bab 2 fix

46
BAB II TINJAUAN STRES OKSIDATIF PADA PASIEN AUTIS DITINJAU DARI KEDOKTERAN 2.1 Stres Oksidatif Stres oksidatif merupakan kondisi di mana terjadinya peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) yang menyebabkan kerusakan sel, jaringan atau organ. Pada kondisi stres oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan merusak organisasi membran sel. Membran sel sangat penting bagi fungsi reseptor dan fungsi enzim, sehingga terjadinya peroksidasi lipid membran sel oleh radikal bebas serta mengakibatkan hilangnya fungsi seluler secara total (Chauhan, 2006). Antioksidan bekerja untuk melindungi lipid dari proses peroksidasi oleh radikal bebas. Ketika radikal bebas mendapat elektron dari antioksidan, maka pembentukan radikal bebas tersebut terhambat dan reaksi 7

Upload: muhammad-fauzi

Post on 08-Nov-2015

12 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ok

TRANSCRIPT

BAB IITINJAUAN STRES OKSIDATIF PADA PASIEN AUTIS DITINJAU DARI KEDOKTERAN2.1 Stres OksidatifStres oksidatif merupakan kondisi di mana terjadinya peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) yang menyebabkan kerusakan sel, jaringan atau organ. Pada kondisi stres oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan merusak organisasi membran sel. Membran sel sangat penting bagi fungsi reseptor dan fungsi enzim, sehingga terjadinya peroksidasi lipid membran sel oleh radikal bebas serta mengakibatkan hilangnya fungsi seluler secara total (Chauhan, 2006).Antioksidan bekerja untuk melindungi lipid dari proses peroksidasi oleh radikal bebas. Ketika radikal bebas mendapat elektron dari antioksidan, maka pembentukan radikal bebas tersebut terhambat dan reaksi rantai oksidasi akan terputus. Setelah memberikan elektron, antioksidan dinetralisir oleh molekul redoks sehingga gangguan perubahan elektron tidak reaktif (Clarkson dan Thompson, 2000). Radikal bebas adalah suatu molekul atau spesi di mana elektronnya tidak mempunyai pasangan. Adanya molekul dengan elektron yang tidak berpasangan ini membuat radikal bebas sangat reaktif. Reaktif adalah kemampuan menyerang biomolekul secara agresif sehingga merusak struktur dan fungsinya. Karena molekul-molekul yang sangat reaktif ini sebagian besar berasal dari oksigen maka secara umum molekul-molekul tersebut disebut Reactive Oxygen Species (ROS) (Bagchi dan Puri, 1998).Mekanisme kerja antioksidan terjadi melalui 4 cara yaitu, memutus rantai pembentukan radikal bebas, berperan sebagai senyawa pereduksi, berpotensi sebagai senyawa pengkompleks terhadap logam yang pro-oksidan serta mencegah terbentuknya oksigen singlet (Woodside, 2001).

Gambar 2.1. Mekanisme pertahanan antioksidan terhadap serangan radikal bebas. Enzim antioksidan mengkatalisis berbagai jenis radikal bebas dilingkungan intraseluler. Protein logam transisi yang mengikat dan mencegah interaksi logam transisi seperti besi dan tembaga dengan hidrogen peroksida dan superoksida dismutase menghasilkan radikal hidroksil yang sangat reaktif. Rantai pemecah antioksidan merupakan donor elektron yang kuat dan bereaksi dengan radikal bebas sebelum merusak molekul target. Dengan demikian, antioksidan yang dioksidasi harus diregenerasi atau diganti.Sumber : Woodside, 2001.

2.2 Stres Oksidatif pada AutismeStres oksidatif pada autisme dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan ROS secara endogen dengan agen eksogen yang bersifat pro-oksidan terhadap mekanisme pertahanan antioksidan. Berbagai faktor yang mempengaruhi stres oksidatif pada autisme dapat dilihat selengkapnya pada Gambar 2.2. (Kannan et al., 2000). Gambar 2.2. Mekanisme stres oksidatif pada autisme.Sumber : Chauhan, 2006

Otak sangat rentan terhadap gangguan stres oksidatif dikarenakan kebutuhan energi yang lebih tinggi dan jumlah lemak serta zat besi yang lebih tinggi. Sebagian besar energi digunakan oleh neuron, sehingga meyebabkan otak memiliki kapasitas yang terbatas untuk mendetoksifikasi ROS. Oleh karena itu, neuron adalah sel yang pertama terpengaruh oleh peningkatan ROS. Dalam hal ini, anak-anak lebih rentan terhadap stres oksidatif dibandingkan orang dewasa karena level glutation alami yang rendah (Chauhan, 2006). Dengan begitu, di masa awal perkembangan, anak dapat menerima gangguan perkembangan saraf seperti autisme. Mekanisme potensial yang memediasi disfungsi neuronal dan gejala klinis pada autisme dapat dilihat pada Gambar 2.3. (Chauhan, 2006).

Gambar 2.3. Gambaran skematis mekanisme potensial yang memediasi disfungsi neuronal dan gejala klinis pada autisme.Sumber : Chauhan, 2006

2.3 Gen HFEHuman hemochromatosis protein atau dikenal sebagai protein HFE adalah protein yang pada manusia dikodekan oleh gen HFE . Gen HFE terletak pada lengan pendek kromosom 6 di posisi 21.3. Protein HFE berkombinasi dengan b2-mikroglobulin ( 2M ) dan berkompetisi dengan transferin ( Tf ) untuk mengikat reseptor transferin ( TFR ). Gen HFE merupakan faktor risiko genetik pada autisme yang mempengaruhi metabolisme besi (Gebril, 2011).

