a. belajar dan pembelajaran - repository.unwira.ac.idrepository.unwira.ac.id/5099/3/bab ii.pdf · 8...
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Belajar dan Pembelajaran
1. Pengertian Belajar
Dalam konteks pendidikan, hampir semua aktivitas yang dilakukan adalah
aktivitas belajar. Suryabrata (2003:5) menjelaskan pengertian belajar dengan
menidentifikasikan ciri-ciri yang disebut belajar, yaitu belajar adalah aktivitas yang
menghasilkan perubahan pada diri individu yang belajar, baik aktual maupun potensial,
perubahan itu pada pokoknyaadalah diperolehnya kemampuan baru, yang berlaku dala
waktu relatif lama, perubahan itu terjadi karena usaha. Belajar merupakan
komponen dari ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan tujuan menambah dan
mengumpulkan sejumlah ilmu pengetahuan. Sudirman (2004:380) menyatakan belajar
adalah mencari makna, makna diciptakanoleh peserta didik dari apa yang mereka lihat,
mereka dengar dan dari yang dirasakan dan alami, jadi belajar sangat dipengaruhi
oleh pengalaman objek dengan dunia fisik dan lingkungannya.
Slameto (2003:2) belajar adalah suatu usaha yang dilakukan oleh sesorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Menurut Slameto (2004:5) jenis-jenis belajar sebagai berikut :
a. Belajar Bagian, dilakukan oleh seseorang bila ia dihadapkan pada materi belajar
yang bersifat luas.
9
b. Belajar Dengan Wawasan, belajar seperti ini mereorganisasi pola-pola tingkah
laku yang telah terbentuk menjadi satu tingkah laku yang ada hubungannya dengan
penyelesaian suatu persoalan.
c. Belajar Diskriminatif, suatu usaha untuk memilih beberapa sifat dan kemudian
menjadikannya sebagai pedoman dalam bertingkah laku.
2. Teori Belajar
Teori Belajar dapat digolongkan kedalam aliran yang dianggap besar dan sangat
dominan dalam memenuhi praktek pembelajaran yaitu, behavioristik, kognitifistik,
humanistik, konstruktivistik, dan cybernetic.
a. Teori Behavioristik
Belajar menurut pandangan Teori Behavioristik pada hakikatnya adalah
pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan
kecendrungan untuk bertindak atau bubungan antara stimulus dan respon.
b. Teori Kognitifistik
Teori belajar kognitif lebih menekankan pada proses belajar yang dilakukan
individu. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak
selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak.
c. Teori Humanistik
Teori Belajar Humanistik memandang bahwa proses belajar harus berhulu dan
bermuara pada manusia itu sendiri. Menurut teori Humanistik, tujuan belajar
adalah untuk memanusiakan manusia. Teori belajar Humanistik cenderung
bersifat eklektif dalam arti memanfaatkan teknik belajar apapun, asal tujuan
belajar siswa tercapai.
10
d. Teori Konstruktivistik
Teori Konstruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan (konstruksi)
pengetahuan oleh siswa itu sendiri. Pengetahuan ada didalam diri siswa yang
sedang mengetahui. Menurut aliran konstruktivistik.
e. Teori Cybernetiame
Teori Cybernetisme memandang otak manusia aktif memproses informasi seperti
halnya teknologi informasi atau komputer, namun manusia aktif mencari bukan
hanya pasif menerima.
Fungsi pengajar adalah menarik perhatian peserta didik agar pikiran, fisik dan
sikapnya tertuju pada materi pembelajaran yang akan dibahas.
3. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran adalah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan
maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran
merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai
pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid Sudjana (2004:28)
pembelajaran dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan sengaja untuk
menciptakan agar terjadi kegiatan interaksi edukatif antara dua pihak, yaitu antara
peserta didik dan pendidik yang melakukan kegiatan pembelajaran.
Warsita (2008:85) pembelajaran adalah suatu usaha untuk membuat peserta didik
belajar atau suatu kegiatan untuk membelajarkan peserta didik.
11
B. Pemahaman Matematika
1. Pengertian Pemahaman
Pemahaman adalah kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dalam situasi
baru, mampu menghubungkan antara apa yang dipelajari dengan bagaimana
pengetahuan tersebut akan dimanfaatkan/ diaplikasikan pada situasi baru. ( Trianto:
2010:7).
Pemahaman adalah kemampuan untuk menangkap makna dan arti dari bahan
yang dipelajari. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam menguraikan isi pokok dari
suatu bacaan, mengubah data yang disajikan dalam bentuk kata- kata, membuat
perkiraan tentang kecendrungan yang nampak dalam data tertentu, seperti dalam
grafik.( Winkel, 1996:246).
Ada tiga macam pemahaman matematika, yaitu : pengubahan (translation),
pemberian arti ( interprestasi) dan pembuatan ekstrapolasi ( ekstrapolation).
a. Pengubahan (translation).
