a. belajar dan pembelajaran - repository.unwira.ac.idrepository.unwira.ac.id/5099/3/bab ii.pdf · 8...

24
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Belajar dan Pembelajaran 1. Pengertian Belajar Dalam konteks pendidikan, hampir semua aktivitas yang dilakukan adalah aktivitas belajar. Suryabrata (2003:5) menjelaskan pengertian belajar dengan menidentifikasikan ciri-ciri yang disebut belajar, yaitu belajar adalah aktivitas yang menghasilkan perubahan pada diri individu yang belajar, baik aktual maupun potensial, perubahan itu pada pokoknyaadalah diperolehnya kemampuan baru, yang berlaku dala waktu relatif lama, perubahan itu terjadi karena usaha. Belajar merupakan komponen dari ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan tujuan menambah dan mengumpulkan sejumlah ilmu pengetahuan. Sudirman (2004:380) menyatakan belajar adalah mencari makna, makna diciptakanoleh peserta didik dari apa yang mereka lihat, mereka dengar dan dari yang dirasakan dan alami, jadi belajar sangat dipengaruhi oleh pengalaman objek dengan dunia fisik dan lingkungannya. Slameto (2003:2) belajar adalah suatu usaha yang dilakukan oleh sesorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Slameto (2004:5) jenis-jenis belajar sebagai berikut : a. Belajar Bagian, dilakukan oleh seseorang bila ia dihadapkan pada materi belajar yang bersifat luas.

Upload: hoangthien

Post on 20-Jun-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Belajar dan Pembelajaran

1. Pengertian Belajar

Dalam konteks pendidikan, hampir semua aktivitas yang dilakukan adalah

aktivitas belajar. Suryabrata (2003:5) menjelaskan pengertian belajar dengan

menidentifikasikan ciri-ciri yang disebut belajar, yaitu belajar adalah aktivitas yang

menghasilkan perubahan pada diri individu yang belajar, baik aktual maupun potensial,

perubahan itu pada pokoknyaadalah diperolehnya kemampuan baru, yang berlaku dala

waktu relatif lama, perubahan itu terjadi karena usaha. Belajar merupakan

komponen dari ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan tujuan menambah dan

mengumpulkan sejumlah ilmu pengetahuan. Sudirman (2004:380) menyatakan belajar

adalah mencari makna, makna diciptakanoleh peserta didik dari apa yang mereka lihat,

mereka dengar dan dari yang dirasakan dan alami, jadi belajar sangat dipengaruhi

oleh pengalaman objek dengan dunia fisik dan lingkungannya.

Slameto (2003:2) belajar adalah suatu usaha yang dilakukan oleh sesorang untuk

memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil

pengalamannya sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Menurut Slameto (2004:5) jenis-jenis belajar sebagai berikut :

a. Belajar Bagian, dilakukan oleh seseorang bila ia dihadapkan pada materi belajar

yang bersifat luas.

9

b. Belajar Dengan Wawasan, belajar seperti ini mereorganisasi pola-pola tingkah

laku yang telah terbentuk menjadi satu tingkah laku yang ada hubungannya dengan

penyelesaian suatu persoalan.

c. Belajar Diskriminatif, suatu usaha untuk memilih beberapa sifat dan kemudian

menjadikannya sebagai pedoman dalam bertingkah laku.

2. Teori Belajar

Teori Belajar dapat digolongkan kedalam aliran yang dianggap besar dan sangat

dominan dalam memenuhi praktek pembelajaran yaitu, behavioristik, kognitifistik,

humanistik, konstruktivistik, dan cybernetic.

a. Teori Behavioristik

Belajar menurut pandangan Teori Behavioristik pada hakikatnya adalah

pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan

kecendrungan untuk bertindak atau bubungan antara stimulus dan respon.

b. Teori Kognitifistik

Teori belajar kognitif lebih menekankan pada proses belajar yang dilakukan

individu. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak

selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak.

c. Teori Humanistik

Teori Belajar Humanistik memandang bahwa proses belajar harus berhulu dan

bermuara pada manusia itu sendiri. Menurut teori Humanistik, tujuan belajar

adalah untuk memanusiakan manusia. Teori belajar Humanistik cenderung

bersifat eklektif dalam arti memanfaatkan teknik belajar apapun, asal tujuan

belajar siswa tercapai.

10

d. Teori Konstruktivistik

Teori Konstruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan (konstruksi)

pengetahuan oleh siswa itu sendiri. Pengetahuan ada didalam diri siswa yang

sedang mengetahui. Menurut aliran konstruktivistik.

e. Teori Cybernetiame

Teori Cybernetisme memandang otak manusia aktif memproses informasi seperti

halnya teknologi informasi atau komputer, namun manusia aktif mencari bukan

hanya pasif menerima.

Fungsi pengajar adalah menarik perhatian peserta didik agar pikiran, fisik dan

sikapnya tertuju pada materi pembelajaran yang akan dibahas.

