bab 1

65
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin majunya teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan, maka semakin tinggi pula tuntutan masyarakat yang berkaitan dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan tentang kesehatan.Selain itu dalam system kesehatan nasional dijelaskan bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur tujuan nasional. Untuk mencapai derajat kesehatan tersebut berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative, namun masih banyak permasalahan-permasalahan yang dijumpai masyarakat, salah satunya penyakit atau gangguan system pernafasan asma bronchiale. (Depkes RI, 2002). Asma merupakan penyakit yang memiliki karakteristik dengan sesak napas dan wheezing, dimana keparahan dan frekuensi dari tiap orang berbeda.Kondisi ini akibat kelainan inflamasi dari jalan napas di paru-paru dan mempengaruhi sensitivitas saraf pada jalan napas sehingga mudah teriritasi.Pada saat serangan, alur jalan napas membengkak karena penyempitan jalan napas dan pengurangan aliran udara yang masuk ke paru-paru (WHO, 2011).

Upload: itho-supril

Post on 06-Jul-2015

2.039 views

Category:

Education


9 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semakin majunya teknologi dan perkembangan ilmu

pengetahuan, maka semakin tinggi pula tuntutan masyarakat yang

berkaitan dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan

tentang kesehatan.Selain itu dalam system kesehatan nasional

dijelaskan bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya

kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat

mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur

tujuan nasional. Untuk mencapai derajat kesehatan tersebut berbagai

upaya telah dilakukan oleh pemerintah baik promotif, preventif, kuratif

dan rehabilitative, namun masih banyak permasalahan-permasalahan

yang dijumpai masyarakat, salah satunya penyakit atau gangguan

system pernafasan asma bronchiale. (Depkes RI, 2002).

Asma merupakan penyakit yang memiliki karakteristik dengan

sesak napas dan wheezing, dimana keparahan dan frekuensi dari tiap

orang berbeda.Kondisi ini akibat kelainan inflamasi dari jalan napas di

paru-paru dan mempengaruhi sensitivitas saraf pada jalan napas

sehingga mudah teriritasi.Pada saat serangan, alur jalan napas

membengkak karena penyempitan jalan napas dan pengurangan

aliran udara yang masuk ke paru-paru (WHO, 2011).

2

Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan

faktor autonom, imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam

berbagai tingkat pada berbagai individu.Penyebab pastinya belum

jelas, namun diduga hipereaktivitas bronkus. Hiperaktivitas bronkus

sendiri, diduga karena hambatan sebagai sistem adrenergik,

kurangnya enzim adenilsiklase dan meningginya tonus sistem

parasimpatik yang akan mengakibatkan spasme bronkus.

Menurut WHO Prevalensi asma di seluruh dunia adalah

sebesar 81% pada anak dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun

terakhir ini meningkat sebesar 50% . Berdasarkan laporan National

Center for Health Statistics atau NCHS (2003), prevalensi serangan

asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah

anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah

dewasa 7,8 juta). WHO juga memperkirakan terdapat sekitar 250.000

kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan NCHS tahun

2000 terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu

populasi (Kartasasmita, 2008).

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

tahun 2008, penyakit-penyakit yang menyebabkan sesak napas seperti

bronchitis, emfisema dan asma merupakan penyebab kematian ke-7 di

Indonesia. Di Indonesia kira-kira 2-20% populasi anak yang dilaporkan

pernah menderita asma. Belum ada penyelidikan yang

menyeluruh tetapi diperkirakan berkisar antara 5-10%. Di poliklinik

3

Subbagian Paru Anak FKUI/RSCM Jakarta lebih dari 50% kunjungan

merupakan pasien asma (Kemenkes, 2011).

Penemuan penderita asma pada balita di Sulawesi Tenggara,

sejak tahun 2011 hingga 2013, berturut–turut adalah 34.278 kasus,

tahun 2012 35.126 kasus, tahun 2013 sebanyak 35.537 kasus (Dinkes

Sultra).

Untuk data awal yang didapatkan melalui Dinkes Kabupaten

Konawe jumlah penderita asma bronchial tahun 2011 pada balita

adalah 4.175 (51,08%) kasus, pada tahun 2012 jumlah penderita asma

pada balita semakin meningkat yakni 4.265 (67,50%) kasus, dan pada

tahun 2013 berjumlah 4.305 (50,30%) kasus (Dinkes Konawe).

Data awal yang didapatkan di BLUD RSU Konawe khususnya

diruang perawatan zaal anak, tahun 2011 terdapat 327 orang anak

mengalami asma bronchial, 2012 sebanyak 348 orang, dan tahun

2013 didapatkan 352 orang anak mengalami penyakit asma bronchial

(Rekam medis BLUD RSU Konawe).

Persoalan asma harus ditangani secara serius karena

merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang dulu

merupakan salah satu penyebab kematian dan mengurangi

produktivitas penyandangnya. Dengan obat dan cara pengelolaan

yang baru, seharusnya asma bukan masalah lagi di Indonesia.

(Nataprawira, 2008).

4

Salah satu terapi yang sering digunakan sekarang untuk

penyakit asma adalah terapi inhalasi.Terapi inhalasi merupakan salah

satu bentuk lain pemberian obat yang sudah banyak digunakan saat

ini. Terapi ini sudah lama dikenal pemakaiannya ± 4000 tahun SM

pada masyarakat Mesir, India, Yunani maupun Roma. Di Indonesia,

penggunaan inhalasi telah danyak digunakan sejak jaman dahulu

sebagai terapi pada salesma dengan menggunakan uap panas.

Penggunaan aerosol sebagai terapi inhalasi diperkenalkan pertama

kali oleh Schneider dan Waltz pada tahun 1829.

Sebenarnya prinsip terapi inhalasi telah digunakan sejak dahulu

misalnya penggunaan asap untuk pengobatan batuk. Pada awal

penggunaannya sebagai pengobatan, terapi ini hanya mengubah obat

cair menjadi bentuk aerosol, namun dalam perkembangannya bentuk

lainpun dapat digunakan sebagai terapi inhalasi, yaitu bentuk powder

(bubuk). Serta bahan yang digunakan tidak turut dipertimbangkan

pengaruhnya terhadap lingkungan pada awalnya, tetapi akhir-akhir ini

mulai dikembangkan penggunaan propelan yang bersahabat dengan

lingkungan yaitu yang tidak merusak lapisan ozon (Supriyanto B,

2001).

Asma merupakan salah satu gangguan pernafasan yang sering

di dapatkan pada anak anak, dimana terjadi suatu proses inflamasi

yang berakibat timbulnya gejala penyempitan jalan nafas berupa sesak

nafas dan episode mengi berulang. Pengobatan asma bertujuan untuk

5

menghentikan serangan asma secepat mungkin serta mencegah

serangan berikutnya ataupun bila timbul serangan kembali diusahakan

agar serangannya tidak berat.Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

diberi obat bronkodilator pada saat serangan dan atau obat

antiinflamasi sebagai obat pengendali untuk menekan reaksi inflamasi

yang terjadi. Pemberian obat pada asma dapat dengan berbagai

macam cara yaitu parenteral, oral, atau inhalasi (Kaswandani N, 2008).

Bronkospasme mengakibatkan gangguan dalam pertukaran

gas dan bila terjadi pada klien, gejalanya yaitu klien sukar bernafas.

Pengobatan yang tepat,cepat, dan dapat bekerja efektif sangat

dianjurkan, salah satu obatnya yaitu bronkodilator. Pemberian

bronkodilator ini melalui jalur inhalasi, pengobatan ini bertujuan untuk

memperlebar jalan nafas, dengan melemaskan otot bronkioli atau

mengurangi rasa radang. Terapi inhalasi merupakan satu teknik

pengobatan penting dalam proses pengobatan penyakit respiratori

(saluran pernafasan) akut dan kronik. Penumpukan mukus di dalam

saluran napas, peradangan dan pengecilan saluran napas ketika

serangan asma dapat dikurangi secara cepat dengan obat dan teknik

penggunaan inhaler yang sesuai (Hasan rusepno, 2008).

Terapi inhalasi adalah pemberian obat yang secara langsung

ke dalam saluran napas melalui hirupan.Terapi pemberian ini, saat ini

makin berkembang luas dan banyak dipakai pada pengobatan

penyakit-penyakit saluran napas.Berbagai macam obat seperti

6

antibiotik, mukolitik, anti inflamasi dan bronkodilator sering digunakan

pada terapi inhalasi. Obat asma inhalasi yang memungkinkan

penghantaran obat langsung ke paru-paru, dimana saja dan kapan

saja akan memudahkan pasien mengatasi keluhan sesak napas.

Untuk mencapai sasaran di paru-pari, partikel obat asma inhalasi yang

berbentuk aerosol ini harus berukuran sangat kecil (2-5 mikron) (The

New England Journal of Medicine 2003).

Derivat isoprenalin ini merupakan adrenergikan pertama (1986)

yang pada dosis biasa memiliki daya kerja yang lebih kurang spesifik

terhadap reseptor b2.selain berdaya bronchodilatasi baik, ventolin

dengan isi salbutamol juga memiliki efek lemah terhadap stabilisasi

mastcell, maka sangat efektif mencegah maupun meniadakan

serangan asma. Dewasa ini obat ini sudah lazim digunakan dalam

bentuk dosis-aerosol berhubung efeknya pesat dengan efek samping

yang lebih ringan daripada penggunaan per oral. Pada saat inhalasi

seruk halsu atau larutan, kira-kira 80% mencapai trachea, tetapi hanya

7-8% dari bagian terhalus (1-5 mikron) tiba di bronchioli dan paru-paru.

(http//:farmakologi.com).

