luka penetrasi kepala

45
TRAUMA PENETRASI KEPALA Latar Belakang Luka pada otak akibat trauma atau yang sering disebut traumatic brain injury (TBI), merupakan penyabab kematian terbanyak keempat di Amerika Serikat dan merupakan penyabab kematian utama pada usia 1-44 tahun. Sekitar 2 juta kasus traumatic brain injury terjadi setiap tahunnya, dan menghabiskan dana sekitar 25 milyar dolar per tahun untuk penanganan medis dan sosial bagi pasien dengan kasus tersebut. Analisis pada penelitian tentang trauma menunjukkan bahwa 50% kematian akibat trauma merupakan dampak sekunder dari traumatic brain injury, dan sekitar 35% kasus ini disebabkan oleh luka tembak pada kepala. Peningkatan kasus kekerasan dengan senjata api yang diikiuti dengan peningkatan kasus trauma penetrasi kepala menjadi perhatian khususnya bagi dokter bedah saraf dan bagi masyarakat pada umumnya. Hasil CT scan di bawah ini adalah contoh luka tembak yang mengenai otak. Seorang laki-laki muda datang ke unit gawat darurat setelah mengalami luka tembak yang mengenai otak. Luka masuk berada di regio oksipital kiri. Pada CT scan tampak fraktur

Upload: rickyrexi

Post on 26-Oct-2015

153 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Luka Penetrasi Kepala

TRAUMA PENETRASI KEPALA

Latar Belakang

Luka pada otak akibat trauma atau yang sering disebut traumatic brain injury (TBI),

merupakan penyabab kematian terbanyak keempat di Amerika Serikat dan merupakan

penyabab kematian utama pada usia 1-44 tahun. Sekitar 2 juta kasus traumatic brain injury

terjadi setiap tahunnya, dan menghabiskan dana sekitar 25 milyar dolar per tahun untuk

penanganan medis dan sosial bagi pasien dengan kasus tersebut.

Analisis pada penelitian tentang trauma menunjukkan bahwa 50% kematian akibat

trauma merupakan dampak sekunder dari traumatic brain injury, dan sekitar 35% kasus ini

disebabkan oleh luka tembak pada kepala. Peningkatan kasus kekerasan dengan senjata api

yang diikiuti dengan peningkatan kasus trauma penetrasi kepala menjadi perhatian khususnya

bagi dokter bedah saraf dan bagi masyarakat pada umumnya.

Hasil CT scan di bawah ini adalah contoh luka tembak yang mengenai otak.

Seorang laki-laki muda datang ke unit gawat darurat setelah mengalami luka tembak

yang mengenai otak. Luka masuk berada di regio oksipital kiri. Pada CT scan tampak fraktur

pada tengkorak dengan kontusio sebrebri yang luas. Pasien dibawa ke ruang operasi untuk

debridement luka dan fraktur tengkorak, dengan perbaikan dura mater. Pasien kemudian

pulang dengan kondisi neurologis baik baik, namun dengan gangguan lapang pandang yang

signifikan.

Pengertian dari penetrating head injury adalah luka dimana proyektil dapat

menembus kranium, namun tidak dapat keluar dan tetap terperangkap di ruang intrakranial.

Terlepas dari prevalensinya, morbiditas dan mortalitas dari penetrating head injury masih

cukup tinggi. Pemahaman lebih lanjut tentang mekanisme luka dan managemen medis dan

pembedahan yang cepat dengan luka tersebut dapat memberikan hasil yang lebih baik.

Sejarah Prosedur

Page 2: Luka Penetrasi Kepala

Laporan terdahulu tentang trauma kepala dan managemennya yang terdapat pada

lembaran papirus Edwin Smith 1700 sebelum masehi, melaporkan 4 kasus fraktur depresi

tengkorak yang dirawat oleh masyarakat mesir kuno dengan membiarkan luka tidak dibebat,

sehingga dapat menjadi drainase untuk rongga intrakranial, dan melumuri luka pada kulit

kepala dengan minyak. Hippocrates (460-357 sebelum masehi) melakukan trepinasi untuk

kontusio, fraktur belah, dan indentasi tengkorak. Pengamatan Galen (130-210 sebelum

masehi) pada penanganan gladiator yang terluka, manghasilkan simpulan bahwa terdapat

keterkaitan antara lokasi luka pada kepala dengan sisi tubuh yang mengalami kelumpuhan.

Pada masa Dark Ages, terdapat sedikit peningkatan pada manajemen bedah untuk

luka di kepala, sedangkan pengobatan masih memberikan hasil yang buruk untuk luka di

kepala dengan dura mater yang robek. Pada abad ke-17, Richard Wiseman memberikan

penjelasan yang lebih baik tentang manajemen bedah untuk penetrating brain injury; dia

merekomendasikan evakuasi hematom subdural dan ekstraksi fragmen tulang. Menurutnya,

luka yang dalam memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan luka superfisial.

Kemajuan besar pada penanganan penetrating craniocerebral injury pada

pertengahan abad ke-19 berkaitan dengan penemuan Louis Pasteur (1867), Robert Koch

dalam bakteriologi, dan Joseph Lister dalam asepsis. Kemajuan ini menurunkan insidensi

ifeksi lokal dan sistemik, diikuti dengan mrnurunnya mortalitas.

Permasalahan

Selama 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan dramatis pada insidensi penetrating

head injury. Luka tembak di kepala menjadi penyebab terbanyak trauma kepala di kota-kota

di Amerika Serikat. Trauma tersebut sangat berdampak buruk bagi pasien, keluarga, dan

masyarakat.

Siccardi et al. (1991) meneliti 314 pasien dengan luka tembak kranioserebral dan

menemukan bahwa 73% korban meninggal di tempat kejadian perkara, 12% meninggal

dalam 3 jam sejak terjadinya luka, dan 7% meninggal setelahnya, dengan total 92%

meninggal [1]. Pada penelitian lain, luka tembak menjadi penyebab lebih dari 14% kematian

akibat trauma kepala pada tahun 1979-1986.

Age-adjusted death rates untuk luka akibat senjata api meningkat sejak 1985. Sebuah

penelitian dengan metode regresi logistik multipel menunjukkan bahwa luka akibat senjata

Page 3: Luka Penetrasi Kepala

api meningkatkan kemungkinan kematian dan korban dengan luka tembak di kepala 35 kali

lebih mungkin untuk meninggal daripada pasien dengan nonpenetrating brain injury.

Epidemiologi

Frekuensi

Sebuah survey yang dilakukan oleh National Institutes of Health memperkirakan

bahwa di Amerika Serikat, setiap tahunnya 1,9 juta orang mengalami fraktur tengkorak atau

trauma intrakranial, dimana setengah dari kasus tersebut akan menunjukkan hasil yang

kurang bagus. Pada tahun 1992, luka akibat senjata api menempati posisi pertama penyebab

kematian akibat traumatic brain injury di Amerika Serikat, dan luka tembak merupakan

penyebab tersering kematian pada orang Afro-Amerika.

Etiologi

Penetrating head injury dapat terjadi karena hal-hal yang disengaja maupun tidak

disengaja, meliputi luka tembak. Luka tusuk, dan kecelakaan lalulintas atau kecelakaan kerja

(akibat paki atau obeng).

Luka tusuk yang menembus kranium biasanya disebabkan oleh senjata dengan ujung

sempit atau runcing, yang ditusukkan dengan kecepatan rendah. Luka yang paling sering

adalah luka tusuk akibat pisau, sedangkan penyabab luka perforasi kranioserebral yang

pernah dilaporkan antara lain disebabkan oleh, paku, tongkat logam, es tajam, kunci, pensil,

supit, dan bor.

Patofisiologi

Akibat patologis penetrating head injury tergantung pada keadaan dari luka, meliputi

jenis senjata atau peluru, energi saat tumbukan, dan lokasi serta karakteristik organ

intrakranial yang dilewati [2]. Luka sekunder umumnya akan terjadi mengikuti luka primer.

Mekanisme luka sekunder didefinisikan sebagai proses patologis yang terjadi setelah luka

primer berjalan beberapa waktu, dan mempengaruhi kemampuan otak untuk sembuh dari

luka primer. Suatu proses biokimia dimulai setelah gaya mekanis mempengaruhi integritas

sel normal, yang menghasilkan berbagai macam enzim, fosfolipid, neurotransmiter eksitasi

(glutamat), Ca, dan radikal bebas yang menimbulkan kerusakan sel yang lebih parah.

Luka Akibat Peluru

Page 4: Luka Penetrasi Kepala

Terdapat berbagai macam peluru, mulai dari peluru berkecepatan randah yang

digunakan pada handgun, seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini, atau shotgun,

hingga peluru berkecepatan tinggi berlapis logam yang ditembakkan dari senjata militer [3,4].