3. Pengertian Pembelajaran

Pembelajaran adalah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan

maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran

merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai

pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid Sudjana (2004:28)

pembelajaran dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan sengaja untuk

menciptakan agar terjadi kegiatan interaksi edukatif antara dua pihak, yaitu antara

peserta didik dan pendidik yang melakukan kegiatan pembelajaran.

Warsita (2008:85) pembelajaran adalah suatu usaha untuk membuat peserta didik

belajar atau suatu kegiatan untuk membelajarkan peserta didik.

11

B. Pemahaman Matematika

1. Pengertian Pemahaman

Pemahaman adalah kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dalam situasi

baru, mampu menghubungkan antara apa yang dipelajari dengan bagaimana

pengetahuan tersebut akan dimanfaatkan/ diaplikasikan pada situasi baru. ( Trianto:

2010:7).

Pemahaman adalah kemampuan untuk menangkap makna dan arti dari bahan

yang dipelajari. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam menguraikan isi pokok dari

suatu bacaan, mengubah data yang disajikan dalam bentuk kata- kata, membuat

perkiraan tentang kecendrungan yang nampak dalam data tertentu, seperti dalam

grafik.( Winkel, 1996:246).

Ada tiga macam pemahaman matematika, yaitu : pengubahan (translation),

pemberian arti ( interprestasi) dan pembuatan ekstrapolasi ( ekstrapolation).

a. Pengubahan (translation).

Pemahaman traslasi digunakan untuk menyampaikan informasi dengan bahasaa

dan bentuk yang lain dan menyangkut pemberian makna dari suatu informasi

yang bervariasi.

b. Pemberian arti (interpretas).

Interpretasi digunakan untuk menafsirkan maksud dari bacaan, tidak hanya

dengan kata- kata dan frase, tetapi juga mencakup pemahaman sutu informasi dari

sebuah ide.

12

c. Pembuatan ekstrapolasi( ekstrapolation)

Ekstrapolasi mencakup estimasi dan prediksi yang didasarkan pada sebuah

pemikiran, gambaran kondisi dari suatu, juga mencakup pembuatan kesimpulan

dengan konsekuensi yang sesuai dengan informasi jenjang kognitif ketiga yaitu

penerapan atau application yang menggunakan atau menerapkan suatu bahan

yang sudah dipelajari kedalam situasi baru, yaitu berupa ide, teori atau petunjuk

teknis.

2. Kegunaan dalam memahami konsep matematika

Memahami konsep matematika itu penting. Hal ini dikarnakan beberapa alasan.

Adapun memahami konsep matematika adalah sebagai berikut :

a. Kebanyakan orang mengangap matematika sebagai kecerdasan menyeluruh.

Artinya, jika kita padai dalm bidang matematika, orang akan menganggap kita

pandai dalam semua bidang. Siswa yang pandai matematika dianggap memiliki

kecerdasaan tinggi dan diperlakukan berbeda oleh lingkungannya.

b. Pemahaman maatematika akan membangun kecerdasan analisis akan sebuah

problem dalam mencari pemahamannya.

c. Pemahaman matematika akan membangun kecerdasn berpikir alternatif dalm

menyelesaikan masalah.

d. Kecerdasn matematika akan meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri

e. Belajar bekerja dengan bilangan- bilangan terutama menguasai perhitungan diluar

kepala akan menimbulkan penghargaan terhadap sifat- sifat.

13

3. Indikator yang menunjukan pemahamaan matematika

Pemahaman merupakan kompetensi yang ditunjukan siswa dalam memahami

konsep dan dalam melakukan produser secara luwes, akurat efesien dan tepat.

Menurut NCTM ( dalam herdy, 2010) indikator yang menunjukan pemahaman

matematika antara lain adalah:

a. Mengidentifikasi konsep secara verbal dan tulisan

b. Mengindentifikasi dan membuat contoh dan bukan contoh.

c. Menggunakan model, diagram dan symbol- symbol untuk

merepresentasikan suatu konsep.

d. Mengubah suatu bentuk suatu representasi kebentuk lainnya.

e. Mengenal berbagai makna dan interprestasi

4. Hambataan dalam peningkataan pemahaman

Tingkat pemahaman siswa dipengaruhi oleh pengelaman siswa itu sendiri.

Sedangkan pembelajaran matematika merupakan usaha membantu siswa

mengkontruksi pengetahuan melalui proses. Menurut brunner ( dalam Markaban,

2006 :3) mengetahui adalah suatu proses, bukan suatu produk. Proses tersebut

dimulai dari pengelaman, sehingga siswa harus diberi kesempatan seluaas- luasnya

untuk mengkontruksi sendiri pengetahuan yang harus dimiliki. Dari uraian tersebut

dapat disimpulkan bahwa hambatan dalam peningkatan pemahaman adalah apabila

dalm belajar siswa kurang berpartipasi dengan konsep- konsep dan prinsip- prinsip,

seperti yang dikemukakan Brunner (dalam Dahar, 1996 :103) bahwa siswa

hendaknya belajar melalui berpartisipasi secara aktif, agar mereka mempeoleh

pengelaaman.

