askep picu 3

50
LAPORAN KASUS RESIDENSI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN BY S.S. DENGAN RESPIRATORY FAILURE DIAKIBATKAN: SEPSIS + DIARE AKUT DEHIDRASI BERAT + ANEMIA DEFISIENSI BESI + SYNDROMA HEMOLITIK UREMIC + ELECTROLYTE INBALANCE (HYPOKALEMIA) DI RUANG PICU RSHS BANDUNG TANGGAL 22 NOPEMBER 2010 Dosen Pembimbing : Juva Manurung, SKp Oleh : Dewi Rosmawarsari 131420090020 Program Pasca Sarjana Peminatan Keperawatan Kritis

Upload: evangeline-hutabarat

Post on 05-Aug-2015

92 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: askep PICU 3

LAPORAN KASUS RESIDENSI

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN BY S.S.DENGAN RESPIRATORY FAILURE DIAKIBATKAN: SEPSIS + DIARE AKUT

DEHIDRASI BERAT + ANEMIA DEFISIENSI BESI + SYNDROMA HEMOLITIK UREMIC + ELECTROLYTE INBALANCE (HYPOKALEMIA)

DI RUANG PICU RSHS BANDUNGTANGGAL 22 NOPEMBER 2010

Dosen Pembimbing : Juva Manurung, SKp

Oleh :

Dewi Rosmawarsari

131420090020

Program Pasca Sarjana Peminatan Keperawatan Kritis

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung

2010

Page 2: askep PICU 3

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PASIEN BY S.S.DENGAN RESPIRATORY FAILURE DIAKIBATKAN: SEPSIS + SYNDROMA

HEMOLITIK UREMIC + CEREBRAL PALSY SPASTIS QUADRIPLEGI+CANDIDIASIS INTERTRIGINOSA

DI RUANG PICU RSHS BANDUNGTANGGAL 22-24 NOPEMBER 2010

I. PENGKAJIAN

a. Identitas Pasien

Nama : S.S

Umur : 1 tahun

Pekerjaan : -

Pendidikan : -

Alamat : Situ Gunting RT 04 RW 09 Babakan Ciparay Kab. Bandung

Status Bayar : Jamkesmas

Tanggal Masuk RS : 27 Oktober 2010

Tanggal Pengkajian : 22 Nopember 2010 jam 08.00

Diagnosa Medis SMRS : Respiratory Failure ec sepsis+diare akut, dehidrasi

berat+anemia defisiensi besi+ synd. Hemolitik

uremik+hypokalemi

Diagnosa Medis saat dikaji : RF ec severe sepsis+HUS+CP spastis quadriplegi+

Candidiasis intertriginosa

b. Identitas Penanggungjawab

Nama : Tn. A.S

Umur : 45 tahun

Pekerjaan : Buruh Bangunan

Pendidikan : SD (tamat)

Alamat : Situ Gunting RT 04 RW 09 Babakan Ciparay Kabupaten Bandung

PRIMARY SURVEY

1. AIRWAY

Jalan nafas via ETT no. 4 kedalaman 12 cm

Terdapat banyak secret di ETT dan dirongga mulut, warna putih berbusa

Terdengar bunyi gargling

Page 3: askep PICU 3

2. BREATHING

RR 21 x/mnt

SaO2 90%

Terpasang ventilator (Mode SIMV+ PS, IPL 10 cm H2O, PEEP 4 cm H2O,

FiO2 45%, I:E= 1:1,9, RR=28, RR SIMV 20, MV= 1,6 l/mnt).

Pergerakan dada simetris kiri dan kanan

Penggunaan otot bantu napas (+), Retraksi IC (+), Supra sternal (+)

Terdengar bunyi rales di area lapang paru

3. CIRCULATION

TD 104/72 mmHg

HR 150 x/mnt, S 37,1 0 C

CRT < 3 “

Akral dingin

Diuresis

4. DISABILITY

GCS E2 M4 VT

Rangsang cahaya (-)

Pupil isokor, ka/ki 3/3 mm

Parese kedua ekstremitas bawah

5. EXPOSURE AND EKG

Terpasang monitoring : EKG dengan irama sinus takikardi ( ST ).

Pakaian pasien dilepas dan diselimuti dengan kain.

Tidak terdapat tanda-tanda trauma (fraktur, excoriasi, vulnus laceratum,

hematom, atau jejas).

Terdapat kemerahan dilipatan leher, ketiak, dan skrotum bagian depan.

Terdapat luka lecet melingkar diujung bibir bagian kanan, ukuran 2x1cm,

warna merah, pus (-), bau(-).

Page 4: askep PICU 3

6. FREEZING AND FLUID

Tanggal 22 Nov 2010 jam 08.00

o S : 35 0 C.

o Terpasang infus RL di tangan kanan

o Kebutuhan cairan untuk umur 1 tahun 110-120 ml/kg/hr

Kebutuhan minimal 110 x 9 = 990 ml/hr

Kebutuhan maksinal 120 x 9 = 1080 ml/hr

SECONDARY SURVEI

1. Anamnese

Keluhan utama Penurunan kesadaran ( Sopor ) dengan GCS E2 M4 VT

Riwayat Penyakit

Sekarang

Riwayat Kesehatan

Masa Lalu

Pada tanggal 27 Oktober 2010 pasien dibawa berobat

dengan keluhan mengalami batuk-batuk dan diare.

Diare 4x-5x/hari tiap mencret ¼-1/2 gelas kopi namun

tidak disertai darah dan lendir. Kemudian orangtua

membawa berobat ke IGD RSHS, setelah dilakukan

pengkajian pasien didiagnosa Diare akut dan

mengalami dehidrasi berat serta dirawat di ruang A1.

Pada tanggal 1 november By. S mengalami sesak

napas berat dan panas tinggi. Saat itu dokter

menganjurkan supaya By. S di rawat di ruang PICU

untuk dilakukan perawatan lebih intensif. Keluarga

menyetujui keputusan ini, sehingga pasien dipindahkan

ke ruang PICU.