Luka akibat peluru berkecepatan rendah di masyarakat umumnya berasal dari proyektil

senapan angin, senjata pelontar paku, stun gun yang digunakan untuk menyembelih hewan,

atau pecahan logam yang dihasilkan akbat ledakan. Peluru dapat menyebabkan luka pada

parenkim otak melalui 3 mekanisme: (1) laserasi dan penghancuran, (2) pembentukan

rongga, dan (3) gelombang kejut. Luka dapat bervariasi dari fraktur depresi tengkorak yang

menghasilkan perdarahan fokal hingga kerusakan otak yang luas.

Seorang pria 65 tahun mengalami luka tembak pada regio frontoparietal kanan. Hasil

CT scan menunjukkan bahwa peluru melintasi midline, melukai sinus logitudinal superior,

dan menghasilkan midline subdural hematoma yang luas. Pasien datang dengan nilai

Glasgow Coma Scale (GCS) 4 dan akhirnya meninggal.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, luka dimana proyektil menembus

kranium namun tetap berada di rongga intrakranial disebut sebagai luka penetrasi, sedangkan

luka dimana proyektil melalui kepala, meninggalkan luka masuk dan luka keluar, disebut

luka perforasi. Prognosis dari kedua luka tersebut juga berbeda. Pada laporan serangkaian

luka tembak kepala selama perang Iran-Iraq, 50% pasien dengan luka perforasi menunjukkan

hasil pasca operasi yang buruk, dibandingkan dengan hanya 20% pasien dengan luka penetasi

yang menujukan hasil pasca operasi yang buruk [5].

Pada luka tembak, besarnya kerusakan pada otak bergantung pada berbagai faktor

antara lain (1) energi kinetik saat paluru masuk, (2) lintasan peluru dan fragmen tulang yang

mengenai otak, (3) perubahan tekanan intrakranial saat tumbukan, dan (4) mekanisme luka

Page 5: Luka Penetrasi Kepala

sekunder. Energi kinetik dihitung dengan rumus 1/2mv2, dengan “m” adalah massa peluru

dan “v” adalah kecepatan saat tumbukan

Pada saat tumbukan, luka terkait dengan (1) hancurnya jaringan atau organ akibat

tumbukan peluru, (2) lubang yang ditmbulkan oleh gaya sentrifugal peluru pada parenkim,

dan (3) gelombang kejut yang menyebabkan luka tarikan (stretch injury). Karena peluru

melalui kepala, jaringan menjadi hancur dan terlempar melalui luka masuk atau luka keluar,

atau terdesak pada ujung lintasan peluru di rongga intrakranial. Hal ini menyebabkan rongga

permanen yang 3-4 kali lebih lebar dari diameter peluru dan rongga bergetar sementara yang

mengembang keluar. Rongga sementara ini dapat 30 kali lebih besar dari diameter peluru dan

menyebabkan luka pada struktur yang cukup jauh dari lintasan peluru.

Luka Tusuk

Luka jenis ini, seperti tambak pada gambar di bawah, menunjukkan pecahan tulang

yang lebih kecil pada luka kepala. Luka ini dapat disebabkan oelh pisau, paku, duri, garpu,

gunting, dan bebagai jenis peralatan [6]. Penetrasi umumnya terjadi pada tulang yang lebih

tipis dari tengkorak, khususnya permukaan orbital dan bagian squamous dari tulang temporal.

Mekanisme luka vaskuler dan saraf yang disebabkan oleh luka tusuk dapat berbeda dari

trauma kepala jenis lainnya. Tidak seperti pada luka akibat peluru, pada luka tusuk tidak

terdapat nekrosis koagulatif berbentuk lingkaran akibat energi tumbukan. Tidak seperti

kecelakaan kendaraan bermotor, luka tusuk tidak menyebabkan robekan pada otak.

Gambar di atas menunjukkan hasil CT scan dari seorang wanita muda yang datang ke

unit gawat darurat dengan luka tusuk di kepala akibat pisau besar, dengan kerusakan

intrakranial luas, yang mempengaruhi struktur midline.

Page 6: Luka Penetrasi Kepala

Kerusakan otak yang disebabkan oleh tusukan sangat terbatas pada rongga akibat

tusukan saja, kecuali jika terdapat infark atau hematom. Kerusakan memanjang yang sempit,

atau yang sering disebut slot facture, kadang ditimbulkan oleh luka tusuk, dan dapat

didiagnosis segera setelah ditemukan. Pada beberapa kasus dimana terdapat penetrasi

tengkorak, kelainan pada pemeriksaan radiologis tidak dapat ditemukan. Pada serangkaian

luka tusuk de Villiers (1975) melaporkan angka kematian adalah sebesar 17%, dengan

penyabab terbanyak terkait dengan trauma vaskuler dan hematom intraserebral masif [7].

Luka tusuk pada fossa temporal umumnya menyebabkan kerusakan neurologis yang

parah karena tipisnya squama temporal dan pendeknya jarak ke batang otak dan struktur

vaskuler. Pasien luka tusuk yang datang dengan benda yang masih menancap di kepala

memiliki tingkat mortalitas 11%, angka ini lebih rendah dibandingkan jika benda yang

menusuk kepala sudah diambil sebelumnya, yaitu sekitar 26%.

Perforasi dan Fraktur Tengkorak

Variasi ketebalan dan kekuatan tengkorak dan sudut tumbukan menentukan tingkt

keparahan fraktur dan luka pada otak, seperti ditunjukkan di bawah ini. Tumbukan yang

mengenai tengkorak secara tegak lurus dapat menyebabkan pecahan tulang bergerak searah

dengan benda yang menusuk, menyebabkan tengkorak hancur dengan pola ireguler, atau

menyebabkan fraktur linier yang menyebar dari luka masuk. Tumbukan tangensial atau yang

hanya menyerempet menyebabkan kelainan tunggal yang kompleks yang diikuti

pembengkokan internal atau eksternal pada tengkorak, dengan kerusakan otak yang

bervariasi.

Gambar di atas merupakan hasil sinar x pasien dengan luka intrakranial parah akibat

pukulan tongkat golf.

Gejala

Page 7: Luka Penetrasi Kepala

Keadaan klinis pasien sangat tergantung pada mekanisme luka (kecepatan, energi

kinetik), lokasi anatomis dari luka, dan luka sekunder.

Hematom Intrakranial akibat Trauma

Gejala ini dapat terjadi sendiri atau terjadi bersamaan dengan gejala lain dan

merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang umum dan dapat diobati, yang terjadi

karena pergeseran otak, pembengkakan pada otak, iskemi serebral, dan peningkatan

intrakranial. Pasien datang dengan gejala dan tanda massa intrakranial, dan perjalanan klinis

bervariasi tergantung pada lokasi dan tingkat akumulasi hematom. Gambaran klasik dari

hematom epidural dideskripsikan dengan terjadinya lucid interval yang mengikuti terjadinya

luka; pasien pingsan akibat hantaman, kemudian sadar, dan kembali pingsna karena bekuan

darah meluas.

Hematom Epidural

Hematom epidural akibat trauma pada umumnya akan menunjukkan gejala yang jelas

pada perjalanannya menuju koma. Hematom subdural akut berhubungan dengan tingginya

tingkat akselerasi dan deselerasi dari kepala yang terjadi saat trauma. Luka ini masih

merupakan luka yang mematikan dibandingkan luka kepala lainnya karena tumbukan yang

menyebabkan hematom subdural biasanya menyebabkan luka pada parenkim otak yang

parah.

Hematom Intraserebral

Hematom intraserebral terjadi karena pecahnya pembuluh darah kecil dari parenkim

saat terjadinya tumbukan. Pasien mungkin menunjukkan gejala defisit neurologis yang terkait

dengan lokasi hematom atau dengan tanda peningkatan massa atau tekanan intrakranial. Pada

jurnal ini juga akan dibahas mengenai hematom intraserebral tertunda.

Hematom Intraserebral Tertunda

Interval waktu perkembangan hematom intraserebral bervariasi mulai dari hitungan

jam hingga hitungan hari. Meskipun lesi ini dapat terjadi pada area yang mengalami kontusio,

namun umumnya gambaran pada CT scan menunjukkan hasil yang normal. Pasien

didiagnosis hematom intraserebral tertunda dengan ktiteria: (1) riwayat trauma yang jelas, (2)

terdapat interval tanpa gejala, dan (3) terjadi deteriorasi klinis secara mendadak.

