anestesia pada sirs.docx

31
Tinjauan Pustaka Profilaksis Deep Vein Trombosis (DVT) di ICU Oleh : dr. Adi Wibowo Pembimbing : dr. Johan Arifin, SpAn BAGIAN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FK UNDIP /RSUP dr. KARIADI 0

Upload: putra1980

Post on 30-Sep-2015

27 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Tinjauan PustakaProfilaksis Deep Vein Trombosis (DVT) di ICU

Oleh :dr. Adi WibowoPembimbing :dr. Johan Arifin, SpAn

BAGIAN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIFFK UNDIP /RSUP dr. KARIADISEMARANG2012

Profilaksis Deep Vein Trombosis (DVT) di ICU Adi Wibowo, Johan ArifinBagian / SMF Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran UNDIP / RSUP dr. Kariadi Semarang

PENDAHULUANPasien-pasien dengan kondisi kritis yang dirawat di ICU mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya DVT (deep vein thrombosis) dibandingkan dengan pasien-pasien lain yang dirawat di rumah sakit.1 Pasien-pasien di ICU memiliki beberapa kondisi yang dapat menyebabkan timbulnya trombosis. Trombus biasanya terbentuk di vena bagian proksimal dari kaki dan sering tidak menunjukkan gejala klinis. Gejala klinis baru terlihat ketika sebagian trombus terlepas dan terbawa aliran darah ke dalam paru-paru dan menjadi emboli paru. Tromboembolisme vena merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien kritis yang dirawat di ICU.2Pada pasien-pasien yang kritis, gejala tromboembolisme vena mungkin tertutupi oleh proses penyakit yang mengancam jiwa lainnya dan tromboembolisme vena ini dapat mengakibatkan dampak yang lebih besar dibandingkan pada pasien-pasien yang tidak dalam kondisi kritis karena baik respirasi maupun sistem kardiovaskuler sudah dalam kondisi yang lemah dan memerlukan support.3

Pembentukan trombus di kaki dapat dicegah sehingga kematian akibat emboli paru seharusnya juga dapat dicegah. Tujuan utama dari pencegahan tromboembolisme pada vena adalah untuk mencegah kematian yang diakibatkan oleh embolisme paru. Hal ini terutama dengan mencegah pembentukan trombus di vena kaki bagian proksimal.PASIEN-PASIEN YANG BERESIKO TERJADI DVTAda beberapa faktor yang dapat menyebabkan tromboembolisme vena pada pasien-pasien yang dirawat di ICU. Tromboembolisme pada vena paling sering terjadi pada tiga kondisi yaitu Bedah Mayor (terutama apabila berkaitan dengan kanker atau melibatkan lutut dan pinggul), stroke akut dan trauma mayor (terutama trauma pada medula spinalis). Faktor resiko yang lain yaitu pembedahan terutama pembedahan mayor (bedah digestif, ginekologi, urologi, ortopedi, bedah saraf dan bedah onkologi), trauma ( trauma multisistem, cedera medula spinalis, fraktur pada pinggul dan pelvis), keganasan (berbagai macam keganasan baik yg jelas maupun yg samar,lokal maupun metastasis, resiko lebih tinggi selama kemoterapi dan radioterapi), penyakit akut (stroke, infark miokard akut, gagal jantung, syndrom kelemahan neuromuskuler seperti SGB), faktor spesifik pada pasien (riwayat tromboembolisme sebelumnya, obesitas, usia lebih dari 40 tahun, keadaan hiperkoagulasi seperti pada terapi estrogen), faktor-faktor yang berkaitan dengan ICU (penggunaan ventilator jangka lama, paralisis neuromuskuler (drug-induced), CVC (central venous catheters), severe sepsis, consumptive coagulopathy, heparin induced thrombocytopenia).2