14

C. Matematika Realistik ( PMR )

1. Pengertian PMR

Pendekatan pembelajaran matematika realistik (PMR) merupakan suatu

pendekatan pendidikan matematika yang diadopsi dari realistik mathematics

education (RME) yang telah dikembangkan di Nederland sejak tahun 1970 (Heuvel-

Panhuijzen, 2003). PMR menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika,

bagaimana siswa belajar mematematika, dan bagaimana mengajarkan matematika.

Susanto (2013: 205) mengemukakan PMR merupakan salah satu pendekatan

pembelajaran matematika yang berorientasi pada siswa, di mana aktivitas manusia dan

matematika harus dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari

siswa ke pengalaman belajar real (nyata).

Menurut Gravemeijer PMR adalah pembelajaran dan pendekatan pengajaran

yang menggunakan realitas sebagai titik awal dalam proses belajar mengajar yang

bertujuan untuk siswa dukungan dalam membangun dan menemukan kembali konsep

matematika melalui masalah kontekstual interaktif.

Kata “realistic”diambil dari klasifikasi yang dikemukakan oleh treffes

Gravemeijer yang membedakan empat pendekatan dalam pendidikan matematika

seperti yang telah disebutkan, yaitu mekanistik, empiristik, strukturalistik dan realistik.

Pendekatan ini mengacu pada pendapat freudenthal (dalam Rowa, 2010) yang

mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realitas dan matematika

merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan

relavan dengan situasi anak sehari-hari. Berdasarkan hal ini, kata “realistik” tidak

hanya mengacu pada dunia nyata, tetapi juga pada situasi real dalam pikiran anak.

Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive

receivers of readymade mathematics (penenrima pasif matematika yang sudah jadi).

15

PMR menekankan bagaimana siswa menemukan kembali (reinvention) konsep-

konsep atau prosedur-prosedur dalam matematika melalui masalah-masalah

kontekstual. (Rowa, 2010) menjelaskan bahwa masalah kontekstual bisa menyangkut

situasi kehidupan atau situasi yang bersifat fantasi maupun situasi matematis.

Soedjadi (2001b:2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika dengan

pendekatan realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang

dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga

mencapai tujuan pendidikan matematika yang lebih baik dari pada masa yang lalu.

Lebih lanjut soedjadi menjelaskan yang dimaksud dengan kontekstual yaitu hal-hal

yang nyata atau konkrit yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat

membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan

tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat

yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan ini disebut lingkungan sehari-hari.

Berdasarkan uraian diatas, dapat di jelaskan bahwa pembelajaran matematika

realistik bertolak dari masalah-masalah yang sesuai dengan pengalaman siswa. Dalam

hal ini, siswa aktif, guru berperan sebagai fasilitator, siswa bebas mengemukakan dan

mengkomunikasikan ide-idenya satu sama lain. Guru hanya membantu siswa secara

terbatas untuk membandingkan ide-ide itu dan membimbing mereka mengambil

kesimpulan tentang ide mana yang benar,, efisien dan mudah dipahami mereka. Dalam

kaitanya dengan matematika sebagai kegiatan manusia, siswa harus diberi kesempatan

seluas-luasnya untuk menemukan idea tau konsep matematika secara mandiri sebagai

akibat dari pengalaman siswa dalam berinteraksi dengan realitas. Setelah menemukan

dan terbentuk konsep-konsep matematika, siswa menggunakanya untuk

menyelesaikan masalah kontekstual, selanjutnya sebagai aplikasi untuk memperkuat

16

konsep. De Lange mengatakan bahwa proses tersebut merupakan proses matematisasi

konseptual (conceptual mathematizing), yang dapat di ilustrasikan seperti berikut :

Gambar 2.2 matematisasi konseptual

(sumber: de Lange,1987:2 )

Matematisasi konseptual seperti yang ditunjukan pada gambar diatas dijelaskan

sebagai berikut: (1) proses belajar matematika berlangsung dari situasi nyata, seara

intuitif, siswa mula-mula memilih konsep-konsep matematika melalui situasi dunia

nyata. Dalam hal ini, siswa melakukan aktivitas matematisasi horizontal, yaitu

mengorganisasikan, merefleksikan, menyusun masalah, mengidentifikasi aspek-aspek

masalah-masalah secara matematis sehingga menemukan aturan-aturan atau relasi-

relasinya. (2) Adanya interaksi antar siswa, antar guru dengan siswa, dan siswa dengan

lingkungan sosial, diharapkan menjadikan siswa mampu menggunakan matematisasi

vertikal, mengabstraksi dan memformalkan konsep-konsep dari dunia nyata, sehingga

melahirkan konsep-konsep matematika pada siswa. (3) Setelah konsep-konsep

matematika terbentuk, selanjutnya siswa diharapkan (4) dapat mengaplikasikanya pada

masalah yang berbeda, dimungkinkan muncul masalah nyata lagi.

