tata laksana anestesia dan reanimasi pada...

31
1 TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA REPOSISI/OPERASI DISLOKASI ATAU FRAKTUR HUMERUS Oleh : I Gde Komang Agung Tresna Rahayudi NIM. 1302006130 Pembimbing : dr. Cynthia Dewi Sinardja,Sp.An. MARS DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RSUP SANGLAH DENPASAR 2017

Upload: others

Post on 04-Feb-2021

6 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 1

    TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI

    PADA REPOSISI/OPERASI DISLOKASI ATAU

    FRAKTUR HUMERUS

    Oleh :

    I Gde Komang Agung Tresna Rahayudi

    NIM. 1302006130

    Pembimbing :

    dr. Cynthia Dewi Sinardja,Sp.An. MARS

    DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

    DI BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

    RSUP SANGLAH DENPASAR

    2017

  • 2

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat

    rahmat-Nya tinjauan pustaka yang berjudul ’’ Tata Laksana Anestesia dan Reaminasi

    Pada Reposisi/Operasi Dislokasi Atau Fraktur Humerus ’’ ini dapat selesai tepat waktu. Tinjauan pustaka ini merupakan salah satu tugas dalam rangka mengikuti

    Kepaniteraan Klinik Madya di SMF/Bagian Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran

    Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Dalam penyusunan

    Tinjauan Pustaka ini penulis banyak memperoleh bimbingan dan masukan dari berbagai

    pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :

    1. dr. I Ketut Sinardja, Sp.An, KIC selaku Kepala Bagian SMF Ilmu Anestesiologi dan

    Reanimasi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,

    2. dr. Cynthia Dewi Sinardja, Sp.An. MARS, selaku pembimbing atas segala bimbingan

    dan masukan beliau,

    3. Residen serta rekan-rekan dokter muda yang bertugas di bagian Anestesiologi dan

    Reanimasi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar yang telah ikut membantu penulis dalam

    menyelesaikan tinjauan pustaka ini,

    4. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu, yang dengan tulus telah

    bersedia memberikan bantuan dan masukan.

    Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna, untuk itu

    saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan tinjauan pustaka ini. Semoga

    tinjauan pustaka ini bermanfaat bagi pembaca.

    Denpasar,12 Mei 2017

    Penulis

  • 3

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Batasan

    Fraktur tulang Humerus atau patah tulang humerus adalah cedera yang sangat

    serius. Fraktur ini dikaitkan dengan beberapa komplikasi dan bisa menjadi bencana

    jika tidak dikelola dengan baik. Sebuah kecelakaan jatuh dengan tumpuan siku atau

    lengan cukup untuk menyebabkan fraktur humerus untuk orang yang sudah tua. Hal

    ini juga terlihat pada orang muda setelah kecelakaan di jalan atau jatuh dari

    ketinggian atau cedera langsung ke lengan di tempat kerja. Kadang-kadang

    juga disertai dengan dislokasi siku atau sendi bahu.

    Anatomi Tulang Humerus

    Humerus adalah tulang lengan panjang yang kokoh, yang membentang dari

    bahu ke siku. Anatomi humerus terutama terkait dengan poros, ujung atas dan ujung

    bawah. Ujung atas membentuk sendi bahu bulat dan berartikulasi dengan glenoid

    rongga. Ujung bawah tidak teratur dalam bentuk karena untuk mendukung berbagai

    gerakan, seperti siku menekuk (fleksi), rotasi (pronasi dan supinasi ). ujung bawah

    juga disebut kondilus humeri, berartikulasi dengan radius tulang serta tulang ulna

    untuk membentuk sendi siku. Beberapa otot-otot penting lengan berasal baik atau

    melampirkan pada poros tulang humerus, seperti brachalis, trisep, dan sebagainya,

    yang memberikan gerakan pada siku dan sendi bahu.

    Jenis Fraktur Tulang Humerus

    Karena panjang panjang tulang humerus dan tulang ini pun bekerja untuk

    mendukung beberapa fungsi, maka ketika tulang ini patah atau terluka, maka akan

    timbul masalah di beberapa lokasi, dengan konsekuensi yang sangat tergantung pada

    lokasi fraktur. Hal penting lain ada lah dislokasi dari fragmen patah tulang, patah

    tulang yang disertai dislokasi setidaknya memiliki hasil yang sangat buruk.

  • 4

    • Fraktur humerus proksimal umumnya karena jatuh pada bahu dan bisa disertai

    dengan dislokasi bahu. Ini adalah cedera yang umum pada wanita lanjut usia

    bahkan setelah jatuh sepele karena osteoporosis pasca menopause. Karena

    sifat cancellous tulang humerus di bagian ini (seperti spons), tulang bagian ini

    dapat ada dapat runtuh danterdeformasi bersama dengan fraktur, hal ini

    menyebabkan perlunya reformasi tulang pada saat pengobatan.

    • Fraktur Midshaft humerus sebagian besar terjadi setelah jatuh pada siku atau

    kecelakaan di jalan. Saraf radialis berjalan sangat dekat ke bagian tulang

    humerus sehingga dapat terluka karena trauma primer, atau karena terjebak

    antara ujung tulang retak, atau bahkan selama pengobatan. Oleh karena itu,

    perawatan harus dilakukan di setiap langkah untuk memastikan integritas dari

    saraf radial dan bahkan kecurigaan sekecil apapun terhadap kelumpuhan saraf

    radialis harus diikuti oleh eksplorasi pembedahan.

    Fraktur humerus distal dapat berupa fraktur humerus suprakondilaris atau fraktur

    humerus condylar. Sebuah fraktur humerus suprakondilaris berada di persimpangan

    Kondilus (ujung bawah) dan poros, dan patah tulang siku yang paling umum pada

    anak-anak. Sebuah fraktur condylar adalah fraktur humerus

    parah yang umumnya terjadi karena cedera kecepatan tinggi, seperti kecelakaan

    mobil atau jatuh dari ketinggian. Kecelakaan seperti ini sering mengakibatkan siku

    tidak stabil bahkan setelah operasi dan sering memerlukan suatu operasi siku

    pengganti untuk mendapatkan kembali fungsi siku.

