bab 1

74
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu masalah kesehatan (KLB) dengan kematian yang besar. Di Indonesia nyamuk penular (vector) penyakit DBD yang penting adalah Aedes albopictus, dan Aedes scutellarios, tetapi sampai saat ini yang menjadi vector utama dari penyakit DBD adalah Aedes aegypti. Penyakit DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dengan kasus 58 orang anak, 24 diantaranya meninggal dengan Case Fatality Rate ( CFT ) = 41,3%. Sejak itu penyakit DBD menunjukkan kecendrungan peningkatan jumlah kasus dan luas daerah terjangkit. Seluruh wilayah Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DBD, kecualu daerah yang memiliki ketinggian lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut. Penyakit DBD dipengaruhi oleh kondisi lingkingan, mobilitas penduduk, kepadatan penduduk, adanya container buatan ataupun alami ditempat pembuangan akhir sampah (TPA) ataupun ditempat sampah lainnya, penyuluhan dan perilaku masyarakat.

Upload: nhana-siibobob-lemood

Post on 31-Dec-2015

52 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

EPIDEMIOLOGI DBD

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu masalah

kesehatan (KLB) dengan kematian yang besar.

Di Indonesia nyamuk penular (vector) penyakit DBD yang penting

adalah Aedes albopictus, dan Aedes scutellarios, tetapi sampai saat ini

yang menjadi vector utama dari penyakit DBD adalah Aedes aegypti.

Penyakit DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya

dengan kasus 58 orang anak, 24 diantaranya meninggal dengan Case

Fatality Rate ( CFT ) = 41,3%.

Sejak itu penyakit DBD menunjukkan kecendrungan peningkatan

jumlah kasus dan luas daerah terjangkit. Seluruh wilayah Indonesia

mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DBD, kecualu daerah yang

memiliki ketinggian lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut.

Penyakit DBD dipengaruhi oleh kondisi lingkingan, mobilitas penduduk,

kepadatan penduduk, adanya container buatan ataupun alami ditempat

pembuangan akhir sampah (TPA) ataupun ditempat sampah lainnya,

penyuluhan dan perilaku masyarakat.

Penyakit DBD kini telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di

banyak negara tropis Asia Tenggara dan di wilayah Pasifik Barat, yang

menyita perhatian para ahli kesehatan dunia. Penyakit ini termasuk ke

dalam sepuluh penyebab perawatan di rumah sakit dan kematian pada

anak-anak, sedikitnya di delapan negara tropis asia. Peneliti dan manajer

program yang mempelajari penyakit dengue di wilayah Asia Tenggara

telah menunjukkan berbagai wilayah yang memperlihatkan respon yang

berbeda terhadap infeksi dan hal ini memyebabkan pola epidemiologis

yang juga berlainan(7). Epidemiologi yang kompleks dari DBD semakin

diperumit di tingkat lokal akibat sosial ekonomi dan kebiasaan budaya

yang berbeda di berbagai komunitas dalam wilayah tersebut.

Kompleksitas epidemiologis memerlukan solusi yang spesifik untuk

1

2

pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pengendalian DBD. Di tahun 2004

penyakit ini menjadi berita utama di hampir semua surat kabar nasional.

Semua rumah sakit kebanjiran penderita DBD dan tidak sedikit kasus

yang berakhir dengan kematian. Apalagi kini DBD tidak pandang bulu.

Dahulu penyakit ini lebih banyak menyerang anak-anak dan kalangan

menengah bawah. Kini, orang dewasa hingga manula dan masyarakat

kelas atas pun tidak sedikit yang menderitanya. Oleh karena itu penyakit

ini cukup merata dari segi umur dan strata sosial. Di musin hujan, hampir

tidak ada daerah di Indonesia yang terbebas dari serangan penyakit DBD.

Penelitian menunjukkan bahwa DBD telah ditemukan di seluruh provinsi

di Indonesia. Dua ratus kota melaporkan adanya kejadian luar biasa

(KLB). Angka kejadian meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk

pada tahun 1968 dan secara drastis melonjak menjadi 627 per 100.000

penduduk. Pada tahun 2007 KLB DBD dinyatakan terjadi di DKI jakarta.

Biasanya jumlah penderita semakin meningkat saat memasuki bulan

april. Hal ini terjadi karena korelasi dengan suhu atau curah hujan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan

menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini yaitu tentang “Bagaimana

perkembangan demam berdarah di Indonesia?”.

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan makalah ini yaitu agar para mahasiswa

dapat mengetahui dan mengerti tentang demam berdarah dengue di

Indonesia.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan kami dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Menambah pengetahuan tentang definisi demam berdarah dengue.

3

2. Menambah pengetahuan tentang riwayat alamiah demam berdarah

dengue di Indonesia.

3. Menambah pengetahuan tentang penyebab terjadinya demam

berdarah dengue di Indonesia.

4. Menambah pengetahuan tentang factor risiko terjadinya demam

berdarah dengue.

5. Menambah pengetahuan tentang epidemiologi demam berdarah

dengue di Indonesia.

6. Menambah pengetahuan tentang distribusi demam berdarah dengue.

7. Menambah pengetahuan tentang situasi penyakit demam berdarah

dengue di Indonesia.

8. Menambah pengetahuan tentang pengelolaan.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan ini yaitu bagi para pembaca selain dapat

memberikan tambahan pengetahuan juga agar pembaca dapat lebih

memahami tentang demam berdarah dengue. Selain itu, bagi mahasiswa

Prodi S1 Keperawatan khususnya dapat dijadikan sebagai dasar atau

pedoman dalam memberikan pembelajaran yang sesuai sehingga hasil

yang diharapkan dapat tercapai.

1.5 Metode Penulisan

Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, penulis

menggunakan metode observasi dan kepustakaan. Adapun teknik-teknik yang

dipergunakan pada makalah ini adalah sebagai berikut.

1.5.1 Studi Pustaka

Pada metode ini, penulis membaca buku referensi yang berhubungan

dengan penulisan makalah ini.

1.5.2 Internet

Dalam metode ini penulis mencari informasi dari internet dan situs-situs

yang relevan dan realistis.

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Demam Berdarah Dengue

(W. sudoyo, Aru dkk; 2009) Demam dengue/DF dan demam

berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah

penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi

klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia,

ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD

terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi

(peningkatan hematokrin) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.

Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam

berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.

Ada beberapa pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)

menurut beberapa ahli, yaitu sebagai berikut :

1. Demam berdarah dengue ( DBD ) adalah suatu penyakit yang

disebabkan oleh virus dengue (arbovirus) yang masuk ke dalam

tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (Suriadi &

Yuliani,2001).

2. Demam dengue/dengue fever adalah penyakit yang terutama pada

anak, remaja, atau orang dewasa, dengan tanda-tanda klinis

demam, nyeri otot, atau sendi yang disertai leukopenia,

dengan/tanpa ruam (rash) dan limfadenophati, demam bifasik, sakit

kepala yang hebat, nyeri pada pergerakkan bola mata, rasa

menyecap yang terganggu, trombositopenia ringan, dan bintik-

bintik perdarahan (ptekie) spontan (Noer, dkk, 1999).

3. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan suatu penyakit

epidemik akut yang disebabkan oleh virus yang ditransmisikan oleh

Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Penderita yang terinfeksi akan

memiliki gejala berupa demam ringan sampai tinggi, disertai

dengan sakit kepala, nyeri pada mata, otot dan persendian, hingga

perdarahan spontan (WHO, 2010).

4

5

4. Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi virus

akut yang disebabkan oleh virus Dengue dan terutama menyerang

anak-anak dengan ciri-ciri demam tinggi mendadak dengan

manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan shock dan

kematian. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes

aegypti dan mungkin juga Albopictus. Kedua jenis nyamuk ini

terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali ketinggian

lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut. Masa inkubasi

penyakit ini diperkirakan lebih kurang 7 hari.

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak

ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama asia

tenggara, Amerika tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah

manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili

Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-

2, Den3 dan Den-41, ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang

terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus 2 yang

terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia. Masa inkubasi virus

dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara 3 sampai 14

hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari

keempat sampai hari ketujuh, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di

6

dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari.1 Manifestasi klinis

mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam dengue (DD) dan DBD,

ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari; pendarahan

diatesis seperti uji tourniquet positif, trombositopenia dengan jumlah

trombosit ≤ 100 x 109/L dan kebocoran plasma akibat peningkatan

permeabilitas pembuluh.

Tiga tahap presentasi klinis diklasifikasikan sebagai demam,

beracun dan pemulihan. Tahap beracun, yang berlangsung 24-48 jam,

adalah masa paling kritis, dengan kebocoran plasma cepat yang

mengarah ke gangguan peredaran darah.4 Terdapat 4 tahapan derajat

keparahan DBD, yaitu derajat I dengan tanda terdapat demam disertai

gejala tidak khas dan uji torniket + (positif); derajat II yaitu derajat I

ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau 1. Staf Pengajar FK-

UNDIP Semarang perdarahan lain, derajat III yang ditandai adanya

kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan

nadi (<20 mmHg), hipotensi (sistolik menurun sampai <80 mmHg),

sianosis di sekitar mulut, akral dingin, kulit lembab dan pasen tampak

gelisah; serta derajat IV yang ditandai dengan syok berat (profound

shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.5

Walaupun DD dan DBD disebabkan oleh virus yang sama, tapi

mekanisme patofisiologisnya berbeda dan menyebabkan perbedaan

klinis. Perbedaan utama adalah adanya renjatan yang khas pada DBD

yang disebabkan kebocoran plasma yang diduga karena proses

immunologi, pada demam dengue hal ini tidak terjadi.6 Manifestasi

klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus yang

berkembang di dalam peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag.