Gambar 2.4. Gen HFE terletak di lengan pendek kromosom (p) 6 pada posisi 21,3. Lebih tepatnya, gen HFE terletak dari dasar pasangan 26,087,280 ke basis pasangan 26,096,116 pada kromosom 6. Sumber : Gobbi et al, 2002

Gen HFE berfungsi untuk menginstruksikan protein yang terletak pada permukaan sel untuk mengatur produksi protein lain yang disebut hepsidin dan dianggap sebagai hormon yang berperan dalam regulasi besi. Protein HFE juga ditemukan pada beberapa sel dalam sistem kekebalan tubuh. Protein ini berinteraksi dengan protein lain pada permukaan sel untuk mendeteksi jumlah zat besi dalam tubuh. Hepsidin diproduksi oleh hati untuk menentukan kuantitas zat besi yang diserap dari makanan dan yang dikeluarkan dari dalam tubuh. Ketika protein yang terlibat dalam regulasi besi berfungsi dengan baik, penyerapan zat besi akan teratur. Rata-rata, tubuh menyerap sekitar 10% besi yang diperoleh dari makanan. Protein HFE juga berinteraksi dengan reseptor transferin (Fleming et al., 2004).Mutasi pada gen HFE akan memberi dampak pada kesehatan. Mutasi ini mengubah salah satu blok bangunan protein (asam amino) yang digunakan untuk membuat protein HFE dengan menggantikan asam amino sistein dengan asam amino tirosin pada posisi 282 dalam rantai protein asam amino (Cys282Tyr atau C282Y). Mutasi Cys282Tyr mengakibatkan protein HFE tidak dapat berinteraksi dengan hepsidin dan reseptor transferrin pada permukaan sel sehingga terjadi gangguan regulasi besi dan akibatnya terlalu banyak zat besi yang diserap dari makanan. Peningkatan penyerapan zat besi menyebabkan kelebihan zat besi sehingga menimbulkan keracunan pada sel (Fleming et al., 2004).2.4 Besi (Fe)Logam Fe adalah salah satu sumber mineral esensial yang diperlukan oleh setiap sel manusia. Sebagai logam transisi dengan nomor atom 26 dan berat atom 55,85, besi dapat berperan sebagai pembawa oksigen dan elektron serta sebagai kofaktor untuk oksigenisasi, hidroksilasi dan proses metabolik lainnya. Senyawa ini memiliki dua tingkat oksidasi yaitu ferro (Fe2+) dan ferri (Fe3+). Besi ditransportasi dan disimpan sebagai Fe yang terikat. Ion besi dapat berpartisipasi dalam berbagai reaksi yang menghasilkan radikal bebas yang selanjutnya dapat merusak sel (Beutler, 2000).Adanya penurunan atau peningkatan besi dalam tubuh dapat menghasilkan efek yang signifikan secara klinis. Jika terlalu sedikit (defisiensi besi) dapat terjadi pembatasan sintesis komponen yang mengandung besi aktif sehingga secara normal mungkin berbahaya. Demikian pula jika terlalu banyak besi yang terakumulasi (kelebihan besi) dapat melebihi kapasitas tubuh untuk mentranspor dan menyimpannya sehingga menimbulkan toksisitas besi yang selanjutnya memicu terjadinya kerusakan dan kematian organ yang luas (Beutler, 2000). Keseimbangan besi ditentukan oleh asupan besi dan keluaran besi dari tubuh. Jika persediaan besi tubuh menurun maka absorpsinya meningkat. Besi yang diserap usus atau dikeluarkan setiap hari berkisar antara 1-2 mg. Besi heme dan non heme diabsorpsi melalui brush border pada usus kecil bagian atas. Absorpsi besi yang terkandung dalam diet, ditentukan oleh jumlah dan bentuk besi, komposisi diet dan faktor gastro intestinal (GI tract). Besi heme biasanya terkandung sedikit dalam diet namun absorpsinya sekitar 20-30%. Kebanyakan besi yang terkandung dalam diet berupa besi non heme yaitu sekitar 90% dan absorpsinya dipengaruhi oleh keseimbangan antara inhibitor seperti phytate, tanat, fosfat dan ditingkatkan oleh asam amino dan asam askorbat. Umumnya besi non heme yang terabsorpsi adalah kurang 5% (Andrews, 2005).Terdapat empat bentuk zat besi dalam tubuh yaitu zat besi dalam hemoglobin, zat besi dalam depot (cadangan) sebagai feritin dan hemosiderin, zat besi yang ditranspor dalam transferin dan zat besi parenkhim atau zat besi dalam jaringan (Andrews, 1999).Asupan zat besi yang masuk ke dalam tubuh kita kira-kira 10 20 mg setiap harinya, dan hanya 1 2 mg atau 10% saja yang di absorbsi oleh tubuh. Sebanyak 70% dari zat besi yang di absorbsi tadi di metabolisme oleh tubuh dengan proses eritropoesis menjadi hemoglobin, 10 - 20% disimpan dalam bentuk feritin dan sisanya 5 15% digunakan oleh tubuh untuk proses lain. Ion besi Fe3+ yang disimpan di dalam ferritin dapat dilepaskan kembali jika tubuh membutuhkannya (Andrews, 1999). Mekanisme distribusi ion Fe pada metabolisme selular dapat dilihat pada Gambar 2.5. :