  • 5

    Gambar 1 : Patah tulang midshaft humerus

  • 6

    BAB II

    PEMBAHASAN

    1. Evaluasi pra Anestesia dan Reaminasi

    1.1 Batasan

    Evaluasi praanestesia dan reaminasi adalah langkah awal yang dilakukan

    sebelum rangkaian tindakan anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang

    direncanakan untuk melakukan operatif.

    1.2 Tujuan

    • Mengetahui status fisik pasien preoperative.

    • Mengetahui dan menganalisis jenis operasi.

    • Memilih jenis/teknik anesthesia yang sesuai.

    • Mememberitahu pasien apa yang akan menjadi kendala yang akan

    mungkin terjadi selama operasi dan atau pasca bedah.

    • Mempersiapkan alat-alat apa saja yang dibutuhkan pada waktu operasi dan

    obat apa yang digunakan pada waktu kesulitan pada waktu oprasi.

    1.3 Waktu Evaluasi

    Pada kasus bedah elektif, evaluasi pra anesthesia dilakukan beberapa hari

    sebelum oprasi, jadi disana melakukan pencatatan status pasien, anamnesis,

    pemeriksaan fisik dan menginformasikan pasien baik buruknya pada waktu

    oprasi. Kemudian evaluasi ulang dilakukan sehari menjelang operasi, keesokan

    harinya pasien di lakukan pemeriksaan lagi sebelum masuk ke dalam kamar

    operasi dan evaluasi akhir dilakukan dikamar persiapan instalasi bedah sentral

    (IBS) gunanya untuk menentukan status fisik ASA pada pasien.

    Pada kasus bedah darurat, evaluasi dilakukan pada saat itu juga

    diruangan persiapan oprasi Instalasi Rawat Darurat (IRD), karena waktu yang

  • 7

    tersedia untuk evaluasi sangat terbatas, sehingga sering kali informasi tentang

    penyakit yang diderita kurang akurat.

    1.4 Tatalaksana Evaluasi

    1.4.1 Anamnesis

    Anamnesis dilakukan dengan pasien sendiri atau kalau pasien

    tidak bisa diajak komunikasi, wawancara heteroanamnesis yaitu

    keluarga pasien atau kerabat dekat pasien, meliputi :

    • Tanyakan identitas pasien atau biodata.

    • Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang

    mungkin menimbulkan gangguan fungsi organ atau gangguan

    psikis pada pasien.

    • Anamnesis umum, meliputi :

    - Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau yang

    sedang menderita penyakit sistemik selain penyakit bedah

    yang diderita, yang bisa mempengaruhi anesthesia atau

    dipengaruhi oleh anesthesia.

    - Riwayat pemakaian obat atau alergi obat, tanyakan pada

    pasien apakah ada obat yang sebelumnya diminum dan

    tanyakan pada pasien apakah pasien ada alergi obat.

    - Riwayat operasi/ anesthesia terdahulu.

    - Tanyakan kepada pasien apakah pasien merokok,

    meminum minuman alcohol, minum kopi, dan

    mengkonsumsi obat-obatan terlarang.

    - Memberitahu pasien sebelum oprasi pasien harus puasa 8

    jam sebelum oprasi dimulai.

    • Pemeriksaan fisik

    Pemeriksaan yang dilakukan adalah :

    - Pemeriksaan atau pengukuran status presen pasien,

    meluputi: kesadaran pasien, nafas pasien, tekanan darah

  • 8

    atau tensi pasien, nadi, suhu tubuh, berat badan dan

    tinggi badan pasien untuk menilai status gizi pasien

    atau BMI pasien.

    - Pemeriksaan fisik umum, meliputi pemeriksaan status :

    ❖ Psikis pasien : gelisah, takut atau kesakitan.

    ❖ Respirasi.

    ❖ Hemodinamik.

    ❖ Penyakit darah.

    ❖ Hepato-bilier.

    ❖ Urogenital dan saluran kencing.

    ❖ Metabolic dan endokrin.

    ❖ Cek lengan pasien (otot dan saraf)

    • Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya

    - Pemeriksaan rutin

    Ditujukan pada pasien yang dipersiapkan untuk oiprasi

    kecil dan sedang. Hal-hal yang akan dipersiapkan:

    1. Test darah pasien : Hb, Ht, Eritrosit, Leukosit, masa

    perdarahan dan masa pembekuan.

    2. Urin : pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin.

    3. Pemeriksaan radiologi : CT Scan, X-ray.

    • Menentukan prognosis pasien perioperatif

    Berdasarkan hasil evaluasi pra operatif tersebut diatas

    maka dapat disimpulkan status fisik pasien pra anesthesia.

    American Society of Anesthesiologist (ASA) membuat

    klasifikasi status fisik praanastesia menjadi 5 kelas, yaitu:

    ASA 1 : Pasien penyakit bedah tanpa memiliki penyakit

    sistemik.

    ASA 2 : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit

    sistemik ringan sampai sedang.

  • 9

    ASA 3 : Pasien penyakir bedah disertai dengan penyakit

    sistemik berat yang disebabkan karena berbagai penyebab

    tetapi tidak mengancam nyawa.

    ASA 4 : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit

    sistemik berat yang secara langsung mengancam

    kehidupannya.

    ASA 5 : Pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit

    sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi,

    dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal.

    ASA 6 : Pasien sudah mati batang otak, siap donorkan organ

    yang masih berfungsi baik.

    E : Pasien emergency yang harus di oprasi.

