bab 1- bab 3

Upload: anggihs

Post on 10-Jul-2015

350 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflasi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi kenaikan harga secara terus menerus sehingga menyebabkan penurunan nilai uang. Milton Friedman mengatakan Inflasi merupakan fenomena moneter bila terjadi kenaikan harga terjadi secara terus menerus. Tingkat laju inflasi ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran terhadap barang dan jasa yang mencerminkan perilaku para pelaku pasar atau masyarakat (Miskhin, 2003: 663). Indonesia pernah mengalami hyperinflasi sampai dengan 600% pada tahun 1965 terutama dikarenakan di tahun itu pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dengan mencetak uang secara berlebihan untuk pembiayaan defisit anggaran akibat kebijakan fiskal yang ekspansif. Jumlah uang beredar di masyarakat yang melonjak melebihi dari kebutuhan riil perekonomian yang mengakibatkan harga-harga pada saat itu melonjak tajam (Warijo dkk, 2003: 90). Secara umum, inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif, tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hyperinflasi) keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu, orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.

1

Pada saat krisis ekonomi 1997-1998 yang melanda negara-negara ASEAN, mengakibatkan tingkat inflasi mengalami peningkatan. Laju inflasi di beberapa negara ASEAN berfluktuasi. Indonesia merupakan negara yang paling tinggi tingkat inflasinya, dan paling berfluktuatif. Pada tahun 1992 tingkat inflasi Indonesia sebesar 4,94 persen, dan pada tahun-tahun berikutnya cenderung meningkat. Pada saat krisis ekonomi serta ketidakstabilan sosial politik pada tahun 1998 inflasi meningkat tajam sampai 77,63 persen. (Sasana, Hadi. 2004: 2) Krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan nilai tukar rupiah terdepresiasi hingga mencapai Rp17.000 per dollar USA. Pada akhir periode tahun 1997, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar USA mencapai angka 68.7% dan secara otomatis meningkatkan inflasi dari 11.1% menjadi sekitar 77.6%. Pertumbuhan ekonomi terkontraksi dari rata-rata sekitar 7.0% sebelum krisis menjadi 13.1% pada tahun 1998. (Nuryati dkk, 2006: 2) Inflasi timbul karena kenaikan jumlah uang beredar yang tinggi serta kecepatan uang yang tinggi. Keadaan ini disebabkan karena kegiatan produksi yang bahan bakunya masih mengimpor. Dampaknya nilai tukar dollar semakin meningkat terhadap rupiah yang membuat nilai tukar menjadi terdepresiasi. Hal ini juga tidak diimbangi dengan pertambahan produksi barang dan jasa. Dalam situasi perekonomian yang mengalami depresiasi sangat besar, depresiasi rupiah mengakibatkan kenaikan besar pada harga barang-barang tradeable dan nontradeable dan dengan demikian inflasi meningkat.

2

Tahun 2005 2006 2007 2008 2009

Tabel 1.1 Nilai Tukar (kurs) Nilai Tukar Rupiah Kuaratalan I 9,480 9,075 9,118 9,225 11,575 Kuartalan II 9,713 9,300 9,054 9,225 10,225 Kuartalan III Kuartalan IV 10,310 9,830 9,235 9,137 9,378 9,681 9,020 9,419 10,950 9,400

Sumber : Kementrian Perdagangan Indonesia, statistik indikator ekonomi indonesia (nilai tukar) http://www.depdag.go.id/index.php?option=statistik&task=detil&itemid=06010107

Tabel 1.1 menunjukkan fluktusi nilai tukar. Terlihat bahwa selama beberapa periode pengamatan menglami peningkatan dan juga penurunan (berfluktuasi). Pada tabel terlihat pada tahun 2006 di kuartal ke-empat, nilai tukar rupiah terhadap dollar sebesar 9.020 ini adalah nilai tukar yang paling rendah selama periode pengamatan. Secara rata-rata nilai tukar rupiah menguat sebesar 2,3% dari 9,235 per dollar menjadi 9,020 per dollar. Penguatan rupiah dalam periode tersebut disebabkan meningkatnya pasokan di pasar valuta asing dibanding permintaannya (excess supply). Pasokan valuta asing meningkat signifikan terutama bersumber dari aliran masuk modal portofolio asing ke pasar keuangan di dalam negeri. Dalam kurun waktu yang sama, permintaan valuta asing cenderung merosot akibat melemahnya kegiatan impor seiring dengan menurunnya kegiatan ekonomi, sebagai dampak lanjutan kenaikan harga BBM pada Oktober 2005. Nilai tukar yang paling tinggi adalah pada tahun 2008 di akhir kuartal dimana nilai tukar rupiah terhadap dollar sebesar 11,575. Secara rata-rata nilai tukar melemah sebesar 5,71 % dari 10,950 per dollar menjadi 11,575 per dollar.

3

Depresiasinya nilai tukar mempunyai dampak buruk terhadap perekonomian yaitu meningkatnya inflasi. Sehingga kebijakan untuk menstabilkan nilai tukar merupakan kebijakan ekonomi yang penting Salah satu alternatif kebijakan pemerintah untuk menekan inflasi yang disebabkan oleh nilai tukar yang semakin melemah yaitu dengan kebijakan Operasi Pasar Terbuka (OPT) dengan menaikkan suku bunga SBI. Meningkatnya suku bunga ini membuat pelaku pasar tidak membeli dollar di pasar valuta asing tetapi akan membeli SBI yang menguatkan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar. Sehingga penawaran dollar tetap terpenuhi oleh pemerintah yang menyebabkan harga bahan baku impor tidak meningkat. Bank Indonesia selaku Otoritas Moneter di Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter. Oleh sebab itu, Bank Indonesia menetapkan pengendalian inflasi sebagai salah satu tujuan dalam pelaksanaan kebijakan moneternya. Untuk menjaga stabilitas moneter tersebut instrumen yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan menggunakan kebijakan suku bunga melalui penetapan BI rate atau suku bunga SBI. Kebijakan suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka mengatasi laju Inflasi yang tinggi yaitu dengan pengaturan suku bunga SBI, atau yang dikenal dengan kebijakan Operasi Pasar Terbuka (OPT). Dengan menggunakan SBI sebagai pirantinya, Bank Indonesia melakukan penjualan SBI dengan sistem lelang. Tujuan dilakukannya kebijakan ini adalah untuk menarik dana atau kelebihan JUB (jumlah uang beredar) di masyarakat. Makin besar dana yang akan ditarik dari peredaran maka tingkat bunga yang ditawarkan semakin tinggi. Ketika awal penggunaan instrumen ini, Bank Indonesia menggunakan instrumen suku bunga SBI yang tinggi.

