bab 1
DESCRIPTION
aTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan
nyeri sebagai sensasi yang tidak menyenangkan dan mengganggu dan pengalaman emosional
akibat adanya kerusakan jaringan atau yang berpotensi terjadinya kerusakan jaringan atau
sesuatu yang berarti kerusakan.1
Nyeri juga berfungsi sebagai mekanisme proteksi, defensif dan penunjang
diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibel nyeri memungkinkan seseorang untuk
bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya
kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme defensif, memungkinkan untuk immobilsasi
organ tubuh yang mengalami inflamasi atau patah sehingga sensibel yang dirasakan akan
mereda dan bisa mempercepat penyembuhan. 1
Klasifikasi nyeri secara umum terdiri dari nyeri akut dan nyeri kronik. Pengukuran
nyeri bersifat subyektif dan diukur dengan menggunakan skala FACES yang dimulai dari
nilai '0' (tidak dirsakan nyeri pada pasien dapat dilihat dari ekspresi wajah pasien), hingga '5'
(nyeri terburuk yang pernah dirasakan pasien).2
Penanganan nyeri tergantung dari derajat rasa nyeri serta tanggapan pada obat
analgesik. Pemberian dan penggantian obat analgesik dilakukan secara bertahap. Tahapan
digambarkan dengan jenjang analgesik dengan tiga tahap atau langkah. Langkah pertama
mencakup obat analgesik non narkotik, misalnya aspirin atau parasetamol. Langkah kedua
memberi narkotik lemah, misalnya kodein, bila dibutuhkan dengan tetap diberi analgesik
biasa. Sedang pada langkah tertinggi, diberikan obat narkotik kuat, misalnya morfin, sekali
lagi dengan analgesik biasa bila dibutuhkan.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI NYERI
1
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut International
Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang
tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.4,5
2. FISIOLOGI NYERI
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit
yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor
nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang
bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. 3
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian
tubuh yaitu :6
a. Pada kulit (Kutaneus)
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah
ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit
(kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
- Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab
nyeri dihilangkan
- Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat
pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
b. Somatik dalam (deep somatic)
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada
tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit
dilokalisasi.
c. Pada daerah visceral
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ
viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada
2
reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif
terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri dihantarkan
oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi stimulus, penguat dan
penghantar menuju sistem saraf pusat. Sensasi tersebut sering didekripsikan sebagai
protopatik (noxious) dan epikritik (non-noxious). Sensasi epiritik (sentuhan ringan,
tekanan, propriosepsi, dan perbedaan temperatur) ditandai dengan reseptor ambang
rendah yang secara umum dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya,
sensasi protopatik (nyeri) ditandai dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh
serabut saraf bermielin yang lebih kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin
(serabut C). 6
Stimulus ini melalui empat proses tersendiri yaitu : 7
a. Transduksi
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di
reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti prostaglandin dari sel
rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit dan
substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu
(panas) atau kimia (substansi nyeri).
b. Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor saraf perifer.
Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron
pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi
sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua.
Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks
serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan
sebagai persepsi nyeri.
c. Modulasi
Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang dapat
mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini juga
melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktifitas di
reseptor nyeri.
d. Persepsi
3
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses
transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu
perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.
3. KLASIFIKASI NYERI
Nyeri diklasifikasikan dari mekanisme, sumber, lokasi, durasi, dan intensitasnya.5,8,9
a. Klasifikasi berdasarkan mekanisme nyeri banyak dipakai diklinik, yaitu:
- Nyeri nosiseptif yaitu nyeri yang timbul bila reseptor nyeri (nociceptor) teraktivasi.
Stimulasi nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung
saraf sensoris dan simpatik. Umumnya nyeri hilang tanpa pengobatan atau dengan
analgetik ringan.15
- Nyeri neuropatik yaitu nyeri yang disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada
sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer,
infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang
dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai
hilangnya rasa atau pada perabaan rasanya tidak enak. Nyeri neuropatik dapat
menyebabkan terjadinya allodynia dan hiperalgesia. Ini mungkin terjadi secara
mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian
menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen
pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukan respon yang buruk pada
pemberian analgetik konvesional.