    2. Masalah anestesi dan reanimasi

    2.1 Sindrom emboli pada lemak

    Emboli lemak biasanya terjadi pada patah tulang panjang dan dapat

    berakibat fatal dengan angka mortalitas mencapai 10-20%. Kondisi ini

    umumnya muncul dalam waktu 72 jam pada fraktur pelvis atau tulang

    panjang dengan trias dyspnea, bingung dan petechiae. Emboli lemak timbul

    karena terganggunya sel lemak pada tulang yang mengalami fraktur sehingga

    percikan lemak (fat globules) banyak dilepaskan dan memasuki sirkulasi

    melalui robekan pembuluh darah medula. Teori lain mengungkapkan bahwa

    adanya perubahan metabolisme asam lemak mencetuskan terbentuknya

    agregasi sirkulasi asam lemak bebas yang selanjutnya berkembang menjadi

    emboli lemak. Peningkatan kadar asam lemak bebas dapat memilikki efek

    toksik pada membran alveolar-kapiler yang memicu pelapasan vasoaktif amin

    dan prostaglandin yang nantinya dapat berkembang menjadi acute respiratory

    distress syndrome.2

  • 10

    2.2 Deep venous thrombosis dan Thromboembolism

    DVT dan emboli paru bisa menyebabkan morbiditas dan mortalitas

    saat berlangsungnya operasi orthopedi pada pelvis dan ekstremitas bawah.

    Faktor risiko seperti obesitas, umur lebih dari 60 tahun, prosedur berlangsung

    lebih dari 30 menit, penggunaan torniquet, fraktur ekstremitas bawah dan

    imobilisasi lebih dari 4 hari. Insiden DVT dapat mencapai 40-80% pada

    pasien yang tidak diberikan propilaksis. Patofisiologi yang mendasari

    terjadinya DVT tersebut yakni stasis vena dengan hipercoagulable state

    sebagai akibat dari respon inflamasi lokalis dan sistemik terhadap

    pembedahan.2

    2.3 Bone cement Implantation Syndrome

    Bone cement, polymethylmethacrylate sering dibutuhkan untuk

    arthroplasti sendi. Semen merekat di dalam celah tulang cancellous dan secara

    kuat mengikat peralatan prosthetic ke tulang pasien. Pencampuran bubuk

    polymerized methylmethacrylate dengan monomer cair methylmethacrylate

    menyebabkan polimerisasi dan cross-linking rantai polimer. Reaksi

    eksothermik memicu pengerasan semen dan ekspansi berlawanan dengan

    komponen prosthetik. Absorpsi sistemik dari methylmethacrylate monomer

    yang tersisa bisa menyebabkan vasodilatasi dan penurunan resistensi

    pembuluh darah sistemik. Pelepasan jaringan thromboplastin bisa memicu

    agregasi platelet, pembentukan mikrothrombus di paru dan ketidakstabilan

    hemodinamik. Manifestasi klinis dari sindrom implantasi bone cement

    meliputi hipoksia , hipotensi, aritmia, hipertensi pulmonal dan menurunnya

    curah jantung. Emboli juga paling sering terjadi saat pemasangan prosthesis

    femoral untuk arthroplasty panggul. Strategi terapi dalam mengantisipasi

    emboli lemak ini adalah meningkatkan konsentrasi oksigen inspirasi,

    memantau euvolemi, membuat lubang ventilasi di distal femur untuk

    membebaskan tekanan intramedula, membuat tekanan lavage tinggi pada

    femur untuk menghilangkan debris (potensi mikroemboli) atau menggunakan

    komponen femur yang tidak membutuhkan semen. 2

  • 11

    2.4 Pneumatic Torniquet

    Pemakaian torniquet pada ekstremitas mampu menekan perdarahan

    sehingga memudahkan operator saat pembedahan berlangsung. Namun di sisi

    lain torniquet dapat menciptakan masalah potensial seperti perubahan

    hemodinamik, nyeri, perubahan metabolik, thromboembolisme arteri dan

    emboli paru. Tekanan inflasi biasanya diatur kira-kira 100 mmHg lebih tinggi

    dari batas bawah tekanan darah sistolik. Inflasi yang berkepanjangan (> 2

    jam) secara rutin menyebabkan disfungsi otot transien dan bisa menghasilkan

    rhabdomyolisis atau kerusakan saraf permanen. Inflasi torniquet juga

    berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh pada pasien pediatri saat

    mengalami operasi ekstremitas bawah.2

    2.5 Perdarahan luka operasi

    Pembedahan ortopedi berhubungan dengan adanya kehilangan darah,

    khususnya pembedahan trauma, pembedahan punggung multiple,

    pembedahan redo arthroplasty dan pembedahan tanpa menggunakan

    torniquet.

    2.6 Persiapan Praoperatif

    2.6.1 Persiapan rutin

    Persiapan pra anestesia dan reanimasi dapat dilakukan di

    poliklinik dan di rumah sakit tempat pasien dirawat (pada pasien rawat

    inap), ruang perawatan, ruang persiapan IBS dan kamar operasi yang

    akan dijabarkan sebagai berikut :

    a. Persiapan di ruang perawatan

    Persiapan di ruang perawatan hampir sama dengan

    persiapan di poliklinik dan di rumah pasien meliputi

  • 12

    persiapan psikis dan persiapan fisik. Persiapan psikis yang

    dilakukan adalah (1) memberikan penjelasan kepada pasien

    dan atau keluarga agar mengerti perihal rencana anestesi dan

    pembedahan yang direncanakan sehingga pasien dan

    keluarganya bisa tenang; (2) memberikan obat sedatif pada

    pasien yang menderita stress berlebihan atau pasien yang

    tidak kooperatif seperti pediatrik pada malam hari menjelang

    tidur dan pada pagi hari, 60-90 menit sebelum ke IBS. Pada

    persiapan fisik, perlu diinformasikan kepada pasien untuk :

    (1) menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti merokok

    minimal dua minggu sebelum anestesia atau minimal dimulai

    sejak evaluasi pertama kali di poliklinik; (2) melepas segala

    macam protesis dan asesoris seperti perhiasan; (3) melakukan

    puasa dengan aturan sebagai berikut :3

    Tipe Makanan/Minuman Lama Puasa yang

    dibutuhkan

    Cairan jernih • 2 jam

    • Contoh air, jus buah

    tanpa ampas buah, teh

    jernih, kopi.