Pemahaman traslasi digunakan untuk menyampaikan informasi dengan bahasaa
dan bentuk yang lain dan menyangkut pemberian makna dari suatu informasi
yang bervariasi.
b. Pemberian arti (interpretas).
Interpretasi digunakan untuk menafsirkan maksud dari bacaan, tidak hanya
dengan kata- kata dan frase, tetapi juga mencakup pemahaman sutu informasi dari
sebuah ide.
12
c. Pembuatan ekstrapolasi( ekstrapolation)
Ekstrapolasi mencakup estimasi dan prediksi yang didasarkan pada sebuah
pemikiran, gambaran kondisi dari suatu, juga mencakup pembuatan kesimpulan
dengan konsekuensi yang sesuai dengan informasi jenjang kognitif ketiga yaitu
penerapan atau application yang menggunakan atau menerapkan suatu bahan
yang sudah dipelajari kedalam situasi baru, yaitu berupa ide, teori atau petunjuk
teknis.
2. Kegunaan dalam memahami konsep matematika
Memahami konsep matematika itu penting. Hal ini dikarnakan beberapa alasan.
Adapun memahami konsep matematika adalah sebagai berikut :
a. Kebanyakan orang mengangap matematika sebagai kecerdasan menyeluruh.
Artinya, jika kita padai dalm bidang matematika, orang akan menganggap kita
pandai dalam semua bidang. Siswa yang pandai matematika dianggap memiliki
kecerdasaan tinggi dan diperlakukan berbeda oleh lingkungannya.
b. Pemahaman maatematika akan membangun kecerdasan analisis akan sebuah
problem dalam mencari pemahamannya.
c. Pemahaman matematika akan membangun kecerdasn berpikir alternatif dalm
menyelesaikan masalah.
d. Kecerdasn matematika akan meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri
e. Belajar bekerja dengan bilangan- bilangan terutama menguasai perhitungan diluar
kepala akan menimbulkan penghargaan terhadap sifat- sifat.
13
3. Indikator yang menunjukan pemahamaan matematika
Pemahaman merupakan kompetensi yang ditunjukan siswa dalam memahami
konsep dan dalam melakukan produser secara luwes, akurat efesien dan tepat.
Menurut NCTM ( dalam herdy, 2010) indikator yang menunjukan pemahaman
matematika antara lain adalah:
a. Mengidentifikasi konsep secara verbal dan tulisan
b. Mengindentifikasi dan membuat contoh dan bukan contoh.
c. Menggunakan model, diagram dan symbol- symbol untuk
merepresentasikan suatu konsep.
d. Mengubah suatu bentuk suatu representasi kebentuk lainnya.
e. Mengenal berbagai makna dan interprestasi
4. Hambataan dalam peningkataan pemahaman
Tingkat pemahaman siswa dipengaruhi oleh pengelaman siswa itu sendiri.
Sedangkan pembelajaran matematika merupakan usaha membantu siswa
mengkontruksi pengetahuan melalui proses. Menurut brunner ( dalam Markaban,
2006 :3) mengetahui adalah suatu proses, bukan suatu produk. Proses tersebut
dimulai dari pengelaman, sehingga siswa harus diberi kesempatan seluaas- luasnya
untuk mengkontruksi sendiri pengetahuan yang harus dimiliki. Dari uraian tersebut
dapat disimpulkan bahwa hambatan dalam peningkatan pemahaman adalah apabila
dalm belajar siswa kurang berpartipasi dengan konsep- konsep dan prinsip- prinsip,
seperti yang dikemukakan Brunner (dalam Dahar, 1996 :103) bahwa siswa
hendaknya belajar melalui berpartisipasi secara aktif, agar mereka mempeoleh
pengelaaman.
14
C. Matematika Realistik ( PMR )
1. Pengertian PMR
Pendekatan pembelajaran matematika realistik (PMR) merupakan suatu
pendekatan pendidikan matematika yang diadopsi dari realistik mathematics
education (RME) yang telah dikembangkan di Nederland sejak tahun 1970 (Heuvel-
Panhuijzen, 2003). PMR menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika,
bagaimana siswa belajar mematematika, dan bagaimana mengajarkan matematika.
Susanto (2013: 205) mengemukakan PMR merupakan salah satu pendekatan
pembelajaran matematika yang berorientasi pada siswa, di mana aktivitas manusia dan
matematika harus dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari
siswa ke pengalaman belajar real (nyata).
Menurut Gravemeijer PMR adalah pembelajaran dan pendekatan pengajaran
yang menggunakan realitas sebagai titik awal dalam proses belajar mengajar yang
bertujuan untuk siswa dukungan dalam membangun dan menemukan kembali konsep
matematika melalui masalah kontekstual interaktif.