- Nyeri psikogenik yaitu nyeri yang dikeluhkan tanpa terdeteksi adanya kelainan
organic. Ditimbulkan karena abnormalitas atau gangguan fungsi system saraf pusat
yang berupa peningkatan sensitivitas terhadap berbagai stimulus. Berhubungan
dengan gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila
keadaan kejiwaan pasien tenang. Contoh lain nyeri fungsional antara lain
fibromyalgia, nyeri kepala, tegang otot dan sebagainya.
- Nyeri campuran yaitu gabungan dari nyeri inflamasi dan nyeri neuropatik.
Contohnya: Low back pain with radiculopathy, Cervical radiculopathy, Cancer
pain dan Carpal tunnel syndrome.
4
b. Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi: 5,8,9
- Nyeri somatic luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membrane
mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, tajam dan terlokalisasi.
- Nyeri somatic dalam
Nyeri tumpul dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada otot
rangka, tulang, sendi dan jaringan ikat.
- Nyeri visceral
Nyeri karena perangsangan organ visceral atau membrane yang menutupinya
(pleura parietalis, pericardium, peritoneum).
c. Berdasarkan lokasi, nyeri dibagi menjadi: 5,8,9
- Nyeri neuropatik perifer yaitu letak lesi pada system aferen perifer di saraf tepi,
ganglion radiks dorsalis, atau pada radiks dorsalis. Contoh: polyneuritis,
polineuropat diabetic, neuralgia pascaherpes, dan neuralgia terminal.
- Nyeri neuropatik sentral yaitu letak lesi di medulla spinalis, batang otak, thalamus
atau korteks serebri. Contoh: nyeri spinal pasca trauma, nyeri sentral pasca stroke.
d. Berdasarkan durasi (waktu), nyeri dibagi menjadi: 5,8,9
- Nyeri akut, bila nyeri yang dialami dalam waktu 3 bulan. Contoh: iskhialgia pada
HNP, neuralgia trigeminal.
- Nyeri kronis bila nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa ada tanda-
tanda aktivitas otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri
yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya
berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. Ada 2 jenis nyeri kronis
yaitu nyeri malignan akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf, contoh nyeri
kanker, nyeri pasca radiasi, nyeri pasca operatif, nyeri pasca kemoterapi. Lalu
nyeri nonmalignan akibat trauma atau proses degenerasi contoh, neuropati
diabetic, sindrom terowongan karpal, neuropati toksik, nyeri sentral pasca stroke,
nyeri spinal pasca trauma.
5
Table 1. Perbandingan nyeri akut dan kronik
Sifat Nyeri akut Nyeri kronik
Awitan, durasi Awitan mendadak,
durasi singkat, <3 bulan
Awitan bertahap,
menetap, >6 bulan
Intensitas Ringan-sedang Sedang-parah
Respon fisiologik Spesifik, dapat
diidentifikasi secara
biologis
Kasus mungkin jelas,
mungkin tidak
Respon emosi/perilaku Hiperaktivitas autonomy
yang dapat
diperkirakan: tekanan
darah, nadi, napas
meningkat, dilatasi
pupil, pucat, mual,
muntah
Aktivitas autonom
normal
Respon terhadap
analgesic
Cemas, tidak mampu
konsentrasi, gelisah,
distress, tapi tetap
optimis nyeri akan
hilang
Depresi, lelah,
imobilitas atau
inaktivasi fisik, menarik
diri dari lingkungan
social, tidak ada harapan
akan kesembuhan,
memperkirakan nyeri
akan berlangsung lama
Respon terhadap
analgesic
Meredakan nyeri secara
efektif
Sering kurang dapat
meredakan nyeri
e. Berdasarkan intensitas, nyeri dibagi menjadi: 5,8,9
- Nyeri ringan: nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu melakukan aktifitas
sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
- Nyeri sedang: nyeri yang terus menerus, aktifitas terganggu, yang hanya hilang jika
6
penderita tidur.