    • Tidak termasuk alkohol

    ASI 4 jam

    Formula bayi 6 jam

    Makanan ringan • 6 jam

    • Contoh roti panggang

    Makanan bergoreng/makanan

    padat/makanan

    berlemak/daging

    8 jam

    Table 2. Pemantauan pasien sebelum Oprasi

  • 13

    (4) membuat surat persetujuan untuk keluarga pasien untuk

    melakukan tindakan oprasi atau medik; (5) jika keluarga

    pasien sudah setuju ganti pakaian pasien yang dipakai dari

    rumah dengan pakaian khusus kamar operasi.

    b. Persiapan di ruangan IBS

    Persiapan yang dilakukan meliputi evaluasi ulang status

    presen dan catatan medik pasien serta perlengkapan lainnya,

    konsultasi di tempat apabila diperlukan, memberi premedikasi

    dan memasang infus.

    c. Persiapan di kamar operasi

    (1) Mempersiapkan mesin anestesi dan sistem aliran gasnya,

    alat pantau tekanan darah, pulse oksimeter, EKG, tiang

    infus, defribilator dan obat-obat anestesia yang

    diperlukan.

    (2) Mempersiapkan stetoskop, laringoskopi, endotrakeal tube,

    guedel orotrakeal tube, plester untuk fiksasi, stilet,

    connector dan suction.

    (3) Mempersiapkan obat-obat resusitasi, misalnya : adrenalin,

    atropin, aminofilin, natrium bikarbonat dan lain-lainnya.

    (4) Mempersiapkan catatan medik anestesia, selimut

    penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.

    2.7 Premedikasi

    Bila didapatkan adanya risiko aspirasi gaster, pemberian premedikasi

    sedatif dan narkotik minimal diberikan pada korban trauma. Premedikasi

    seperti H2 antagonis dan antasid juga dapat diberikan. Premedikasi narkotik

    secara titrasi dibutuhkan untuk pasien yang mengalami nyeri saat pergerakan

    atau saat pasien dipindahkan.1,4

    2.8 Pilihan anestesinya

    Pemilihan anestesi yang akan dikerjakan pada pasien yang akan

    mengalami pembedahan perlu mempertimbangkan berbagai faktor seperti

  • 14

    umur, jenis kelamin, status fisik dan jenis operasi. Pada pasien bayi dan anak

    pilihan anestesinya adalah anestesi umum karena pasien anak cenderung

    kurang kooperatif. Pilihan anestesi pada orang dewasa bisa diberikan anestesi

    umum atau analgesia regional, tergantung jenis operasi yang akan dikerjakan.

    Pada perempuan dimana faktor emosional dan rasa malu yang lebih dominan,

    maka pilihan anestesi umum dapat menjadi pilihan, sebaliknya pada laki-laki

    bisa dilakukan anestesi regional. Status fisik pasien seperti penyakit

    sistemik dan komplikasi dari penyakit primer yang diderita juga menjadi

    pertimbangan penting dari tindakan anestesi yang akan dipilih. Apabila

    ditinjau dari jenis operasi, terdapat 4 permasalahan dalam menentukan pilihan

    anestesi yakni lokasi, posisi, manipulasi dan durasi operasi.4 Pada kasus

    orthopedi, pilihan anestesi yang sering dilakukan adalah dengan

    menggunakan teknik Endo Trachea Tube (GA-ETT) dan Laringeal mask

    airway (LMA)

    ENDO TRACHEA TUBE (GA-ETT)

    Intubasi endotrakeal adalah suatu tindakan memasukkan pipa khusus

    kedalam trakea, sehingga jalan nafas menjadi bebas dan nafas menjadi mudah

    dibantu atau dikendalikan pada waktu oprasi berjalan. Intubasi endotrakeal

    dapat dilakukan dengan memasukkan pipa dari hidung, mulut atau trakeal

    stoma, dengan menggunakan alat bantuan laringoskop.

    360C

    Gambar I: Pemasangan ETT

  • 15

    Indikasi Utama Intubasi Endo Trachea Tube pada waktu Oprasi :

    • Menjamin atau mempertahankan jalan nafas agar bebas.

    • Mencegah aspirasi isi saluran cerna

    • Memungkinkan penghisapan trakeal secara adekuat

    • Memberikan oksigen konsentrasi tinggi

    • Pemberian tekanan positif pada jalan nafas

    Keuntungan pemasangan GA-ETT

    1. Intubasi ET akan membantu saluran nafas yang bagus selama salurannya

    masih terbuka.

    2. Akan menurunkan normal anatomic dead space (75 ml) menjadi 25 ml.

    3. Ventilasi dapat diukur dan dikontrol tanpa mempengaruhi lambung dan usus.

    4. Akan mengurangi kemungkinan aspirasi sekresi, darah, jaringan dan muntah

    secara drastis.

    5. Ventilasi dapat diukur dan dikontrol walau pada posisi lateral telungkup atau

    lainnya.

    6. Respirasi dapat dikontrol selama pemberian obat pelumpuh otot.

    7. Mempermudah dilakukan suction pada paru

    8. Anestesiolog dan alat-alat anestesi dapat diletakan jauh dari daerah operasi

    jika dilakukan operasi kepala atau leher.

    Kerugian pemasangan intubasi ET

    1. Intubasi ET akan menambah resistensi terhadap pernafasan. Untuk menjaga

    resistensi sekecil mungkin dapat digunakan ET dengan diameter yang sesuai.

    2. Trauma terhadap bibir, lidah, hidung, tenggorokan dan laring dapat saja

    terjadi, mengakibatkan suara serak, sakit dan disfagia. Aberasi nukosa dapat

  • 16

    diakibatkan oleh suatu operasi empisema yang luas. Bila terjadi perforasi dari

    membran padadecussatio dari otot krikofaringeal akan dapat mengakibatkan

    mediastinitis.

    LARINGEAL MASK AIRWAY ( LMA )

    Laryngeal Mask Airway (LMA) atau sungkup laring adalah alat yang sangat

    penting untuk mengatasi kegawatdaruratan jalan nafas. Alat ini sudah terbukti efektif

    dalam menjaga jalan nafas dan menjamin ventilasi apabila terjadi kesulitan atau

    kegagalan intubasi. Alat ini juga dapat digunakan untuk memasukkan pipa

    endotrakeal ke dalam trakea. Penempatan sungkup laring yang benar akan menjaga

    kebocoran lebih baik dibanding menggunakan sungkup muka dan sebanding dengan

    pipa endotrakeal pada tekanan ventilasi mencapai 20 cmH20.