4

Indonesia telah membuat perubahan fundamental dalam kebijakan moneternya seiring dengan dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Mengacu pada UU No. 23 Tahun 1999 terlihat bahwa kebijakan moneter diimplementasikan dengan menggunakan instrumen moneter (suku bunga ataupun agregat moneter) yang mempengaruhi sasaran antara untuk mencapai sasaran akhir, yaitu stabilitas harga. Kebijakan moneter selama ini pun dituntut untuk mencari paradigma baru mekanisme transmisi yang diharapkan mampu mengendalikan variabel kebijakan (Julaihah, Umi dan Insukindro 2004: 2). SBI adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indoneisa sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan) dengan sistem diskonto/bunga. SBI merupakan salah satu mekanisme yang digunakan Bank Indonesia untuk mengontrol kestabilan nilai rupiah. Dengan menjual SBI, Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang primer yang beredar. Tingkat suku bunga yang berlaku pada setiap penjualan SBI ditentukan oleh mekanisme pasar berdasarkan sistem lelang. Sejak awal Juli 2005, BI menggunakan mekanisme "BI rate" (suku bunga BI), yaitu BI mengumumkan target suku bunga SBI yang diinginkan BI untuk pelelangan pada masa periode tertentu. BI rate ini kemudian yang digunakan sebagai acuan para pelaku pasar dalam mengikuti pelelangan.

5

Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 Kuaratalan I 7.83 12.1512.9 9.25 8.21

Tabel 1.2 Suku Bunga SBI Suku Bunga SBI Kuartalan II 8.10 12.6412.83 8.45 6.95

Kuartalan III Kuartalan IV 9.50 11.36 12.7312.69 8.45 6.48

12.9212.09 8.05 6.46

Sumber : Bank Indonesia, data suku bunga sbi (1bulan)

Pada tabel 1.2 terlihat bahwa pergerakkan suku bunga SBI selama periode pengamatan mengalami flukutuasi. Di awal tahun pengamatan yaitu pada kuartal pertama tahun 2005, suku bunga SBI berada pada posisi 7.83 persen. Ini adalah suku bunga paling rendah selama periode pengamatan, sedangkan yang paling tinggi berada pada posisi 12.92 pada tahun 2006 kuartal ke-empat.

Maksud dan tujuan diterbitkannya kembali SBI adalah sebagai berikut: Pertama, SBI ini dimaksudkan sebagai alat moneter dalam melaksanakan operasi pasar terbuka. Kedua, SBI dapat digunakan sebagai penanaman dana oleh perbankan dalam rangka meningkatkan efisiensi dana perbankan. Ketiga, SBI dimaksudkan sebagai sarana untuk lebih mendorong berkembangnya pasar uang untuk jangka waktu yang akan datang (Widyantry dalam Turnip, 2008: 5). Berdasarkan latar belakang di atas mengenai dampak Inflasi dan mengendalikannya, maka penulis tertarik untuk menulis skripsi yang berjudul : Pengaruh Nilai Tukar Rupiah dan Suku Bunga SBI Terhadap Inflasi di Indonesia.

6

1.2. Permasalahan Permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah Nilai Tukar dan Suku Bunga SBI berpengaruh terhadap

Inflasi di Indonesia ? 2. Sejauhmana Nilai Tukar dan Suku Bunga SBI mempengaruhi Inflasi

di Indonesia? 1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaruh Nilai Tukar dan Suku Bunga SBI

terhadap Inflasi di Indonesia. 2. Untuk mengetahui sejauhmana Nilai Tukar dan Suku Bunga SBI

mempengaruhi Inflasi di Indonesia. I.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat akademis, manfaat ini diperuntukkan bagi seluruh mahasiswa

serta para akademis pada umumnya dan para mahasiswa Fakultas Ekonomi pada khususnya yang diharapkan dapat mengetahui pengaruh Nilai Tukar dan Suku Bunga SBI terhadap Inflasi di Indonesia. Serta dapat juga menjadi salah satu sarana untuk mendalami dan mengaplikasikan ilmu yang sudah diperoleh, dan dapat menambah referensi dan bahan perbandingan untuk penelitianpenelitian selanjutnya yang sejenis. 2. Manfaat praktis, dapat memberikan gambaran yang jelas kepada

masyarakat pada umumnya mengenai perkembangan Nilai Tukar dan suku bunga SBI dan Inflasi di Indonesia.

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1. Teori Inflasi Inflasi merupakan salah satu masalah perekonomian yang sering dihadapai oleh Negara. Inflasi adalah keadaan dimana terjadi kenaikan harga atas barang dan jasa yang terjadi secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu. Kenaikan harga yang sifatnya sementara seperti momen hari raya ( tidak terus menerus ) dan kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan) kepada barang lainnya Menurut Teori Kuantitas Uang yang dikemukakan oelh Irving Fisher yaitu: . MV=PT

Dari rumus tersebut terdapat tiga factor yang dapat menyebabkan P (harga) meningkat atau inflasi meningkat yaitu M, V, dan T. Inflasi terjadi karena meningkatnya jumlah uang beredar (M) ataupun kecepatan persediaan uang (V) yang tidak diimbangi dengan kecepatan penambahan jumlah barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat (T) (Roswita, AB 1994: 165). 2.1.1.1Pandangan Keynesian Analisis Keynesian mengindikasikan bahwa peningkatan penwaran uang secara terus menerus akan memiliki pengaruh yang sama pada kurva permintaan dan penawaran uang agregat. Kurva AD tetap bergeser ke kanan dan AS tetap bergeser ke kiri. Peningkatan penawaran uang secara cepat akan