Prof.Dr. Zullies Ikawati, Apt, salah satu staf pengajar di Fakultas

Farmasi UGM.Zullies memulai penjelasan mengenai obat golongan

steroid. Contoh obat golongan steroid antara lainbudesonide,

beclometason dan deksametason. Obat lini pertama dalam terapi

asma ini umum digunakan untuk tujuan pencegahan kambuhnya

7

asma.Kendati dapat pula untuk mengatasi keadaan saat asma

kambuh. Pada terapi pencegahan yang mengharuskan pasien

mengkonsumsi obat secara rutin sebaiknya menggunakan bentuk

sediaan inhalasi atau lebih dikenal dengan sebutan metered dose

inhaler (MDI).Penggunaan inhalasi memiliki memiliki onset lebih cepat

dibandingkan dengan penggunaan per oral (obat diminum sehingga

melewati saluran cerna).Efek samping pun bisa diminimalisir karena

obat hanya bekerja di seputar saluran pernapasan

(http://pharmacy.go.my/patient_education/inhalation_malay.shtml).

Alat yang sering digunakan untuk melakukan terapi inhalasi

pada pasien asma adalah nebulizer.Nebuliser merupakan suatu alat

yang dapat mengubah obat yang bentuk awalnya berupa larutan lalu

diubah menjadi bentuk aerosol yang dikeluarkan secara terus menerus

dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau

gelombang ultrasonik. Dalam prakteknya dikenal 2 jenis alat nebuliser

yaitu ultrasonic nebuliser dan jet nebulizer (Kaswandani N, 2008)

Terlepas dari uraian diatas, khususnya diruang perawatan zaal

anak BLUD RSU Konawe, dr.ahli anak terkadang memberikan terapi

inhalasi menggunakan jet nebulizer tanpa menggunakan obat inhalasi

seperti ventolin ataupun combivent. Tetapi menggunakan cairan NaCl

dosis 3 ml/8 jam pada pasien anak yang dirawat diruang perawatan

anak dengan diagnosa medis asma bronchiale.

8

Berdasarkan permasalahan diatas, maka dengan ini peneliti

tertarikuntukmeneliti efektifitas pemberian terapi inhalasi nebulizer

menggunakan ventolin dan cairan NaCl terhadap pasien asma

bronchiale di ruang perawatan anak BLUD RSU Konawe tahun 2014”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat

dirumuskan permasalahan :

1. Apakah pemberian terapi inhalasi nebulizer menggunakan ventolin

efektif terhadap pasien asma bronchiale di ruang perawatan anak

BLUD RSU Konawe tahun 2014 ?

2. Apakah pemberian terapi inhalasi nebulizer menggunakan cairan

NaCl efektif terhadap pasien asma bronchiale di ruang perawatan

anak BLUD RSU Konawe tahun 2014 ?.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektifitas terapi inhalasi nebulizer terhadap

pasien asma bronchiale di ruang perawatan anak BLUD RSU

Konawe tahun 2014.

9

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui efektifitas terapi inhalasi nebulizer

menggunakan ventolin terhadap pasien asma bronchiale di

ruang perawatan anak BLUD RSU Konawe tahun 2014.

b. Untuk mengetahui efektifitas terapi inhalasi nebulizer

menggunakan cairan NaCl terhadap pasien asma bronchiale di

ruang perawatan anak BLUD RSU Konawe tahun 2014.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan masukan untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan khususnya tentang efektifitas terapi inhalasi

nebulizer menggunakan ventolin dan cairan NaCl terhadap

pasien asma bronchiale di ruang perawatan anak BLUD RSU

Konawe tahun 2014.

b. Dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam meningkatkan

mutu pelayanan kesehatan dan asuhan keperawatan di BLUD

RSU Konawe.

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi

peneliti maupun pihak lain mengenai manfaat penggunaan terapi

inhalasi nebulizer terhadap pasien asma bronchiale khususnya

pada anak yang mengalami penyakit asma bronchiale

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi Sistem Pernafasan

Untuk memahami tentang penggunaan nebulizer, anatomi dan

fisiologi pernapasan harus dipahami terlebih dahulu. Secara fungsional

saluran pernapasan dibagi atas bagian yang berfungsi sebagai

konduksi dan respirasi. Pada bagian konduksi, udara bolak-balik di

antara atmosfir dan jalan napas seakan organ ini tidak berfungsi (dead

space), akan tetapi organ tersebut selain sebagai konduksi juga

berfungsi sebagai proteksi dan pengaturan kelembaban udara. Bagian

konduksi meliputi rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea,

brnkus, bronkiolus nonrespiratorius (Harris, David. 2006).

Pada bagian respirasi terjadi pertukaran udara (difus) yang

sering disebut dengan unit paru, yang terdiri dari bronkiolus

respiratorius, duktus alveolaris, dan sakus alveolaris. Tujuan utama

respirasi adalah untuk menyediakan oksigen (O2) bagi sel-sel tubuh

dan membawa karbondioksida (CO2) darinya. Agar respirasi dapat

berlangsung harus ada jalan untuk membawa oksigen ke tubuh dan

system sirkulasi yang mengantarkannya pada sel-sel tubuh serta

mengeluarkan CO2 dari sel-sel tersebut. Transport O2 berlangsung

melalui saluran pernapasan atas dan bawah (Ward, Jeremy, dkk.

2008).

11

Saluran pernapasan atas terdiri dari hidung, nasofaring, mulut

dan orofaring serta laring. Saluran napas bawah dibentuk oleh trakea,

saluran utama bronkus, bronkhiolus dan duktus alveolaris, yang

kemudian berakhir pada alveoli. Saluran pernapasan, dalam

melakukan fungsinya sebagai saluran udara, memiliki 3 fungsi:

menyaring, menghangatkan, dan melembabkan udara (Ganong WF,

2008).

Secara histolgis epitel yang melapisi permukaan saluran

pernapasan terdiri dari epitel gepeng berlapis berkeratin dan tanpa

keratin di bagian rongga mulut; epitel silindris bertingkat bersilia pada

rongga hidung, trakea, dan bronkus; epitel kuboid selapis bersilia pada

bronkiolus repiratorius; epitel gepeng selapis pada duktus alveolaris

dan sakus alveolaris serta alveolus. Dibawah lapisan epitel tersebut

terdapat lamina propria yang berisi kelenjar-kelenjar, pembuluh darah,

serabut saraf dan kartilago. Dan berikutnya terdapat otot polos serta

serabut elastin(Ganong WF, 2008).

Sebelum mencapai alveoli, udara yang dihirup melalui suatu

saluran pernapasan dibersihkan dari semua partikel yang berdiameter

lebih dari 2 µm. Pembersihan terhadap partikel–partikel ini, seperti

debu dan bakteri, memungkinkan sterilisasi pada alveolus. Benda–

benda asing disaring melalui beberapa mekanisme. Sel–sel goblet

pada lapisan epitel saluran pernapasan menghasilkan sejumlah

substansi mukopolisaarida yang tebal, yakni mucus. Silia, yang

12

ditemukan sepanjang percabangan saluran pernapasan seperti bronki,

akan mendorong mucus dan benda – benda asing menuju faring yang

kemudian akan dikeluarkan dengan batuk dan bersin(Rab T. 2006).

Selama inspirasi udara di panaskan sesuai dengan suhu tubuh,

dan lebih dari 1000 ml air digunakan perhari untuk meningkatkan

kelembaban udara yang dihirup sampai paling tidak 80%, dan

disimpan sebagai cadangan cairan, rata-rata sebanyak 300 ml air

perhari dalam respirasi yang normal(Ganong WF, 2008).

Pada sistem respirasi, alveolus merupakan unit dasar untuk

pertukaran gas pada sistem respirasi. Pada paru orang sehat, alveoli

yang berjumlah lebih dari 300 juta merupakan kantong-kantong kecil

berasal dari duktus alveolaris. Duktus alveolaris terdiri dari otot polos

yang mampu melebar dan berkontraksi. Alveoli sendiri terdiri dari

selapis epitel skuamosa dan suatu membran basalis yang elastis.

Kedua lapisan ini bersama lapisan endotel dan membrane basalis

kapiler, membentuk membran alveolar-kapilar atau interface.

Pertukaran gas terjadi melewati membran yang tebalnya kurang dari 1

um ini(Ganong WF, 2008).

Paru terdiri atas beberapa lobus, paru kanan terdiri dari 3 lobus,

atas, tengah, dan bawah. Paru kiri memiliki dua lobus, atas dan bawah.

Udara dialirkan kesetiap lobus melalui bronkus lobaris yang

merupakan cabang dari bronkus utama. Perbedaan penting antara

paru kanan dan kiri adalah dalam hal ukuran saluran udaranya.

13

Bronkus dari trakea sehingga lebih sering menjadi tempat masuknya

bahan – bahan yang aspirasi. Bronkus kiri lebih sempit dan berjalan

dengan membentuk sudut yang lebih tajam dengan trakea, menjadikan

sekret dari paru kiri lebih sulit untuk

dikeluarkan(http://www.asthmastuff.com/nebulizer.htm).

Paru terletak disebelah dalam dan dilindungi oleh rongga

toraks. Rongga thorak dilapisi pleura. Pleura adalah suatu membran

serosa yang luas, satu permukaannya melapisi bagian dalam rangka

kosta ( pleura parietalis ) sedangkan permukaan pleura yang lainnya (

pleura visceralis ) membungkus paru. Ruang diantara kedua

permukaan itu dikenal sebagai “ ruang potensial “. Ruang ini biasanya

mengandung beberapa millimeter cairan seerosa yang mencegah

pergesekan pada saat kedua permukaan tersebut saling bertemu.

Proses respirasi meliputi ventilasi, perfusi dan difusi. Ventilasi

meliputi pergerakan keluar masuknya udara melalui cabang – cabang

trakeo-bronkial, sehingga oksigen sampai pada alveoli dan

karbondioksida di buang. Perfusi adalah istilah untuk aliran darah pada

kapiler paru. Difusi adalah proses pergerakan gas ( O2 dan CO2 )

melintasi membran alveolar–kapiler yang alirannya di mulai dari daerah

dengan konsentrasi yang besar kedaerah dengan konsentrasi yang

lebih kecil, menimbulkan keseimbangan alveokapiler (Hoan dkk, 2010).

