bab 1

14
REFERAT PENGELOLAAN LARINGEAL EDEMA POST INTUBASI = Nama: Nyoman Krisna Tri Wijaya NIM: H1A011056 PEMBIMBING: dr.Hijrineli , SpAn DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN / SMF ANESTESI REANIMASI RUMAH SAKIT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM 2015 Page 1

Upload: krishna-wijaya

Post on 15-Dec-2015

28 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

asfafasfsaf

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1

REFERAT

PENGELOLAAN LARINGEAL EDEMA POST INTUBASI

=

Nama: Nyoman Krisna Tri Wijaya

NIM: H1A011056

PEMBIMBING:

dr.Hijrineli , SpAn

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN / SMF ANESTESI REANIMASI RUMAH SAKIT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM 2015

Page 1

Page 2: BAB 1

BAB 1

PENDAHULUAN

Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan

anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat

mempengaruhi keadaan jalan napas untuk berjalan dengan baik. Salah satu usaha untuk menjaga

jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan

memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang

harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas

dapat berjalan dengan lancar serta teratur. Tahap akhir dari pelaksanaan intubasi adalah

ekstubasi. Dalam pelaksanaan ekstubasi dapat terjadi gangguan pernapasan yang merupakan

komplikasi yang sering kita temui pasca anestesi. Komplikasi bisa terjadi setelah

dilaksanakannya ekstubasi seperti : pengeluaran sekret dari mulut yang menyumbat jalan napas,

edema laring, dan bisa terjadi spasme laring. Komplikasi pernapasan pasca anestesi bisa

menyebabkan hipoventilasi dan hipoksemia.

Gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun tindakan anestesi

sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi tergantung dari

deteksi gejala dini dan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk. Intubasi

endotrakea merupakan prosedur yang sering dikerjakan di unit perawatan intensif (Intensive

Care Unit (ICU)) dan pada saat dilakukannya tindakan operasi. Ulserasi dan edema reaktif

(inflamasi) pada mukosa glotis dan subglotis dapat terjadi akibat trauma pada tindakan intubasi

itu sendiri dan akibat penekanan atau iritasi oleh pipa endotrakea. Inflamasi ini menyebabkan

obstruksi jalan napas atas yang ditandai dengan stridor, sehingga berisiko untuk terjadinya

kegagalan ekstubasi, jika terjadi kegagalan pada saat ekstubasi maka perlu dilakukan reintubasi

dalam 24-48 jam paska-ekstubasi1.

Edema laring merupakan komplikasi yang sering terjadi pada intubasi. Komplikasi

biasanya muncul pada saat paska ekstubasi dan mengakibatkan kerusakan pada mukosa laring.

Kerusakan mukosa disebabkan oleha karena adanya tekanan dan iskemia yang berujung pada

respon inflamasi. Edema pada laring dapat membahayakan pasien sehingga perlu dilakukannya

reintubasi2.

Page 2

Page 3: BAB 1

BAB 2

PEMBAHASAN

Laringoskop Dan Intubasi

Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk ke dalam paru. Laringoskop ialah alat

yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukan pipa trakea

dengan baik dan benar. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah

dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 yaitu3:

Indikasi Intubasi Trakea

Intubasi trakea ialah tindakan memasukan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima

glotitis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan

bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut3:

Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun.

Page 3

Page 4: BAB 1

Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan secret jalan nafas,

dan lainnya

Mempermudah ventilasi positif dan oksigeniasi.

Misalnya, saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi

jangka panjang.

Pencegahan terhadap aspirasi dan regusgitasi.

Adapaun kesulitan dalam dilakukannya proses intubasi yaitu sebagai berikut3:

Leher pendek berotot

Mandibula menonjol

Maksila/gigi depan menonjol

Yuvula tak terlihat

Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

Gerak vertebra servikal terbatas.

Terdapat komplikasi pada saat selama dan setelah intubasi yaitu3:

1. Selama intubasi :

a. Trauma gigi geligi

b. Laserasi pada bibir, gusi dan laring

c. Intubasi pada esophagus

d. Terjadi aspirasi

e. Terjadi spasme pada bronkus

2. Setelah ekstubasi

a. Spasme laring

b. Terjadi aspirasi

c. Edema pada glottis-subglotis

d. Terjadi infeksi pada laring, faring dan trakea

Page 4

Page 5: BAB 1

Edema laring

Definisi

Edema laring adalah pembengkakan yang dapat diamati dari akumulasi cairan yang

terdapat di daerah laring. Pembengkakan adalah akibat dari akumulasi cairan yang berlebihan

dibawah kulit dalam ruang-ruang didalam jaringan-jaringan.Edema merupakan manifestasi

umum kelebihan volume cairan yang membutuhkan perhatian khusus. Pembentukan edema,

sebagai akibat dari perluasan cairan dalam kompartemen cairan intertisial, dapat terlokalisir,

contohnya pada pergelangan kaki;dapat berhubungan dengan rematoid arthritis; atau dapat

menyeluruh, seperti pada gagal jantung atau ginjal, edema menyeluruh yang berat disebut

anasarka4.