Bapak By. S mengatakan bahwa pada umur 9 bulan

pasien pernah dirawat sebelumnya di RSHS pada

sekitar bulan agustus – september dengan kondisi

tidak sadarkan diri. Riwayat dari catatan medis yaitu

dengan sepsis dan Cerebral Palsy quadriplegia.

Selama iniorangtua membawa pasien kontrol setiap

bulan ke poliklinik neuro pediatrik RSHS.

Page 5: askep PICU 3

Riwayat Kehamilan

dan Persalinan

Riwayat Tumbuh

Kembang

Pemeriksaan Head to

Toe

Terapi

Riwayat kehamilan

o Menurut ibu klien: kehamilan cukup bulan,

pemeriksaan kehamilan di puskesmas, imunisasi saat

hamil lengkap.

Riwayat persalinan

o Persalinan ditolong oleh dokter, lahir normal dengan

BB 3000 gr

Riwayat imunisasi

o Bayinya mendapat imunisasi: BCG, DPT lengkap,

Polio lengkap, Hepatitis lengkap

Pola pemberian makanan: umur 0-6 bln ASI, 6-9 bln

ASI + bubur saring, 9-10 bln susu formula + bubur

saring, 10- sekarang susu formula bubur tim

Menurut ibunya: anaknya sudah bisa merangkap pada

umur 8 bulan berjalan dengan pegang pada umur 9

bulan.

Kepala: odema palpebra -/-, konjunctiva anemis

mukosa mulut kering dan terdapat luka disudut bibir

kanan. Kulit lipatan leher tampak kemerahan (Jamur).

Thoraks: bentuk simetris, kulit disela ketiak tampak

kemerahan (jamur).

Abdomen: perut cembung, lingkar perut 48 cm , hepar 3

cm tepi tajam

Extremitas: akral hangat, terpasang infus di extremitas

atas kanan.

Genitalia : kulit skrotum tampak merah (jamur)

Tanggal 22 Nop 2010 sampai 24 Nopember 2010

Infus RL 30 cc/kgBB dalam ½ jam lanjut 70

cc/kgBB dalam 2 ½ jam

Page 6: askep PICU 3

Meronem 3 x 350 mg IV jam 10-18-02

Gentamycin 3 x 22 mg IV jam 09-17-01

Flucanozol 1 x 100 mg Ps jam 09

Diazepam 3 x 1 mg PS jam 09-17-01

Paracetamol syrup 3 x 3/4 cth bila suhu > 38

derajat celcius

KCL 3 x 225 mg PS jam 13-21-05

Diit Pediasure 4 x 120 cc melalui sonde

Pemeriksaan Diagnostik

o Pemeriksaan Darah Lengkap

Item Standar 22/11 23/11 24/11

Hb

HT

Leuko

Tr

MCV

MCH

MCHC

11,5-13,5

34-40

5-14 x 103

150-140

75- 87 PL

24- 30 pg

31 -37 %

13,2

39

107000

291.000

82,1

28,1

34,2

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Interpretasi : dalam batas normal

Perkembangan hasil kimia klinik

Item Standar 22/11 23/11 24/11

5-20

0,4-1,2

135-145

3,6-5,5

98-108

0-6 mg/l

20

0.14

-

-

-

-

-

-

132

4,84

-

4,4

Page 7: askep PICU 3

Perkembangan hasil AGD

Item Standar 22/11 23/11 24/11

PH

PCO2

PO2

HCO3

TCO2

BE

SatO2

7,35-7,45

35- 45

80-100

22-26

22-29

-2 - +2

95-100

7,447

43,6

48,5

30,1

31,4

6,1

83,1

7,465

41

232,9

29,6

30,8

5,8

99,6

7,420

41,1

91,5

26,1

27,3

2.1

96,9

Kesan: tgl 22/11- asidosis metabolik

Tgl 23/11- alkalosis metabolik

Tgl 24/11- normal

o Foto Rontgen

Tanggal 3 Nop 2010: Bronkhopeumonia kanan

Tanggal 9 Nop 2010: Kardiomegali suspect odema paru

1. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan perjalanan penyakit

2. Lakukan manajemen nutrisi, cairan dan elektrolit terkait dengan pemenuhan

kebutuhan nutrisi.

Tujuan:

Kebutuhan nutrisi, cairan dan elektrolit terpenuhi.

Kriteria:

BB mencapai ideal

Kulit dan mukosa lembab, turgor baik, tanda vital dalam batas normal

Intervensi:

Lakukan perhitungan kebutuhan nutrisi:

Page 8: askep PICU 3

Primary survey Tanggal : 22 November 2010 jam 08.00

Pengkajian Masalah Rencana tindakan Tindakan Evaluasi

AIRWAY

Jalan nafas via ETT

no. 4 kedalaman 12

cm, Terdapat banyak

secret di ETT dan

dirongga mulut, warna

putih berbusa,

Terdengar bunyi

gargling

BREATHING

RR 21 x/mnt

SaO2 90%

Terpasang ventilator

(Mode SIMV+ PS,

Bersihan jalan napas tidak efektif.

Gangguan pemenuh an oksigen.

Kaji kepatenan jalan

napas (bersihan dan

posisi jalan napas).

Lakukan pengisapan

lendir dengan

menggunakan dengan

tehnik steril, dan lakukan

penghisapan sekret di

daerah mulut dengan

kateter suction yang

berbeda.

Pantau kesesuaian mode

setting ventilator dengan

kondisi klinis serta hasil

AGD.

Monitor SaO2 setiap saat

Mengkaji kepatenan jalan

napas (bersihan dan posisi

jalan napas).

Melakukan pengisapan

lendir dengan menggunakan

kateter no. 10 pada ETT

dengan tehnik steril, dan

melakukan penghisapan

sekret di daerah mulut

dengan kateter suction yang

berbeda.

Memantau kesesuaian

mode setting ventilator

ventilator dengan kondisi

klinis dan hasil AGD setiap

Tgl 22 nov 2010 Jam

08.00-14.00.