Gambar 2.5. Distribusi ion Fe pada metabolisme selular.Sumber : Arora dan Kapoor, 2012.Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 2004 menetapkan angka kecukupan besi perhari untuk orang di Indonesia seperti ditunjukkan pada tabel 2.1. :Tabel 2.1. Angka kecukupan besi harian untuk IndonesiaGolongan umur AKB * (mg)Golongan umurAKB * (mg)

0 6 bulan7 11 bulan1 3 tahun4 6 tahun7 9 tahun Pria :10 12 tahun 13 15 tahun16 18 tahun19 29 tahun30 49 tahun50 64 tahun 65 tahun

0, 578910

13191513131313Wanita :10 12 tahun13 15 tahun16 18 tahun19 29 tahun30 49 tahun50 64 tahun 65 tahun Hamil :Trimester ITrimester IITrimester IIIMenyusui :0 6 bulan 7 12 bulan20262626261212

+ 0+ 9+13

+ 6+ 6

Sumber : Widya Karya Pangan dan Gizi, 2004 Angka Kecukupan Gizi

Proses absorbsi ion besi di dalam tubuh dibagi menjadi tiga fase, yaitu (Andrews, 1999) :1. Fase Luminal. Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi. Adapun besi non-heme dapat berasal dari sumber nabati dan tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam makanan diolah di lambung dan melalui pengaruh asam lambung maka besi dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi ion besi dari bentuk ferri (Fe3+) ke ferro (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum.2. Fase Mukosal. Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks yang dikenal sebagai mucosal block (mekanisme yang dapat mengatur penyerapan besi melalui mukosa usus).3. Fase Korporeal. Meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan serta penyimpanan besi (storage) oleh tubuh. Ion besi setelah diserap oleh epitel usus dapat melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus, kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Transferin akan melepaskan besi pada sel sistem retikulo endotelial (RES) melalui proses pinositosis.

Selanjutnya terdapat 3 mekanisme regulasi absorbsi besi dalam usus yaitu : (Andrews, 1999) 1. Regulator dietetik di mana proses absorbsi besi dipengaruhi oleh jumlah kandungan besi dalam makanan, jenis besi dalam makanan (besi heme atau non heme), adanya penghambat atau pemacu absorbsi dalam makanan. 2. Regulator simpanan, yaitu penyerapan besi diatur melalui besarnya cadangan besi dalam tubuh. 3. Regulator eritropoetik di mana besar absorbsi besi berhubungan dengan kecepatan eritropoesis. 2.5 Transferin Transferin adalah protein 1 globulin (protein fase akut negatif) yang merupakan glikoprotein dengan berat molekul 79570 dalton, terdiri dari polipeptida rantai tunggal dengan 679 asam amino dalam dua domain homolog. Bagian N-terminal dan C-terminal masing-masing mempunyai satu tempat ikatan dengan Fe3+. Satu molekul transferin mengikat 2 atom besi (Fe3+). Transferin akan berikatan dengan reseptor transferrin, di mana setiap reseptor transferin mengikat 2 molekul transferin. Transferin terutama disintesis oleh sel parenkim hati., dan sebagian kecil di otak, ovarium dan limfosit T-helper. Transferin mempunyai waktu paruh 8-11 hari. Reseptor transferin yang merupakan glikoprotein terletak pada membran sel, berperan mengikat kompleks transferin-besi dan selanjutnya diinternalisasi ke dalam vesikel untuk melepaskan besi ke intraseluler (Beutler et al., 2000). Siklus transferin selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.6. :

Gambar 2.6. Siklus Transferin.Kompleks besi-transferin (Fe2-Tf) mengikat reseptor transferin pada permukaan prekursor eritroid. Kompleks ini masuk ke clathrin-coated pit, kemudian berinvaginasi membentuk endosom. Pompa proton mengurangi pH di dalam endosom, menyebabkan perubahan protein dan terjadi pelepasan besi oleh transferin. Pengangkut ion besi (DMT 1) memindahkan besi melintasi membran endosom, kemudian masuk ke sitoplasma. Transferin (Apo-Tf) dan reseptor transferin didaur ulang ke permukaan sel, yang dapat digunakan untuk siklus pengikatan dan penyerapan zat besi selanjutnya. Dalam sel eritroid sebagian besar besi dibawa ke mitokondria, kemudian masuk ke protoporfirin untuk membuat heme. Dalam sel noneritroid besi disimpan sebagai feritin dan hemosiderin.Sumber : Andrews, 1999