Page 8: Luka Penetrasi Kepala

Kontusio

Kontusio terdiri atas daerah hemoragis perivaskuler yang mengenai pembuluh darah

kecil dan neuritic brain. Biasanya tampak sebagai gambaran menyerupai taji, yang

memanjang melalui korteks menuju ke white matter. Jika lapisan pia-arachnoid robek, luka

digolongkan sebagai laserasi serebral. Secara klinis, kontusio serebral dianggap sebagai

sumber dari perdarahan yang tertunda dan pembengkakan otak, yang dapat menyebabkan

deteriorasi klinis dan luka otak sekunder.

Perdarahan Subarachnoid akibat Trauma

Perdarahan jenis ini umumnya terjadi karena bebagai macam gaya yang menyebabkan

tekanan yang cukup untuk merusak struktur superfisial yang berada pada ruang subarachnoid.

Perdarahan subarachnoid akibat trauma dapat menjadi penyebab vasospasme serebral dan

mengurangi pasokan darah ke otak, sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas karena

kerusakan iskemik sekunder.

Luka Akson Menyebar atau Shearing Injury

Luka jenis ini cukup dikenal karena merupakan salah satu jenis luka primer yang

paling sering pada otak. Pada keadaan yang parah, pasien tidak sadarkan diri segera setelah

trauma terjadi dan menetap dalam waktu yang cukup lama, dengan fungsi vegetatif yang

normal atau sangat terganggu.

Indikasi

Faktor penting pada penatalaksanaan segera dan hasil jangka panjang setelah

terjadinya penetrating head injury adalah tingkat kesadaran pasien. Meskipun banyak metode

yang dapat digunakan untuk menentukan status kesadaran pasien, namun yang paling banyak

digunakan adalah Glasgow Coma Scale (GCS) yang diperkenalkan oleh Teasdale dan

Jennett pada tahun 1974.

Tingkat kesadaran juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor meliputi shock,

hipoksia, hipotermia, intoksikasi alkohol, postictal state, serta penggunaan narkotik dan

sedatif. Oleh karena itu, untuk menentukan tingkat keparahan dan prognosis pasien, tingkat

kesadaran yang diukur adalah skor GCS setelah resusitasi, yang dinilai dalam 6-8 jam

pertama sejak terjadinya luka. Dengan GCS, pasien dapat digolongkan menjadi 3 kriteria:

Page 9: Luka Penetrasi Kepala

o Luka ringan, meliputi pasien dengan skor GCS 13-15

o Luka sedang, meliputi pasien dengan skor GCS 9-12

o Luka parah, meliputi pasien dengan skor GCS 3-8 atau pasien dengan deteriorasi yang

jelas dengan skor GCS kurang atau sama dengan 8.

Pasien dengan luka kepala parah umumnya memenuhi kriteria koma, memiliki lesi

intrakranial yang luas, dan memerlukan perawatan medis intensif, dan biasanya, dapat berupa

pembedahan.

Anatomi

Benda yang menembus kranium akan melalui kulit kepala, tulang tengkorak, dan dura

mater sebelum mencapai otak. Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan anatomis meliputi kulit (S);

jaringan subkutan (C); galea aporeunica (A), yang berlanjut dengan sistem

muskuloaponeurotik frontalis, oksipitalis, dan fasia temporal superfisial; jaringan areolar

longgar (L); dan periosteum tengkorak (P).

Lapisan subkutan memiliki banyak pembuluh darah yang saling terkait yang akan

menyebabkan blood loss yang signifikanan jika kulit kepala mengalami laserasi. Karena

ikatan yang longgar antara galea dan periosteum tengkorak menyebabkan pertahanan yang

rendah terhadap luka gores, sehingga dapat menyebabkan luka yang luas pada kulit kepala.

Lapisan ini juga memiliki pertahanan yang rapuh terhadap pembentukan hematom atau abses,

dan akumulasi cairan yang terjadi di kulit kepala umumnya terjadi di lapisan subgaleal.

Tulang kalvaria memiliki 3 lapisan pada orang dewasa: table layer luar dan dalam

yang keras, serta cancellous middle layer, atau diploe.Meskipun ketebalan rata-rata sekitar 5

mm, lapisan paling tebal umumnya adalah tulang oksipital dan lapisan paling tipis adalah

tulang temporal. Kalvaria diselubungi oleh periosteum pada permukaan luar dan dalam. Pada

permukaan dalam, kalvaria menyatu dengan dura menjadi lapisan luar dari dura.

Secara estetik, tulang frontal adalah yang paling penting karena hanya sebagian kecil

tulang frontal yang tertutup oleh rambut. Oleh karena itu, kalvaria membentuk atap dan lantai

dinding medial dan lateral pada mata. Fraktur geser tulang frontal dapat menyebabkan

deformitas yang signifikan, eksoptalmus, atau enoptalmus. Tulang frontal juga mengandung

sinus frontalis, yang merupakan rongga berpasangan yang terletak di antara lamela luar

dalam dalam dari tulang frontal. Dinding anterior yang lebih tipis dari sinus frontalis

Page 10: Luka Penetrasi Kepala

menyebabkan area ini lebih rawan terhadap fraktur daripada area tempora-orbita di

sekitarnya.

Dura mater atau pachymeninx adalah meninx yang paling tebal dan paling superfisial.

Dura mater terdiri atas 2 lapisan: lapisan superfisial yang menyatu dengan periosteum dan

lapisan dalam. Pada daerah yang sama di antara kedua lapisan, terdapat ruang untuk vena

besar dan sinus. Laserasi pada struktur ini dapat menyebabkan blood loss yang signifikan dan

menyebabkan hematom epidural atau subdural.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

o Pemeriksaan pasien dengan penetrating brain injury harus menyertakan pemeriksaan

laboratorium, elektrolit, dan profil pembekuan darah secara rutin.

o Banyak pasien kehilangan darah yang signifikan sebelum sampai di unit gawat

darurat atau datang dengan disseminated intravascular coagulation (DIC); sehingga,

pemeriksaan hemoglobin dan hitung jenis platelet juga penting.

o Pemeriksaan golongan darah dan cross match harus dilakukan.

o Pmeriksaan toksikologi meliputi kadar alkohol dapat dilakukan.

Pemeriksaan Radiologis

o Evaluasi radiologis

o Metode evaluasi radiologis tergantung pada kondisi pasien.

o Umumnya radiografi dada dan tulang leher dilakukan di ruang resusitasi

o CT scan kepala harus didapatkan segera setelah kondisi kardiopulmoner pasien stabil

untuk menentukan besarnya kerusakan intrakranial dan adanya pecahan logam di

rongga intrakranial. Pemeriksaan juga menyertakan bone window untuk mengevaluasi

fraktur, khususnya jika terdapat kelainan pada basis cranii dan orbita.

o Beberapa rumah sakit melakukan computed tomographic angiography (CTA) untuk

evaluasi pembuluh darah intrakranial dan ekstrakranial.

Page 11: Luka Penetrasi Kepala

o Angiografi serebral: Jika ada kecurigaan luka vaskuler dan kondisi pasien stabil,

angiografi serebral sering digunakan untuk mendiagnosis luka seperi diseksi arteri

vertebral dan/atau karotis, pseudoaneurisma akibat trauma, atau fistula arteriovena.

o Magnetic resonance imaging (MRI)

o Pada pasien dengan penetrating injury dan pecahan logam dalam rongga intrakranial,

scan MRI memberikan informasi struktur fossa posterior dan pelebaran luka robek.

o Pemeriksaan fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) memungkinkan evaluasi

kontusio dan perdarahan.

o Scan perfusi atau difusi memberikan informasi yang bermanfaat untuk mengevaluasi

area stroke atau iskemi serebral

o Magnetic resonance angiography (MRA) dan magnetic resonance venogram (MRV)

sangat berguna jika terdapat luka vaskuler atau luka pada sinus.

Penatalaksanan

Terapi Medis

Pada pasien dengan luka penetrasi yang parah harus dilakukan resusitasi berdasarkan

petunjuk Advanced Trauma Life Support. Indikasi khusus untuk intubasi endotrakeal meliputi

ventilasi yang tidak adekuat, kegagalan airway karena luka pada leher atau faring,

perlindungan airway yang buruk terkait dengan penurunan tingkat kesadaran, dan/atau

kemungkinan deteriorasi.

Pada hampir semua pasien dengan skor GCS 8 atau kurang didapatkan kriteria

berikut. Tekanan darah sistolik minimal harus 90 mm Hg. Pada serangkaian pasien dengan

traumatic brain injury yang parah, episode tunggal dimana tekanan darah sistolik turun

hingga di bawah 90 mm Hg meningkatkan angka kematian hingga 85%. Larutan garam

fisiologis (NaCl 0,9%) adalah preparat yang umumnya digunakan untuk pengembalien

volume. Secara umum, kehilangan darah akut sebesar 20% dapat diganti dengan infus larutan

kristaloid, sedangkan kehilangan darah sebesar 30% atau lebih memerlukan transfusi darah.

