bab 1
DESCRIPTION
jiwaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Umumnya mengompol, yang dalam istilah kedokterannya disebut enuresis,
merupakan kebiasaan yang kurang menyenangkan bagi para orangtua itu lebih
banyak dijumpai pada anak laki-laki dari pada anak perempuan. Kemungkinan
karena faktor aktifitasnya lebih banyak anak laki-laki.
Terdapat berbagai gejala gangguan miksi yang perlu dibedakan oleh karena
Ngompol atau enuresis dibedakan menjadi dua jenis, yakni primer enuresis dan
sekunder enuresis. Primer enuresis adalah kebiasaan ngompol tanpa jeda.
Kebiasaan ini berlangsung terus menerus, tidak ada fase kering. Sedangkan
sekunder enuresis ada jedanya. Menurutnya, normalnya anak akan berhenti
ngompol setelah berusia 5 tahun atau memasuki usia prasekolah.
Dari hasil penelitian, kebiasaan mengompol berhenti pada siang hari pada umur
1½ - 2 tahun, dan pada umur 2 ½ - 3 tahun berhenti mengompol pada malam hari.
Enuresis pertama kali ditemukan dalam papirus-Ebers yang ditulis oleh Glicklich
pada tahun 1550 sebelum Masehi. Kata enuresis itu sendiri berasal dari bahasa
Yunani, yaitu enourein yang berarti mengosongkan urin. Akan tetapi,pengertian
pada saat ini tidak sesuai dengan asal kata enuresis itu sendiri. Enuresis sering
dikaitkan secara tidak langsung dengan buang air kecil yang tidak terkontrol di
malam hari.
Pengertian enuresis non organik menurut PPDGJ III adalah suatu gangguan yang
ditandai oleh buang air seni tanpa kehendak, pada siang dan atau malam hari,yang
tidak sesuai dengan usia mental anak dan bukan akibat dari kurangnya
pengendalian kandung kemih akibat kelainan neurologis, serangan epilepsi, atau
kelainan struktural pada saluran kemih.
1
Enuresis dapat menimbulkan masalah psikologis. Hal ini dikarenakan anak yang
mengalami enuresis dihukum dan rentan terhadap penyiksaan fisik dan emosional.
Perasaan malu, rendah diri, kualitas hidup yang menurun serta gangguan di
lingkungan sekolah merupakan masalah-masalah yang dapat timbul juga akibat
enuresis.
Akan tetapi, dengan penanganan yang tepat dapat mengurangi kemungkinan
timbulnya masalah-masalah di atas. Dukungan dari orang tua serta kemauan dari
anak itu sendiri merupakan kunci keberhasilan penanganan enuresis ini.
BAB III
ISI
A. Definisi
Pengertian enuresis non organik menurut PPDGJ III adalah suatu gangguan
yang ditandai oleh buang air seni tanpa kehendak, pada siang dan atau malam
hari, yang tidak sesuai dengan usia mental anak dan bukan akibat dari
kurangnya pengendalian kandung kemih akibat kelainan neurologis, serangan
epilepsi, atau kelainan struktural pada saluran kemih.
B. Epidemiologi
Enuresis merupakan salah satu gangguan kebiasaan yang sering dijumpai pada
anak. Enuresis lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada
perempuan.
2
Prevalensi enuresis menurun seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi
enuresis akan semakin menurun baik laki-laki dan perempuan pada usia 14
tahun yaitu sekitar 0,5-1,9 persen.
Data menyeluruh pertama tentang insidens enuresis adalah studi Wight Isle.
Dalam data tersebut, 15,2 persen laki-laki (usia 7 tahun) mengalami enuresis
kurang dari 1 kali perminggu, sedangkan 6,7 persen mengalami enuresis lebih
dari 1 kali perminggu.
Pada anak perempuan usia 7 tahun, 12,2 persen mengalami enuresis kurang
dari 1 kali perminggu, sedangkan 3,3 persen mengalami enuresis lebih dari 1
kali perminggu. Pada anak laki - laki usia 9 dan 10 tahun, 6,1 persen
mengalami enuresis kurang dari 1 kali perminggu, sedangkan 2,9 persen
mengalami enuresis lebih dari 1 kali perminggu. Pada anak perempuan usia 7
tahun, 3,5 persen mengalami enuresis kurang dari 1 kali perminggu, sedangkan
2,9 persen memgalami enuresis lebih dari 1 kali perminggu.