Kata “realistic”diambil dari klasifikasi yang dikemukakan oleh treffes
Gravemeijer yang membedakan empat pendekatan dalam pendidikan matematika
seperti yang telah disebutkan, yaitu mekanistik, empiristik, strukturalistik dan realistik.
Pendekatan ini mengacu pada pendapat freudenthal (dalam Rowa, 2010) yang
mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realitas dan matematika
merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan
relavan dengan situasi anak sehari-hari. Berdasarkan hal ini, kata “realistik” tidak
hanya mengacu pada dunia nyata, tetapi juga pada situasi real dalam pikiran anak.
Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive
receivers of readymade mathematics (penenrima pasif matematika yang sudah jadi).
15
PMR menekankan bagaimana siswa menemukan kembali (reinvention) konsep-
konsep atau prosedur-prosedur dalam matematika melalui masalah-masalah
kontekstual. (Rowa, 2010) menjelaskan bahwa masalah kontekstual bisa menyangkut
situasi kehidupan atau situasi yang bersifat fantasi maupun situasi matematis.
Soedjadi (2001b:2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika dengan
pendekatan realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang
dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga
mencapai tujuan pendidikan matematika yang lebih baik dari pada masa yang lalu.
Lebih lanjut soedjadi menjelaskan yang dimaksud dengan kontekstual yaitu hal-hal
yang nyata atau konkrit yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat
membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan
tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat
yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan ini disebut lingkungan sehari-hari.
Berdasarkan uraian diatas, dapat di jelaskan bahwa pembelajaran matematika
realistik bertolak dari masalah-masalah yang sesuai dengan pengalaman siswa. Dalam
hal ini, siswa aktif, guru berperan sebagai fasilitator, siswa bebas mengemukakan dan
mengkomunikasikan ide-idenya satu sama lain. Guru hanya membantu siswa secara
terbatas untuk membandingkan ide-ide itu dan membimbing mereka mengambil
kesimpulan tentang ide mana yang benar,, efisien dan mudah dipahami mereka. Dalam
kaitanya dengan matematika sebagai kegiatan manusia, siswa harus diberi kesempatan
seluas-luasnya untuk menemukan idea tau konsep matematika secara mandiri sebagai
akibat dari pengalaman siswa dalam berinteraksi dengan realitas. Setelah menemukan
dan terbentuk konsep-konsep matematika, siswa menggunakanya untuk
menyelesaikan masalah kontekstual, selanjutnya sebagai aplikasi untuk memperkuat
16
konsep. De Lange mengatakan bahwa proses tersebut merupakan proses matematisasi
konseptual (conceptual mathematizing), yang dapat di ilustrasikan seperti berikut :
Gambar 2.2 matematisasi konseptual
(sumber: de Lange,1987:2 )
Matematisasi konseptual seperti yang ditunjukan pada gambar diatas dijelaskan
sebagai berikut: (1) proses belajar matematika berlangsung dari situasi nyata, seara
intuitif, siswa mula-mula memilih konsep-konsep matematika melalui situasi dunia
nyata. Dalam hal ini, siswa melakukan aktivitas matematisasi horizontal, yaitu
mengorganisasikan, merefleksikan, menyusun masalah, mengidentifikasi aspek-aspek
masalah-masalah secara matematis sehingga menemukan aturan-aturan atau relasi-
relasinya. (2) Adanya interaksi antar siswa, antar guru dengan siswa, dan siswa dengan
lingkungan sosial, diharapkan menjadikan siswa mampu menggunakan matematisasi
vertikal, mengabstraksi dan memformalkan konsep-konsep dari dunia nyata, sehingga
melahirkan konsep-konsep matematika pada siswa. (3) Setelah konsep-konsep
matematika terbentuk, selanjutnya siswa diharapkan (4) dapat mengaplikasikanya pada
masalah yang berbeda, dimungkinkan muncul masalah nyata lagi.
16
konsep. De Lange mengatakan bahwa proses tersebut merupakan proses matematisasi
konseptual (conceptual mathematizing), yang dapat di ilustrasikan seperti berikut :
Gambar 2.2 matematisasi konseptual
(sumber: de Lange,1987:2 )
Matematisasi konseptual seperti yang ditunjukan pada gambar diatas dijelaskan
sebagai berikut: (1) proses belajar matematika berlangsung dari situasi nyata, seara
intuitif, siswa mula-mula memilih konsep-konsep matematika melalui situasi dunia
nyata. Dalam hal ini, siswa melakukan aktivitas matematisasi horizontal, yaitu
mengorganisasikan, merefleksikan, menyusun masalah, mengidentifikasi aspek-aspek
masalah-masalah secara matematis sehingga menemukan aturan-aturan atau relasi-
relasinya. (2) Adanya interaksi antar siswa, antar guru dengan siswa, dan siswa dengan
lingkungan sosial, diharapkan menjadikan siswa mampu menggunakan matematisasi
vertikal, mengabstraksi dan memformalkan konsep-konsep dari dunia nyata, sehingga
melahirkan konsep-konsep matematika pada siswa. (3) Setelah konsep-konsep
matematika terbentuk, selanjutnya siswa diharapkan (4) dapat mengaplikasikanya pada
masalah yang berbeda, dimungkinkan muncul masalah nyata lagi.