Page 12: Luka Penetrasi Kepala

Cervical spine dipasang, pemeriksaan luka pada leher, dada, perut, pelvis, dan

ekstremitas dilakukan dengan hati-hati. Kateter Foley dipasang, jalur intravena dipasang, dan

penggantian volume dimulai.

Pada pasien dengan fraktur basis cranii anterior, pemasangan nasogastric tube selalu

dihindari karena meningkatkan resiko pemasangan selang intrakranial. Sebuah orogastric

tube dapat dipasang, tentunya dengan pengawasan. Selama dan setelah resusitasi perjalanan

penyakit dan semua tindakan dicatat, dan pemeriksaan fisik dan neurologis dilakukan.

Skor GCS harus dicatat pada pada waktu-waktu berikut, saat pasien datang ke unit

gawat darurat, dan setelah pasien dilakukan resusitasi. Jika zat paralisis diberikan selama

resusitasi, efek zat tersebut harus dihilangkan sebelum pemeriksaan neurologis dilakukan.

Pencegahan tetanus dilakukan. Pemeriksaan laboratorium rutin dilakukan, seperti hitung jenis

darah, elektrolit, profil pembekuan darah, golongan darah dan crossmatch, kadar alkohol,

skrining penggunaan obat. Pembebatan dengan kassa steril dilakukan pada luka masuk dan

keluar, dan jika hemodinamik stabil, pasien dievaluasi ke bangsal.

Pasien ditriase berdasarkan kondisi klinis dan hasil CT scan/angiografi. Pasien tanpa

massa yang signifikan pada CT scan dimasukkan ke intensive care unit (ICU) untuk

penanganan lebih lanjut. Monitor tekanan intrakranial dipasang pada pasien dengan skor GCS

8 atau kurang. Ventrikulostomi lebih diutamakan karena berguna dalam pengawasan tekanan

intrakranial dan drainase cairan serebrospinal untuk pengawasan tekanan intrakranial. Elevasi

kepala 30º sangat bermanfaat dalam drainase vena dan menurunkan tekanan intrakranial.

Sedasi memberikan manfaat pada pasien koma untuk mengontrol tekanan intrakranial.

Sedasi yang bersifat reversibel harus digunakan karena memudahkan untuk evaluasi pasien

per jam. Penulis lebih memilih propofol, suatu hipnotik lipofilik onset cepat dengan waktu

paruh singkat yang dapat dititrasi untuk mengontrol tekanan intrakranial. Sebagai tambahan

dalam pengawasan tekanan intrakranial, penulis mengevaluasi penggunaan peralatan yang

lebih invasif, seperti kateter vena jugularis dan oksimeter serebral, untuk mengidentifikasi

penyebab iskemia serebral pada pasien dengan luka serebral yang parah.

Mannitol diberikan dengan bolus intravena dengan tujuan menurunkan tekanan

intrakranial; mengurangi viskositas darah, meningkatkan aliran darah ke otak; dan sebagai

pelarut radikal bebas. Osmolalitas serum tidak boleh berada di atas 320 mOsm/kg untuk

menghindari asidosis sistemik dan gagal ginjal. Jika tekanan intrakranial tidak dapat

Page 13: Luka Penetrasi Kepala

dikontrol, maka pasien dapat diprogramkan untuk menjalani kraniektomi dekompresif atau

mendapatkan preparat barbiturat. Terapi pemberian preparat barbiturat dapat menurunkan

tekanan intrakranial, cerebral metabolic rate of oxygen (CMRO2), dan aliran darah ke otak.

Pemberian barbiturat atau kraniektomi dekompresif harus digunakan dengan kateter Swan-

Ganz untuk mendapatkan cardiac output yang ideal. Barbiturat tidak boleh digunakan pada

pasien dengan hipotensi.

Penatalaksanaan rutin tambahan yang umumnya diberikan adalah profilaksis kejang

(phenytoin 15-18 mg/kg IV bolus dilanjutkan dengan 200 mg IV q12h) dan antibiotik. Jika

Kejang tidak ditemukan pada fase akut, antikonvulsan tidak dilanjutkan setelah 1 minggu.

Lamanya waktu penggunaan antiepilepsi masih menjadi perdebatan, namun penggunaan

jangka panjang tidak memberikan hasil yang lebih baik. Antibiotik spektrum luas harus

diberikan selama beberapa hari pasca operasi. Lamanya waktu pemberian antibiotik juga

masih menjadi perdebatan dan umumnya dikembalikan berdasarkan pengalaman masing-

masing dokter.

Karena luka kepala merupakan faktor resiko independen untuk terjadi ulkus akibat

stress dan gastritis, maka profilaksis dengan histamine blocker atau antasida harus diberikan.

Stres akibat luka kepala, yang sering terjadi pada luka akibat trauma lainnya, akan

menyebabkan peningkatan konsumsi energi pada pasien; oleh karena itu, kecukupan energi

harus tetap terjaga selama beberapa hari sejak pasien dirawat di rumah sakit. Di rumah sakit

tempat penulis bekerja, nutrisi enteral harus diberikan bila tidak terdapat kontraindikasi;

sedangkan nutrisi parenteral diberikan pada pasien dengan luka abdominal.

Meskipun hiperventilasi dapat dengan cepat menurunkan tekanan intrakranial pada

beberapa pasien, namun penggunaannya tidak direkomendasikan karena dapat menyebabkan

penurunan aliran darah ke otak yang signifikan, dan dapat memperburuk kondisi neurologis

jangka panjang. Manfaat hipotermia juga masih diperdebatkan, meskipun beberapa penelitian

menunjukkan peningkatan kondisi pasien yang terjadi bila pasien mengalami hipotermia

sedang.

Terapi Pembedahan

Berikut merupakan beberapa indikasi untuk pembedahan: (1) untuk mengangkat

massa seperti hematom epidural, subdural, atau intraserebral; (2) untuk mengangkat jaringan

otak yang mengalami nekrosis dan mencegah pembengkakan dan iskemia lebih lanjut; (3)

Page 14: Luka Penetrasi Kepala

untuk mengontrol perdarahan aktif; dan (4) untuk mengangkat jaringan nekrotik, pecahan

tulang atau logam, atau benda asing lainnya untuk mencegah infeksi. Pendekatan untuk

tindakan bedah sendiri sangat bervariasi; beberapa dokter bedah lebih konservatif, sedangkan

yang lainnya bersifat agresif.

Alasan utama dilakukannya operasi adalah untuk megangkat hematom; namun ukuran

minimum hematom yang memerlukan evakuasi bedah tergantung pada berbagai faktor,

meliputi usia pasien dan kondisi klinis dan lokasi dari hematom itu sendiri. Hematom dan

kontusio pada regio temporal atau fossa posterior harus ditangani dengan lebih agresif karena

lebih sering menyebabkan herniasi daripada lesi serupa di area lain dan lebih sering terkait

dengan luka vaskuler.

Peluru dan fragmen dapat mengandung logam yang menyebabkan elektrolisis, dapat

menyebabkan jaringan parut fibroglia dengan epilepsi sekunder, atau dapat berpindah pada

daerah lain di dalam ruang intrakranial, atau berpindah ke ruang intraspinal. Karena fragmen

yang tertinggal tidak selalu terkait dengan infeksi, sebagian besar penulis menganjurkan

bahwa fragmen harus diambil hanya jika mudah untuk diraih. Jaringan kulit kepala, pakaian,

dan rambut umumnya terbawa bersama dengan tulang masuk ke dalam otak, dimana hal ini

lah yang paling sering menyebabkan infeksi. Hal ini tergantung pada kecepatan peluru dan

ukuran penetrasi. Pada kebanyakan kasus, pengangkatan peluru yang menancap terlalu dalam

tidak diperlukan, namun beberapa penulis merekomendasikan penggunaan computer-image

guided procedure untuk pengangkatan proyektil atau fragmen peluru.

Persiapan Sebelum Operasi

Pendekatan yang digunakan pada prosedur bedah bervariasi; beberapa dokter bedah

bersifat konservatif, sedangkan yang lainnyalebih agresif. Manajemen bedah luka penetrasi,

seperti prosedur bedah saraf, memerlukan perencanaan yang hati-hati.

o Pada persiapan sebelum pembedahan, rambut pasien dicukur dan diberi larutan

antiseptik pada kondisi steril.

o Kepala pasien diposisikan lebih tingga dari dada.

o Permukaan kepala yang terbuka sebisa mungkin menjangkau seluruh area yang

memungkinkan, agar perluasan insisi dapat dilakukan hingga di luar batas luka, atau

agar prosedur rotasi kulit kepala dapat dilakukan.

