bab 1
DESCRIPTION
EPIDEMIOLOGI DBDTRANSCRIPT
BAB 1PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu masalah
kesehatan (KLB) dengan kematian yang besar.
Di Indonesia nyamuk penular (vector) penyakit DBD yang penting
adalah Aedes albopictus, dan Aedes scutellarios, tetapi sampai saat ini
yang menjadi vector utama dari penyakit DBD adalah Aedes aegypti.
Penyakit DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya
dengan kasus 58 orang anak, 24 diantaranya meninggal dengan Case
Fatality Rate ( CFT ) = 41,3%.
Sejak itu penyakit DBD menunjukkan kecendrungan peningkatan
jumlah kasus dan luas daerah terjangkit. Seluruh wilayah Indonesia
mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DBD, kecualu daerah yang
memiliki ketinggian lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut.
Penyakit DBD dipengaruhi oleh kondisi lingkingan, mobilitas penduduk,
kepadatan penduduk, adanya container buatan ataupun alami ditempat
pembuangan akhir sampah (TPA) ataupun ditempat sampah lainnya,
penyuluhan dan perilaku masyarakat.
Penyakit DBD kini telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di
banyak negara tropis Asia Tenggara dan di wilayah Pasifik Barat, yang
menyita perhatian para ahli kesehatan dunia. Penyakit ini termasuk ke
dalam sepuluh penyebab perawatan di rumah sakit dan kematian pada
anak-anak, sedikitnya di delapan negara tropis asia. Peneliti dan manajer
program yang mempelajari penyakit dengue di wilayah Asia Tenggara
telah menunjukkan berbagai wilayah yang memperlihatkan respon yang
berbeda terhadap infeksi dan hal ini memyebabkan pola epidemiologis
yang juga berlainan(7). Epidemiologi yang kompleks dari DBD semakin
diperumit di tingkat lokal akibat sosial ekonomi dan kebiasaan budaya
yang berbeda di berbagai komunitas dalam wilayah tersebut.
Kompleksitas epidemiologis memerlukan solusi yang spesifik untuk
1
2
pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pengendalian DBD. Di tahun 2004
penyakit ini menjadi berita utama di hampir semua surat kabar nasional.
Semua rumah sakit kebanjiran penderita DBD dan tidak sedikit kasus
yang berakhir dengan kematian. Apalagi kini DBD tidak pandang bulu.
Dahulu penyakit ini lebih banyak menyerang anak-anak dan kalangan
menengah bawah. Kini, orang dewasa hingga manula dan masyarakat
kelas atas pun tidak sedikit yang menderitanya. Oleh karena itu penyakit
ini cukup merata dari segi umur dan strata sosial. Di musin hujan, hampir
tidak ada daerah di Indonesia yang terbebas dari serangan penyakit DBD.
Penelitian menunjukkan bahwa DBD telah ditemukan di seluruh provinsi
di Indonesia. Dua ratus kota melaporkan adanya kejadian luar biasa
(KLB). Angka kejadian meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk
pada tahun 1968 dan secara drastis melonjak menjadi 627 per 100.000
penduduk. Pada tahun 2007 KLB DBD dinyatakan terjadi di DKI jakarta.
Biasanya jumlah penderita semakin meningkat saat memasuki bulan
april. Hal ini terjadi karena korelasi dengan suhu atau curah hujan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan
menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini yaitu tentang “Bagaimana
perkembangan demam berdarah di Indonesia?”.
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan makalah ini yaitu agar para mahasiswa
dapat mengetahui dan mengerti tentang demam berdarah dengue di
Indonesia.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan kami dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Menambah pengetahuan tentang definisi demam berdarah dengue.
3
2. Menambah pengetahuan tentang riwayat alamiah demam berdarah
dengue di Indonesia.
3. Menambah pengetahuan tentang penyebab terjadinya demam
berdarah dengue di Indonesia.
4. Menambah pengetahuan tentang factor risiko terjadinya demam
berdarah dengue.
5. Menambah pengetahuan tentang epidemiologi demam berdarah
dengue di Indonesia.
6. Menambah pengetahuan tentang distribusi demam berdarah dengue.
7. Menambah pengetahuan tentang situasi penyakit demam berdarah
dengue di Indonesia.
8. Menambah pengetahuan tentang pengelolaan.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini yaitu bagi para pembaca selain dapat
memberikan tambahan pengetahuan juga agar pembaca dapat lebih
memahami tentang demam berdarah dengue. Selain itu, bagi mahasiswa
Prodi S1 Keperawatan khususnya dapat dijadikan sebagai dasar atau
pedoman dalam memberikan pembelajaran yang sesuai sehingga hasil
yang diharapkan dapat tercapai.
1.5 Metode Penulisan
Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, penulis
menggunakan metode observasi dan kepustakaan. Adapun teknik-teknik yang
dipergunakan pada makalah ini adalah sebagai berikut.
1.5.1 Studi Pustaka
Pada metode ini, penulis membaca buku referensi yang berhubungan
dengan penulisan makalah ini.
1.5.2 Internet
Dalam metode ini penulis mencari informasi dari internet dan situs-situs
yang relevan dan realistis.
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Demam Berdarah Dengue
(W. sudoyo, Aru dkk; 2009) Demam dengue/DF dan demam
berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi
klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD
terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrin) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam
berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.
Ada beberapa pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)
menurut beberapa ahli, yaitu sebagai berikut :
1. Demam berdarah dengue ( DBD ) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue (arbovirus) yang masuk ke dalam
tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (Suriadi &
Yuliani,2001).
2. Demam dengue/dengue fever adalah penyakit yang terutama pada
anak, remaja, atau orang dewasa, dengan tanda-tanda klinis
demam, nyeri otot, atau sendi yang disertai leukopenia,
dengan/tanpa ruam (rash) dan limfadenophati, demam bifasik, sakit
kepala yang hebat, nyeri pada pergerakkan bola mata, rasa
menyecap yang terganggu, trombositopenia ringan, dan bintik-
bintik perdarahan (ptekie) spontan (Noer, dkk, 1999).
3. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan suatu penyakit
epidemik akut yang disebabkan oleh virus yang ditransmisikan oleh
Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Penderita yang terinfeksi akan
memiliki gejala berupa demam ringan sampai tinggi, disertai
dengan sakit kepala, nyeri pada mata, otot dan persendian, hingga
perdarahan spontan (WHO, 2010).
4
5
4. Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi virus
akut yang disebabkan oleh virus Dengue dan terutama menyerang
anak-anak dengan ciri-ciri demam tinggi mendadak dengan
manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan shock dan
kematian. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti dan mungkin juga Albopictus. Kedua jenis nyamuk ini
terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali ketinggian
lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut. Masa inkubasi
penyakit ini diperkirakan lebih kurang 7 hari.
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak
ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama asia
tenggara, Amerika tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah
manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili
Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-
2, Den3 dan Den-41, ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang
terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus 2 yang
terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia. Masa inkubasi virus
dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara 3 sampai 14
hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari
keempat sampai hari ketujuh, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di
6
dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari.1 Manifestasi klinis
mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam dengue (DD) dan DBD,
ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari; pendarahan
diatesis seperti uji tourniquet positif, trombositopenia dengan jumlah
trombosit ≤ 100 x 109/L dan kebocoran plasma akibat peningkatan
permeabilitas pembuluh.
Tiga tahap presentasi klinis diklasifikasikan sebagai demam,
beracun dan pemulihan. Tahap beracun, yang berlangsung 24-48 jam,
adalah masa paling kritis, dengan kebocoran plasma cepat yang
mengarah ke gangguan peredaran darah.4 Terdapat 4 tahapan derajat
keparahan DBD, yaitu derajat I dengan tanda terdapat demam disertai
gejala tidak khas dan uji torniket + (positif); derajat II yaitu derajat I
ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau 1. Staf Pengajar FK-
UNDIP Semarang perdarahan lain, derajat III yang ditandai adanya
kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan
nadi (<20 mmHg), hipotensi (sistolik menurun sampai <80 mmHg),
sianosis di sekitar mulut, akral dingin, kulit lembab dan pasen tampak
gelisah; serta derajat IV yang ditandai dengan syok berat (profound
shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.5
Walaupun DD dan DBD disebabkan oleh virus yang sama, tapi
mekanisme patofisiologisnya berbeda dan menyebabkan perbedaan
klinis. Perbedaan utama adalah adanya renjatan yang khas pada DBD
yang disebabkan kebocoran plasma yang diduga karena proses
immunologi, pada demam dengue hal ini tidak terjadi.6 Manifestasi
klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus yang
berkembang di dalam peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag.
Selama 2 hari akan terjadi viremia (sebelum timbul gejala) dan berakhir
setelah lima hari timbul gejala panas. Makrofag akan menjadi antigen
presenting cell (APC) dan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik
makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan
mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah
7
memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi.
Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi,
antibody hemaglutinasi, antibodi fiksasi komplemen. Proses tersebut
akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang
terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan
gejala lainnya.7
Patofisiologi primer DBD dan dengue syock syndrome (DSS)
adalah peningkatanakut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke
kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga
menimbulkanhemokonsentrasi dan penurunan t ekanan darah. Pada kasus
berat, volume plasma menurun lebih dari 20%, hal ini didukung
penemuan post mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan
hipoproteinemi.8 Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue
berkembang biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti
dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari.
Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik humoral maupun
selular, antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin dan anti
komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM,
pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi
sekunder kadar antibodi yang telah ada jadi meningkat.7 Antibodi
terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam
hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan
menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik
kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan
antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG
meningkat sekitar demam hari ke-14 sedan pada infeksi sekunder
antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini
infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibody IgM
setelah hari sakit kelima, diagnosisinfeksi sekunder dapat ditegakkan
lebih dini dengan adanya peningkatan antibody IgG dan IgM yang cepat.
8
Patofisiologi DBD dan DSS sampai sekarang belum jelas, oleh
karena itu muncul banyak teori tentang respon imun. Pada infeksi
pertama terjadi antibodi yang memiliki aktivitas netralisasi yang
mengenali protein E dan monoklonal antibodi terhadap NS1, Pre M dan
NS3 dari virus penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis sel yang telah
terinfeksi virus tersebut melalui aktivitas netralisasi atau aktifasi
komplemen. Akhirnya banyak virus dilenyapkan dan penderita
mengalami penyembuhan, selanjutnya terjadilah kekebalan seumur hidup
terhadap serotipe virus yang sama, tetapi apabila terjadi antibodi
nonnetralisasi yang memiliki sifat memacu replikasi virus, keadaan
penderita akan menjadi parah apabila epitop virus yang masuk tidak
sesuai dengan antibodi yang tersedia di hospest. Pada infeksi kedua yang
dipicu oleh virus dengue dengan serotipe yang berbeda, virus dengue
berperan sebagai super antigen setelah difagosit oleh monosit atau
makrofag. Makrofag ini menampilkan antigen presenting cell (APC)
yang membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari mayor
histocompatibility complex (MHC)
9
Gambar 2.Respon Primer dan Sekunder Infeksi Virus Dengue
2.2 Riwayat Alamiah Demam Berdarah Dengue
Proses Penyakit Demam Berdarah Virus dengue dibawa oleh
nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus sebagai vektor/pembawa
ke tubuh manusia melalui gigitan. Infeksi yang pertama kali dapat
menimbulkan gejala demam dengue saja. Apabila orang tersebut
mendapat infeksi berulang oleh tipe virus dengue yang berlainan akan
menimbulkan reaksi yang berbeda atau disebut Demam Berdarah Dengue
(DBD). Virus dengue berkembang di limpa manusia lalu menyebar ke
seluruh jaringan tubuh terutama ke sistem kulit melalui peredaran darah.
Akibat virus ini, tubuh membentuk anti bodi untuk melawan virus
dengue dengan cara mengaktifkan anafilatoksin C3a dan C5a, yang
menimbulkan efek meningkatnya daya tahan permeabilitas dinding
pembuluh darah. Hal inilah yang menimbulkan bintik-bintik merah pada
kulit.
Menurut WHO, 1986, diagnosis DBD dapat ditegakkan apabila :
1. Suhu badan yang tiba-tiba meninggi
2. Demam yang berlangsung beberapa hari
3. Kurva demam menyerupai pelana kuda, saat suhu tubuh mencapai
puncaknya (>38˚C) lalu turun secara perlahan-lahan.
10
4. Nyeri tekan terutama di otot-otot dan persendian
5. Adanya bintik-bintik merah pada kulit
6. Leukopenia/Sel darah merah yang kurang dari normal.
1. Masa Inkubasi Dan Klinis
Masa inkubasi penyakit DBD, yaitu sejak virus dengue
menginfeksi manusia hingga menimbulkan gejala klinis antara 3-14 hari,
rata-rata antara 4-7 hari.Tanda dan gejala amat bervariasi, dari yang
ringan, sedang sampai ke perdarahan, serta kecendrungan terjadi
renjatan/koma. Dengan gejala, sebagai berikut :
1. Peningkatan suhu secara tiba-tiba
2. Nyeri pada kepala
3. Nyeri pada otot dan tulang
4. Mual dan kadang muntah
5. Batuk ringan
6. Pada mata dapat ditemukan pembengkakan
7. Timbul bercak kemerahan pada lengan, kaki dan seluruh tubuh pada
hari ke-3 sampai ke-6.
8. Lidah kotor
9. Kesulitan buang air besar
10. Perdarahan pada hari ke 3-5 berupa bintik-bintik merah, berak darah,
muntah darah, mimisan (epistaksis)
11. Hati membesar dan terdapat nyeri tekan
12. Pucat terutama pada hidung dan ujung-ujung jari
Pada Masa klinis, derajat beratnya DBD dapat dibagi menjadi :
1. Derajat satu/ringan :
1) Demam mendadak selama 2 - 7 hari
2) Perdarahan ringan
3) Uji turniket / bendungan darah positif
2. Derajat dua / sedang :
1) Perdarahan pada kulit
11
2) Perdarahan pada tempat yang lain seperti mimisan, gusi
3) Trombosit sudah turun.
3. Derajat tiga :
1) Ditemukan tanda-tanda shock dini seperti pucaT
2) Terjadi kegagalan sirkulasi darah.
4. Derajat empat :
1) Sudah terjadi shock
2) Nadi dan tekanan darah tidak terukur
Untuk menegakkan diagnosa Demam Berdarah, perlu
pemeriksaan lebih lanjut di fasilitas pelayanan kesehatan.
2. Masa laten dan periode infeksi
Penyakit DBD tidak ditularkan langsung dari orang ke orang.
Penderita menjadi infektif bagi nyamuuk pada saat viremia, yaitu
beberapa saat menjelang timbulnya demam hingga saat masa demam
berakhir, biasanya berlangsung selama 3-5 hari. Nyamuk aedes aegypti
menjadi infektif 8-12 hari sesudah menghisap darah penderita DBD
sebelumnya. Selama periode ini nyamuk aede aegypti yang telah
terinfeksi virus dengue ini akan tetap infektig selama hidupnya dan
potensial menularkan virus dengue kepada manusia yang rentan lainnya.
(W. sudoyo, Aru dkk; 2009) Manifestasi klinis infeksi virus
dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa demam yang tidak
khas, demam dengue, demam berdarah dengue atu sindrom syok dengue
(SSD). Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari,
yang diikuti oleh fase nkritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien
sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan
jika tidak mendapat pengobatan adekuat.
Dengue virus infection
symptomaticasymptomatic
Undiflerentiated fever
Dengue fever syndrome
Dengue heemorrhagic fever
Without haemorrhage
With unusual haemorrhage
Dengue shock syndrom
No shock
Dengue fever Dengue haemorrhagic fever
12
Gambar 3. Manifestasi klinis infeksi virus dengue (sumber: Manograpi
on dengue/dengue haemorrahgic fever, WHO 1993)
2.3 Penyebab Demam Berdarah Dengue
(W. sudoyo, Aru dkk; 2009) Demam dengue dan demam berdarah
dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus
flavivirus, keluarga flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
molekul 4 x 106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3
dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau
demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia
dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang
antar serotipe dengue dengan flavivirus lain seperti Yellow fever,
13
Japanese encehphalitis dan West Nile virus. Dalam laboratorium virus
dengue dapat bereplikasi padahewan mamalia seperti tikus, kelinci,
anjing, kelelawar dan primate. Survei epidemiologi pada hewan ternak
didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi dan
babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat
bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Demam_berdarah) Nyamuk Aedes
aegypti adalah vektor pembawa virus dengue penyebab penyakit demam
berdarah. Penyebab utama penyakit demam berdarah adalah virus
dengue, yang merupakan virus dari famili Flaviviridae. Terdapat 4 jenis
virus dengue yang diketahui dapat menyebabkan penyakit demam
berdarah. Keempat virus tersebut adalah DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4.
14Virus dengue penyebab
penyakit demam berdarah
Gejala demam berdarah baru muncul saat seseorang yang pernah
terinfeksi oleh salah satu dari empat jenis virus dengue mengalami
infeksi oleh jenis virus dengue yang berbeda. Sistem imun yang sudah
terbentuk di dalam tubuh setelah infeksi pertama justru akan
mengakibatkan kemunculan gejala penyakit yang lebih parah saat
terinfeksi untuk ke dua kalinya. Seseorang dapat terinfeksi oleh
sedikitnya dua jenis virus dengue selama masa hidup, namun jenis virus
yang sama hanya dapat menginfeksi satu kali akibat adanya sistem imun
tubuh yang terbentuk.
