bab 1

18
BAB I PENDAHULUAN Umumnya mengompol, yang dalam istilah kedokterannya disebut enuresis, merupakan kebiasaan yang kurang menyenangkan bagi para orangtua itu lebih banyak dijumpai pada anak laki-laki dari pada anak perempuan. Kemungkinan karena faktor aktifitasnya lebih banyak anak laki-laki. Terdapat berbagai gejala gangguan miksi yang perlu dibedakan oleh karena Ngompol atau enuresis dibedakan menjadi dua jenis, yakni primer enuresis dan sekunder enuresis. Primer enuresis adalah kebiasaan ngompol tanpa jeda. Kebiasaan ini berlangsung terus menerus, tidak ada fase kering. Sedangkan sekunder enuresis ada jedanya. Menurutnya, normalnya anak akan berhenti ngompol setelah berusia 5 tahun atau memasuki usia prasekolah. Dari hasil penelitian, kebiasaan mengompol berhenti pada siang hari pada umur 1½ - 2 tahun, dan pada umur 2 ½ - 3 tahun berhenti mengompol pada malam hari. Enuresis pertama kali ditemukan dalam papirus-Ebers yang ditulis oleh Glicklich pada tahun 1550 sebelum Masehi. Kata enuresis itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu enourein yang berarti mengosongkan urin. 1

Upload: yenimarlinanababan

Post on 09-Aug-2015

19 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

jiwa

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 1

BAB I

PENDAHULUAN

Umumnya mengompol, yang dalam istilah kedokterannya disebut enuresis,

merupakan kebiasaan yang kurang menyenangkan bagi para orangtua itu lebih

banyak dijumpai pada anak laki-laki dari pada anak perempuan. Kemungkinan

karena faktor aktifitasnya lebih banyak anak laki-laki. 

Terdapat berbagai gejala gangguan miksi yang perlu dibedakan oleh karena

Ngompol atau enuresis dibedakan menjadi dua jenis, yakni primer enuresis dan

sekunder enuresis. Primer enuresis adalah kebiasaan ngompol tanpa jeda.

Kebiasaan ini berlangsung terus menerus, tidak ada fase kering. Sedangkan

sekunder enuresis ada jedanya. Menurutnya, normalnya anak akan berhenti

ngompol setelah berusia 5 tahun atau memasuki usia prasekolah.

Dari hasil penelitian, kebiasaan mengompol berhenti pada siang hari pada umur

1½ - 2 tahun, dan pada umur 2 ½ - 3 tahun berhenti mengompol pada malam hari.

Enuresis pertama kali ditemukan dalam papirus-Ebers yang ditulis oleh Glicklich

pada tahun 1550 sebelum Masehi. Kata enuresis itu sendiri berasal dari bahasa

Yunani, yaitu enourein yang berarti mengosongkan urin. Akan tetapi,pengertian

pada saat ini tidak sesuai dengan asal kata enuresis itu sendiri. Enuresis sering

dikaitkan secara tidak langsung dengan buang air kecil yang tidak terkontrol di

malam hari.

Pengertian enuresis non organik menurut PPDGJ III adalah suatu gangguan yang

ditandai oleh buang air seni tanpa kehendak, pada siang dan atau malam hari,yang

tidak sesuai dengan usia mental anak dan bukan akibat dari kurangnya

pengendalian kandung kemih akibat kelainan neurologis, serangan epilepsi, atau

kelainan struktural pada saluran kemih.

1

Page 2: Bab 1

Enuresis dapat menimbulkan masalah psikologis. Hal ini dikarenakan anak yang

mengalami enuresis dihukum dan rentan terhadap penyiksaan fisik dan emosional.

Perasaan malu, rendah diri, kualitas hidup yang menurun serta gangguan di

lingkungan sekolah merupakan masalah-masalah yang dapat timbul juga akibat

enuresis.

