aspek legal spasial

17
ASPEK LEGAL SPASIAL MENGENAI INFORMASI GEOSPASIAL DASAR TENTANG TITIK KONTROL ATAU TITIK REFERENSI DAN SISTEM REFERENSI Dibuat untuk memenuhi Ujian Tengah Semester (UTS) mata kuliah GD5202Aspek Legal Spasial Dosen: Dr. Heri Andreas Disusun oleh: I Gst Ngr Yoga Jayantara (25114006) Program Studi Magister Teknik Geodesi dan Geomatika

Upload: yogajayantara

Post on 01-Oct-2015

43 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

menjelaskan aspek legas spasial

TRANSCRIPT

ASPEK LEGAL SPASIAL MENGENAI INFORMASI GEOSPASIAL DASAR TENTANG TITIK KONTROL ATAU TITIK REFERENSI DAN SISTEM REFERENSI

Dibuat untuk memenuhi Ujian Tengah Semester (UTS) mata kuliah GD5202Aspek Legal Spasial

Dosen: Dr. Heri Andreas

Disusun oleh:I Gst Ngr Yoga Jayantara(25114006)

Program Studi Magister Teknik Geodesi dan GeomatikaFakultas Ilmu dan Teknologi KebumianInstitut Teknologi Bandung2015A. PENDAHULUANInformasi Geospasial, yang lazim dikenal dengan peta, adalah informasi obyek permukaan bumi yang mencakup aspek waktu dan keruangan. Informasi Geospasial merupakan bagian penting dalam mewujudkan sistem informasi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung sektor publik dalam melaksanakan proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, baik pada pemerintahan tingkat pusat maupun tingkat daerah, dan juga pada sektor perorangan dan kelompok orang. Informasi Geospasial menjadi komponen penting dalam mendukung pengambilan keputusan. Peran Informasi Geospasial semakin penting dalam pembangunan, namun masih banyak permasalahan yang muncul karena belum adanya peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang Informasi Geospasial. Pentingnya undang-undang tentang Informasi Geospasial adalah usaha untuk menjadikan Informasi Geospasial menjadi program di setiap instansi pemerintah dan tanggung jawab masyarakat, agar penyelenggaraannya menjadi sistematis dan berkelanjutan. Undang-Undang tentang Informasi Geospasial ini diharapkan menjadi aturan yang mengikat bagi seluruh pemangku kepentingan, sehingga dapat dimanfaatkan untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Keberlangsungan penyelenggaraan Informasi Geospasial memerlukan dukungan dari berbagai pihak, yaitu Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat yang menjadi penyelenggara Informasi Geospasial. Keberlangsungan penyelenggaraan Informasi Geospasial sangat erat kaitannya dengan ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas, dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sosial (IPTEKS). Pengaturan tentang Informasi Geospasial mendesak untuk dilakukan sejalan dengan meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat dan kemajuan teknologi yang sangat pesat, masyarakat secara umum semakin menyadari makna penting dari sebuah informasi. Informasi Geospasial sekarang sudah muncul dalam berbagai ragam bentuk dan kemanfaatannya, seperti tersedianya berbagai Informasi Geospasial yang dapat diakses melalui jaringan internet pada komputer atau telepon seluler. Hak masyarakat, baik perorangan maupun badan usaha, untuk mendapatkan Informasi Geospasial yang benar dan dapat memanfaatkannya untuk keperluan masyarakat harus terjamin. Di sisi lain harus ada kejelasan tentang kewajiban masyarakat terkait penyelenggaraan Informasi Geospasial.Dasar hukum yang mengatur mengenai geospasial atau yang terkait mengenai geospasial adalah :a. UU No 4 tahun 2011b. PP no 9 tahun 2014c. PP no 64 tahun 2014d. Peraturan Kepala (Perka) BIG Nomor 15 tahun 2013e. Perka BIG Nomor 14 tahun 2013f. PP Nomor 94 Tahun 2011Dalam peraturan tersebut mengatur mengenai jaring kontrol serta sistem referensi yang merupakan bagian penting dalam Informasi geospasial itu sendiri.titik kontrol dipakai sebagai titik referensi untuk dapat menghasilkan data geospasial yang nantinya akan diolah menjadi informasi geospasial, sedangankan sistem referensi merupakan suatu wadah yang digunakan dalam pembuatan informasi geospasial, jika sistem ini tidak didefinisikan dengan benar maka informasi geospasial tersebut akan menjadi salah. Atas dasar hal tersebutlah UU geospasial dan turunan peraturan lainnya mengenai geospasial dibentuk agar kejelasan mengenai pengaturan titik kontrol dan sistem referensi didapatkan serta menghindari tumpang tindihnya pembuatan informasi geospasila oleh badan-badan yang terkait tanpa adanya keseragaman yang diatur oleh sebuah undang-undang.B. SEJARAH PERKEMBANGANSeiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan informasi geospasial dasar juga mengalami perkembangan. Jaring kontrol dan sistem referensi yang merupakan bagian penting dari IGD pun inkut berkembang, berikut ini merupakan sejarah perkembangan dari titik kontrol dan sistem referensi di Indonesia :