Berdasarkan semua di atas, barulah kita pahami bagaimana

obat inhalasi dapat masuk dan bekerja pada paru. Obat masuk dengan

14

perantara udara pernapasan (mekanisme inspirasi dan ekspirasi)

melalui saluran pernapasan, kemudian menempel pada epitel

selanjutnya diabsorpsi dan sampai pada target organ bisa berupa

pembuluh darah, kelenjar, dan otot polos.

B. Tinjauan Umum Tentang Penyakit Asma Bronchiale

1. Definisi asma bronchial

Istilah asma dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah”

dan berarti serangan napas pendek. Meskipun dahulu istilah ini

digunakan untuk menyatukan gambaran klinis napas pendek tanpa

memandang sebabnya, sekarang istilah ini hanya ditujukan untuk

keadaan-keadaan yang menunjukkan respon abnormal saluran

napas terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan

penyempitan jalan napas yang meluas. (Price, 2005).

Asma Bronkial adalah penyakit pernafasan obstruktif yang

ditandai oleh spasme akut otot polos bronkiolus.Hal ini

menyebabkan obsktrusi aliran udara dan penurunan ventilasi

alveolus.(Huddak & Gallo, 2007).

Prinsip yang mendasari asma menurut beberapa definisi

diatas bahwa pada asma bronkial ini terjadi penyempitan bronkus

yang bersifat reversible yang terjadi oleh karena bronkus yang

hiperaktif mengalami kontaminasi dengan antigen. Asma bronkial

juga bisa dikatakan suatu sindrom yang ditandai dengan adanya

15

sesak nafas dan wheezing yang disebabkan oleh karena

penyempitan menyeluruh dari saluran nafas intra pulmonal (Huddak

& Gallo, 2007).

2. Patofisiologi asma bronchial

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah

faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat

menginduksi respons inflamasi akut.Asma dapat terjadi

melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur

imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi

hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan

fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan

kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE ab-

normal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi.Pada

asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan

sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat

dengan bronkiolus dan bronkus kecil.Bila seseorang

menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE or-

ang tersebut meningkat.Alergen kemudian berikatan dengan

antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan

sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam media-

tor.Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin,

leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu

akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus

16

kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus,

dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan

inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,

obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit

setelah pajanan alergen.Spasme bronkus yang terjadi

merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama

histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus.

Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen

dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang

sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil,

sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan

sel-sel kunci dalam patogenesis asma.

Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan

mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus

vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan

vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator

inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan

membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan

alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan

reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator

yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat

terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi,

inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan

17

tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf

eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya

neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcito-

nin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang

menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus,

eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel

inflamasi.

Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma,

besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur

secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif

beratnyahipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk

mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji

provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen,

maupun inhalasi zat nonspesifik (Iris rengganas, 2008).

3. Etiologi

a. Faktor Ekstrinsik

Asma yang timbul karena reaksi hipersensitivitas yang

disebabkan oleh adanya IgE yang bereaksi terhadap antigen

yang terdapat di udara (antigen – inhalasi ), seperti debu rumah,

serbuk – serbuk dan bulu binatang.

b. Faktor Intrinsik

Infeksi misalnya Virus yang menyebabkan ialah para

influenza virus, respiratory syncytial virus (RSV),

18

bakterimisalnya pertusis dan streptokokkus, jamur, misalnya

aspergillus, cuaca misalnya perubahan tekanan udara, suhu

udara, angin dan kelembaban dihubungkan dengan

percepataniritan bahan kimia, minyak wangi, asap rokok,

polutan udara, emosional seperti takut, cemas dan tegang,

aktifitas yang berlebihan misalnya berlari.

4. Manifestasi Klinik

a. Wheezing

b. Dyspnea dengan lama ekspirasi, penggunaan otot- otot asesori

pernapasan

c. pernapasan cuping hidung

d. batuk kering ( tidak produktif) karena secret kental dan lumen

jalan napas sempit

e. diaphoresis

f. Sianosis

g. Nyeri abdomen karena terlibatnya otot abdomen dalam

pernapasan

h. Kecemasan, labil dan penurunan tingkat kesadarn

i. Tidak toleran terhadap aktifitas : makan, bermain, berjalan,

bahkan bicara

5. Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Asma

Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

asma adalah :

19

a. Imunitas dasar

Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada

asma kemungkinan terjadi ekspresi sel Th2 yang berlebihan

(NHLBI, 2007). Menurut Moffatt, dkk (2007), gen ORMDL3

mempunyai hubungan kuat sebagai faktor predisposisi asma

(Moffatt, dkk 2007).

b. Umur

Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak

(7-10%), yaitu umur 5 - 14 tahun.Sedangkan pada orang

dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar 3-5%

(Asthma and Allergy Foundation of America, 2010). Menurut

studi yang dilakukan oleh Australian Institute of Health and

Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok umur 18 - 34

tahun adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun menjadi

8.8%. Di Jakarta, sebuah studi pada RSUP Persahabatan

menyimpulkan rerata angka kejadian asma adalah umur 46

tahun (Pratama dkk, 2009).

c. Jenis Kelamin

Jenis kelamin laki-laki merupakan sebuah faktor resiko

terjadinya asma pada anak -nak. Akan tetapi pada masa

pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering

terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007). Pada manusia dewasa

20

tidak didapati perbedaan angka kejadian asma di antara kedua

jenis kelamin (Maryono, 2009).

d. Factor Pencetus

Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus

asma yang paling penting.Alergen - allergen ini dapat berupa

kutu debu, kecoak, binatang, dan polen/tepung sari. Kutu debu

umumnya ditemukan pada lantai rumah, karpet

dan tempat tidur yang kotor. Kecoak telah dibuktikan

menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah di

perkotaan. Paparan terhadap binatang, khususnya bulu anjing

dan kucing dapat meningkatkan sensitisasi alergi asma.

Konsentrasi polen di udara bervariasi pada setiap daerah dan

biasanya dibawa oleh angin dalam bentuk partikel - partikel

besar (Ownby dkk (2002).

Iritan - iritan berupa paparan terhadap rokok dan bahan

kimia juga telah dikaitkan dengan kejadian asma. Dimana

rokok diasosiasikan dengan penurunan fungsi paru pada

penderita asma, meningkatkan derajat keparahan asma, dan

mengurangi responsivitas terhadap pengobatan asma dan

pengontrolan asma. Balita dari ibu yang merokok mempunyai

resiko 4 kali lebih tinggi menderita kelainan seperti mengi dalam

tahun pertama kehidupannya (Dezateux dkk (1999).

21

Kegiatan fisik yang berat tanpa diselingi istirahat yang

adekuat juga dapat memicu terjadinya serangan asma Riwayat

penyakit infeksi saluran pernapasan juga telah dihubungkan

dengan kejadian asma. Menurut sebuat studi prospektif oleh

sekitar 40% anak penderita asma dengan riwayat infeksi saluran

pernapasan (Respiratorysyncytialvirus) akan terus menderita

mengi atau menderita asma dalam kehidupannya (Nurafiatin

dkk, 2007).

6. Pathogenesis

Konsep patogenesis asma adalah inflamasi kronis,

berupa penyempitan dinding saluran pernafasan yang

menyebabkan aliran udara yang keluar semakin

terbatas, selain itu saluran nafas yang semakin responsif

ketika menerima rangsangan dari beberapa stimulan. Ciri khas

inflamasi saluran pernafasan adalah bertambahnya jumlah

aktivitas eosinofil, sel mast, makrofag, limfosit T di

mukosa saluran pernafasan dan lumen. Bersamaan dengan

terjadinya inflamasi kronis terjadi, stimulan epitel brokial

memperbaiki radang sehingga terjadi pergantian fungsi dan

struktural (biasanya disebut remodeling). Hal ini berlangsung

secara terus menerus sehingga timbul gambaran khas asma dari

respon inflamasi dan remodeling saluran pernafasan

(Mangunnegoro H, 2006).

22

Masuknya agen lingkungan ke dalam pejamu dapat

menimbulkan pengaruh yang merugikan terhadap sel saluran

pernafasan.Saluran pernafasan terdiri dari otot polos dan sel-sel

kelenjar traktus respiratorius.Pengaruh agen lingkungan yang kuat

dapat menyebabkan peningkatan kontraktilitas dengan

bronkonspasme dan peningkatan sekresi mukus yang merupakan

ciri khas dari asma (Alsagaff H, 2005).

Pada mekanisme imun, masuknya agen lingkungan ke

dalam tubuh diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells = sel

penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan agen lingkungan

tersebut dikomunikasikan kepada sel T penolong). Sel T

penolong memberikan paparan agent lingkungan kepada

interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma

membentuk IgE, dan beberapa agen melewati sel fagosit atau sel

mediator terlebih dahulu. Sel fagosit adalah elemen-

elemen yang terlibat dalam proses penelanan dan memakan

partikel-partikel dari lingkungan eksterna; dapat dipandang

sebagai penghalang antara lingkungan dan sel sasaran,

melindungi sel sasaran dari injuri selanjutnya. Fagositosis dilakukan

oleh makrofag, neutrofil, dan eosinofil. Sel-sel ini,

bersamaan dengan mekanisme efektor yang dipicu dalam

mobilitasnya. Beberapa faktor kemotaktik yang

dibangkitkan dari sistem komplemen atau berasal dari

23

limfosit yang dapat menyebabkan berkumpulnya sel-sel fagosit

didaerah inflamasi. Pengaruh dari proses ini adalah mobilisasi sel

fagosit yang digunakan untuk perlindungan sel

sasaran dari injuri. Namun terkadang sel fagosit dapat

menambah injuri jaringan dengan keluarnya produk-produk

intraseluler, seperti terjadinya alterasi dalam kumpulan epitel,

abnormalitas dalam kontrol saraf autonomik pada irama saluran

pernafasan, mukus hipersekresi, perubahan fungsi mokosiliary, dan

otot polos pada saluran pernafasan yang responsive (Syafiuddin T,

2006).