16
konsep. De Lange mengatakan bahwa proses tersebut merupakan proses matematisasi
konseptual (conceptual mathematizing), yang dapat di ilustrasikan seperti berikut :
Gambar 2.2 matematisasi konseptual
(sumber: de Lange,1987:2 )
Matematisasi konseptual seperti yang ditunjukan pada gambar diatas dijelaskan
sebagai berikut: (1) proses belajar matematika berlangsung dari situasi nyata, seara
intuitif, siswa mula-mula memilih konsep-konsep matematika melalui situasi dunia
nyata. Dalam hal ini, siswa melakukan aktivitas matematisasi horizontal, yaitu
mengorganisasikan, merefleksikan, menyusun masalah, mengidentifikasi aspek-aspek
masalah-masalah secara matematis sehingga menemukan aturan-aturan atau relasi-
relasinya. (2) Adanya interaksi antar siswa, antar guru dengan siswa, dan siswa dengan
lingkungan sosial, diharapkan menjadikan siswa mampu menggunakan matematisasi
vertikal, mengabstraksi dan memformalkan konsep-konsep dari dunia nyata, sehingga
melahirkan konsep-konsep matematika pada siswa. (3) Setelah konsep-konsep
matematika terbentuk, selanjutnya siswa diharapkan (4) dapat mengaplikasikanya pada
masalah yang berbeda, dimungkinkan muncul masalah nyata lagi.
17
Uraian diatas menunjukan bahwa pembelajaran dengan PMR adalah
pembelajaran yang dimulai dari masalah kontekstual. Selanjutnya siswa diberi
kesempatan seluas-luasnya untuk menyelesaikan masalah itu dengan caranya sendiri-
sendiri. Artinya siswa diberi kesempatan melakukan refleksi, interpretasi dan mencari
strategi yang sesuai. Keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika haruslah
dipahami sebagai keaktifan melakukan matematisasi, baik horizontal maupun vertikal,
yang memuat kegiatan refleksi, interpretasi dan abstraksi. Rekonstruksi terjadi bila
siswa dalam aktifitasnya melakukan refleksi, interpretasi dan abstraksi. Rekonstruksi
itu mungkin terjadi melalui diskusi, baik diskusi dalam kelompok kecil maupun
diskusi kelas atau berbagai bentuk interaksi dan negosiasi. Secara perlahan siswa
dilatih untuk melakukan rekonstruksi atau reinvention. Mula-mula matematisasi
berlangsung secara horizontal dan dengan bimbingan guru secara terbatas siswa
melakukan matematisasi vertikal. Matematisasi horizontal meliputi antara lain proses
informal yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan masalah kontekstual, membuat
model, membuat skema, dan menemukan jawaban.
Menurut Soedjadi (2001a:3) pada matematisasi horizontal memungkinkan siswa
dapat melakukan kegiatan yang mengarah pada pembentukan konsep.
2. Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik
Menurut gravemeijer (1994: 90), ada tiga prinsip kunci dalam mendesain
pembelajaran matematika realistik, yaitu:
a. Gulded reinvention dan progressive mathematizing
Prinsip pertama adalah penemuan kembali secara terbimbing dan
matematisasi secara progresif. Melalui topik-topik yang disajikan siswa harus
diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama membangun dan
18
menemukan kembali tantang ide-ide dan konsep-konsep secara matematika.
Maksud dari mengalami proses yang sama dalam hal ini adalah masing-masing
siswa diberi kesempatan yang sama merasakan situasi dan jenis masalah
kontekstual yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi.
b. Didactical phenomenology
Prinsip kedua adalah fenomena yang bersifat mendidik. Dalam hal ini
fenomena pembelajaran menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk
memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Masalah kontekstual yang
dipilih ini harus mempertimbangkan 2 aspek yaitu: (1) aspek kecocokan aplikasi
yang harus diantisipasi dalam pengajaran; dan (2) aspek kecocokan dampak dalam
proses reinvention. Artinya prosedur, aturan dan model matematika yang harus
dipelajari oleh siswa tidaklah disediakan dan diajarkan oleh guru, tetapi siswa
harus berusaha menemukanya dari masalah kontekstual tersebut.
c. Self developed models
Prinsip yang ketiga adalah pengembangan model sendiri. Prinsip ini
berfungsi menjembatani jurang antara pengetahuan informal dengan matematika
formal. Siswa mengembangkan model sendiri sewaktu memecahkan soal-soal
kontekstual. Sebagai konsekuensi dari kebebasan yang diberikan kepada siswa
untuk memecahkan masalah, sangat mungkin muncul berbagai model hasil
pemikiran siswa, yang mungkin masih mirip atau jeals terkait dengan masalah
kontekstual. Melalui proses generalisasi dan formalisasi, model tersebut diarahkan
untuk menuju model matematika formal.