Akan tetapi, dengan penanganan yang tepat dapat mengurangi kemungkinan

timbulnya masalah-masalah di atas. Dukungan dari orang tua serta kemauan dari

anak itu sendiri merupakan kunci keberhasilan penanganan enuresis ini.

BAB III

ISI

  

A. Definisi 

Pengertian enuresis non organik menurut PPDGJ III adalah suatu gangguan

yang ditandai oleh buang air seni tanpa kehendak, pada siang dan atau malam

hari, yang tidak sesuai dengan usia mental anak dan bukan akibat dari

kurangnya pengendalian kandung kemih akibat kelainan neurologis, serangan

epilepsi, atau kelainan struktural pada saluran kemih.

 

B. Epidemiologi

Enuresis merupakan salah satu gangguan kebiasaan yang sering dijumpai pada

anak. Enuresis lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada

perempuan.

2

Page 3: Bab 1

 Prevalensi enuresis menurun seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi

enuresis akan semakin menurun baik laki-laki dan perempuan pada usia 14

tahun yaitu sekitar 0,5-1,9 persen.

Data menyeluruh pertama tentang insidens enuresis adalah studi Wight Isle.

Dalam data tersebut, 15,2 persen laki-laki (usia 7 tahun) mengalami enuresis

kurang dari 1 kali perminggu, sedangkan 6,7 persen mengalami enuresis lebih

dari 1 kali perminggu.

 Pada anak perempuan usia 7 tahun, 12,2 persen mengalami enuresis kurang

dari 1 kali perminggu, sedangkan 3,3 persen mengalami enuresis lebih dari 1

kali perminggu. Pada anak laki - laki usia 9 dan 10 tahun, 6,1 persen

mengalami enuresis kurang dari 1 kali perminggu, sedangkan 2,9 persen

mengalami enuresis lebih dari 1 kali perminggu. Pada anak perempuan usia 7

tahun, 3,5 persen mengalami enuresis kurang dari 1 kali perminggu, sedangkan

2,9 persen memgalami enuresis lebih dari 1 kali perminggu.

Enuresis lebih sering terjadi pada anak-anak yang berasal dari:

1. Golongan Sosial Ekonomi rendah

2. Anak-anak yang pernah menderita hambatan social atau pdikologis dalam

periode perkembangan antara umur 2-4 tahun pertama kehidupan

3. Latar belakang pendidikan orang tua yang rendah

4. Toilet training yang tidak adekuat

5. Anak pertama

C. Etiologi

 Keturunan

Ada anggapan bahwa faktor keturunan memiliki peranan dalam terjadinya

enuresis. Enuresis lebih cepat timbul pada anak-anak yang orang tuanya atau

salah satu dari mereka pernah mengalami enuresis. Akan tetapi, faktor

keturunan ini masih belum jelas kaitannya dengan terjadinya enuresis.

3

Page 4: Bab 1

Sekitar 43 persen anak yang mengalami enuresis memiliki ayah yang juga

mengalami enuresis pada waktu kecil, 44 persen anak yang mengalami

enuresis memililki ibu yang juga mengalami enuresis pada waktu kecil, dan 77

persen anak yang mengalami enuresis memililki kedua orang tua yang juga

mengalami enuresis pada waktu kecil.

 

Gangguan pertumbuhan  dan gangguan pendewasaan

Meskipun terdapat anak yang sendirinya tidak mengompol, akan tetapi

umumnya perlu diberi petunjuk-petunjuk dalam latihan. Keberhasilan latihan

ini sangat tergantung dengan keadaan keluarga serta kemampuan orang tua.

Harapan orang tua yang terlalu banyak dan terlalu dini membuat latihan terlalu

keras dan memberikan hasil yang kurang. Latihan yang sangat berat serta

pemberian hukuman juga memberikan hasil yang kurang daripada latihan

dengan pendekatan penuh pengertian sambil memberi hadiah. Latihan yang

sangat berat tersebut juga dapat memberikan dampak perlawanan aktif ataupun

pasif dari si anak sehingga timbul enuresis di kemudian hari.