Jumlah transferin dapat dinyatakan dalam jumlah besi yang terikat sebagai Total Iron Binding Capacity (TIBC), di mana pada orang dewasa normal kadar besi plasma kira-kira 18 mol/L yang setara dengan 100 g/dL. Total Iron Binding Capacity (TIBC) 56 mol setara dengan 300 g/dL (Beutler, 2000).Fungsi transferin adalah sebagai protein pengangkut besi dalam beberapa jaringan termasuk otak. Transferin dapat bertindak sebagai antioksidan untuk mengurangi konsentrasi ion Fe dan mencegah pembentukan reaksi Fenton. Kadar transferin dapat meningkat bila terjadi kekurangan zat besi, ketika kadar zat besi rendah, hati mengkompensasi untuk memproduksi lebih banyak transferin, dan akan berkurang pada kasus kelebihan besi (Ragini et al., 2011).Selain itu, ion Fe3+-protoporfirin (heme) juga terdapat dalam empat subunit protein enzim katalase yang memainkan peran penting dalam mekanisme pertahanan terhadap kerusakan oleh ROS. Katalase mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan molekul oksigen, sehingga mengurangi jumlah pembentukan ion hidroksil (2 H2O2 O2 + 2H2O) (Chance, 1954).Untuk dapat berfungsi di dalam tubuh manusia, besi membutuhkan protein transferin, reseptor transferin dan feritin yang berperan sebagai penyedia dan penyimpan besi dalam tubuh dan Iron Regulatory Proteins (IRPs) untuk mengatur suplai besi (Beutler, 2000).