16

konsep. De Lange mengatakan bahwa proses tersebut merupakan proses matematisasi

konseptual (conceptual mathematizing), yang dapat di ilustrasikan seperti berikut :

Gambar 2.2 matematisasi konseptual

(sumber: de Lange,1987:2 )

Matematisasi konseptual seperti yang ditunjukan pada gambar diatas dijelaskan

sebagai berikut: (1) proses belajar matematika berlangsung dari situasi nyata, seara

intuitif, siswa mula-mula memilih konsep-konsep matematika melalui situasi dunia

nyata. Dalam hal ini, siswa melakukan aktivitas matematisasi horizontal, yaitu

mengorganisasikan, merefleksikan, menyusun masalah, mengidentifikasi aspek-aspek

masalah-masalah secara matematis sehingga menemukan aturan-aturan atau relasi-

relasinya. (2) Adanya interaksi antar siswa, antar guru dengan siswa, dan siswa dengan

lingkungan sosial, diharapkan menjadikan siswa mampu menggunakan matematisasi

vertikal, mengabstraksi dan memformalkan konsep-konsep dari dunia nyata, sehingga

melahirkan konsep-konsep matematika pada siswa. (3) Setelah konsep-konsep

matematika terbentuk, selanjutnya siswa diharapkan (4) dapat mengaplikasikanya pada

masalah yang berbeda, dimungkinkan muncul masalah nyata lagi.

16

konsep. De Lange mengatakan bahwa proses tersebut merupakan proses matematisasi

konseptual (conceptual mathematizing), yang dapat di ilustrasikan seperti berikut :

Gambar 2.2 matematisasi konseptual

(sumber: de Lange,1987:2 )

Matematisasi konseptual seperti yang ditunjukan pada gambar diatas dijelaskan

sebagai berikut: (1) proses belajar matematika berlangsung dari situasi nyata, seara

intuitif, siswa mula-mula memilih konsep-konsep matematika melalui situasi dunia

nyata. Dalam hal ini, siswa melakukan aktivitas matematisasi horizontal, yaitu

mengorganisasikan, merefleksikan, menyusun masalah, mengidentifikasi aspek-aspek

masalah-masalah secara matematis sehingga menemukan aturan-aturan atau relasi-

relasinya. (2) Adanya interaksi antar siswa, antar guru dengan siswa, dan siswa dengan

lingkungan sosial, diharapkan menjadikan siswa mampu menggunakan matematisasi

vertikal, mengabstraksi dan memformalkan konsep-konsep dari dunia nyata, sehingga

melahirkan konsep-konsep matematika pada siswa. (3) Setelah konsep-konsep

matematika terbentuk, selanjutnya siswa diharapkan (4) dapat mengaplikasikanya pada

masalah yang berbeda, dimungkinkan muncul masalah nyata lagi.

17

Uraian diatas menunjukan bahwa pembelajaran dengan PMR adalah

pembelajaran yang dimulai dari masalah kontekstual. Selanjutnya siswa diberi

kesempatan seluas-luasnya untuk menyelesaikan masalah itu dengan caranya sendiri-

sendiri. Artinya siswa diberi kesempatan melakukan refleksi, interpretasi dan mencari

strategi yang sesuai. Keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika haruslah

dipahami sebagai keaktifan melakukan matematisasi, baik horizontal maupun vertikal,

yang memuat kegiatan refleksi, interpretasi dan abstraksi. Rekonstruksi terjadi bila

siswa dalam aktifitasnya melakukan refleksi, interpretasi dan abstraksi. Rekonstruksi

itu mungkin terjadi melalui diskusi, baik diskusi dalam kelompok kecil maupun

diskusi kelas atau berbagai bentuk interaksi dan negosiasi. Secara perlahan siswa

dilatih untuk melakukan rekonstruksi atau reinvention. Mula-mula matematisasi

berlangsung secara horizontal dan dengan bimbingan guru secara terbatas siswa

melakukan matematisasi vertikal. Matematisasi horizontal meliputi antara lain proses

informal yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan masalah kontekstual, membuat

model, membuat skema, dan menemukan jawaban.

Menurut Soedjadi (2001a:3) pada matematisasi horizontal memungkinkan siswa

dapat melakukan kegiatan yang mengarah pada pembentukan konsep.

2. Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik

Menurut gravemeijer (1994: 90), ada tiga prinsip kunci dalam mendesain

pembelajaran matematika realistik, yaitu:

a. Gulded reinvention dan progressive mathematizing

Prinsip pertama adalah penemuan kembali secara terbimbing dan

matematisasi secara progresif. Melalui topik-topik yang disajikan siswa harus

diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama membangun dan

18

menemukan kembali tantang ide-ide dan konsep-konsep secara matematika.