Insidensi

Meskipun edema laring terjadi pada hampir semua pasien yang diintubasi, namun

hanya beberapa dari mereka yang berkembang menjadi gejala klinis. Gejala klinis berhubungan

dengan cepatnya perkembangan dari edema laryngeal. Terdapat 15% tindakan reintubation

yang dikarenakan oleh edema laryngeal post ekstubasi. Pada studi yang dilakukan oleh oleh

Francois dan teman-temannya menyatakan bahwa, 87 dari 611 pasien (12%) edema laryngeal

yang telah berkembang memerlukan tindakan reintubasi. Post ekstubasi stridor (PES) merupakan

pertanda klinis dari adanya edema laryngeal. Stridor pada umumnya didefinisikan sebagai suara

yang melengking yang diakibatkan karena danya sumbatan pada jalan nafas2.

Gambar Laringeal Edema

Page 5

Page 6: BAB 1

Etiologi dan Patogenesis

Intubasi endotrakeal dapat menyebabkan kerusakan pada orofaring , laring dan trakea.

Edema laring dan ulserasi pada mukosa terjadi pada hampir semua pasien yang diintubasi

selama 4 hari atau lebih. Pada beberapa kasus banyak ditemukan ulserasi pada pita suara dan

kerusakan jaringan pada bagian posterior dari pita suara, hal ini disebabkan karena tekanan yang

tinggi pada daerah tersebut. Kerusakan ini biasanya bersifat reversible dan dapat kembali seperti

semula selama 1 bulan. Kerusakan dapat terjadi karena adanya tekanan yang tinggi sehingga

menyebabkan terjadinya iskemia pada bagian yang terkena2.

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari edema laring antara lain yaitu4:

Kesulitan untuk bernafas, bahkan bisa menyebabkan tidak bisa bernafas.

Takikardia

Peningkatan tekanan darah, tekanan nadi, dan tekanan vena sentral

Peningkatan berat badan

Nafas pendek dan Mengi

Retensi Cairan

Faktor Risiko

Wanita lebih sering mengalami edema laring hal ini dikarenakan mukus membrae pada

wanita lebih rentan terhadap trauma dan lebih tipis dibandingkan dengan laki-laki. Ukuran

tabung juga dapat mempengaruhi terjadinya edema laryngeal. Pada beberapa studi

meneyebutkan tube yang tidak sesuai besarnya dengan laryngeal akan mengakibatkan terjadinya

edema laryngeal. Masih terdapat kontroversi untuk faktor risiko lamanya intubasi terhadap

kejadian edema laryngeal tersebut, pada beberapa studi mengatakan hal tersebut berkaitan dan

studi lainnya menyatakan tidak berkaitan2.

Page 6

Page 7: BAB 1

Diagnosis

Diagnosis awal untuk pasien yang menderita edema laryngeal merupakan hal yang

esensial dikarenakan jika tidak segera ditangani maka dapat menyebabkan respiratory distress

dan kegagalan ekstubasi. Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan test cuff leak. Tindakan

observasi dangatlah diperlukan, terutama pada 1 jam pertama paska ekstubasi. Diagnosis

laryngeal edema dapat ditegakan melalui symptom yang muncul2.

Pencegahan.

Pertama-tama sebaiknya dipertimbangkan ukuran dari tube tersebut, untuk pria

sebaiknya menggunakan tube yang sebesar 7 atau 7,5 mm dan pada wanita menggunakan tube

yang berukuran 6.5 mm. pada beberapa studi yang dilakukan pada hewan coba didapatkan hasil

bahwa pada post ekstubasi yang diberikan steroid lebih sedikit mengalami edema laring

dibandingkan dengan yang tidak. Penggunaan kortikosteroid sebelum dilakukannya ekstubasi

merupakan suatu prosedur pada beberapa rumah sakit. Namun pada beberapa studi yang

dilakukan pada manusia merupakan hal yang kurang tepat. Hal ini dikarenakan jenis steroid yang

digunakan berbeda-beda. Prosedur penggunaan steroid hanya dilakukan pada pasien yang cuff

leaknya positive2.

Terapi

Menjaga jalan nafas, oksigen yang adekuat dan menghilangkan respiratory distress

merupakan tindakan utama yang harus dilakukan. Dalam penanggulangan sumbatan laring pada

prinsipnya diusahakan supaya jalan nafas lancar kembali . Tindakan konservatif dengan

pemberian anti inflamasi, anti alergi,antibiotika, serta pemberian oksigen intermitten dilakukan

pada sumbatan laring stadium 1 yang disebabkan peradangan. The American Society of

Anaesthesiologists menganjurkan untuk menggunakan airway exchange catheter pada pasien

yang faktor risiko gagal ekstubasi. Penggunaan airway exchange cateter dapat digunakan pada

pasien yang mempunyai faktor risiko laringeal edema yang disebabkan post ekstubasi. Oksigen

juga bisa diberikan lewat kateter tersebut jika diperlukan. Kateter dipasang sebelum

dilakukannya ekstubasi dan dalam posisi insitu pada saat dilakukakukannya ekstubasi.