Page 15: Luka Penetrasi Kepala

o Insisi kulit harus direncanakan sehingga suplai darah ke kulit kepala tidak terganggu.

o Fresh frozen plasma dan platelet harus diberikan (1) jika peningkatan prothrombin

time (PT) atau peningkatan activated partial thromboplastin time (aPTT)

menunjukkan koagulopati pada pasien yang memerlukan evakuasi hematom

intrakranial atau (2) jika dicurigai terjadi koagulopati selama operasi.

Rincian Selama Operasi

o Seringkali kraniotomi atau kranioektomi dengan pengangkatan pecahan tulang dan

benda asing dapat dilakukan.

o Debridemen yang dilakukan dengan hati-hati atas jaringan otak yang sedah mati,

dilakukan dengan kombinasi suction dan irigasi.

o Pada luka tembak, peluru tidak diambil kecuali jika dapat diraih dengan mudah

karena resiko kerusakan otak akibat tindakan pengambilan peluru jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan manfaat jika peluru diambil.

o Pada kasus luka tusuk, pisau atau benda yang menancap tidak boleh diambil sebelum

lapisan dura dibuka di ruang operasi dan tindakan dapat dilakukan dibawah

pengawasan langsung.

o Pada semua kasus, dokter bedah harus mempersiapkan potensi luka vaskuler yang

mungkin terjadi. Yang terpenting adalah bahwa watertight dural closure tidak boleh

terlalu ketat untuk mencegah infeksi sentripetal dan fistula cairan serebrospinal.

o Jika terdapat kelainan pada dura, fasia perikranium atau temporalis diperlukan untuk

mengganti dura. Penggunaan bahan sintetis atau alami untuk pengganti lapisan dura

harus dihindari.

o Pasien dengan luka penetrasi kepala seringkali memerlukan kranioplasti sebagai

tindakan sekunder dari kraniektomi dan/atau kerusakan akibat peluru. Kranioplasti

harus ditunda hingga kurang lebih 1 tahun, jika kondisi pasien stabil dan resiko

komplikasi yang berupa infeksi kecil.

Rincian Pasca Operasi

Page 16: Luka Penetrasi Kepala

Pada prinsipnya terapi medis pasca operasi trauma penetrasi kepala sama dengan

terapi pasca operasi lainnya. Monitor tekanan intrakranial atau ventricular drain biasanya

dipasang pada pasien dengan skor GCS 8 atau kurang. Alat tersebut tersambung dengan layar

komputer dan menjaga tekanan perfusi serebral tetap baik. Jika kondisi neurologis pasien

stabil, CT scan dilakukan 24-72 pasca operasi.

Follow-up

Pasien di-folloow-up dengan pemeriksaan neurologis standar, dan tanda vital

diperiksa setiap jam. Pemeriksaan laboratorium rutin dilakukan bila perlu. Perlunya

pemeriksaan radiologis tergantung pada perkembangan neurologis pasien, dimana

pemeriksaan ini terdiri atas serangkaian pemeriksaan CT scan.

Komplikasi

Pasien yang selamat dari luka penetrasi kranioserebral beresiko untuk mengalami

berbagai komplikasi, meliputi defisit neurologis menetap, infeksi, epilepsi, kebocoran cairan

serebrospinal, defisit saraf kranial, pseudoaneurisma, fistula arteri atau vena, dan

hidrosefalus.

Infeksi Intrakranial

Infeksi ini terjadi pada 11% luka penetrasi kranioserebral. Oleh karena itu, sangat

penting untuk dilakukan pencegahan dan penatalaksanaan infeksi yang adekuat, sehingga

hasil yang didapatkan pasien akan lebih baik. Pasien dapat mengalami meningitis, abses

epidural, empyema subdural, atau abses otak.

o Meningitis pasca trauma biasanya berhubungan dengan fraktur tengkorak atau

kebocoran cairan serebospinal.

o Abses epidural kranial merupakan infeksi yang jarang terjadi, dimana umumnya

merupakan gejala sekunder pada osteomielitis atau karena adanya benda asing. Cairan

purulen tetap terkumpul dengan baik dan terlokalisasi karena ketatnya ikatan dura

pada kalvaria; namun, abses epidural kranial dapat menyebabkan meningitis dan

empyema subdural, yang terkait dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas yang

signifikan.

Page 17: Luka Penetrasi Kepala

o Sumber empyema subdural yang paling sering adalah penetrasi melalui infeksi di

sekitar wajah, seperti sinusitis atau mastoiditis paranasal.

o Abses otak dapat terjadi setelah silent infection berlangsung cukup lama. Hida et al.

(1978) melaporkan kasus abses otak tertunda yang mengikuti luka tembak penetrasi,

38 tahun setelah kejadian [8]. Penatalaksanaan abses epidural, empyema subdural,

dan abses otak terdiri atas pembedahan segera, diikuti dengan pemberian antibiotik

dalam waktu yang cukup lama.

Epilepsi

Epilepsi pasca trauma terkait dengan disabilitas psikososial dan merupakan faktor

yang berkontribusi menyebabkan kematian prematur setelah luka penetrasi kepala [4].

Insidensi epilepsi pasca trauma bervariasi, tergantung pada jenis dan tingkat keparahan dari

luka. Pada luka kepala tertutup, insidensi epilepsi pasca trauma berkisar antara 2,9-17%

untuk luka kepala sedang dan berat. Dalam militer, insidensi epilepsi pada luka tembak

kranioserebral mencapai angka 2 kali lebih besar; suatu penelitian menyebutkan insidensi

kejang dalam 5-10 tahun mencapai 32-51%. Hampir 50% korban trauma penetrasi kepala

dari personil militer akan menderita epilepsi.

Patofisiologi pasti epilepsi pasca trauma setelah luka penetrasi kepala atau luka

tertutup pada kepala masih belum diketahui. Terdapat banyak faktor resiko, seperti pecahan

logam yang tertinggal, perluasan luka, tingkat kesadaran, defisit fokal menetap, dan

komplikasi, yang telah diteliti untuk mengetahui peran masing-masing faktor pada

mekanisme terjadinya epilepsi pasca trauma.

Kebocoran Cairan Serebrospinal

Trauma kepala nerupakan penyebab paling umum kebocoran cairan serebrospinal.

Meningitis 20% terjadi dalam fase akut (dalam 1 minggu) kebocoran pasca trauma dan 75%

dalam fase delayed kebocoran pasca trauma. Penggunaan antibiotik profilaksis untuk

kebocoran cairan serebrospinal, dalam suatu studi, disebutkan dapat menyebabkan infeksi

serius, meliputi drug-resistant meningitis.

Pasien dengan kebocoran cairan serebrospinal pasca trauma utamanya mendapatkan

penatalaksanaan konservatif dengan bed rest pada posisi yang dapat menyebabkan penurunan

atau penghentian drainase fistula. Jika drainase tidak berhenti dalam 24-48 jam, drain lumbal

Page 18: Luka Penetrasi Kepala

dipasang pada kecepatan 10 cc CSF (cerebrospinal fluid) per jam selama 5-7 hari. Drain

lumbal tidak boleh dipasang pada pasien dengan pneumosefalus. Selama drainase cairan

serebrospinal, jika terjadi penurunan kesadaran progresif pada pasien, dokter harus mulai

waspada akan kemungkinan terjadinya pneumosefalus. Jika kebocoran cairan serebrospinal

tidak berhenti dengan drainase lumbal, maka dapat direncanakan terapi bedah untuk

memperbaiki saluran yang terdapat fistula.

Luka vaskuler dapat terjadi karena luka langsung pada pembuluh darah akibat benda

yang menembus, efek ledakan saat trauma, atau karena oklusi vaskuler akibat fragmen tulang

atau fraktur tengkorak. Luka vaskuler langsung yang terjadi sejak terjadinya trauma kepala

dapat tidak menunjukkan gejala dan berlangsung selama beberapa minggu, bulan, atau tahun.

Pseudoaneurisma tertunda pasca trauma dapat muncul beberapa minggu hingga beberapa

bulan setelah terjadinya luka.

Defisit Nervus Kranialis

Pasien yang mengalami luka pada area temporal dan mengalami fraktur tulang

temporal memiliki resiko kerusakan arteri karotis dan pada nervus facialis. Oleh karena itu,

pada pasien yang mengalami penetrating brain injury, sangat penting untuk dilakukan

pemeriksaan radiologis, utamanya angiografi serebral.

Pseudoaneurisma

Pseudoaneurisma dapat terjadi akibat gangguan aliran darah normal dan capat

menjadi fokus pembentukan trombus, atau dapat ruptur, yang menyebabkan hematom

subarakhnoid atau intraserebral. Pseudoaneurisma memerlukan terapi pembedahan atau

endovaskuler. Peran antikoagulan dalam penatalaksanaan pseudoaneurisma masih

kontroversial, namun diduga dapat bermanfaat untuk meminimalkan penyebaran trombus dan

embolisasi.