Maksud dari mengalami proses yang sama dalam hal ini adalah masing-masing

siswa diberi kesempatan yang sama merasakan situasi dan jenis masalah

kontekstual yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi.

b. Didactical phenomenology

Prinsip kedua adalah fenomena yang bersifat mendidik. Dalam hal ini

fenomena pembelajaran menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk

memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Masalah kontekstual yang

dipilih ini harus mempertimbangkan 2 aspek yaitu: (1) aspek kecocokan aplikasi

yang harus diantisipasi dalam pengajaran; dan (2) aspek kecocokan dampak dalam

proses reinvention. Artinya prosedur, aturan dan model matematika yang harus

dipelajari oleh siswa tidaklah disediakan dan diajarkan oleh guru, tetapi siswa

harus berusaha menemukanya dari masalah kontekstual tersebut.

c. Self developed models

Prinsip yang ketiga adalah pengembangan model sendiri. Prinsip ini

berfungsi menjembatani jurang antara pengetahuan informal dengan matematika

formal. Siswa mengembangkan model sendiri sewaktu memecahkan soal-soal

kontekstual. Sebagai konsekuensi dari kebebasan yang diberikan kepada siswa

untuk memecahkan masalah, sangat mungkin muncul berbagai model hasil

pemikiran siswa, yang mungkin masih mirip atau jeals terkait dengan masalah

kontekstual. Melalui proses generalisasi dan formalisasi, model tersebut diarahkan

untuk menuju model matematika formal.

19

3. Karateristik Pembelajaran Matematika Realistik

PMR memiliki 5 karateristik (Zulkardi, 1999, 2000: Gravemeijer , 1994: 114-115,

145) yang secara operasional disebutkan sebagai berikut:

a. Menggunakan masalah kontekstual (the use of contexts)

Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah kontekstual, tidak dimulai

dari sistem formal. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal

pembelajaran harus merupakan masalah sederhana yang dikenali oleh siswa.

b. Menggunakan model (use of models, bridging by vertical instruments)

Pada pembelajaran dengan PMR digunakan model yang dikembangkan sendiri

oleh siswa dari situasi yang sebenarya (model of). Model tersebut digunakan

sebagai jembatan antara level pemahaman yang satu kelevel pemahaman yang

lain. Selanjutnya model ini diarahkan untuk menjadi model kearah matematika

formal (model for)

c. Menggunakan kontribusi siswa

Kontribusi yang besar pada proses pembelajaran datang dari siswa, artinya semua

pikiran (konstruksi dan produksi) siswa diperhatikan. Kontribusi dapat berupa

aneka jawab, aneka cara, aneka pendapat dari siswa.

1. Interaktivitas (interactivity)

Mengoptimalkan proses pembelajaran melalui interaksi siswa dengan siswa,

siswa dengan guru dan siswa dengan sarana prasarana merupakan hal yang

penting dalam PMR. Negosiasi, diskusi, dan kerjasama adalah elemen-elemen

penting dalam PMR.

20

2. Terkait dengan topik lainnya (intertwining)

Struktur dan konsep matematika saling berkaitan. Oleh karena itu, keterkaitan

dan keterintegrasian antar topik (unit pelajaran) harus dieksplorasi untuk

mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih bermakna. Intertwine

dapat dilihat melalui masalah kontekstual yang diberikan.

d. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik

Prinsip utama PMR dijabarkan menjadi karateristik-karateristik PMR.

Selanjutnya, karateristik PMR dijabarkan menjadi langkah-langkah operasional

dalam pembelajaran. Berdasarkan pengertian, prinsip utama dan karateristik

PMR sebagaimana telah diuraikan, maka dapat dirancang langkah-langkah

(kegiatan) inti dalam pembelajaran matematika realistik yaitu:

1. Memahami masalah kontekstual

Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dan meminta siswa untuk

memahami masalah tersebut. Jika siswa yang belum paham tadi merasa tidak

puas, guru menjelaskan lebih lanjut dengan cara member petunjuk-petunjuk

atau saran-saran terbatas tentang situasi dan kondisi dari masalah (soal).

Petunjuk dalam hal ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan

siswa untuk memahami masalah (soal) , seperti”apa yang diketahui dari soal

itu” , “apa yang ditanyakan”, “bagaimana strategi atau cara atau prosedur

yang akan digunakan untuk menyelesaikan soal itu”.

2. Menyelesaikan masalah kontekstual

siswa secara individual diminta menyelesaikan masalah kontekstual pada

buku siswa atau LKS dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan

jawaban masalah yang berbeda lebih diutamakan. Guru memotifasi siswa

21

untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan memberikan pertanyaan-

pertanyaan penuntun untuk mengarahkan siswa memperoleh penyelesaian

soal tersebut. misalnya: “Bagaimana kamu tahu itu?”, “bagaiman caranya”,

“mengapa kamu berpikir seperti itu”, dan lain-lain.

3. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban

Siswa diminta untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka

dalam kelompok kecil. Setelah itu, hasil dari diskusi itu dibandingkan pada

diskusi kelas yang dipimpin oleh guru. Tahap ini dapat digunakan untuk

melatih keberanian siswa mengemukakan pendapat, meskipun berbeda dengan

teman lain atau bahkan dengan gurunya. Karateristik PMR yang muncul pada

tahap ini adalah penggunaan ide atau kontribusi siswa (karateristik ke-3) dan

interaksi (karateristik ke-4) antara siswa dengan siswa, antara guru dengan

siswa, dan antara siswa dengan sumber belajar.

4. Menyimpulkan

Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas yang dilakukan, guru

mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang konsep atau definisi,

teorema, prinsip atau prosedur matematika yang terkait dengan masalah

kontekstual yang baru diselesaikan.