PATOFISIOLOGITromboembolisme vena merupakan penyakit multifaktorial. Pada tahun 1856, Virchow menggambarkan tiga serangkai yaitu kerusakan endotelial, aliran darah yang abnormal, dan perubahan komposisi darah dalam patogenesis terjadinya trombosis.3Hemostasis melibatkan keseimbangan yang komplek antara faktor-faktor prokoagulan dan antikoagulan, yang akan mencegah timbulnya produksi trombin secara berlebihan pada saat kaskade koagulasi diaktifkan. Kerusakan endotel akan membuat kolagen terbuka, sehingga memungkinkan platelet melekat dan mengaktifkan jalur intrinsik dari kaskade koagulasi. Trombin dibentuk terutama melalui jalur ekstrinsik dari ekspresi faktor jaringan dan aktivasi faktor VII. Trombin merupakan bagian sentral yang penting pada proses koagulasi. Trombin akan mengkatalisasi konversi fibrinogen menjadi fibrin dan mengaktifkan faktor V, VIII, XIII, dan platelet (kemudian akan berkembang menjadi clot). Akan tetapi trombin juga mengaktifkan kaskade antikoagulan dengan membentuk komplek dengan trombomodulin endotel yang akan mengaktifkan protein C. Protein C yang telah aktif akan berikatan dengan protein S dan menginaktifkan faktor Va dan faktor VIIIa, yang keduanya merupakan pencetus koagulasi. Jalur lain yang berlawanan dengan pembentukan clot adalah jalur fibrinolitik. Hal ini melibatkan konversi plasminogen menjadi plasmin, yang dikatalisasi oleh fibrin dan diregulasi oleh inhibitor dan aktivator.3Agen-agen yang menyebabkan terjadinya kegagalan multiorgan (agen infeksi, toksin, dan sitokin inflamasi) dapat mengaktifkan kaskade koagulasi. Pasien-pasien dengan trauma dan post operasi mengalami kerusakan endotelial dan dapat mencetuskan terjadinya koagulasi dan juga mengalami perubahan komposisi darah akibat dari proses inflamasi dan respon stress. Hal ini akan menyebabkan trombositosis, hiperfibrinogenemia, dan terjadi perubahan kadar faktor-faktor koagulasi yang akan menyebabkan peningkatan inhibitor aktivator plasminogen 1, mengakibatkan keseimbangan hemostatik mengarah menjadi trombosis.3Perubahan aliran darah sangat umum terjadi pada pasien-pasien di ICU. Pasien sering berada dalam kondisi tidak bergerak karena beratnya penyakit, sedasi atau ventilasi mekanik. Hipotensi, ventilasi mekanik dengan tekanan positif (terutama dengan PEEP) akan meningkatkan tekanan intraabdomen, vasodilatasi dan peningkatan tekanan vena sebagai akibat kegagalan jantung kanan atau obstruksi dapat menyebabkan aliran vena menjadi tidak lancar.3Faktor-faktor resiko spesifik terjadinya trombosis di ICU meliputi penggunaan ventilasi mekanik, imobilitas, dan penggunaan kateter vena femoral, sedatif dan obat-obat pelumpuh otot.3DIAGNOSISDeep vein trombosis (DVT) sulit untuk didiagnosa karena gejala dan tanda klinis mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang rendah. Menurut Landefeld et al secara retrospektif menemukan pembengkakan diatas lutut, pembengkakan dibawah lutut, imobilitas, keganasan, dan demam merupakan gejala klinis yang berkaitan dengan adanya DVT proksimal. Tetapi gejala-gejala tersebut mempunyai spesifisitas hanya 20% untuk mendiagnosis DVT. Diagnosis tromboembolisme vena pada pasien-pasien yang kritis juga terhambat dengan masalah komunikasi, dimana ada kesulitan untuk menginterpretasi gejala dan tanda klinis. Karena adanya kesulitan-kesulitan tersebut maka diperlukan pemeriksaan lebih lanjut jika ada kecurigaan adanya DVT atau emboli paru.3 Untuk mendiagnosis DVT dan pulmonary embolism (PE) dapat digunakan skor wells (tabel 1 dan tabel 2).4 Apabila hasil skor >2 menunjukkan probabilitas kemungkinan ada DVT, sedangkan skor < 2 menunjukkan probabilitas kemungkinan tidak ada DVT. Skor wells untuk suspek emboli pulmo (PE) dapat dilihat di tabel 2.5 Untuk pulmonary embolism (PE) apabila skor > 4 menunjukkan kemungkinan ada PE dan skor < 4 menunjukkan kemungkinan tidak ada PE. Kelemahan dari skor wells yaitu adanya subyektivitas pada setiap kriteria yang sangat bergantung pada pendapat pemeriksa.6 Sistem skor yang lain untuk memprediksi adanya PE adalah skor jenewa yang telah direvisi (tabel 2).5,6,7 Skor jenewa yang telah direvisi berdasarkan variabel klinis dan independen terhadap pendapat pemeriksa.6 Akan tetapi skor wells dilaporkan lebih akurat dibandingkan skor jenewa yang telah direvisi dalam menilai adanya pulmonary embolism(PE).8Probabilitas klinis selanjutnya bisa dikombinasikan dengan pemeriksaan kadar D-dimer, sebuah produk degradasi dari cross linked clot darah. Meskipun sistem ini menunjukkan prediksi kemungkinan adanya DVT yang baik pada pasien dengan DVT proksimal dan pasien rawat jalan, tetapi tidak sensitif pada pasien rawat inap dan pasien dengan DVT distal.9 Langkah awal ini dapat mengelompokkan pasien-pasien yang membutuhkan teknik imaging non invasif seperti USG kompresi dan USG vena yang telah menggantikan venografi dalam mendiagnosa DVT.5 Akan tetapi pada vena di pelvis, USG vena tidak seakurat dalam memeriksa DVT pada tungkai bawah karena keterbatasan jendela akustik. Oleh sebab itu computed tomografi (CT) venografi mungkin merupakan pilihan yang tepat untuk kondisi tersebut.10 Tabel 1 : Karakteristik klinis untuk menentukan probabilitas deep vein thrombosis dari wells.4