Virus dengue dapat masuk ke tubuh manusia melalui gigitan vektor
pembawanya, yaitu nyamuk dari genus Aedes seperti Aedes aegypti
betina dan Aedes albopictus. Aedes aegypti adalah vektor yang paling
banyak ditemukan menyebabkan penyakit ini. Nyamuk dapat membawa
virus dengue setelah menghisap darah orang yang telah terinfeksi virus
tersebut. Sesudah masa inkubasi virus di dalam nyamuk selama 8-10
hari, nyamuk yang terinfeksi dapat mentransmisikan virus dengue
tersebut ke manusia sehat yang digigitnya. Nyamuk betina juga dapat
menyebarkan virus dengue yang dibawanya ke keturunannya melalui
telur (transovarial). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa monyet
juga dapat terjangkit oleh virus dengue, serta dapat pula berperan sebagai
sumber infeksi bagi monyet lainnya bila digigit oleh vektor nyamuk.
15Nyamuk Aedes aegypti adalah vektor pembawa
virus dengue penyebab penyakit demam berdarah.
Tingkat risiko terjangkit penyakit demam berdarah meningkat pada
seseorang yang memiliki antibodi terhadap virus dengue akibat infeksi
pertama. Selain itu, risiko demam berdarah juga lebih tinggi pada wanita,
seseorang yang berusia kurang dari 12 tahun, atau seseorang yang berasal
dari ras Kaukasia.
2.4 Faktor Risiko Demam Berdarah Dengue
DBD sangat endemis di Indonesia, sejak ditemukan pertama kali
tahun 1968 jumlah kasus dan luas daerah terjangkit terus meningkat.
Penyebab meluasnya penyakit DBD di Indonesia multi faktorial antara
lain:
1. Faktor Manusia dan Sosial Budaya
a. Faktor manusia, kepadatan penduduk sangat berpengaruh pada
kejadian kasus DBD, makin padat penduduk makin tinggi kasus
DBD di kota tersebut. Hal ini karena berkaitan dengan penyediaan
INFRA STRUKTUR yang kurang memadai seperti penyediaan
sarana air bersih, sarana pembuangan sampah, sehingga terkumpul
barang2 bekas yang dapat menampung air dan menjadi tempat
perkembang biakan nyamuk Aedes , penular DBD.
b. Mobilitas manusia : perpindahan manusia dari satu kota ke kota lain
mempengaruhi penyebaran penyakit DBD.
c. Perilaku manusia : kebiasaan menampung air untuk keperluan
sehari-hari seperti menampung air hujan, air sumur, harus membeli
air didalam BAK MANDI, membuat bak mandi atau
drum/tempayan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk .
d. Kebiasaan menyimpan barang2 bekas atau kurang memeriksa
lingkungan terhadap adanya air2 yang tertampung didalam wadah2
dan kurang melaksanakan kebersihan dan 3 M PLUS (Menguras,
16
Menutup dan Mengubur PLUS menaburkan Larvasida, memelihara
ikan pemakan jentik dll).
2. Faktor agen dan lingkungan
a. Faktor agen/ virus DBD: ada 4 serotipe yang tersebar luas di
seluruh wilayah Indonesia, dan bersirkulasi sepanjang tahun,
Dipertahankan siklusnya didalam tubuh nyamuk
b. Faktor Nyamuk penular, yaitu Aedes aegypti yang tersebar luas
diseluruh pelosok tanah air, populasinya meningkat pada saat
musim hujan
c. Faktor lingkungan: Musim hujan meningkatkan populasi nyamuk,
namun di Indonesia musim kering pun populasinya tetap banyak
karena orang cenderung menampung air dan didaerah sulit air
orang menampung air didalam bak2 air/ drum, sehingga nyamuk
dan jentik selalu ada sepanjang tahun.
3. SOP
a. Kurangnya pemahaman tentang penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan penderita DBD sesuai standar pada sebagian
klinisi baik di Rumah Sakit, Puskesmas maupun sarana pelayanan
kesehatan lainnya, sehingga sering terjadi over diagnosis.
b. Belum semua rumah sakit menggunakan form KDRS/KD-DBD
dan seringnya keterlambatan pelaporan kasus dari rumah sakit ke
Dinas Kesehatan atau ke Puskesmas. Jika sesuai standar,
seharusnya setiap kasus yang ditemukan dilaporkan dalam waktu
kurang dari 24 jam agar dapat dilakukan langkah-langkah
penanggulangan kasus secara cepat dan tepat sebelum terjadi
penyebaran lebih luas lagi.
4. Ketersediaan Tenaga Pelayanan
a. Faktor pelaksana program yang sering berganti-ganti, kurangnya
petugas lapangan dan khususnya kurangnya pendanaan bagi
pelaksanaan program pengendalian DBD.
17
b. Kegiatan pemeriksaan jentik berjalan namun tidak menyeluruh
karena keterbatasan tenaga. Puskesmas melaksanakan PJB
(Pemeriksaan Jentik Berkala), kader2 JUMANTIK melaksanakan
pemeriksaan jentik seminggu sekali di lingkungannya, namun tidak
tersedia dana operasional maupun biaya pengganti transport bagi
para kader Jumantik sehingga kegiatannya mengendur. Beberapa
kota seperti Jakarta Timur, Pekalongan, Mojokerto sangat aktif
melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik melalui peran serta
masyarakat dan Jumantik
5. Kondisi Sarana Pendukung
Mesin fogging tersedia disetiap Dinas Kesehatan kota atau
Puskesmas jumlahnya bervariasi, namun biasanya tidak disertai biaya
pemeliharaan. Oleh karena itu mesin2 yang rusak tidak tersedia suku
cadang, sering kali diambil dari mesin2 yang ada, sehingga banyak
mesin fogging yang rusak.
6. Sumber Pembiayaan
a. Masalah DBD belum dianggap sebagai masalah prioritas di
beberapa wilayah sehingga alokasi dana APBD untuk
penanggulangan DBD masih tergolong kecil di masing-masing
wilayah endemis.
b. Untuk penyemprotan suatu area, luas radius 100 meter ( 1 HA,
estimasi hanya untuk 20-40 rumah ) dibutuhkan biaya Rp.300.000 -
500.000/ 2 siklus. Area yang disemprot harus memenuhi kriteria
PE tersebut, dengan tujuan membunuh nyamuk yang mengandung
virus. Oleh karena itu apabila masyarakat meminta penyemprotan
tidak memenuhi kriteria PE, mereka harus menanggung biaya itu
sendiri. Penyemprotan (fogging) liar ini biasanya dilakukan oleh
perusahaan2 penyemprot/ pihak swata yang hanya mengutamakan
aspek keuntungan/komersil saja.
c. Peningkatan kasus yang umumnya terjadi bulan Januari hingga
Maret, dimana pada bulan-bulan tersebut dana operasional belum
18
turun dari APBD, ini membuat hambatan dalam pelaksanaan
penanggulangan kasus di lapangan.
7. Faktor kerjasama/peran serta
Faktor peran serta lintas sektor maupun peran serta masyarakat
yang masih kurang dan cenderung mengharapkan sektor kesehatan
saja yang mengatasi masalah DBD. Dengan kata lain masalah DBD
masih dianggap sebagai masalah sektor kesehatan semata.
Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan
penduduk perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena
membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan terganggu atau
melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkin terjadinya
KLB. Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang mengakibatkan
orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang
layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang
benar. Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang
lebih makmur terutama yang biasa bepergian. Faktor risiko yang
menyebabkan munculnya antibodi IgM anti dengue yang merupakan
reaksi infesksi primer, berdasarkan hasil penelitian di wilayah Amazon
Brasil adalah jenis kelamin laki-laki, kemiskinan, dan migrasi.
Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder yang menyebabkan
DBD adalah jenis kelamin laki-laki, riwayat pernah terkena DBD pada
periode sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan.
1. Kepadatan penduduk
Kepadatan penduduk turut menunjang atau sebagai salah
satu faktor resiko penularan penularan penyakit DBD. Semakin
padat penduduk, semakin mudah nyamuk Aedes menularkan
virusnya dari satu orang ke orang yang lainnya. Pertimbuhan
penduduk yang tidak memiliki pola tertentu dan urbanisasi yang
tidak terencana serta tidak terkontrol merupakan salah satu faktor
yang berperan dalam munculnya kembali kejadian luar biasa
penyakit DBD (WHO, 2000).
19
Factor resiko lainnya seperti mobilitas penduduk, sanitasi
lingkungan, keberadaan container perindukan nyamuk Aedes,
kepadatan vector, tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap
penyakit DBD secara keseluruhan dapat menyebabkan KLB
penyakit DBD
2. Keberadaan Kontainer
Letak, macam, bahan, warna, bentuk volume dan penutup
container serta asal air yang tersimpan dalam container sangat
mempengaruhi nyamuk Aedes betina untuk menentukan pilihan
tempat bertelurnya (Ditjen PPM dan PL, 2001) Keberadaan
container sangat berperan dalam kepadatan vektor nyamuk Aedes,
karena semakin banyak kontainer akan semakin banyak tempat
perindukan danakan semakin padat populasi nyamuk Aedes.
Semakin banyak populasi nyamuk Aedes, maka semakin tinggi
pula resiko terinfeksi virus DBD dengan waktu penyebaran lebih
cepat sehingga jumlah kasus penyakit DBD cepat meningkat yang
pada akhirnya mengakibatkan terjadinya KLB penyakit DBD.