2.6 SeruloplasminSeruloplasmin adalah protein pengangkut tembaga yang merupakan protein antioksidan utama dan disintesis dalam beberapa jaringan termasuk otak. Seruloplasmin menghambat peroksidasi lipid membran. Ion logam seperti besi dan tembaga, terdapat di dalam enzim superoksida dismutase yang melindungi membran sel darah merah dari radikal bebas (Chauhan, 2006).Seruloplasmin juga melindungi asam lemak tak jenuh ganda pada sel darah merah dari oksigen radikal aktif. Anion superoksida (O2-) adalah produk reduksi pertama molekul oksigen. Selain bentuknya yang intrinsik toksisitas, superoksida merupakan sumber penting pembentukan hidrogen peroksida (Chauhan et al., 2004). Hidrogen peroksida akan diubah oleh enzim superoksida dismutase untuk membentuk air dan penghapusan radikal hidroksil (OH.), O2.- + H2O2 OH. + O2 + OH-. (McCord and Day, 1978).Efek toksik yang disebabkan oleh pembentukan radikal hidroksil dapat juga memulai peroksidasi. Enzim superoksida dismutase (SOD) dapat menghambat peroksidasi lipid dengan mengkatalis konversi superoksida menjadi hidrogen peroksida dan oksigen (2O2-. + 2H+ O2 + H2O2) ( MCCord and Fridovich, 1969; Kellogg and Fridovich, 1975; Gutteridge, 1977; Beyer et al., 1991). Peningkatan kadar lipid peroksida dapat bersamaan dengan penurunan tingkat seruloplasmin dan transferin serum yang terdapat pada anak-anak penderita autisme di bawah pengaruh stres oksidatif yang tinggi. Hal ini mungkin disebabkan oleh metabolisme abnormal pro-oksidan ion logam atau penurunan protein anti-oksidan (Chauhan, 2004).2.7 AutismeAutisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang kompleks dan biasanya muncul pada anak-anak terutama usia 1 3 tahun akibat adanya kelainan biologis dan neurologis pada otak termasuk ketidakseimbangan biokimia, faktor genetik dan gangguan kekebalan tubuh. Gangguan ini ditandai dengan adanya keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Pada umumnya penderita autisme mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Penderita menghindari atau tidak memberikan respons terhadap kontak sosial baik pandangan mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya (Fombonne 2005).Berdasarkan data CDC (Centers for Diseases Control and Prevention) pada tahun 2010 prevalensi autisme di Amerika sebanyak 1 dari 68 anak usia 8 tahun, dengan kejadian 4-5 kali lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, dengan prevalensi 1 dari 42 anak laki-laki dan 1 dari 189 anak perempuan (CDC, 2014). Yayasan Autisme Indonesia menyatakan adanya peningkatan terhadap jumlah penyandang autisme di Indonesia. Pada tahun 2004 diperkirakan 1 : 5000 anak, dan pada tahun 2014 diperkirakan meningkat menjadi 1 : 500 anak (Moore, 2010). Saat ini dilaporkan bahwa insidensi autisme di USA, Inggris, Timur Tengah dan Asia mencakup 1 : 250 anak (Rimland B, 2001 ; Bradstreet JJ, 2002 ). Pada tahun 2000 terdapat 1 : 1.500 anak dengan gangguan autisme (Frugteveen, 2000). Walaupun belum ada data resmi mengenai jumlah anak yang didiagnosis sebagai autisme, namun lembaga sensus Amerika Serikat melaporkan bahwa pada tahun 2004 di Indonesia terdapat 475.000 anak dengan ciri-ciri autisme seperti disebutkan di atas. Perbandingan penderita autis antara laki-laki dan perempuan adalah 2,6 - 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat (Widodo, 2006).Secara etiologi terdapat beberapa faktor yang turut mempengaruhi terjadinya autisme, yaitu faktor psikogenik dan faktor biologis serta lingkungan. Faktor psikogenik terjadi ketika pertama kali ditemukan tahun 1943 oleh Leo Kanner, dan diperkirakan disebabkan oleh pola asuh yang salah. Adapun faktor biologis dan lingkungan didukung oleh beberapa teori yang dapat memicu seseorang menjadi penderita autisme antara lain : teori genetik, neurokimia, Gluten-Kasein, autoimun dan alergi makanan, kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut), kekurangan vitamin, mineral dan nutrisi tertentu, infeksi virus, dan zat kimia beracun dan logam berat (Widyawati,2010 ). Autisme dianggap sebagai gangguan otak yang menggambarkan adanya gangguan yang dikenal sebagai whole body disorder dengan beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu : Kekurangan nutrisi, Pertumbuhan jamur yang berlebihan, Metallothionein, Toksisitas logam berat, Gangguan proses biokimia, Metilasi, Glutation dan Stres oksidatif. Adanya masalah sensorik yang sebagian besar terdapat pada anak autisme di mana tidak menyukai rasa dan tekstur dari makanan tertentu, maka seringkali anak autis mengalami kekurangan gizi. Nutrisi khusus sangat diperlukan untuk proses biokimia yang kompleks, dan nutrisi hanya dapat dicerna dan diserap dari makanan dan suplemen ketika saluran pencernaan berfungsi dengan baik. Beberapa cara untuk meningkatkan asupan nutrisi meliputi ; meningkatkan kualitas dan kemampuan mencerna makanan dengan menambah jumlah makanan padat gizi, seperti sayuran, menyisipkan sayuran dalam makanan yang biasa dimakan dan memberikan suplemen (Matthews, 2010).Jamur adalah