Tabel 2: Sistem skoring dari wells dan Jenewa yang direvisi untuk menentukan probabilitas emboli pulmo (pulmonary embolism /PE).5,6,7STRATIFIKASI RESIKO TROMBOSISPedoman yang dikeluarkan oleh American College of Chest Physicians (ACCP) pada tahun 2008 membagi tingkatan resiko terjadinya trombosis menjadi 3 kelompok. Pembagian berdasarkan kategori operasi (minor atau mayor), umur (60 tahun) dan adanya faktor resiko tambahan yang lain (adanya kanker atau riwayat tromboemboli sebelumnya). Tingkatan Kelompok tersebut meliputi :1. Resiko rendah, yaitu pada pasien yang dilakukan operasi minor dan pasien dalam kondisi bisa beraktifitas dan pasien-pasien yang dirawat inap di rumah sakit tetapi dapat beraktifitas penuh. Pada pasien-pasien ini resiko terjadinya trombosis sebesar < 10 %. 132. Resiko moderat, yaitu pada sebagian besar operasi, pada operasi ginekokologi, operasi urologi, pasien-pasien rawat inap yang memerlukan istirahat ditempat tidur. Pasien-pasien yang masuk kategori kelompok ini memiliki resiko terjadi trombosis sebesar 10-40%.133. Resiko tinggi, yaitu pada pasien yang dilakukan operasi arthroplasty pada sendi pinggul atau sendi lutut, pada pasien yang dilakukan operasi fraktur pada pinggul, trauma mayor dan pasien dengan trauma medula spinalis. Pada kelompok ini resiko untuk terjadinya trombosis sebesar 40-80 %.13

METODE PROFILAKSIS TROMBOSISSejumlah intervensi terbukti efektif untuk menurunkan tromboemboli pada pasien-pasien yang dilakukan rawat inap. Intervensi tersebut meliputi metode farmakologi dan metode mekanik (non farmakologi).2,4METODE MEKANIKKOMPRESI KAKI EKSTERNAL (EXTERNAL LEG COMPRESSION)Ada dua macam alat kompresi eksternal pada kaki yaitu graded compression stockings dan intermittent pneumatic compression pumps. Alat-alat tersebut dapat digunakan sebagai tambahan profilaksis antikoagulan atau sebagai pengganti profilaksis antikoagulan pada pasien yang berdarah atau mempunyai resiko yang tinggi terjadi perdarahan.2GRADED COMPRESSION STOCKINGSGraded compression stockings didesain untuk menghasilkan tekanan eksternal sebesar 18 mmHg pada pergelangan kaki dan tekanan eksternal sebesar 8 mmHg pada paha. Perbedaan tekanan sebesar 10 mmHg akan berfungsi sebagai tenaga penggerak aliran vena dari kaki. Stocking ini terbukti dapat menurunkan angka kejadian tromboemboli ketika digunakan post operasi abdomen dan operasi bedah saraf. Akan tetapi metode ini merupakan metode profilaksis trombosis yang paling kecil efektifitasnya, dan hampir tidak pernah digunakan secara sendirian pada pasien dengan resiko tromboemboli sedang atau tinggi.2