    Gambar II : pemasangan LMA

    Indikasi Penggunaan LMA

    Yang menjadi indikasi untuk menggunakan LMA antara lain adalah sebagai berikut :

    1. Untuk menghasilkan jalan nafas yang lancar tanpa penggunaan

    sungkup muka.

    2. Untuk menghindari penggunaan ET/melakukan intubasi endotrakeal

    selama ventilasi spontan.

    3. Pada kasus-kasus kesulitan intubasi.

  • 17

    4. Untuk memasukkan ET ke dalam trakea melalui alat intubating LMA.

    Kontraindikasi Penggunaan LMA

    Ada beberapa hal yang harus diperhatikan yang merupakan kontraindikasi

    untuk menggunakan LMA, yaitu :

    1. Ketidakmampuan menggerakkan kepala atau membuka mulut lebih

    dari 1,5 cm, misalnya pada ankylosing spondylitis, severe rheumatoid

    arthritis, servical spine instability, yang akan mengakibatkan kesulitan

    memasukkan LMA.

    2. Kelainan didaerah faring (abses, hematom).

    3. Obstruksi jalan nafas pada atau dibawah laring.

    4. Pasien dengan lambung penuh atau kondisi yang menyebabkan

    lambatnya pengosongan lambung.

    5. Meningkatnya resiko regurgitasi (hernia hiatus, ileus intestinal).

    6. Ventilasi satu paru.

    7. Keadaan dimana daerah pembedahan akan terhalang oleh kaf dari

    LMA.

    Keuntungan dan Kerugian penggunaan LMA

    • Laryngeal Mask Airway (LMA) atau sungkup laring merupakan konsep

    alternatif dalam penanganan pemeliharaan jalan nafas antara intubasi endotrakeal dan

    penggunaan sungkup muka.

    • Beberapa keuntungan dari LMA dalam penggunaannya antara lain adalah

    pemasangan tidak memerlukan laringoskop, tidak memerlukan pelumpuh otot, tidak

    merusak pita suara, respon kardiovaskuler sangat rendah jika dibandingkan intubasi

    endotrakea.

    • Namun selain keuntungan diatas, ada beberapa kerugian dalam

    penggunaannya. Kerugian itu antara lain adalah meningkatkan resiko aspirasi, tidak

    aman jika digunakan pada pasien morbid obese, lebih besar resiko kebocoran gas dan

  • 18

    polusi. Lebih lengkap tentang keuntungan dan kerugian penggunaan LMA

    dibandingkan intubasi ET dan penggunaan sungkup muka dapat dilihat pada Tabel 4

    berikut ini.

    2.9 Obat Anestesia

    Beberapa pilihan obat ananlgesik pada pasien post-operatif dengan trauma ortopedi :

    2.9.1Premedikasi

    Premedikasi adalan tindakan awal anesthesia dengan memberikan obat-obat

    yang digunakan sebelum melakukan operasi dimana obat ini menimbulkan rasa

    nyaman untuk pasien, yang meliputi: bebas dari rasa takut atau cemas, tegang,

    kawatir, mual dan muntah. Berikut obat premedikasi :

    Benzodiazepin

    Golongan ini sangat spesifik untuk menghilangkan rasa cemas. Diazepam

    bekerja pada reseptor otak yang spesifik, menghasilkan efek antiansietas yang selektif

    pada dosis yang tidak menimbulkan sedasi yang berlebihan, deperesi napas, mual

    atau muntah.

    Kerugian penggunaan diazepam untuk premedikasi ini ialah kadang-kadang

    pada orang tertentu dapat menyebabkan sedasi yang berkepan-jangan. Selain itu juga

    rasa sakit pada penyuntikan intramuskular. Serta absorbsi sistemik yang jelek setelah

    pemberian IM. Sekarang sudah ada obat baru dari golongan Benzodiazepin IM, yaitu

    Midazolam. Keuntungan obat ini tidak menimbulkan rasa nyeri pada penyuntikan

    baik secara IM maupun IV.

    Diazepam dapat diberikan pada orang dewasa dengan dosis 10 mg, sedang

    pada anak kecil 0,2 – 0,5 mg/kg BB. Midazolam dapat diberikan dengan dosis 0,1

    mg/kg BB. Penggunaan midazolam ini harus dengan pengawasan yang ketat, karena

    kemungkinan terjadi depresi respirasi.

    2.9.2 Induksi

    Induksi anestesi adalah suatu rangkaian proses transisi dari sadar penuh

    sampai hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan untuk dimulainya anestesi dan

    pembedahan. Berikut obat induksi anesthesia :

  • 19

    • Ketamin

    Ketamin mempuyai efek analgesi yang kuat sekali akan tetapi

    efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) yang disertai peneri- maan

    keadaan lingkungan yang salah (anestesi disosiasi).

    Ketamin merupakan zat anestesi dengan aksi satu arah yang berarti

    efek analgesinya akan hilang bila obat itu telah didetoksikasi/dieksresi,

    dengan demikian pemakaian lama harus dihindarkan. Anestetik ini

    adalah suatu derivat dari pencyclidin suatu obat anti psikosa. Pasien

    tidak tampak “tidur”. Mata mungkin tetap terbuka tetapi tidak

    menjawab bila diajak bicara dan tidak ada respon terhadap rangsangan

    nyeri. Tonus otot rahang biasanya baik setelah pemberian ketamin.

    Demikian juga reflek batuk. Untuk prosedur yang singkat ketamin

    dapat diberikan secara iv / im setiap beberapa menit untuk mencegah

    rasa sakit.

    • Propofol

    Propofol adalah kandungan obat yang biasa digunakan dalam

    proses anestesi (pembiusan) umum, yaitu untuk mengurangi tingkat

    kesadaran pada pasien yang akan melalui prosedur operasi. Propofol

    juga digunakan sebagai obat penenang pada pasien dewasa dalam

    kondisi kritis yang membutuhkan alat ventilasi buatan dalam ruang

    perawatan intensif. Obat ini diberikan dengan cara infus.