Selama 2 hari akan terjadi viremia (sebelum timbul gejala) dan berakhir

setelah lima hari timbul gejala panas. Makrofag akan menjadi antigen

presenting cell (APC) dan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik

makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan

mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah

7

memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi.

Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi,

antibody hemaglutinasi, antibodi fiksasi komplemen. Proses tersebut

akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang

terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan

gejala lainnya.7

Patofisiologi primer DBD dan dengue syock syndrome (DSS)

adalah peningkatanakut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke

kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga

menimbulkanhemokonsentrasi dan penurunan t ekanan darah. Pada kasus

berat, volume plasma menurun lebih dari 20%, hal ini didukung

penemuan post mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan

hipoproteinemi.8 Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue

berkembang biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti

dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari.

Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik humoral maupun

selular, antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin dan anti

komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM,

pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi

sekunder kadar antibodi yang telah ada jadi meningkat.7 Antibodi

terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam

hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan

menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik

kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan

antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG

meningkat sekitar demam hari ke-14 sedan pada infeksi sekunder

antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini

infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibody IgM

setelah hari sakit kelima, diagnosisinfeksi sekunder dapat ditegakkan

lebih dini dengan adanya peningkatan antibody IgG dan IgM yang cepat.

8

Patofisiologi DBD dan DSS sampai sekarang belum jelas, oleh

karena itu muncul banyak teori tentang respon imun. Pada infeksi

pertama terjadi antibodi yang memiliki aktivitas netralisasi yang

mengenali protein E dan monoklonal antibodi terhadap NS1, Pre M dan

NS3 dari virus penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis sel yang telah

terinfeksi virus tersebut melalui aktivitas netralisasi atau aktifasi

komplemen. Akhirnya banyak virus dilenyapkan dan penderita

mengalami penyembuhan, selanjutnya terjadilah kekebalan seumur hidup

terhadap serotipe virus yang sama, tetapi apabila terjadi antibodi

nonnetralisasi yang memiliki sifat memacu replikasi virus, keadaan

penderita akan menjadi parah apabila epitop virus yang masuk tidak

sesuai dengan antibodi yang tersedia di hospest. Pada infeksi kedua yang

dipicu oleh virus dengue dengan serotipe yang berbeda, virus dengue

berperan sebagai super antigen setelah difagosit oleh monosit atau

makrofag. Makrofag ini menampilkan antigen presenting cell (APC)

yang membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari mayor

histocompatibility complex (MHC)

9

Gambar 2.Respon Primer dan Sekunder Infeksi Virus Dengue

2.2 Riwayat Alamiah Demam Berdarah Dengue

Proses Penyakit Demam Berdarah Virus dengue dibawa oleh

nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus sebagai vektor/pembawa

ke tubuh manusia melalui gigitan. Infeksi yang pertama kali dapat

menimbulkan gejala demam dengue saja. Apabila orang tersebut

mendapat infeksi berulang oleh tipe virus dengue yang berlainan akan

menimbulkan reaksi yang berbeda atau disebut Demam Berdarah Dengue

(DBD). Virus dengue berkembang di limpa manusia lalu menyebar ke

seluruh jaringan tubuh terutama ke sistem kulit melalui peredaran darah.

Akibat virus ini, tubuh membentuk anti bodi untuk melawan virus

dengue dengan cara mengaktifkan anafilatoksin C3a dan C5a, yang

menimbulkan efek meningkatnya daya tahan permeabilitas dinding

pembuluh darah. Hal inilah yang menimbulkan bintik-bintik merah pada

kulit.

Menurut WHO, 1986, diagnosis DBD dapat ditegakkan apabila :

1. Suhu badan yang tiba-tiba meninggi

2. Demam yang berlangsung beberapa hari

3. Kurva demam menyerupai pelana kuda, saat suhu tubuh mencapai

puncaknya (>38˚C) lalu turun secara perlahan-lahan.

10

4. Nyeri tekan terutama di otot-otot dan persendian

5. Adanya bintik-bintik merah pada kulit

6. Leukopenia/Sel darah merah yang kurang dari normal.

1. Masa Inkubasi Dan Klinis

Masa inkubasi penyakit DBD, yaitu sejak virus dengue

menginfeksi manusia hingga menimbulkan gejala klinis antara 3-14 hari,

rata-rata antara 4-7 hari.Tanda dan gejala amat bervariasi, dari yang

ringan, sedang sampai ke perdarahan, serta kecendrungan terjadi

renjatan/koma. Dengan gejala, sebagai berikut :

1. Peningkatan suhu secara tiba-tiba

2. Nyeri pada kepala

3. Nyeri pada otot dan tulang

4. Mual dan kadang muntah

5. Batuk ringan

6. Pada mata dapat ditemukan pembengkakan

7. Timbul bercak kemerahan pada lengan, kaki dan seluruh tubuh pada

hari ke-3 sampai ke-6.

8. Lidah kotor

9. Kesulitan buang air besar

10. Perdarahan pada hari ke 3-5 berupa bintik-bintik merah, berak darah,

muntah darah, mimisan (epistaksis)

11. Hati membesar dan terdapat nyeri tekan

12. Pucat terutama pada hidung dan ujung-ujung jari

Pada Masa klinis, derajat beratnya DBD dapat dibagi menjadi :

1. Derajat satu/ringan :

1) Demam mendadak selama 2 - 7 hari

2) Perdarahan ringan

3) Uji turniket / bendungan darah positif

2. Derajat dua / sedang :

1) Perdarahan pada kulit

11

2) Perdarahan pada tempat yang lain seperti mimisan, gusi

3) Trombosit sudah turun.

3. Derajat tiga :

1) Ditemukan tanda-tanda shock dini seperti pucaT

2) Terjadi kegagalan sirkulasi darah.

4. Derajat empat :

1) Sudah terjadi shock

2) Nadi dan tekanan darah tidak terukur

Untuk menegakkan diagnosa Demam Berdarah, perlu

pemeriksaan lebih lanjut di fasilitas pelayanan kesehatan.

2. Masa laten dan periode infeksi

Penyakit DBD tidak ditularkan langsung dari orang ke orang.

Penderita menjadi infektif bagi nyamuuk pada saat viremia, yaitu

beberapa saat menjelang timbulnya demam hingga saat masa demam

berakhir, biasanya berlangsung selama 3-5 hari. Nyamuk aedes aegypti

menjadi infektif 8-12 hari sesudah menghisap darah penderita DBD

sebelumnya. Selama periode ini nyamuk aede aegypti yang telah

terinfeksi virus dengue ini akan tetap infektig selama hidupnya dan

potensial menularkan virus dengue kepada manusia yang rentan lainnya.

(W. sudoyo, Aru dkk; 2009) Manifestasi klinis infeksi virus

dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa demam yang tidak

khas, demam dengue, demam berdarah dengue atu sindrom syok dengue

(SSD). Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari,

yang diikuti oleh fase nkritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien

sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan

jika tidak mendapat pengobatan adekuat.

Dengue virus infection

symptomaticasymptomatic

Undiflerentiated fever

Dengue fever syndrome

Dengue heemorrhagic fever

Without haemorrhage

With unusual haemorrhage

Dengue shock syndrom

No shock

Dengue fever Dengue haemorrhagic fever

12

Gambar 3. Manifestasi klinis infeksi virus dengue (sumber: Manograpi

on dengue/dengue haemorrahgic fever, WHO 1993)

2.3 Penyebab Demam Berdarah Dengue

(W. sudoyo, Aru dkk; 2009) Demam dengue dan demam berdarah

dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus

flavivirus, keluarga flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan

diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat

molekul 4 x 106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3

dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau

demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia

dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang

antar serotipe dengue dengan flavivirus lain seperti Yellow fever,

13

Japanese encehphalitis dan West Nile virus. Dalam laboratorium virus

dengue dapat bereplikasi padahewan mamalia seperti tikus, kelinci,

anjing, kelelawar dan primate. Survei epidemiologi pada hewan ternak

didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi dan

babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat

bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Demam_berdarah) Nyamuk Aedes

aegypti adalah vektor pembawa virus dengue penyebab penyakit demam

berdarah. Penyebab utama penyakit demam berdarah adalah virus

dengue, yang merupakan virus dari famili Flaviviridae. Terdapat 4 jenis

virus dengue yang diketahui dapat menyebabkan penyakit demam

berdarah. Keempat virus tersebut adalah DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan

DEN-4.