Dengan demikian program pemerintah (Ditjen PPM & PL, 2001)
berupa penyuluhan kesehatan masyarakat dalam penanggulangan
penyakit DBD antara lain dengan cara menguras, dan mengubur
(3M) sangat tepat dan perlu dukungan luas dari masyarakat dalam
pelaksanaannya.
3. Faktor Perilaku Masyarakat Tingkat Pengetahuan DBD
1. Pengetahuan
2. Sikap
Sikap masyarakat terhadap penyakit DBD, yaitu semakin
masyarakat bersikap tidak serius dan tidak berhati – hati terhadap
penularan penyakit DBD semakin bertambah resiko terjadinya
penularan penyakit DBD (chi-square, >p0,05) dengan RR = 2,24.
Hal ini sesuai denagn hasil penelitian Thurstone et al. seperti
dikutip oleh Azwar (2003) bahwa sikap sesorang terhadap suatu
20
obyek adalah perasaan mendukung atau memihak ( favourable )
maupun perasaan tidak mendukung atau memihak ( unfavourable )
pada obyek tersebut. Pendapatan senada juga dikemukakan oleh La
Pierre seperti dikutip oleh Azwar (2003) yang menyatakan bahwa
sikap adalah suatu pola perilaku atau tendensi ( kesiapan
antisipasi), predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi
social yang telah terkondisikan. Disimpulkan bahwa semakin
kurang sikap seseorang atau masyarakat terhadap penanggulangan
dan pencegahan penyakit DBD maka akan semakin besar
kemungkinan timbul KLB penyakit DBD.
3. Pengasapan ( Fogging )
Kurangnya tindakan fogging/tindakan pengasapan
seharuanya dilaksanakan dalam 2 siklus, yaitu waktu antara
pengasapan pertama dan berikutnya ( kedua ) harus dalam interval
7 hari, dengan maksud jentik yang selamat dan menjadi nyamuk
Aedes dapat dibunuh pada pengasapan kedua.
Pengasapan pada umumnya menggunakan intektisida
golongan organofosfat misalnya melathion dalam larutan minyak
solar tidak begitu efektif dalam membunuh nyamuk dewasa dan
kecil pengaruhnya dalam menurunkan kepadatan populasi nyamuk
Aedes, apalgi siklus pengasapan tidak 2 kali dengan interval 7 hari.
Sebaliknya tindakan pengasapan memberikan rasa aman yang semu
kepada masyarakat yang dapat mengganggu program, pembersihan
sarang nyamuk seperti ‘3M’ dan abatisasi. Dari segi politis, cara ini
disenangi karene terkesan pemerintah melakukan tindakan yang
terlihat nyata untuk mencegah dan menanggulangi penyakit ini
(WHO, 2000).
4. Penyuluhan DBD
Tidak ada peran penyuluahn penyakit DBD yang
bermakna terhadap KLB penyakit DBD. Hal ini disebabkan karena
baik daerah KLB maupun bukan daerah KLB penyakit DBD sama–
21
sama kurang mendapatkan penyuluhan dari dinas kesehatan
setempat. Tambahan lagi, kurangnya pengertian tentang apa yang
harus dilakukan oleh petugas sebelum melakukan penyuluhan,
seperti identifikasi hal – hal apa saja yang penting bagi msyarakat
dan apa yang harus diimplementasikan pada tingkat masyarakat,
tingkat wilayah atau tingkat penentu kebijakan. Perlu dipahami,
penyuluhan bukanlah semata – semata sebagai forum penyampaian
hal – hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan masyarakat.
Sebaiknya masyarakat dibekali pengetahuan dan keterampilan
tentang cara–cara pengendalian vektor yang memungkinkan
mereka menentukan pilihan yang terbaik segala hal yang berkaitan
dengan masalah kesehatan secara individu maupun secara kolektif
(WHO, 2000).
22
2.5 Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
(Widoyono. 2008) Di banyak Negara tropis, virus dengue sangat
edemik. Dia asia, penyakit ini sering menyerang di Cina Selatan,
Pakistan, India, dan semua Negara Asia Tenggara. Sejak tahun 1981,
virus ini ditemukan di Queesland, Australia. Di sepanjang pantai timur
Afrika, penyakit ini juga ditemukan dalam berbagai serotipe. Penyakit ini
juga sering menyebabkan KLB di Amerika Serikat sampai akhir tahun
1990- an. Epidemi dengue pertama kali di Asia terjadi pada tahun 1779,
di Amerika Selatan tahun 1835 – an, Provil kesehatan provinsi jawa
tengah tahun 1999 melaporkan bahwa kelompok tertinggi adalah usia 5-
14 tahun yang terserang serbanyak 42% dan kelompok usia 15-44 tahun
yang terserang sebanyak 37%. Data tersebut didapatkan dari data rawat
inap rumah sakit. Rata-rata insidensi sebanyak DBD sebesar 6-27 per
100,000 penduduk. CFR penyakit DBD mengalami penurunan dari tahun
ke tahun walaupun masih tetap tinggi. CFR tahun 1968 sebesar 43%,
tahun 1971 sebesar 14%, tahun 1980 sebesar 4,8%, dan dan tahun 1999
masih diatas 2%. Data dari departemen kesehatan RI melaporkan bahwa
pada tahun 2004 selama bulan januari dan februari, pada 25 provinsi
tercatat 17.707 orang terkena DBD dengan kematian 322 penderita.
Daerah yang perlu diwaspadai adalah DKI Jakarta, Bali, NTB.
Ada empat serotope yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.
Serotype DEN-3 merupakan jenis yang sering dihubungkan dengan
kasus-kasus parah. Infeksi oleh salah satu serotype akan menimbulkan
kekebalan terhadap serotype yang bersangkutan tetapi tidak untuk
serotype yang lain. Keempat jenis virus tersebut semuanya terdapat
diindonesia. Didaerah endemic DBD, seseorang dapat terkena infeksi
semua serotype virus pada waktu yang bersamaan. Untuk pertama
kalinya, pada bulan maret 2002, Michael Rossman dan Richard Kunh
dari Purdue Universiti, Amerika Serikat, melaporkan bahwa struktur
virus dengue yang berbeda dengan struktur virus lainnya telah
ditemukan. Permukaan virus ini halus dan selaputnya ditutupi oleh
23
lapisan protein yang berwarna biru, hijau, dan kuning (ilustrasi
komputer). Protein amplop tersebut dinamakan protein E yang berfungsi
melindungi bahan genetic didalamnya.
(W. sudoyo, Aru dkk; 2009) Demam berdarah dengue tersebar di
wilayah Asia Tengara, Pasifik barat dan Karibia. Indonesia merupakan
wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden
DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989
hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa
hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mprtalitas
DBD cenderung menurun hingga mencapai 2 % pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus
Aedes (terutama A. Aegypty dan A. Albopictus). Peningkatan kasus
setiap tahunnya berkaitan dengan sanitas lingkungan dengan tersedianya
tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih
(bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan
virus dengue yaitu : 1). Vektor : perkembangbiakkan vektor, kebiasaan
menggigit, kepadatan vektor dilingkungan, transportasi vektor dari satu
tempat ke tempat lain; 2). Pejamu: terdapatnya penderita
dilingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia
dan jenis kelamin; 3). Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan
kepadatan penduduk.
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan spectrum manifestasi
klinis yang bervariasi antara yang paling ringan, demam dengue (DD),
DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock
syndrome (DSS)9; ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae.albopictus
yang terinfeksi.10 Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah
virus dengue yang termasuk ke dalam family Flaviridae dan genus
Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4.1
Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan
24
peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara baru dan, dalam dekade
ini, dari kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di
sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara,
Amerika Tengah, Amerika dan Karibia. Virus dengue dilaporkan telah
menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah perkotaan yang
berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika
Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi
diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di
rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun;
diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia,
tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus
dengue melalui gigitan nyamuk setempat.
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah
tropik dan subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak
menimbulkan kematian pada anak 90% di antaranya menyerang anak di
bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di
beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan
jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang
lebih. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah
kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya
jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187
orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009
sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR
0,89%.15. Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang
termasuk subgenus. Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae.
albopictus sebagai vektor primer dan Ae. polynesiensis, Ae.scutellaris
serta Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder, selain itu juga terjadi
penularan transsexual dari nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui
perkawinan serta penularan transovarial dari induk nyamuk ke
keturunannya. 16-17 Ada juga penularan virus dengue melalui transfusi
25
darah seperti terjadi di Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari
penderita asimptomatik.