Kekurangan teknik ini yaitu pasien akan merasa tidak nyaman. Jika tidak ada tanda-tanda

terjadinya laringeal edema maka kateter dapat segera dilepas setelah satu jam proses ekstubasi.

Page 7

Page 8: BAB 1

Terapi medikasi dapat diberikan untuk mengurangi edema laryngeal. Kortikosteroid

dapat diberikan untuk menghambat terjadinya proses inflamasi yang disebabkan karena proses

ekstubasi. Dengan terhambatnya proses inflamasi maka pembuluh darah menjadi tidak

permeable dan menjadi vasokontriksi sehingga menghambat terjadinya edema. Dosis yang tepat

untuk penggunaan kortikosteroid masih belum ditemukan. Kortikosteroid selama ini digunakan

untuk menghindari kegagalan ekstubasi akibat obstruksi jalan napas karena edema laring.

Kortikosteroid bermanfaat untuk mengatasi edema laring karena khasiat antiinflamasinya, yaitu

menghambat pelepasan mediator inflamasi dan menurunkan permeabilitas kapiler. Penggunaan

kortikosteroid sebagai profilaksis obstruksi jalan napas sebenarnya masih menjadi kontroversi1,2.

Pada peneletian yang dilakukan Kyung et al tahun 2014 menyatakan bahwa penggunaan obat

steroid dapat mencegah terjadinya laryngeal edema, efek anti inflamasi mulai bekerja 1-2 jam

setelah diberikan melalui intravena dan bekerja maksimum 2-24 jam. Maka karena itu ketepatan

pemberian obat steroid ini sangatlah diperlukan. Pemberian obat steroid sebelum dilakukannya

intubasi merupakan cara yang efektif untuk mencegah terjadinya laryngeal edema yaitu dengan

cara memberikan metilprednisolon sebanyak 20-40 mg melalu intravena selama 12-24 jam

sebelum dilakukannya intubasi5.

Nebulasi epinefrin merupakan terapi yang efektif. Epinefrine menstimulasi reseptor

alpha adrenergik pada pembuluh darah yang nantinya dapat menyebabkan pembuluh darah

menjadi vasokontriksi dan menurunkan aliran darah. Pada beberapa kasus dosis 1 mg

epinephrine didalam 5 ml normal saline telah terbukti dapat menurunkan edema tersebut. Namun

penelitian pemberian epinefrin pada orang dewasa masih belum dapat terbukti mencegah

terjadinya edema laring2.

Pemberian helium juga dapat dipertimbangkan untuk terapi laryngeal edema. Bentuk zat

helium/oskigen yang tercampur lebih halus dibandingkan dengan oksigen biasa , resistensi udara

pada jalan nafas dapat lebih sedikit terjadi. Jika campuran helium/oksigen digunakan, dosis

minimum helium yang dianjurkan adalah 40% untuk mencegah terjadinya hipoksemia2.

Emergensi trakeostomi merupakan langkah yang paling tepat pada beberapa kasus edema

laringeal yang tidak bisa dilakukan tindakan reintubasi. Pada beberapa rumah sakit tindakan

tersebut terbukti cukup efektif2.

Page 8

Page 9: BAB 1

BAB 3

KESIMPULAN

Kejadian edema laring yang disebabkan post intubasi 30% pasien yang diekstubasi, dan

4% diharuskan untuk dilakukan intubasi kembali. Pada edema laring sering tampak adanya

stridor, hal ini disebabkan karena adanya gangguan pada saat respirasi. Terdapat beberapa faktor

risiko yang menyebabkan terjadinya edema laring yaitu ukuran tube yang tidak tepat, jenis

kelamin wanita dan lamanya pemakaian alat intubasi. Diagnosis dapat ditegakan dengan cara

melihat gejala klinis dan dari hasil cuff leak test. Penggunaan kortikosteroid sebelum

dilakukaanya ekstubasi dapat mencegah terjadinya edema laring

Page 9

Page 10: BAB 1

Daftar Pustaka

1. Rismala Dewi dan Cahyani Gita Ambarsari.(2011)Peran Kortikosteroid Dalam

Pencegahan Stridor Paska-ekstubasi Pada Anak

2. Bastiaan HJ Wittekamp, Walther NKA van Mook, Dave HT Tjan, Jan Harm

Zwaveling dan Dennis CJJ Bergmans.(2009) Clinical review: Post-extubation

laryngeal edema and extubation failure in critically ill adult patients

3. Said A. Latief, Kartini A. Suryadi, M. Ruswan Dachlan.(2009) PETUNJUK

PRAKTIS Anestesiologi Edisi Kedua, 42-44.

4. Ho LI, Harn HJ, Lien TC, Hu PY, Wang JH (1996) Postextubation laryngeal edema

in adults. Risk factor evaluation and prevention by hydrocortisone. Intensive Care

Med 22: 933-

5. Wiebe K, Rowe BH (2007) Nebulized racemic epinephrine used in the treatment of

severe asthmatic exacerbation: a case report and literature review. CJEM 9: 304-308.

Page 10