Agen lingkungan juga melakukan interaksi dengan sel

mediator. Sel mediator melakukan fungsinya dengan melepaskan

zat-zat kimia yang mempunyai aktivitas biologik, misalnya

menambah permeabilitas dinding vaskuler, edema saluran

pernafasan, infiltrasi sel-sel radang, sekresi

mucus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan saluran

pernafasan yang hiperrespons. Sel-sel mediator,

hampir sama dengan sel sasaran yang mewakili jenis

kelompok morfologi heterogen seperti sel mast, basofil, dan

neutrophil yang mampu mempengaruhi asma (Irit Rengganis,

2008).

Respon interaksi agen lingkungan terhadap sel-sel

mediator, terjadi pembentukan dan pelepasan beberapa zat

24

yang dapat berpotensi sebagai pencetus asma. Zat-zat tersebut

diantaranya histamin, serotinin, kinin, prostaglandin, tromboksan,

leukotrin C4, D4, dan E4 (yang merupakan substansi reaktif lambat

dari anafilaksis), faktor kemotaktik eosinofilik dari anafilaksis (ECF-

A), dan faktor pengaktif trombosit. Terbentuknya zat tersebut,

dapat mempengaruhi respons imunologi nonspesifik dan bekerja

dengan sel sasaran seperti alergi dan asma ekstrinsik, atau sel

fagosit dengan peningkatan kemotaksik. Bronkokonstriksi timbul

akibat adanya reaksi hipersensitivitas tipe I dan tipe IV.Reaksi

hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik, terjadi akibat

respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan

jaringan tubuh (Irit Rengganis, 2008).

7. Stadium Asma

a. Stadium I

Waktu terjadinya edema dinding bronkus, batuk

proksisimal, karena iritasi dan batuk kering. Sputum yang kental

dan mengumpul merupakan benda asing yang merangsang

batuk

b. Stadium II

Sekresi bronkus bertambah banyak dan batuk dengan

dahak yang jernih dan berbusa. Pada stadium ini anak akan

mulai merasa sesak napas berusaha bernapas lebih dalam.

Ekspirasi memanjang dan terdengar bunyi mengi.Tampak otot

25

napas tambahan turut bekerja.Terdapat retraksi supra sternal,

epigastrium dan mungkin juga sela iga.Anak lebih senang

duduk dan membungkuk, tangan menekan pada tepi tempat

tidur atau kursi. Anak tampak gelisah, pucat, sianosisi sekitar

mulut, toraks membungkuk ke depan dan lebih bulat serta

bergerak lambat pada pernapasan. Pada anak yang lebih kecil,

cenderung terjadi pernapasan abdominal, retraksi supra sternal

dan interkostal.

c. Stadium III

Obstruksi atau spasme bronkus lebih berat , aliran udara

sangat sedikit sehingga suara napas hampir tidak

terdengar.Stadium ini sangat berbahaya karena sering disangka

ada perbaikan.Juga batuk seperti ditekan.Pernapasan dangkal,

tidak teratur dan frekuensi napas yang mendadak meninggi

(Roy CJ, Milton DK, 2004).

8. Penatalaksanaan

Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat

mengontrol manifestasi klinis dari penyakit untuk waktu yang lama,

meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita

asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan

aktivitas sehari-hari. GINA (2009) dan PDPI (2006)

menganjurkan untuk melakukan penatalaksanaan berdasarakan

control (GINA, 2009).

26

Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang

terkontrol terdapat dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu:

medikasi dan Pengobatan berdasarkan derajat

a. Medikasi

Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan

melalui berbagai cara seperti inhalasi, oral dan parenteral.

Dewasa ini yang lazim digunakan adalah melalui inhalasi agar

langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik yang

minimal ataupun tidak ada. Macam-macam pemberian obat

inhalasi dapat melalui inhalasi dosis terukur (IDT), IDT dengan

alat bantu (spacer), Dry powder inhaler (DPI), breath-actuated

IDT, dan nebulizer. Medikasi asma terdiri atas pengontrol

(controllers) dan pelega (reliever).

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang,

terutama untuk asma persisten, yang digunakan setiap hari

untuk menjaga agar asma tetap terkontrol (PDPI, 2006).

Menurut PDPI (2006), pengontrol, yang sering disebut

sebagai pencegah terdiri dari:

1) Glukokortikosteroid inhalasi dan sistemik

2) Leukotriene modifiers

3) Agonis β-2 kerja lama (inhalasi dan oral)

4) Metilsantin (teofilin)

5) Kromolin (Sodium Kromoglikat dan Nedokromil Sodium)

27

Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila

diperlukan untuk cepat mengatasi bronkokonstriksi dan

mengurangi gejala-gejala asma. Prinsip kerja obat ini adalah

dengan mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,

memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang

berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada,

dan batuk. Akan tetapi golongan obat ini tidak memperbaiki

inflamasi jalan napas atau menurunkan hipersensitivitas jalan

napas (http://emedicine.medscape.com/pulmonology).

b. Pengobatan Berdasarkan Derajat

Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat

asma dibagi menjadi:

1) Asma intermitten

a) Umumnya tidak diperlukan pengontrol

b) Bila diperlukan pelega, agonis β-2 kerja singkat inhalasi

dapat diberikan. Alternatif dengan agonis β-2 kerja

singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis

β-2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi

c) Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu

selama 3 bulan, maka sebaiknya penderita di perlakukan

sebagai asma persisten ringan.

28

2) Asma Persisten Ringan

a) Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol

dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan:

(1) Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan

sekaligus atau terbagi dua kali sehari) dan agonis β-2

kerja lama inhalasi : Budenoside 200-400 μg/hari dan

fluticasone propionate : 100-250 μg/hari Teofilin lepas

lambat

(2) Kromolin

(3) Leukotriene modifiers

b) Pelega bronkodilator (Agonis β-2 kerja singkat inhalasi)

dapat diberikan bila perlu (Katzung BG, 2008).

3) Asma Persisten sedang

a) Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol

dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan :

(1) Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis)

dan agonis β-2 kerja lama inhalasi

(2) Budenoside: 400-800 μg/hari

(3) Fluticasone propionate : 250-500 μg/hari

(4) Glukokortikosteroid inhalasi (400-800

μg/hari) ditambah teofilin lepas lambat

(5) Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 μg/hari)

ditambah agonis β-2 kerja lama oral

29

(6) Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 μg/hari)

(7) Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 μg/hari) tambah

leukotriene modifiers.

b) Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu

(1) Agonis β-2 kerja singkat inhalasi: tidak

lebih dari 3-4 kali sehari, atau

(2) Agonis β-2 kerja singkat oral, atau

(3) Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis β-2 kerja

singkat

(4) Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila

penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat

sebagai pengontrol

c) Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid

inhalasi dosis rendah dan belum terkontrol; maka harus

ditambahkan agonis β-2 kerja lama inhalasi

d) Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada

inhalasi bentuk IDT atau kombinasi dalam satu kemasan

agar lebih mudah

4) Asma persisten berat

a) Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik

mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat

pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai

30

nilai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan

efek samping obat seminimal mungkin.

b) Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar

dapat mengontrol asma, dengan pilihan :

(1) Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam

dua dosis) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi

(2) Beclomethasone dipropionate: >800 μg/hari

(3) Selain itu teofilin lepas lambat, agonis β-2 kerja lama

oral, dan leukotriene modifiers dapat digunakan

sebagai alternative agonis β-2 kerja lama inhalai

ataupun sebagai tambahan terapi

(4) Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan

spacer, karena dapat mencegar efek samping lokal

seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk

karena iritasi saluran napas atas (Katzung BG, 2008).

9. Eksaserbasi Asma

Eksaserbasi asma adalah episode akut atau subakut

dengan sesak yang memburuk secara progresif disertasi

batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa kombinasi gejala-

gejala tersebut.Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya

arus napas yang dapat diukur secara obyektif (spirometri

atau PFM) dan merupakan indikator yang lebih dapat

dipercaya dibanding gejala.Penderita asma terkontrol dengan

31

steroid inhaler, memiliki risiko yang lebih kecil untuk eksa-

serbasi.Namun, penderita tersebut masih dapat mengalami

eksaserbasi, misalnya bila menderita infeksi virus saluran

napas.Penanganan eksaserbasi yang efektif juga melibatkan

keempat komponen penanganan asma jangka panjang, yaitu

pemantaan, penyuluhan, kontrol lingkungan dan pemberian

obat.Tidak ada keuntungan dari dosis steroid lebih tinggi

pada eksaserbasi asma, atau juga keuntungan pemberian

intravena dibanding oral.Jumlah pemberian steroid sistemik

untuk eksaserbasi asma yang memerlukan kunjungan gawat

darurat dapat berlangsung 3-10 hari.Untuk kortikosteroid,

tidak perlu tapering off, bila diberikan dalam waktu kurang

dari satu minggu. Untuk waktu sedikit lebih lama (10 hari)

juga mungkin tidak perlu tapering off bila penderita juga

mendapat kortikosteroid inhaler.

10. Pencegahan

a. Mencegah Sensititasi

Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan

sensitisasi alergi (terjadinya atopi, diduga paling relevan pada

masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya asma

pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan

dengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak ada

bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma.

32

Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun bayi

kearah Th1, respons nonalergi atau modulasi sel T regulator

masih merupakan hipotesis.

b. Mencegah Eksaserbasi

Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor

(trigger) seperti alergen (indoor seperti tungau debu rumah,

hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor seperti

polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi

pajanan penderita dengan beberapa faktor seperti meng-

hentikan merokok, menghindari asap rokok, lingkungan kerja,

makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat mem-

perbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya

penderita bereaksi terhadap banyak faktor lingkungan

sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan.

Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor

dan outdoor, makanan dan aditif, obesitas, emosi-stres dan

berbagai faktor lainnya (Hasan rusepno, 2005).