Fistula Arteri dan Vena

Diseksi arteri terjadi jika laserasi melalui lapisan intima dan kadang lapisan media,

memungkinkan masuknya aliran darah memisahkan lapisan vaskuler luar dan dalam,

merusak lumen pembuluh darah. Fistula biasanya terjadi bersamaan dengan transient

ischemic attack (TIA) atau gejala stroke. Penatalaksanaan non bedah diseksi arteri dengan

antikoagulasi kronis biasanya efektif.

Page 19: Luka Penetrasi Kepala

Mungkin fistula arteri dan vena pasca trauma yang paling dikenal adalah fistula sinus

cavernosus carotis pasca trauma. Secara umum, fistula ini terkait dengan luka ledakan

daripada penetrasi intrakranial. Fistula yang paling umum adalah fistula aliran tinggi, dengan

ciri terjadi sindrom klinis yang terdiri atas eksoptalmus berdenyut, kemosis, dan bising.

Fistula cavernosus carotis dapat didiagnosis dengan angiografi serebral dan paling baik

diterapi dengan oklusi endovaskuler.

Hasil dan Prognosis

Banyak penelitian berusaha menghubungkan faktor prognostik dengan hasil yang

didapat. Faktor prognostik paling penting adalah GCS setelah dilakukan resusitasi

kardiopulmoner. Biasanya, semakin tinggi skor GCS setelah resusitasi, semakin baik hasil

yang didapatkan. Namun penelitian lain menunjukkan bahwa karena pasien yang berada

dalam keadaan koma memiliki prognosis yang buruk, maka pada pasien tersebut hanya

dilakukan terapi yang tidak agresif, sehingga menyebabkan hasil yang semakin buruk.

Penelitian yang dilakukan selama dekade terakhir meneliti hasil pasien dengan GCS

pasca resusiasi 3-5 yang melalui penatalaksanaan medis dan pembedahan yang agresif.

Grahm et al. (1990) menemukan bahwa tidak satu pun dari 100 pasien dengan skor GCS

pasca resusitasi 3-5 menunjukkan hasil yang memuaskan (kriteria baik/sedang dihilangkan)

[9]. Mereka juga menemukan bahwa tidak satu pun pasien dengan skor GCS 6-8 dan dengan

luka bihemisferik atau multihemisferik dominan menunjukkan hasil yang memuaskan.

Pada penelitian terhadap 190 pasien, Levy et al. (1994) meemukan bahwa hanya 2

pasien dengan skor GCS 3-5 berakhir dengan kecacatan sedang [10]. Analisis lebih lanjut

menunjukkan bahwa pasien-pasien tersebut memiliki pupil yang reaktif saat pertama kali

datang, dan tidak memiliki luka multilobus dominan/bihemisfer. Mereka menyimpulkan

bahwa intervensi bedah tidak memberikan hasil yang lebih baik untuk pasien dengan GCS 3-

5, namun dapat berguna untuk pasien dengan pupil reaktif tanpa kelainan pada hasil CT scan.

Meski begitu, perdebatan terus terjadi mengenai pembedahan yang dilakukan pada pasien

dengan skor GCS 9, dan khususnya pada pembedahan pasien dengan skor CGS kurang dari 5.

Faktor prognostik buruk lainnya adalah umur, percoban bunuh diri, dan luka yang

terjadi secara terus menerus. Pasien yang datang dengan tekanan intrakranial tinggi atau

dengan hipotensi cenderung mendapatkan hasil yang buruk. Hasil CT scan yang umumnya

memiliki prognosis yang buruk antar lain: (1) luka pada kedua hemisfer, (2) perdarahan

Page 20: Luka Penetrasi Kepala

subarakhnoid dan intraventrikuler, (3) mekanisme desak ruang dan pergeseran midline, (4)

gejala herniasi, dan (5) hematom yang lebih besar dari 15 ml pada CT scan.

Angka morbiditas dan mortalitas terkait luka pada otak masih cukup tinggi. Untuk

pasien dengan skor GCS 3-5, angka mortalitas tetap berkisar pada angka 90%, dan dan hasil

yang ditunjukkan pun rata-rata tidak memuaskan. Pasien dengan GCS 6-8 menunjukkan hasil

yang bervariasi karena perbedaan manajemen terapi dan jumlah pasien dengan skor GCS

tersebut juga lebih sedikit. Pasien dengan skor GCS lebih tinggi dari 9 memiliki angka

kematian yang lebih kecil. Umumnya 50% pasien dapat sembuh dengan baik, dan 90%

mendapatkan hasil yang memuaskan.

Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa defisiensi insulin karena diabetes mellitus

(DM) meningkatkan resiko kematian pada pasien dengan traumatic brain injury (TBI)

sedang dan parah, dibandingkan dengan pasien tanpa DM (14,4% dibandingkan dengan

8,2%) [11].

Kontroversi dan Penanganan di Masa Depan

Banyak kasus luka pentrasi kepala yang bersifat fatal, dan kebanyakan pasien dengan

luka ini akan meninggal saat kejadian. Pasien dengan luka sedang lebih banyak yang

mendapatkan resusitasi dan penanganan medis. Pada banyak kasus, terapi medis dan

pembedahan yang agresif penting untuk pasien. Terapi agresif luka sekunder juga perlu

dilakukan, dan pasien harus dimonitor karena adanya komplikasi yang mugkin terjadi.

Kaufman et al. (1991) menemukan bahwa pertimbangan dokter bedah saraf pun

bervariasi tetang penatalaksanaan luka penetrasi kepala yang tepat [12]. Variasi juga banyak

didapatkan pada teknik debridement yang dilakukan, monitoring tekanan intrakranial, dan

penggunaan berbagai macam terapi medis. Lama waktu penggunaan antiepilepsi dan

antibiotik masih kontroversial, begitu juga dengan penggunaan hiperventilasi, hipotermia,

dan steroid. Penggunaan kateter jugular dan Doppler transkranial tergantung kebijakan

masing-masing rumah sakit. Pengkajian lebih jauh mengenai neurotrauma diharapkan terus

berjalan [13]. Jika mekanisme luka sekunder dapat lebih dipahami dan modalitas terapi diuji

secara prospective randomized clinical trial, maka varisasi penatalaksanaan luka penetrasi

kepala dapat ditekan. Masyarakat medis secara umum akan berusaha mendapatkan terapi

terbaik bagi pasien.

Page 21: Luka Penetrasi Kepala

Perawatan yang intensif dan agresif dikombinasikan dengan terapi pembedahan, jika

dilakukan dengan cepat dan tepat, akan menurunkan angka mortalitas dan morbiditas terkait

luka. Pencegahan primer luka ini sangat penting. Peningkatan kasus kekerasan dengan senjata

api yang diikiuti dengan peningkatan kasus trauma penetrasi kepala, dan bagaimana

penatalaksanaannya, sudah selayaknya menjadi perhatian khususnya bagi dokter bedah saraf

dan bagi masyarakat pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Siccardi D, Cavaliere R, Pau A, et al. Penetrating craniocerebral missile injuries in

civilians: a retrospective analysis of 314 cases. Surg Neurol. Jun 1991;35(6):455-

60. [Medline].

2. Folio L, Solomon J, Biassou N, Fischer T, Dworzak J, Raymont V, et al. Semi-

automated trajectory analysis of deep ballistic penetrating brain injury. Mil Med. Mar

2013;178(3):338-45. [Medline].

3. Stuehmer C, Blum KS, Kokemueller H, Tavassol F, Bormann KH, Gellrich NC, et al.

Influence of different types of guns, projectiles, and propellants on patterns of injury

to the viscerocranium. J Oral Maxillofac Surg. Apr 2009;67(4):775-81. [Medline].

4. Kazemi H, Hashemi-Fesharaki S, Razaghi S, Najafi M, Kolivand PH, Kovac S, et al.

Intractable epilepsy and craniocerebral trauma: analysis of 163 patients with blunt and

penetrating head injuries sustained in war. Injury. Dec 2012;43(12):2132-

5. [Medline].

5. Aarabi B. History of the management of craniocerebral wounds. In: Aarabi B,

Kaufman HH, Dagi TF, George ED, Levy ML, eds. Missile Wounds of the Head and

Neck. Vol 1. Park Ridge, Ill: American Association of Neurological Surgeons;

1999:281-292.

6. Paiva WS, de Andrade AF, Amorim RL, Figueiredo EG, Teixeira MJ. Brainstem

injury by trauma penetrasi kepala with a knife. Br J Neurosurg. Oct 2012;26(5):779-

81. [Medline].

Page 22: Luka Penetrasi Kepala

7. De Villiers JC. Stab wounds of the brain and skull. In: Vinken PJ, Bruyn GW,

eds. Handbook of clinical neurology. Vol 23. New York, NY: Elsevier Science

Publishing; 1975:407-503.