14Virus dengue penyebab

penyakit demam berdarah

Gejala demam berdarah baru muncul saat seseorang yang pernah

terinfeksi oleh salah satu dari empat jenis virus dengue mengalami

infeksi oleh jenis virus dengue yang berbeda. Sistem imun yang sudah

terbentuk di dalam tubuh setelah infeksi pertama justru akan

mengakibatkan kemunculan gejala penyakit yang lebih parah saat

terinfeksi untuk ke dua kalinya. Seseorang dapat terinfeksi oleh

sedikitnya dua jenis virus dengue selama masa hidup, namun jenis virus

yang sama hanya dapat menginfeksi satu kali akibat adanya sistem imun

tubuh yang terbentuk.

Virus dengue dapat masuk ke tubuh manusia melalui gigitan vektor

pembawanya, yaitu nyamuk dari genus Aedes seperti Aedes aegypti

betina dan Aedes albopictus. Aedes aegypti adalah vektor yang paling

banyak ditemukan menyebabkan penyakit ini. Nyamuk dapat membawa

virus dengue setelah menghisap darah orang yang telah terinfeksi virus

tersebut. Sesudah masa inkubasi virus di dalam nyamuk selama 8-10

hari, nyamuk yang terinfeksi dapat mentransmisikan virus dengue

tersebut ke manusia sehat yang digigitnya. Nyamuk betina juga dapat

menyebarkan virus dengue yang dibawanya ke keturunannya melalui

telur (transovarial). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa monyet

juga dapat terjangkit oleh virus dengue, serta dapat pula berperan sebagai

sumber infeksi bagi monyet lainnya bila digigit oleh vektor nyamuk.

15Nyamuk Aedes aegypti adalah vektor pembawa

virus dengue penyebab penyakit demam berdarah.

Tingkat risiko terjangkit penyakit demam berdarah meningkat pada

seseorang yang memiliki antibodi terhadap virus dengue akibat infeksi

pertama. Selain itu, risiko demam berdarah juga lebih tinggi pada wanita,

seseorang yang berusia kurang dari 12 tahun, atau seseorang yang berasal

dari ras Kaukasia.

2.4 Faktor Risiko Demam Berdarah Dengue

DBD sangat endemis di Indonesia, sejak ditemukan pertama kali

tahun 1968 jumlah kasus dan luas daerah terjangkit terus meningkat.

Penyebab meluasnya penyakit DBD di Indonesia multi faktorial antara

lain:

1. Faktor Manusia dan Sosial Budaya

a. Faktor manusia, kepadatan penduduk sangat berpengaruh pada

kejadian kasus DBD, makin padat penduduk makin tinggi kasus

DBD di kota tersebut. Hal ini karena berkaitan dengan penyediaan

INFRA STRUKTUR yang kurang memadai seperti penyediaan

sarana air bersih, sarana pembuangan sampah, sehingga terkumpul

barang2 bekas yang dapat menampung air dan menjadi tempat

perkembang biakan nyamuk Aedes , penular DBD.

b. Mobilitas manusia : perpindahan manusia dari satu kota ke kota lain

mempengaruhi penyebaran penyakit DBD.

c. Perilaku manusia : kebiasaan menampung air untuk keperluan

sehari-hari seperti menampung air hujan, air sumur, harus membeli

air didalam BAK MANDI, membuat bak mandi atau

drum/tempayan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk .

d. Kebiasaan menyimpan barang2 bekas atau kurang memeriksa

lingkungan terhadap adanya air2 yang tertampung didalam wadah2

dan kurang melaksanakan kebersihan dan 3 M PLUS (Menguras,

16

Menutup dan Mengubur PLUS menaburkan Larvasida, memelihara

ikan pemakan jentik dll).

2. Faktor agen dan lingkungan

a. Faktor agen/ virus DBD: ada 4 serotipe yang tersebar luas di

seluruh wilayah Indonesia, dan bersirkulasi sepanjang tahun,

Dipertahankan siklusnya didalam tubuh nyamuk

b. Faktor Nyamuk penular, yaitu Aedes aegypti yang tersebar luas

diseluruh pelosok tanah air, populasinya meningkat pada saat

musim hujan

c. Faktor lingkungan: Musim hujan meningkatkan populasi nyamuk,

namun di Indonesia musim kering pun populasinya tetap banyak

karena orang cenderung menampung air dan didaerah sulit air

orang menampung air didalam bak2 air/ drum, sehingga nyamuk

dan jentik selalu ada sepanjang tahun.

3. SOP

a. Kurangnya pemahaman tentang penegakan diagnosis dan

penatalaksanaan penderita DBD sesuai standar pada sebagian

klinisi baik di Rumah Sakit, Puskesmas maupun sarana pelayanan

kesehatan lainnya, sehingga sering terjadi over diagnosis.

b. Belum semua rumah sakit menggunakan form KDRS/KD-DBD

dan seringnya keterlambatan pelaporan kasus dari rumah sakit ke

Dinas Kesehatan atau ke Puskesmas. Jika sesuai standar,

seharusnya setiap kasus yang ditemukan dilaporkan dalam waktu

kurang dari 24 jam agar dapat dilakukan langkah-langkah

penanggulangan kasus secara cepat dan tepat sebelum terjadi

penyebaran lebih luas lagi.

4. Ketersediaan Tenaga Pelayanan

a. Faktor pelaksana program yang sering berganti-ganti, kurangnya

petugas lapangan dan khususnya kurangnya pendanaan bagi

pelaksanaan program pengendalian DBD.

17

b. Kegiatan pemeriksaan jentik berjalan namun tidak menyeluruh

karena keterbatasan tenaga. Puskesmas melaksanakan PJB

(Pemeriksaan Jentik Berkala), kader2 JUMANTIK melaksanakan

pemeriksaan jentik seminggu sekali di lingkungannya, namun tidak

tersedia dana operasional maupun biaya pengganti transport bagi

para kader Jumantik sehingga kegiatannya mengendur. Beberapa

kota seperti Jakarta Timur, Pekalongan, Mojokerto sangat aktif

melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik melalui peran serta

masyarakat dan Jumantik

5. Kondisi Sarana Pendukung

Mesin fogging tersedia disetiap Dinas Kesehatan kota atau

Puskesmas jumlahnya bervariasi, namun biasanya tidak disertai biaya

pemeliharaan. Oleh karena itu mesin2 yang rusak tidak tersedia suku

cadang, sering kali diambil dari mesin2 yang ada, sehingga banyak

mesin fogging yang rusak.

6. Sumber Pembiayaan

a. Masalah DBD belum dianggap sebagai masalah prioritas di

beberapa wilayah sehingga alokasi dana APBD untuk

penanggulangan DBD masih tergolong kecil di masing-masing

wilayah endemis.

b. Untuk penyemprotan suatu area, luas radius 100 meter ( 1 HA,

estimasi hanya untuk 20-40 rumah ) dibutuhkan biaya Rp.300.000 -

500.000/ 2 siklus. Area yang disemprot harus memenuhi kriteria

PE tersebut, dengan tujuan membunuh nyamuk yang mengandung

virus. Oleh karena itu apabila masyarakat meminta penyemprotan

tidak memenuhi kriteria PE, mereka harus menanggung biaya itu

sendiri. Penyemprotan (fogging) liar ini biasanya dilakukan oleh

perusahaan2 penyemprot/ pihak swata yang hanya mengutamakan

aspek keuntungan/komersil saja.

c. Peningkatan kasus yang umumnya terjadi bulan Januari hingga

Maret, dimana pada bulan-bulan tersebut dana operasional belum

18

turun dari APBD, ini membuat hambatan dalam pelaksanaan

penanggulangan kasus di lapangan.

7. Faktor kerjasama/peran serta

Faktor peran serta lintas sektor maupun peran serta masyarakat

yang masih kurang dan cenderung mengharapkan sektor kesehatan

saja yang mengatasi masalah DBD. Dengan kata lain masalah DBD

masih dianggap sebagai masalah sektor kesehatan semata.

Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan

penduduk perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena

membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan terganggu atau

melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkin terjadinya

KLB. Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang mengakibatkan

orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang

layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang

benar. Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang

lebih makmur terutama yang biasa bepergian. Faktor risiko yang

menyebabkan munculnya antibodi IgM anti dengue yang merupakan

reaksi infesksi primer, berdasarkan hasil penelitian di wilayah Amazon

Brasil adalah jenis kelamin laki-laki, kemiskinan, dan migrasi.

Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder yang menyebabkan

DBD adalah jenis kelamin laki-laki, riwayat pernah terkena DBD pada

periode sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan.

1. Kepadatan penduduk

Kepadatan penduduk turut menunjang atau sebagai salah

satu faktor resiko penularan penularan penyakit DBD. Semakin

padat penduduk, semakin mudah nyamuk Aedes menularkan

virusnya dari satu orang ke orang yang lainnya. Pertimbuhan

penduduk yang tidak memiliki pola tertentu dan urbanisasi yang

tidak terencana serta tidak terkontrol merupakan salah satu faktor

yang berperan dalam munculnya kembali kejadian luar biasa

penyakit DBD (WHO, 2000).