Dari beberapa cara penularan virus dengue, yang paling tinggi
adalah penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi
ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari,
sedangkan inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6
hari dan diikuti dengan respon imun. Penelitian di Jepara dan
Ujungpandang menunjukkan bahwa nyamuk Aedes spp. berhubungan
dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di masyarakat; tetapi
infeksi tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia karena
masih tergantung pada faktor lain seperti vector capacity, virulensi virus
dengue, status kekebalan host dan lain-lain. Vector capacity dipengaruhi
oleh kepadatan nyamuk yang terpengaruh iklim mikro dan makro,
frekuensi gigitan per nyamuk per hari, lamanya siklus gonotropik, umur
nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus dengue serta pemilihan
Hospes. Frekuensi nyamuk menggigit manusia, di antaranya dipengaruhi
oleh aktivitas manusia; orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan
lebih banyak digigit nyamuk Ae. Aegypti dibandingkan dengan orang
yang lebih aktif, dengan demikian orang yang kurang aktif akan lebih
besar risikonya untuk tertular virus dengue. Selain itu, frekuensi nyamuk
menggigit manusia juga dipengaruhi keberadaan atau kepadatan manusia;
sehingga diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di rumah yang padat
penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi menggigitnya terhadap manusia
dibanding yang kurang padat. Kekebalan host terhadap infeksi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah usia dan status
gizi, usia lanjut akan menurunkan respon imun dan penyerapan gizi.
Status status gizi yang salah satunya dipengaruhi oleh keseimbangan
asupan dan penyerapan gizi, khususnya zat gizi makro yang berpengaruh
pada sistem kekebalan tubuh. Selain zat gizi makro, disebutkan pula
bahwa zat gizi mikro seperti besi dan seng mempengaruhi respon
kekebalan tubuh, apabila terjadi defisiensi salah satu zat gizi mikro, maka
26
akan merusak sistem imun. Status gizi adalah keadaan kesehatan akibat
interaksi makanan, tubuh manusia dan lingkungan yang merupakan hasil
interaksi antara zat-zat gizi yang masuk dalam tubuh manusia dan
penggunaannya.
Tanda-tanda atau penampilan status gizi dapat dilihat melalui
variabel tertentu [indikator status gizi] seperti berat badan, tinggi badan,
dan lain lain. Sumber lain mengatakan bahwa status gizi adalah keadaan
yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi
dan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis:
[pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan,
dan lain lain]. Status gizi sangat berpengaruh terhadap status kesehatan
manusia karena zat gizi mempengaruhi fungsi kinerja berbagai sistem
dalam tubuh. Secara umum berpengaruh pada fungsi vital yaitu kerja
otak, jantung, paru, ginjal, usus; fungsi aktivitas yaitu kerja otot bergaris;
fungsi pertumbuhan yaitu membentuk tulang, otot & organ lain, pada
tahap tumbuh kembang; fungsi immunitas yaitu melindungi tubuh agar
tak mudah sakit; fungsi perawatan jaringan yaitu mengganti sel yang
rusak; serta fungsi cadangan gizi yaitu persediaan zat gizi menghadapi
keadaan darurat. Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah
pada kelompok umur <15 tahun (95%) dan mengalami pergerseran
dengan adanya peningkatan proporsi penderita pada kelompok umur 15-
44 tahun, sedangkan proporsi penderita DBD pada kelompok umur >45
tahun sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa Timur berkisar 3,64%.29
Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk,
artinya munculnya kesakitan karena berbagai faktor yang saling
berinteraksi, diantaranya agent (virus dengue), host yang rentan serta
lingkungan yang memungkinan tumbuh dan berkembang biaknya
nyamuk Aedes spp. Selain itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi
diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan,
jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan umur,
suku bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya.
27
1. Agent
Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue, sejenis virus
yang tergolong arbovirus yang masuk kedalam tubuh manusia
melalui gigitan nyamuk aedes aegypti betina. Virus dengue
termasuk genus flavivirus dari keluarga flaviviridae. Virus yang
berukurang kecil (50 nm) ini mengandung RNA berantai tunggal.
Virionnya mengandung nukleokapsid berbentuk kubus yang
terbungkus selubung lipoprotein. Genome virus dengue berukurang
panjang sekitar 11.000 pasang basa dan terdiri dari tiga gen protein
struktural yang mengodekan nukleokapsid atau protein inti (core,
C) satu protein terikat membran (membrane,M) satu protein
penyelubung (envelope, E) dan tujuh gen protein nonstruktural
(nonstructural, NS). Selubung glikoprotein berhubungan dengan
hemaglutinasi virus dan aktivitas netralisasi. Virus dengue
membentuk kompleks yang khas didalam genus flavivirus
berdasarkan karakteristik antigenik dan biologisnya. Ada empat
serotipe virus yang kemudian dinyatakan dengan DEN-1, DEN-2,
DEN-3 dan DEN-4. Infeksi yang terjadi dengan serotipe manapun
akan memicu imunitas seumur hidup terhadap serotipe tersebut.
Walaupun secara antigenik serupa, keempat serotipe tersebut cukup
bebeda di dalam menghasilkan perlindungan silang selama
beberapa bulan setelah terinfeksi salah satunya.
Virus dengue dari keempat serotipe tersebut juga
dihubungkan dengan kejadian epidemi demam dengue saat bukti
yang ditemukan tentang DHF sangat sedikit atau bahkan tidak ada.
Keempat virus serotipe tersebut juga menyebabkan epidemi DHF
yang berkaitan dengan penyakit yang sangat berbahaya dan
mematikan. Dapat menyerang semua umur baik anak anak maupun
orang dewasa. Faktor penyebar (vektor) penyakit DBD adalah
Aedes aegypti dan aedes Albopictus. Penyakit ini termasuk
termasuk dalam kelompok anthropod borne disease karena virus
28
dengue sebagai penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan
melalui nyamuk. Nyamuk aedes aegypti hidup di daratan rendah
beiklim tropis- subtropis. Badan nyamuk relatif lebih kecil
dibandingkan nyamuk yang lainnya. tubuh dan tungkain ditutupi
sisik dengan garis garis putih keperakan. Di bagian punggung
(dorsal) tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal dibagian
kiri dan kanan yang menjadi ciri dari nyamuk spesies ini. Nyamuk
ini sangat menyukai tempat yang teduh dan lembab, suka
bersembunyi dibawah kerindangan pohon. Ataupun pada pakaian
yang tergantung dan bewarna gelap. Nyamuk ini bertelur pada
genangan air yang jernih yang ada dalam wadah pada air kotor
ataupun air yang langsung bersentuhan dengan tanah. Hanya
nyamuk wanita yang mengigit dan menularkan virus
dengue.nyamuk aedes aegypty bersifat diurnal, yaitu aktif pada
pagi dan siang hari. Umumnya mengigit pada waktu siang hari
(09.00-10.00) atau sore hari pukul (15.00-17.00). Nyamuk ini akan
bertelur tiga hari setelah menghisap darah, karena darah merupakan
sarana untuk mematangkan telurnya. Dalam waktu kurang dari
delapan hari telur tersebut sudah menetas dan berubah menjadi
jentik-jentik larva dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa yang siap
menggigit. Kemampuan terbang nyamuk mencapai radius 100-200
m.
2. Host
Dalam hal ini manusia lah yang menjadi host atau target
penyakit DBD. Meskipun penyakit DBD dapat menyerang segala
usia beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak lebih
rentan tertular penyakir yang berpontensi mematikan ini. Di
Indonesia penderita penyakit DBD terbanyak berusia 5-11 tahun.
Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan jenis kelamin
penderita tetapi angka kematian lebih banyak pada anak perempuan
dibandingkan laki-laki. Anak-anak lebih rentan terkena penyakit ini
29
salah satunya disebabkan oleh imunitas yang relatif lebih rendah di
bandingkan orang dewasa. Manusia yang terkena gigitan nyamuk
aedes aegypti tidak selalu dapat mengakibatkan demam berdarah
dan virus dengue yang sudah masuk kedalam tubuh pun tidak
selalu dapat menimbulkan infeksi. Jika daya tahan tubuh cukup
maka dengan sendirinya virus tersebut dapat dilawan oleh tubuh.
Sebelum seseorang terkena DBD, didalam tubuhnya telah ada satu
jenis serotipe virus dengue (serangan pertama kali). Biasanya,
serangan pertama kali ini menimbulkan demam dengue. Ia akan
kebal seumur hidup terhadap serotipe yang menyerang pertama kali
itu. Namun hanya akan kebal maksimal 6 bulan – 5 tahun terhadap
serotipe virus dengue lain.
3. Environment
Di Indonesia, penyakit DBD menjadi masalah kesehatan
masyarakat karena jumlah penderitanya tinggi dan penyebarannya
yang semakin luas, terutama di musim penghujan. Sejumlah pakar
setuju bahwa kondisi ini juga di pengaruhi oleh budaya masyarakat
yang senang menampung air untuk keperluan rumah tangga dan
kebersihan dirinya. Hal ini menjadi faktor eksternal yang
memudahkan seseorang menderita DBD. Nyamuk ini sangat
senang berkembang biak di tempat penampungan air karena tempat
itu tidak terkena sinar matahari langsung. Nyamuk ini tidak dapat
hidup dan berkembang biak di daerah yang berhubungan langsung
dengan tanah. Berikut ini tempat perkembangbiakan nyamuk,
yaitu:
1. Tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari,
seperti drum, tangki, tempayan, bak mandi dan ember.
2. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-
hari, seperti tempat minum burung, vas bunga, perangkap
semut, dan barang-barang bekas yang dapat menampung
air.
30
3. Tempat penampungan air alamiah, seperti lubang pohon,
lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah
pisang dan potongan bambu.
Penelitaan juga menunjukkan di daerah dengan persediaan
air tanpa PAM, perkembangan nyamuk aedes aegypti lebih tinggi
karena penampungan air lebih banyak dibandingkan di daerah yang
sudah tersedia air dengan saluran pipa. Di daerah ini air tidak perlu
ditampung lebih dahulu sehingga nyamuk tidak sempat
berkembang biak. Lingkungan memegang peranan yang besar
dalam penyebaran penyakit demam berdarah sehingga menjaga
lingkungan sekitar menjadi prioritas utama agar kasus DBD tidak
terjadi lagi.
Menurut laporan dari WHO, terjadi 50 juta infeksi DBD
setiap tahunnya. DBD adalah penyakit yang masih endemik di
lebih dari 100 negara, dengan wilayah Asia Tenggara dan Pasifik
Barat sebagai tempat penyebaran terluas.2 Pada tahun 1989-1995,
data epidemiologi di Indonesia menunjukkan bahwa insidens DBD
adalah 6-15 kasus per 100 000 penduduk. Pada tahun 1998,
terdapat lonjakan angka insidens DBD atau kejadian luar biasa
(KLB) hingga 35 kasus per 100 000 penduduk, namun pada tahun
1999 terdapat penurunan angka mortalitas hingga 2%.2,3 Insidens
DBD pada tahun 2000 adalah 10,1 per 100 000 penduduk, yang
mengalami peningkatan menjadi 16 per 100 000 penduduk pada
tahun 2001, meningkat kembali menjadi 19,2 kasus per 100 000
penduduk pada tahun 2002, 23,9 kasus per 100 000 penduduk pada
tahun 2003, 37,1 kasus per 100 000 penduduk pada tahun 2004,
kemudian 43,4 kasus pada tahun 2005. Insidens DBD di Indonesia
pada tahun 2006 adalah 52,5 per 100 000 penduduk dengan case
fatality rate (CFR) sebesar 1,04%. Pada tahun 2007 terdapat
peningkatan insidens DBD menjadi 71,8 kasus per 100 000
penduduk dengan penurunan CFR menjadi 1,01%. Pada tahun
31
2008, baik insidens DBD maupun CFR mengalami penurunan,
berturut-turut menjadi 60,1 kasus per 100 000 penduduk dan
0,9%.4
DKI Jakarta merupakan provinsi dengan jumlah penderita
DBD terbanyak. Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes) Propinsi DKI
Jakarta mencatat jumlah penderita DBD tahun 2003 mencapai 14
071 orang dengan CFR 0,4 %. Pada tahun 2004 jumlah penderita
melonjak menjadi 20 640 orang dengan CFR 0,4 % dan insidens
yang mencapai 260,1 per 100 000 penduduk, dan meningkat lagi
pada tahun 2005 hingga mencapai 23 466 penderita dengan CFR
0,3% dan insidens 296,8 kasus per 100 000 penduduk. Pada
rentang bulan Januari-Februari 2009, DBD mengenai 4290 warga
DKI Jakarta.
Pada bulan Januari hingga April 2009, terdapat 464 pasien
DBD di Jakarta Pusat yang dirawat di rumah sakit, 4 orang di
antaranya meninggal. Mengacu pada data dari Sudinkes Jakarta
Pusat, dari 44 kelurahan di Jakarta Pusat hanya 4 kelurahan yang
tergolong zona hijau DBD, sementara 9 kelurahan tergolong zona
merah dan 31 kelurahan termasuk zona kuning. 6 Suatu daerah
dikategorikan sebagai zona merah jika dalam 3 minggu berturut-
turut terdapat lebih dari 9 penderita DBD atau ada yang meninggal
akibat DBD di daerah tersebut, zona kuning jika dalam 3 minggu
berturut-turut terdapat 2-8 kasus DBD, dan zona hijau jika dalam 3
minggu berturut-turut tidak terdapat kasus DBD
2.6 Distribusi Demam Berdarah Dengue
Kasus penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila, Filipina
pada tahun 1953. Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di
Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi baru didapat pada
tahun 1972. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah
sehingga sampoai tahun 1980 seluruh provinsi di Indonesia kecuali
32
Timor – Timur telah terjadi penyakit sejak pertama kali ditemukan,
jumlah kasus menunjukan kecendrungan meningkat baik dalam jumlah
maupun dan luas wilayah yang terjangkit dan selalu terjadi KLB setiap
tahun.
Setiap tahun, diperkirakan sekitar 100 juta kasus demam
berdarah terjadi di seluruh dunia. Sebagian besar berada di daerah tropis
di dunia, dengan risiko terbesar terjadi di:
1. Benua India
2. Asia Tenggara
3. Cina Selatan
4. Taiwan
5. Kepulauan pasifik
6. Karibia ( kecuali Kuba dan Kepulauan Cayman
7. Meksiko
8. Afrika
9. Amerika Tengah dan Selatan (Kecuali Chili, Paraguay, dan
Argentina)
Di Indonesia KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998,
dengan Incident Rite ( IR ) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR =
2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, tahun – tahun
berikutnya IR cenderung meningkat yaitu :
1. Tahun 1996 : jumlah kasus 45.548 orang , dengan jumlah kematian
sebanyak 1.234 orang.
2. Tahun 1998 : jumlah kasus 72.133 orang, dengan jumlah kematian
sebanyak 1.414 orang ( terjadi ledakan ).
3. Tahun 1999 : jumlah kasus 21.134 orang.
4. Tahun 2000 : jumlah kasus 33.443 orang.
5. Tahun 2001 : jumlah kasus 45.904 orang.
6. Tahun 2002 : jum;lah kasus 40.377 orang.
7. Tahun 2003 : jumlah kasus 50.131 orang.
33
8. Tahun 2004: sampai tanggal 5 maret 2004 jumlah kasus sudah
mencapai 26.015 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 389
orang.
Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang
terjangkit, disebabkan karena semakin baiknya sarana tranformasi
penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat,
terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk
hamper diseluruh pelosok tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang
bersirkulasi sepanjang tahun.
Kebanyakan juga kasus di Amerika Serikat terjadi pada orang
yang terjangkit infeksi saat bepergian ke luar negeri. Tapi risiko ini
meningkat bagi orang-orang yang hidup di sepanjang perbatasan Texas-
Meksiko dan di bagian lain dari Amerika Serikat bagian selatan. Pada
tahun 2009, wabah demam berdarah diidentifikasi di Key West, Florida.
Mekanisme Penularan. Penyakit Demam Berdarah Dengue
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini mendapat virus
Dengue sewaktu mengigit mengisap darah orang yang sakit Demam
Berdarah Dengue atau tidak sakit tetapi didalam darahnya terdapat virus
dengue. Seseorang yang didalam darahnya mengandung virus dengue
merupakan sumber penularan penyakit demam berdarah. Virus dengue
berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila
penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan
ikut terisap masuk kedalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan
memperbanyak diri dan tersebar diberbagai jaringan tubuh nyamuk
termasuk didalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu setelah mengisap
darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang
lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuh
nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes Aegypti
yang telah mengisap virus dengue itu menjadi penular (infektif)
sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiapkali nyamuk
menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air liur
34
melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang diisap tidak membeku.
Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang
lain.
Gambaran Klinis Demam Berdarah Dengue. Tanda-tanda dan
gejala penyakit DBD adalah :
1. Demam
Penyakit DBD didahului oleh demam tinggi yang mendadak
terus-menerus berlangsung 2 - 7 hari, kenudiml turun secara cepat.
Demam secara mendadak disertai gejala klinis yang tidak spesifik
seperti: anoreksia lemas, nyeri pada tulang, sendi, punggung dan
kepala.
2. Manifestasi Pendarahan
Perdarahan terjadi pada semua organ umumnya timbul pada hari
2-3 setelah demam. Sebab perdarahan adalah trombositopenia. Bentuk
perdarahan dapat berupa : ptechiae, purpura, echymosis, perdarahan
cunjunctiva, perdarahan dari hidung (mimisan atau epestaxis),
perdarahan gusi, muntah darah (Hematenesis), buang air besar
berdarah (melena) dan kencing berdarah (Hematuri). Gejala ini tidak
semua harus muncul pada setiap penderita, untuk itu diperlukan
toreniquet test dan biasanya positif pada sebagian besar penderita
Demam Berdarah Dengue.
3. Pembesaran hati (Hepotonegali)
Pembesaran hati dapat diraba pada penularan demam. Derajat
pembesaran hati tidak sejajar dengan berapa penyakit Pembesan hati
mungkin berkaitan dengan strain serotype virus dengue.