8. Hida K, Tsuda E, Sato H, et al. [Brain abscess discovered 38 years after head injury

(author's transl)]. No Shinkei Geka. Aug 1978;6(8):811-3. [Medline].

9. Grahm TW, Williams FC Jr, Harrington T, et al. Civilian gunshot wounds to the head:

a prospective study.Neurosurgery. Nov 1990;27(5):696-700; discussion

700. [Medline].

10. Levy ML, Masri LS, Lavine S, et al. Outcome prediction after penetrating

craniocerebral injury in a civilian population: aggressive surgical management in

patients with admission Glasgow Coma Scale scores of 3, 4, or 5. Neurosurgery. Jul

1994;35(1):77-84; discussion 84-5. [Medline].

11. Ley EJ, Srour MK, Clond MA, et al. Diabetic patients with traumatic brain injury:

insulin deficiency is associated with increased mortality. J Trauma. May

2011;70(5):1141-4. [Medline].

12. Kaufman HH, Schwab K, Salazar AM. A national survey of neurosurgical care for

penetrating head injury.Surg Neurol. Nov 1991;36(5):370-7. [Medline].

13. Nakase-Richardson R, McNamee S, Howe LL, Massengale J, Peterson M, Barnett

SD, et al. Descriptive Characteristics and Rehabilitation Outcomes in Active Duty

Military Personnel and Veterans With Disorders of Consciousness With Combat- and

Noncombat-Related Brain Injury. Arch Phys Med Rehabil. Jun 26 2013;[Medline].

14. Aarabi B. Causes of infections in penetrating head wounds in the Iran-Iraq

War. Neurosurgery. Dec 1989;25(6):923-6. [Medline].

15. Aarabi B. Surgical outcome in 435 patients who sustained missile head wounds

during the Iran-Iraq War.Neurosurgery. Nov 1990;27(5):692-5; discussion

695. [Medline].

16. Aarabi B. Traumatic aneurysms of brain due to high velocity missile head

wounds. Neurosurgery. Jun 1988;22(6 Pt 1):1056-63. [Medline].

Page 23: Luka Penetrasi Kepala

17. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support

Guidelines. Advanced Trauma Life Support Course. American College of Surgeons.

1999.

18. Annegers JF, Hauser WA, Coan SP, et al. A population-based study of seizures after

traumatic brain injuries. N Engl J Med. Jan 1 1998;338(1):20-4. [Medline].

19. Ardill W, Gidado S. Penetrating head wound: a remarkable case. Surg Neurol. Aug

2003;60(2):120-3; discussion 123. [Medline].

20. Baker CC, Oppenheimer L, Stephens B, et al. Epidemiology of trauma deaths. Am J

Surg. Jul 1980;140(1):144-50. [Medline].

21. Bartholomew BJ, Poole C, Tayag EC. Unusual transoral penetrating injury of the

foramen magnum: case report. Neurosurgery. Oct 2003;53(4):989-91; discussion

991. [Medline].

22. Benzel EC, Day WT, Kesterson L, et al. Civilian craniocerebral gunshot

wounds. Neurosurgery. Jul 1991;29(1):67-71; discussion 71-2. [Medline].

23. Berjano R, Vinas FC, Dujovny M. A review of dural substitutes used in

neurosurgery. Crit Rev Neurosurg. Jul 28 1999;9(4):217-222. [Medline].

24. Breased JH. The Edwin Smith Surgical Papyrus. In: The Edwin Smith Surgical

Papyrus. Vol 1. Chicago, Ill: University of Chicago Press; 1930:165-166.

25. Camuscu H, Dujovny M, Abd el-Bary T, et al. Microanatomy of the perforators of the

anterior communicating artery complex. Neurol Res. Dec 1997;19(6):577-

87. [Medline].

26. Centers for Disease Control. Traumatic brain injury--Colorado, Missouri, Oklahoma,

and Utah, 1990-1993.MMWR Morb Mortal Wkly Rep. Jan 10 1997;46(1):8-

11. [Medline].

27. Chesnut RM, Marshall LF, Marshall SB. Medical management of intracranial

pressure. In: Cooper PR, ed.Head Injury. 3rd ed. Baltimore, Md: Williams & Wilkins;

1993:225-246.

Page 24: Luka Penetrasi Kepala

28. Coplin WM, Cullen NK, Policherla PN, et al. Safety and feasibility of craniectomy

with duraplasty as the initial surgical intervention for severe traumatic brain injury. J

Trauma. Jun 2001;50(6):1050-9. [Medline].

29. Cosar A, Gonul E, Kurt E, et al. Craniocerebral gunshot wounds: results of less

aggressive surgery and complications. Minim Invasive Neurosurg. Apr

2005;48(2):113-8. [Medline].

30. Cosar A, Gonul E, Kurt E, et al. Craniocerebral gunshot wounds: results of less

aggressive surgery and complications. Minim Invasive Neurosurg. Apr

2005;48(2):113-8. [Medline].

31. Cox MW, Whittaker DR, Martinez C, et al. Traumatic pseudoaneurysms of the head

and neck: early endovascular intervention. J Vasc Surg. Dec 2007;46(6):1227-

33. [Medline].

32. Dagi TF, Meyer FB, Poletti CA. The incidence and prevention of meningitis after

basilar skull fracture. Am J Emerg Med. Nov 1983;1(3):295-8. [Medline].

33. Erdogan E, Izci Y, Gonul E, et al. Ventricular injury following cranial gunshot

wounds: clinical study. Mil Med. Sep 2004;169(9):691-5. [Medline].

34. Feldman Z, Narayan RK, Robertson CS. Secondary insults associated with severe

closed head injury.Contemporary Neurosurgery. 1992;14:1-8.

35. Giannotta SL, Gruen P. Vascular complications of head trauma. In: Barrow DL,

ed. Complications and sequelae of head injury. Park Ridge, Ill: American Association

of Neurological Surgeons; 1992:31-49.

36. Goldstein M. Traumatic brain injury: a silent epidemic. Ann Neurol. Mar

1990;27(3):327. [Medline].

37. Gonzalez-Cruz J, Cardenas R, Nanda A. Penetrating orbitocranial injury to the sella:

case report and review of the literature. J La State Med Soc. Nov-Dec

2007;159(6):310, 312, 314. [Medline].

38. Gray J, Molloy D, Jenkins MG. "Glass in a scalp laceration": an unusual case of

penetrating head injury presenting to the emergency department. Eur J Emerg Med.

Apr 2004;11(2):117-8. [Medline].

Page 25: Luka Penetrasi Kepala

39. Harris ME, Barrow D. Traumatic carotid-cavernous fistulas. In: Barrow DL,

ed. Complications and sequelae of head injury. Park Ridge, Ill: American Association

of Neurological Surgeons; 1992:13-30.

40. Hoffmann B, Sepehrnia A. Taylored implants for alloplastic cranioplasty--clinical and

surgical considerations. Acta Neurochir Suppl. 2005;93:127-9. [Medline].

41. Izci Y, Kayali H, Daneyemez M, et al. Comparison of clinical outcomes between

anteroposterior and lateral penetrating craniocerebral gunshot wounds. Emerg Med J.

Jun 2005;22(6):409-10. [Medline].

42. Izci Y, Kayali H, Daneyemez M, et al. The clinical, radiological and surgical

characteristics of supratentorial penetrating craniocerebral injuries: a retrospective

clinical study. Tohoku J Exp Med. Sep 2003;201(1):39-46. [Medline].

43. Jandial R, Reichwage B, Levy M, et al. Ballistics for the

neurosurgeon. Neurosurgery. Feb 2008;62(2):472-80; discussion 480. [Medline].

44. Kaufman HH, Timberlake G, Voelker J, et al. Medical complications of head

injury. Med Clin North Am. Jan 1993;77(1):43-60. [Medline].

45. Knightly JJ, Pulliam MW. Military head injuries. In: Narayan R, Wilberger J,

Povlishock J, eds.Neurotrauma. New York, NY: McGraw Hill; 1996.

46. Koçak A, OZer MH. Intracranial migrating bullet. Am J Forensic Med Pathol. Sep

2004;25(3):246-50.[Medline].

47. Kriet JD, Stanley RB Jr, Grady MS. Self-inflicted submental and transoral gunshot

wounds that produce nonfatal brain injuries: management and prognosis. J Neurosurg.

Jun 2005;102(6):1029-32. [Medline].

48. Martin EM, Lu WC, Helmick K, et al. Traumatic brain injuries sustained in the

Afghanistan and Iraq wars.Am J Nurs. Apr 2008;108(4):40-7; quiz 47-8. [Medline].