19

Factor resiko lainnya seperti mobilitas penduduk, sanitasi

lingkungan, keberadaan container perindukan nyamuk Aedes,

kepadatan vector, tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap

penyakit DBD secara keseluruhan dapat menyebabkan KLB

penyakit DBD

2. Keberadaan Kontainer

Letak, macam, bahan, warna, bentuk volume dan penutup

container serta asal air yang tersimpan dalam container sangat

mempengaruhi nyamuk Aedes betina untuk menentukan  pilihan

tempat bertelurnya (Ditjen PPM dan PL, 2001) Keberadaan

container sangat berperan dalam kepadatan vektor nyamuk Aedes,

karena semakin banyak kontainer akan semakin banyak tempat

perindukan danakan semakin padat populasi nyamuk Aedes.

Semakin banyak populasi nyamuk Aedes, maka semakin tinggi

pula resiko terinfeksi virus DBD dengan waktu penyebaran lebih

cepat sehingga jumlah kasus penyakit DBD cepat meningkat yang

pada akhirnya mengakibatkan terjadinya KLB penyakit DBD.

Dengan demikian program pemerintah (Ditjen PPM & PL, 2001)

berupa penyuluhan kesehatan masyarakat dalam penanggulangan

penyakit DBD antara lain dengan cara menguras, dan mengubur

(3M) sangat tepat dan perlu dukungan luas dari masyarakat dalam

pelaksanaannya.

3. Faktor Perilaku Masyarakat Tingkat Pengetahuan DBD

1. Pengetahuan

2. Sikap

Sikap masyarakat terhadap penyakit DBD, yaitu semakin

masyarakat bersikap tidak serius dan tidak berhati – hati terhadap

penularan penyakit DBD semakin bertambah resiko terjadinya

penularan penyakit DBD (chi-square, >p0,05) dengan RR = 2,24.

Hal ini sesuai denagn hasil penelitian Thurstone et al. seperti

dikutip oleh Azwar (2003) bahwa sikap sesorang terhadap suatu

20

obyek adalah perasaan mendukung atau memihak ( favourable )

maupun perasaan tidak mendukung atau memihak ( unfavourable )

pada obyek tersebut. Pendapatan senada juga dikemukakan oleh La

Pierre seperti dikutip oleh Azwar (2003) yang menyatakan bahwa

sikap adalah suatu pola perilaku atau tendensi ( kesiapan

antisipasi), predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi

social yang telah terkondisikan. Disimpulkan bahwa semakin

kurang sikap seseorang atau masyarakat terhadap penanggulangan

dan pencegahan penyakit DBD maka akan semakin besar

kemungkinan timbul KLB penyakit DBD.

3. Pengasapan ( Fogging )

Kurangnya tindakan fogging/tindakan pengasapan

seharuanya dilaksanakan dalam 2 siklus, yaitu waktu antara

pengasapan pertama dan berikutnya ( kedua ) harus dalam interval

7 hari, dengan maksud jentik yang selamat dan menjadi nyamuk

Aedes dapat dibunuh pada pengasapan kedua.

Pengasapan pada umumnya menggunakan intektisida

golongan organofosfat misalnya melathion dalam larutan minyak

solar tidak begitu efektif dalam membunuh nyamuk dewasa dan

kecil pengaruhnya dalam menurunkan kepadatan populasi nyamuk

Aedes, apalgi siklus pengasapan tidak 2 kali dengan interval 7 hari.

Sebaliknya tindakan pengasapan memberikan rasa aman yang semu

kepada masyarakat yang dapat mengganggu program, pembersihan

sarang nyamuk seperti ‘3M’ dan abatisasi. Dari segi politis, cara ini

disenangi karene terkesan pemerintah melakukan tindakan yang

terlihat nyata untuk mencegah dan menanggulangi penyakit ini

(WHO, 2000).

4. Penyuluhan DBD

Tidak ada peran penyuluahn penyakit DBD yang

bermakna terhadap KLB penyakit DBD. Hal ini disebabkan karena

baik daerah KLB maupun bukan daerah KLB penyakit DBD sama–

21

sama kurang mendapatkan penyuluhan dari dinas kesehatan

setempat. Tambahan lagi, kurangnya pengertian tentang apa yang

harus dilakukan oleh petugas sebelum melakukan penyuluhan,

seperti identifikasi hal – hal apa saja yang penting bagi msyarakat

dan apa yang harus diimplementasikan pada tingkat masyarakat,

tingkat wilayah atau tingkat penentu kebijakan. Perlu dipahami,

penyuluhan bukanlah semata – semata sebagai forum penyampaian

hal – hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan masyarakat.

Sebaiknya masyarakat dibekali pengetahuan dan keterampilan

tentang cara–cara pengendalian vektor yang memungkinkan

mereka menentukan pilihan yang terbaik segala hal yang berkaitan

dengan masalah kesehatan secara individu maupun secara kolektif

(WHO, 2000).

22

2.5 Epidemiologi Demam Berdarah Dengue

(Widoyono. 2008) Di banyak Negara tropis, virus dengue sangat

edemik. Dia asia, penyakit ini sering menyerang di Cina Selatan,

Pakistan, India, dan semua Negara Asia Tenggara. Sejak tahun 1981,

virus ini ditemukan di Queesland, Australia. Di sepanjang pantai timur

Afrika, penyakit ini juga ditemukan dalam berbagai serotipe. Penyakit ini

juga sering menyebabkan KLB di Amerika Serikat sampai akhir tahun

1990- an. Epidemi dengue pertama kali di Asia terjadi pada tahun 1779,

di Amerika Selatan tahun 1835 – an, Provil kesehatan provinsi jawa

tengah tahun 1999 melaporkan bahwa kelompok tertinggi adalah usia 5-

14 tahun yang terserang serbanyak 42% dan kelompok usia 15-44 tahun

yang terserang sebanyak 37%. Data tersebut didapatkan dari data rawat

inap rumah sakit. Rata-rata insidensi sebanyak DBD sebesar 6-27 per

100,000 penduduk. CFR penyakit DBD mengalami penurunan dari tahun

ke tahun walaupun masih tetap tinggi. CFR tahun 1968 sebesar 43%,

tahun 1971 sebesar 14%, tahun 1980 sebesar 4,8%, dan dan tahun 1999

masih diatas 2%. Data dari departemen kesehatan RI melaporkan bahwa

pada tahun 2004 selama bulan januari dan februari, pada 25 provinsi

tercatat 17.707 orang terkena DBD dengan kematian 322 penderita.

Daerah yang perlu diwaspadai adalah DKI Jakarta, Bali, NTB.

Ada empat serotope yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.

Serotype DEN-3 merupakan jenis yang sering dihubungkan dengan

kasus-kasus parah. Infeksi oleh salah satu serotype akan menimbulkan

kekebalan terhadap serotype yang bersangkutan tetapi tidak untuk

serotype yang lain. Keempat jenis virus tersebut semuanya terdapat

diindonesia. Didaerah endemic DBD, seseorang dapat terkena infeksi

semua serotype virus pada waktu yang bersamaan. Untuk pertama

kalinya, pada bulan maret 2002, Michael Rossman dan Richard Kunh

dari Purdue Universiti, Amerika Serikat, melaporkan bahwa struktur

virus dengue yang berbeda dengan struktur virus lainnya telah

ditemukan. Permukaan virus ini halus dan selaputnya ditutupi oleh

23

lapisan protein yang berwarna biru, hijau, dan kuning (ilustrasi

komputer). Protein amplop tersebut dinamakan protein E yang berfungsi

melindungi bahan genetic didalamnya.

(W. sudoyo, Aru dkk; 2009) Demam berdarah dengue tersebar di

wilayah Asia Tengara, Pasifik barat dan Karibia. Indonesia merupakan

wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden

DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989

hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa

hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mprtalitas

DBD cenderung menurun hingga mencapai 2 % pada tahun 1999.

Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus

Aedes (terutama A. Aegypty dan A. Albopictus). Peningkatan kasus

setiap tahunnya berkaitan dengan sanitas lingkungan dengan tersedianya

tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih

(bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan

virus dengue yaitu : 1). Vektor : perkembangbiakkan vektor, kebiasaan

menggigit, kepadatan vektor dilingkungan, transportasi vektor dari satu

tempat ke tempat lain; 2). Pejamu: terdapatnya penderita

dilingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia

dan jenis kelamin; 3). Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan

kepadatan penduduk.

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang

disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan spectrum manifestasi

klinis yang bervariasi antara yang paling ringan, demam dengue (DD),

DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock

syndrome (DSS)9; ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae.albopictus

yang terinfeksi.10 Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah

virus dengue yang termasuk ke dalam family Flaviridae dan genus

Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4.1

Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan

24

peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara baru dan, dalam dekade

ini, dari kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di

sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara,

Amerika Tengah, Amerika dan Karibia. Virus dengue dilaporkan telah

menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah perkotaan yang

berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika

Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi

diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di

rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun;

diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia,

tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus

dengue melalui gigitan nyamuk setempat.

Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah

tropik dan subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak

menimbulkan kematian pada anak 90% di antaranya menyerang anak di

bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di

beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan

jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang

lebih. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah

kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya

jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187

orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009

sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR

0,89%.15. Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang

termasuk subgenus. Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae.

albopictus sebagai vektor primer dan Ae. polynesiensis, Ae.scutellaris

serta Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder, selain itu juga terjadi

penularan transsexual dari nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui

perkawinan serta penularan transovarial dari induk nyamuk ke

keturunannya. 16-17 Ada juga penularan virus dengue melalui transfusi

25

darah seperti terjadi di Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari

penderita asimptomatik.