4. Renjatan (ShocK)
Renjatan dapat terjadi pada saat demam tinggi yaitu antara hari
3-7 mulai sakit. Renjatan terjadi karena perdarahan atau kebocoran
plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapilar yang rusak. Adapun
tanda-tanda perdarahan: kulit teraba dingin pada ujung hidung, jari
dan kaki, penderita menjadi gelisah, nadi cepat, lemah, kecil sampai
35
tas teraba, tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmhg atau kurang) dan
tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmhg
atau kurang). Renjatan yang terjadi pada saat demam, biasanya
mempunyai kemungkinan yang lebih buruk.
5. Gejala Klinis Lain
Gejala lainnya yang dapat menyertai ialah : anoreksia, mual,
muntah, lemah, sakit perut, diare atau konstipasi dan kejang.
2.7 Situasi Penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia
Demam Dengue atau Demam Berdarah Dengue (DBD)
merupakan masalah umum yang semakin membesar di negara-negara
subtropik. Penyakit ini merupakan penyakit yang endemik di lebih 100
buah negara termasuklah Afrika, Amerika, Mediterranean Timur, Asia
Tenggara, dan Pasifik Barat. WHO menganggarkan mungkin terdapat
50-100 juta kasus penyakit Dengue di seluruh dunia setiap tahun, di
mana 250.000-500.000 kasus adalah Demam Berdarah Dengue dengan
24.000 kematian setiap tahun (Gibbons et al., 2002 yang dikutip oleh
Yong Y.K. et al., 2006).
Menurut WHO (1998) dalam Setiati T.E. et al. (2006), di Asia
Tenggara, dengan jumlah populasinya kira-kira 1,5 milyar, dianggarkan
kurang lebih 1,3 milyar penduduknya berisiko untuk terkena penyakit
DBD ini. Sehingga sekarang, DBD merupakan penyebab utama
kemasukan ke rumah sakit dan kematian di kalangan anak-anak di
negara-negara di Asia Tenggara.
Di Indonesia, DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968
ketika penyakit sedang menular di Surabaya dan Jakarta. Ketika
epidemik DBD berlaku pada 1998, sejumlah 47.573 kasus dilaporkan
dengan 1527 kematian. Kasus-kasus ini dicatatkan dari 201 daerah dari
total 304 buah daerah di Indonesia. Vektor utamanya adalah Aedes
aegypti dan banyak kejadian yang dilaporkan penularannya melalui
vektor ini (WHO, 2004). Sejak itu, DBD menunjukkan kecenderungan
36
peningkatan jumlah kasus dan luas daerah terjangkit. Daerah yang
memiliki ketinggian lebih dari 1000 meter dari aras laut terkecuali untuk
berisiko terjangkit penyakit DBD dari seluruh wilayah Indonesia. Antara
faktor yang mempengaruhi penyakit DBD adalah kondisi lingkungan,
mobilitas penduduk, kepadatan penduduk, adanya kontainer buatan atau
alami di tempat pembuangan akhir sampah ataupun di tempat lainnya,
penyuluhan dan perilaku masyarakat, selain itu: pengetahuan, sikap,
kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), fogging, abatisasi, dan
pelaksanaan 3M (menguras, menutup, dan mengubur) (Fathi et al.,
2005).
Pada tahun 2004, kasus DBD di Indonesia dilaporkan setiap bulan
dengan jumlah keseluruhannya sebanyak 78.690 dengan 954 kematian
(Case Fatality Rate, CFR=1,2%). Penularan tertinggi adalah di propinsi
DKI Jakarta (2768 kasus dengan CFR 0,76%) diikuti oleh Jabar (1863
kasus dengan CFR yang tinggi, yaitu 2,84%) (WHO, 2004).
Pada 2005, Indonesia mencatatkan jumlah kasus DBD tertinggi di
Asia Tenggara dengan 95.270 kasus dan kematian sebanyak 1298
(CFR=1,36%). Salah satu penyebab tingginya kasus DBD di Indonesia
adalah mungkin karena bencana alam yang berlaku sepanjang 5 tahun
kebelakangan telah menciptakan lingkungan yang kondusif untuk
pembiakan Dengue (WHO, 2004).
Pada tahun 2006 dan 2007, sekali lagi Indonesia mencatatkan
jumlah kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara dengan 1132 kematian
daripada 106.425 kasus pada tahun 2006 dan 1599 kematian daripada
188.115 kasus pada 2007 (WHO, 2008).
Pada 2006, propinsi-propinsi yang meningkat kasus DBD adalah
Aceh, Bali, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Jawa Barat,
Gorontalo dan DKI Jakarta. Peningkatan yang tampak jelas di dua
propinsi yaitu Jawa Timur dan Jawa Barat dengan peningkatan 4 kali
lipat dibandingkan pada tahun 2002. CFR setinggi 5% di propinsi
Sumatera Selatan. Propinsi dengan nilai CFRnya lebih dari 1 % adalah
37
Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Banten,
Jating, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Barat (WHO, 2004).
Propinsi Sumatera Utara mencatatkan sebanyak 4454 kasus
dengan 49 kematian (CFR=1,1%) pada tahun 2008. Manakala pada tahun
2009, 4534 kasus dicatatkan dengan kematian sebanyak 57 orang dengan
nilai CFRnya 1,26%. Terdapat peningkatan kasus, angka kematian dan
nilai CFR pada tahun 2009 jika dibandingkan pada tahun 2008
(Kusriastuti R., 2010).
Menurut LPPD Kota Medan (2008), penyakit DBD di Kota
Medan ditemukan sebanyak 1703 kasus pada tahun 2008. Jumlah ini
dikatakan menurun sebesar 11,16% jika dibandingkan dengan tahun 2007
yakni sebanyak 1917 kasus. Namun angka kejadian penyakit ini kembali
meningkat menjadi 1940 kasus, di mana Kota Medan merupakan
kabupaten yang mencatatkan jumlah tertinggi kasus DBD di Sumatera
Utara pada tahun 2009.
Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
prevalensi penyakit Demam Berdarah Dengue pada pasien anak yang
dilaporkan di RSUP H Adam Malik satu tahun kebelakangan ini yaitu
dari Januari hingga Desember 2009.
Penyakit Demam Berdarah Dengue pertamakali dilaporkan terjadi
di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, kemudian menyebar luas ke
seluruh pelosok tanah air. Angka kesakitan dan wilayah Dati II terjangkit
berftuktuasi dari tahun ke tahun namun selalu cenderung meningkat.
Angka kesakitan dan wilayah Dati II terjangkit Demam Berdarah Dengue
dari tahun 1968 s/d 1996 .
1. Insidens Demam Berdarah Dengue.
Selama periode 1968 -1988 insidens demam berdarah dengue
cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1968 jumlah
penderita demam berdarah dengue yang dirawat ada 53 orang,
38
meninggal 24 orang (41,3%). Jumlah wilayah terjangkit 2 buah Dati II
kemudian pada tahun 1988 jumlah kasusnya meningkat menjadi
47.573 orang (insidens = 27,1 per 100.000 penduduk) dengan
kematian 1.527 orang (3,2%). Jumlah Dati II yang dilaporkan
terjangkit adalah 201 Dati II.
Setelah terjadinya kejadian luar biasa demam berdarah dengue
nasional pada tahun 1988, kasus demam berdarah dengue di Indonesia
menurun tajam. Hal ini mungkin berkaitan dengan kebijaksanaan
program demam berdarah dengue yang dikembangkan selama satu
dasawarsa terakhir. Insidens rate demam berdarah dengue pada tahun
1989 (awal repelita V) turun menjadi 6,1 per 100.000 penduduk
kemudian pada tahun kedua dan ketiga mengalami peningkatan
menjadi 12,73 dan 11,56 per 100.000 penduduk dan pada tahun 1993
(akhir repelita V) insidens rate mengalami penurunan menjadi 9,2 per
100.000 penduduk. Kemudian pada tahun 1994 insidens rate demam
berdarah meningkat kembali dari 9,4 menjadi 18,4 per 100.000
penduduk pada tahun 1995 dan 22,96 per 100.000 penduduk pada
tahun 1996 wilayah Dati II terjangkit demam berdarah dengue
bertambah luas yaitu dari 201 Dati pada tahun 1988 menjadi 211 Dati
II pada tahun 1996. Propinsi yang angka insidens demam berdarah
denguenya cukup tinggi pada tahun 1996 (> 10/100.000 penduduk)
yaitu : Propinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Timur.
Terjadinya peningkatan kasus demam berdarah dengue mulai tahun
1994 s/d 1996, antara lain disebabkan nyamuk penularnya masih
tersebar luas, penyakit demam berdarah dengue muncul diwilayah
yang belum pernah terjangkit demam berdarah dan lokasi-lokasi
pemukiman baru di beberapa kota. Disamping itu terkumpulnya
penduduk yang berasal dari berbagai lokasi asal, memungkinkan
39
terjadi pertukaran jenis virus dengue yang dapat berakibat pada
letusan/kejadian luar biasa penyakit demam berdarah dengue.