- Nyeri berat: nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari, penderita tak
dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu tidur.
4. PENILAIAN NYERI
Nyeri merupakan suatu keluhan, sehingga diagnostik nyeri sesuai dengan usaha
untuk mencari penyebab terjadinya nyeri. Dengan menanggulangi penyebab, keluhan
nyeri akan mereda atau hilang.9
Tabel 2. Evaluasi nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan
nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda
oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,
pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri
itu sendiri.5,8,9. Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
a. Skala intensitas nyeri deskritif
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale) merupakan sebuah garis
yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama
di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang
7
tidak tertahankan. Perawat menunjukkan pasien skala tersebut dan meminta pasien untuk
memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh
nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. 5,8,9
Skala nyeri harus dirancang sehingga mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi
banyak waktu. Apabila pasien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri
akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat
keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi pasien. Perawat dapat
menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah
nyeri mengalami penurunan atau peningkatan.5,8,9
b. Skala identitas nyeri numeric
Skala
penilaian numerik (Numerical Pain Intensity Scales) lebih digunakan sebagai pengganti
alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-
10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah
intervensi terapeutik. 5,8,9
c. Skala analog visual
Skala analog visual (Visual Analog Scale) tidak melebel subdivisi. VAS adalah
suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi
verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi pasien kebebasan penuh untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri
yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari
pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka. 5,8,9
8
Keterangan:9
- 0 : Tidak nyeri
- 1-3 : Nyeri ringan, secara obyektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik
- 4-6 : Nyeri sedang, secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik
- 7-9 : Nyeri berat, secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah
tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak
dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas
panjang dan distraksi
- 10 : Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas
nyeri tersebut. Pasien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang
ringan, sedang atau parah. 5,8,9
5. MANAJEMEN NYERI
Manajemen terapi nyeri merupakan hal yang berkaitan pada semua disiplin ilmu dari
anestesiologi. Aplikasi terapi nyeri pada saat ini juga berlaku pada ruang di luar ruang
operasi. Aplikasi praktek ini membagi nyeri menjadi nyeri akut dan nyeri kronik, pada
nyeri akut biasanya terjadi pada pasien setelah menjalani pembedahan. 4
A. Non medikamentosa
Hipnosis dan sugesti7
9
Dalam upaya menghilangkan rasa nyeri, rasa takut perlu perlu dihilangkan untuk
menciptakan kondisi yang optimal bagi pelaksanaan pembedahan. Oleh karena hal
tersebut maka hypnosis dan sugesti dapat membantu menghilangkan komplikasi nyeri
pasca bedah.
B. Medikamentosa
Penanganan nyeri perlu memahami proses patofisiologi. Terdapat empat proses
yang terjadi dimulai dari transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. Sisi target obat
pereda nyeri adalah : 4,10
- NSAID pada proses transduksi
- Anestetik lokal pada proses transmisi
- Opioid pada proses modulasi
- Yang disebut sebagai “ balanced analgesia” adalah pemberian analgetik yang sisi
targetnya pada proses transduksi, transmisi dan modulasi.
Terdapat beberapa kelompok obat nyeri yaitu :
a. Golongan opioid
Opiat berasal dari biji-bijian opium, opioid berarti mirip opiat (opiat-like) adalah
derivat opium termasuk opium natural dan sintetik. Opioid saat ini adalah analgesik
paling kuat yang tersedia dan digunakan dalam pengobatan nyeri sedang sampai
berat.3
Ada lima kelompok reseptor opiat yang tersebar dalam tubuh (otak, medula
spinalis, saraf perifer, ganglion, medula adrenal, dan usus). Reseptor yang berbeda
akan memberikan efek farmakologis yang berbeda pula tergantung di mana lokasinya.