Dari beberapa cara penularan virus dengue, yang paling tinggi

adalah penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi

ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari,

sedangkan inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6

hari dan diikuti dengan respon imun. Penelitian di Jepara dan

Ujungpandang menunjukkan bahwa nyamuk Aedes spp. berhubungan

dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di masyarakat; tetapi

infeksi tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia karena

masih tergantung pada faktor lain seperti vector capacity, virulensi virus

dengue, status kekebalan host dan lain-lain. Vector capacity dipengaruhi

oleh kepadatan nyamuk yang terpengaruh iklim mikro dan makro,

frekuensi gigitan per nyamuk per hari, lamanya siklus gonotropik, umur

nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus dengue serta pemilihan

Hospes. Frekuensi nyamuk menggigit manusia, di antaranya dipengaruhi

oleh aktivitas manusia; orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan

lebih banyak digigit nyamuk Ae. Aegypti dibandingkan dengan orang

yang lebih aktif, dengan demikian orang yang kurang aktif akan lebih

besar risikonya untuk tertular virus dengue. Selain itu, frekuensi nyamuk

menggigit manusia juga dipengaruhi keberadaan atau kepadatan manusia;

sehingga diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di rumah yang padat

penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi menggigitnya terhadap manusia

dibanding yang kurang padat. Kekebalan host terhadap infeksi

dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah usia dan status

gizi, usia lanjut akan menurunkan respon imun dan penyerapan gizi.

Status status gizi yang salah satunya dipengaruhi oleh keseimbangan

asupan dan penyerapan gizi, khususnya zat gizi makro yang berpengaruh

pada sistem kekebalan tubuh. Selain zat gizi makro, disebutkan pula

bahwa zat gizi mikro seperti besi dan seng mempengaruhi respon

kekebalan tubuh, apabila terjadi defisiensi salah satu zat gizi mikro, maka

26

akan merusak sistem imun. Status gizi adalah keadaan kesehatan akibat

interaksi makanan, tubuh manusia dan lingkungan yang merupakan hasil

interaksi antara zat-zat gizi yang masuk dalam tubuh manusia dan

penggunaannya.

Tanda-tanda atau penampilan status gizi dapat dilihat melalui

variabel tertentu [indikator status gizi] seperti berat badan, tinggi badan,

dan lain lain. Sumber lain mengatakan bahwa status gizi adalah keadaan

yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi

dan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis:

[pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan,

dan lain lain]. Status gizi sangat berpengaruh terhadap status kesehatan

manusia karena zat gizi mempengaruhi fungsi kinerja berbagai sistem

dalam tubuh. Secara umum berpengaruh pada fungsi vital yaitu kerja

otak, jantung, paru, ginjal, usus; fungsi aktivitas yaitu kerja otot bergaris;

fungsi pertumbuhan yaitu membentuk tulang, otot & organ lain, pada

tahap tumbuh kembang; fungsi immunitas yaitu melindungi tubuh agar

tak mudah sakit; fungsi perawatan jaringan yaitu mengganti sel yang

rusak; serta fungsi cadangan gizi yaitu persediaan zat gizi menghadapi

keadaan darurat. Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah

pada kelompok umur <15 tahun (95%) dan mengalami pergerseran

dengan adanya peningkatan proporsi penderita pada kelompok umur 15-

44 tahun, sedangkan proporsi penderita DBD pada kelompok umur >45

tahun sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa Timur berkisar 3,64%.29

Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk,

artinya munculnya kesakitan karena berbagai faktor yang saling

berinteraksi, diantaranya agent (virus dengue), host yang rentan serta

lingkungan yang memungkinan tumbuh dan berkembang biaknya

nyamuk Aedes spp. Selain itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi

diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan,

jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan umur,

suku bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya.

27

1. Agent

Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue, sejenis virus

yang tergolong arbovirus yang masuk kedalam tubuh manusia

melalui gigitan nyamuk aedes aegypti betina. Virus dengue

termasuk genus flavivirus dari keluarga flaviviridae. Virus yang

berukurang kecil (50 nm) ini mengandung RNA berantai tunggal.

Virionnya mengandung nukleokapsid berbentuk kubus yang

terbungkus selubung lipoprotein. Genome virus dengue berukurang

panjang sekitar 11.000 pasang basa dan terdiri dari tiga gen protein

struktural yang mengodekan nukleokapsid atau protein inti (core,

C) satu protein terikat membran (membrane,M) satu protein

penyelubung (envelope, E) dan tujuh gen protein nonstruktural

(nonstructural, NS). Selubung glikoprotein berhubungan dengan

hemaglutinasi virus dan aktivitas netralisasi. Virus dengue

membentuk kompleks yang khas didalam genus flavivirus

berdasarkan karakteristik antigenik dan biologisnya. Ada empat

serotipe virus yang kemudian dinyatakan dengan DEN-1, DEN-2,

DEN-3 dan DEN-4. Infeksi yang terjadi dengan serotipe manapun

akan memicu imunitas seumur hidup terhadap serotipe tersebut.

Walaupun secara antigenik serupa, keempat serotipe tersebut cukup

bebeda di dalam menghasilkan perlindungan silang selama

beberapa bulan setelah terinfeksi salah satunya.

Virus dengue dari keempat serotipe tersebut juga

dihubungkan dengan kejadian epidemi demam dengue saat bukti

yang ditemukan tentang DHF sangat sedikit atau bahkan tidak ada.

Keempat virus serotipe tersebut juga menyebabkan epidemi DHF

yang berkaitan dengan penyakit yang sangat berbahaya dan

mematikan. Dapat menyerang semua umur baik anak anak maupun

orang dewasa. Faktor penyebar (vektor) penyakit DBD adalah

Aedes aegypti dan aedes Albopictus. Penyakit ini termasuk

termasuk dalam kelompok anthropod borne disease karena virus

28

dengue sebagai penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan

melalui nyamuk. Nyamuk aedes aegypti hidup di daratan rendah

beiklim tropis- subtropis. Badan nyamuk relatif lebih kecil

dibandingkan nyamuk yang lainnya. tubuh dan tungkain ditutupi

sisik dengan garis garis putih keperakan. Di bagian punggung

(dorsal) tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal dibagian

kiri dan kanan yang menjadi ciri dari nyamuk spesies ini. Nyamuk

ini sangat menyukai tempat yang teduh dan lembab, suka

bersembunyi dibawah kerindangan pohon. Ataupun pada pakaian

yang tergantung dan bewarna gelap. Nyamuk ini bertelur pada

genangan air yang jernih yang ada dalam wadah pada air kotor

ataupun air yang langsung bersentuhan dengan tanah. Hanya

nyamuk wanita yang mengigit dan menularkan virus

dengue.nyamuk aedes aegypty bersifat diurnal, yaitu aktif pada

pagi dan siang hari. Umumnya mengigit pada waktu siang hari

(09.00-10.00) atau sore hari pukul (15.00-17.00). Nyamuk ini akan

bertelur tiga hari setelah menghisap darah, karena darah merupakan

sarana untuk mematangkan telurnya. Dalam waktu kurang dari

delapan hari telur tersebut sudah menetas dan berubah menjadi

jentik-jentik larva dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa yang siap

menggigit. Kemampuan terbang nyamuk mencapai radius 100-200

m.

2. Host

Dalam hal ini manusia lah yang menjadi host atau target

penyakit DBD. Meskipun penyakit DBD dapat menyerang segala

usia beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak lebih

rentan tertular penyakir yang berpontensi mematikan ini. Di

Indonesia penderita penyakit DBD terbanyak berusia 5-11 tahun.

Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan jenis kelamin

penderita tetapi angka kematian lebih banyak pada anak perempuan

dibandingkan laki-laki. Anak-anak lebih rentan terkena penyakit ini

29

salah satunya disebabkan oleh imunitas yang relatif lebih rendah di

bandingkan orang dewasa. Manusia yang terkena gigitan nyamuk

aedes aegypti tidak selalu dapat mengakibatkan demam berdarah

dan virus dengue yang sudah masuk kedalam tubuh pun tidak

selalu dapat menimbulkan infeksi. Jika daya tahan tubuh cukup

maka dengan sendirinya virus tersebut dapat dilawan oleh tubuh.

Sebelum seseorang terkena DBD, didalam tubuhnya telah ada satu

jenis serotipe virus dengue (serangan pertama kali). Biasanya,

serangan pertama kali ini menimbulkan demam dengue. Ia akan

kebal seumur hidup terhadap serotipe yang menyerang pertama kali

itu. Namun hanya akan kebal maksimal 6 bulan – 5 tahun terhadap

serotipe virus dengue lain.