C. Tinjauan Khusus Tentang Asma Bronchial Pada Anak

1. Definisi asma pada anak

Asma adalah keadaan inflamasi kronik dengan

penyempitan saluran pernapasan yang reversibel. Tanda

karakteristik berupa episode wheezing berulang,

sering disertai batuk yang menunjukkan respons terhadap obat

33

bronkodilator dan anti-inflamasi. Antibiotik harus diberikan

hanya jika terdapat tanda pneumonia.

Di samping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat

napas cepat saja.Frekuensi pernapasan (hitung napas selama 1

menit ketika anak tenang :

a. Umur < 2 bulan : > 60 kali

b. Pada anak umur 2 bulan - 11 bulan : ≥ 50 kali/menit

c. Pada anak umur 1 tahun - 5 tahun : ≥ 40 kali/menit

d. Umur > 5 tahun : > 30 kali

2. Diagnosis

a. Episode batuk dan atau wheezing berulang

b. Hiperinflasi dada

c. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

d. Ekspirasi memanjang dengan suara wheezing yang dapat

didengar

e. Respons baik terhadap bronkodilator.

Bila diagnosis tidak pasti, beri satu dosis bronkodilator kerja-

cepat.Anak dengan asma biasanya membaik dengan cepat,

terlihat penurunan frekuensi pernapasan dan tarikan dinding dada

dan berkurangnya distres pernapasan. Pada serangan berat, anak

mungkin memerlukan beberapa dosis inhalasi.

34

3. Tatalaksana

a. Anak dengan episode pertama wheezing tanpa distress

pernapasan, bisa dirawat di rumah hanya dengan terapi

penunjang, tidak perlu diberi bronkodilator.

b. Anak dengan distres pernapasan atau mengalami wheezing

berulang, beri salbutamol dengan nebulisasi atau MDI

(metered dose inhaler).

c. Jika salbutamol tidak tersedia, beri suntikan

epinefrin/adrenalin sub-kutan. Periksa kembali anak setelah 20

menit untuk menentukan terapi. selanjutnya :

1) Jika distres pernapasan sudah membaik dan tidak ada

napas cepat, Nasihati ibu untuk merawat di rumah dengan

salbutamol hirup atau bila tidak tersedia, beri salbutamol

sirup per oral atau tablet.

2) Jika distres pernapasan menetap, pasien dirawat di rumah

sakit dan beri terapi oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan

obat lain seperti yang diterangkan di bawah.

d. Jika anak mengalami sianosis sentral atau tidak bisa minum,

rawat dan beri terapi oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan obat

lain yang diterangkan di bawah.

e. Jika anak dirawat di rumah sakit, beri oksigen, bronkodilator

kerja-cepat dan dosis pertama steroid dengan segera. Respons

positif (distres pernapasan berkurang, udara masuk terdengar

35

lebih baik saat auskultasi) harus terlihat dalam waktu 20 menit.

Bila tidak terjadi, beri bronkodilator kerja cepat dengan interval

20 menit.

f. Jika tidak ada respons setelah 3 dosis bronkodilator kerja-cepat,

beri aminofilin IV.

g. Berikan oksigen pada semua anak dengan asma yang terlihat

sianosis atau mengalami kesulitan bernapas yang mengganggu

berbicara, makan atau menyusu (serangan sedang-berat).

h. Beri anak bronkodilator kerja-cepat dengan salah satu dari tiga

cara berikut: nebulisasi salbutamol, salbutamol dengan MDI

dengan alat spacer, atau suntikan epinefrin/adrenalin subkutan,

seperti yang diterangkan di bawah :

1) Salbutamol nebulasi :

Alat nebulisasi harus dapat menghasilkan aliran udara

minimal 6-10 L/ menit.Alat yang direkomendasikan adalah

jet-nebulizer (kompresor udara) atau silinder oksigen.beri

bronkodilator kerja cepat dan lakukan penilaian setelah 20

menit. Dosis salbutamol adalah 2.5 mg/kali nebulisasi; bisa

diberikan setiap 4 jam, kemudian dikurangi sampai setiap 6-

8 jam bila kondisi anak membaik.Bila diperlukan, yaitu pada

kasus yang berat, bisa diberikan setiap jam untuk waktu

singkat.Respons terhadap bronkodilator kerja cepat dapat

membantu menentukan diagnosis dan terapi.

36

2) Salbutamol MDI dengan alat spacer

Alat spacer dengan berbagai volume tersedia

secara komersial. Pada anak dan bayi biasanya lebih baik

jika memakai masker wajah yang menempel

pada spacer dibandingkan memakai mouthpiece. Jika

spacer tidak tersedia spacer bias dibuat menggunakan

gelas plastic atau botol plastic 1 liter. Dengan alat ini

diperlukan 3-4 puff salbutamol dan anak harus bernapas dari

alat selama 30 detik.

3) Epinefrin (adrenalin) subkutan

Jika kedua cara untuk pemberian salbutamol tidak

tersedia, beri suntikan epinefrin (adrenalin) subkutan dosis

0.01 ml/kg dalam larutan 1:1000 (dosis maksimum: 0.3 ml),

menggunakan semprit 1 ml jika tidak ada perbaikan setelah

20 menit, ulangi dosis dua kali lagi dengan interval dan dosis

yang sama. Bila gagal, dirawat sebagai serangan berat dan

diberikan steroid dan aminofilin.

4) Bronkodilator oral

Ketika anak jelas membaik untuk bisa dipulangkan,

bila tidak tersedia atau tidak mampu membeli salbutamol

hirup, berikan salbutamol oral (dalam sirup atau tablet).

Dosis salbutamol: 0.05-0.1 mg/kgBB/kali setiap 6-8 jam.

37

5) Steroid

Jika anak mengalami serangan wheezing akut berat

berikan kortikosteroid sistemik metilprednisolon 0.3

mg/kgBB/kali tiga kali sehari pemberian oral atau

deksametason 0.3 mg/kgBB/kali IV/oral tiga kali sehari

pemberian selama 3-5 hari.

6) Aminofilin

a) Jika anak tidak membaik setelah 3 dosis bronkodilator

kerja cepat, beri aminofilin IV dengan dosis awal (bolus)

6-8 mg/kgBB dalam 20 menit. Bila 8 jam sebelumnya

telah mendapatkan aminofilin, beri dosis setengahnya.

Diikuti dosis rumatan 0.5-1 mg/kgBB/jam. Pemberian

aminofilin harus hati-hati, sebab margin of safety

aminofilin amat sempit.

b) Hentikan pemberian aminofilin IV segera bila anak mulai

muntah, denyut nadi >180 x/menit, sakit kepala,

hipotensi, atau kejang.

c) Jika aminofilin IV tidak tersedia, aminofilin supositoria

bisa menjadi alternatif.

7) Antibiotik

Antibiotik tidak diberikan secara rutin untuk asma atau

anak asma yang bernapas cepat tanpa disertai

38

demam.Antibiotik diindikasikan bila terdapat tanda infeksi

bakteri.

8) Komplikasi

Jika anak gagal merespons terapi yang sudah

diberikan, atau kondisi anak memburuk secara tiba-tiba,

lakukan pemeriksaan foto dada untuk melihat adanya

pneumtoraks/atelectasis.

9) Pemantauan

Anak yang dirawat di rumah sakit seharusnya diperiksa oleh

perawat sedikitnya setiap 3 jam, atau setiap 6 jam setelah

anak memperlihatkan perbaikan dan oleh dokter minimal

1x/hari. Catat tanda vital. Jika respons terhadap terapi buruk,

rujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap fasilitasnya (Nurul

Ainy Sidik, 2013).

D. Tinjauan Tentang Nebulizer

1. Definisi Nebulizer

Nebulizer adalah alat yang dapat mengubah obat yang

berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus- menerus dengan

tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang

ultrasonik.

Mengenai nebulizer dan penguapan merupakan suatu cara

pemberian obat melalui inhalasi / pernafasan. Fungsinya sama

39

dengan seperti dengan pemberian obat lainnya namun mempunyai

daya effectivitas lebih tinggi dibandingkan melalui mulut / oral.

Sebagai contoh : yang biasa nya penyembuhan flu selama 1

minggu, dengan terapi nebulizer sembuh dalam 3 hari.

Cara kerja terapi penguapan adalah obat-obat tersebut dilarutkan

dalam bentuk cairan yang diisikan ke nebulizer.Nebulizer

mengubah partikel menjadi uap yang di hirup sehingga langsung

menuju paru-paru.Mampu menghancurkan dahak / slem / plegm.

2. Mekanisme kerja nebulizer

Cara kerja nebulizer adalah dengan penguapan. Beberapa

macam dasar cara kerja adalah kompresor, ultrasound atau

oksigen. Obat dalam bentuk partikel aerosol yang dapat dibentuk

dari cairan ( pada nebulizer ) atau partikel aerosol yang

dimampatkan dengan gas sebagai zat pembawa ( MDI = Meterred

Doze Inhaler ) atau aerosol yang berasal dari bubuk kering ( Dry

Powder Inhalation = DPI ), akan mencapai sasaran di saluran

napas bersama proses respirasi sesuai dengan ukuran partikel

yang terbentuk dengan mekanisme Hukum Brown yaitu Impaksi,

Sedimentasi dan Difusi. Impaksi adalah membentur dan

menempelnya partikel obat pada mukosa bronkus yang terjadi

karena pergerakan udara melalui inspirasi dan ekspirasi,

sedimentasi adalah sampainya partikel pada mukosa bronkus

karena mengikuti efek gravitasi. Ukuran partikel berkisar antara

40

0,01 mikron sampai 100 mikron. Penyebaran partikel obat akan

tergantung kepada besaran mikronnya; partikel dengan ukuran 5-

10 mikron akan menempel pada orofaring, 2-5 mikron pada

trakeobronkial sedangkan partikel <1 mikron akan keluar dari

saluran napas bersama proses ekspirasi. (Chrystin, Workshop

Aerosol Medicine ERS, 2005).