INTERMITTENT PNEUMATIC COMPRESSIONIntermittent Pneumatic Compression (IPC) merupakan sebuah alat yang dililitkan mengelilingi kaki bagian bawah. Pada saat dikembangkan, alat ini dapat membuat kompresi eksternal sebesar 35 mmHg pada pergelangan kaki dan 20 mmHg kompresi eksternal pada paha. Alat ini juga dapat membuat aksi memompa dengan cara mengembangkan dan mengempiskan secara interval tertentu, hal ini akan memperlancar atau memperbesar aliran darah vena. Intermittent pneumatic compression lebih efektif dibandingkan dengan graded compression stocking untuk profilaksis trombosis. Metode ini dapat digunakan pada pasien-pasien tertentu yang tidak bisa diberikan antikoagulan sebagai profilaksis trombosis karena perdarahan. Metode ini umumnya banyak digunakan setelah operasi bedah saraf dan pasien trauma yang beresiko terjadinya perdarahan. 2METODE FARMAKOLOGIUNFRACTIONATED HEPARIN DOSIS RENDAHPreparat standar heparin merupakan kumpulan molekul mukopolisakarida heterogen yang bervariasi ukurannya. Aktifitas antikoagulannya bergantung pada ukuran molekul heparin (semakin kecil ukurannya semakin besar efek antikoagulannya). Berbagai ukuran molekul pada unfractionated heparin (UFH) menunjukkan obat tersebut mempunyai efek antikoagulan yang bervariasi. Umumnya hanya sepertiga atau kurang dari molekul-molekul tersebut yang mempunyai efek antikoagulan. 2

Heparin merupakan obat dengan efek tidak langsung dimana heparin harus berikatan dengan kofaktor (antitrombin III atau AT) untuk menghasilkan efek antikoagulan. Komplek heparin-AT dapat menginaktifasi beberapa faktor koagulasi, termasuk faktor IIa (trombin), IXa, Xa, XIa, dan XIIa. Inaktivasi faktor IIa (efek antitrombin) merupakan reaksi yang sensitif dan terjadi pada dosis heparin jauh dibawah dosis yang diperlukan untuk menginaktivasi faktor-faktor koagulasi yang lain. Hal ini berarti dosis kecil heparin dapat menghambat pembentukan trombus (efek antirombin), tanpa menghasilkan antikoagulasi yang penuh (karena faktor-faktor koagulasi yang lain tidak terpengaruh). Ini merupakan dasar dari heparin dosis kecil dalam mencegah terjadinya trombosis pada pasien-pasien di ICU yang mempunyai resiko yang tinggi. 2Heparin-AT komplek juga mengikat faktor platelet 4, dan beberapa pasien dapat terjadi antibodi yang diinduksi oleh heparin yang bereaksi silang dengan tempat ikatan platelet sehingga membentuk gumpalan dan menjadi trombositopenia. Ini merupakan mekanisme terjadinya trombositopenia yang dinduksi oleh heparin, dan dapat dicetuskan oleh dosis rendah heparin seperti dosis heparin terapeutik. 2Dosis untuk unfractionated heparin dosis rendah adalah 5000 unit diberikan secara subkutan dua atau tiga kali sehari. Pemberian dosis lebih sering (3 kali sehari) dianjurkan untuk kondisi-kondisi dengan resiko yang lebih tinggi. Ketika unfractionated heparin dosis rendah digunakan untuk profilaksis pembedahan, dosis pertama sebaiknya diberikan 2 jam sebelum pembedahan. Dosis pre-pembedahan dianjurkan karena trombosis dapat dapat terjadi selama pembedahan, dan dengan memberikan kesempatan waktu bagi trombus untuk berkembang besar akan menurunkan efek antikoagulan heparin. Profilaksis post pembedahan dilanjutkan 7-10 hari, atau sampai pasien dapat beraktivitas secara penuh. Tidak perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium studi koagulasi. 2Unfractionated heparin dosis rendah memberikan profilaksis trombosis secara efektif bagi kondisi medis dengan resiko tinggi dan bagi sebagian besar pembedahan non ortopedi. Unfractionated heparin dosis rendah tidak memberikan profilaksis secara optimal pada trauma mayor (termasuk cedera medula spinalis) dan untuk operasi ortopedi yang melibatkan lutut dan panggul. 2LOW MOLECULAR WEIGHT HEPARIN (LMWH)Molekul heparin dengan berbagai ukuran pada unfractionated heparin dapat di pecah secara enzymatik untuk menghasilkan molekul yang lebih kecil dan lebih seragam ukurannya. Karena molekul heparin yang lebih kecil mempunyai aktivitas antikoagulan yang lebih, low molecular weight heparin lebih potent dan mempunyai aktivitas antikoagulan yang lebih seragam dibandingkan dengan unfractionated heparin. LMWH mempunyai beberapa keuntungan lebih dibandingkan dengan unfractionated heparin yaitu dosis lebih jarang diberikan, resiko lebih kecil untuk terjadinya perdarahan dan trombositopenia yang diinduksi oleh heparin dan tidak memerlukan monitoring pemeriksaan antikoagulan secara rutin. LMWH lebih efektif dibandingkan dengan unfractionated heparin pada kasus ortopedi yang melibatkan pinggul dan lutut, pada trauma mayor termasuk cedera medula spinalis. Kerugian LMWH adalah biaya yang mahal, dimana LMWH dapat 10 kali lebih mahal dibandingkan dengan unfractionated heparin. 2