Enuresis lebih sering terjadi pada anak-anak yang berasal dari:
1. Golongan Sosial Ekonomi rendah
2. Anak-anak yang pernah menderita hambatan social atau pdikologis dalam
periode perkembangan antara umur 2-4 tahun pertama kehidupan
3. Latar belakang pendidikan orang tua yang rendah
4. Toilet training yang tidak adekuat
5. Anak pertama
C. Etiologi
Keturunan
Ada anggapan bahwa faktor keturunan memiliki peranan dalam terjadinya
enuresis. Enuresis lebih cepat timbul pada anak-anak yang orang tuanya atau
salah satu dari mereka pernah mengalami enuresis. Akan tetapi, faktor
keturunan ini masih belum jelas kaitannya dengan terjadinya enuresis.
3
Sekitar 43 persen anak yang mengalami enuresis memiliki ayah yang juga
mengalami enuresis pada waktu kecil, 44 persen anak yang mengalami
enuresis memililki ibu yang juga mengalami enuresis pada waktu kecil, dan 77
persen anak yang mengalami enuresis memililki kedua orang tua yang juga
mengalami enuresis pada waktu kecil.
Gangguan pertumbuhan dan gangguan pendewasaan
Meskipun terdapat anak yang sendirinya tidak mengompol, akan tetapi
umumnya perlu diberi petunjuk-petunjuk dalam latihan. Keberhasilan latihan
ini sangat tergantung dengan keadaan keluarga serta kemampuan orang tua.
Harapan orang tua yang terlalu banyak dan terlalu dini membuat latihan terlalu
keras dan memberikan hasil yang kurang. Latihan yang sangat berat serta
pemberian hukuman juga memberikan hasil yang kurang daripada latihan
dengan pendekatan penuh pengertian sambil memberi hadiah. Latihan yang
sangat berat tersebut juga dapat memberikan dampak perlawanan aktif ataupun
pasif dari si anak sehingga timbul enuresis di kemudian hari.
Sosiogenesis
Ada penelitian yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara lingkungan
anak dan terjadinya enuresis. Enuresis lebih banyak ditemukan di kalangan
sosial rendah. Faktor-faktor yang turut menimbulkan enuresis adalah
lingkungan perumahan yang buruk, perumahan yang sempit, fasilitas toilet
yang terbatas, lebih dari satu anak tidur dalam satu tempat tidur.
Akan tetapi, terdapat penelitian lain yang menyebutkan adanya hubungan yang
lemah atau bahkan tidak terdapat hubungan antara statussosial dengan
terjadinya enuresis.
Psikogenesis
4
Gangguan-gangguan psikis dapat menghambat anak dalam latihan
menggunakan toilet. Biasanya, terjadi pada anak yang penakut dengan
gangguan perilaku dan gejala-gejala seperti menyedot ibu jari, gagap. Selain
itu, factor-faktor stres dan ketakutan pada masa latihan itu sendiri yang dapat
menimbulkan enuresis dikemudian hari.
Faktor-faktor organik
Kelainan anatomi dan fungsional pada saluran kemih merupakan faktor
organik yang dapat menyebabkan anak tetap mengompol. Faktor-faktor
tersebut antara lain kapasitas kandung kemih, obstruksi saluran kemih, refluks
vesiko-uretral, kelainan-kelainan neurologis, serta infeksi saluran kemih.
Kebiasaan mengompol dapat disebabkan oleh:
1. Gangguan psikologis seperti stres, tertekan, merasa diperlakukan kurang
adil, kurang perhatian dll.
2. Gangguan organis seperti infeksi saluran kencing, sumbatan, dll.
3. Terlambatnya kematangan bagian otak yang mengontrol kencing.
4. Gangguan tidur. Biasanya mereka termasuk yang tidurnya sangat nyenyak
dan ngompolnya bisa terjadi setiap saat dalam waktu tidurnya.
5. Gangguan kekurangan produksi hormon anti diuretik (= hormon anti
kencing) pada malam hari, sehingga pada malam hari produksi air kencing
berlebihan.