19
3. Karateristik Pembelajaran Matematika Realistik
PMR memiliki 5 karateristik (Zulkardi, 1999, 2000: Gravemeijer , 1994: 114-115,
145) yang secara operasional disebutkan sebagai berikut:
a. Menggunakan masalah kontekstual (the use of contexts)
Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah kontekstual, tidak dimulai
dari sistem formal. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal
pembelajaran harus merupakan masalah sederhana yang dikenali oleh siswa.
b. Menggunakan model (use of models, bridging by vertical instruments)
Pada pembelajaran dengan PMR digunakan model yang dikembangkan sendiri
oleh siswa dari situasi yang sebenarya (model of). Model tersebut digunakan
sebagai jembatan antara level pemahaman yang satu kelevel pemahaman yang
lain. Selanjutnya model ini diarahkan untuk menjadi model kearah matematika
formal (model for)
c. Menggunakan kontribusi siswa
Kontribusi yang besar pada proses pembelajaran datang dari siswa, artinya semua
pikiran (konstruksi dan produksi) siswa diperhatikan. Kontribusi dapat berupa
aneka jawab, aneka cara, aneka pendapat dari siswa.
1. Interaktivitas (interactivity)
Mengoptimalkan proses pembelajaran melalui interaksi siswa dengan siswa,
siswa dengan guru dan siswa dengan sarana prasarana merupakan hal yang
penting dalam PMR. Negosiasi, diskusi, dan kerjasama adalah elemen-elemen
penting dalam PMR.
20
2. Terkait dengan topik lainnya (intertwining)
Struktur dan konsep matematika saling berkaitan. Oleh karena itu, keterkaitan
dan keterintegrasian antar topik (unit pelajaran) harus dieksplorasi untuk
mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih bermakna. Intertwine
dapat dilihat melalui masalah kontekstual yang diberikan.
d. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik
Prinsip utama PMR dijabarkan menjadi karateristik-karateristik PMR.
Selanjutnya, karateristik PMR dijabarkan menjadi langkah-langkah operasional
dalam pembelajaran. Berdasarkan pengertian, prinsip utama dan karateristik
PMR sebagaimana telah diuraikan, maka dapat dirancang langkah-langkah
(kegiatan) inti dalam pembelajaran matematika realistik yaitu:
1. Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dan meminta siswa untuk
memahami masalah tersebut. Jika siswa yang belum paham tadi merasa tidak
puas, guru menjelaskan lebih lanjut dengan cara member petunjuk-petunjuk
atau saran-saran terbatas tentang situasi dan kondisi dari masalah (soal).
Petunjuk dalam hal ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan
siswa untuk memahami masalah (soal) , seperti”apa yang diketahui dari soal
itu” , “apa yang ditanyakan”, “bagaimana strategi atau cara atau prosedur
yang akan digunakan untuk menyelesaikan soal itu”.
2. Menyelesaikan masalah kontekstual
siswa secara individual diminta menyelesaikan masalah kontekstual pada
buku siswa atau LKS dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan
jawaban masalah yang berbeda lebih diutamakan. Guru memotifasi siswa
21
untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan memberikan pertanyaan-
pertanyaan penuntun untuk mengarahkan siswa memperoleh penyelesaian
soal tersebut. misalnya: “Bagaimana kamu tahu itu?”, “bagaiman caranya”,
“mengapa kamu berpikir seperti itu”, dan lain-lain.
3. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Siswa diminta untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka
dalam kelompok kecil. Setelah itu, hasil dari diskusi itu dibandingkan pada
diskusi kelas yang dipimpin oleh guru. Tahap ini dapat digunakan untuk
melatih keberanian siswa mengemukakan pendapat, meskipun berbeda dengan
teman lain atau bahkan dengan gurunya. Karateristik PMR yang muncul pada
tahap ini adalah penggunaan ide atau kontribusi siswa (karateristik ke-3) dan
interaksi (karateristik ke-4) antara siswa dengan siswa, antara guru dengan
siswa, dan antara siswa dengan sumber belajar.
4. Menyimpulkan
Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas yang dilakukan, guru
mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang konsep atau definisi,
teorema, prinsip atau prosedur matematika yang terkait dengan masalah
kontekstual yang baru diselesaikan.
Karateristik “intertwining” muncul sepanjang proses pembelajaran, sebab
karateristik ini justru tercermin dari masalah kontekstual yang diberikan.