Setelah dilakukan suction

setiap ada secret jalan

napas bersih, suara

gargling tidak ada.

8

Page 9: askep PICU 3

IPL 10 cm H2O,

PEEP 4 cm H2O,

FiO2 45%, I:E= 1:1,9,

RR=28, RR SIMV 20,

MV= 1,6 l/mnt).

Pergerakan dada

simetris kiri dan

kanan.

Penggunaan otot bantu

napas (+), Retraksi IC

(+), Supra sternal (+).

Terdengar bunyi rales

di area lapang paru.

Asidosis metabolik.

melakukan tindakan

suctioning, apabila terjadi

penurunan < dari 90 %.

hentikan sementara

tindakan suctioning.

Lakukan hiperventilasi

sebelum dan sesudah

suctioning apabila ada

penurunan SaO2 < 90 %.

Kolaborasi untuk pemerik

saan AGD.

jam.

Memonitor SaO2 setiap saat

melakukan tindakan

suctioning, apabila terjadi

penurunan < dari 90 %,

hentikan sementara tindakan

suctioning.

Melakukan hiperventilasi

sebelum dan sesudah

suctioning apabila ada

penurunan SaO2 < 90 %.

Melakukan Kolaborasi untuk

pemeriksaan AGD.

Mengambil darah untuk

sample AGD 1 cc melalui

arteri radialis.

Mengirim sampel AGD ke

SaO2 antara 90%-100%

9

Page 10: askep PICU 3

CIRCULATION

TD : 104/72 mmHg

HR : 150 x/mnt,

S : 37,1 0 C

CRT < 3 “

Akral dingin

Diuresis

K : 3,3 meq/l

Melakukan manajemen

nutrisi, cairan dan

elektrolit terkait dengan

pemenuhan kebutuhan

nutrisi.

Hitung pemenuhan cairan

dan elektrolit sesuai yang

sudah diprogramkan.

Catat intake output setiap

jam.

Pantau hasil laboratorium

yang berhubungan

dengan cairan dan

elektrolit.

laboratorium.

menghitung pemenuhan

cairan dan elektrolit sesuai

yang sudah diprogramkan.

mencatat intake output setiap

jam.

memantau hasil laboratorium

yang berhubungan dengan

cairan dan elektrolit.

10

Page 11: askep PICU 3

DISABILITY

GCS E2 M4 VT.

Rangsang cahaya

negatif.

Pupil isokor, ka/ki 3/3

mm.

Parese ekstrimitas.

EXPOSURE

Terdapat kemerahan

dilipatan leher, ketiak,

dan skrotum bagian

depan.

Terdapat luka lecet

melingkar diujung

bibir bagian kanan,

ukuran 2x1x0,3 cm,

Gangguan perfusi

jaring an cerebral.

Gangguan

integritas kulit

Pantau gambaran EKG

bila terjadi kelainan

elektrolit.

Observasi TTV dan GCS

tiap jam.

Kaji tanda-tanda infeksi.

Berikan terapi sesuai

program

Obat jamur.

memantau gambaran EKG

bila terjadi kelainan

elektrolit.

Observasi TTV dan GCS

tiap jam.

Mengkaji tanda-tanda

infeksi.

Memberikan terapi sesuai

program

Obat jamur.

11

Page 12: askep PICU 3

warna merah, pus (-),

bau(-). Lakukan tindakan

pembersihan luka dengan

tehnik steril setiap 3x per

hari.

Melakukan tindakan

pembersihan luka dengan

tehnik steri. Dan

memberikan salep kulit

dengan cara di oles pada

kulit yang kemerahan akibat

jamur.

12

Page 13: askep PICU 3

Primary survey Tanggal : 23 November 2010 jam 09.00

Pengkajian Masalah Rencana tindakan Tindakan Evaluasi

AIRWAY

Jalan nafas via ETT

no. 4 kedalaman 12

cm, Terdapat banyak

secret di ETT dan

dirongga mulut, warna

putih berbusa,

Terdengar bunyi

gargling.

BREATHING

RR 21 x/mnt

SaO2 90%

Terpasang ventilator

(Mode SIMV+ PS,

Bersihan jalan

napas tidak efektif.

Gangguan pemenuh an oksigen.

Kaji kepatenan jalan

napas (bersihan dan

posisi jalan napas).

Lakukan pengisapan

lendir dengan

menggunakan dengan

tehnik steril, dan

lakukan penghisapan

sekret di daerah mulut

dengan kateter suction

yang berbeda.

Pantau kesesuaian

mode setting ventilator

dengan kondisi klinis

Mengkaji kepatenan jalan

napas (bersihan dan posisi

jalan napas).

Melakukan pengisapan

lendir dengan menggunakan

kateter no. 10 pada ETT

dengan tehnik steril, dan

melakukan penghisapan

sekret di daerah mulut

dengan kateter suction yang

berbeda.

Memantau kesesuaian

mode setting ventilator

ventilator dengan kondisi

Tgl 23 nov 2010 Jam 08.00-

14.00.

Setelah dilakukan suction

setiap ada secret jalan napas

bersih, suara gargling tidak

ada. Sekret berwarna putih

berbusa.

13

Page 14: askep PICU 3

IPL 10 cm H2O,

PEEP 4 cm H2O,

FiO2 45%, I:E= 1:1,9,

RR=28, RR SIMV 20,

MV= 1,6 l/mnt).

Pergerakan dada

simetris kiri dan

kanan.

Penggunaan otot bantu

napas (+), Retraksi IC

(+), Supra sternal (+).

Terdengar bunyi rales

di area lapang paru.

Asidosis metabolik.

serta hasil AGD.

Monitor SaO2 setiap

saat melakukan

tindakan suctioning,

apabila terjadi

penurunan < dari 90 %.

hentikan sementara

tindakan suctioning.

Lakukan hiperventilasi

sebelum dan sesudah

suctioning apabila ada

penurunan SaO2< 90

%.

Kolaborasi untuk

pemerik saan AGD.

klinis dan hasil AGD setiap

jam.

