bab ii kajian pustaka - repository.unwira.ac.idrepository.unwira.ac.id/4074/3/bab ii.pdf · antara...

23
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA . A. Teknik Restrukturisasi Kognitif 1. Pengertian Teknik Restrukturisasi Kognitif Ellis (dalam Nursalim, 2014:32) memberikan batasan tentang teknik restrukturisasi kognitif adalah memusatkan perhatian pada upaya mengidentifikasi dan mengubah pikiranpikiran atau pernyataan diri negatif dan keyakinan-keyakinan konseli yang tidak rasional”. Sedangkan menurut Nevid J.S, Rathus, S.A. & Green B (dalam Seli, 2013:21), teknik restrukturisasi kognitif suatu proses dimana konselor membantu konseli mencari pikiran-pikiran self-defiating dan mencari alternatif rasional sehingga remaja dapat belajar menghadapi situasi pembangkit kecemasan” Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa teknik restrukrurisasi kognitif adalah suatu teknik yang dirancang dimana konselor membantu konseli untuk mengidentifikasi, dan mengubah pikiran-pikiran atau pernyataan diri negatif yang tidak rasional dan mencari alternatif rasional sehingga remaja dapat menhadapi situasi pembangkit kecemasan. 2. Tujuan Teknik Restukturisasi Kognitif Tujuan teknik restrukturisasi kognitif menurut Nursalim (2005:32) Tidak hanya membantu konseli belajar mengenal dan menghentikan pikiran- pikiran yang negatif yang merusak diri, tetapi juga menggantikan pikiran- pikiran tersebut dengan pikiran-pikiran yang lebih positif .

Upload: phunglien

Post on 03-Apr-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

.

A. Teknik Restrukturisasi Kognitif

1. Pengertian Teknik Restrukturisasi Kognitif

Ellis (dalam Nursalim, 2014:32) memberikan batasan tentang “teknik

restrukturisasi kognitif adalah memusatkan perhatian pada upaya

mengidentifikasi dan mengubah pikiran–pikiran atau pernyataan diri negatif

dan keyakinan-keyakinan konseli yang tidak rasional”.

Sedangkan menurut Nevid J.S, Rathus, S.A. & Green B (dalam Seli,

2013:21), “teknik restrukturisasi kognitif suatu proses dimana konselor

membantu konseli mencari pikiran-pikiran self-defiating dan mencari

alternatif rasional sehingga remaja dapat belajar menghadapi situasi

pembangkit kecemasan”

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa teknik

restrukrurisasi kognitif adalah suatu teknik yang dirancang dimana konselor

membantu konseli untuk mengidentifikasi, dan mengubah pikiran-pikiran

atau pernyataan diri negatif yang tidak rasional dan mencari alternatif rasional

sehingga remaja dapat menhadapi situasi pembangkit kecemasan.

2. Tujuan Teknik Restukturisasi Kognitif

Tujuan teknik restrukturisasi kognitif menurut Nursalim (2005:32)

Tidak hanya membantu konseli belajar mengenal dan menghentikan pikiran-

pikiran yang negatif yang merusak diri, tetapi juga menggantikan pikiran-

pikiran tersebut dengan pikiran-pikiran yang lebih positif .

10

3. Kegunaan Teknik Restrukturisasi Kognitif

Menurut Erford (2015:257), kegunaan teknik restrukturisasi kognitif

adalah sebagai berikut:

a) Untuk individu-individu yang pikirannya terpolarisasi, menunjukkan

ketakutan, kecemasan, dalam situasi-situasi tertentu atau bereaksi

berlebihan terhadap masalah-masalah kehidupan.

b) Untuk remaja dan anak-anak yang mengalami gangguan kecemasan,

dengan mengidentifikasi pikiran yang menyebabkan perasaan cemas.

c) Untuk orang-orang yang mengalami depresi, gangguan panik, fobia sosial,

4. Langkah – langkah Teknik Restrukturisasi Kognitif

Berdasarkan reviu Cormier dan Cormier (dalam Nursalim, 2014:32-36)

merangkum tahap-tahap restrukturisasi kognitif dalam enam bagian utama

sebagai berikut :

a) Rasional: tujuan dan tinjauan singkat prosedur

Rasional digunakan untuk memperkuat keyakinan konseli bahwa

“pernyataan diri” dapat mempengaruhi perilaku dan khususnya

pernyataan-pernyataan diri negatif atau pikiran–pikiran menyalahkan diri

dapat menyebabkan tekanan emosional. Suatu rasional dapat berisikan

penjelasan tentang tujuan, gambaran singkat prosedur yang akan

dilaksanakan, dan pembahasan tentang pikiran-pikiran diri positif dan

negatif. Setelah rasional diberikan, konseli diminta persetujuannya untuk

mencoba melakukan teknik ini.