1. Titik KontrolPada awalnya titik kontrol yang dibangun pada masa penjajahan berupa jaring triangulasi. Jaring triangulasi ini mulai dibangun pada tahun 1862. Jaring Triangulasipertama yang dibangun terdapat di Jawa dan Madura dengan klasifikasi titik kontrol sebanyak 137 titik primer dan 723 titik sekunder. Awalnya titik ini dibangun di titik datum Genuk dan bereferensi pada ellipsoid Bessel 1841. Kemudian pada tanggal 2 Desember tahun 1853 Belanda memberlakukan Peraturan pemerintah untuk melakukan pemetaan secara sistematik untuk pulau Jawa-Madura. Pembuatan Jaring Kontrol Horisontal baru dimulai pada tahun 1862. Hal tersebut terealisasi berkat jasa Dr.Oudemans, seorang Guru besar dari Universitas Utrecht. Kemudian dimulai pekerjaan untuk pemetaan jaring triangulasi di Pulau Jawa yang berhasil diselesaikan pada tahun 1880 yang kemudian dilanjutkan ke pulau Sumatra yang mulai diukur pada tahun 1883 dengan klasifikasi sebanyak 144 titik primer, 161 titik sekunder dan 2659 titik tersier. Elipsoid yang digunakan saat itu adalah Bessel 1841 dengan titik awal pada datum Padang. Selanjutnya pengukuran di Sulawesi dimulai 1913 dengan klasifikasi sebanyak 74 titik primer, 92 titik sekunder dan 1081 titik tersier. Kemudian pengukuran selanjutnya dilakukan di Nusa Tenggara dan Kalimantan.Jaring Kontrol Vertikal mulai dibangun pada tahun 1925 dipelopori oleh Prof. Ir. Schepers dan kemudian terhenti terhenti karena pecahnya Perang Dunia II. Kemudian selanjutnya dilanjutkan dengan pengadaan jaring kontrol vertikal yang terbagi menjadi lima periode yaitu periode sebelum 1925, periode 1925 1930, periode 1956 1958, periode 1972 1979, dan periode 1980 1987. Pada periode sebelum 1925 telah ditetapkan jaring kontrol vertikal Jawa Barat dan sebagian Jawa tengah orde-1, jaring kontrol Sulawesi Selatan dan Kepulauan Bangka orde-2.