Memonitor SaO2 setiap saat

melakukan tindakan

suctioning, apabila terjadi

penurunan < dari 90 %,

hentikan sementara tindakan

suctioning.

Melakukan hiperventilasi

sebelum dan sesudah

suctioning apabila ada

penurunan SaO2 < 90 %.

Melakukan Kolaborasi

untuk pemeriksaan AGD.

Mengambil darah untuk

sample AGD 1 cc melalui

14

Page 15: askep PICU 3

CIRCULATION

TD : 104/72 mmHg

HR : 150 x/mnt,

S : 37,1 0 C

CRT < 3 “

Akral dingin

Diuresis

K : 3,3 meq/l

Hitung pemenuhan

cairan dan elektrolit

sesuai yang sudah

diprogramkan.

Catat intake output

setiap jam.

Pantau hasil

laboratorium yang

berhubungan dengan

cairan dan elektrolit.

Pantau gambaran EKG

bila terjadi kelainan

arteri radialis.

Mengirim sampel AGD ke

laboratorium.

15

Page 16: askep PICU 3

elektrolit.

Primary survey Tanggal : 24 November 2010 jam 09.00

Pengkajian Masalah Rencana tindakan Tindakan Evaluasi

16

Page 17: askep PICU 3

AIRWAY

Jalan nafas via ETT

no. 4 kedalaman 12

cm, Terdapat banyak

secret di ETT dan

dirongga mulut, warna

putih berbusa,

Terdengar bunyi

gargling.

BREATHING

RR 21 x/mnt

SaO2 90%

Terpasang ventilator

(Mode SIMV+ PS,

IPL 10 cm H2O,

PEEP 4 cm H2O,

Bersihan jalan

napas tidak efektif.

Gangguan pemenuh an oksigen.

Kaji kepatenan jalan

napas (bersihan dan

posisi jalan napas).

Lakukan pengisapan

lendir dengan

menggunakan dengan

tehnik steril, dan

lakukan penghisapan

sekret di daerah mulut

dengan kateter suction

yang berbeda.

Pantau kesesuaian

mode setting ventilator

dengan kondisi klinis

serta hasil AGD.

Monitor SaO2 setiap

saat melakukan

Mengkaji kepatenan jalan

napas (bersihan dan posisi

jalan napas).

Melakukan pengisapan

lendir dengan menggunakan

kateter no. 10 pada ETT

dengan tehnik steril, dan

melakukan penghisapan

sekret di daerah mulut

dengan kateter suction yang

berbeda.

Memantau kesesuaian

mode setting ventilator

ventilator dengan kondisi

klinis dan hasil AGD setiap

Tgl 24 nov 2010 Jam 08.00-

14.00.

Setelah dilakukan suction

setiap ada secret jalan napas

bersih, suara gargling tidak

ada. Sekret berwarna putih

berbusa.

17

Page 18: askep PICU 3

FiO2 45%, I:E= 1:1,9,

RR=28, RR SIMV 20,

MV= 1,6 l/mnt).

Pergerakan dada

simetris kiri dan

kanan.

Penggunaan otot bantu

napas (+), Retraksi IC

(+), Supra sternal (+).

Terdengar bunyi rales

di area lapang paru.

Asidosis metabolik.

tindakan suctioning,

apabila terjadi

penurunan < dari 90 %.

hentikan sementara

tindakan suctioning.

Lakukan hiperventilasi

sebelum dan sesudah

suctioning apabila ada

penurunan SaO2< 90

%.

Kolaborasi untuk

pemerik saan AGD.

jam.

Memonitor SaO2 setiap saat

melakukan tindakan

suctioning, apabila terjadi

penurunan < dari 90 %,

hentikan sementara tindakan

suctioning.

Melakukan hiperventilasi

sebelum dan sesudah

suctioning apabila ada

penurunan SaO2 < 90 %.

Melakukan Kolaborasi

untuk pemeriksaan AGD.

Mengambil darah untuk

sample AGD 1 cc melalui

arteri radialis.

18

Page 19: askep PICU 3

CIRCULATION

TD : 104/72 mmHg

HR : 150 x/mnt,

S : 37,1 0 C

CRT < 3 “

Akral dingin

Diuresis

K : 3,3 meq/l

Hitung pemenuhan

cairan dan elektrolit

sesuai yang sudah

diprogramkan.

Catat intake output

setiap jam.

Pantau hasil

laboratorium yang

berhubungan dengan

cairan dan elektrolit.

Pantau gambaran EKG

bila terjadi kelainan

elektrolit.

Mengirim sampel AGD ke

laboratorium.

19

Page 20: askep PICU 3

20

Page 21: askep PICU 3

ANALISA KASUS

Klien masuk rumah sakit dengan riwayat diare akut dan dehidrasi berat. Diare akut

yang disertai dengan dehidrasi berat menyebabkan asidosis metabolic, sehingga

terjadi depresi pengaturan napas dan terjadi gagal napas. Hal ini membutuhkan alat

bantu napas yaitu ventilator mekanik. Kondisi klien diperberat dengan adanya

komplikasi pada ginjal yang disertai dengan anemia hemolitik sehingga klien

terdiagnosa Syndroma Hemilitik Uremia. Disamping itu hasil foto thorak

menunjukkan adanya Bronkhopnemonia, hal ini sangat berdampak terhadap proses

penyembuhan. Walaupun selama perawatan, klien telah mendapatkan kombinasi

antibiotika, hal ini memerlukan pemeriksaan kultur untuk melihat jenis antibiotika

yang tepat untuk mengatasi masalah infeksi saluran napas.

LAKUKAN PERHITUNGAN KEBUTUHAN NUTRISI

Kebutuhan energy anak umur 1 tahun adalah 75-90 kkal/kg/hari

Berat anak 8,9 kg, maka kebutuhan kalori adalah:

Kebutuhan minimal : 75 x 8,9 = 667,5 kkal

Kebutuhan maksimal: 90 x 8,9 = 801 kkal

Ditambah 40-50% karena sedang mengalami sepsis: 45% x 801= 360,45.