11

b) Analisis terhadap pikiran konseli

Setelah konseli menerima rasional yang diberikan, langkah berikutnya

adalah melakukan analisis terhadap pikiran-pikiran konseli dalam situasi

yang mengandung tekanan atau situasi yang menimbulkan kecemasan.

Tahap ini dapat berisikan tiga kegiatan sebagai berikut:

1) Mendeskripsikan pikiran-pikiran konseli dalam situasi problem

Dalam wawancara, konselor dapat bertanya kepada konseli tentang

situasi-situasi yang membuatnya menderita atau tertekan dalam hal-hal

yang dipikirkan konseli sebelum, selama dan setelah situasi

berlangsung.

2) Memodelkan hubungan antara peristiwa dan emosi.

Jika konseli telah mengenali pikiran-pikiran negatifnya yang

mengganggu, konselor selanjutnya perlu menunjukkan pertalian (mata

rantai) antara pikiran-pikiran dengan situasi yang dihadapi dan emosi

yang dialami kemudian dan konselor perlu meminta konseli untuk

mencatat pertalian tersebut secara eksplisit. Jika konseli masih gagal

mengenali pikirannya, konselor dapat memodelkan hubungan tersebut

dengan menggunakan situasi konseli atau situasi yang berasal dari

kehidupan konselor.

3) Pemodelan pikiran oleh konseli.

Konselor dapat pula meminta konseli mengidentifikasi situasi-

situasi dan pikiran-pikiran dengan memonitor dan mencatat peristiwa

dan pemikiran-pemikiran di luar wawancara konseling dalam bentuk

12

tugas rumah. Dengan menggunakan data konseli tersebut, konselor dan

konseli dapat menetapkan manakah pikiran-pikiran yang negatif

(merusak) dan manakah pikiran–pikiran yang positif (meningkatkan

diri). Konselor dapat pula mencoba meminta konseli untuk memisahkan

antara dua tipe pernyataan diri dan mengenali mengapa satu pikiran

negatif dan yang lain positif. Identifikasi ini mengandung beberapa

maksud. Pertama untuk menetapkan apakah pikiran-pikiran yang

disajikan konseli berisikan pernyataan diri negatif dan positif. Data

tersebut dapat juga memberi informasi tentang derajat tekanan yang

dialami konseli dalam situasi yang dihadapi. Jika beberapa pikiran

positif telah diidentifikasi, konseli akan menyadari adanya alternatif

untuk mengubah pikirannya. Jika tidak ada pikiran positif yang

dikemukakan, ini merupakan petunjuk bahwa konselor perlu memberi

perhatian khusus. Konselor dapat menyatakan tentang bagaimana suatu

pikiran negatif dapat diubah dengan cara memperhatikan bagaimana

pikiran-pikiran yang merusak diri dapat dinyatakan kembali dengan

cara yang lebih konstruktif.

c) Pengenalan dan latihan coping thought (CT).

Pada tahap ini, terjadi perpindahan fokus dari pikiran-pikiran konseli yang

merusak diri atau mengalahkan diri menuju ke bentuk pikiran yang lebih

konstruktif (pikran yang tidak merusak diri). Pikiran-pikiran yang lebih

konstruktif ini disebut sebagai pikiran yang menanggulangi (coping

thought=CT) atau pernyataan yang menanggulangi (coping statement=CS)

13

atau instruksi diri menanggulangi (coping self-instruction=CSI). Semuanya

dikembangkan untuk konseli. Pengenalan dan pelatihan CS tersebut penting

untuk mendukung keberhasilan prosedur teknik restrukturisasi kognitif. Ini

dapat melalui beberapa kegiatan :’

1) Penjelasan dan pemberian contoh-contoh CS.

Konselor perlu memberi penjelasan tentang maksud CS sejelas-

jelasnya. Dalam penjelasan ini konselor dapat memberi contoh CS

sehingga konseli dapat membedakan dengan jelas antara CS dengan

pikiran menyalahkan diri.