Sosiogenesis

Ada penelitian yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara lingkungan

anak dan terjadinya enuresis. Enuresis lebih banyak ditemukan di kalangan

sosial rendah. Faktor-faktor yang turut menimbulkan enuresis adalah

lingkungan perumahan yang buruk, perumahan yang sempit, fasilitas toilet

yang terbatas, lebih dari satu anak tidur dalam satu tempat tidur.

 Akan tetapi, terdapat penelitian lain yang menyebutkan adanya hubungan yang

lemah atau bahkan tidak terdapat hubungan antara statussosial dengan

terjadinya enuresis.

 

Psikogenesis

4

Page 5: Bab 1

Gangguan-gangguan psikis dapat menghambat anak dalam latihan

menggunakan toilet. Biasanya, terjadi pada anak yang penakut dengan

gangguan perilaku dan gejala-gejala seperti menyedot ibu jari, gagap. Selain

itu, factor-faktor stres dan ketakutan pada masa latihan itu sendiri yang dapat

menimbulkan enuresis dikemudian hari.

 

Faktor-faktor organik 

Kelainan anatomi dan fungsional pada saluran kemih merupakan faktor

organik yang dapat menyebabkan anak tetap mengompol. Faktor-faktor

tersebut antara lain kapasitas kandung kemih, obstruksi saluran kemih, refluks

vesiko-uretral, kelainan-kelainan neurologis, serta infeksi saluran kemih.

Kebiasaan mengompol dapat disebabkan oleh:

1. Gangguan psikologis seperti stres, tertekan, merasa diperlakukan kurang

adil, kurang perhatian dll.

2. Gangguan organis seperti infeksi saluran kencing, sumbatan, dll.

3. Terlambatnya kematangan bagian otak yang mengontrol kencing.

4. Gangguan tidur. Biasanya mereka termasuk yang tidurnya sangat nyenyak

dan ngompolnya bisa terjadi setiap saat dalam waktu tidurnya.

5. Gangguan kekurangan produksi hormon anti diuretik (= hormon anti

kencing) pada malam hari, sehingga pada malam hari produksi air kencing

berlebihan.

6. Gangguan genetik pada kromoson 12 dan 13 yang merupakan gen pengatur

kencing dan pada kelainan ini ada riwayat keluarga dengan ngompol.

7. Ngorok waktu tidur, akibat adanya pembesaran kelenjar tonsil dan adenoid.

Selain itu faktor emosional dapat juga menyebabkan kebiasaan mengompol

pada anak, berupa :

1. Ekspresi daripada perubahan si anak akibat terlalu cepat dilatih dalam toilet

training yang terlalu keras dan dini (waktu anak masih kecil).

2. Latihan yang kurang adekwat yaitu tidak secara rutin dilatih.

3. Overproteksi ibu karena anggapan masih terlalu kecil atau terlalu lemah

untuk dilatih.

5

Page 6: Bab 1

4. Paling penting adalah si anak sedang berusaha mencari perhatian orang tua

(terutama ibunya) karena ibu lebih memberi perhatian pada adiknya atau

anak baru memperoleh adik lagi.

D. Klasifikasi

Enuresis terbagi menjadi dua, yaitu enuresis primer dan enuresis sekunder.

Enuresis primer ditandai oleh mengompol yang terus menerus dan tidak pernah

mampu untuk mengontrol buang air kecil. Enuresis sekunder terjadi pada anak-

anak yang memiliki masalah dalam mengontrol buang air kecil setelah mampu

mengontrol buang air kecil selama 6 bulan atau lebih.