Jadi nutrisi yang dibutuhkan adalah 801 + 360,45 = 1161,45 kkal/hari.

Atau diperkirakan antara 1161 kkal/hari.

Kebutuhan protein untuk anak umur 1 tahun 1-2 gr x BB.

Kebutuhan minimal protein: 1 x 9= 9 gr = 36 kkal

Kebutuhan maksimal protein: 2 x 9 = 18 gr = 72 kkal

Jadi pemberian nutrisi terdiri dari:

Milk cream (PASI) : 100 cc PASI 70 kkal, klien membutuhkan 1161 kkal, maka

1161 x (100/70) = 1500 cc. Diberikan 8 x 60 cc personde

Kebutuhan cairan untuk umur 1 tahun 110-120 ml/kg/hr

Kebutuhan minimal 110 x 9 = 990 ml/hr

Kebutuhan maksinal 120 x 9 = 1080 ml/hr

21

Page 22: askep PICU 3

KAJIAN TEORITIS : SINDROM HEMOLITIK UREMIK

Sindrom hemolitik uremik (SHU) adalah sekelompok gangguan heterogen dengan

gejala klinis yang beragam dan berat. Sindrom ini pertama kali dikenalkan oleh Gesser

dkk pada tahun 1955 dan merupakan penyebab gagal ginjal akut tersering pada anak.

Sindrom ini ditandai dengan tiga gejala klinis yaitu : anemia hemolitik mikroangiopati,

trombositopeni dan gagal ginjal akut. Pada fase akut merupakan penyakit yang serius dan

memerlukan penanganan yang intensif guna mencegah penderita terhindar dari bahaya

kematian atau kerusakan fungsi ginjal.

SHU biasanya berhubungan dengan epidemi dan penyakit gastroenteritis (GE)

diare berdarah yang disebabkan oleh Shigella dysentriae sebagai penghasil toksin shiga

dan E.coli terutama yang tergolong jenis STEC, VTEC atau EHEC yang dapat

menghasilkan verotoksin atau shiga-like toksin. Di Amerika serikat sendiri, E.coli

0157:H7 adalah penghasil shiga-like toksin yang paling dikenal, bahkan paling penting

sebagai penyebab SHU.

Organisme tersebut hidup dalam usus hewan ternak tanpa menimbulkan gejala.

Penularan antara manusia terjadi secara fekal – oral bila menyantap daging yang tidak

dimasak, air minum, buah buahan dan sayuran yang terkontaminasi, susu yang tidak

dipasteurisasi. Dalam saluran cerna toksin bakteri menghancurkan usus dan menghasilkan

diare lendir darah. Toksin dapat menyebar melalui pembuluh darah dan menyerang ginjal

sehingga menyebabkan kerusakan pada glomerulus dan menyebabkan gagal ginjal akut.

22

Page 23: askep PICU 3

EPIDEMIOLOGI

SHU ditemukan di banyak negara, SHU dengan diare biasanya menyerang anak di

bawah usia lima tahun dengan insidensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan semua

ras. Di Argentina, ditemukan kejadian SHU sekitar 30 kasus per 100.000 anak, sedang di

Amerika Serikat berkisar antara 0,3 – 10 kasus per 100.000 anak. Di Kanada rata rata

insiden SHU pada anak di bawah usia 5 tahun adalah 3 per 100.000 anak.

Variasi musim dan pengelompokan geografis juga memegang peranan dalam

prevalensi SHU. Prevalensi SHU mencapai puncaknya pada musim panas atau musim

gugur. Sedang SHU tanpa diare dapat menyerang anak yang lebih besar, tanpa ada

hubungan dengan musim atau epidemi diare di negara tersebut.

Di Indonesia sendiri penyakit gastroenteritis akut dengan diare tanpa atau darah

merupakan penyakit infeksi yang biasa dijumpai pada anak anak dan merupakan masalah

penting di masyarakat karena berhubungan dengan kurangnya kebersihan dalam

lingkungan dan penyediaan makanan. Sehingga penularan pada manusia melalui kontak

fekal – oral mudah terjadi.

23

Page 24: askep PICU 3

KLASIFIKASI

SHU berdasarkan etiologinya diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok :

1. SHU Klasik (SHU D+)

Pada jenis ini terdapat fase prodromal gastroenteritis akut dengan diare tanpa atau

berdarah. Merupakan bentuk SHU yang paling sering dijumpai dan hampir 90 % SHU

didahului dengan fase prodromal gastroenteritis akut. SHU D+ berkaitan dengan infeksi

Shigella dysentriae yang menghasilkan toksin shiga atau E.coli serotype O157:H7 jenis

STEC, VTEC atau EHEC yang menghasilkan verotoksin atau shiga – like toksin. Jenis ini

biasanya mempunyai prognosis yang cukup baik dengan perbaikan fungsi ginjal dan

biasanya jarang terjadi relaps.

2. SHU Atipikal (SHU D-)

Pada jenis ini tidak terdapat fase prodromal gastroenteritis akut dan dapat menyerang

anak yang lebih besar, jenis ini jarang terjadi dan mempunyai pronosis yang lebih jelek.

Beberapa etiologi yang berkaitan dengan SHU ada di bawah ini :

Etiologi SHU : Etiologi SHU D+ :

• Tipikal : E. Coli O157:H7 (penghasil VT-1, VT-2)

• Shigella dysentriae (penghasil toksin shiga)

• Agen infeksi lain penyebab diare (Tabel II)

• Idiopatik

Etiologi SHU D- :

• Infeksi Streptokokus pneumoniae

• Agen infeksi lain :

• Faktor keturunan :

? Autosomal dominan

? Autosomal resesif

• Kehamilan

• Obat : Cyclosporin A, kontrasepsi oral, kemoterapi, mitomycin

• Post transplantasi

• Keganasan

• Idiopatik

24

Page 25: askep PICU 3

Agen infeksi lain :

• Salmonella typhii• Campylobacter jejuni

• Yersinia sp• Pseudomonas sp

• Portillo, virus Coxsachie, virus Influenza, virus Epstein Barr, Rota virus, HIV

• Aeromonas hydrophila, Microtabiotes

PATOFISIOLOGI

Dalam saluran cerna toksin bakteri menghancurkan sel usus dan menyebabkan

diare lendir darah. Toksin kemudian menyebar melalui pembuluh darah dan menyerang

endotel glomerulus ginjal sehingga terjadi penumpukan fibrin dan trombosit di tempat

kerusakan. Kapiler glomerulus menjadi sempit mengakibatkan sel darah merah yang

melewati kapiler glomerulus menjadi lisis dan rusak sehinga terjadi anemia hemolitik

mikroangiopati dan penurunan laju filtrasi glomerulus serta insufisiensi ginjal.