Mekanisme kerja nebulizer sampai saat ini selalu

berkembang, secara teknologi disesuaikan dengan kebutuhan

penggunaan obat. Selain itu harus diperhatikan pula mengenai

kontinuitas kerja alat nebulizer, karena ada beberapa nebulizer

yang menggunakan tombol pengatur output aerosol, atau tanpa

tombol pengatur sehingga aerosol keluar terus menerus. Pada tipe

kontinu banyak dosis obat yang terbuang, sedangkan yang

menggunakan tombol pengatur produksi aerosol dapat disesuaikan

dengan pola napas pemakai. Ada beberapa tipe nebulizer dengan

klep di bagian mouthpiece-nya yang akan secara otomatis tertutup

bila pemakai tidak menarik napas, penggunaan obat menjadi

efektif. Lama terapi penguapan 5-10 menit, dapat diberikan 3-4 kali

sehari (seperti jadwal pemberian obat).

3. Klasifikasi Nebulizer

a. Berdasarkan penggunaannya, nebulizer dapat diklasifikasikan

menjadi :

41

1) Disposible nebulizer, sangat ideal apabila digunakan dalam

situasi gawatdarurat / di ruang gawat darurat atau di rumah

sakit dengan perawatan jangka pendek. Apabila nebulizer di

tempatkan di rumah, dapat digunakan lebih dari satu kali,

apabila dibersihkan setelah digunakan. Dan dapat terus

dipakai sampai dengan 2 minggu apabila dibersihkan secara

teratur.

2) Re-usable nebulizer, dapat digunakan sampai kurang lebih 6

bulan. Keuntungan nebulizer jenis ini adalah desainnya yang

lebih komplek dan dapat menawarkan suatu perawatan

dengan efektivitas yang ditingkatkan dari dosis pengobatan.

Keuntungan lain adalah dapat direbus untuk proses

desinfeksi. Selain itu, dapat juga digunakan untuk terapi

setiap hari.

b. Berdasarkan cara kerjanya, nebulizer diklasifikasikan menjadi

1) Nebulizer Jet - Aerosol

Nebulizer dengan penekan udara (Nebulizer compressors),

memberikan tekanan udara dari pipa ke tutup (cup) yang

berisi obat cair. Kekuatan tekanan udara akan memecah

cairan ke dalam bentuk partikel- partikel uap kecil yang dapat

dihirup secara dalam ke saluran pernapasan. Ukuran partikel

yang dihasilkan 2-8 mikron. Beberapa bentuk jet nebulizer

dapat pula diubah sesuai dengan keperluan, sehingga dapat

42

digunakan pada ventilator dan IPPB (Intermiten Positive

Pressure Breathing).

2) Nebulizer ultrasonik (Ultrasonic Nebulizer)

Nebulizer ini menggunakan gelombang ultrasonik (vibrator

dengan frekuensi tinggi), sehingga dengan mudah dapat

mengubah cairan menjadi partikel kecil yang bervolume

tinggi, yakni mencapai 6cc/menit. Secara perlahan mengubah

dari bentuk obat cair ke bentuk uap atau aerosol basah.

(Catatan: pulmicort tidak dapat digunakan pada sebagian

nebulizer ultrasonik). Besarnya partikel adalah 5 mikron maka

dengan mudah masuk ke saluran pernapasan, sehingga

dapat terjadi reaksi, seperti bronkospasme dan dispnoe.Oleh

karena itu alat ini hanya dipakai secara intermitten, yakni

untuk menghasilkan sputum dalam masa yang pendek pada

pasien dengan sputum yang kental (Harris, David. 2006).

3) Nebulizer Mini

Nebulizer ini merupakan generasi baru (New generation of

nebulizer) digunakan tanpa menggunakan tekanan udara

maupun ultrasound. Alat ini sangat kecil, dioperasikan

dengan menggunakan baterai, dan tidak berisik(Harris,

David. 2006).

4. Tujuan, Indikasi Dan Kontraindikasi Terapi Nebulizer

43

Tujuan pemberian nebulizer untuk mengurangi sesak,

mengencerkan dahak (meningkatkan produksi sekret) dan dapat

mengurangi / menghilangkan bronkospasma.Terapi nebulizer

diindikasikan untuk penderita gangguan saluran napas.

Kontraindikasi terapi nebulisasi adalah pada pasien dengan

hipertensi, takikardi, riwayat alergi, trakeotomi, fraktur di daerah

hidung. Namun, hal yang tidak boleh dilupakan adalah kontra

indikasi dari obat yang kita gunakan untuk nebulisasi (Harris, David.

2006).

5. Pemilihan Obat

Obat akan selalu disesuaikan dengan diagnosis atau

kelainan saat itu. Obat yang digunakan dalan terapi inhalasi

nebulizer berbentuk solutio, suspensi atau obat khusus yang

memang dibuat untuk terapi inhalasi.Golongan obat yang sering

diberikan via nebulizer yaitu beta agonis, antikolinergik,

kortikosteroid dan antibiotic (Ward, 2008).

Berikut ini adalah penjelesan mengenai obat-obat yang

dapat diberikan dengan terapi nebulizer :

Obat Sedian dan

kandungan

Keterangan

Bronkodilator : bekerja dengan merelaksasi otot polos bronkus dan membantu memudahkan

dalam bernapas

Salbutamol

(Ventolin)

- Nebule 2.5

mg in 2,5ml

- Diencerkan dengan 4 ml NaCl 0,9 %

- Dapat dikombinasi Budesonide dan juga Ipratropium

44

- Nebule 5

mg in 2,5 ml

Untuk

semua usia,

tetapi hati-

hati

penggunaan

pada usia <

18 bulan

Terbutaline(Bricanyl) Respule 5 mg

dalam 2 ml

Disetujui untuk

BB > 25 kg

Dapat

diberikan pada

semua usia

- Diencerkan dengan 4 ml Nacl 0,9 %

- Dapat dikombinasi dengan terbutalin, budesonide dan

Ipratropium.

Adrenaline

(Epinefrine)

Injeksi 1 :

1000

Digunakan

untuk usia

yang ≥ 1 tahun

Dapat di encerkan dengan 4 ml Nacl 0,9 %

Observasi ketat dengan monitor EKG dan saturasi

oksigen.

Antikolinergik

Ipratropium Bromide

(atrovent)

Nebule 250

mcg dalam 1

ml

Nebule 500

mcg dalam 2

ml

- Diencerkan dengan 4 mlNacl 0,9 % (penggunaan dengan

mouthpiece lebih baik daripada masker, dan menurunkan

risiko kerusakan mata

- Dapat di campurkan dengan budesonide, salbutamol,

terbutaline.

45

Diberikan

untuk usia > 3

tahun

Kortikosteroid: untuk menekan proses inflamasi

Budesonide

(Pulmicort)

- Nebule

500 mcg

dalam 2 ml

- Nebule 1

mg dalam

2 ml

- Diberikan

pada usia

>3 bulan.

- Penggunaan mouthpiece lebih baik untuk mencegah

skin rash.

- Diencerkan dengan 4 ml Nacl 0,9 %

- Dapat dicampurkan dengan Terbutaline, Salbutamol,

Ipratropium.

Fluticasone (flixotid) Nebule 500

mcg dalam 2

mlNebule 2

mg dalam 2 ml

Dapat

diberikan

untuk usia >16

tahun.

Diencerkan dengan 4 ml Nacl 0,9 %

Penggunaan mouthpiece lebih baik untuk mencegah skin

rash.

Kombinasi Produk : mengandung antikolinergik dan bronkodilator

Combivent Nebule

(Ipratropium

Bromide 500

Sebaiknya jangan diencerkan atau dicampur dengan

obat lain

46

mcg &

salbutamol 2,5

mg) dalam 2,5

ml

Diberikan

pada usia > 12

tahun

Penggunaan mouthpiece lebih baik untuk mengurangi

risiko kerusakan mata

Hanya digunakan pada pasien COPD

Duovent Nebule

(Ipratropium

Bromide 500

mcg

&Fenoterol

1,25 mg)

dalam 4 ml

Diberikan

pada usia > 14

tahun

Diencerkan dengan 4 ml Nacl 0,9 %

Penggunaan mouthpiece lebih baik untuk mengurangi

risiko kerusakan mata

Mukolitik

Dornase Alfa

(Pulmozyme)

Nebulizer

Solusio 2.5mg

dalam 2.5ml

Diberikan

pada usia > 5

tahun

- Sebaiknya tidak diencer-kan atau dicampur deng-an obat

lain

- Harus disimpan dalam lemari pendingin

Hypertonic Saline Nacl 5% -

6mldosis

atau

- digunakan untuk meng-induksidahak untuk diagnosis

- dipersiapkan denganmencampur Nacl 30% 1mldengan

Air 5ml untuk suntikan

- Dipersiapkan dengan mencampur Nacl 30% 1ml dengan

47

Nacl 7.5% -

5mldosisuntuk

induksi

sputum

Air 4ml untuk suntikan

- Dapat menyebabkanmual dan muntah

- Digunakan itu pra-perawatan pasien dengan brokodilator

untuk mengurangi bronko-spasme

Antibiotik:Antibiotik dapat diberikan untuk menembus fokus infeksi dalam dahak. Antibiotik

Nebulised harus selalu diberikan setelah fisioterapi atau bronkodilator pengobatan,

menggunakan mouthpiece.

Colistimethate

Sodium/colistin

(Colomycin)

Injeksi

1Mu/vial

Digunakan

untuk semua

usia

- Larutkan dengan Nacl 0,9% 4ml

- Sebaiknya tidakdiencerkan lebih lanjut atau dicampur

dengan

obat lain kecuali gentamisin (cat: jika keadaan krusial)

Gentamicin

Tobramycin

Injeksi

80mg/2ml

(ampul)

Injeksi

40mg/ml dan

80mg/2ml

(ampul)

- Kedua antibiotik ini tidak dianjurkan untuk terapi

nebulizer. Namun dapat digunakan sebagai terapi

nebulizer jika keadaan krusial.