49. Muizelaar JP, Marmarou A, Ward JD, et al. Adverse effects of prolonged

hyperventilation in patients with severe head injury: a randomized clinical trial. J

Neurosurg. Nov 1991;75(5):731-9. [Medline].

Page 26: Luka Penetrasi Kepala

50. Murano T, Mohr AM, Lavery RF, et al. Civilian craniocerebral gunshot wounds: an

update in predicting outcomes. Am Surg. Dec 2005;71(12):1009-14. [Medline].

51. Nelson TJ, Wall DB, Stedje-Larsen ET, et al. Predictors of mortality in close

proximity blast injuries during Operation Iraqi Freedom. J Am Coll Surg. Mar

2006;202(3):418-22. [Medline].

52. Nicol A. Gunshot wounds. S Afr J Surg. Nov 2005;43(4):150, 152. [Medline].

53. Pepe PE, Dutton RP, Fowler RL. Preoperative resuscitation of the trauma

patient. Curr Opin Anaesthesiol. Apr 2008;21(2):216-21. [Medline].

54. Perez-Arjona E, Dujovny M, Vinas F, et al. CNS child abuse: epidemiology and

prevention. Neurol Res. Jan 2002;24(1):29-40. [Medline].

55. Phillips ED. Greek Medicine. London, UK: Thames & Hudsen; 1973.

56. Price DJ, Sleigh JD. Control of infection due to Klebsiella aerogenes in a

neurosurgical unit by withdrawal of all antibiotics. Lancet. Dec 12

1970;2(7685):1213-5. [Medline].

57. Ratiu P, Talos IF, Haker S, et al. The tale of Phineas Gage, digitally remastered. J

Neurotrauma. May 2004;21(5):637-43. [Medline].

58. Rezai AR, Lee M, Kite C, et al. Traumatic posterior cerebral artery aneurysm

secondary to an intracranial nail: case report. Surg Neurol. Oct 1994;42(4):312-

5. [Medline].

59. Rosenberg WS, Harsh GR. Penetraing wounds of the head. In: Wilkins RH,

Rengachary SS, eds.Neurosurgery. Vol 2. New York, NY: McGraw Hill; 1996:2813-

2820.

60. Rosenwasser RH, Andrews DW, Jimenez DF. Penetrating craniocerebral

trauma. Surg Clin North Am. Apr 1991;71(2):305-16. [Medline].

61. Rosselli D. [Phineas Gage, 'Tan' and the importance of case reports]. Rev Neurol. Jan

16-31 2005;40(2):122-4. [Medline].

62. Salar G, Costella GB, Mottaran R, et al. Multiple craniocerebral injuries from

penetrating nails. Case illustration. J Neurosurg. May 2004;100(5):963. [Medline].

Page 27: Luka Penetrasi Kepala

63. Salazar AM, Aarabi B, Levi L. Postraumatic epilepsy following craniocerebral

missile wounds in recent armed conflicts. In: Aarabi B, Kaufman HH, Dagi TF,

George ED, Levy ML, eds. Missile Wounds of the Head and Neck. Vol 2. Park Ridge,

Ill: American Association of Neurological Surgeons; 1999:281-292.

64. Schulz C, Woerner U, Luelsdorf P. Image-guided neurosurgery for secondary

operative removal of projectiles after missile injury of the brain. Surg Neurol. Apr

2008;69(4):364-8; discussion 368. [Medline].

65. Sinha P, Conrad GR, Williams BL. Visualization of bullet track and bullet by

radionuclide brain scintigraphy. Clin Nucl Med. Apr 2005;30(4):249-52. [Medline].

66. Sosin DM, Sacks JJ, Smith SM. Head injury-associated deaths in the United States

from 1979 to 1986.JAMA. Oct 27 1989;262(16):2251-5. [Medline].

67. Sosin DM, Sniezek JE, Waxweiler RJ. Trends in death associated with traumatic

brain injury, 1979 through 1992. Success and failure. JAMA. Jun 14

1995;273(22):1778-80. [Medline].

68. Stack BC Jr, Farrior JB. Missile injuries to the temporal bone. South Med J. Jan

1995;88(1):72-8.[Medline].

69. Steinsvag S. [Penetrating injuries in the head and neck region]. Tidsskr Nor

Laegeforen. Sep 8 2005;125(17):2369. [Medline].

70. Stiernberg CM, Jahrsdoerfer RA, Gillenwater A, et al. Gunshot wounds to the head

and neck. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. Jun 1992;118(6):592-7. [Medline].

71. Temkin NR, Dikmen SS, Wilensky AJ, et al. A randomized, double-blind study of

phenytoin for the prevention of post-traumatic seizures. N Engl J Med. Aug 23

1990;323(8):497-502. [Medline].

72. Torner JC, Choi S, Barnes TY. Epidemiology of head injuries. In: Marion DW,

ed. Traumatic brain injury. New York, NY: Thieme; 1999:9-25.

73. Trask TW, Narayan RK. Civilian Penetrating Head Injury. In: Narayan R, Wilberger

J, Povlishock, J, eds.Neurotrauma. New York, NY: McGraw Hill; 1996:868-889.

Page 28: Luka Penetrasi Kepala

74. Tsuei YS, Sun MH, Lee HD, et al. Civilian gunshot wounds to the brain. J Chin Med

Assoc. Mar 2005;68(3):126-30. [Medline].

75. Tudor M, Tudor L, Tudor KI. Complications of missile craniocerebral injuries during

the Croatian Homeland War. Mil Med. May 2005;170(5):422-6. [Medline].

76. Verweij BH, Muizelaar JP, Vinas FC. Hyperacute measurement of intracranial

pressure, cerebral perfusion pressure, jugular venous oxygen saturation, and laser

Doppler flowmetry, before and during removal of traumatic acute subdural

hematoma. J Neurosurg. Oct 2001;95(4):569-72. [Medline].

77. Verweij BH, Muizelaar JP, Vinas FC, et al. Mitochondrial dysfunction after

experimental and human brain injury and its possible reversal with a selective N-type

calcium channel antagonist (SNX-111). Neurol Res. Jun 1997;19(3):334-9. [Medline].

78. Vetter H, Kolloch R, Appenheimer M, et al. [Effect of a chronic alpha adrenergic

receptor blockade on basal secretion of renin in essential hypertension]. Schweiz Med

Wochenschr. Dec 9 1978;108(49):1978-81. [Medline].

79. Vinas FC. Bedside invasive monitoring techniques in severe brain-injured

patients. Neurol Res. Mar-Apr 2001;23(2-3):157-66. [Medline].

80. Vinas FC. Clinical Uses of Laser Doppler in the Intensive care Unit. Critical Reviews

in Neurosurgery. 1999;9:28-33.

81. Vinas FC, Fandino R, Dujovny M, et al. Microsurgical anatomy of the supratentorial

arachnoidal trabecular membranes and cisterns. Neurol Res. Dec 1994;16(6):417-

24. [Medline].

82. Vinas FC, Ferris D, Kupsky WJ, et al. Evaluation of expanded

polytetrafluoroethylene (ePTFE) versus polydioxanone (PDS) for the repair of dura

mater defects. Neurol Res. Apr 1999;21(3):262-8. [Medline].

83. Vinas FC, Verweij B, Muizelaar P. Invasive monitoring of cerebral

oxygenation. Critical Reviews in Neurosurgery. 1998;8:31-40.

84. Vinas FJ, Dujovny M, Barrionuevo PJ. [The craniocerebral injury. Experience on

3,443 cases in the police health department]. Rev Fac Cienc Med Cordoba. Oct-Dec

1966;24(4):441-57. [Medline].

Page 29: Luka Penetrasi Kepala

85. Wald SL. Advances in the early management of patients with head injury. Surg Clin

North Am. Apr 1995;75(2):225-42. [Medline].

86. Waxweiler RJ, Thurman D, Sniezek J, et al. Monitoring the impact of traumatic brain

injury: a review and update. J Neurotrauma. Aug 1995;12(4):509-16. [Medline].

87. Weigelt JA. Resuscitation and initial management. Crit Care Clin. Oct

1993;9(4):657-71. [Medline].

88. West CG. A short history of the management of penetrating missile injuries of the

head. Surg Neurol. Aug 1981;16(2):145-9. [Medline].

89. Winder MJ, Monteith SJ, Lightfoot N, et al. Penetrating head injury from nailguns: a

case series from New Zealand. J Clin Neurosci. Jan 2008;15(1):18-25. [Medline].

90. Yorks ML. More on Phineas Gage. N Engl J Med. Mar 3 2005;352(9):944; author

reply 944. [Medline].

91. Zhang J, Yoganandan N, Pintar FA, et al. Temporal cavity and pressure distribution

in a brain simulant following ballistic penetration. J Neurotrauma. Nov

2005;22(11):1335-47. [Medline].