    2.9.3Obat pelumpuh otot

    Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot

    depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi (kompetitif,

    takikurare).

    • Obat pelumpuh otot depolarisasi

    Obat pelumpuh otot depolarisasi sangat menyerupai

    asetilkolin, sehingga ia bisa berikatan dengan reseptor asetilkolin dan

  • 20

    membangkitkan potensial aksi otot. Akan tetapi obat ini tidak

    dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, sehingga konsentrasinya tidak

    menurun dengan cepat yang mengakibatkan perpanjangan depolarisasi

    di motor-end plate. Efek samping yang akan terjadi Nyeri otot pasca

    pemberian, Peningkatan tekanan intraocular, Peningkatan tekakana

    intracranial, Peningkatan tekakanan intragastrik dan alergi.

    • Obat pelumpuh otot non depolarisasi

    Pemulihan tonus otot rangka akibat pengaruh obat pelumpuh

    otot non depolarisasi bisa berlangsung secara spontan setelah masa

    kerja obat berakhir. Namun untuk mempercepat pemulihannya perlu

    diberikan obat antagonisnya, yaitu golongan obat anti kolin esterase.

    Salah satu obat yang termaksuk golongan ini adalah neostagmin

    metilsulfat atau prostagmin. Prostagmin merupakan obat

    antikolinesterase yang berkhasiat menghambat kerja enzim

    kolinesterase untuk menghidrolisis asetilkolin, sehingga terjadi

    akumulasi asetilkolin pada hubungan saraf otot atau pada ujung saraf

    kolinergik.

    2.9.4 Obat analgetik

    • Opiod

    - Fentanyl

    Merupakan obat Anastesia yang bersifat narkotik sintetik yang paling

    banyak digunakan dalam praktik atau oprasi anestesiologi. Mempunyai

    potensi 1000 kali lebih kuat dibandingksan dengan petidin dan mempunyai

    50-100 kali lebih kuat dari morfin. Mulai kerjanya cepat dan masa kerjanya

    pendek. Analgesik narkotika digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam

    bentuk sediaan injeksi IM (intramuskular) Obat Fentanyl digunakan hanya

    untuk pasien yang siap menggunakan analgesik narkotika. Fentanyl bekerja di

    dalam sistem syaraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit. Beberapa efek

    samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf pusat. Pada

  • 21

    pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering

    terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan dosis aturan. Ketergantungan biasa

    terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk

    mencegah efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara

    bertahap dengan periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan.

    - Morfin

    Morfin merupakan obat prototype opiod yang menjadi perbandingan

    pada semua jenis obat golongan agonis opioid. Efek dari morfin berupa

    analgesia, euforia, sedasi, berkurangnya konsentrasi, nausea, perasaan

    berat pada ekstremitas, mulut yang kering dan priritus terutama pada daerah

    sekitar hidung. Jenis nyeri tumpul yang continu lebih efektif dihilangkan

    dengan morfin daripada jenis nyeri yang tajam dan intermiten. Efek analgesia

    dari morfin lebih efektif bila diberikan sebelum stimulus nyeri diberikan.

    Sementara bila tidak ada rangsangan nyeri, morfin lebih memberikan efek

    disforia daripada euphoria.

    - Petidin

    Meperidin atau petidin merupakan opioid sintetik yang bekerja agonis

    terhadap reseptor u dan k sebagai derivat dari fenilpiperidin. Adapun

    beberapa analog golongan ini antara lain fentanil, alfentanyl, sufentanyl dan

    remifentanyl. Secara struktur, meperidin mempunyai bentuk menyerupai

    atropin sehingga beberapa efek atropine juga dimiliki oleh atropine ini seperti

    takikardi, midriasis dan antispasmodic. Normeperidin mempunyai waktu

    paruh eliminasi 15 jam dan dapat dideteksi di urin 3 hari setelah pemakaian.

    Normeperidin mempunyai potensi ½ meperidin sebagai analgesik dan

    menstimulasi sistem saraf pusat. Kejang, mioklonus, delirium dan halusinasi

    yang dapat terjadi setelah pemberian meperidin adalah sebagai akibat efek

    stimulasi saraf pusat oleh normeperidin.

    2.9.5 NSID

    - NSID dan paracetamol

    Parasetamol dan NSAIDs menjadi obat utama pada nyeri pasca bedah

    dengan intensitas ringan sementara opioid dan atau teknik anestesi lokal dapat

    digunakan untuk intensitas nyeri sedang.

  • 22

    - Ketorolac

    Ketorolac adalah obat dengan fungsi mengatasi nyeri sedang hingga nyeri

    berat untuk sementara. Biasanya obat ini digunakan sebelum atau sesudah

    prosedur medis, atau setelah operasi. Ketorolac adalah golongan obat nonsteroidal

    anti-inflammatory drug (NSAID) yang bekerja dengan memblok produksi substansi

    alami tubuh yang menyebabkan inflamasi. Efek ini membantu mengurangi bengkak,

    nyeri, atau demam.

    Efek samping dari ketorolac :

    • Sakit perut, mual atau muntah ringan, diare, konstipasi

    • Heartburn ringan, nyeri perut, kembung

    • Pusing, sakit kepala, mengantuk

    • Berkeringat; atau

    • Telinga berdenging

    3.1 Pemantauan selama anestesia

    3.1.1 Pemantauan Umum

    Pemantauan selama anestesia penting dilakukan untuk meningkatkan

    kualitas penatalaksanaan pasien. Selama pemberian anestesia/analgesia,

    tenaga anestesia yang berkualifikasi harus berada di dalam kamar bedah yang

    bertujuan agar dapat memantau pasien dan memberikan antisipasi segera

    terhadap perubahan abnormal yang terjadi. Pemantauan pasien selama

    anestesia berdasarkan standar ASA dijelaskan sebagai berikut :4

    a) Jalan nafas

    Jalan nafas selama anestesia dipantau secara kontinu baik

    dengan teknik sungkup maupun intubasi trakea. Apabila pasien

    bernafas spontan, pemantauan dilakukan melalui gejala/tanda seperti :