organisme berbahaya yang dapat mempengaruhi energi, kejernihan pikiran dan kesehatan usus. Jamur berlebih sering dipicu oleh penggunaan antibiotik, dan sebaiknya menghindari konsumsi gula karena mengakibatkan pertumbuhan jamur yang berlebih, menghindari makanan yang mengandung ragi, mengurangi atau menghindari tepung kanji, memberikan makanan yang kaya probiotik (Matthews 2010).Metallothionein merupakan suatu protein yang memiliki banyak fungsi, diantaranya diperlukan untuk pengaturan kadar zinc dan tembaga di dalam darah, detoksifikasi merkuri dan logam beracun lainnya karena kemampuannya mengikat logam berat, membentuk sistem imun tubuh dan neuron otak, dan memproduksi enzim-enzim yang dapat memecah gluten dan kasein. Selain itu metallothionein juga berperan di daerah hipokampus otak yang memodulasi pengaturan tingkah laku, memori, emosi, dan sosialisasi. Pada anak autisme didapatkan kadar metallothionein yang rendah (Candless, 2005 dan Dufault, 2009).Merkuri dan beberapa logam berat lainnya selama ini juga diketahui ikut berperan dalam patogenesis autisme. Logam berat dapat menembus blood-brain barrier, sehingga dapat menimbulkan gangguan pada perkembangan anak, fungsi kognitif, atensi dan konsentrasi, impulsifitas serta kemampuan dalam berespon dan berinteraksi. Logam berat dapat memasuki tubuh melalui makanan, pernafasan, maupun diserap melalui kulit. Anak autisme tidak dapat mengeluarkan secara efisien zat-zat beracun yang memasuki tubuh mereka. Penyebab proses detoksifikasi natural menjadi rusak pada anak autisme masih belum terdapat penjelasan yang jelas. Akumulasi dari logam berat ini juga secara alami akan menyebabkan penekanan jumlah antioksidan glutation dalam tubuh selain itu juga dapat mengakibatkan gangguan perilaku maupun kognitif (Candless, 2005 dan Blaurock-Busch et al., 2012).Sulfat termasuk salah satu mineral penting yang banyak dijumpai dalam tubuh, sekitar 80% diproduksi secara in vivo melalui oksidasi metionin atau sistein, keduanya mengandung sulfur asam amino yang diperoleh dari protein makanan. Sulfasi diperlukan untuk banyak fungsi terutama untuk proses detoksifikasi, inaktivasi katekolamin, sintesis jaringan otak, dan sulfasi protein musin yang melapisi saluran pencernaan. Bahan kimia berbahaya yang dikenal sebagai fenol melekat pada sulfat dan dikeluarkan dari tubuh. Ketika kadar sulfat dalam aliran darah berkurang, senyawa fenolik dapat tertimbun dalam tubuh sehingga dapat mengganggu fungsi neurotransmitter. Pada anak autisme dijumpai kadar sulfat plasma yang rendah (James et al., 2009 dan Newman, 2009).Metilasi adalah serangkaian reaksi pengikatan gugus metil (-CH3) secara biokimia (enzimatis) yang sangat penting dalam tubuh agar memberikan suplai karbon (C) pada biomolekul dan berperan untuk aktivitas selular. Proses ini sering terganggu pada anak autis. Metilasi ini dapat menjadi marker pada fungsi otak normal, dan fungsi DNA termasuk proses penuanan dini (Newman 2009).Glutation (L-glutamil-L-cysteinyl-glisin) adalah peptida intraseluler yang memiliki berbagai fungsi termasuk detoksifikasi xenobiotik dan metabolitnya, menjaga keseimbangan redoks intraseluler, dan antioksidan endogen utama yang dihasilkan untuk melawan radikal bebas. Glutation sangat berperan dalam proses detoksifikasi sehingga defisiensi glutation dapat menyebabkan akumulasi bahan toksik lingkungan dan logam-logam berat. Jika hal ini terjadi pada awal perkembangan anak akan dapat mempengaruhi ekspresi gen yang berfungsi mengatur perkembangan saraf (James et al., 2004; Kauna-Czapliska et al., 2011; Main et al., 2012). Di dalam tubuh anak autisme didapatkan kadar stres oksidatif yang tinggi. Ditandai dengan meningkatnya nitrit oksida yang dapat merusak blood brain barrier dan menyebabkan demielinasi, merusak reseptor kolinergik, penurunan fungsi reseptor gamma-aminobutirat (GABA) sehingga konsentrasi glutamic acid decarboxylase (GAD) yang berfungsi untuk mengubah eksitotonin glutamat menjadi GABA menurun yang akan mengakibatkan menurunnya resistensi terjadinya apoptosis neuron dan juga dapat merusak mucin usus sehingga menyebabkan meningkatnya permeabilitas usus ( Bernhoft & Buttar, 2008; James et al., 2009; Newman, 2009 ). Glutation termasuk antioksidan utama dan didapatkan sangat rendah pada anak autisme. Defisiensi glutation dapat disebabkan karena pemakaian glutation yang berlebih pada anak autisme atau akibat defisiensi asam amino yang diperlukan sebagai prekursor glutation (Warsiki, 2012).2.7.1 Gejala KlinisGejala klinis pada penderita autis adalah sebagai berikut (Levy, 2009) :1. Gangguan di bidang komunikasi, di mana kualitas komunikasinya tidak normal, seperti : perkembangan bicara yang terlambat, atau sama sekali tidak berkembang; tidak adanya usaha untuk berkomunikasi dengan gerak atau mimik muka untuk mengatasi kekurangan dalam kemampuan bicara; tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan atau memelihara suatu pembicaraan dua arah yang baik (bahasa yang tidak lazim yang diulang-ulang atau stereotipik).