Karateristik “intertwining” muncul sepanjang proses pembelajaran, sebab

karateristik ini justru tercermin dari masalah kontekstual yang diberikan.

22

4. Kelebihan dan Kekurangan Dalam Penerapan PMR

Menurut Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kelebihan PMR antara lain:

1 Kelebihan

a. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang

keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari (kehidupan dunia

nyata) dan tentang kegunaan matematika pada umunya bagi manusia.

b. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa

matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan

sendiri oleh siswa dan setiap orang “biasa” yang lain, tidak hanya oleh mereka

yang disebut pakar dalam bidang tersebut.

c. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa

cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak harus

sama antara orang yang satu dengan orang yang lain. Setiap orang bisa

menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu bersungguh-

sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut.

d. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa

dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang

utama, dan untuk mempelajara matematika orang harus mempelajari proses itu

dan berusaha untuk menemukan sendiri, konsep-konsep matematika.

Selain kelebihan-kelebihan yang disebutkan diatas masih ada kelebihan PMR,

antara lain :

1. PMR menjadikan siswa lebih aktif dan kreatif dalam belajar.

2. Siswa lebih berani mengungkapkan ide atau pendapat serta bertanya

kepada guru atau temannya dan siswa akan lebih terbiasa untuk memberi

alasan jawabannya.

23

3. PMR dapat menumbuhkan rasa keingintahuan yang tinggi pada diri siswa

untuk menyelesaikan masalah, karena masalah berkaitan langsung dengan

kehidupan siswa sehari-hari.

4. PMR dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada siswa tentang

konsep-konsep matematika, karena konsep-konsep tersebut dikonstruksi

sendiri oleh siswa.

5. PMR memberikan pemahaman kepada siswa bahwa dalam matematika

terdapat keterkaitan antar topik.

2 Kekurangan

a. Upaya mengimplementasikan PMR memerlukan perubahan pandangan yang

sangat mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah dipraktekan,

misalnya mengenai siswa, guru, dan peranan soal kontekstual. Didalam PMR

siswa tidak lagi dipandang sebagai pihak yang mempelajari segala sesuatu yang

sudah “jadi” tetapi dipadang sebagai pihak yang aktif mengkonstruksi konsep-

konsep matematika. Guru tidak lagi sebagai pengajar, tetapi lebih sebagai

pendamping bagi siswa.

b. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut

PMR tidak mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa,

terlebih-labih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan

bermacam-macam cara.

c. Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk

menyelesaikan soal juga merupakan hal yang tidak mudah dilakukan oleh guru.

d. Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa, melalui soal-soal

kontekstual, proses matematisasi horizontal dan proses matematisasi vertikal

24

juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme

berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa

dalam melakukan penemuan kembali konsep-konsep matematika tertentu.

e. Pemilihan alat-alat peraga harus cermat, agar alat-alat peraga yang dipilih bisa

membantu proses berpikir siswa sesuai tuntutan PMR.

f. Penilaian dalam PMR lebih rumit dari pada dalam pembelajaran konvensional.

g. Kepadatan materi kurikulum perlu dikurangi secara substansi agar proses

pembelajaran siswa berlangsung sesuai prisip-prinsip PMR.

Selain kerumitan-kerumitan yang dipaparkan oleh Suwarsono seperti disebutkan

diatas, terdapat kerumitan lain dalam penerapan PMR antara lain:

1. Pelaksanaan PMR memerlukan waktu yang cukup banyak.

2. Pada kelas yang siswanya cukup banyak (lebih dari 25 siswa), guru akan

kesulitan mengamati dan member bantuan terbatas kepada siswa yang

mengalami kesulitan belajar.

5. Beberapa Teori Yang Relavan Dengan Pembelajaran Matematika

Realistik

a. Teori Piaget

Menurut teori belajar kognitif, belajar dan berpikir pada dasarnya adalah

melakukan pengubahan struktur kognitif. Piaget berpendapat bahwa struktur

kognitif yang dimiliki seseorang itu karena proses asimilasi dan akomodasi.

Asimilasi adalah proses mendapatkan informasi dan pengalaman baru yang

langsung menyatu dengan struktur mental yang sudah dimiliki seseorang.

Sedangkan akomodasi adalah proses menstrukturkan kembali mental sebagai

akibat adanya informasi dan pengalaman baru tadi (Hudoyo, 1998: 47).

25

Dalam perkembangan kognitif, diperlukan keseimbangan antara asimilasi

dan akomodasi. Ketidakseimbangan akan muncul jika terjadi perbedaan antara

pengetahuan kognitif saat ini dengan pengalaman baru. Bila terjadi

ketidakseimbangan, seseorang dipacu untuk mencari keseimbangan dengan

mengadakan asimilasi dan akomodasi.