2) Pemberian contoh oleh konseli.

Setelah memberi beberapa penjelasan, konselor dapat meminta konseli

untuk memikirkan CS. Konselor juga mendorong konseli untuk memilih

CS yang paling natural atau wajar.

3) Konseli mempraktekkan CS.

Dengan menggunakan CS yang telah ditemukan, konselor selanjutnya

meminta konseli untuk latihan memverbalisasikannya. Ini sangat penting,

sebab banyak konseli tidak bisa menggunakan CS. Latihan seperti ini

dapat mengurangi beberapa perasaan kaku konseli dan dapat menyakinkan

keyakinan bahwa ia mampu (perasaan mampu) untuk membuat”

pernyataan diri” yang berbeda.

14

d) Pindah dari pikiran-pikiran negatif ke coping thought (CT)

Setelah konseli mengidentifikasi pikiran-pikiran negatif dan

mempraktekkan CS alternatif, konselor selanjutnya melatih konseli untuk

pindah dari pikiran-pikiran negatif ke CS. Terdapat dua kegiatan dalam

prosedur ini, yaitu :

1) Pemberian contoh peralihan pikiran oleh konselor

2) Latihan peralihan pikiran oleh konseli

e) Pengenalan dan latihan penguat positif

Bagian terakhir dari restrukturisasi kognitif berisikan kegiatan mengajar

konseli tentang cara-cara memberi penguatan bagi dirinya sendiri untuk setiap

kegiatan yang dicapainya. Ini dapat dilakukan dengan cara konselor

memodelkan dan konseli mempraktikan pernyataan-pernyataan diri yang

positif. Maksud dari pernyataan diri positif ini adalah untuk membantu

konseli menghargai setiap keberhasilannya. Meskipun konselor dapat

memberi penguatan sosial dalam wawancara, konseli tak selalu dapat

tergantung pada dorongan dari seseorang ketika ia dihadapkan pada situasi

yang sulit. Untuk mempermudah konseli, konselor dapat menjelaskan maksud

dan memberi contoh tentang pernyataan diri positif; kemudian meminta

konseli untuk mempratikkannya.

f) Tugas rumah dan tindak lanjut

Meskipun tugas rumah merupakan bagian integral dari setiap tahapan

untuk menggunakan restrukturisasi kognitif kapanpun diperlukan dalam

situasi menekan. Tugas rumah ini dimaksud untuk memberi kesempatan pada

15

konseli untuk mempraktekkan ketrampilan yang diperoleh dalam

menggunakan CS dalam situasi yang sebenarnya. Jika penggunaan

restrukturisasi kognitif tidak mengurangi level penderitaan atau kecemasan

konseli, konselor dan konseli perlu membatasi kembali masalah dan tujuan

terapi.

B. Bimbingan Kelompok

1. Pengertian Bimbingan Kelompok

Bimbingan kelompok menurut Prayitno (2012:149), “merupakan

suatu layanan bimbingan yang diberikan kepada anggota kelompok dengan

mengaktifkan dinamika kelompok untuk membahas topik-topik umum yang

menjadi kepedulian bersama anggota kelompok dibawah pemimpin

kelompok (konselor).”

Bimbingan kelompok menurut Sukardi (2008:64)

Bimbingan yang memungkin sejumlah peserta didik secara bersama-sama

memperoleh berbagai bahan dari narasumber (guru pembimbing atau

konselor) yang berguna untuk menunjang kehidupan sehari-hari, baik sebagai

individu maupun sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Menurut Tohirin (2011:48), “bimbingan kelompok merupakan suatu

cara memberikan bantuan (bimbingan) kepada individu (siswa) melalui

kegiatan kelompok.”

Selanjutnya Tohirin mengatakan bahwa dalam layanan bimbingan

kelompok aktivitas dan dinamika kelompok harus diwujudkan untuk

membahas berbagai hal yang berguna bagi pembangunan dan pemecahan

masalah individu (siswa) yang menjadi peserta layanan. Dalam layanan

16

bimbingan kelompok dibahas topik-topik umum yang menjadi kepedulian

bersama anggota kelompok.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bimbingan

kelompok adalah salah satu kegiatan bimbingan yang diberikan kepada

anggota kelompok dengan mengaktifkan dinamika kelompok dimana

pemimpin kelompok menyediakan informasi-informasi untuk membahas

topik-topik umum yang berguna bagi kehidupan sehari-hari anggota

kelompok dipimpin oleh pemimpin kelompok (konselor).