    terdengar suara nafas tambahan, gerakan kantong reservoir terhenti

    atau menurun, tampak gerakan dada paradoksal. Sedangkan pada nafas

    kendali yang dipantau adalah tekanan inflasi terasa berat, tekanan

    inspiratif meningkat dan lain-lainnya. Hal lain yang juga perlu

  • 23

    dievaluasi adalah memeriksa kadar oksigen gas inspirasi melalui pulse

    oxymeter, memeriksa oksigenasi darah dengan melihat warna darah

    luka operasi dan permukaan mukosa, secara kualitatif dengan alat

    oksimeter denyut dan pemeriksaan analisis gas darah untuk menilai

    tekanan parsial O2 dan CO2.4

    b) Ventilasi

    Ventilasi pernapasan pasien dipantau dengan cara : mengamati

    gerak naik turunnya dada, gerak kembang kempisnya kantong

    reservoar atau auskultasi suara nafas, memantau “end tidal CO2”

    terutama pada pasien dengan risiko tinggi (kraniotomi) dan

    mengaktifkan sistem alarm jika vent ilasi dilakukan dengan

    alat bantu nafas mekanik sehingga dapat terdengar sinyal jika nilai

    ambang tekanan dilampaui.4

    c) Sirkulasi

    Fungsi sirkulasi pasien dipastikan dalam kondisi terpantau

    dengan baik yang dilakukan dengan cara menghitung denyut nadi

    secara manual pada orang dewasa dan dengan stetoskop prekordial

    pada bayi dan anak. Selanjutnya dilakukan pengukuran tekanan darah

    secara non invasif menggunakan tensimeter air raksa dan secara

    invasif menggunakan kateter vena sentral pada pasien dengan risiko

    tinggi dan bedah ekstensif untuk menilai status volume intravaskuler

    dan tekanan vena sentral. Pemantauan fungsi sirkulasi pasien juga

    dilakukan dengan memantau EKG dari monitor, pulse oksimeter dan

    produksi urin secara kontinu.4

    d) Suhu Tubuh

    Mempertahankan suhu tubuh dengan mengukur secara kontinu

    pada daerah sentral tubuh melalui esofagus atau rektum dengan

    termometer khusus yang dihubungkan dengan alat pantau yang

    mampu menayangkan secara kontinu.4

  • 24

    3.1.2 Pemantauan Khusus

    Pemantauan arterial/CVP line diindikasikan pada pasien dengan

    gangguan hemodinamik atau resiko tinggi.1

    3.2 Terapi cairan

    Terapi cairan merupakan aspek penting dari manajemen perioperatif

    yang harus dikhususkan pada masing-masing individu. Terapi cairan optimal

    diawali dengan penilaian klinis pasien untuk menentukan jumlah cairan dan

    kecepatan cairan yang harus diadministrasikan. Terapi cairan harus

    diperhitungkan pada 3 aspek yakni defisit cairan yang sudah hilang, kebutuhan

    cairan maintenance dan kebutuhan cairan yang akan hilang. Pilihan cairan

    terapi meliputi larutan kristaloid dan koloid.6

    1. Kebutuhan cairan pemeliharaan

    Kebutuhan ini diperlukan untuk untuk mengganti cairan yang hilang

    dari urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan kehilangan yang

    insensible dari traktus respratori. Estimasi kebutuhan cairan

    pemeliharaan dapat dihitung melalui rumus berikut ini :

    a. 10 kg pertama : 4ml/kg/jam

    b. 11-20 kg : 40 ml/jam + 2 ml/jam untuk setiap kg diatas 10

    c. 21 kg dan >21 kg : 60 ml/jam + 1ml/jam untuk setiap kg diatas

    20 kg

    2. Defisit cairan yang hilang

    Defisit cairan yang hilang tergantung dari lama waktu puasa sebelum

    pembedahan yang diperoleh dari kebutuhan cairan pemeliharaan normal

    dikalikan dengan jumlah jam puasa. Defisit cairan puasa meningkat ketika

    terdapat cairan yang hilang seperti perdarahan, muntah, diuresis, diare,

    sekuestrasi cairan dan meningkatnya jumlah cairan insensible yang hilang.

  • 25

    3. Kebutuhan cairan yang akan hilang

    Jumlah cairan yang hilang selama operasi sangat tergantung dari jenis

    operasi yang dilakukan. Perhitungan cairan yang hilang berdasarkan jenis

    operasi yang dilakukan yaitu :

    a. Operasi besar : 6-8 ml/kgbb/jam

    b. Operasi sedang : 4-6 ml/kgbb/jam

    c. Operasi kecil : 2-4 ml/kgbb/jam

    Pedoman koreksi cairan :

    a. Pada dewasa

    - Perdarahan >20% dari perkiraan volume darah berikan

    transfusi

    - Perdarahan

  • 26

    3.3 Pemulihan Anestesia

    Prosedur pemulihan diawali dengan membersihkan dan menghisap

    cairan, lendir atau bekuan darah yang ada dalam pipa endotrakeal.

    Selanjutnya mengganti pipa lumen ganda dengan pipa endotrakeal yang

    biasa dan menhentikan aliran nafas gas atau obat anestesia inhalasi dan

    berikan oksgen 100% (4-8 liter) selama 2-5 menit. Obat antikolinesterase

    yaitu neostigmin dan dikombinasikan dengan atropin diberikan untuk

    memulihkan pernafasan pasien. Setelah pasien bernafas spontan dan

    adekuat maka dapat dilakukan ekstubasi pada pasien. Pada kasus yang

    diduga akan terjadi depresi nafas pasca bedah, tidak dilakukan ekstubasi

    pipa endotrakeal dan pasien langsung dikirim ke ruang terapi intensif untuk

    tindakan perawatan dan terapi lebih lanjut.4

    3.4 Pasca bedah

    3.4.1 Tatalaksana pasca anesthesia

    Tatalaksana pasca anesthesia yaitu evaluasi kesadaran, respirasi,

    sirkulasi, fungsi ginjal dan saluran kemih, fungsi saluran cerna, fungsi

    motorik, suhu tubuh, nyeri.