Gambar I

Patofisologi SHU :

A. Kapiler glomerulus normal yang dilapisi sel endotel

B. Gambaran sel endotel normal yang terdiri dari kutub negatif dan PGI2 dalam jumlah

normal di endotel sehingga trombosit yang bersirkulasi di lumen kapiler tidak menempel

ke endotel.

C. Setelah kerusakan endotel terjadi, sel menjadi bengkak dan terjadi kehilangan kutub

negatif serta PGI2, menyebabkan penempelan trombosit dan fibrin ke dinding endotel

serta terjadi pemisahan sel endotel dari dinding pembuluh darah

D. Akibat penyempitan kapiler glomerulus oleh penumpukan fibrin dan trombus, maka

eritrosit yang melewati kapiler menjadi lisis dan rusak dan terjadi anemia hemolitik

mikroangiopati, penurunan laju filtrasi glomerulus, insufisiensi ginjal dan trombositopeni.

25

Page 26: askep PICU 3

Beberapa serotype E. Coli yang berhubungan dengan SHU telah dapat diidentifikasi.

Karmali et al menemukan toksin E. Coli pada 75% pasien dengan SHU. Toksin dari

E.coli ini menyebabkan kematian terhadap sel Vero yaitu sel epitel ginjal monyet hijau

sehingga kemudian dinamai sebagai verotoksin. Salah satu dari verotoksin ini (VT-1)

secara struktural identik dengan toksin shiga yang dihasilkan oleh Shigella dysentriae dan

jenis toksin lain VT-2 mempunyai 55% - 60% asam amino yang mirip dengan toksin

shiga. Verotoksin yang dihasilkan oleh E.coli O157:H7 juga menyebabkan diare

berdarah.

Verotoksin terdiri dari sub unit sentral (A) dan lima sub unit perifer (B). Sub unit

perifer (B) membawa reseptor glikoprotein permukaan sel. Ketika verotoksin berikatan

dengan permukaan sel, terbentuk endositosis dan subunit sentral (A) dilepaskan ke dalam

sitosol, yang kemudian larut dalam bentuk fragmen (A1). Sub unit A1 berikatan dengan

ribosom 60S, menghambat transkripsi RNA sehingga menyebabkan kematian sel.

Gambar 2 : Verotoksin sub unit B melekat di permukaan sel dan verotoksin masuk ke

dalam sel melalui endositosis . Sub unit A kemudian dilepaskan ke dalam sel dan

terpecah menjadi fragmen A1. Sub unit A1 berikatan dengan ribosom 60S menghambat

transkripsi RNA dan mengganggu pembentukan sintesis protein menyebabkan kematian

sel.

Berdasarkan patofisologi ini, hipotesis perkembangan SHU klasik dapat disusun

sebagai berikut :

1. Infeksi verotoksin dari E. Coli menghasilkan diare berdarah2. Penyebaran toksin

melalui pembuluh darah dan perlekatan verotoksin ke endotel sel glomerulus.

2. Pembentukan endositosis dan pelepasan fragmen sub unit sentral dari verotoksin

mengakibatkan gangguan sintesis protein sehingga menyebabkan kematian dan

kerusakan sel endotel

26

Page 27: askep PICU 3

3. Penempelan fibrin dan mikrotrombus ke sel endotel yang rusak menghasilkan

koagulasi intravaskular lokal dan mikroangiopati

4. Penyempitan kapiler glomerulus oleh trombus dan fibrin menyebabkan lisis dan

kerusakan sel darah merah yang melewati kapiler. Sehingga menyebabkan anemia

hemolitik mikroangiopati, penurunan laju filtrasi glomerulus dan insufisiensi

renal.

V. HISTOPATOLOGI

Tempat utama di ginjal yang menunjukkan perubahan patologik pada fase akut SHU

adalah kapiler glomerulus, arteriol dan arteri interlobular. Kerusakan glomerulus pada

pasien SHU bervariasi mulai dari ringan sampai sedang dengan sumbatan dan lisis dari

struktur glomerulus. Temuan yang khas secara mikroskopis meliputi edema, degenerasi

dan destruksi endotel glomerulus, penebalan dinding kapiler glomerulus, intra lumen

yang terisi tumpukan trombosit, fibrin dan fragmen sel darah merah. (Gambar 4,5)

Gambar 4 : Pewarnaan HE : penebalan difus dinding kapiler glomerulus dan

pembengkakan sel endotel. Penumpukan fibrin dan trombus serta sel darah merah tampak

di lumen (anak panah)

Gambar 5 : Pewarnaan PAS : menunjukkan penebalan difus dinding kapiler glomerulus

dan pembengkakan sel endotel

27

Page 28: askep PICU 3

GAMBARAN KLINIS

Bentuk klasik SHU pada bayi atau anak biasanya didahului oleh masa prodromal

muntah dan diare, dengan atau tanpa darah. Biasanya dapat disertai nyeri abdomen atau

kram hebat sehingga sering didiagnosis sebagai kolitis atau kegawatan abdomen. Fase

prodromal biasanya berlangsung 4 sampai 15 hari dengan rata rata 7 hari, kemudian

muncul trias SHU.

Ketika gejala SHU muncul, anak tampak pucat, ikterik kadang dapa timbul kejang

atau penurunan kesadaran. Edema, oligouria, hipertensi, kongesti vaskular dapat dijumpai

oleh karena beratnya proses penyakit atau kelebihan cairan akibat kurangnya pengawasan

terhadap balans cairan sedang anak biasanya menderita oligouria.