3. Environment

Di Indonesia, penyakit DBD menjadi masalah kesehatan

masyarakat karena jumlah penderitanya tinggi dan penyebarannya

yang semakin luas, terutama di musim penghujan. Sejumlah pakar

setuju bahwa kondisi ini juga di pengaruhi oleh budaya masyarakat

yang senang menampung air untuk keperluan rumah tangga dan

kebersihan dirinya. Hal ini menjadi faktor eksternal yang

memudahkan seseorang menderita DBD. Nyamuk ini sangat

senang berkembang biak di tempat penampungan air karena tempat

itu tidak terkena sinar matahari langsung. Nyamuk ini tidak dapat

hidup dan berkembang biak di daerah yang berhubungan langsung

dengan tanah. Berikut ini tempat perkembangbiakan nyamuk,

yaitu:

1. Tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari,

seperti drum, tangki, tempayan, bak mandi dan ember.

2. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-

hari, seperti tempat minum burung, vas bunga, perangkap

semut, dan barang-barang bekas yang dapat menampung

air.

30

3. Tempat penampungan air alamiah, seperti lubang pohon,

lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah

pisang dan potongan bambu.

Penelitaan juga menunjukkan di daerah dengan persediaan

air tanpa PAM, perkembangan nyamuk aedes aegypti lebih tinggi

karena penampungan air lebih banyak dibandingkan di daerah yang

sudah tersedia air dengan saluran pipa. Di daerah ini air tidak perlu

ditampung lebih dahulu sehingga nyamuk tidak sempat

berkembang biak. Lingkungan memegang peranan yang besar

dalam penyebaran penyakit demam berdarah sehingga menjaga

lingkungan sekitar menjadi prioritas utama agar kasus DBD tidak

terjadi lagi.

Menurut laporan dari WHO, terjadi 50 juta infeksi DBD

setiap tahunnya. DBD adalah penyakit yang masih endemik di

lebih dari 100 negara, dengan wilayah Asia Tenggara dan Pasifik

Barat sebagai tempat penyebaran terluas.2 Pada tahun 1989-1995,

data epidemiologi di Indonesia menunjukkan bahwa insidens DBD

adalah 6-15 kasus per 100 000 penduduk. Pada tahun 1998,

terdapat lonjakan angka insidens DBD atau kejadian luar biasa

(KLB) hingga 35 kasus per 100 000 penduduk, namun pada tahun

1999 terdapat penurunan angka mortalitas hingga 2%.2,3 Insidens

DBD pada tahun 2000 adalah 10,1 per 100 000 penduduk, yang

mengalami peningkatan menjadi 16 per 100 000 penduduk pada

tahun 2001, meningkat kembali menjadi 19,2 kasus per 100 000

penduduk pada tahun 2002, 23,9 kasus per 100 000 penduduk pada

tahun 2003, 37,1 kasus per 100 000 penduduk pada tahun 2004,

kemudian 43,4 kasus pada tahun 2005. Insidens DBD di Indonesia

pada tahun 2006 adalah 52,5 per 100 000 penduduk dengan case

fatality rate (CFR) sebesar 1,04%. Pada tahun 2007 terdapat

peningkatan insidens DBD menjadi 71,8 kasus per 100 000

penduduk dengan penurunan CFR menjadi 1,01%. Pada tahun

31

2008, baik insidens DBD maupun CFR mengalami penurunan,

berturut-turut menjadi 60,1 kasus per 100 000 penduduk dan

0,9%.4

DKI Jakarta merupakan provinsi dengan jumlah penderita

DBD terbanyak. Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes) Propinsi DKI

Jakarta mencatat jumlah penderita DBD tahun 2003 mencapai 14

071 orang dengan CFR 0,4 %. Pada tahun 2004 jumlah penderita

melonjak menjadi 20 640 orang dengan CFR 0,4 % dan insidens

yang mencapai 260,1 per 100 000 penduduk, dan meningkat lagi

pada tahun 2005 hingga mencapai 23 466 penderita dengan CFR

0,3% dan insidens 296,8 kasus per 100 000 penduduk. Pada

rentang bulan Januari-Februari 2009, DBD mengenai 4290 warga

DKI Jakarta.

Pada bulan Januari hingga April 2009, terdapat 464 pasien

DBD di Jakarta Pusat yang dirawat di rumah sakit, 4 orang di

antaranya meninggal. Mengacu pada data dari Sudinkes Jakarta

Pusat, dari 44 kelurahan di Jakarta Pusat hanya 4 kelurahan yang

tergolong zona hijau DBD, sementara 9 kelurahan tergolong zona

merah dan 31 kelurahan termasuk zona kuning. 6 Suatu daerah

dikategorikan sebagai zona merah jika dalam 3 minggu berturut-

turut terdapat lebih dari 9 penderita DBD atau ada yang meninggal

akibat DBD di daerah tersebut, zona kuning jika dalam 3 minggu

berturut-turut terdapat 2-8 kasus DBD, dan zona hijau jika dalam 3

minggu berturut-turut tidak terdapat kasus DBD

2.6 Distribusi Demam Berdarah Dengue

Kasus penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila, Filipina

pada tahun 1953. Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di

Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi baru didapat pada

tahun 1972. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah

sehingga sampoai tahun 1980 seluruh provinsi di Indonesia kecuali

32

Timor – Timur telah terjadi penyakit sejak pertama kali ditemukan,

jumlah kasus menunjukan kecendrungan meningkat baik dalam jumlah

maupun dan luas wilayah yang terjangkit dan selalu terjadi KLB setiap

tahun.

Setiap tahun, diperkirakan sekitar 100 juta kasus demam

berdarah terjadi di seluruh dunia. Sebagian besar berada di daerah tropis

di dunia, dengan risiko terbesar terjadi di:

1. Benua India

2. Asia Tenggara

3. Cina Selatan

4. Taiwan

5. Kepulauan pasifik

6. Karibia ( kecuali Kuba dan Kepulauan Cayman

7. Meksiko

8. Afrika

9. Amerika Tengah dan Selatan (Kecuali Chili, Paraguay, dan

Argentina)

Di Indonesia KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998,

dengan Incident Rite ( IR ) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR =

2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, tahun – tahun

berikutnya IR cenderung meningkat yaitu :

1. Tahun 1996 : jumlah kasus 45.548 orang , dengan jumlah kematian

sebanyak 1.234 orang.

2. Tahun 1998 : jumlah kasus 72.133 orang, dengan jumlah kematian

sebanyak 1.414 orang ( terjadi ledakan ).

3. Tahun 1999 : jumlah kasus 21.134 orang.

4. Tahun 2000 : jumlah kasus 33.443 orang.

5. Tahun 2001 : jumlah kasus 45.904 orang.

6. Tahun 2002 : jum;lah kasus 40.377 orang.

7. Tahun 2003 : jumlah kasus 50.131 orang.

33

8. Tahun 2004: sampai tanggal 5 maret 2004 jumlah kasus sudah

mencapai 26.015 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 389

orang.

Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang

terjangkit, disebabkan karena semakin baiknya sarana tranformasi

penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat,

terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk

hamper diseluruh pelosok tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang

bersirkulasi sepanjang tahun.

Kebanyakan juga kasus di Amerika Serikat terjadi pada orang

yang terjangkit infeksi saat bepergian ke luar negeri. Tapi risiko ini

meningkat bagi orang-orang yang hidup di sepanjang perbatasan Texas-

Meksiko dan di bagian lain dari Amerika Serikat bagian selatan. Pada

tahun 2009, wabah demam berdarah diidentifikasi di Key West, Florida.

Mekanisme Penularan. Penyakit Demam Berdarah Dengue

ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini mendapat virus

Dengue sewaktu mengigit mengisap darah orang yang sakit Demam

Berdarah Dengue atau tidak sakit tetapi didalam darahnya terdapat virus

dengue. Seseorang yang didalam darahnya mengandung virus dengue

merupakan sumber penularan penyakit demam berdarah. Virus dengue

berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila

penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan

ikut terisap masuk kedalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan

memperbanyak diri dan tersebar diberbagai jaringan tubuh nyamuk

termasuk didalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu setelah mengisap

darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang

lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuh

nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes Aegypti

yang telah mengisap virus dengue itu menjadi penular (infektif)

sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiapkali nyamuk

menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air liur

34

melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang diisap tidak membeku.

Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang

lain.

Gambaran Klinis Demam Berdarah Dengue. Tanda-tanda dan

gejala penyakit DBD adalah :

1. Demam

Penyakit DBD didahului oleh demam tinggi yang mendadak

terus-menerus berlangsung 2 - 7 hari, kenudiml turun secara cepat.

Demam secara mendadak disertai gejala klinis yang tidak spesifik

seperti: anoreksia lemas, nyeri pada tulang, sendi, punggung dan

kepala.

2. Manifestasi Pendarahan

Perdarahan terjadi pada semua organ umumnya timbul pada hari

2-3 setelah demam. Sebab perdarahan adalah trombositopenia. Bentuk

perdarahan dapat berupa : ptechiae, purpura, echymosis, perdarahan

cunjunctiva, perdarahan dari hidung (mimisan atau epestaxis),

perdarahan gusi, muntah darah (Hematenesis), buang air besar

berdarah (melena) dan kencing berdarah (Hematuri). Gejala ini tidak

semua harus muncul pada setiap penderita, untuk itu diperlukan

toreniquet test dan biasanya positif pada sebagian besar penderita

Demam Berdarah Dengue.