2. Tujuan layanan bimbingan kelompok

Menurut Prayitno (2012:150)

Tujuan bimbingan terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus.

a) Tujuan umum adalah berkembangnya kemampuan sosialisasi siswa,

khususnya kemampuan komunikasi peserta layanan. Dalam kaitan ini

seringkali menjadi kenyataan bahwa kemampuan bersosialisasi/

komunikasi seseorang sering terganggu oleh perasaan, persepsi, wawasan

dan sikap yang tidak objektif, sempit dan terkukung serta tidak efektif.

Melalui bimbingan kelompok hal-hal yang menghimpit perasaan dapat

diungkapkan, dilonggarkan, diringankan melalui berbagai cara; pikiran

yang suntuk atau beku dicairkan dan didinamikkan melalui berbagai

masukkan dan tanggapan baru; persepsi yang menyimpang atau sempit

diluruskan dan diperluas melalui pencairan pikiran, penyadaran dan

penjelasan; sikap yang tidak objektif, terkukung dan tidak terkendali serta

tidak efektif digugat dan didobrak; kalau perlu diganti dengan yang baru

yang lebih efektif. Melalui dinamika peserta layanan berpersepsi dan

berwawasan yang terarah, luwes, dan luas serta dinamis, kemampuan

berkomunikasi, bersosialisasi dan bersikap dapat berkembang. Para peserta

berpikir, merasa, bersikap, bertindak dan bertanggung jawab berkenaan

dengan materi yang dibahas dalam layanan untuk mengentaskan masalah

konseli dengan memanfaatkan dinamika kelompok.

b) Tujuan Khusus

Tujuan khusus bimbingan kelompok membahas topik-topik tertentu yang

mengandung permasalahan aktual (hangat) dan menjadi perhatian peserta.

Melaui dinamika kelompok yang intensif, pembahasan topik-topik itu

mendorong pengembangan perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan sikap

yang menunjang diwjudkanya tingkah laku yang lebih efektif dan

17

bertanggung jawab. Dalam hal ini kemampuan komunikasi verbal maupun

non verbal ditingkatkan.

3. Asas-asas dalam Bimbingan Kelompok

Prayitno (2012:162-164) mengatakan bahwa asas-asas dalam bimbingan

kelompok adalah etika dasar dalam bimbingan kelompok. Asas-asas dalam

bimbingan kelompok adalah sebagai berikut :

a) Asas Kerahasiaan

Segala sesuatu yang dibahas dan dimunculkan dalam kegiatan bimbingan

kelompok hendaknya menjadi rahasia kelompok yang hanya boleh

diketahui oleh anggota kelompok dan tidak disebarluaskan ke luar

kelompok. Seluruh anggota kelompok menyadari benar hal ini dan

bertekat untuk melaksanakannya, karena pokok bahasan adalah masalah

pribadi yang dialami anggota kelompok.

b) Asas Kesukarelaan

Kesukarelaan anggota kelompok dapat mewujudkan peran aktif masing-

masing untuk mencapai tujuan layanan.

c) Asas Kegiatan dan keterbukaan

Asas kegiatan dalam dinamika kelompok secara intensif dan efektif,

anggota kelompok akan secara aktif dan terbuka menampilkan diri tanpa

rasa takut, malu serta ragu.

d) Asas Kekinian

Anggota kelompok diminta mengemukakan hal-hal yang terjadi dan

berlaku sekarang ini.

18

e) Asas kenormatifan

Berkenaan dengan berkomunikasi dan bertatakrama dalam kegiatan

kelompok dan dalam mengemas isi bahasan.

5. Tahap-tahap bimbingan kelompok.

Prayitno (2012:170-178) mengemukakan bahwa tahap-tahap dalam

konseling kelompok diselenggarakan melalui lima tahap kegiatan yaitu :

a) Tahap I: Pembentukan

Tahap pembentukan yaitu untuk membentuk kerumunan sejumlah individu

menjadi satu kelompok yang siap mengembangkan dinamika kelompok

dalam mencapai tujuan bersama.