8

mengakibatkan tingkat harga meningkat secara berkelanjutan menjadi lebih tinggi dan menghasilkan inflasi (Miskhin, 2003: 664). 2.1.1.2Pandangan Monetarist Dalam analisia monetaris penawaran uang dilihat sebagai sumber utama dalam pergeseran kurva penawaran agregat, sehingga tidak ada lain yang dapat menggeser perekonomian. Analisa monetaris mengindikasikan bahwa inflasi cepat dikarenakan tingkat pertumbuhan uang yang tinggi (Miskhin, 2003: 663). 2.1.1.3Jenis Inflasi a. Demand Pull Inflasion. Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (agregat demand). Sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati kesempatan kerja penuh. Apabila kesempatan kerja penuh(full employment) telah tercapai, penambahan permintaan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja (sering disebut dengan Inflasi murni). Apabila kenaikan permintaan ini menyebabkan keseimbangan GNP berada di atas/melebihi GNP pada kesempatan kerja penuh maka akan terdapat adanya inflationary gap. Inflationary gap inilah yang akan menyebabkan inflasi. Secara grafik digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.1. Inflationary Gap

9

Kenaikan pengeluaran total dari C + I menjadi C + I akan menyebabkan keseimbangan pada titik B berada di atas GNP full employment (Y FE). Jarak A B atau YFE Y1 menunjukkan besarnya inflationary gap. Dengan menggunakan kurva permintaan dan penawaran total proses terjadinya demand-pull inflation dapat dijelaskan sebagai berikut :

Gambar 2.2. Demand-Pull Inflation Bermula dengan harga P1 dan output Q1, kenaikan permintaan total dari AD1 ke AD2 menyebabkan ada sebagian permintaan yang tidak dapat dipenuhi oleh penawaran yang ada. Akibatnya, harga naik menjadi P2 dan output naik menjadi QFE. Kenaikan AD2 selanjutnya menjadi AD3 menyebabkan harga naik menjadi P3, Proses kenaikan harga ini akan berjalan terus sepanjang permintaan total terus naik (misalnya menjadi AD4) (Miskhin, 2003: 669). b. Cost Pust Inflation Cost pust inflation ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Jadi inflasi yang dibarengi dengan resesi. Keadaan ini timbul dimulai dengan adanya penurunan dalam penawaran total (agregat supply) sebagai akibat kenaikan biaya produksi. Kenaikan produksi akan menaikkan harga dan turunnya

10

produksi. Serikat buruh yang menuntut kenaikan upah, manajer dalam pasar monopolistis yang dapat menentukan harga (yang lebih tinggi), atau kenaikan harga bahan baku, misalnya krisis minyak adalah faktor yang dapat menaikkan biaya produksi, atau terjadi penawaran total (aggregate supply) sebagai akibat kenaikan biaya produksi. Jika proses ini berlangsung terus maka timbul cost push inflation. output tetap pada QFE. Kenaikan harga ini disebabkan oleh adanya inflationarygap.

Gambar 2.3. Cost Push Inflation Bermula pada harga P1 dan QFE. Kenaikan biaya produksi (disebabkan baik karena berhasilnya tuntutan kenaikan upah oleh serikat buruh ataupun kenaikan harga bahan baku untuk industri) akan menggeser kurva penawaran total dari AS1 menjadi AS2. konsekuensinya harga naik menjadi P2 dan produksi turun menjadi Q1. Kenaikan harga selanjutnya akan menggeser kurva AS menjadi AS3, harga naik dan produksi turun menjadi Q2. Proses ini akan berhenti apabila AS tidak lagi bergeser ke atas. Proses kenaikan harga ini (yang sering dibarengi dengan turunnya produksi) disebut dengan cost-push inflation (Miskhin, 2003: 668). 11

2.1.1.4 Indikator Inflasi Beberapa indeks yang sering digunakan untuk mengukur inflasi seperti;. Indeks Harga Konsumen (IHK) menunjukkan pergerakan harga dari

paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Dilakukan atas dasar survei bulanan di 45 kota, di pasar tradisional dan modern terhadap 283-397 jenis barang/jasa di setiap kota dan secara keseluruhan terdiri dari 742 komoditas. Indeks Perdagangan pergerakan Besar harga merupakan dari indikator yang yang

menggambarkan

komoditi-komoditi

diperdagangkan di suatu daerah GDP Deflator mencakup jumlah barang dan jasa yang masuk dalah

perhitungan GNP diperoleh dengan membagi GDP nominal ( atas dasar harga berlaku ) dengan GDP Riel ( atas daasar harga konstan/tahun dasar ). (http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Pengenalan+Inflasi/) 2.1.2 Teori Tingkat Bunga Tingkat bunga adalah harga dari pengunaan uang untuk jangka waktu tertentu atau harga yang harus dibayar bila terjadi pertukaran antara satu rupiah sekarang dengan satu rupiah nanti. 2.1.2.1 Klasik Menurut klasik, bunga adalah harga dari penggunaan loanable funds atau harga yang terjadi di pasar dana investasi dalam suatu periode tertentu. Dalam pasar dana investasi, adanya kelompok penabung yaitu anggota masyarakat yang dalam suatu periode tertentu mempunyai kelebihan pendapatan dari kebutuhan mereka untuk konsumsi. Kelompok penabung

12

yaitu para investor yang pada periode yang sama membutuhkan dana untuk investasi lebih dari pendapatannya atau para pengusaha yang ingin memperluas usahanya. Jumlah tabungan dari kelompok penabung

membentuk supply akan loanable funds dan jumlah kebutuhan kelompok investor membentuk permintaan (demand) akan loanable funds. Teori ini lazim disebut sebagai real theory of interest oelh karena interest rate tidak bergantung pada pertimbangan-pertimbangan moneter. Interest rate sematamata ditentukan dari sudut riel saving dan investment.)%(Tingkat Bunga