22
4. Kelebihan dan Kekurangan Dalam Penerapan PMR
Menurut Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kelebihan PMR antara lain:
1 Kelebihan
a. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang
keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari (kehidupan dunia
nyata) dan tentang kegunaan matematika pada umunya bagi manusia.
b. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa
matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan
sendiri oleh siswa dan setiap orang “biasa” yang lain, tidak hanya oleh mereka
yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
c. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa
cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak harus
sama antara orang yang satu dengan orang yang lain. Setiap orang bisa
menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu bersungguh-
sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut.
d. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa
dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang
utama, dan untuk mempelajara matematika orang harus mempelajari proses itu
dan berusaha untuk menemukan sendiri, konsep-konsep matematika.
Selain kelebihan-kelebihan yang disebutkan diatas masih ada kelebihan PMR,
antara lain :
1. PMR menjadikan siswa lebih aktif dan kreatif dalam belajar.
2. Siswa lebih berani mengungkapkan ide atau pendapat serta bertanya
kepada guru atau temannya dan siswa akan lebih terbiasa untuk memberi
alasan jawabannya.
23
3. PMR dapat menumbuhkan rasa keingintahuan yang tinggi pada diri siswa
untuk menyelesaikan masalah, karena masalah berkaitan langsung dengan
kehidupan siswa sehari-hari.
4. PMR dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada siswa tentang
konsep-konsep matematika, karena konsep-konsep tersebut dikonstruksi
sendiri oleh siswa.
5. PMR memberikan pemahaman kepada siswa bahwa dalam matematika
terdapat keterkaitan antar topik.
2 Kekurangan
a. Upaya mengimplementasikan PMR memerlukan perubahan pandangan yang
sangat mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah dipraktekan,
misalnya mengenai siswa, guru, dan peranan soal kontekstual. Didalam PMR
siswa tidak lagi dipandang sebagai pihak yang mempelajari segala sesuatu yang
sudah “jadi” tetapi dipadang sebagai pihak yang aktif mengkonstruksi konsep-
konsep matematika. Guru tidak lagi sebagai pengajar, tetapi lebih sebagai
pendamping bagi siswa.
b. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut
PMR tidak mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa,
terlebih-labih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan
bermacam-macam cara.
c. Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk
menyelesaikan soal juga merupakan hal yang tidak mudah dilakukan oleh guru.
d. Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa, melalui soal-soal
kontekstual, proses matematisasi horizontal dan proses matematisasi vertikal
24
juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme
berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa
dalam melakukan penemuan kembali konsep-konsep matematika tertentu.
e. Pemilihan alat-alat peraga harus cermat, agar alat-alat peraga yang dipilih bisa
membantu proses berpikir siswa sesuai tuntutan PMR.
f. Penilaian dalam PMR lebih rumit dari pada dalam pembelajaran konvensional.
g. Kepadatan materi kurikulum perlu dikurangi secara substansi agar proses
pembelajaran siswa berlangsung sesuai prisip-prinsip PMR.
Selain kerumitan-kerumitan yang dipaparkan oleh Suwarsono seperti disebutkan
diatas, terdapat kerumitan lain dalam penerapan PMR antara lain:
1. Pelaksanaan PMR memerlukan waktu yang cukup banyak.
2. Pada kelas yang siswanya cukup banyak (lebih dari 25 siswa), guru akan
kesulitan mengamati dan member bantuan terbatas kepada siswa yang
mengalami kesulitan belajar.
5. Beberapa Teori Yang Relavan Dengan Pembelajaran Matematika
Realistik
a. Teori Piaget
Menurut teori belajar kognitif, belajar dan berpikir pada dasarnya adalah
melakukan pengubahan struktur kognitif. Piaget berpendapat bahwa struktur
kognitif yang dimiliki seseorang itu karena proses asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses mendapatkan informasi dan pengalaman baru yang
langsung menyatu dengan struktur mental yang sudah dimiliki seseorang.
Sedangkan akomodasi adalah proses menstrukturkan kembali mental sebagai
akibat adanya informasi dan pengalaman baru tadi (Hudoyo, 1998: 47).
25
Dalam perkembangan kognitif, diperlukan keseimbangan antara asimilasi
dan akomodasi. Ketidakseimbangan akan muncul jika terjadi perbedaan antara
pengetahuan kognitif saat ini dengan pengalaman baru. Bila terjadi
ketidakseimbangan, seseorang dipacu untuk mencari keseimbangan dengan
mengadakan asimilasi dan akomodasi.
Secara khusus, berkaitan dengan pembelajaran matematika Piaget ( dalam
Rowa, 2010) menyarankan agar pembelajaran matematika lebih menekankan pada
aktivitas, pengalaman dan penggunaan metode aktif, serta memulai dari yang
konkret dan perlahan-lahan menuju keabstrak. Selain itu, Piaget berpendapat
bahwa pemahaman yang sungguh-sungguh akan suatu pengertian atau suatu teori
menuntut suatu penemuan teori tersebut.