Gambar 1. Tugu Triangulasi sebagai titik kontrol masa laluPada periode 1925 1930, telah diselenggarakan jarring kontrol vertikal untuk wilayah seluruh Jawa dengan kategori kontrol vertikal orde-1, dengan total panjang 4500 Km, terdiri atas 2083 titik. Tanda tinggi menggunakan kode identifikasi NWP (Nauwkeuriggheid Waterpass Punt). NWP nomor 3 dipilih sebagai datum yang memiliki tinggi 1,47 m di atas MSL Tanjung Priuk , teluk Jakarta. Kemudian untuk bagian Sulawesi Selatan, sepanjang 418 Km, Minahasa sepanjang 182 Km, dan Kepulauan Bangka sepanjang 993 Km.Pada masa kemerdekaan setelah selesai pemerintahan Hindia- Belanda pembangunan titik kontrol dilanjutkan. Pada masa ini di berlakukan UUPA yang mengeluarkan mandat untuk membuat titik dasar teknik yang diklasifikasikan sesuai dengan orde, dari orde 0 sampai orde 1. Pada saat itu Badan Koodinasi Survei dan Pemetaan Nasinoal (Bakosurtanal) ditunjuk untuk membangun dan mengelola titik kontrol orde 0 dan orde 1, sedangkan utuk orde 2, 3 dan 4 diserahkan pada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pada pemerintahan orde baru pada tahun 1969 pada periode Pelita I pembangunan Jaring Kontrol orde 1 baru mencapai 30 sampai 40 % dari seluruh wilayah Indonesia. Hingga saat ini pembangunan titik dasar teknik telah selesai meskipun penyebarannya masih terpusat pada pulau Jawa Madura dan Sumatera.Yang paling baru sedang dikembangkan di Indonesia adalah titik kontrol CORS yang dibangun untuk keperluan percepatan penyediaan data Informasi Geospasial. CORS merupakan jaring kontrol yang dibangun di beberapa stasiun tetap di seluruh Indonesia. CORS beroprasi secara kontinyu selama 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, yang berarti beroperasi non stop. Titik kontrol ini masih terus diperbaharui dan terus dikembangkan pengelolaannya oleh BIG dan BPN untuk memajukan penyediaan Informasi Geospasial Indonesia.2. Sistem ReferensiPada awal perkembangannya Indonesia memiliki datum yang terpisah-pisah pada masing-masing pulau yang ada di Indonesia. Terdapat beberapa datum yang dahulu dipakai yaitu Datum Genuk dan Datum Moncong Lowe. Datum Genuk dipakai di pulau Sumatra, Jawa dan Nusa Tenggara. Datu Genuk mengadopsi ellipsoid Bessel 1971. Datum Moncong Lowe dipakai di pulau Sulawesi. Dengan berkembangnya teknologi yang ada maka datum yang terpisah-pisah tersebut kemudian dijadikan satu yaitu datu Indonesia Datum 1971 dengan titik datum terdapat di Padang. Datum ini mengadopsi ellipsoid GRS 67. Kemudian muncul lagi datum baru yaitu Datum Geodetik Nasional 1995 (DGN 95), datum ini mengadopsi ellipsoid WGS 84.Selama 18 tahun Indonesia menggunakan DGN 95 sebagai sistem referensi dengan tetap terus malakukan riset untuk menemukan sistem referensi yang paling fit atau paling cocok dengan kondisi topografi Indonesia. Pada tahun 2013 BIG (Badan Informasi Geospasial) meluncurkan Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 (SRGI 2013). Peluncuran SRGI 2013 ini diatur dalam Peraturan Kepala (Perka) BIG nomor 15. Saat ini setiap Informasi Geospasial yang diedarakan harus dalam SRGI 2013.SRGI dibuat untuk memenuhi kebutuhan Informasi Geospasial yang semakin meningkat dan dibutuhkan diseluruh bagian sektor pembangunan di Indonesia. SRGI 2013 merupakan satu paket jaring kontrol dan juga sistem referensi yang bisa diakses secara gratis pada http://srgi.big.go.id. Layanan ini menyediakan model geoid yang dapat diakses secara mudah. Model geoid ini memenuhi kebutuhan akan titik referensi vertikal (titik referensi tinggi) dengan model geoid indonesia yang telah di hitung dalam periode 18,6 tahun. Layanan ini juga menyediakan data ketersediaan jaring kontrol dari stasiun yang terdapat di seluruh Indonesia. SRGI 2013 sampai saat ini terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan publik akan informasi geospasial.

Gambar 1. Tampilan layanan SRGI 2013C. STATUS1. Titik Kontrol

Gambar 2. Pilar titik kontrol dan stasiun tetap CORSTitik kontrol yang saat ini sedang dikembangkan penggunaannya di Indonesia adalah jaring kerangka CORS. CORS dibangun untuk mnyelesaikan permasalahan tidak meratanya titik kontrol terdahulu (orde 0 dan 1 oleh BIG dan 2,3 dan 4 oleh BPN). Namun pada kenyataannya saat ini pun stasiun CORS hanya terpusat penyebarannya di pulau Jawa. Sedangkan di pulau lainnya persebarannya masih sangat sedikit dan belum merata.