1) Tujuan dari tahap pembentukan yaitu:

a) Anggota kelompok memahami pengertian dan kegiatan bimbingan

kelompok;

b) Tumbuhnya suasana kelompok;

c) Tumbuhnya minat kelompok mengikuti kegiatan bimbingan

kelompok;

d) Tumbuhnya saling mengenal, percaya, menerima dan membantu di

antara anggota;

e) Tumbuhnya suasana bebas dan terbuka;

f) Dimulainya pembahasan tentang tingkah laku dan perasaan dalam

kelompok.

19

2) Kegiatan yang dilakukan pada tahap pembentukan dalam bimbingan

kelompok adalah sebagai berikut :

a) Mengungkapkan pengertian dan tujuan bimbingan kelompok;

b) Menjelaskan cara-cara dan asas-asas yang berlaku dalam bimbingan

kelompok;

c) Saling memperkenalkan dan mengungkapkan diri;

d) Permainan (Ice breaking) agar anggota kelompok saling mengenal dan

merasa nyaman dengan lingkungan barunya.

3) Peran Pemimpin kelompok pada tahap pembentukan :

a) Memimpin doa sebelum kegiatan

b) Menampilkan diri secara utuh dan terbuka

c) Menampilkan kehormatan pada orang lain hangat, tulus, bersedia

membantu dan penuh empati

b) Tahap II : Peralihan

Tahap peralihan adalah tahap untuk mengalihkan kegiatan awal

kelompok ke kegiatan berikutnya yang lebih terarah pada pencapaian tujuan

kelompok.

1) Tujuan tahap peralihan dalam bimbingan kelompok adalah :

a) Terbebaskannya anggota dari perasaan atau sikap enggan, ragu, malu

atau saling tidak percaya untuk memasuki tahap berikutnya.

b) Makin mantapnya suasana kelompok dan kebersamaan.

c) Makin mantap minat untuk ikut serta dalam kegiatan kelompok.

20

2) Kegiatan yang dilakukan pada tahap peralihan adalah sebagai berikut

a) Menjelaskan kegiatan yang akan ditempuh pada tahap berikutnya.

b) Menawarkan sambil mengamati apakah para anggota sudah siap

menjalani kegiatan pada tahap selanjutnya (tahap ketiga).

c) Membahas suasana yang terjadi.

d) Meningkatkan kemampuan keikutsertaan anggota. Kalau perlu kembali

ke beberapa aspek tahap pertama (tahap pembentukan

3) Peranan pemimpin kelompok

Pemimpin kelompok mempunyai peranan yang sangat penting pada tahap

kedua yaitu:

a) Menerima suasana yang ada secara sabar dan terbuka.

b) Tidak menggunakan cara-cara yang bersifat langsung.

c) Mengambil alih kekuasaan atau permasalahan.

d) Mendorong dibahasnya suasana perasaan.

e) Membuka diri, sebagai contoh dan penuh empati

c. Tahap III: Kegiatan

Tahap kegiatan adalah tahap kegiatan inti untuk mengentaskan masalah

pribadi anggota kelompok.

1) Tujuan kegiatan inti

Tahap kegiatan inti dalam bimbingan kelompok mempunyai tujuan

sebagai berikut:

a) Terbahasnya dan terentaskannya masalah klien (yang menjadi anggota

kelompok).

21

b) Seluruh anggota kelompok ikut serta menganalisis masalah sesama

anggota kelompok serta mencari jalan keluar dan pengentasannya.

2) Kegiatan yang dilakukan oleh anggota kelompok pada tahap kegiatan inti

adalah sebagai berikut :

a) Setiap anggota kelompok mengungkapkan masalah pribadi yang perlu

mendapat bantuan untuk pengentasannya.

b) Kelompok memilih masalah mana yang hendak dibahas dan

dientaskan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya.

c) Klien (anggota kelompok yang masalahnya dibahas) memberi

gambaran yang lebih rinci masalah yang dialaminya.

d) Seluruh anggota kelompok ikut membahas masalah klien melalui

berbagai cara, seperti bertanya, menjelaskan, mengkritisi, memberi

contoh, mengemukakan pengalaman pribadi, menyarankan.

e) Klien setiap kali diberi kesempatan untuk merespon hal-hal yang

ditampilan oleh rekan kelompok.

f) Kegiatan selingan

3) Peranan Pemimpin kelompok

Pemimpin kelompok berperan dalam kegiatan ini yaitu:

a) Sebagai pengatur lalu lintas yang sabar dan terbuka.

b) Aktif tetapi tidak banyak berbicara

c) Mendorong, menjelaskan, memberi penguatan, menjembatani

d) Mensikronisasi, memberi contoh (jika perlu melatih klien) dalam

rangkah mendalami permasalahan klien dan mengentaskanya

22

d. Tahap IV: Penyimpulan.