    3.4.2 Resiko Pasca Anestesia

    Berdasarkan masalah-masalah yang akan dijumpai pasca

    anesthesia/bedah, dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu :

    • Kelompok 1

    Pasien yang mempunyai resiko tinggi gagal nafas dan

    goncangan kardiovaskuler pasca anesthesia/bedah, sehingga

    perlu nafas kendali pasca anesthesia/bedah. Pasien yang

    termaksuk dalam kelompok ini langsung dirawat di unit terapi

    Intensif pasca anesthesia/bedah bertujuan untuk memantau

    secara kontinyu dan mengobati secara tepat masalah respirasi

    dan sirkulasi, mempertahankan kestabilan sistem respirasi dan

  • 27

    sirkulasi, memantau perdarahan luka oprasi, dan

    mengatasi/mengobati masalah nyeri pasca operasi/bedah.

    • Kelompok 2

    Sebagian besar pasien pasca anesthesia/bedah

    termaksuk dalam kelompok ini. Tujuan perawatan pasca

    anesthesia/bedah adalah menjamin agar pasien secepatnya mampu

    menjaga keadekuatan respirasinya.

    • Kelompok 3

    Pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat

    jalan. Pasien pada kelompok ini bukan hanya fungsi

    respirasinya adekuat tetapi harus bebas dari rasa mengantuk,

    ataksia, nyeri dan kelemahan otot, sehingga pasien bisa

    kembali pulang.

    3.5 Penanggulangan nyeri

    Manajemen nyeri pada pasien trauma orthopedi membutuhkan pendekatan

    multmodal. Analgesia yang tidak adekuat dapat menimbulkan komplikasi terkait

    dengan kesembuhan, fungsi imum dan disfungsi otonom. Nyeri berkepanjangan dapat

    berkembang menjadi nyeri kronis yang lebih sulit untuk diobati dan dapat

    menurunkan kualitas hidup pasien. Tujuan dari manajemen nyeri pada pasien trauma

    adalah untuk menurunkan respon stres dan meredakan nyeri dengan mempertahankan

    stabilitas kardiovaskular dan hemostasis jaringan.

    3.6 Kriteria Pemulihan

    Pada pasien pasca anestesia dan kriteria pengeluaran dari ruang pemulihan

    menggunakan Skor Aldrete yaitu :

  • 28

    Objek Kriteria Nilai

    Aktivitas

    Mampu menggerakan

    empat ekstremitas

    2

    Mampu menggerakan

    dua ekstremitas

    1

    Tidak mampu

    menggerakan

    ekstremitas

    0

    Respirasi Mampu nafas dalam dan

    batuk

    2

    Sesak atau pernafasan

    terbatas

    1

    Henti nafas 0

    Tekanan Darah Berubah sampai 20%

    dari prabedah

    2

    Berubah 20-50% dari

    pra bedah

    1

    Berubah >50% dari pra

    bedah

    0

    Kesadaran Sadar baik dan orientasi

    baik

    2

    Sadar setelah dipanggil 1

    Tidak ada tanggapan

    terhadap rangsangan

    0

  • 29

    Warna Kulit Kemerahan 2

    Pucat agak suram 1

    Sianosis 0

    Table 4. pasca anestesia dan kriteria pengeluaran dari ruang pemulihan

    menggunakan Skor Aldrete

    Penilaian dilakkukan ketika pasien masuk ke ruang pemulihan selanjutnya

    dilakukan pencatatan setiap 5 menit sampai tercapai nilai dengan total 10 untuk

    mengembalikan pasien ke ruangan.

  • 30

    BAB III

    PENUTUP

    • Masalah anestesi pada pasien dengan operasi tulang humerus: 1) Pendarahan

    luka operasi; 2) Operasi berlangsung lama; 3) Ancaman gangguan fungsi

    respirasi dan sirkulasi berkaitan dengan ketinggian lesi (syok spinal);

    • Lima alasan dasar operasi kelainan tulang humerus: 1) Disfungsi neurologis;

    2) Ketidakstabilan struktural; 4) Kelainan bentuk; 5) Sakit (tulang humerus).

    • Teknik Anestetik endotrakeal umum lebih dipilih untuk semua operasi

    pembedahan. Pertimbangan anestetik yang perlu dilakukan selama operasi

    adalah evaluasi pra operasi, durante-operasi dan pasca-operasi.

  • 31

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Jaffe RA, Samuel, Stanley L, Schmiesing, Clifford A, Golianu et al.

    Anesthesiologist’s Manual of Surgical Procedures. Lippincott Williams &

    Wilkins; 2013.

    2. Jessica A. Lovich-Sapola and Charles E. Smith (2012). Anesthesia for

    Orthopedic Trauma, Orthopedic Surgery, Dr Zaid Al-Aubaidi (Ed.), ISBN:

    978-953-51-0231-1, InTech, Available from:

    http://www.intechopen.com/books/orthopedic-surgery/anesthesia-

    considerations-for-orthopedic-traumasurgery [Akses : 14 Maret 2017]

    3. Dr.Mangku ,Sp.An, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan

    Reanimasi. PT Indeks; 2017.

    4. Katzung, 1998, Farmakologi Dasar dan Klinis, Staf Dosen Farmakologi

    Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Hal : 351-366Latief, S.A.,

    5. Howard GW., Patrick JB., Peter BJC. The laryngeal mask airway : a

    comparison between two insertion techniques. Anesth Analg 2013.

    6. Agro F., Brimacombe J., Verghese C., Carassiti M., Cataldo R. Laryngeal

    mask airway and incidence of gastro-oesophageal reflux in paralysed patiens

    undergoing ventilation for elective orthopaedic surgery. Br. J. Anaesth. 2012.

    7. Kapila A, Addy EV., Verghese C., Brain AIJ. The intubating laryngeal mask

    airway : an initial assessment of performance. Br. J. Anaesth 2015.

    http://www.intechopen.com/books/orthopedic-surgery/anesthesia-considerations-for-orthopedic-traumasurgeryhttp://www.intechopen.com/books/orthopedic-surgery/anesthesia-considerations-for-orthopedic-traumasurgery