6. Gangguan genetik pada kromoson 12 dan 13 yang merupakan gen pengatur
kencing dan pada kelainan ini ada riwayat keluarga dengan ngompol.
7. Ngorok waktu tidur, akibat adanya pembesaran kelenjar tonsil dan adenoid.
Selain itu faktor emosional dapat juga menyebabkan kebiasaan mengompol
pada anak, berupa :
1. Ekspresi daripada perubahan si anak akibat terlalu cepat dilatih dalam toilet
training yang terlalu keras dan dini (waktu anak masih kecil).
2. Latihan yang kurang adekwat yaitu tidak secara rutin dilatih.
3. Overproteksi ibu karena anggapan masih terlalu kecil atau terlalu lemah
untuk dilatih.
5
4. Paling penting adalah si anak sedang berusaha mencari perhatian orang tua
(terutama ibunya) karena ibu lebih memberi perhatian pada adiknya atau
anak baru memperoleh adik lagi.
D. Klasifikasi
Enuresis terbagi menjadi dua, yaitu enuresis primer dan enuresis sekunder.
Enuresis primer ditandai oleh mengompol yang terus menerus dan tidak pernah
mampu untuk mengontrol buang air kecil. Enuresis sekunder terjadi pada anak-
anak yang memiliki masalah dalam mengontrol buang air kecil setelah mampu
mengontrol buang air kecil selama 6 bulan atau lebih.
Selain itu, enuresis juga terbagi menurut waktu terjadinya yaitu nokturnal,
diurnal, nokturnal dan diurnal. Tipe nokturnal apabila enuresis terjadi pada saat
tidur (malam hari), tipe diurnal apabila enuresis terjadi pada saat beraktivitas
(siang hari). Diantara ketiga tipe tersebut, yang paling umum adalah tipe
nokturnal.
Penyebab enuresis primer antara lain idiopatik, hiperaktivitas kandung kemih,
konstipasi, diabetes insipidus, obstruksi uretral, ektopik ureter, psikologis.
Penyebab enuresis sekunder antara lain idiopatik, hiperaktivitas kandung
kemih, konstipasi, diabetes insipidus yang`didapat, diabetes mellitus,
neurogenik kandung kemih yang didapat, kelainan neurologis (kejang),
obstruksi uretral yang didapat.
E. Diagnosa
Kriteria diagnosa dari kelainan enuresis berdasarkan DSM-IV-TR adalah
Anak berulang kali mengompol di tempat tidur atau pakaian (baik disengaja
maupun tidak).
6
Usia kronologis anak minimal 5 tahun (atau anak berada pada tingkat
perkembangan yang setara).
Perilaku tersebut muncul setidaknya dua kali seminggu selama 3 bulan, atau
sudah menyebabkan gangguan yang signifikan dalam fungsi atau terjadi
distres.
Gangguan ini bukan akibat dari obat-obatan atau pun kelainan organik
(penyakit tertentu). Misalnya obat-obatan diuretik, penyakit diabetes mellitus,
spina bifida, kejang. Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia yang ke III (PPDGJ-III), enuresis digolongkan
sebagai gangguan perilaku dan emosional lainnya dengan onset biasanya pada
masa kanak dan remaja dan memiliki kode F98.0.
Pengertian enuresis non organik adalah suartu gangguan yang ditandai oleh
buang air seni tanpa kehendak, pada siang dan atau malam hari, yang tidak
sesuai dengan usia mental anak dan bukan akibat dari kurangnya pengendalian
kandung kemih akibat kelainan neurologis, serangan epilepsi, atau kelainan
struktural pada saluran kemih.
Berdasarkan kriteria diagnosis tersebut, maka untuk menegakkan diagnosa
enuresis kelainan organik harus disingkirkan sebagai penyebab. Hal ini
meliputi infeksi saluran kemih, obstruksi saluran kemih, atau kelainan anatomi
dari saluran kemih. Ketiga hal ini juga sering menjadi penyebab seorang anak
mengalami enuresis.
Selain penyebab, usia dari si anak juga menentukan diagnosis. Tidak adanya
garis pemisah yang tegas antara gangguan enuresis dan variasi normal usia
seorang anak berhasil mencapai kemampuan mengendalikan kandung
kemihnya. Akan tetapi,enuresis tidak lazim didiagnosis terhadap anak dibawah
usia 5 tahun atau dengan usiamental kurang dari 4 tahun.
