga mengancam eksistensi operator
telekomunikasi seluler di Indonesia.
Selain itu, hasil FGD juga menyebutkan bahwa pengalaman pelanggan
digital selama berinteraksi dengan produk perusahaan bisa menjadi alasan
pendukung setianya mereka terhadap produk yang ditawarkan perusahaan. Hasil
FGD juga menjelaskan pentingnya pengalaman pelanggan digital sebagai upaya
peningkatan brand image. Hal tersebut juga didukung oleh Klaus (2011) dan
penelitian sebelumnya yang dijelaskan oleh Schmitt (2003), Millard (2006),
Meyer dan Schwager (2007), serta penelitian selanjutnya oleh Chauhan dan
Manhas (2014).
Selanjutnya, hal menarik lainnya juga teridentifikasi dimana adanya fakta
bahwa ujaran (baik positif maupun negatif) melalui media online ternyata
30
berimplikasi terhadap penurunan brand image. Merujuk pada rilis data yang
disampaikan oleh AC Nielsen menunjukkan bahwa terjadi penurunan brand
image (43 menjadi 41) terhadap salah satu brand operator telekomunikasi seluler
akibat insiden hacking.
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka dapat diidentifikasi
permasalahan di mana fakta masalah adalah masih rendahnya brand image produk
digital seluler di Indonesia. Adapun variabel penyebab fakta masalah tersebut,
berdasarkan hasil kajian penelitian awal, diduga disebabkan karena belum
tingginya digital customer loyalty. Variabel digital customer loyaltytersebut
tergolong kriteria variabel intervening. Menurut Shaughnessy, Zechmeister, &
Zechmeister (2006) intervening variable adalah variabel yang digunakan untuk
memahami dan menjelaskan hubungan antara variabel yang diamati seperti
variabel independen dan dependen.
Di samping itu, penyebab fenomena di atas, dipengaruhi oleh masih belum
optimalnya pengembangan digital customer experience daneWOM. Kedua
variabel tersebut termasuk ke dalam kriteria variabel eksogen yaitu variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel
dependen (terikat) (Sugiyono, 2009: 39).
Jadi dalam penelitian ini, patut diduga bahwa digital customer experience
daneWOMadalah variabel eksogen yang mampu mempengaruhi brand image jika
melalui manajemen digital customer loyaltysebagai variabel intervening,
sedemikian rupa sehingga formulasi komposisi variabel dalam penelitian ini
terdiri dari dua variabel eksogen (digital customer experience daneWOM) dan
31
satu variabel intervening (digital customer loyalty), serta satu variabel endogen
(brand image).
Berdasarkan pembahasan pada uraian di atas, maka menarik untuk dikaji
menjadi suatu penelitian tentang pengaruh digital customer experience dan
eWOM terhadap brand image melalui digital customer loyalty. Penelitian ini
sangat penting dan krusial untuk dilakukan sebagai bentuk respon terhadap
kondisi pasar perusahaan yang terdapat pada industri telekomunikasi di Indonesia
dalam menghadapi era disrupsi digital.
1.2.2. Pembatasan Masalah
Merujuk pada identifikasi masalah yang dipaparkan di atas, maka dalam
penelitian ini dibatasi mengenai variabel yang akan digunakan dan unit analisis
yang menjadi obyek penelitian ini.
● Variabel penelitian terdiri atas :
� Digital Customer Experience
� Electronic Word of Mouth
� Digital customer loyalty
� Brand Image
● Unit analisis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perusahaan –
perusahaan telekomunikasi di Indonesia, sedangkan unit pengamatan dalam
penelitian ini adalah pelanggan digital perusahaan – perusahaan telekomunikasi
seluler. Yang dimaksud pelanggan digital disini merupakan pengguna internet
yang berlangganan produk digital perusahaan telekomunikasi selluler dengan
menggunakan akses melalui mobile connection.
32
1.2.3. Rumusan Masalah
Berangkat dari berbagai permasalahan yang dikemukakan pada latar
belakang masalah, maka dapat dijelaskan rumusan masalahnya adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana gambaran digital customer experience, electronic word of mouth,
digital customer loyaltydan brand image pada pelanggan digitalindustri
telekomunikasi seluler di Indonesia?
2. Apakah digital customer experience dan electronic word of mouth berpengaruh
terhadap digital customer loyalty pelanggan digital industri telekomunikasi
seluler di Indonesia baik secara simultan maupun parsial?
3. Apakah digital customer experience dan electronic word of mouth berpengaruh
terhadap brand image layanan digital industri telekomunikasi seluler di
Indonesia baik secara simultan maupun parsial?
4. Apakah digital customer loyalty berpengaruh terhadap brand image layanan
digital industri telekomunikasi seluler di Indonesia?
5. Apakah digital customer experience dan electronic word of mouth berpengaruh
terhadap brand image layanan digital industrytelekomunikasi seluler di
Indonesia melalui digital customer loyalty?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, maka
penelitian diharapkan dapat menjawab pertanyaan penelitian yaitu untuk
menghasilkan kajian dan analisis:
33
1. Gambaran digital customer experience, electronic word of mouth, digital
customer loyalty dan brand image pada pelanggan digital industri
telekomunikasi seluler di Indonesia
2. Pengaruh digital customer experience dan electronic word of mouth terhadap
digital customer loyalty pelanggan digital industri telekomunikasi seluler di
Indonesia baik secara simultan maupun parsial.
3. Pengaruh digital customer experience dan electronic word of mouth terhadap
brand image layanan digital industrytelekomunikasi seluler di Indonesia baik
secara simultan maupun parsial.
4. Pengaruh digital customer loyalty terhadap brand image layanan digital
industri telekomunikasi seluler di Indonesia
5. Pengaruh digital customer experience dan electronic word of mouthterhadap
brand imagelayanan digital industri telekomunikasi seluler di Indonesia
melalui digital customer loyalty.
1.4. Kegunaan Penelitian
Terdapat beberapa sudut pandang yang menentukan pentingnya
(kegunaan) dari penelitian ini, yakni:
1. Secara akademik: memberikan kontribusi atau sumbangan pemikiran pada
ilmu manajemen khususnya tentang bagaimana digital customer experience
dan electronic word of mouth mempengaruhi secara signifikanbrand image
melalui digital customer loyalty. Dimensi dan indikator yang akan dibangun,
tentunya akan menambah khasanah pemahaman baru tentang apa dan
bagaimana hal – hal tersebut mempengaruhi brand image.
34
2. Secara praktis: penelitian ini sangat mendesak untuk dilakukan karena akan
sangat berkontribusi bagiperusahaan – perusahaan telekomunikasi seluler di
Indonesia khususnya dalam rangka mengantisipasi fenomena disrupsi digital
dan untuk meningkatkan kemampuan perusahaan menjadi perusahaan digital
telekomunikasi (digital telecommunication company). Hasil penelitian ini
kemudian juga bisa digunakan sebagai basis akselerasi peningkatan jumlah
pelanggan digital di Indonesia yang memiliki potensi pasar terbesar ke tiga di
Asia.