Dari uraian diatas menunjukan bahwa teori piaget ini sangat relevan dengan
PMR, karena dalam PMR juga memfokuskan pada proses berpikir siswa, bukan
pada hasil. Disamping itu PMR mengutamakan inisiatif siswa untuk menemukan
jawaban dari masalah kontekstual yang diberikan oleh guru dengan caranya
sendiri, dan siswa didorong untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan
pembelajaran. Dengan demikian langkah-langah PMR terkait dengan teori Piaget
yaitu pada :
1. Langkah ke-1 (memahami masalah kontekstual), proses asimilasi dan
akomodasi berlangsung dalam pikiran siswa ketika memahami masalah
kontekstual yang diberikan.
2. Langkah ke-2 (menyelesaikan masalah kontekstual), siswa secara aktif
membangun pemahamannya dari hasil pengalaman dan interaksi dengan
lingkungannya. Disamping itu proses asimilasi dan akomodasi masih tetap
berlangsung dalam menyelesaikan masalah.
26
3. Langkah ke-3 (membandingkan dan mendiskusikan jawaban), siswa
berinteraksi dengan sesama, pada saat itu proses asimilasi dan akomodasi
berlangsung terus untuk menemukan jawaban dari masalah kontekstual.
4. Langkah ke-4 (menyimpulkan), mengorganisasikan proses-proses psikologi
menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan (struktur)
b. Teori Vygotsky
Teori Vygotsky (slavin, 1997: 47-48) menekankan hakikat sosiokultural dari
pembelajaran, yaitu siswa belajar menangani tugas-tugas yang dipelajari melalui
interaksi dengan orang dewasa atau teman sebaya. Vygotsky yakin bahwa fungsi
mental yang lebih tinggi umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama antar
individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap kedalam individu.
Secara umum teori Vygotsky dinyatakan dengan empat prinsip kunci berikut
(Slavin, 1997: 270-271; Nur dan Wikandari, 2000: 4-6)
a. Pembelajaran sosial (the siciocultural of learning), Vygotsky menekankan
hakikat sosial cultural dari pembelajaran. Siswa belajar melalui interaksi
dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu.
b. Zona perkembangan terdekat. Siswa belajar paling baik apabila berada pada
zona perkembangan terdekat siswa adalah tingkat perkembangan berpikir
sedikit berada diatas tingkat perkembangan berpikir siswa saat itu, sehingga
apabila siswa diberi sedikit bimbingan, siswa akan mencapai tingkat
perkembangan yang lebih tinggi tersebut.
27
c. Pemegangan kognitif (cognitiveapparenticeship). Seseorang yang belajar
secara tahap demi tahap memeperoleh keahlian dalam interaksinya dengan
seorang pakar. Pakar itu bisa orang dewasa atau teman sebaya yang telah
menguasai permasalahannya.
d. Scaffolding. Memberikan kepada siswa secara sejumlah besar bantuan pada
tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian sedikit demi sedikit mengurangi
bantuan tersebut. selanjutnya memberikan kesempatan kepada siswa itu untuk
mengambil tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu
melakukan tugas tersebut.
Pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR terkait dengan teori
Vygotsky karena PMR menekankan perlunya interaksi terus-menerus antara siswa
yang satu dengan siswa yang lain, siswa dengan fasilitator (guru), dan siswa
dengan kelengkapan belajarnya. Dengan demikian, langkah-langkah PMR terkait
dengan teori Vygotsky, yaitu pada :
1. Langkah ke-1 (memahami masalah kontekstual), siswa belajar konsep, sifat-
sifat prinsip paling baik apabila konsep, sifat-sifat atau prinsip yang akan
dibangun melalui masalah kontekstual tersebut berada dalam zona of proximal
development (prinsip ke-2). Keterlibatan guru untuk menjelaskan atau memberi
petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian yang belum dipahami siswa
terkait dengan the sosiocultural of learning (prinsip ke-1) dan scaffolding
(prinsip ke-4)
2. Langkah ke-2 (menyelesaikan masalah kontekstual), ketika siswa
menyelesaikan masalah, terkait dengan zona of proximal defelopment (prinsip
ke-2) jika masalah yang disajikan membutuhkan pemikiran sedikit diatas
kemampuan berpikir siswa.
28
3. Langkah ke-3 ( membandingkan dan mendiskusikan jawaban) terkait dengan
prinsip pemagangan kognitif (prinsip ke-3) dan dengan the sosiocultural of
learning (prinsip ke-1)
c. Teori Bruner
Bruner (Hudoyo, 1988: 56) berpendapat bahwa belajar matematika adalah
belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat
didalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-
konsep dan struktur-struktur matematika itu. Pemahaman terhadap konsep dan
struktur sesuatu materi menjadikan materi itu dipahami sacara lebih komprehensif.
Selain itu siswa lebih mengingat materi itu bila yang dipelajari itu merupakan atau
mempunyai pola yang berstruktur. Dengan memahami konsep dan struktur akan
mempermudah terjadinya transfer.