Selain itu, enuresis juga terbagi menurut waktu terjadinya yaitu nokturnal,

diurnal, nokturnal dan diurnal. Tipe nokturnal apabila enuresis terjadi pada saat

tidur (malam hari), tipe diurnal apabila enuresis terjadi pada saat beraktivitas

(siang hari). Diantara ketiga tipe tersebut, yang paling umum adalah tipe

nokturnal.

Penyebab enuresis primer antara lain idiopatik, hiperaktivitas kandung kemih,

konstipasi, diabetes insipidus, obstruksi uretral, ektopik ureter, psikologis.

Penyebab enuresis sekunder antara lain idiopatik, hiperaktivitas kandung

kemih, konstipasi, diabetes insipidus yang`didapat, diabetes mellitus,

neurogenik kandung kemih yang didapat, kelainan neurologis (kejang),

obstruksi uretral yang didapat.

 

E. Diagnosa

Kriteria diagnosa dari kelainan enuresis berdasarkan DSM-IV-TR adalah

Anak berulang kali mengompol di tempat tidur atau pakaian (baik disengaja

maupun tidak).

6

Page 7: Bab 1

Usia kronologis anak minimal 5 tahun (atau anak berada pada tingkat

perkembangan yang setara).

Perilaku tersebut muncul setidaknya dua kali seminggu selama 3 bulan, atau

sudah menyebabkan gangguan yang signifikan dalam fungsi atau terjadi

distres.

 Gangguan ini bukan akibat dari obat-obatan atau pun kelainan organik

(penyakit tertentu). Misalnya obat-obatan diuretik, penyakit diabetes mellitus,

spina bifida, kejang. Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis

Gangguan Jiwa di Indonesia yang ke III (PPDGJ-III), enuresis digolongkan

sebagai gangguan perilaku dan emosional lainnya dengan onset biasanya pada

masa kanak dan remaja dan memiliki kode F98.0.

Pengertian enuresis non organik adalah suartu gangguan yang ditandai oleh

buang air seni tanpa kehendak, pada siang dan atau malam hari, yang tidak

sesuai dengan usia mental anak dan bukan akibat dari kurangnya pengendalian

kandung kemih akibat kelainan neurologis, serangan epilepsi, atau kelainan

struktural pada saluran kemih.

Berdasarkan kriteria diagnosis tersebut, maka untuk menegakkan diagnosa

enuresis kelainan organik harus disingkirkan sebagai penyebab. Hal ini

meliputi infeksi saluran kemih, obstruksi saluran kemih, atau kelainan anatomi

dari saluran kemih. Ketiga hal ini juga sering menjadi penyebab seorang anak

mengalami enuresis.

Selain penyebab, usia dari si anak juga menentukan diagnosis. Tidak adanya

garis pemisah yang tegas antara gangguan enuresis dan variasi normal usia

seorang anak berhasil mencapai kemampuan mengendalikan kandung

kemihnya. Akan tetapi,enuresis tidak lazim didiagnosis terhadap anak dibawah

usia 5 tahun atau dengan usiamental kurang dari 4 tahun.

 

F. Pemeriksaan penunjang

 Urinalisa. 

7

Page 8: Bab 1

Pemeriksaan urinalisa dapat menyingkirkan infeksi saluran kemih sebagai

penyebab enuresis. Selain itu, peningkatan osmolaritas urin serta glukosuria

dapat menjadi petunjuk adanya diabetes sebagai penyebab terjadinya enuresis.

Kultur urin 

Pemeriksaan kultur urin juga dapat digunakan untuk menyingkirkan infeksi

saluran kemih sebagai penyebab enuresis.

  Ultrasonografi saluran kemih dan uroflowmetri 

Tidak semua pasien yang mengalami enuresis dilakukan pemeriksaan ini.

Indikasi dilakukannya pemeriksaan ini apabila terjadinya diurnal serta

nokturnal enuresis dan adanya gangguan pengosongan urin. Sehingga, pasien

dapat dipastikan apakah memiliki kelainan struktur saluran kemih sebagai

penyebab enuresis.