- Diencerkan dengan 4ml dengan Nacl 0,9%.

- Sebaiknya tidak dicampur dengan obat lain.

Tobramycin (TOBI) Nebulizer

Solusio

300mg/5ml

Diberikan

pada usia>6

tahun

- Sebaiknya tidakdiencer-kan atau dicampurdengan obat

laindan diberikan setelah semua obat nebulizer lain

- Harus disimpan dalam lemari pendingin

Pentamidine :

48

- Pentamidin adalah obat yang berbahaya dengan banyak efek samping dan seharusnya

hanyadiberikan oleh mereka yang berpengalaman dalampeng-gunaannya

- Pakaian pelindung - masker, celemek dan sarung tangan harus dipakai oleh petugas

- Obat ini teratogenik, wanita usia subur harus menghindari kontak obat.

- Pentamidin Nebulizer adalah sebagai profilaksis terhadap dan pengobatan lini kedua untuk

Pneumocystiscarinii pneumonia (PCP)

- Pre-medikasi dengan bronkodilator

Pentamidine

isethioat

Nebulizer

solusio

300mg/5ml

Injeksi

300mg/vial

Digunakan

pada orang

dewasa

- Dapat diencerkan dengan air untuk Injeksi

- Gunakan mouthpiece dan tube exhauser saat

penggunaan pentamide inhalasi

Ribavirin

Ribavirin (Virazole) Nebulizer

Powder

6gr/vial untuk

cairan inhalasi

Digunakan

untuk

neonatus dan

anak-anak

- Ribavirinadalah obatyang berbahayadengan banyak efek

sampingdanseharusnya hanya diberikanoleh

yangberpengalaman dalampenggunaannya.

- Pakaian pelindung-masker,celemekdan sarung

tanganharus dipakaioleh petugas.

- Memiliki efek teratogenik

- Ribavirindapat digunakanuntuk

mengobatiBronchiolitisVirusparahRespiratorysyncytialya

ng paling sering menyerang bayi.

(Kirana, 2010).

6. Prosedur Terapi Nebulizer

49

a. Alat- alat yang digunakan

Nebulizer terdiri dari beberapa bagian yang terpisah,

antara lain generator aerosol, nebulizer, tempat obat cair dan

alat hisapnya yang dapat berupa masker, mouthpiece atau

kanul ( kanul hidung, kanul trakeostomi ). Serta obat-obat untuk

pernapasan dan Nacl untuk pengeceran obat pernapasan

tersebut.

Generator aerosol adalah sumber tenaga yang diberikan

kepada nebuliser sehingga dapat mengubah cairan menjadi

aerosol atau partikel halus.

Masker, digunakan pada pasien dengan kesadaran

menurun.Tidak memerlukan koordinasi inspirasi atau ekspirasi

dari pasien.Hati hati pada penggunaan kortikosteroid atau

antikolinergik.Kerugian menggunakan masker yaitu

mengganggu kemampuan pasien untuk berkomunikasi, tidak

nyaman, lembab, harus terus melekat pada wajah untuk

mencegah kebocoran, dapat terjadi aspirasi jika pasien muntah

terutama pasien yang tidak sadar / pasien anak.

Mouthpiece, obat yang terhirup akan lebih efektif.

Diperlukan koordinasi inspirasi dan ekspirasi yang baik.Berikan

sambungan kor pada pipa inspirasi.Pada trakeostomi diperlukan

konektor khusus; dapat juga dengan T konektor biasa (David.

2006).

50

b. Penggunaan nebulizer

Dalam penggunaan terapi nebulizer diperlukan teknik

yang benar agak efek obat tercapai. Untuk ada beberapa hal

yang harus diperhatikan yaitu:

1) Pengiriman gas

Penggunaan oksigen sebagai sarana pengiriman gas.

Berikan oksigen suplemen 6-8 liter/menit, dengan flow rate

disesuaikan menurut kondisi pasien, pulse oximetry / hasil

AGD (Analisa Gas Darah). Inhalasi katekolamin dapat

merubah ventilasi-perfusi paru dan memperburuk

hipoksemia untuk periode singkat.Karena inhalasi

katekolamin dapat meningkatkan heart rate dan

menimbulkan diaritmia.

2) Pengencer dan isi volume

Semua ruang nebulizer meninggalkan volume residu

antara 0,5 dan 1,0 ml. Volume residu dalam intersurgical

cirrus chamber adalah 0,9 ml. Ini berarti bahwa 0,9 ml obat

tidak sampai ke pasien dan ini harus dipertimbangkan ketika

dosis dihitung. Meningkatkan isi volume dengan

menambahkan pengenceran menyebabkan penurunan

jumlah obat aktif terbuang.Pengisian volume minimal adalah

4ml dan dan maksimum dari 10 ml harus digunakan ketika

obat solutio sedang ditransfer melalui nebuliser.

51

Pengenceran dilakukan dengan hanya dengan Nacl 0,9%,

jangan menggunakan air sebagai pengencer karena dapat

menginduksi bronkospasme.

3) Laju aliran

Laju aliran gas mempengaruhi waktu nebulisator dan

ukuran tetesan yang tersebar.Kecepatan aliran meningkat

berarti waktu nebulisator lebih pendek dan ukuran tetesan

lebih kecil.Untuk pengiriman obat efisien pada bronkus,

diameter tetesan optimal adalah 1-5 mikron.Untuk mencapai

hal ini Laju aliran ditetapkan pada 8 liter per menit.

4) Waktu pengiriman

Nebuliser tidak akan pernah kering karena volume

sisa. Tergantung pada obat dan nebulizer, naik sampai 80%

dari dosis total diberikan dalam waktu lima menit pertama

pengiriman. Tapi kepatuhan tetes dengan waktu pemberian

yang lebih lama.Waktu pengiriman tidak lebih dari 10 menit.

5) Posisi pasien

Pasien harus nyaman dan duduk tegak (40-900) hal

ini memungkinkan ventilasi pasien dan pergerakan

diafrgama maksimal.Pastikan masker sesuai dan nyaman

dan mendorong pasien untuk bernapas terus melalui mulut

(bukan hidung).Pasien harus menghindari berbicara karena

52

hal ini mengurangi efisiensi pengiriman obat. Miring sedikit

ke depan memberikan perluasan maksimum. Hal ini

penting bahwa ruang nebuliser tetap tegak.

6) Perawatan nebulizer

Setiap pasien harus memiliki nebuliser

sendiri.Kolonisasi bakteri pada ruang nebulizer dengan

mikroorganisme seperti Burkholderia spp telah terbukti

dalam meningkatkan risiko infeksi pasien.Pasien yang

menerima terapi nebuliser jangka panjang harus mengganti

ruang nebulizer setiap 3 bulan.Oleh karena itu nebuliser

harus dibilas setelah digunakan dan dikeringkan dengan tisu

lembut Jalankan ruang kosong selama beberapa menit

sebelum penggunaan berikutnya (David. 2006).

c. Efek samping dan komplikasi

Efek samping dan komplikasi yang ditimbulkan dari

penggunaan terapi nebulasi adalah :

1) Infeksi silang antar pasien

2) Mual dan muntah

3) Tremor dan takikardi

4) Penyempitan saluran napas atau refleks vagal yang

menyebabkan henti napas mendadak

5) Penumpukan sekret atau lender.

53

6) Iritasi pada selaput mata, kulit dan selaput lender

tenggorokan.

7) Dosis yang kurang tepat karena kurang tepat dalam

menggunakan alat ataupun tekniknya.

8) Kurang dalam pemberian obat karena malfungsi dari alat

tersebut.

9) Pemberian dosis tinggi dari beta agonis akan menyebabkan

efek yang tidak baik pada system sekunder penyerapan dari

obat tersebut. Hipokalemia dan atrial atau ventricular

disritmia dapat ditemui pada pasien dengan kelebihan dosis

(David. 2006).

E. Tinjauan Tentang Inhalasi

1. Definisi

Terapi inhalasi adalah pemberian obat yang secara langsung

ke dalam saluran napas melalui hirupan.Terapi pemberian ini, saat

ini makin berkembang luas dan banyak dipakai pada pengobatan

penyakit-penyakit saluran napas.Berbagai macam obat seperti

antibiotik, mukolitik, anti inflamasi dan bronkodilator sering

digunakan pada terapi inhalasi. Obat asma inhalasi yang

memungkinkan penghantaran obat langsung ke paru-paru, dimana

saja dan kapan saja akan memudahkan pasien mengatasi keluhan

sesak napas. Untuk mencapai sasaran di paru-pari, partikel obat

54

asma inhalasi yang berbentuk aerosol ini harus berukuran sangat

kecil (2-5 mikron).

Banyak definisi mengenai aerosol ini.Aerosol merupakan istilah

yang digunakan untuk sediaan semprotan kabut tipis dari sistem

bertekanan tinggi.Sering disalah artikan pada semua jenis sediaan

bertekanan, sebagian diantaranya melepaskan busa atau cairan

setengah padat.Aerosol adalah sediaan yang mengandung satu

atau lebih zat berkhasiat dalam wadah yang diberi tekanan, berisi

propelan atau campuran propelan yang cukup untuk memancarkan

isinya hingga habis, dapat digunakan untuk obat luar atau obat

dalam dengan menggunakan propelan yang cukup.Sedangkan

definisi terbaru mengenai aerosol farmasetik adalah sediaan yang

dikemas dibawah tekanan, mengandung zat aktif terapeutik

yang dilepas pada saat sistem katup yang sesuai ditekan. Sediaan

ini digunakan untuk pemakaiaan topical pada kulit dan juga

pemakaiaan local pada hidung ( aerosol nasal ), mulut ( aerosol

lingual ) atau paru-paru ( aerosol inhalasi ) ukuran partikel untuk

aerosol inhalasi harus lebih kecil dari 10 µm, sering disebut juga “

inhaler dosis turukur (“Supriyanto B, 2007).