Bruner (Hudoyo, 1988: 57; Post, 1992: 11) mengemukakan tiga tahap
perkembangan mental siswa yaitu:
1. Enactive.
Belajar melalui pengalaman langsung. Dalam tahap ini siswa didalam
belajarnya menggunakan atau memanipulasi objek-objek secara langsung.
2. Iconic.
Tahap ini merupakan tahap belajar yang didasrkan pada penggunaan media
visual seperti gambar, diagram, film dan sejenisnya. Siswa tidak memanipulasi
langsung objek-objek seperti dalam tahap Enactive, melainkan sudah dapat
memanipulasi dengan menggunakan gambaran dari objek.
29
3. Symboli.
Tahap ini ditandai dengan penggunaan symbol-simbol secara langsung dan
tidak lagi ada kaitanya dengan objek-objek.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, teori Bruner relavan dengan PMR, karena
dalam PMR untuk mempelajari suatu konsep atau prosedur siswa tidak langsung
diberi konsep atau prosedur formal (yang bersifat abstrak) tetapi diawali dengan
pemberian masalah kontekstual yang sesuai dengan tahap perkembangan siswa.
Selain itu dalam memahami dan menyelesaikan masalah kontekstual tersebut siswa
dimungkinkan untuk memanipulasi objek secara langsung maupun memanipulasi
gambaran dari objek, yaitu pada proses matematiasi horizontal dan manipulasi
symbol pada proses vertikal.
Dengan demikian, langkah-langkah PMR terkait dengan teori Bruner yaitu
pada :
1. Langkah ke-1 (memahami masalah kontekstual), berdasarkan masalah
kontekstual yang disajikan, siswa belajar dengan menggunakan objek konkrit
atau gambar gambar dari objek konkrit.
2. Langkah ke-2 (menyelesaikan masalah kontekstual), siswa secara aktif
membangun pengetahuannya melalui kegiatan yang memungkinkannya
memanipulsi objek-objek konkrit, gambar, obje, dan/atau symbol-simbol.
30
d. Teori Belajar Bermakna Ausubel
Menurut Ausubel (Orton, 1992: 155) belajar bermakna adalah suatu proses
ketika suatu pengetahuan baru diserap dengan cara dihubungkan dengan aspek-
aspek dari struktur pengetahuan individu yang telah ada dan relevan. Jika tidak ada
konsep yang relevan yang dapat dihubungkan atau dikaitkan dengan pengetahuan
baru tersebut hanya dipelajari dengan cara menghafal.
Selanjutnya, Ausubel mengatakan bahwa menghafal berlawanan dengan
belajar bermakna. Menghafal pada hakekatnya mendapatkan informasi yang
terisolasi sedemikian sehingga siswa tidak dapat mengaitkan informasi yang
diperoleh kedalam struktur kognitifnya.
Pada pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, siswa
“menemukn” pengetahuanya dari masalah kontekstual dan mengaitkan
pengetahuan tersebut dengan struktur pengetahuan yang sudah dimilikinya.
Masalah kontekstual akan membantu siswa belajar secara bermakna karena pada
masalah kontekstual terdapat aspek yang relevan dengan pengetahuan yang
dimiliki sebelumnya. Dengan demikina, PMR terkait dengan teori belajar Ausubel,
karena PMR lebih mengutamakan pengertian dari pada hafalan.
D. Pengaruh PMR terhadap pemahaman matematika siswa
Pembelajaran matematika bagi siswa pada umumnya sangat sulit dan
membosankan. Pemahaman siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang
bersumber dari dalam dirinya maupun yang bersumber dari luar. Faktor internal antara
lain intelegensi, minat, sikap, kebiasaan belajar, ambisi atau tekad dan sebagainaya.
Sedangkan faktor eksternal antara lain fasilitas belajar, perhatian orang tua, lingkungan
masyarakat dan sebagainya. Salah satu dukungan orang tua terhadap pemahaman
31
matematika yaitu dengan memenuhi kebutuhan belajar siswa, Seperti memberi les prifat,
sarana dan prasarana yang mewadahi.
Belajar matematika membutuhkan konsentrasi yang tinggi dan perhatian yang
sungguh-sungguh, sehingga diperlukan adanya suatu pendekatan yang diberikan kepada
siswa. Pendekatan tersebut adalah pendekatan matematika realistik, dimana siswa
dihadapkan langsung pada masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia nyata. Dengan
adanya PMR siswa menjadi lebih gairah untuk belajar sehingga mengakibatkan
pemahman siswa meningkat. Dengan demikian Pembelajaran matematika realistik
mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam meningkatkan pemahaman siswa.
Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan diatas, dapat memberikan suatu
kesimpulan bahwa PMR berpengaruh terhadap pemahaman matematika siswa.
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu ada pengaruh yang signifikan
dalam Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) terhadap Pemahaman Matematika
Siswa.