Tahap kegiatan untuk melihat kembali apa yang sudah dilakukan dan

dicapai oleh kelompok. Peserta kelompok diminta melakukan refleksi

berkenaan dengan kegiatan pembahasan yang baru saja mereka ikuti:

1) Tujuan kegiatan tahap keempat :

a) Terungkapnya kesan-kesan anggota kelompok tentang pelaksanaan

kegiatan.

b) Terungkapnya hasil kegiatan kelompok yang telah dicapai.

2) Kegiatan yang dilakukan pada tahap keempat :

a) Pemimpin kelompok meminta anggota kelompok mengemukakan

kesan dan hasil-hasil kegiatan (refleksi)

b) Mengemukakan pesan dan harapan

3) Peranan pemimpin kelompok

Peran pemimpin kelompok pada tahap keempat adalah:

a) Mengusahakan suasana hangat, bebas dan terbuka

b) Memberikan semangat untuk refleksi

c) Penuh rasa persahabatan, empati dan penguatan

e. Tahap V : Penutupan

Tahap penutupan yaitu merupakan tahap akhir dari seluruh kegiatan.

Kelompok merencanakan kegiatan bimbingan kelompok selanjutnya dan

salam hangat perpisahan.

a) Tahap kelima dari bimbingan kelompok mempunyai tujuan sebagai

berikut :

23

a) Terumuskannya kegiatan lebih lanjut.

b) Tetap terjalinnya hubungan kelompok dan kebersamaan yang akrab

meskipun kegiatan diakhiri

2) Kegiatan yang dilakukan oleh peserta kelompok pada tahap kelima

adalah sebagai berikut :

a) Membahas kegiatan lanjutan

b) Kelompok mengakhiri kegiatan

3) Peranan pemimpin kelompok

Pemimpin kelompok mempunyai peranan yang penting dalam tahap

kelima yaitu:

a) Mengungkapkan bahwa kegiatan kelompok akan segera diakhiri.

b) Mempertahankan suasana hangat, bebas dan terbuka.

c) Mengajak peserta kegiatan bimbingan kelompok untuk merencanakan

kegiatan lanjutan.

d) Berterima kasih atas keikutsertaan semua anggota

e) Memimpin doa syukur

C. Kecemasan Sosial

1. Pengertian Kecemasan Sosial

Semiun (2006:325) memberi pengertian tentang kecemasan sosial

“ merupakan ketakutan yang terus-menerus dan irasional terhadap kehadiran

orang lain.”

Dengan demikian orang-orang yang menderita kecemasan sosial

menghindari orang-orang karena takut dikritik. Berbicara atau menampilkan

24

diri di depan umum atau melakukan kegiatan-kegiatan lain di depan umum,

makan di depan umum, menggunakan kamar kecil untuk umum atau

melakukan kegiatan-kegiatan lain di depan umum dapat menimbulkan

kecemasan yang hebat. Fobia ini muncul pada masa remaja ketika kesadaran

sosial dan pergaulan dengan orang lain merupakan hal yang penting dalam

kehidupan seorang remaja.

Kecemasan sosial menurut LaGreca dan Lopes (dalam Solihat

2012:32) American Psychiatric Association (APA)

kecemasan sosial adalah ketakutan yang menetap terhadap sebuah (atau

lebih) situasi yang terkait hubungan dengan performa, yang membuat

individu harus berhadapan dengan orang-orang yang tidak dikenalnya

atau menghadapi kemungkinan diamati oleh orang lain, takut bahwa

dirinya dipermalukan atau dihina.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan sosial

adalah ketakutan yang dialami oleh individu ketika berhadapan dengan orang

lain dalam relasi sosial, malu melakukan kegiatan di depan umum karena

diamati oleh orang lain, takut dikritik, dipermalukan dan dihina.

2. Penyebab Kecemasan Sosial

Semiun (2006:321-323), mengemukakan bahwa ada empat faktor

penyebab kecemasan sosial yaitu :

a) Simtom suasana hati

Simtom-simtom suasana hati dalam gangguan kecemasan adalah

kecemasan, tegangan, panik dan kekhawatiran. Individu yang mengalami

kecemasan memiliki perasaan akan adanya hukuman dan bencana yang

mengancam dari suatu sumber tertentu. Simtom suasana hati yang lain

adalah depresi dan sifat mudah marah.