3. Pembesaran hati (Hepotonegali)

Pembesaran hati dapat diraba pada penularan demam. Derajat

pembesaran hati tidak sejajar dengan berapa penyakit Pembesan hati

mungkin berkaitan dengan strain serotype virus dengue.

4. Renjatan (ShocK)

Renjatan dapat terjadi pada saat demam tinggi yaitu antara hari

3-7 mulai sakit. Renjatan terjadi karena perdarahan atau kebocoran

plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapilar yang rusak. Adapun

tanda-tanda perdarahan: kulit teraba dingin pada ujung hidung, jari

dan kaki, penderita menjadi gelisah, nadi cepat, lemah, kecil sampai

35

tas teraba, tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmhg atau kurang) dan

tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmhg

atau kurang). Renjatan yang terjadi pada saat demam, biasanya

mempunyai kemungkinan yang lebih buruk.

5. Gejala Klinis Lain

Gejala lainnya yang dapat menyertai ialah : anoreksia, mual,

muntah, lemah, sakit perut, diare atau konstipasi dan kejang.

2.7 Situasi Penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia

Demam Dengue atau Demam Berdarah Dengue (DBD)

merupakan masalah umum yang semakin membesar di negara-negara

subtropik. Penyakit ini merupakan penyakit yang endemik di lebih 100

buah negara termasuklah Afrika, Amerika, Mediterranean Timur, Asia

Tenggara, dan Pasifik Barat. WHO menganggarkan mungkin terdapat

50-100 juta kasus penyakit Dengue di seluruh dunia setiap tahun, di

mana 250.000-500.000 kasus adalah Demam Berdarah Dengue dengan

24.000 kematian setiap tahun (Gibbons et al., 2002 yang dikutip oleh

Yong Y.K. et al., 2006).

Menurut WHO (1998) dalam Setiati T.E. et al. (2006), di Asia

Tenggara, dengan jumlah populasinya kira-kira 1,5 milyar, dianggarkan

kurang lebih 1,3 milyar penduduknya berisiko untuk terkena penyakit

DBD ini. Sehingga sekarang, DBD merupakan penyebab utama

kemasukan ke rumah sakit dan kematian di kalangan anak-anak di

negara-negara di Asia Tenggara.

Di Indonesia, DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968

ketika penyakit sedang menular di Surabaya dan Jakarta. Ketika

epidemik DBD berlaku pada 1998, sejumlah 47.573 kasus dilaporkan

dengan 1527 kematian. Kasus-kasus ini dicatatkan dari 201 daerah dari

total 304 buah daerah di Indonesia. Vektor utamanya adalah Aedes

aegypti dan banyak kejadian yang dilaporkan penularannya melalui

vektor ini (WHO, 2004). Sejak itu, DBD menunjukkan kecenderungan

36

peningkatan jumlah kasus dan luas daerah terjangkit. Daerah yang

memiliki ketinggian lebih dari 1000 meter dari aras laut terkecuali untuk

berisiko terjangkit penyakit DBD dari seluruh wilayah Indonesia. Antara

faktor yang mempengaruhi penyakit DBD adalah kondisi lingkungan,

mobilitas penduduk, kepadatan penduduk, adanya kontainer buatan atau

alami di tempat pembuangan akhir sampah ataupun di tempat lainnya,

penyuluhan dan perilaku masyarakat, selain itu: pengetahuan, sikap,

kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), fogging, abatisasi, dan

pelaksanaan 3M (menguras, menutup, dan mengubur) (Fathi et al.,

2005).

Pada tahun 2004, kasus DBD di Indonesia dilaporkan setiap bulan

dengan jumlah keseluruhannya sebanyak 78.690 dengan 954 kematian

(Case Fatality Rate, CFR=1,2%). Penularan tertinggi adalah di propinsi

DKI Jakarta (2768 kasus dengan CFR 0,76%) diikuti oleh Jabar (1863

kasus dengan CFR yang tinggi, yaitu 2,84%) (WHO, 2004).

Pada 2005, Indonesia mencatatkan jumlah kasus DBD tertinggi di

Asia Tenggara dengan 95.270 kasus dan kematian sebanyak 1298

(CFR=1,36%). Salah satu penyebab tingginya kasus DBD di Indonesia

adalah mungkin karena bencana alam yang berlaku sepanjang 5 tahun

kebelakangan telah menciptakan lingkungan yang kondusif untuk

pembiakan Dengue (WHO, 2004).

Pada tahun 2006 dan 2007, sekali lagi Indonesia mencatatkan

jumlah kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara dengan 1132 kematian

daripada 106.425 kasus pada tahun 2006 dan 1599 kematian daripada

188.115 kasus pada 2007 (WHO, 2008).

Pada 2006, propinsi-propinsi yang meningkat kasus DBD adalah

Aceh, Bali, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Jawa Barat,

Gorontalo dan DKI Jakarta. Peningkatan yang tampak jelas di dua

propinsi yaitu Jawa Timur dan Jawa Barat dengan peningkatan 4 kali

lipat dibandingkan pada tahun 2002. CFR setinggi 5% di propinsi

Sumatera Selatan. Propinsi dengan nilai CFRnya lebih dari 1 % adalah

37

Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Banten,

Jating, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan

Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan

Sulawesi Barat (WHO, 2004).

Propinsi Sumatera Utara mencatatkan sebanyak 4454 kasus

dengan 49 kematian (CFR=1,1%) pada tahun 2008. Manakala pada tahun

2009, 4534 kasus dicatatkan dengan kematian sebanyak 57 orang dengan

nilai CFRnya 1,26%. Terdapat peningkatan kasus, angka kematian dan

nilai CFR pada tahun 2009 jika dibandingkan pada tahun 2008

(Kusriastuti R., 2010).

Menurut LPPD Kota Medan (2008), penyakit DBD di Kota

Medan ditemukan sebanyak 1703 kasus pada tahun 2008. Jumlah ini

dikatakan menurun sebesar 11,16% jika dibandingkan dengan tahun 2007

yakni sebanyak 1917 kasus. Namun angka kejadian penyakit ini kembali

meningkat menjadi 1940 kasus, di mana Kota Medan merupakan

kabupaten yang mencatatkan jumlah tertinggi kasus DBD di Sumatera

Utara pada tahun 2009.

Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

prevalensi penyakit Demam Berdarah Dengue pada pasien anak yang

dilaporkan di RSUP H Adam Malik satu tahun kebelakangan ini yaitu

dari Januari hingga Desember 2009.

Penyakit Demam Berdarah Dengue pertamakali dilaporkan terjadi

di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, kemudian menyebar luas ke

seluruh pelosok tanah air. Angka kesakitan dan wilayah Dati II terjangkit

berftuktuasi dari tahun ke tahun namun selalu cenderung meningkat.

Angka kesakitan dan wilayah Dati II terjangkit Demam Berdarah Dengue

dari tahun 1968 s/d 1996 .

1. Insidens Demam Berdarah Dengue.

Selama periode 1968 -1988 insidens demam berdarah dengue

cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1968 jumlah

penderita demam berdarah dengue yang dirawat ada 53 orang,

38

meninggal 24 orang (41,3%). Jumlah wilayah terjangkit 2 buah Dati II

kemudian pada tahun 1988 jumlah kasusnya meningkat menjadi

47.573 orang (insidens = 27,1 per 100.000 penduduk) dengan

kematian 1.527 orang (3,2%). Jumlah Dati II yang dilaporkan

terjangkit adalah 201 Dati II.

Setelah terjadinya kejadian luar biasa demam berdarah dengue

nasional pada tahun 1988, kasus demam berdarah dengue di Indonesia

menurun tajam. Hal ini mungkin berkaitan dengan kebijaksanaan

program demam berdarah dengue yang dikembangkan selama satu

dasawarsa terakhir. Insidens rate demam berdarah dengue pada tahun

1989 (awal repelita V) turun menjadi 6,1 per 100.000 penduduk

kemudian pada tahun kedua dan ketiga mengalami peningkatan

menjadi 12,73 dan 11,56 per 100.000 penduduk dan pada tahun 1993

(akhir repelita V) insidens rate mengalami penurunan menjadi 9,2 per

100.000 penduduk. Kemudian pada tahun 1994 insidens rate demam

berdarah meningkat kembali dari 9,4 menjadi 18,4 per 100.000

penduduk pada tahun 1995 dan 22,96 per 100.000 penduduk pada

tahun 1996 wilayah Dati II terjangkit demam berdarah dengue

bertambah luas yaitu dari 201 Dati pada tahun 1988 menjadi 211 Dati

II pada tahun 1996. Propinsi yang angka insidens demam berdarah

denguenya cukup tinggi pada tahun 1996 (> 10/100.000 penduduk)

yaitu : Propinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, DKI

Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur,

Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Timur.

Terjadinya peningkatan kasus demam berdarah dengue mulai tahun

1994 s/d 1996, antara lain disebabkan nyamuk penularnya masih

tersebar luas, penyakit demam berdarah dengue muncul diwilayah

yang belum pernah terjangkit demam berdarah dan lokasi-lokasi

pemukiman baru di beberapa kota. Disamping itu terkumpulnya

penduduk yang berasal dari berbagai lokasi asal, memungkinkan

39

terjadi pertukaran jenis virus dengue yang dapat berakibat pada

letusan/kejadian luar biasa penyakit demam berdarah dengue.