  

G. Diagnosa banding

 Diagnosa banding yang sering adalah infeksi saluran kemih. Hal ini terutama

apabila enuresis yang terjadi pada wanita. Meskipun persentasi yang relatif

rendah, diagnose banding yang mungkin adalah kelainan anatomi atau lesi

obstruktif. Sedangkan untuk enuresis sekunder, diabetes tipe I pada anak

merupakan diagnose banding yang utama. Hal ini dikarenakan enuresis

merupakan salah satu gejala penting pada diabetes tipe I selain dari polidipsi

dan poliuria.

  

H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan enuresis terbagi menjadi tiga yaitu terapi perilaku,

farmakoterapi, psikoterapi. Dalam hal penanganan enuresis, yang perlu

diperhatikan adalah edukasi terhadap orang tua. Edukasi tersebut bertujuan

8

Page 9: Bab 1

agar orang tua tidak melakukan hal yang dapat memperburuk ketegangan anak.

Misalnya, anaknya dipersalahkan, dihukum (disuruh mencuci pakaiannya

sendiri bila sudah basah, disuruh mencium kencingnya), dibuat malu (guru dan

temannya diberitahukan bahwa ia ngompol), atau disbanding-bandingkan

dengan saudara atau teman yang sudah tidak mengompol lagi.

Sebaiknya, anak diberitahu bahwa mengompol yang terjadi bukan karena suatu

penyakit melainkan suatu kebiasaan anak kecil. Selain itu, kita juga

memberitahubahwa bila ia betul - betul ingin berhenti mengompol, maka pasti

akan berhasil.

Terapi perilaku adalah cara yang paling efektif dalam penatalaksanaan

enuresis. Hal ini dibuktikan bahwa lebih dari 50 persen kasus sembuh dengan

teknik terapi perilaku ini. Dalam terapi perilaku, dikenal metode classic

conditioning. Metode ini dapat dilakukan dengan bel atau aparatus pad.

Metode bel dilakukan dengan alat plaswekker. Caranya adalah dengan

meletakkan bantalan di bawah anak yang sedang tidur. Apabila bantalan basah

akibat urin keluar, sirkuit listrik menutup menyebabkan bel berbunyi dan

membangunkan anak yang masih tidur.

Selain itu, latihan sfingter kandung kemih juga dapat dilakukan dalam terapi

perilaku. Meskipun metode ini sedikit kurang efektif daripada metode bel atau

aparatus pad tapi latihan sfingter kandung kemih ini mudah untuk dilakukan.

Caranya adalah dengan cara melatih untuk tidak segera berkemih dan menahan

selama mungkin pada saat siang hari. Apabila si anak berhasil, kita dapat

memberikan hadiah atau pujian.

Penatalaksanaan enuresis yang kedua adalah dengan farmakoterapi.

Farmakoterapi bukan merupakan pilihan pertama dalam penanganan enuresis

ini. Obat-obat yang sering dipakai dalam pengobatan enuresis adalah

imipramin dan desmopressin.

9

Page 10: Bab 1

Imipramin memiliki efek meningkatkan tonus sfingter kandung kemih. Selain

itu,obat ini juga dapat membuat anak tersebut masuk ke dalam tingkat tidur

yang lebih dalam. Hal ini menyebabkan anak tidak mengompol, karena

mengompol seringterjadi pada saat tingkat tidur yang ringan. Efek samping

obat ini adalah konstipasi, kesulitan dalam memulai berkemih,penurunan nafsu

makan, perubahan kepribadian. Kelebihan dosis imipramin bahkan

menyebabkan kematian. Akibat dari resiko efek samping ini, WHO

tidak merekomendasikan obat ini dalam penatalaksanaan enuresis.