25

b) Simtom kognitif

Simtom kognitif dalam gangguan kecemasan menunjukkan

kekhawatiran dan keprihatinan mengenai bencana yang diantisipasi oleh

individu. Misalnya seorang individu yang merasa takut berada dikhalayak

ramai (agorafobia), menghabiskan waktu untuk khawatir mengenai hal-hal

yang tidak menyenangkan (mengerikan) yang mungkin terjadi, dan

kemudian dia merencanakan bagaimana dia harus menghindari hal-hal

tersebut.

c) Simtom Somatik

Simtom-somatik dari kecemasan dibagi menjadi dua kelompok yaitu:

1) Simtom langsung yang terdiri dari keringat, mulut kering, bernapas

pendek, denyut nadi cepat, tekanan darah meningkat, kepala terasa

berdenyut-denyut, dan otot terasa tegang.

2) Kecemasan berkepanjangan seperti tekanan darah meningkat secara

kronis, sakit kepala, otot melemah.

d) Simtom motor

Orang yang cemas merasa tidak tenang, gugup, kegiatan motor menjadi

tanpa arti dan tujuan, misalnya jari-jari kaki mengetuk-ngetuk dan sangat

kaget terhadap suara yang terjadi secara tiba-tiba.

26

3. Indikator Kecemasan Sosial

Dari pengertian kecemasan sosial menurut Semiun (2006:322)

menyatakan ada beberapa indikator dari kecemasan sosial yaitu:

a) Ketakutan ; merasa takut berada melakukan kegiatan di tempat umum,

takut berbicara di depan umum, takut dikritik, takut akan penilaian jelek.

b) Kekhawatiran akan hal-hal tidak menyenangkan atau yang mengerikan

yang mungkin terjadi,

c) Gugup berbicara di depan umum, gugup melakukan kegiatan di depan

umum

d) Malu untuk tampil di depan umum

e) Menghidar dari orang-orang karena takut dikritik

f) Tidak percaya diri karena merasa banyak memiliki kekurangan.

4. Ciri-ciri Kecemasan Sosial

Kecemasan sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a) Ciri-ciri kognitif

1) Mengkhawatirkan apa yang dipikirkan orang lain

2) Sulit untuk berkonsentrasi dan selalu mengikat apa yang orang lain

katakan

3) Fokus terhadap diri sendiri, sangat berhati-hati dengan apa yang akan

dikatakan dan dilakukan

4) Selalu berpikir tentang kesalahan yang mungkin akan dilakukan

5) Selalu berpikir tentang kesalahan yang telah dilakukan

6) Pikiran menjadi kosong, menjadi bingung untuk mengatakan sesuatu

27

b) Ciri-ciri perilaku

1) Kadang-kadang berbicara dengan cepat atau lambat, diam sehingga

kata-katanya menjadi tidak jelas

2) Menghindar kontak mata dengan orang lain

3) Melakukan sesuatu dengan sangat hati-hati agar tidak menarik

perhatian orang lain

4) Selalu mencari”aman”: tempat yang aman, berbicara dengan orang

yang aman dan membicarakan topik yang “aman”

5) Menghindari kegiatan atau situasi sosial

c) Ciri-ciri respon tubuh

1) Muka merah karena malu, berkeringat atau menggigil

2) Tegang, merasa sakit dan sulit untuk tenang

3) Panik: jantung berdetak kencang, pusing

d) Ciri-ciri emosi atau perasaan

1) Grogi, cemas, takut akan sesuatu yang terjadi

2) Frustrasi, marah terhadap diri sendiri dan orang lain

3) Menjadi tidak percaya diri.

5. Dampak dari kecemasan sosial

Menurut Gilian Butler (dalam Solihat. 2012: 36),

kecemasan sosial dapat menghentikan seseorang untuk melakukan sesuatu

yang sebenarnya dapat dilakukan dan menghilangkan kemampuan yang

dimiliki dan selanjutnya dapat mempengaruhi karir, hubungan pribadi,

pertemanan, kerja dan kehidupan sehari-hari.