Hepar dan limpa dapat teraba membesar. Pada kulit dapat dijumpai petekiae dan purpura.

Perdarahan kulit berupa hematom dan ekimosis sering juga dijumpai di tempat bekas

suntikan.

Hemolisis dengan fragmentasi sel darah merah ditemukan pada pasien SHU, pemeriksaan

darah tepi perlu dilakukan untuk melihat adanya proses mikroangiopati. Gambaran darah

tepi pada pasien dengan SHU dijumpai schystocytes, sel helmet dan sel burr. Hemolisis

dapat cepat terjadi ditandai oleh menurunnya kadar hemoglobin dan hematokrit secara

drastis. Trombositopenia dibawah 40.000/mm3 biasanya berlangsung sekitar 7 – 14 hari

disusul dengan munculnya gejala klinis berupa petekiae, purpura dan hematom di tempat

bekas suntikan. Meningkatnya nilai trombosit menunjukkan pemulihan proses

mikroangiopati.

Gagal ginjal akut dengan peningkatan serum urea nitrogen dan kreatinin serta penurunan

jumlah urin muncul seiring dengan terjadinya proses hemolisis dan anemia, derajat

insufisiensi ginjal bervariasi secara luas. Penyulit yang berhubungan dengan gagal ginjal

akut adalah gangguan elektrolit, hipertensi, edema, kongesti vaskular, asidosis metabolik

dan hiperurisemia.

Gangguan sistem saraf pusat dapat terjadi berupa iritabilitas, letargi, kejang atau

koma. Keterlibatan SSP disebabkan proses multifaktorial dan berhubungan dengan

mikroangiopati yang terjadi di pembuluh darah otak. Dimana terjadi pembentukan fibrin

dan mikrotrombus yang menyebabkan iskemi serebral. Keterlibatan SSP lebih sering

terjadi pada Atipikal SHU (SHU D- ).

28

Page 29: askep PICU 3

Gejala klinis SHU

Masa prodromal diare

• Antara 4 – 15 hari

• Dengan atau tanpa darah

• Dapat disertai nyeri perut

Anemia

• Muncul setelah fase prodromal diare mulai hilang

• Berhubungan dengan penurunan hematokrit dan trombosit

Insufisiensi renal

• Oligouria dapat muncul selama 4 – 12 hari

• Sering terjadi edema, hipertensi dan edema pulmo bila balans cairan tidak dilakukan

Pemulihan

• Peningkatan angka trombosit• Peningkatan urin output

• Peningkatan hematokrit

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan kadar hemoglobin menurun berkisar

antara 3 -10 gram% dan terdapat gambaran anemia hemolitik mikroangiopati (Coombs

test negatif), Gambaran apusan darah tepi menunjukkan bentuk abnormal dari sel eritrosit

berupa schystocytes, fragmentosit, sel topi, tear drops, burr sel (Gambar 6). Jumlah

leukosit dapat meningkat sampai 20.000/ mm3. Jumlah retikulosit dapat normal atau

meningkat, jumlah trombosit menurun berkisar antara 20.000 – 100.000/ mm3. Pada

beberapa pasien nilai PT / PTT biasanya normal dan terdapat peningkatan FDP

Gambar 6 : Gambaran darah tepi terdapat: schystocytes / sel helmet dan trombositopeni

29

Page 30: askep PICU 3

Kadar elektrolit bervariasi, biasanya kadar kalium rendah oleh karena adanya

kehilangan melalui gastrointestinal yang mengikuti prodromal diare. Tetapi bisa juga

meningkat oleh karena adanya penurunan laju filtrasi glomerulus dan gejala gagal ginjal

akut. Kadar natrium, kalsium, bikarbonat dan albumin serum dapat rendah. Kadar

trigliserida, kolesterol dan fosfolipid dapat meningkat, tetapi patogenesisnya belum

diketahui. Kelainan kimia darah yang sering dijumpai adalah peningkatan kadar ureum

dan kreatinin serum. Peningkatan kedua kadar ini dapat dimungkinkan oleh adanya gagal

ginjal akut intrinsik atau hipovolemi yang mengikuti prodromal diare.

Pada pemeriksaan urin dijumpai oligouria, hematuria dan proteinuria ringan

sampai sedang. Secara mikroskopis urin dijumpai adanya dismorfik sel darah merah dan

adanya cast (seluler, granular, hyaline)

Kultur feses perlu dilakukan pada setiap penderita dengan diare berdarah untuk

mencari penyebabnya. Biasanya kultur untuk E.coli O157:H7 ditumbuhkan dalam media

agar Mac Conkey Sorbitol.

Pemeriksaan Laboratorium SHU

Hematologi

• Trombositopenia

• Anemia hemolitik (coombs test negatif)

• Leukosit meningkat

• Retikulosit normal atau meningkat

• PT/PPT biasanya normal

• FDP biasanya menurun

Kimia darah

• Peningkatan BUN

• Peningkatan creatinin

• Hipokalemi, Hiponatremi, Hiperurisemia

• Penurunan serum protein

• Peningkatan fungsi hati

• Peningkatan asam urat

30

Page 31: askep PICU 3

Urine

• Proteinuria

• Hematuria

• Leukosit esterase positif

• Bilirubin positif

• Dijumpai cast atau granul

PENANGANAN

Semua penderita SHU sebaiknya dirawat di rumah sakit. Pengobatan lazimnya

bersifat suportif dan ditujukan untuk penaggulangan gagal ginjal akut, penyulit penyulit

yang timbul dan gangguan hamatologik yang terjadi.