Sebagian besar reseptor opioid di otak berada di PAG (periaqueductal gray).
Stimulasi pada reseptor ini akan mengaktifkan serabut desenden, yang mana akan
memodulasi input serabut C ke dalam lamina II medula spinalis. Modulasi ini akan
menyebabkan medula spinalis merilis neurotransmiternya (nor-epinefrin dan
serotonin). 3
Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu : 3
- Reseptor μ (mu) memperantarai efek analgetik mirip morfin, euforia, depresi
pernapasan, miosis, dan berkurangnya motilitas saluran cerna
- Reseptor κ (kappa) di susunan saraf pusat memegang peranan penting dalam
menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid.
10
- Reseptor δ (delta) diduga memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan
pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi pernapasan yang tidak sekuat agonis.
Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi : 3
- Agonis penuh (kuat) seperti morfin, hidromorfon, oksimorfon, metadon,
meperidin, fentanil, dan levorfanol.
- Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang) seperti kodein, oksikodon,
hidrokodon, propoksifen, dan difenoksilat
- Campuran agonis dan antagonis seperti nalbufin, buprenorfin, dan pentazosin.
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip
termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu, semua
opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan (adiksi).
Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi untuk
mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap opioid tersebut diberikan
dalam jangka panjang, misalnya pada terapi kanker. 3
b. Analgesik non opioid
Yang termasuk golongan ini adalah :3
- Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS/NSAID)
OAINS adalah obat analgetik non-opioid yang mempunyai efek anti-inflamasi,
antipiretik dan analgetik. Obat golongan ini direkomendasikan untuk
menanggulangi nyeri ringan sampai dengan sedang. OAINS yang sering digunakan
adalah asam asetil salisilat (aspirin) dan ibuprofen (advil). OAINS sangat efektif
untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronik seperti
artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.
OAINS mengahasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui
inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat. Prostaglandin
mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan produk inflamatorik
lain di tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin, untuk menimbulkan
hiperalgesia. Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme transduksi di
nosiseptor dengan menghambat sintesis prostaglandin.
Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau
toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu peningkatan dosis melebihi
kadar tertentu tidak menambah efek analgesik. Penyulit yang tersering berkaitan
dengan pemberian OAINS adalah gangguan saluran cerna, meningkatnya waktu
11
pendarahan, pengelihatan kabur, perubahan minor uji fungsi hati, dan
berkurangnya fungsi hati, dan berkurangnya fungsi ginjal
Pembagian Obat Anti Inflamasi Non Steroid
-
Asetaminofen
Asetaminofen adalah derivat parasetamol dan berbeda dengan golongan
OAINS karena tidak mempunyai efek anti inflamasi. Obat ini baik untuk
menghilangkan nyeri sedang yang tidak mempunyai efek anti inflamasi. Obat ini
sering dikombinasikan dengan narkotik (codein). Cara kerja obat masih belum
jelas. Analgesia disebabkan oleh inhibisi NO dalam medula spinalis. NO adalah
neurotransmiter yang dirilis pada kornu dorsalis medula spinalis bila aktivasi dari
serabut C. dengan adanya NO pada celah sinaptik dapat mengaktivasi neuron
traktus spinotalamikus post sinaptik. Selain asetaminophen akan menginhibisi
COX di otak, yang mana akan menyebabkan efek antipiretik.
- Tramadol
Tramadol menyebabkan analgesi melalui dua mekanisme yaitu:
Ikatan lemah pada reseptor, karenanya ia merupakan opioid agonis yang
lemah.
Memudahkan rilis dan menghambat re-uptake dari serotonin atau
norepinephrin.