S

I I

2

E E1

2

1

I2 I1 F F sdnuf elbanaol( isatsevnI anaD ( 21

Gambar 2.4. Tingkat Bunga Keseimbangan (Klasik) Berdasarkan gambar 4 terlihat bahwa kurva penawaran akan dana investasi (S) menaik atau memiliki slope positif. Artinya apabila suku bunga meningkat maka penawaran dana juga akan mengalami peningkatan. Sedangkan kurva permintaan terhadap dana investasi berslope negatif yang berarti kenaikan suku bunga akan mengakibatkan penurunan atas permintaan akan dana investasi. Karena pengaruh peningkatan kenaikan tingkat suku bunga SBI akan mempengaruhi kenaikan pada tingkat suku bunga deposito dan hal ini akan menyebabkan penawaran untuk dana kredit pinjaman akan

13

meningkat akan tetapin permintaan akan dana kredit atau investasi cenderung menurun (Roswita, AB 1994: 150) 2.1.2.2 Keynes Tingkat bunga dalam keseimbangan terjadi apabila permintaan akan uang oleh masyarakat sama dengan jumlah uang beredar yang ditawarkan (Ms). Tingkat bunga berubah bila terjadi pergeseran jumlah uang beredar (Ms) ataupun pergeseran permintaan akan uang. Permintaan uang untuk tujan transaksi dan berjaga-jaga ditentukan oleh tingkat pendapatan

masyarakat/pendapatan nasional, sedangkan permintaan uang terhadap uang untuk tujuan spekulasi ditentukan oleh tingkat bunga. Sesuai dengan motif permintaan uang untuk tujan transaksi berjaga-jaga, dengan adanya uang tunai dianggap akan menjamin likuiditas orang yang bersangkutan. Apabila dikaitkan dengan tingkat bunga maka pada dasarnya permintaan uang tunai akan besar jika tingkat bunga rendah dan sebaliknya jika tingkat bunga tinggi maka permintaan akan uang tunai akan turun.

(%)Tingkat bunga1SM 2SM

1r

Gambar 2.5. Tingkat Bunga Keseimbangan (Keynes)

2recnereferP ytidiuqiL d= M

0

1SM

2SM

14

Dalam gambar 2.5 terlihat bahwa apabila Md adalah tetap maka pertambahan jumlah uang dari Ms1 menjadi Ms2 mengakibatkan penurunan suku bunga dari r1menjadi r2. jumlah penawaran menurut Keynes ditentukan oleh pemerintah oleh karena itu kurva penawaran uang berbentuk inelastis. Tingkat bunga akan mengalami pergeseran apabila terjadi perubahan pada penawaran uang Ms atau permintaan uang Md. Permintaan surat berharga dipengaruhi oleh besarnnya kekayaan yang dimiliki yang merupakan faktor pembatas. Satu bentuk kekayaan bertambah maka bentuk yang lain harus berkurang (Roswita, AB 1994: 152). 2.1.3 Teori Nilai Tukar (kurs) Nilai tukar adalah harga mata uang domestik per satuan unit mata uang asing. Saat nilai suatu mata meningkat, maka mata uang itu dikatakan

mengalami apresiasi, dan saat nilainya jatuh dan bernilai kecil terhadap mata uang lain (misal USD) maka mata uang tengah mengalami depresiasi. Saat mata uang suatu negara mengalami apresiasi (peningkatan dalam nilai mata uang relatif terhadap mata uang asing lain) maka : 1. barang-barang dari suatu negara menjadi lebih mahal di pasar

luar negeri 2. barang dari luar negeri menjadi lebih murah di pasar domestik

(harga domestik tetap konstan di dua negara). Sebaliknya, saat suatu mata uang tengah mengalami depresiasi, maka barang-barang domestiknya menjadi lebih murah di luar negeri dan barang dari luar negeri menjadi lebih murah di pasar domestiknya (Miskhin, 2003: 167). 2.1.3.1 Hukum Satu Harga (the law of one price)

15

Hubungan nilai tukar dengan inflasi dapat dijelaskan dengan teori the law of one price atau hukum satu harga, kemudian berkembang dengan konsep pendekatan Moneter (Monetery Approach). Dalam perekonomian tertutup hukum ini mengemukakan bahwa harga barang-barang yang sama jika dijual di dua tempat yang berbeda maka harganya akan sama. Karena adanya perbedaan penggunaan tarif pada setiap kota maupun daerah maka hukum the law of one price lebih menitikbertakan pergerakan harga yang sama dari satu barang yang sejenis di dua tempat. Dalam perekonomian terbuka atau negara yang melakukan transaksi ekonomi dengan pihak luar negeri, the law of one price diartikan tingkat harga-harga umum barang-barang yang sejenis akan sama di setiap negara. Pengertian ini sering disebut dengan konsep absolute purchasing power parity (PPP) (Miskhin, 2003: 170). 2.1.3.2 Teori Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity/PPP)

Teori paritas daya beli atau PPP menyatakan bahwa nilai tukar diantara dua negara akan akan menyesuaikan diri terhadap perubahan terhadap tinkat harga di dua negara tersebut. Anggap jika harga baja produksi Jepang (dalam yen) meningkat 10 persen (menjadi 11,000 yen) relatif terhadap harga baja Amerika (dalam dollar) yang tetap seharga $100. Dengan menggunakan hukum satu harga maka nilai tukar harus meningkat menjadi 110 yen per dollar, dollar berapresiasi 10 persen. Dapat diketahui bahwa perubahan harga di dua negara telah menghasilkan teori PPP. Teori PPP menyatakan apabila tingkat harga meningkat di salah satu negara yang relatif terhadap yang lain, maka mata