Secara khusus, berkaitan dengan pembelajaran matematika Piaget ( dalam

Rowa, 2010) menyarankan agar pembelajaran matematika lebih menekankan pada

aktivitas, pengalaman dan penggunaan metode aktif, serta memulai dari yang

konkret dan perlahan-lahan menuju keabstrak. Selain itu, Piaget berpendapat

bahwa pemahaman yang sungguh-sungguh akan suatu pengertian atau suatu teori

menuntut suatu penemuan teori tersebut.

Dari uraian diatas menunjukan bahwa teori piaget ini sangat relevan dengan

PMR, karena dalam PMR juga memfokuskan pada proses berpikir siswa, bukan

pada hasil. Disamping itu PMR mengutamakan inisiatif siswa untuk menemukan

jawaban dari masalah kontekstual yang diberikan oleh guru dengan caranya

sendiri, dan siswa didorong untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan

pembelajaran. Dengan demikian langkah-langah PMR terkait dengan teori Piaget

yaitu pada :

1. Langkah ke-1 (memahami masalah kontekstual), proses asimilasi dan

akomodasi berlangsung dalam pikiran siswa ketika memahami masalah

kontekstual yang diberikan.

2. Langkah ke-2 (menyelesaikan masalah kontekstual), siswa secara aktif

membangun pemahamannya dari hasil pengalaman dan interaksi dengan

lingkungannya. Disamping itu proses asimilasi dan akomodasi masih tetap

berlangsung dalam menyelesaikan masalah.

26

3. Langkah ke-3 (membandingkan dan mendiskusikan jawaban), siswa

berinteraksi dengan sesama, pada saat itu proses asimilasi dan akomodasi

berlangsung terus untuk menemukan jawaban dari masalah kontekstual.

4. Langkah ke-4 (menyimpulkan), mengorganisasikan proses-proses psikologi

menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan (struktur)

b. Teori Vygotsky

Teori Vygotsky (slavin, 1997: 47-48) menekankan hakikat sosiokultural dari

pembelajaran, yaitu siswa belajar menangani tugas-tugas yang dipelajari melalui

interaksi dengan orang dewasa atau teman sebaya. Vygotsky yakin bahwa fungsi

mental yang lebih tinggi umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama antar

individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap kedalam individu.

Secara umum teori Vygotsky dinyatakan dengan empat prinsip kunci berikut

(Slavin, 1997: 270-271; Nur dan Wikandari, 2000: 4-6)

a. Pembelajaran sosial (the siciocultural of learning), Vygotsky menekankan

hakikat sosial cultural dari pembelajaran. Siswa belajar melalui interaksi

dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu.

b. Zona perkembangan terdekat. Siswa belajar paling baik apabila berada pada

zona perkembangan terdekat siswa adalah tingkat perkembangan berpikir

sedikit berada diatas tingkat perkembangan berpikir siswa saat itu, sehingga

apabila siswa diberi sedikit bimbingan, siswa akan mencapai tingkat

perkembangan yang lebih tinggi tersebut.

27

c. Pemegangan kognitif (cognitiveapparenticeship). Seseorang yang belajar

secara tahap demi tahap memeperoleh keahlian dalam interaksinya dengan

seorang pakar. Pakar itu bisa orang dewasa atau teman sebaya yang telah

menguasai permasalahannya.

d. Scaffolding. Memberikan kepada siswa secara sejumlah besar bantuan pada

tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian sedikit demi sedikit mengurangi

bantuan tersebut. selanjutnya memberikan kesempatan kepada siswa itu untuk

mengambil tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu

melakukan tugas tersebut.

Pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR terkait dengan teori

Vygotsky karena PMR menekankan perlunya interaksi terus-menerus antara siswa

yang satu dengan siswa yang lain, siswa dengan fasilitator (guru), dan siswa

dengan kelengkapan belajarnya. Dengan demikian, langkah-langkah PMR terkait

dengan teori Vygotsky, yaitu pada :

1. Langkah ke-1 (memahami masalah kontekstual), siswa belajar konsep, sifat-

sifat prinsip paling baik apabila konsep, sifat-sifat atau prinsip yang akan

dibangun melalui masalah kontekstual tersebut berada dalam zona of proximal

development (prinsip ke-2). Keterlibatan guru untuk menjelaskan atau memberi

petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian yang belum dipahami siswa

terkait dengan the sosiocultural of learning (prinsip ke-1) dan scaffolding

(prinsip ke-4)

2. Langkah ke-2 (menyelesaikan masalah kontekstual), ketika siswa

menyelesaikan masalah, terkait dengan zona of proximal defelopment (prinsip

ke-2) jika masalah yang disajikan membutuhkan pemikiran sedikit diatas

kemampuan berpikir siswa.

28

3. Langkah ke-3 ( membandingkan dan mendiskusikan jawaban) terkait dengan

prinsip pemagangan kognitif (prinsip ke-3) dan dengan the sosiocultural of

learning (prinsip ke-1)

c. Teori Bruner

Bruner (Hudoyo, 1988: 56) berpendapat bahwa belajar matematika adalah

belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat

didalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-

konsep dan struktur-struktur matematika itu. Pemahaman terhadap konsep dan

struktur sesuatu materi menjadikan materi itu dipahami sacara lebih komprehensif.