12
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah dan sakit kepala. Efek
farmakologis tramadol ialah terserap melalui traktus gastrointestinal dan
parenteral.
c. Antagonis dan agonis-antagonis opioid
Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan mengikat
reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu antagonis opioid
murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid. Nalokson digunakan untuk
melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu yang paling serius adalah depresi nafas
dan sedasi. 11
Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti pentazosin
(talwin) dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien yang bergantung
pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu gejala-gejala putus obat. Agonis-
antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila diberikan tersendiri dan lebih kecil
kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (misalnya depresi
pernafasan) dibandingkan dengan antagonis opioid murni. 11
d. Adjuvan atau koanalgesik
Obat golongan ini digunakan dalam penanggulangan nyeri walaupun tidak
mempunyai efek analgetik. Obat ini menghilangkan nyeri sebagai suatu sindrom atau
potensiasi dengan obat analgetik seperti halnya kerja opioid. Obat adjuvan
sebelumnya digunakan untuk tujuan lain dari penanggulangan nyeri, tetapi seiring
perkembangan pengetahuan fisiologi yang mendasari sindrom nyeri, obat adjuvan
semakin banyak digunakan dalam penanggulangan nyeri.11
- Obat anti depresan
Obat anti depresan sering digunakan pada penanggulangan sindroma nyeri
kronis. Obat anti depresan menginhibisi re-uptake amin biogenik (norepinephrin
dan serotonin) kembali ke dalam terminal saraf, sehingga meningkatkan
konsentrasi dan durasi dari kerja neurotransmiter pada sinaps. Neuron
serotonergik dan noradrenergik dalam batang otak akan menginhibisi input
serabut C ke medulla spinalis. Obat anti depresan akan mengaktifkan neuron
inhibisi desenden yang juga diaktifkan oleh opioid. Anti depresan akan
berpotensiasi dengan serotonin dan norepinefrin yang dirilis oleh opioid. 11
- Obat anti konvulsan
13
Obat anti konvulsan efektif dalam penanggulangan sindroma nyeri yang
bersifat intermiten-tajam, neuropatik dan kontinyu burning. Obat yang sering
digunakan adalah golongan karbamazepine, gabapentin dan fenitoin. Cara kerja
obat memblok Sodium Channel yang akan menekan fokus ektopik dalam otak
karenanya dapat mencegah kejang dan obat ini juga mengurangi pelepasan fokus
ektopik dari cedera saraf perifer yang diperkirakan sebagai penyebab dari nyeri
intermiten yang tajam.11
- Obat anti aritmia
Obat anti aritmia tampaknya berguna pada penanggulangan sindroma nyeri
yang bersifat intermiten-tajam, allodinia dan dysesthetic. Obat yang sering
digunakan adalah golongan Bretylium, Guanetidin, dan Lidokain. Cara kerja obat
golongan ini hampir sama seperti obat anti-konvulsan. 11
- Obat antagonis alfa-1 dan agonis alfa-2
Sistem saraf simpatis terlibat banyak sindroma nyeri kronis. Obat alfa-1
antagonis dan alfa-2 agonis digunakan untuk maksud ini. Terminal saraf perifer
bertindak sebagai reseptor alfa yang akan menjadi aktif pada keadaan nyeri
neuropatik. Sistem saraf simpatis akan merilis norepinephrine (NE), yang
menstimuli reseptor ini dan menyebabkan rasa nyeri. Alfa bloker akan memblok
kerja NE pada reseptor ini. Alfa-2 agonis akan obat ini membuat suatu
simpatektomi kimia.11
NYERI PASCA OPERASI
Nyeri yang timbul pada keadaan akibat trauma dan proses inflamasi akibat
tindakan pembedahan, bersifat nosiseptif pada waktu istirahat dan seringkali bertambah
pada waktu bergerak. Nyeri ini memicu respon stress yaitu respon neuro endokrin yang
berpengaruh pada mortalitas dan morbiditas komplikasi pasca operasi. Nyeri ini dibagi
menurut tindakan operasinya, antara lain;12
a. Nyeri hebat, diakibatkan oleh tindakan operasi thorakal, abdomen bagian atas, sendi
lutut, dan operasi aorta.
b. Nyeri sedang, biasa dijumpai pada operasi abdomen bawah, mandibula, replacement
pinggul.
c. Nyeri ringan timbul menyertai operasi herniorafi inguinal, varisektomi, laparoskopi.12
14
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic
Ladder. Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri
dari :13
Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non opiat.
Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan obat
opioid lemah misalnya kodein.
Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah ketiga,
disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri
kronik maupun nyeri akut, yaitu : 14
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1
15
Pada setiap langkah, apabila perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat
pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam masing-masing
taraf penaggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan efektivitas analgesik,
memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan untuk bertindak sebagai
obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu. 13
BAB III
KESIMPULAN
Nyeri bukan hanya sebuah modalitas sensorik akan tetapi merupakan pengalaman.
Rasa nyeri merupakan masalah yang unik, disatu pihak bersifat melindungi badan kita dan di
pihak lain merupakan suatu siksaan. Secara klinis penting untuk membagi nyeri menjadi dua
kategori: nyeri akut dan nyeri kronik
Terdapat empat proses patofisiologi nyeri yang terjadi yaitu transduksi, transmisi,
modulasi dan persepsi. Beberapa serabut aferen yag terlibat diantaranya adalah serabut serat
Aβ, Aδ dan C .
Peran ahli anestesi selain diruang operasi juga di dalam mengelola nyeri akut maupun
kronik di klinik nyeri maupun di rumah sakit. Manajemen terapi nyeri merupakan hal yang
berkaitan pada semua disiplin ilmu dari anestesiologi. Praktek dari terapi nyeri tidak hanya
terbatas bagi ahli anestesi akan tetapi melibatkan praktisi kesehatan lainnya seperti tenaga
medis dan juga non medis.
Manajemen nyeri melibatkan semua proses pengobatan yang ada, farmakologis,
intervensi atau diluar farmakologis. Tujuan utama dari manajemen nyeri adalah untuk
mengurangi kesakitan dan kematian yang diakibatkan oleh nyeri pasca operasi.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Mekzack R. Labour Pain As A Model Of Acute Pain. Mosby. Philadelphia. 1993; 117-
120.
2. Hadinoto H, Setiawan, Soetedjo. Nyeri: Pengenalan dan Tatalaksana. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro. Semarang. 1996; 1-20.
3. Budiman G. Basic Neuroanatomical Pathway. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2005; 5-11.
4. Morgan GE. Pain management, In: Clinical Anesthesiology 2nded. Stamford: Appleton
and Lange; 1996. P274-316.
5. Hamill, RJ. The assessment of pain, In: Handbook of Critical Care Pain Management.
New york: McGrow-Hill Inc; 1994. P13-25.
6. Surota. Aspek Neurobiologi Nyeri dan Inflamasi. Erlangga Universities Press. Surabaya.
2006; 51-66.
7. Holdcroft A, Jaggar S.Core Topics in Pain. London: Cambridge University, 2005: 223
8. Pain. The American journal of managed care. June; 2006. 12: S256-62.
9. Suryamiharja A, et all. Konsesus nasional 1 diagnostik dan penatalaksanaan nyeri
neuropatik. Cetakan ke-1. Surabaya: Pusat penerbitan dan percetakan unair; 2011. H1-60.
10. Marwoto. Masalah Nyeri: Anatomi, Fisiologi dan Manajemen Nyeri Secara Rasional.
Semarang: Bagian/SMF Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
2003: 1-6.
11. Muhiman M, Thaib R, Sunatrio S, Dahlan R. Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2004: 27-33.
12. Soenarjo, Jatmiko H. Anestesiologi. Ikatan Dokter Spesialis Anestesi dan Reanimasi.
Semarang. 2010; 171-183.
13. WHO Analgesic Ladder. Available from:
http://www.medscape.com/viewarticle/452533_2.
14. Three step analgesic ladder for acute pain. Available from:
http://www.medicine.ox.ac.uk/bandolier/booth/painpag/wisdom/493HJM.html.
17