F. Pemeriksaan penunjang
Urinalisa.
7
Pemeriksaan urinalisa dapat menyingkirkan infeksi saluran kemih sebagai
penyebab enuresis. Selain itu, peningkatan osmolaritas urin serta glukosuria
dapat menjadi petunjuk adanya diabetes sebagai penyebab terjadinya enuresis.
Kultur urin
Pemeriksaan kultur urin juga dapat digunakan untuk menyingkirkan infeksi
saluran kemih sebagai penyebab enuresis.
Ultrasonografi saluran kemih dan uroflowmetri
Tidak semua pasien yang mengalami enuresis dilakukan pemeriksaan ini.
Indikasi dilakukannya pemeriksaan ini apabila terjadinya diurnal serta
nokturnal enuresis dan adanya gangguan pengosongan urin. Sehingga, pasien
dapat dipastikan apakah memiliki kelainan struktur saluran kemih sebagai
penyebab enuresis.
G. Diagnosa banding
Diagnosa banding yang sering adalah infeksi saluran kemih. Hal ini terutama
apabila enuresis yang terjadi pada wanita. Meskipun persentasi yang relatif
rendah, diagnose banding yang mungkin adalah kelainan anatomi atau lesi
obstruktif. Sedangkan untuk enuresis sekunder, diabetes tipe I pada anak
merupakan diagnose banding yang utama. Hal ini dikarenakan enuresis
merupakan salah satu gejala penting pada diabetes tipe I selain dari polidipsi
dan poliuria.
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan enuresis terbagi menjadi tiga yaitu terapi perilaku,
farmakoterapi, psikoterapi. Dalam hal penanganan enuresis, yang perlu
diperhatikan adalah edukasi terhadap orang tua. Edukasi tersebut bertujuan
8
agar orang tua tidak melakukan hal yang dapat memperburuk ketegangan anak.
Misalnya, anaknya dipersalahkan, dihukum (disuruh mencuci pakaiannya
sendiri bila sudah basah, disuruh mencium kencingnya), dibuat malu (guru dan
temannya diberitahukan bahwa ia ngompol), atau disbanding-bandingkan
dengan saudara atau teman yang sudah tidak mengompol lagi.
Sebaiknya, anak diberitahu bahwa mengompol yang terjadi bukan karena suatu
penyakit melainkan suatu kebiasaan anak kecil. Selain itu, kita juga
memberitahubahwa bila ia betul - betul ingin berhenti mengompol, maka pasti
akan berhasil.
Terapi perilaku adalah cara yang paling efektif dalam penatalaksanaan
enuresis. Hal ini dibuktikan bahwa lebih dari 50 persen kasus sembuh dengan
teknik terapi perilaku ini. Dalam terapi perilaku, dikenal metode classic
conditioning. Metode ini dapat dilakukan dengan bel atau aparatus pad.
Metode bel dilakukan dengan alat plaswekker. Caranya adalah dengan
meletakkan bantalan di bawah anak yang sedang tidur. Apabila bantalan basah
akibat urin keluar, sirkuit listrik menutup menyebabkan bel berbunyi dan
membangunkan anak yang masih tidur.
Selain itu, latihan sfingter kandung kemih juga dapat dilakukan dalam terapi
perilaku. Meskipun metode ini sedikit kurang efektif daripada metode bel atau
aparatus pad tapi latihan sfingter kandung kemih ini mudah untuk dilakukan.
Caranya adalah dengan cara melatih untuk tidak segera berkemih dan menahan
selama mungkin pada saat siang hari. Apabila si anak berhasil, kita dapat
memberikan hadiah atau pujian.
Penatalaksanaan enuresis yang kedua adalah dengan farmakoterapi.
Farmakoterapi bukan merupakan pilihan pertama dalam penanganan enuresis
ini. Obat-obat yang sering dipakai dalam pengobatan enuresis adalah
imipramin dan desmopressin.