Gambar 3. Persebaran stasiun CORS BIG di IndonesiaSelain itu pembangunan dan pengelolaannya juga mengalami masalah tumpang tindih antara dua badan yaitu BIG dan BPN. Sehingga menyebabkan status dari titik kontrol yang dibangun saat ini masih belum jelas dan masih belum tertata secara sistematis. CORS yang dibangun untuk mnyelesaikan permasalahan anggaran dan tidak meratanya persebaran titik kontrol terdahulu saat ini bukannya menyelesaikan masalah tetapi menambah panjang daftar masalah yang harus diselesaikan pemerintah.

2. Sistem Referensi

Gambar 4. Web SRGI 2013 official BIGSistem referensi baru yang diterapkan di Indonesia adalah Sistem Referensi Geodesi Indonesia (SRGI) 2013. Sistem ini di luncurkan untuk menggantikan sistem referensi yang lama yaitu DGN 95. Sesuai dengan Perka BIG Nomor 15 yang menyatakan bahwa setiap Informasi Geospasial yang di publikasikan harus mengacu pada SRGI 2013. Saat ini semua Informasi geospasial baru yang di publikasi telah mengacu pada SRGI 2013, namun status Informasi Geospasial lama yang masih mengacu pada DGN 95 masih belum jelas. Ketersediaan data untuk transformasi antar sistem referensi yang lama dengan yang baru masih belum ada.

D. PERMASALAHAN1. Belum tersedianya parameter transformasi dari datum lama ke datum yang baru.Sejak tahun 2013 lalu, Indonesia resmi meluncurkan Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013. Hal ini diatur dalam Perka BIG nomor 15 yang mengatur mengenai peraturan serta kejelasan penggunakan SRGI 2013. Dalam peraturan ini kepala BIG menyatakan bahwa setiap Informasi Geospasial Indonesia yang beredar harus dalam sistem referensi SRGI.Dengan berlakunya peraturan ini berarti seluruh informasi geospasial yang tidak dalam sistem referensi SRGI 2013 harus diubah atau ditrasnformasikan kedalam sistem referensi SRGI 2013. Pada kenyataannya ketersediaan parameter transformasi antar datum lama dan yang baru belum ada. Hal ini memunculkan masalah karena seluruh peta lama yang masih mengacu pada DGN 95 tidak bisa di transformasikan kedalam sistem referensi SRGI 2013. Dengan begitu seluruh informasi geospasial yang beredar menjadi tidak legal dan harus ditarik dari pasaran. Jika parameter ini tidak secepatnya tersedia maka informasi geospasial yang telah ada yang menagacu pada DGN 95 harus dimusnahkan dan diganti dengan yang baru, hal ini mambuat pekerjaan yang mudah menjadi sulit, karena haru melakukan pengadaan ulang dari awal untuk sebuah informasi geospasial, sedangkan begitu banyaknya informasi geospasial yang telah ada yang masih mengacu pada DGN 95.