2. Angka Kematian.

Angka kematian Demam Berdarah Dengue dari tahun ke tahun

tampak menurun secara konsisten. Pada tahun 1968 angka kematian

Demam Berdarah Dengue sebesar 41,3% menurun menjadi 2,7% pada

tahun 1996. Secara keseluruhan angka kematian (CFR) cenderung

menurun dengan rata-rata 2,5% pertahun. Terjadinya penurunan angka

kematian Demam Berdarah Dengue ini salah satu penyebabnya adalah

semakin baiknya penata laksanaan kasus Demam Berdarah Dengue di

rumah sakit dan Puskesmas, sertat semakin banyak warga masyarakat

yang mengetahui tanda-tanda dan akibat penyakit Demam Berdarah

Dengue, sehingga penderita segera dibawa berobat ke rumah sakit

atau puskesmas.

Meskipun demikian pada tahun 1996 ada beberapa program di

Indonesia yang angka kematian masih cukup tinggi (>5%) yaitu

propinsi Aceh, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat, Kalimantan

Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Lampung, Nusa

Tenggara Barat dan Timor-Timor. Tingginya angka kematian

disebabkan propinsi tersebut menurut tim observasi Demam Berdarah

Dengue di Propinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat, salah

satu diakibatkan oleh daerah tersebut ketat dalam menentukan

diagnosa Demam Berdarah Dengue (penderita tersangka demam

berdarah dengue yang tidak dirawat di rumah sakit tidak dimasukkan

dalam kasus Demam Berdarah Dengue), sehingga jumlah kasus

Demam Berdarah Dengue dalam perhitungan CFR menjadi kecil dan

akibatnya CFR menjadi besar.

3. Musim Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue

Secara nasional penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia

setiap tahun terjadi pada buan September s/d Februari dengan puncak

pada bulan Desember atau Januari yang bertepatan dengan waktu

40

musim hujan. Akan tetapi Untuk kota besar, seperti Jakarta, Bandung,

Yogyakarta dan Surabaya musim penularan terjadi pada bulan Maret

s/d Agustus dengan puncak terjadi pada bulan Juni atau Juli.

4. Vektor Demam Berdarah Dengue Di Indonesia.

Vektor Demarn Berdarah Dengue yang utama di Indonesia

adalah Aedes Aegypti. yang keberadaannya hingga dewasa ini masih

tersebar di seluruh pelosok tanah air dari hasil survey jentik yang

dilakukan Depkes tahun 1992 di 7 kota di Pulau Jawa Sumatera dan

Kalimantan, menunjukkan bahwa rata-rata persentase rumah dan

tempat umum yang ditemukan jentik (Premis index) masih cukup

tinggi. yaitu sebesar 28%.

5. Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue.

Penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue di daerah

perkotaan lebih intensif dari pada di daerah pedesaan. Hal ini

disebabkan kepadatan jumlah penduduk yang tinggi didaerah

perkotaan. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain sangat

berdekatan sehingga memudahkan nyamuk penular Demam Berdarah

Dengue (Aedes Aegypti) menyebarkan virus dengue dari satu orang

ke orang lain yang ada disekitarnya (jarak terbang nyamuk Aedes

aegypti biasanya tidak lebih dari 100 meter). Selain itu mobilitas

penduduk dikota pada umumnya. jauh lebih tinggi dibandingkan di

pedesaan. Jumlah kasus BDB dari tahun ke tahun , sebagai berikut :

41

42

43

PENDERITA ATAU TERSANGKA DBD

PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI

Ada penderita DBD lain atau ada jentik dan ada penderita demam tanpa sebab yang jelas pada hari itu atau seminggu sebelumnya ≥ 3

orang.

Ya

PenyuluhanPSNPengasapan radius ± 200 m

PenyuluhanPSN

Tidak

44

2.8 Pengelolaan

Skema pengolahan DBD

2.8.1 Program Pemberatasan

1. Tujuana. Menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit DBDb. Mencegah dan mengurangi KLBc. Meningkatkan peran serta masyarakat (PSM) dalam

pembratasan sarang nyamuk (PSM)2. Sasaran. Sasaran nasional (2000):

a. Morbiditas di kacamatan endemik DBD <2 per 10.000 penduduk

b. CFR <2,5%3. Strategi

a. Kewaspadaan dini

454. Kegiatan

a. Pelacakan penderita (penyelidikan epidemiologis, PE), yaitu kegiatan mendatangi rumah-rumah dan kasus yang dilaporkan (indeks kasus) untuk mencari penderita lain dan memeriksa angka jentik dalam radius ± 100 m dari rumah indeks.

b. Penemuan dan pertolongan penderita, yaitu kegiatan mencari penderita lain. Jika terdapat tersangka kasus DBD maka harus segera dilakukan penanganan kasus termasuk merujuk ke unit pelayanan kesehatan (UPK) terdekat

c. Abatisasi selektif (AS) atau larvadisasi selektif yaitu kegiatan memberikan atau menaburkan larvasida kedalam penampungan air positif terdapat jentik aedes

d. Fogging focus (FF) yaitu kegiatan menyemprot dengan insektisida (melation losban) untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radius 1 RW per 400 rumah per 1 dukuh.

e. Pemeriksa jentik berkala (PJB) yaitu kegiatan reguler 3 bulan sekali, dengan cara mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan. Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan cara random atau metode spiral (dengan rumah ditengah sebagai pusatnya) atau metode zig zag. Dengan kegiatan ini akan didapatkan angka kepadatan jentik atau HI (hause index).

f. Pembentukan kelompok kerja (pokja) DBD disemua level administrasi, mulai dari desa, kecamatan, sampai tingkat pusat.

g. Penyelengarakaan PSN (prmberantasan sarang nyamuk) dengan 3M (menutup, menguras tempat penampungan air bersih, mengubur barang bekas, dan membersihkan tempat yang berpotensi bagi perkembangan nyamuk) di daerah endemik dan sporadik.

h. Penyuluh tentang gejala awal penyakit, pencegahan dan rujukan penderita.

5. PencegahanKegiatan ini meliputi:

a. Pembersihan jentik antara lain: program pembratasan sarang nyamuk (PSN), larvasidasi dan menggunakan ikan (ikan kepala timah, cupang, sepat).

b. Pencegahan gigitan nyamuk antara lain menggunakan kelambu

dan menggunakan obat nyamuk (bakar, oles).

46

2.8.2 Monitoring dan evaluasi

a. Indicator pemerataan

1. Penyelidikan Epidemiologis (PE) =

Jumlah penderita x 100

Jumlah penderita yang dilaporkan

2. Fogging focus =

Jumlah fogging x100

Jumlah penderita

b. Indicator efektivitas perlindungan =

Cakupan rumah dengan FF/AS/PSN x100

Jumlah rumah yang seharusnya tercakup dalam FF/AS/PSN

c. Indicator efisien program

1. Angka kepadatan jentik (HI) =

Jumlah yang postif terdapat jentik x100

Jumlah rumah yang diperiksa

2. Angka kesakitan DBD =

Jumlah kesakitan DBD x100

Jumlah penduduk

3. Angka kematian DBD =

Angka kematian DBD x100

Jumlah penderita

2.8.3 Penanggulangan KLB :

a. Penemuan dan pertolongan penderita

b. Penyuluhan

c. PSN dengan gerakan 3M

d. Fogging (pengasapan)

e. Abatisasi atau larvasidasi

BAB 3PENUTUP

3.1 Simpulan

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue

haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri

sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan

diatesis hemoragik. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama

kali dilaporkan Indonesia pada tahun 1968 dengan jumlah penderita 58

orang dengan kematian 24 orang (41,3%). Penyakit Demam Berdarah

Dengue menyebar keseluruh Indonesia dan mencapai puncak klimaksnya

pada tahun 1988 dengan insiden rate mencapai 13, 45% per 100.000

penduduk dan angka kematian 3,2%.

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang

banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis,

terutama asia tenggara, Amerika tengah, Amerika dan Karibia. Host

alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang

termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4

serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-41, ditularkan ke manusia

melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes

aegypti dan Ae. albopictus 2 yang terdapat hampir di seluruh pelosok

Indonesia.

3.2 Saran

Penyusun berharap, makalah yang penyusun buat ini dapat

bermanfaat dan dapat diterima. Penyusun mohon kritik, saran yang

bersifat membangun agar dalam penyusunan makalah berikutnya bisa

lebih baik lagi. Semoga dapat berguna bagi masyarakat dan siapapun

yang membacanya. Bagi masyarakat yang mengetahui tanda dan gejala

serta tempat rawan dbd perlu mencari pengobatan sedini mungkin dan

pencegahan sehingga keluhan berat dan komplikasi dapat dicegah. Bagi

47

48

tenaga kesehatan maupun tenaga pengajar perlu memberikan sumbangsih

penelitian maupun referensi mengenai penyebaran dbd di Indonesia

mengingat sedikit dijumpai referensi penunjang mengenai penyakit ini.

Makalah ini dapat digunakan sebagai penunjang mahasiswa keperawatan

ketika praktik di klinik dan sebaiknya perlu disempurnakan lagi dengan

referensi yang terbaru.