9
Imipramin memiliki efek meningkatkan tonus sfingter kandung kemih. Selain
itu,obat ini juga dapat membuat anak tersebut masuk ke dalam tingkat tidur
yang lebih dalam. Hal ini menyebabkan anak tidak mengompol, karena
mengompol seringterjadi pada saat tingkat tidur yang ringan. Efek samping
obat ini adalah konstipasi, kesulitan dalam memulai berkemih,penurunan nafsu
makan, perubahan kepribadian. Kelebihan dosis imipramin bahkan
menyebabkan kematian. Akibat dari resiko efek samping ini, WHO
tidak merekomendasikan obat ini dalam penatalaksanaan enuresis.
Desmopressin dapat diberikan secara oral atau intranasal. Akan tetapi,
pemberian secara intranasal sudah tidak direkomendasikan lagi karena dapat
mengakibatkan hiponatremia, kejang, bahkan kematian. Desmopressin
diberikan per oral satu jam sebelum tidur. Dosis awal adalah 0,2 mg dan dapat
ditingkatkan hingga dosismaksimal 0,6 mg. Banyak studi yang mengatakan
bahwa desmopressin memiliki efek samping yang rendah.
Penatalaksanaan enuresis yang terakhir adalah dengan psikoterapi. Psikoterapi
tidak efektif sebagai penatalaksanaan tunggal dalam mengurangi enuresis.
Psikoterapi berguna dalam mengatasi masalah kejiwaan dan emosional akibat
dari enuresis itusendiri.
Untuk penanggulangan anak mengompol dapat diambil langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Pembatasan jumlah minuman pada waktu malam hari.
2. Orang tua jangan menghukum anak yang ngompol karena dapat
menimbulkan gangguan psikologis yang justru akan memperberat ngompol.
3. Membangunkan anak setelah beberapa jam tidur dan dibawa ke kamar
mandi untuk kencing.
4. Memasang alarm di tempat tidur, sehingga bila anak ngompol, basah, alarm
berbunyi, sehingga anak terbangun dan anak merasa terganggu oleh bunyi
alarm dan menjadi tidak ngompol lagi. Dengan cara ini orang tua tahu jam
berapa anak biasanya ngompol, sehingga dapat membangunkan dan
menyuruh anak kencing beberapa saat sebelum alarm berbunyi.
10
5. Pengobatan psikologis untuk mencari dan mengatasi faktor psikologis yang
diduga menjadi penyebab ngompol.
6. Gunakan obat-obatan, hanya jika benar-benar diperlukan.
7. Bila anak tidur ngorok karena ada pembesaran kelenjar tonsil dan adenoid,
maka ia perlu diperiksakan ke dokter spesialis THT untuk kemungkinan
dilakukan operasi pembuangan tonsil dan adenoid.
I. Prognosis
Enuresis biasanya hilang dengan sendirinya tanpa kelainan psikologis lanjutan.
Kebanyakan anak yang mengalami enuresis akan memiliki kepercayaan diri
dan hubungan sosial yang baik setelah tidak mengalaminya lagi.
11
DAFTAR PUSTAKA
Mikkelsen, Edwin J. Dalam : Lewis, Melvin. Child and Adolescent
Psychiatry.Maryland : Williams and Wilkins; 1991
Sadock, Benjamin, Virginia Sadock, M.D. Kaplan and Sadock¶s
ComprehensiveTextbook of Psychiatry volume I 9
th
ed. Philadelphia : Lippincott Williams andWilkins; 2009 3.
Depkes RI Dirjen Pelayanan Medik. Pedoman Penggolongan dan
DiagnosisGangguan Jiwa di Indonesia III edisi pertama. Jakarta : ;1993. 4.
Robson, Lane M. Enuresis. 2010.Diunduh
dari :http://emedicine.medscape.com/article/1014762 5.
Maramis, Willy, Albert Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi
Kedua.Surabaya : Pusat Penerbitan dan Percetakan
UN
AIR;2009 6.
Baldew,J.M, Prof.Dr.R.J.Scholtmeijer.Enuresis. Jakarta : EGC Penerbit
BukuKedokteran;1984 7.
N
elson 8.
12
Sadock, Benjamin, Virginia Sadock, M.D. Kaplan and Sadock¶s
ComprehensiveTextbook of Psychiatry volume I 9
th
ed. Philadelphia : Lippincott Williams andWilkins; 2009
http://www.depkes.go.id/downloads/Psikososial.PDF
http://www.depkes.go.id/downloads/Psikososial.PDF
13