2. Tumpang tindihnya peraturan mengenai titik kontrol antara dua badan yaitu BIG dan BPN.Global Positioning System Continuously Operating Reference Stations (GPS CORS) merupakan sistem yang sedang dikembangkan di Indonesia untuk membantu percepatan dalam bidang survei pemetaan. Sistem ini beroperasi secara kontinyu selama 24 jam. Di Indonesia sistem ini dibangun oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) untuk mempercepat pemetaan bidang dan dibangun juga oleh BIG (Badan Informasi Geospasial) untuk mempercepat dalam pembuatan Informasi Geospasial Indonesia. Pada pelaksanaannya penggunaan sistem ini mengalami tumpang tindih antara BPN dan BIG dalam pengelolaan CORS. Pada Undang Undang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial menyatakan bahwa informasi Geospasial Dasar terdiri dari Jaring Kontrol Geodesi dan Peta Dasar (Pasal 5), dan Jaring Kontrol Geodesi meliputi JKHN, JKVN, dan JKGN (Pasal 6). Sedangkan dalam Peraturan Kepala (Perka) BIG Nomor 14 Tahun 2013 Tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria Pemutakhiran Informasi Geospasial Dasar, pada lampiran peraturan disebutkan bahwa Jaring Kontrol Geodesi meliputi JKHN, JKVN, dan JKGN, dan Jaring Kontrol Geodesi (JKG) terdiri atas sebaran titik-titik kontrol geodesi yang secara fisik berupa:a. Stasiun pengamatan geodetik tetap/kontinu;b. Stasiun pengamatan geodetik periodik;c. Titik-titik kontrol geodetik lainnya.Seperti halnya pada Perka BIG Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 pasal 7, yang menyebutkan bahwa JKG terdiri atas:a. Sebaran stasiun pengamatan geodetik tetap/kontinu;b. Sebaran titik pengamatan geodetik periodik;c. Sebaran titik-titik kontrol geodetik lainnya.Sebaran stasiun pengamatan geodetic tetap/kontinu salah satunya adalah stasiun tetap GNSS atau CORS. Pada pelaksanaannya CORS dikelola oleh kedua badan tersebut. Belum adanya peraturan yang menegaskan pengelolaan terhadap CORS menyebabkan masing-masing badan menimpulkan untuk mengelola CORS yang mereka bangun sendiri-sendiri. Jika ini terus berlanjut akan terjadi pemborosan APBN. Lebih baik jika dikeluarkan peraturan penegasan mengenai pengelolaan CORS.

Gambar 5. Persebaran stasiun CORS BIG dan BPN

3. Ketidakjelasan status titik kontrol yang telah di bangun.Saat ini terdapat ribuan titik kontrol yang telah dibangun tersebar di seluruh penjuru nasional. Ribuan titik tersebut saat ini banyak yang terbengkalai dan tidak lagi dipakai karena saat ini titik kontrol yang terbaru yang dikembangkan oleh BIG adalah jaring CORS. Seluruh pengukuran yang dilakukan saat ini mengacu pada jaring kontrol CORS. Atas dasar tersebut titik kontrol lainnya menjadi tidak terpakai lagi.Ribuan titik kontrol tersebut masih belum jelas statusnya sampai saat ini. Belum terdapat peraturan yang jelas tentang status dari titik kontrol tersebut, apakah masih valid dan dapat digunakan ataukan tidak, dan jika tidak apakah titik tersebut akan dicabut dari perdaran ataukah dibiarkan saja. Hal ini menjadi permasalahan karena seluruh badan yang memerlukan data geospasial yang belum fasih dengan CORS masih akan menggunakan titik kontrol tersebut, padahal status dari titik kontrol tersebut masih belum jelas. Ini akan menghasilkan ketidakjelasan data geospasial yang diperoleh. Untuk itu perlu dibuat dasar legalitas untuk kejelasan status dari titik kontrol tersebut.

4. Masih terdapat peraturan yang mengacu pada sisterm referensi DGN 95.Sesuai dengan peraturan kepala BIG yang menyatakan bahwa seluruh Informasi geospasial Indonesia yang beredar harus mengacu pada SRGI 2013 seluruh peta mengenai Indonesia harus pula mengacu pada SRGI 2013. Baik itu peta dasar berupa RBI, LLN, maupun LPI serta peta turunan lainnya yang ada. Namun pada kenyataannya masih terdapat undang-undang yang menyebutkan bahwa peta mengacu pada datum lama yaitu DGN 95, contoh di dalam permendagri No 76 tahun 2012 tertuang dalam penjelasan peraturan bahwa datum atau referensi yang digunakan dalam penegasan batas adalah Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN 95) padahal telah tertuang dalam perka BIG No 15 tahun 2013 bahwa saat ini datum atau sistem referensi nasional yang digunakan oleh Indonesia adalah Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013.Hal ini menimbulkan masalah, yaitu validitas dari aspek legal spasial pada peraturan tersebut. Apakah penegasan batas yang dihasilkan dapat dipublikasikan secara legal, sedangkan sistem acuan referensinya saja tidak sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh kepala BIG. Dimana peraturan ini diperkuat pula oleh undang-undang geospasial. Hal ini harus segera ditindak lajuti dengan merevisi undang-undang yang masih mengacu pada sistem referensi DGN 95.