Selain itu siswa lebih mengingat materi itu bila yang dipelajari itu merupakan atau

mempunyai pola yang berstruktur. Dengan memahami konsep dan struktur akan

mempermudah terjadinya transfer.

Bruner (Hudoyo, 1988: 57; Post, 1992: 11) mengemukakan tiga tahap

perkembangan mental siswa yaitu:

1. Enactive.

Belajar melalui pengalaman langsung. Dalam tahap ini siswa didalam

belajarnya menggunakan atau memanipulasi objek-objek secara langsung.

2. Iconic.

Tahap ini merupakan tahap belajar yang didasrkan pada penggunaan media

visual seperti gambar, diagram, film dan sejenisnya. Siswa tidak memanipulasi

langsung objek-objek seperti dalam tahap Enactive, melainkan sudah dapat

memanipulasi dengan menggunakan gambaran dari objek.

29

3. Symboli.

Tahap ini ditandai dengan penggunaan symbol-simbol secara langsung dan

tidak lagi ada kaitanya dengan objek-objek.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, teori Bruner relavan dengan PMR, karena

dalam PMR untuk mempelajari suatu konsep atau prosedur siswa tidak langsung

diberi konsep atau prosedur formal (yang bersifat abstrak) tetapi diawali dengan

pemberian masalah kontekstual yang sesuai dengan tahap perkembangan siswa.

Selain itu dalam memahami dan menyelesaikan masalah kontekstual tersebut siswa

dimungkinkan untuk memanipulasi objek secara langsung maupun memanipulasi

gambaran dari objek, yaitu pada proses matematiasi horizontal dan manipulasi

symbol pada proses vertikal.

Dengan demikian, langkah-langkah PMR terkait dengan teori Bruner yaitu

pada :

1. Langkah ke-1 (memahami masalah kontekstual), berdasarkan masalah

kontekstual yang disajikan, siswa belajar dengan menggunakan objek konkrit

atau gambar gambar dari objek konkrit.

2. Langkah ke-2 (menyelesaikan masalah kontekstual), siswa secara aktif

membangun pengetahuannya melalui kegiatan yang memungkinkannya

memanipulsi objek-objek konkrit, gambar, obje, dan/atau symbol-simbol.

30

d. Teori Belajar Bermakna Ausubel

Menurut Ausubel (Orton, 1992: 155) belajar bermakna adalah suatu proses

ketika suatu pengetahuan baru diserap dengan cara dihubungkan dengan aspek-

aspek dari struktur pengetahuan individu yang telah ada dan relevan. Jika tidak ada

konsep yang relevan yang dapat dihubungkan atau dikaitkan dengan pengetahuan

baru tersebut hanya dipelajari dengan cara menghafal.

Selanjutnya, Ausubel mengatakan bahwa menghafal berlawanan dengan

belajar bermakna. Menghafal pada hakekatnya mendapatkan informasi yang

terisolasi sedemikian sehingga siswa tidak dapat mengaitkan informasi yang

diperoleh kedalam struktur kognitifnya.

Pada pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, siswa

“menemukn” pengetahuanya dari masalah kontekstual dan mengaitkan

pengetahuan tersebut dengan struktur pengetahuan yang sudah dimilikinya.

Masalah kontekstual akan membantu siswa belajar secara bermakna karena pada

masalah kontekstual terdapat aspek yang relevan dengan pengetahuan yang

dimiliki sebelumnya. Dengan demikina, PMR terkait dengan teori belajar Ausubel,

karena PMR lebih mengutamakan pengertian dari pada hafalan.

D. Pengaruh PMR terhadap pemahaman matematika siswa

Pembelajaran matematika bagi siswa pada umumnya sangat sulit dan

membosankan. Pemahaman siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang

bersumber dari dalam dirinya maupun yang bersumber dari luar. Faktor internal antara

lain intelegensi, minat, sikap, kebiasaan belajar, ambisi atau tekad dan sebagainaya.

Sedangkan faktor eksternal antara lain fasilitas belajar, perhatian orang tua, lingkungan

masyarakat dan sebagainya. Salah satu dukungan orang tua terhadap pemahaman

31

matematika yaitu dengan memenuhi kebutuhan belajar siswa, Seperti memberi les prifat,

sarana dan prasarana yang mewadahi.

Belajar matematika membutuhkan konsentrasi yang tinggi dan perhatian yang

sungguh-sungguh, sehingga diperlukan adanya suatu pendekatan yang diberikan kepada

siswa. Pendekatan tersebut adalah pendekatan matematika realistik, dimana siswa

dihadapkan langsung pada masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia nyata. Dengan

adanya PMR siswa menjadi lebih gairah untuk belajar sehingga mengakibatkan

pemahman siswa meningkat. Dengan demikian Pembelajaran matematika realistik

mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam meningkatkan pemahaman siswa.

Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan diatas, dapat memberikan suatu

kesimpulan bahwa PMR berpengaruh terhadap pemahaman matematika siswa.

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu ada pengaruh yang signifikan

dalam Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) terhadap Pemahaman Matematika

Siswa.