16

uang dalam negeri akan mengalami depresiasi sedangkan mata uang luar negeri akan terapresiasi. Teori paritas daya beli memiliki dua bentuk yaitu paritas daya beli absolut dan paritas daya beli relatif. Paritas daya beli absolut menyatakan bahwa keseimbangan nilai mata uang dalam negeri terhadap nilai mata uang luar negeri merupakan perbandingan harga absolut dalam dan luar negeri. Teori paritas daya beli dapat dinyatakan : S= Ketereangan: S P (*) = Nilai Kurs Valas = Tingkat Harga = Variabel uar negeri Dengan konsep diatas maka hubungan antara nilai tukar dan inflasi pada suatu negara. Harga barang-barang impor dipengaruhi oleh harga di luar negeri dan nilai tukar.Nilai mata uang dari suatu negara yang cenderung menurun menunjukkan negara tersebut mempunyai tingkat inflasi yang tinggi. Inflasi suatu negara lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain berarti harga barang-barang di negara tersebut naik lebih cepat dari negara lain. Hal ini akan berakibat ekspor akan turun dan impor akan naik karena harga barang-barang negara bersangkutan lebih mahal bila dibandingkan dengan barang-barang negara lain. Dengan demikian supply dari mata uang asing akan turun dan demand akan naik, sehingga nilai mata uang asing akan naik (nilai mata uang domestik akan turun atau terdepresiasi).

P P*

17

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kurs pertukaran antara lain perubahan dalam selera (taste), perubahan harga barang-barang ekspor, kenaikan inflasi di dalam negeri, peruabahan dalam tingkat bunga dan tingkat Marginal Efisiensi of Capital (MEC), tingkat pendapatan nasional (Miskhin, 2003: 170). 2.2 Peneliti Terdahulu Hadi Sasana (2004) dalam penelitiannya Analisis Faktor-Faktor Yang Memepengaruhi Inflasi di Indonesia dan Fhilipina menemukan bahwa variabel tingkat suku bunga dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang mempunyai hubungan negative dan signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Berarti Kenaikkan tingkat suku bunga dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan menurunkan tingkat inflasi di Indonesia. Dalam jangka pendek variabel tingkat suku bunga mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat inflasi di Filipina, dalam jangka panjang variabel tingkat bunga mempunyai hubungan yang positif dan berpengaruh secara signifikan. Yati Nuryati, Hermanto Siregar dan Anny Ratnawati (2006) dalam penelitiannya Dampak Kebijakan Inflation Targeting terhadap Beberapa Variabel Makroekonomi di Indonesia Berdasarkan hasil analisis FEVD, variabilitas nilai tukar lebih dipengaruhi oleh guncangan nilai tukar itu sendiri, sehingga saat krisis dan pemulihan ekonomi nilai tukar sulit dikendalikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pada kestabilan harga dalam jangka panjang yaitu nilai tukar, base money dan suku bunga. Peran

guncangan base money cukup efektif dalam mengendalikan inflasi dibandingkan guncangan suku bunga SBI.

18

Angga Rahmat Ardiono (2008) dalam penelitiannya "Analisis Faktor Faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia tahun 1990.1 2005.4" menyatakan bahwa Variabel penjelas yang terdiri Jumlah uang beredar, Tingkat suku bunga, Kurs US terhadap rupiah, menunjukkan hubungan yang signifikan dengan variable dependen dan cukup mampu untuk menjelaskan pengaruh yang terjadi pada tingkat inflasi antara tahun 1990.1 sampai tahun 2005.4. Sedangkan produk domestic bruto tidak berpengaruh signifikan dengan variabel dependen. Umi Julaihah dan Insukindro (2004) dalam penelitiannya Analisis Dampak Kebijakan Moneter terhadap Variabel Makroekonomi di Indonesia Tahun 1983.1 - 2003.2 menemukan bahwa berdasarkan hasil impulse response yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak merespon adanya kejutan satu standar deviasi dari uang primer. Sedangkan pengaruh kejutan uang primer terhadap inflasi yang terlihat cukup signifikan, ternyata menghasilkan prize puzzle. Prize puzzle merupakan kondisi dimana ekspansi moneter yang dilakukan oleh otoritas moneter ternyata direspon dengan penurunan inflasi. Penggunaan suku bunga SBI sebagai variabel kebijakan ternyata memberikan hasil yang lebih baik daripada penggunaan uang primer. Pada saat suku bunga SBI dimasukkan dalam model, maka liquidity puzzle dan prize puzzle dapat dihindari. Sehingga interpretasi ekonomi dari hasil impulse response lebih mudah dan sesuai dengan teori. Penggunaan agregat moneter untuk kasus di Indonesia ternyata hanya berdampak pada inflasi dan tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. M.Y. Dedi Haryanto dan Riyatno (2007) dalam penelitiannya Pengaruh Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia dan Nilai Kurs Terhadap Risiko

19

Sistematik Saham Perusahaan di BEJ menunjukkan bahwa Risiko sistematis (risiko pasar) merupakan risiko yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi di pasar secara keseluruhan. Jadi perubahan pasar akan mempengaruhi variabilitas return suatu investasi (kondisi makro). Tingkat suku bunga SBI dan kurs terbukti mempengaruhi risiko sistematis saham namun hasilnya tidak konsisten pada dua karakteristik industri yang berbeda. Pada perusahaan manufaktur hanya kurs yang mempengaruhi risiko saham sedangkan pada perusahaan non manufaktur suku bunga SBI yang mempengaruhi risiko sistematis saham. Selain itu hasil menunjukkan bahwa hubungan antara suku bunga SBI dan risiko sistematis saham adalah negatif. Hasil ini berbeda dengan penjelasan yang semestinya yaitu jika suku bunga naik maka return investasi yang terkait dengan suku bunga (misal deposito) juga akan naik. Akibatnya minat investor akan berpindah dari saham ke deposito. Kemungkinan fenomena ini menunjukkan bahwa investor di Indonesia tidak suka risiko atau risk averse. Moh Mansur (2009) dalam penelitiannya Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI dan Kurs Dolar AS Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Jakarta Periode Tahun 2000-2002 menemukan bahwa Analisis model yang menunjukkan besarnya pengaruh dari dalam negeri memberikan hasil bahwa secara bersama-sama tingkat suku bunga SBI dan kurs dolar AS memberikan pengaruh yang signifikan. Tetapi secara individual

menyimpulkan bahwa tingkat suku bunga SBI dalam periode tahun 2000 sampai 2002 ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di BEJ. Pengaruh yang signifikan diberikan oleh kurs dolar AS dan besarnya pengaruh kurs dolar AS tehadap IHSG