2. Gangguan di bidang interaksi sosial, dimana terdapat gangguan dalam kualitas interaksi sosial seperti : kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan ekspresi fasial, maupun postur dan gerak tubuh, untuk berinteraksi secara layak; kegagalan untuk membina hubungan sosial dengan teman sebaya, di mana mereka bisa berbagi emosi, aktivitas, dan minat bersama; ketidakmampuan untuk berempati, untuk membaca emosi orang lain; ketidakmampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama.3. Gangguan pada perilaku, di mana aktivitas, perilaku dan minat penderita autis sangat terbatas, diulang-ulang dan stereotipik seperti : adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola perilaku yang tidak normal; adanya suatu kelekatan pada suatu rutin atau ritual yang tidak berguna; adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, seperti misalnya mengepak-ngepak lengan, menggerak-gerakan jari dengan cara tertentu dan mengetok-ngetokkan sesuatu; adanya preokupasi dengan bagian benda atau mainan tertentu yang tak berguna, seperti memutar roda sepeda. Anak-anak ini sering juga menunjukkan emosi yang tak wajar seperti mengamuk tak terkendali, tertawa dan menangis tanpa sebab, dan rasa takut yang tak wajar.

2.7.2 DIAGNOSISKriteria diagnostik untuk gangguan autistik (Sadock, 2009) :A. Total enam atau lebih hal dari 1, 2 dan 3 dengan sekurangnya dua dari 1 dan masing-masing satu dari 2 dan 3.1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial seperti ditunjukan oleh sekurang-kurangnya dua dari berikut: gangguan jelas dalam penggunaan perilaku nonverbal multipel seperti tatapan mata, ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak-gerik untuk mengatur interaksi sosial; gagal untuk mengembangkan hubungan dengan teman sebaya yang sesuai menurut tingkat perkembangan; tidak adanya keinginan spontan untuk berbagi kesenangan, minat, atau pencapaian dengan orang lain (misalnya tidak memamerkan, membawa, atau menunjukkan benda yang menarik minat); tidak ada timbal balik sosial atau emosional.2. Gangguan kualitatif dalam komunikasi seperti yang ditunjukkan oleh sekurang-kurangnyanya satu dari berikut: keterlambatan dalam atau sama sekali tidak ada, perkembangan bahasa ucapan (tidak disertai oleh usaha untuk berkompensasi melalui cara komunikasi lain seperti gerak-gerik atau mimik); pada individu dengan bicara yang adekuat gangguan jelas dalam kemampuan untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain; pemakaian bahasa atau bahasa idiosinkratik secara stereotipik dan berulang; tidak adanya berbagai permainan khayalan atau permainan pura-pura sosial yang spontan yang sesuai menurut tingkat perkembangan.3. Pola perilaku, minat, dan aktivitas yang terbatas, berulang, dan stereotipik, seperti ditunjukkan oleh sekurang-kurangnyanya satu dari berikut: preokupasi dengan satu atau lebih pola minat yang stereotipik dan terbatas, yang abnormal baik dalam intensitas maupun fokusnya; ketaatan yang tampaknya tidak fleksibel terhadap rutinitas atau ritual yang spesifik dan nonfungsional, manerisme motorik stereotipik dan berulang (misalnya menjentikkan, atau memuntirkan tangan atau jari atau gerakan kompleks seluruh tubuh).B. Keterlambatan atau fungsi abnormal pada sekurangnya satu bidang berikut dengan onset sebelum usia 3 tahun : interaksi sosial; bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial; permainan simbolik atau imaginatif.C. Gangguan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan Rett atau gangguan disintegratif masa anak-anak.2.7.3 PenatalaksanaanPenatalaksanaan pada autisme harus secara terpadu, meliputi semua disiplin ilmu yang terkait : tenaga medis (psikiater, dokter anak, neurolog, dokter rehabilitasi medik) dan non medis (tenaga pendidik, psikolog, ahli terapi bicara/okupasi/fisik, pekerja sosial). Tujuan terapi pada autis adalah untuk mengurangi masalah perilaku dan meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya terutama dalam penguasaan bahasa. Dengan deteksi sedini mungkin dan dilakukan manajemen multidisiplin yang sesuai yang tepat waktu, diharapkan dapat tercapai hasil yang optimal dari perkembangan anak dengan autisme.Manajemen multidisiplin dapat dibagi menjadi dua yaitu non medikamentosadan medika mentosa (ASA, 2005).1. Non medikamentosaa. Terapi edukasiIntervensi dalam bentuk pelatihan keterampilan sosial, keterampilan sehari-hariagar anak menjadi mandiri. Tedapat berbagai metode pengajaran antara lain metode TEACHC (Treatment and Education of Autistic and related Communication Handicapped Children) metode ini merupakan suatu program yang sangat terstruktur yang mengintegrasikan metode klasikal yang individual, metode pengajaran yang sistematik terjadwal dan dalam ruang kelas yang ditatakhusus.b. Terapi perilakuIntervensi terapi perilaku sangat diperlukan pada autisme. Apapun metodenyasebaiknya harus sesegera mungkin dan seintensif mungkin yang dilakukanterpadu dengan terapi-terapi lain. Metode yang banyak dipakai adalah ABA(Applied Behaviour Analisis) di mana keberhasilannya sangat tergantung dariusia saat terapi itu dilakukan (terbaik sekitar usia 2 5 tahun).c. Terapi wicaraIntervensi dalam bentuk terapi wicara sangat perlu dilakukan, mengingat tidaksemua individu dengan autisme dapat berkomunikasi secara verbal. Terapi iniharus diberikan sejak dini dan dengan intensif dengan terapi-terapi yang lain.d. Terapi okupasi/fisikIntervensi ini dilakukan agar individu dengan autisme dapat melakukangerakan, memegang, menulis, melompat dengan terkontrol dan teratur sesuaikebutuhan saat itu.e. Sensori integrasiAdalah pengorganisasian informasi semua sensori yang ada (gerakan, sentuhan,penciuman, pengecapan, penglihatan, pendengaran) untuk menghasilkan responyang bermakna. Melalui semua indera yang ada otak menerima informasimengenai kondisi fisik dan lingkungan sekitarnya, sehingga diharapkan semuagangguan akan dapat teratasi.f. AIT (Auditory Integration Training)Pada intervensi autisme, awalnya ditentukan suara yang mengganggupendengaran dengan audiometer. Lalu diikuti dengan seri terapi yangmendengarkan suara-suara yang direkam, tapi tidak disertai dengan suara yangmenyakitkan. Selanjutnya dilakukan desentisasi terhadap suara-suara yangmenyakitkan tersebut.g. Intervensi keluargaPada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan keluarga baikperlindungan, pengasuhan, pendidikan, maupun dorongan untuk dapattercapainya perkembangan yang optimal dari seorang anak, mandiri dan dapatbersosialisai dengan lingkungannya. Untuk itu diperlukan keluarga yang dapatberinteraksi satu sama lain (antar anggota keluarga) dan saling mendukung.Oleh karena itu pengolahan keluarga dalam kaitannya dengan manajementerapi menjadi sangat penting, tanpa dukungan keluarga rasanya sulit sekali kitadapat melaksanakan terapi apapun pada individu dengan autisme.2. MedikamentosaIndividu yang destruktif seringkali menimbulkan suasana yang tegang bagilingkungan pengasuh, saudara kandung dan guru atau terapisnya. Kondisi iniseringkali memerlukan medikasi dengan medikamentosa yang mempunyai potensiuntuk mengatasi hal ini dan sebaiknya diberikan bersama-sama dengan intervensiedukasional, perilaku dan sosial.a) Jika perilaku destruktif yang menjadi target terapi, manajemen terbaik adalahdengan dosis rendah antipsikotik/neuroleptik tapi dapat juga dengan agonisalfa adrenergik dan antagonis reseptor beta sebagai alternatif. Neuroleptik tipikal potensi rendah (Thioridazin) dapat menurunkan agresifitas dan agitasi. Neuroleptik tipikal potensi tinggi (Haloperidol) dapat menurunkan agresifitas, hiperaktifitas, iritabilitas dan stereotipik. Neuroleptik atipikal (Risperidon) akan tampak perbaikan dalam hubungan sosial dan atensi. Agonis reseptor alfa adrenergik (Klonidin), dilaporkan dapat menurunkan agresifitas, impulsifitas dan hiperaktifitas. Beta adrenergik blocker (Propanolol) dipakai dalam mengatasi agresifitas terutama yang disertai dengan agitasi dan anxietas.b) Jika perilaku repetitif menjadi target terapi, penggunaan neuroleptik (Risperidon) dan SSRI dapat dipakai untuk mengatasi perilaku stereotipik seperti melukai diri sendiri, resisten terhadap perubahan hal-hal rutin dan ritual obsesif dengan anxietas tinggi.c) Jika inatensi menjadi target terapi, penggunaan Methylphenidat (Ritalin, Concerta) dapat meningkatkan atensi dan mengurangi destruksibilitas.d) Jika insomnia menjadi target terapi, penggunaan Dyphenhidramine (Benadryl) dan neuroleptik (Tioridazin) dapat mengatasi keluhan ini.e) Jika gangguan metabolisme menjadi problem utama seperti gangguan pencernaan, alergi makanan, gangguan kekebalan tubuh, keracunan logam berat yang terjadi akibat ketidakmampuan anak-anak ini untuk membuang racun dari dalam tubuhnya. Intervensi biomedis dilakukan setelah hasil tes laboratorium diperoleh. Semua gangguan metabolisme yang ada diperbaiki dengan obat-obatan maupun pengaturan diet. 2.8 Hubungan Antara Stres Oksidatif dengan Mutasi Gen HFE dalam Memicu Terjadinya Autisme Gen HFE berfungsi untuk menginstruksikan produksi protein HFE yang terletak pada permukaan sel agar berinteraksi dengan protein lain pada permukaan sel serta mendeteksi jumlah zat besi dalam tubuh. Protein HFE mengatur produksi hepsidin, juga menentukan berapa banyak zat besi yang diserap dari makanan dan dikeluarkan dari dalam tubuh. Protein HFE juga berinteraksi dengan reseptor transferin. Jika protein yang terlibat dalam regulasi besi berfungsi dengan baik, penyerapan zat besi akan teratur (Fleming, 2004).Adanya mutasi pada gen HFE dapat mengubah salah satu asam amino yang digunakan untuk menyusun protein HFE, misalnya dengan menggantikan asam amino sistein dengan asam amino tirosin pada posisi 282 dalam rantai protein asam amino (Cys282Tyr atau C282Y). Mutasi Cys282Tyr ini mengakibatkan protein HFE tidak dapat berinteraksi dengan hepsidin dan reseptor transferin pada permukaan sel sehingga terjadi gangguan regulasi besi sehingga terlalu banyak zat besi yang diserap dari makanan. Akibatnya peningkatan penyerapan zat besi dapat menyebabkan kelebihan zat besi dan keracunan pada sel (Fleming, 2004). Hati mengkompensasi kelebihan zat besi ini dengan menurunkan kadar transferin dalam darah. Akibatnya, terjadi kelebihan besi di dalam sel yang memicu banyaknya jumlah racun radikal bebas yang terjadi akibat reaksi Fenton. Reaksi Fenton tidak dapat dicegah dikarenakan terjadi penurunan transferrin di dalam plasma yang berfungsi sebagai antioksidan untuk mengurangi jumlah ion Fe bebas (Chauhan, 2006). Secara umum agen oksidatif juga mempengaruhi semua organ, terutama otak, dan menggangu perkembangan saraf, sehingga muncul gejala klinis seperti autisme (Chauhan, 2006).2.9 Hubungan Antara Gangguan Metabolisme Fe terhadap Regulasi Protein Transferin dan Seruloplasmin pada AutismeIon besi berperan sebagai pembawa oksigen dan elektron serta sebagai kofaktor untuk oksigenisasi, hidroksilasi dan proses metabolik lainnya. Senyawa ini memiliki dua tingkat oksidasi yaitu ferro (Fe2+) dan ferri (Fe3+). Ion besi juga turut berpartisipasi dalam berbagai reaksi yang menghasilkan radikal bebas yang selanjutnya dapat merusak sel. Jika terlalu banyak besi terakumulasi dan melebihi kapasitas tubuh untuk mentranspor dan menyimpannya, maka akan menimbulkan toksisitas besi yang selanjutnya memicu terjadinya kerusakan dan kematian organ yang luas. Untuk dapat berfungsi bagi tubuh manusia, besi membutuhkan protein transferin, reseptor transferin dan feritin yang berperan sebagai penyimpan besi dalam tubuh dan Iron Regulatory Proteins (IRPs) untuk mengatur suplai besi (Beutler, 2000). Transferin yang merupakan protein pembawa dapat mengangkut besi plasma dan cairan ekstraseluler untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Hoffman, 2000). Kadar transferin meningkat bila terjadi kekurangan zat besi, namun ketika kadar zat besi rendah, hati mengkompensasi dengan memproduksi lebih banyak transferin, dan berkurang pada kasus kelebihan besi.Penurunan kadar transferin mengakibatkan terakumulasinya ion Fe bebas dalam plasma dan terbentuknya radikal hidroksil yang sangat beracun oleh reaksi Fenton. Otak sangat rentan terhadap stres oksidatif dikarenakan kapasitas antioksidan yang terbatas, kebutuhan energi yang lebih tinggi , dan jumlah lemak dan zat besi yang lebih tinggi. Oleh karena berkurangnya kapasitas produksi glutation di neuron, maka otak memiliki kapasitas yang terbatas untuk mendetoksifikasi ROS. Oleh karena itu, neuron adalah sel pertama yang akan terpengaruh oleh peningkatan ROS sehingga paling rentan terhadap stres oksidatif dan mengakibatkan gangguan perkembangan saraf seperti autisme. Stres oksidatif pada autisme terjadi akibat ketidakseimbangan antara jumlah ROS secara endogen dan eksogen serta mekanisme pertahanan terhadap ROS oleh antioksidan yang rendah (Kannan et al., 2000).

Adanya penurunan kadar seruloplasmin juga mengakibatkan peroksidasi membran lipid yang diperantarai oleh zat besi. Hal ini menyebabkan peningkatan radikal bebas yang dapat merusak mitokondrial, peningkatan peroksidasi lipid, oksidasi protein, oksidasi DNA, dan berujung pada stress oksidatif pada penderita autisme (Chauhan, 2006).

7