Pada saat ini ada sekitar 7 jenis LMWH yang dapat digunakan secara klinis, tetapi hanya ada 2 yang paling sering dilakukan studi untuk profilaksis trombosis yaitu enoxaparin (lovenox) dan dalteparin (fragmin). Enoxaparin merupakan LMWH yang pertama kali di setujui untuk digunakan di Amerika Serikat (pada tahun 1993), dan pengalaman klinis dengan obat ini yang paling luas dibandingkan dengan yang lainnya. Dosis yang direkomendasikan untuk enoxaparin dan dalteparin untuk profilaksis trombosis yaitu enoxaparin diberikan satu kali sehari dengan dosis 40 mg untuk kondisi resiko sedang, dan dua kali sehari masing-masing 30 mg untuk kondisi resiko tinggi. Dalteparin diberikan satu kali sehari dengan dosis 2500 unit untuk kondisi resiko sedang dan 5000 unit untuk kondisi resiko tinggi. Kedua obat tersebut diberikan secara injeksi subkutan. 2Untuk operasi non ortopedi, dosis yang pertama kali diberikan sebaiknya diberikan 2 jam sebelum operasi (30 mg untuk enoxaparin dan 2500 unit untuk dalteparin). Untuk operasi ortopedi, dosis yang pertama kali diberikan biasanya diberikan 12-24 jam sebelum operasi. Akan tetapi pemberian obat preoperatif mempunyai resiko untuk terjadi dan meningkatnya perdarahan selama operasi ortopedi sehingga dosis preoperatif mungkin diabaikan dan lebih menyukai memulai profilaksis 6 jam setelah pembedahan. 2LMWH diekskresikan oleh ginjal. Untuk pasien-pasien dengan gagal ginjal, dosis profilaksis enoxaparin sebaiknya dikurangi dari 30 mg dua kali sehari menjadi 40 mg sekali sehari bagi pasien-pasien dengan resiko tinggi. Tidak ada penyesuaian dosis yang direkomendasikan untuk dalteparin. 2

WARFARINAnti koagulasi sistemik dengan warfarin merupakan metode yang populer untuk profilaksis bagi pembedahan ortopedi. Ada dua keuntungan penggunaan warfarin yaitu dosis preoperatif mempunyai kecenderungan tidak membuat perdarahan selama pembedahan karena onset yang lambat dengan antagonis vitamin K, dan warfarin dapat dilanjutkan setelah dihentikan jika dibutuhkan profilaksis yang lebih lama. Kerugian warfarin sebagai profilaksis trombosis yaitu interaksi obat yang banyak, diperlukan monitor pemeriksaan laboratorium studi koagulasi, dan kesulitan untuk menyesuaikan dosis agar efeknya sesuai dengan yang kita inginkan karena onsetnya yang lambat. 2Dosis awal warfarin adalah 10 mg oral diberikan malam hari sebelum operasi. Kemudian dilanjutkan dosis harian 2,5 mg, dimulai malam hari setelah operasi. Dosis kemudian disesuaikan untuk mencapai waktu protrombin dengan INR (International Normalized Ratio) 2-3. Biasanya hal ini dapat dicapai minimal mulai hari ketiga postoperasi. 2FONDAPARINUXFondaparinux (Arixtra) merupakan antikoagulan sintetik yang secara selektif menghambat faktor koagulasi Xa. Seperti halnya heparin, fondaparinux juga harus berikatan dengan antitrombin III untuk menghasilkan efek antikoagulan, tetapi fondaparinux hanya menghambat faktor Xa. Keuntungan fondaparinux yaitu mempunya efek antikoagulan yang dapat diprediksi efek antikoagulannya dan tidak mencetuskan trombositopenia yang diakibatkan imunitas. 2Dosis profilaksis fondaparinux adalah 2,5 mgg yang diberikan sekali sehari dengan injeksi subkutan. Fondaparinux diekskresi diginjal, apabila klirens kreatinin