20

Bursa Efek Jakarta sebesar 51, 55 % dengan arah pengaruh negatif. Artinya apabila rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS maka IHSG cenderung akan melemah dan begitu juga sebaliknya, apabila rupiah terapresiasi terhadap dolar AS maka IHSG akan mengalami penguatan. Tidak signifikannya tingkat suku bunga SBI terjadi karena pada periode penelitian, yaitu tahun 2000 sampai tahun 2002 terjadi banyak sentimen diluar variabel yang diteliti. Faktor sentimen tersebut berasal dari situasi politik, ekonomi dan keamanan dalam negeri serta faktor kebijakan-kebijakan investasi. Misalnya di dalam bidang keamanan adanya konflik di Aceh, Ambon dan Papua, serta peristiwa bom Bali yang terjadi pada akhir tahun 2002. Dibidang politik terjadinya pergantian pimpinan nasional atau presiden. Di bidang ekonomi adalah peroses restrukturisasi dan privatisasi yang terus berjalan sepanjang tahun 2000 sampai tahun 2002. Pengaruh dari variabelvariabel lain diluar variabel yang diteliti ( variabel residu) tersebut cukup besar kepada IHSG, yaitu sekitar 48,45%. V. V. Chari dan Patrick J. Kehoe (2007) dalam penelitiannya On the Optimal Choice of a Monetary Policy Instrument menunjukkan bahwa pilihan kebijakan moneter yang optimal tergantung pada kebijakan yang ketat dan kebijakan yang transparansi serta apakah pembuat kebijakan dapat atau tidak dapat komitmen dengan kebijakan yang mereka buat untuk masa yang akan datang. Kebijakan moneter yang ketat selalu diinginkan; sedangkan kebijakan moneter yang transparan hanya digunkan jika pembuat kebijakan tidak dapat mengerjakannya. tingkat suku bunga, yang dibuat untuk kebijakan monter ketat, yang memiliki keuntungan alami dalam mengendalikan kelebihan pertumbuhan uang dan nilai tukar. Sebagai harga, tingkat suku

21

bunga dan nilai tukar lebih transparan dari pada pertumbuhan uang. Oleh sebab itu, instrumen suku bunga merupakan kebijakan moneter yang baik dan kebijakan selanjutnya yang baik adalah kebijakan nilai tukar. Artinya bahwa telah ditemukan bahwa terdapat berbagai macam kebijakan yang dapat digunakan pada saat perekonomian sedang berkembang atau pada saat perekonomian sedang mengalami resesi atau mengalami perekonomian yang rendah. Marta Muo, Peter Sanfey and Anita Taci (2004) dalam penelitiannyaInflation,

Exchange Rates and The Role of Monetary Policy in Albania

mereka meneliti kebijakan moneter di Albania selama masa transisi. Dimana kebijakan moneter ini dapat mempengaruhi harga dan output yang mana memiliki hubungan yang sangat penting. Dengan mengestimasi variabel makroekonomi menggunakan Vector autoregression model (VAR) yang menemukan bahwa variabel makroekonomi memiliki hubungan yang lemah diantara uang beredar dan inflasi pada pertengahan tahun 2000. akan tetapi, pergerakkan Instrumen pada tahun 2000 dari Instrumen langsung ke Instrumen tidak langsung untuk mengendalikan kebijakan memiliki kemungkinan besar dapat meramalkan hubungan antara jumlah uang beredar dan inflasi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pergerakkan formal inflation targeting dapat membantu memajukan ketransparansian dan kredibilitas dari kebijkan moneter, tetapi pergerakkan seperti ini hanya dapat digunakan atau diperkenalkan pada saat negara tersebut siap untuk itu. Ehsan U. Choudhri dalam penelitiannya (2006) Monetary Policy in a Small Emerging Economy: Exploring Desirable Interest Rate Rules Nilai tukar fleksibel dan penargetan infalsi (Inflation Targeting) dilakukan oleh

22

pengawasan tingkat bunga telah dilakukan dengan baik di sejumlah Negaranegara industri. Namun apakah kebijakan seperti ini cocok digunakan di Negara berkembang yang terkena guncangan ekonomi yang berbeda dan alasan ketakutan kurang mengguntungkannya pengaruh dari fluktuasi nilai tukar Selain itu, penelitain ini juga menjelaskan aturan tingkat bunga dari beberapa tanggapan yang berbeda dari perubahan inflasi, output, dan nilai tukar serta penilitian ini mengindentifikasikan kondisi dimana suatu kebijakan penargetan infalsi yang kuat sangat diharapkan. 2.3 Kerangka Pikir

Suku Bunga Perbankan/ Bank Umum (Deposito atau kredit)

Suku Bunga SBI

Saving dan Investasi

JUB

INFLASI

Nilai Tukar

Barang Import

Bank Indoensia selaku otoritas moneter memiliki tujuan untuk menjaga stabilitas moneter terutama stabilitas harga. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Oleh sebab itu, tidak heran jika Bank 23