Desmopressin dapat diberikan secara oral atau intranasal. Akan tetapi,

pemberian secara intranasal sudah tidak direkomendasikan lagi karena dapat

mengakibatkan hiponatremia, kejang, bahkan kematian. Desmopressin

diberikan per oral satu jam sebelum tidur. Dosis awal adalah 0,2 mg dan dapat

ditingkatkan hingga dosismaksimal 0,6 mg. Banyak studi yang mengatakan

bahwa desmopressin memiliki efek samping yang rendah.

Penatalaksanaan enuresis yang terakhir adalah dengan psikoterapi. Psikoterapi

tidak efektif sebagai penatalaksanaan tunggal dalam mengurangi enuresis.

Psikoterapi berguna dalam mengatasi masalah kejiwaan dan emosional akibat

dari enuresis itusendiri.  

Untuk penanggulangan anak mengompol dapat diambil langkah-langkah sebagai

berikut:

1. Pembatasan jumlah minuman pada waktu malam hari.

2. Orang tua jangan menghukum anak yang ngompol karena dapat

menimbulkan gangguan psikologis yang justru akan memperberat ngompol.

3. Membangunkan anak setelah beberapa jam tidur dan dibawa ke kamar

mandi untuk kencing.

4. Memasang alarm di tempat tidur, sehingga bila anak ngompol, basah, alarm

berbunyi, sehingga anak terbangun dan anak merasa terganggu oleh bunyi

alarm dan menjadi tidak ngompol lagi. Dengan cara ini orang tua tahu jam

berapa anak biasanya ngompol, sehingga dapat membangunkan dan

menyuruh anak kencing beberapa saat sebelum alarm berbunyi.

10

Page 11: Bab 1

5. Pengobatan psikologis untuk mencari dan mengatasi faktor psikologis yang

diduga menjadi penyebab ngompol.

6. Gunakan obat-obatan, hanya jika benar-benar diperlukan.

7. Bila anak tidur ngorok karena ada pembesaran kelenjar tonsil dan adenoid,

maka ia perlu diperiksakan ke dokter spesialis THT untuk kemungkinan

dilakukan operasi pembuangan tonsil dan adenoid.

I. Prognosis

Enuresis biasanya hilang dengan sendirinya tanpa kelainan psikologis lanjutan.

Kebanyakan anak yang mengalami enuresis akan memiliki kepercayaan diri

dan hubungan sosial yang baik setelah tidak mengalaminya lagi.

11

Page 12: Bab 1

DAFTAR PUSTAKA

Mikkelsen, Edwin J. Dalam : Lewis, Melvin. Child and Adolescent

Psychiatry.Maryland : Williams and Wilkins; 1991

Sadock, Benjamin, Virginia Sadock, M.D. Kaplan and Sadock¶s

ComprehensiveTextbook of Psychiatry volume I 9

th

ed. Philadelphia : Lippincott Williams andWilkins; 2009 3.

 

Depkes RI Dirjen Pelayanan Medik. Pedoman Penggolongan dan

DiagnosisGangguan Jiwa di Indonesia III edisi pertama. Jakarta : ;1993. 4.

 

Robson, Lane M. Enuresis. 2010.Diunduh

dari :http://emedicine.medscape.com/article/1014762  5.

 

Maramis, Willy, Albert Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi

Kedua.Surabaya : Pusat Penerbitan dan Percetakan

UN

AIR;2009 6.

 

Baldew,J.M, Prof.Dr.R.J.Scholtmeijer.Enuresis. Jakarta : EGC Penerbit

BukuKedokteran;1984 7.

 

N

elson 8.

 

12

Page 13: Bab 1

Sadock, Benjamin, Virginia Sadock, M.D. Kaplan and Sadock¶s

ComprehensiveTextbook of Psychiatry volume I 9

th

ed. Philadelphia : Lippincott Williams andWilkins; 2009

http://www.depkes.go.id/downloads/Psikososial.PDF

http://www.depkes.go.id/downloads/Psikososial.PDF

13