2. Prinsip terapi inhalasi

Prinsip farmakologis terapi inhalasi yang ideal untuk penyakit

saluran napas adalah :

55

a. Obat sampai pada organ target dengan menghasilkan partikel

aerosol berukuran optimal agar terdeposisi di paru,

b. Onset kerjanya cepat,

c. Dosis obat kecil,

d. Efek samping minimal, karena konsentrasi obat di dalam darah

sedikit atau rendah,

e. Mudah digunakan,

Efek terapeutik tercapai yang ditandai dengan tampaknya

perbaikan klinis (Supriyanto, 2001).

Meskipun saluran napas mempunyai beberapa mekanisme

antara lain refleks batuk, bersin serta klirens mukosilier yang akan

melindungi terhadap masuk dan mengendapnya partikel obat

sehingga akan mengeliminasi obat inhalasi. Namun dengan

memperhatikan metode untuk menghasilkan aerosol serta cara

penyampaian/delivery obat yang akan mempengaruhi ukuran

partikel yang dihasilkan dan jumlah obat yang mencapai berbagai

tempat di saluran napas maka diharapkan obat terdeposisi secara

efektif. Ukuran partikel akan mempengaruhi sampai sejauh mana

partikel menembus saluran napas. Partikel berukuran > 15 mm

tersaring oleh filtrasi rambut hidung sedangkan > 10 mm akan

mengendap di hidung dan nasofaring. Partikel yang besar ini

terutama mengendap karena benturan inersial bila terdapat aliran

udara yang cepat disertai perubahan arah atau arus turbulen.

56

Partikel berukuran 0,5 – 5 mm akan mengendap secara

sedimentasi karena gaya gravitasi sedangkan partikel berukuran <

0,1 mm akan mengendap karena gerak Brown (Nataprawira HM,

2008).

Dengan demikian untuk mendapatkan manfaat obat yang

optimal, obat yang diberikan secara inhalasi harus dapat mencapai

tempat kerjanya di dalam saluran pernapasan.Bentuk aerosol yang

digunakan yaitu suspensi partikel di dalam gas, dan partikel dalam

aerosol yang mempunyai ukuran berkisar 2-10 φm atau 1-7

φm.Penelitian lainnya mendapatkan bahwa partikel berukuran 1-8

φm mengalami benturan dan pengendapan di saluran nafas besar,

kecil, dan alveoli (Supriyanto, 2008).

3. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi delivery aerosol pada

anak

a. Perubahan anatomi

Bagaimana efek perubahan anatomi pada awal tahun

kehidupan tidak jelas. Seperti yang sudah diketahui bahwa

saluran pernapasan pada anak anak relatif lebih kecil

dibandingkan dengan dewasa sehingga aliran udara inspirasi

lebih rendah yang menyebabkan deposit obat terutama pada

saluran pernapasan sentral.

b. Kompetensi

57

Kompetensi atau kemampuan anak merupakan faktor

sangat penting dalam delivery obat.Pada anak kecil tidak

mempunyai kompetensi untuk melakukan manuver inhalasi

yang kompleks. Alat/ jenis inhalasi yang tersedia dan

dipasarkan saat ini dibuat untuk orang yang bisa melakukan

inhalasi melalui mulut waktu melakukan manuver inhalasi yang

kompleks, misalnya pressured metered dosed inhalers (pMDIs).

Anak sekolah sudah dapat melakukan usaha inspirasi maksimal

yang diperlukan untuk menggunakan alat inhalasi jenis dry

powder inhaler (DPI) dan hanya sedikit yang bisa menggunakan

pMDI.

c. Pola pernafasan

Pola pernafasan pada bayi dan anak akan mempengaruhi

seberapa banyak aerosol yang diinhalasi ke dalam paru-paru.

Pernapasan pada bayi dan anak menunjukkan volume

pernapasan tidal yang kecil sehingga mengurangi delivery obat,

pola pernapasan bervariasi luas dengan aliran udara inspirasi

(inspiratory flow rates=IFR) bervariasi antara 0 sampai 40

L/menit. Aliran udara yang cepat akan menyebabkan deposit

pada saluran napas yang lebih proksimal.

d. Usia

58

Pada bayi usia kurang dari 12 bulan memilki respon yang

kurang baik terhadap β2 agonis apabila dibandingkan dengan

anak yang lebih besar. Respons terhadap β2 agonis seringkali

tidak memuaskan walaupun pada bayi mempunyai reseptor β2.

Sedangkan pada pemberian inhalasi ipratropium bromida

mungkin efektif diberikan pada bayi dengan gejala wheezing.

e. Menangis

Pada anak yang menangis ternyata didapatkan IFR tinggi

dan terjadi pernapasan melalui mulut sehingga diharapkan akan

meningkatkan delivery obat ke paru-paru. Namun,

kenyataannya jumlah obat yang diinhalasi ke paru paru

berkurang karena kurang baiknya masker muka menempel dan

pada waktu menangis pernapasan pendek dan cepat

(Wainwright C, 2003)

4. Jenis-jenis

Terdapat beberapa hal yang harus didapatkan pada

pemberian aerosol agar menjadi pengobatan yang ideal, seperti

alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak mahal, secara selektif

mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di

saluran napas atas serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat,

atau orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat

sepenuhnya tercapai dan masing-masing jenis alat terapi inhalasi

mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian. Oleh karena itu,

59

saat ini sudah dikenal 3 sistem inhalasi yang digunakan dalam

klinik sehari-hari yaitu :

a. Nebuliser

b. Metered dosed inhaler aerosol ( dengan atau tanpa spacer / alat

penyambung)

c. Dry powder inhaler

F. Tinjauan Tentang Obat Ventolin (Salbutamol)

Ventolin HFA termasuk dalam golongan agonis beta2-

adrenergik.Komponen aktif dari Ventolin HFA (albuterol sulfat aerosol

inhalasi) adalah albuterol sulfat, USP, dan relatively selective beta2-

adrenergic bronchodilator.Albuterol sulfat memiliki nama kimia α1-

[(tert-butylamino)methyl]-4-hydroxy-m-xylene-α, α' -diol sulfate

(2:1)(garam). Albuterol sulfat adalah bubuk kristal putih dengan berat

molekul 576,7, dan rumus empiris (C13H21NO3) 2 . H2SO4.

Mempunyai sifat larut dalam air dan sedikit larut dalam etanol.

World Health Organization (WHO) merekomendasikan nama obat

dengan basis albuterol adalah salbutamol. Setiap unit ventolin HFA

merupakan sediaan aerosol bertekanan yang dilengkapi dengan

counter. Ventolin HFA dimaksudkan hanya untuk penggunaan inhalasi

oral untuk bronkospasme (penyempitan saluran paru-paru akibat

gangguan pernapasan seperti asma).

60

Indikasi Meredakan bronkospasme berat yg berhubungan dgn

asma atau bronkitis & utk pengobatan status asmatikus.

Kontra indikasinya adalah Abortus mengancam yg tjd pd hamil

trimester satu atau dua, toksemia grabidarum, pendarahan

antepartum,plasenta previa.

Efek samping tremor halus pd otot rangka, rasa

tertekan,vasodilatasi perifer,peningkatan denyut jantung, skt

kepala,kram otot sementara, reaksi hipersensitif,hipokalemia, reaksi

hiperaktif pd ank. Bronkospasme paradoksikal.

Gunakan Ventolin persis seperti yang ditentukan untuk

Anda.Jangan gunakan obat dalam jumlah besar, atau

menggunakannya lebih dari yang direkomendasikan oleh dokter

Anda.Ikuti petunjuk pada label resep Anda.

Saat menggunakan perangkat penghirup untuk pertama

kalinya, perdana itu dengan penyemprotan 4 semprotan tes ke udara,

jauh dari wajah Anda.Kocok sebelum priming.Juga perdana inhaler jika

Anda belum menggunakannya untuk 2 minggu atau lebih, atau jika

Anda telah menjatuhkan inhaler. Petunjuk di bawah ini adalah untuk

menggunakan standar dari perangkat inhaler dan nebulizer.Dokter

anda mungkin ingin anda untuk menggunakan perangkat

berbeda.Gunakan hanya perangkat penghirup diberikan dengan obat

Anda atau Anda mungkin tidak mendapatkan dosis yang benar.

61

Untuk menggunakan inhaler Kocok Ventolin tabung spray baik

sebelum masing-masing. Bernapaslah sepenuhnya.Masukkan mulut

ke mulut Anda dan menutup bibir Anda.Tarik napas dalam perlahan-

lahan sambil mendorong di atas tabung.Tahan nafas Anda selama 10

detik, kemudian bernapas secara perlahan.Jika Anda menggunakan

lebih dari satu inhalasi pada suatu waktu, tunggu minimal 1 menit

sebelum menggunakan inhalasi kedua dan kocok inhaler lagi.Ventolin

inhaler menjaga bersih dan kering, dan menyimpannya dengan tutup di

corong telepon.Bersihkan inhaler Anda sekali seminggu dengan

menghapus tabung dan menempatkan corong di bawah air mengalir

hangat selama minimal 30 detik.Shake keluar kelebihan air dan

biarkan bagian untuk udara kering sepenuhnya sebelum meletakkan

inhaler kembali bersama-sama.

Untuk menggunakan solusi dengan nebulizer, Mengukur jumlah

benar Ventolin menggunakan pipet yang disediakan, atau

menggunakan nomor yang tepat ampul.Tempatkan cairan ke dalam

ruang pengobatan nebulizer.Pasang masker corong atau wajah ke

ruang obat.Kemudian, pasang ruang obat untuk kompresor. Duduk

tegak dan tempat corong ke mulut Anda, atau penutup hidung dan

mulut dengan masker wajah. Bernapas perlahan dan merata sampai

Anda telah menghirup semua obat (biasanya 5 sampai 15

menit).Perawatan yang lengkap bila ruang obat kosong. Bersihkan

62

nebulizer setelah setiap kali digunakan.Ikuti petunjuk pembersihan

yang datang dengan nebulizer Anda.

63

64

65