Indonesia menetapkan inflasi sebagai tujuan dalam pelaksanaan kebijakan moneternya. Untuk menjaga inflasi agar tetap stabil Bank Indonesia selaku otoritas moneter tentunya memiliki berbagai kebijakan moneter salah satu nya dengan menggunakan kebijakan suku bunga dengan penetepan BI-rate dan suku bunga SBI (Kebijakan Operasi Pasar Terbuka). Salah satu kebijakan suku bunga lain yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka mengatasi laju Inflasi yang tinggi yaitu dengan kebijakan suku bunga SBI. Untuk mengendalikan Inflasi pemerintah menaikkan tingkat suku bunga SBI. Ini dimaksudkan agar menarik simpati masyarakat agar mau menyimpan uang mereka pada Bank, sehingga dengan demikian tingkat bunga Bank Umum dalam hal ini adalah tingakt bunga deposito juga meningkat artinya DPK (Dana Pihak Ketiga) meningkat. Akibatnya, Jumlah uang beredar akan menurun sehingga Inflasi pun dapat dikendalikan. Kenaikan jumlah uang beredar yang tinggi dan velocity yang tinggi membuat inflasi tinggi. Selain itu, kegiatan produksi yang bahan bakunya masih mengimpor menyebabkan nilai tukar dollar semakin menguat terhadap rupiah yang membuat nilai tukar rupiah menjadi terdepresiasi. Turunnya nilai kurs kita terhadap nilai tukar US$ membuat harga bahan baku impor menjadi meningkat yang menyebabkan biaya dalam melakukan produksi bertambah. Bertambahnya biaya ini akan mengurangi jumlah produksi karena keinginan perusahaan untuk

24

memperoleh keuntungan yang tinggi. Bila permintaan di masyarakat tetap sedangkan perusahaan mengurangi jumlah produksi barang dan jasa menyebabkan permintaan tidak terpenuhi. Kelebihan permintaan ini akan mendorong kenaikan harga. Salah satu cara untuk mengatasi inflasi yang disebabkan oleh cost push inflation lebih efektif dengan meningkatkan sektor rill. Meningkatnya sektor rill di pasar akan mampu memenuhi permintaan dalam pasar dan mengurangi tingkat ketergantungan terhadap impor

2.4 Hipotesis Berdasarkan pembahasan, teori, dan penelitian-penelitian sebelumnya hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Nilai tukar rupiah terhadap US dollar diduga memiliki pengaruh dan

memiliki hubungan positif terhadap Inflasi di Indonesia. 2. Suku bunga SBI diduga memiliki pengaruh dan memiliki hubungan

yang negatif terhadap Inflasi di Indonesia.

25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian a. Waktu Waktu pengamatan dalam penelitian ini adalah dari tahun 2005 2009 dalam kuartalan. b. Data Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder c. Variabel

26

Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel yang diteliti yaitu Inflasi sebagai variabel dependent. Nilai Tukar dan Suku Bunga SBI adalah variabel independent Inflasi

Variabel Inflasi yang menjadi objek penelitian yaitu Inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) dengan formula:

Nilai Tukar yang menjadi objek dalm penelitian ini adalah nilai

tukar rupiah terhadap dollar. Untuk menyamakan satuannya dengan variabel inflasi dan suku bunga sbi dalam persen menggunakan Ln dengan rumus Ln=Log(kurs) dan menggunakan Indeks dengan tahun dasarnya adalah kuartal pertama tahun 2005 dengan formula:

Suku Bunga yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah suku

bunga SBI

3.2 Sumber dan Jenis Data a. Data Menurut Sumber Berdasarkan sumbernya, sumber data umumnya berasal dari (Hanke dan Reitsch, 1998: bab 3 dalam Kuncoro, Mudrajad 2003: 127) : Data Internal (berasal dari dalam organisasi

tersebut ) atau eksternal (berasal dari luar organisasi)

27

Data primer atau data sekunder. Data primer

biasanya diperoleh dengan survei lapangan yang menggunakan semua metode pengumpulan data original. Di lain pihak, data sekunder biasanya telah dikumpulkan oleh lembaga pengumpul data dan dipublikasikan kepada masyarakat pengguna data. Berdasarkan sumbernya, dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder. Dimana data sekunder ini berasal dari hasil publikasi lembaga Bank Indonesia dan Kementrian Perdagangan Indoensia. b. Data Menurut Jenis Berdasarkan jenisnya, data dapat digolongkan menjadi (Kuncoro, Mudrajad 2003: 124): Data Interval

Data yang diukur dengan jarak di antara dua titik pada skala yang sudah diketahui. Data Rasio

Data yang diukur dengan suatu proporsi

Data Nominal

Data yang dinyatakan dalam bentuk kategori Data Ordinal

Data yang dinyatakan dalam bentuk kategori, namun posisi data tidak sama derajatnya karena dinyatakan dalam skala peringkat (Tabachnick dan Fidell, 1996: 8 dalam Kuncoro, Mudrajad 2003: 125). Berdasarkan jenisnyanya, dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data rasio.

28

3.3 Teknik Analisis 3.3.1 Teknik Analisis Kualitatif Deskriptif Dalam penilitian ini teknik analisis yang digunakan berupa kualitatif. Dimana, teknik ini berupa metode penganalisaan dengan menjelaskan tabeltabel dan menjelaskan perkembangan dari nilai tukar dan suku bunga SBI sebagai instrument kebijakan moneter dalam mencapai stabilitas haraga serta perkembangan Inflasi untuk diuji hipotesis atau menjawab pertanyaan mengenai status terakhir dari subjek penelitian. 3.3.2 Teknik Analisis Kuantitatif Deskriptif Teknik analisis kuantitatif merupakan teknik dimana metode

penganalisaannya dengan menggunakan regresi model ekonometrika untuk diuji hipotesis atau menjawab pertanyaan mengenai status terakhir dari subjek penelitian. Peralatan yang digunakan adalah menggunakan analisis regresi linear sederhana dengan software EVIEWS. Secara matematis model yang digunakan untuk menganalisisa pengaruh suku bunga sbi terhadap inflasi adalah sebagai berikut:

I = + 1(kurs)+ 2(iSBI) + e Dimana I = Tingkat Inflasi

Kurs = Nilai Tukar Rupiah i e = suku bunga SBI = Intercept / konstanta = Koefisisen = Term of error

29

3.3.2.1 Uji F (F-test) Uji statistic F pada dasarnya menunjukkan apakah semua varibel bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variable terikat (Kuncoro, Mudrajad 2003: 219).