2. Angka Kematian.
Angka kematian Demam Berdarah Dengue dari tahun ke tahun
tampak menurun secara konsisten. Pada tahun 1968 angka kematian
Demam Berdarah Dengue sebesar 41,3% menurun menjadi 2,7% pada
tahun 1996. Secara keseluruhan angka kematian (CFR) cenderung
menurun dengan rata-rata 2,5% pertahun. Terjadinya penurunan angka
kematian Demam Berdarah Dengue ini salah satu penyebabnya adalah
semakin baiknya penata laksanaan kasus Demam Berdarah Dengue di
rumah sakit dan Puskesmas, sertat semakin banyak warga masyarakat
yang mengetahui tanda-tanda dan akibat penyakit Demam Berdarah
Dengue, sehingga penderita segera dibawa berobat ke rumah sakit
atau puskesmas.
Meskipun demikian pada tahun 1996 ada beberapa program di
Indonesia yang angka kematian masih cukup tinggi (>5%) yaitu
propinsi Aceh, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Lampung, Nusa
Tenggara Barat dan Timor-Timor. Tingginya angka kematian
disebabkan propinsi tersebut menurut tim observasi Demam Berdarah
Dengue di Propinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat, salah
satu diakibatkan oleh daerah tersebut ketat dalam menentukan
diagnosa Demam Berdarah Dengue (penderita tersangka demam
berdarah dengue yang tidak dirawat di rumah sakit tidak dimasukkan
dalam kasus Demam Berdarah Dengue), sehingga jumlah kasus
Demam Berdarah Dengue dalam perhitungan CFR menjadi kecil dan
akibatnya CFR menjadi besar.
3. Musim Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue
Secara nasional penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia
setiap tahun terjadi pada buan September s/d Februari dengan puncak
pada bulan Desember atau Januari yang bertepatan dengan waktu
40
musim hujan. Akan tetapi Untuk kota besar, seperti Jakarta, Bandung,
Yogyakarta dan Surabaya musim penularan terjadi pada bulan Maret
s/d Agustus dengan puncak terjadi pada bulan Juni atau Juli.
4. Vektor Demam Berdarah Dengue Di Indonesia.
Vektor Demarn Berdarah Dengue yang utama di Indonesia
adalah Aedes Aegypti. yang keberadaannya hingga dewasa ini masih
tersebar di seluruh pelosok tanah air dari hasil survey jentik yang
dilakukan Depkes tahun 1992 di 7 kota di Pulau Jawa Sumatera dan
Kalimantan, menunjukkan bahwa rata-rata persentase rumah dan
tempat umum yang ditemukan jentik (Premis index) masih cukup
tinggi. yaitu sebesar 28%.
5. Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue.
Penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue di daerah
perkotaan lebih intensif dari pada di daerah pedesaan. Hal ini
disebabkan kepadatan jumlah penduduk yang tinggi didaerah
perkotaan. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain sangat
berdekatan sehingga memudahkan nyamuk penular Demam Berdarah
Dengue (Aedes Aegypti) menyebarkan virus dengue dari satu orang
ke orang lain yang ada disekitarnya (jarak terbang nyamuk Aedes
aegypti biasanya tidak lebih dari 100 meter). Selain itu mobilitas
penduduk dikota pada umumnya. jauh lebih tinggi dibandingkan di
pedesaan. Jumlah kasus BDB dari tahun ke tahun , sebagai berikut :
PENDERITA ATAU TERSANGKA DBD
PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI
Ada penderita DBD lain atau ada jentik dan ada penderita demam tanpa sebab yang jelas pada hari itu atau seminggu sebelumnya ≥ 3
orang.
Ya
PenyuluhanPSNPengasapan radius ± 200 m
PenyuluhanPSN
Tidak
44
2.8 Pengelolaan
Skema pengolahan DBD
2.8.1 Program Pemberatasan
1. Tujuana. Menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit DBDb. Mencegah dan mengurangi KLBc. Meningkatkan peran serta masyarakat (PSM) dalam
pembratasan sarang nyamuk (PSM)2. Sasaran. Sasaran nasional (2000):
a. Morbiditas di kacamatan endemik DBD <2 per 10.000 penduduk
b. CFR <2,5%3. Strategi
a. Kewaspadaan dini
454. Kegiatan
a. Pelacakan penderita (penyelidikan epidemiologis, PE), yaitu kegiatan mendatangi rumah-rumah dan kasus yang dilaporkan (indeks kasus) untuk mencari penderita lain dan memeriksa angka jentik dalam radius ± 100 m dari rumah indeks.
b. Penemuan dan pertolongan penderita, yaitu kegiatan mencari penderita lain. Jika terdapat tersangka kasus DBD maka harus segera dilakukan penanganan kasus termasuk merujuk ke unit pelayanan kesehatan (UPK) terdekat
c. Abatisasi selektif (AS) atau larvadisasi selektif yaitu kegiatan memberikan atau menaburkan larvasida kedalam penampungan air positif terdapat jentik aedes
d. Fogging focus (FF) yaitu kegiatan menyemprot dengan insektisida (melation losban) untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radius 1 RW per 400 rumah per 1 dukuh.
e. Pemeriksa jentik berkala (PJB) yaitu kegiatan reguler 3 bulan sekali, dengan cara mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan. Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan cara random atau metode spiral (dengan rumah ditengah sebagai pusatnya) atau metode zig zag. Dengan kegiatan ini akan didapatkan angka kepadatan jentik atau HI (hause index).
f. Pembentukan kelompok kerja (pokja) DBD disemua level administrasi, mulai dari desa, kecamatan, sampai tingkat pusat.
g. Penyelengarakaan PSN (prmberantasan sarang nyamuk) dengan 3M (menutup, menguras tempat penampungan air bersih, mengubur barang bekas, dan membersihkan tempat yang berpotensi bagi perkembangan nyamuk) di daerah endemik dan sporadik.
h. Penyuluh tentang gejala awal penyakit, pencegahan dan rujukan penderita.
5. PencegahanKegiatan ini meliputi:
a. Pembersihan jentik antara lain: program pembratasan sarang nyamuk (PSN), larvasidasi dan menggunakan ikan (ikan kepala timah, cupang, sepat).
b. Pencegahan gigitan nyamuk antara lain menggunakan kelambu
dan menggunakan obat nyamuk (bakar, oles).
46
2.8.2 Monitoring dan evaluasi
a. Indicator pemerataan
1. Penyelidikan Epidemiologis (PE) =
Jumlah penderita x 100
Jumlah penderita yang dilaporkan
2. Fogging focus =
Jumlah fogging x100
Jumlah penderita
b. Indicator efektivitas perlindungan =
Cakupan rumah dengan FF/AS/PSN x100
Jumlah rumah yang seharusnya tercakup dalam FF/AS/PSN
c. Indicator efisien program
1. Angka kepadatan jentik (HI) =
Jumlah yang postif terdapat jentik x100
Jumlah rumah yang diperiksa
2. Angka kesakitan DBD =
Jumlah kesakitan DBD x100
Jumlah penduduk
3. Angka kematian DBD =
Angka kematian DBD x100
Jumlah penderita
2.8.3 Penanggulangan KLB :
a. Penemuan dan pertolongan penderita
b. Penyuluhan
c. PSN dengan gerakan 3M
d. Fogging (pengasapan)
e. Abatisasi atau larvasidasi
BAB 3PENUTUP
3.1 Simpulan
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue
haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri
sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan
diatesis hemoragik. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama
kali dilaporkan Indonesia pada tahun 1968 dengan jumlah penderita 58
orang dengan kematian 24 orang (41,3%). Penyakit Demam Berdarah
Dengue menyebar keseluruh Indonesia dan mencapai puncak klimaksnya
pada tahun 1988 dengan insiden rate mencapai 13, 45% per 100.000
penduduk dan angka kematian 3,2%.
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang
banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis,
terutama asia tenggara, Amerika tengah, Amerika dan Karibia. Host
alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang
termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4
serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-41, ditularkan ke manusia
melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes
aegypti dan Ae. albopictus 2 yang terdapat hampir di seluruh pelosok
Indonesia.
3.2 Saran
Penyusun berharap, makalah yang penyusun buat ini dapat
bermanfaat dan dapat diterima. Penyusun mohon kritik, saran yang
bersifat membangun agar dalam penyusunan makalah berikutnya bisa
lebih baik lagi. Semoga dapat berguna bagi masyarakat dan siapapun
yang membacanya. Bagi masyarakat yang mengetahui tanda dan gejala
serta tempat rawan dbd perlu mencari pengobatan sedini mungkin dan
pencegahan sehingga keluhan berat dan komplikasi dapat dicegah. Bagi
47
48
tenaga kesehatan maupun tenaga pengajar perlu memberikan sumbangsih
penelitian maupun referensi mengenai penyebaran dbd di Indonesia
mengingat sedikit dijumpai referensi penunjang mengenai penyakit ini.
Makalah ini dapat digunakan sebagai penunjang mahasiswa keperawatan
ketika praktik di klinik dan sebaiknya perlu disempurnakan lagi dengan
referensi yang terbaru.