Pengobatan suportif terdiri dari :

Terapi cairan dan elektrolit

Bayi atau anak dengan SHU sering mengalami dehidrasi oleh karena diare dan

muntah. Penderita ini perlu mendapatkan terapi cairan dan elektrolit sesuai protokol yang

ada. Jumlah cairan harus diawasi secara ketat untuk menghindari hidrasi. Bila tidak ada

tanda dehidrasi jumlah cairan yang diberi, harus dibatasi yaitu IWL + OGL. Jenis cairan

tergantung ada tidaknya oligouria, bila penderita mengalami oligouria komposisi cairan

yang diberikan adalah larutan glukosa NaCl 3 banding 1, sedang bila penderita dalam

keadaan anuria cairan yang diberi hanya Glukosa 10% melalui infus. Balans cairan harus

diawasi, balans cairan yang baik bila berat badan turun 0,5 – 1 % / hari.

Koreksi elektrolit secara medis dilakukan bila terdapat gangguan elektrolit seperti

hiponatremia, hiperkalemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia, hiperurisemia dan asidosis

metabolik. Bila gagal, terapi dialisis merupakan indikasi.

Tunjangan Nutrisi

Pemberian kalori yang adekuat dan asam amino esensial diperlukan untuk

mengurangi katabolisme protein dan lemak untuk mencegah balans nitrogen negatif.

Kebutuhan kalori minimal adalah sebanyak 400 kcl/m2/hari.

31

Page 32: askep PICU 3

Transfusi darah

Bila proses hemolisis masih aktif dan hemoglobin turun dibawah 6 g/dl maka

perlu diberikan transfusi PRC, transfusi rombosit dilakukan bila terdapat perdarahan aktif

atau trombositopenia berat. Pemberian transfusi plama/ plasmafaresis menunjukkan hasil

yang baik pada SHU D- yang berhubungan dengan faktor herediter atau SHU rekuren.

Tetapi tidak dianjurkan diberikan untuk SHU paska pneumococcal yang disebabkan oleh

neuraminidase sebab plasma normal mengandung antibodi yang menimbulkan terjadinya

komplek antigen – antibodi TF yang dapat memperberat hemolisis.

Antibiotika

Diberikan bila SHU berhubungan dengan infeksi streptokokus pneumonia atau

nosokomial. Pada SHU D+ yang berhubungan dengan diare, pemberian antibiotika masih

kontroversial oleh karena antibiotik tidak mempengaruhi lama gejala dan tidak merubah

resiko terhadap SHU. Oleh karena munculnya SHU diperantarai oleh shiga – like toksin,

maka pemberian antibiotik tertentu secara teoritis tidak menyebabkan dinding bakteri lisis

sehingga toksin yang lepas ke dalam lumen usus meningkat dan merupakan faktor resiko

dalam memperberat proses penyakit.

Antikonvulsan

Kejang merupakan salah satu manifestasi gangguan SSP yang dapat dijumpai pada pasien

SHU D-. Untuk mengatasinya dapat diberikan obat anti kejang yang lazim digunakan dan

perlu dicari faktor resiko lain yang menjadi penyebab kejang seperti gangguan elektrolit

serta dilakukan koreksi.

Pemulihan

Perbaikan gejala SHU ditandai dengan membaiknya fungsi ginjal dan gangguan

hematologi pada fase akut SHU. Pada kebanyakan kasus LFG menjadi normal kembali

antara 7 sampai 13 bulan dan rata rata 3 bulan. Kadar hemoglobin menjadi normal

kembai setelah 3 bulan dari saat munculnya penyakit. Trombositopeni dan gangguan

faktor pembekuan lain tidak tampak lagi pada masa pemulihan. Gejala sisa yang muncul

berhubungan dengan derajat penyakit. Gejala sisa berupa kelainan urinalisis yang

menetap., hipertensi persisten, gagal ginjal kronik dan sekuele neurologik.

32

Page 33: askep PICU 3

Penanganan SHU Penegakan Diagnosis

• Pemerikaan klinis yang tepat

• Pemeriksaan laboratorium yang tepat

• Eksklusi penyebab lain

Penanganan Insufisiensi ginjal

• Restriksi cairan (IWL + OGL)

• Balans cairan ketat

• Terapi konservatif

• Hemodialisa bila perlu

Penganan kelainan Hematologi

• Pertahankan Hb > 8 g/dl

• Transfusi PRC atau trombosit bila perlu

• Transfusi plasma / plasmafaresis pada SHU D- yang berhubungan dengan faktor

herediter.

Penanganan nutrisi

• Pemberian kalori yang adekuat

PROGNOSIS

Pada umumnya prognosis SHU baik dan mortalitas pada fase akut turun secara

drastis dari 34% pada dekade terakhir menjadi 2,5% pada tiga dekade terakhir. Hal ini

disebabkan oleh fasilitas pengobatan yang lebih baik dan fasilitas ICU yang memadai.

Prognosis SHU akan lebih buruk pada beberapa keadaan tertentu. Kematian pada fase

akut biasanya berhubungan dengan gangguan metabolik yang terkait dengan gagal ginjal

akut, hipertensi berat, miokarditis dan gangguan sistem saraf pusat. Angka kematian lebih

tinggi terjadi pada SHU Atipikal.

33

Page 34: askep PICU 3

Prognosis SHU buruk pada :

• SHU D- (Atipikal SHU)

• Usia <> 5 tahun

• Anuria persisten

• Hipertensi berat

• Kelainan SSP (koma, kejang, hemiparesis/ stroke)

• Leukositosis > 20.000/mm3

Referensi :

Fiorini K Elizabeth, Raffaeli M Ryan, Hemolytic Uremic Syndrome. Pediarics in Review 2006; 27; 398 – 99.

Bahrun Dahler, Sindrom Hemolitik Uremik. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002

Kaplan BS, The Hemolytic Uremic Syndrome. Journal Pediatric Clinical North America 1976; 23; 761 – 77.

Palmar S Malvinder, Hemolytic Uremic Syndrome dalam http:// www.emedicine.com / med/ topic980.html

Remuzzi G, Noris Marina. Hemolytic Uremic Syndrome; J American Society of Nephrology. Journal America Social Nephrology 2005; 16; 1035-1050.

Stewart C, Leticia U, Hemolytic Uremic Syndrome. Pediatrics in Review 1993; 14; 218 – 24.

34