Daerah Penerimaan Daerah Penolakan Daerah Penolakan

t-tabel

t-tabel

Uji F akan dilakukan untuk melihat apakah variabel independen secara keseluruhan berpengaruh terhadap variabel dependen. Jika nilai hasil uji F lebih besar dari pada F table maka variabel suku bunga bank konvensional dan margin bagi hasil berpengaruh

terhadap variabel dependen penghimpunan dana pihak ketiga bank syariah, sebaliknya hasil uji F lebih kecil dari pada F table berarti tidak berpengaruh terhadap variable dependen. Secara statistik hipotesis diajukan adalah sebagai berikut: Ho : Variabel independen nilai tukar dan suku bunga sbi secara signifikan dengan variabel dependen inflasi H1 : Variabel independen nilai tukar dan suku bunga sbi secara keseluruhan secara bersama-sama berhubungan secara keseluruhan tidak berhubungan secara

30

signifikan dengan variabel dependen inflasi 3.3.2.2 Uji T (T-test) Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel penjelas secara individual dalam menerangkan variasi variabel terikat (Kuncoro, Mudrajad 2003: 218). Hipotesis yang diajukan secara statistik adalah: Ho : Nilai tukar (kurs) dan Suku bunga sbi (i) tidak berhubungan secara signifikan dengan variabel dependen inflasi. H1 : Nilai Tukar (kurs) dan Suku bunga sbi (i) berhubungan secara signifikan dengan variabel dependen inflasi. T hitung ini kemudian dibandingkan dengan t-tabel. Apabila thitung lebih kecil dari nilai t-table, maka Ho diterima dan jika lebih besar maka Ho ditolak dan Ha diterima. Dengan derajat kepercayaan 95% daerah penerimaan hipotesis. Kriteria tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Jika t-hitung > t-tabel atau probabilita t < = 5 % maka Ho ditolak dan masuk dalam daerah penolakan artinya variabel nilai tukar (kurs) dan suku bunga SBI (R) berpengaruh terhadap Inflasi (signifikan). Jika t-hitung < t-tabel atau probabilita t > = 5 % maka Ho diterima dan masuk dalam daerah penerimaan artinya variabel nilai tukar (kurs) dan suku bunga sbi (i) signifikan). tidak berpengaruh terhadap inflasi (tidak

31

3.3.2.3 Uji Asumsi Klasik a. Multikolinieritas Uji Multikolinieritas digunakan untuk menguji apakah pada model regresi terdapat korelasi antara variabel Nilai Tukar Rupiah dan Tingkat Suku Bunga. Jika terjadi korelasi, maka model multikolinieritas. menghasilkan Model BLUE yang dianggap mengalami masalah multikolinieritas ,estimator), tetap tetapi

mengalami linier,

(Best,

unbiased

multikolinieritas mengakibatkan kesulitan memperoleh penaksiran yang memilki standar error kecil. Uji Multikolinieritas pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sarana uji Correlation Matrix yang tersedia pada program Eviews 3.0. Jika nilai Korelasi (80 persen) maka model tidak mengalami multikolinieritas, jika nilai Korelasi (80 persen) maka model mengalami multikolinieritas (Kuncoro, Mudrajad 2001: 114). b. Heterokedastisitas

Uji Heterokedastisitas bertujuan untuk melihat apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain, yang akan mengakibatkan model tersebut menjadi tidak signifikan. Cara untuk melihat apakah terdapat gejala heterokedastisitas adalah dengan menggunakan metode White Heterokedasticity No Cross Terms (Kuncoro, Mudrajad 2001: 112). Jika nilai Chi square hitung lebih kecil dari nilai kritis Chi square (Tabel distribusi Chi square) maka Ho ditolak artinya tidak terjadi masalah Heteroskedastisitas.

32

Jika nilai Chi square hitung lebih besar dari nilai kritis Chi square (Tabel distribusi Chi square) maka Ho diterima artinya terjadi masalah Heteroskedastisitas. c. Uji Normalitas Uji Normalitas dilakukan untuk melihat apakah diantara residual dan varian dari model regresi berdistribusi normal atau tidak. Kurva regresi dapat dikatakan berdistribusi normal jika probabilita uji Jarque-Bera kurang dari 100 persen. Artinya menolak Ho yang menyatakan residual tidak berdistribusi normal. Sehingga model regresi berada pada kondisi layak diteliti (Kuncoro, Mudrajad 2001: 110). d. Autokorelasi

Autokorelasi digunakan untuk menguji apakah terdapat hubungan dalam sebuah model regresi linier antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi maka ada masalah autokorelasi pada model regresi. Besaran Durbin-Watson digunakan untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam sebuah persamaan. Pedoman umum (Rule of Thumb) untuk mengetahui ada atau tidak adanya masalah autokorelasi dalam model penelitian dapat dilihat dari besaran D-W test sebagai berikut (Kuncoro, Mudrajad 2003: 218): Jika D-W test berkisar 2 atau [1,5 - 2,5] tidak ada masalah autokolerasi [ragu-ragu], Jika D-W < 1,5 atau mendekati 0 maka model mengalami masalah autokolerasi positif,

33

Jika D-W > 2,5 atau mendekati 4 maka model mengalami autokorelasi negatif. 3.4 Batasan Varibel Inflasi merupakan suatu keadaan dimana terjadi kenaikan harga-harga

secara umum dan terjadi berkelanjutan sehingga menyebabkan penurunan nilai uang. Dalam penelitian ini Inflasi yang menjadi objek penelitian yaitu Inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) dengan formula:

Nilai Tukar (Exchange Rate)

Nilai Tukar adalah harga mata uang domestic per satuan unit mata uang asing, Dalam penelitian ini, data nilai tukar yang digunakan adalah nilai tukar rupiah terhadap USD, rata-rata bulanan (monthly average). Untuk menyamakan satuannya dengan variabel inflasi dan suku bunga sbi dalam persen menggunakan Ln dengan rumus Ln=Log(kurs) dan menggunakan Indeks dengan tahun dasarnya adalah kuartal pertama tahun 2005 dengan formula:

Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga yang dikeluarkan

oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan) dengan sistem diskonto/bunga. SBI merupakan salah satu mekanisme yang digunakan Bank Indonesia untuk mengontrol kestabilan nilai Rupiah. Dengan menjual SBI, Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang primer yang beredar.

34