28

D. Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan

Untuk melengkapi penelitian ini peneliti menulis hasil penelitian

terdahulu yang relevan yaitu sebagai berikut :

1. Iin Siti Solihat (2012) meneliti tentang Efektivitas Penerapan Teknik

Restrukturisasi Kognitif untuk Mereduksi Kecemasan Sosial pada Remaja

kelas X SMA YAS Bandung mengalami kecemasan sosial pada kategori

sedang. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan

antar hasil pretest dan postest. Dengan demikian teknik restrukturisasi

kognitif efektif mereduksi kecedmasan sosial pada remaja.

2. Apriyanti Seli (2014) meneliti tentang Efektivitas Teknik Restrukturisasi

Kognitif untuk Mereduksi Kecemasan Komunikasi pada remaja. Studi Pra

Eksperimen terhadap peserta didik kelas X SMA Pasundan 2 Bandung

berada pada kategori sedang. Hasil penelitian menunjukkan adanya

perbedaan yang signifikan antara hasil pretest dan postest. Dengan

demikian teknik restrukturisasi kognitif efektif mereduksi kecemasan

komunikasi pada remaja

3. Ahla, Wulida Firdausu (2014) meneliti tentang Efektivitas Teknik

Restrukturisasi Kognitif dalam Mereduksi Tingkat Kecemasan Saat

Menghadapi Tes pada Siswa Kelas VIII Madrasah Tsanawiyah Negeri

Sidoardjo. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang

signifikan antara hasil pretest dan postest. Hasil analisis wilcoson dan sign

menunjukkan statistik hitung < statistik tabel maka hipoteis alternatif (Ha)

diterima.Hasil uji Z sign 2-tailed untuk uji satu sisi adalah 0.012 maka

29

probabilitas menjadi (0,006 < 0.05 ). Sehingga Ha diterima artinya terknik

restrukturisasi kognitif efektif mereduksi kecemasan menghadapi tes.

Dengan demikian teknik restrukturisasi kognitif efektif mereduksi

kecemasan tingkat kecemasan saat menghadapi tes pada siswa kelas VIII

Madrasah Tsanawiyah Negeri Sidoardjo.

Kesamaan penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang

dilakukan oleh peneliti adalah pada varaibel X (variabel bebas),

menggunakan teknik restrukturisasi kognitif, dan perbedaannya terletak

pada variabel Y (Variabel terikat).

E. Kerangka berpikir

Sekaran (dalam Sugiyono; 2016:91) mengemukakan bahwa kerangka

berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan

dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting.

Kerangka berpikir yang baik akan menjelaskan secara teoritis pertautan

antara variabel yang akan diteliti. Jadi, secara teoritis perlu dijelaskan

hubungan antar variabel independen dan dependen.

Berdasarkan pendapat ahli di atas dan landasan teori yang telah

dikemukakan, maka dapat disusun suatu kerangka pemikiran sebagai berikut :

30

Nursalim (2014:33-35)

Nursalim (2014:33-35) Semiun (2006:321-325)

F. Hipotesis penelitian

Menurut Sedarmayanti & Hidayat (2011 : 108)

hipotesis adalah asumsi atau perkiraan atau dugaan sementara mengenai suatu

hal atau permasalahan yang harus dibuktikan kebenarannya dengan

menggunakan data atau fakta atau informasi yang dapat diperoleh dari hasil

penelitian yang valid dan reliabel dengan menggunakan cara yang sudah

ditentukan”.

Lebih lanjut Sedarmayanti & Hidayat membagi hipotesis menjadi dua

jenis sebagai berikut :

a. Hipotesis nol, yaitu hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan

antara satu variabel dengan variabel lainnya. Dalam penulisan hipotesis ini

dituliskan dengan simbol “Ho”

b. Hipotesis alternatif atau hipotesis kerja yaitu hipotesis yang menyatakan

adanya hubungan antar variabel. Dalam penulisan hipotesis ini ditulis

dengan “Ha”

Berdasarkan pendapat ahli di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini

dapat dirumuskan sebagai berikut:

Variabel X (Variabel bebas)

Teknik Restrukturisasi kognitif:

Tahap-tahapnya :

1.Rasional

2.Analisis

3. Pengenalan dan latihan CT

4.Pindah dari pikiran negatif ke CT

5. Pengenalan dan latihan penguat

positif

Variabel Y (Variabel terikat)

Kecemasan Sosial :

1. Takut

2. Khawatir

3. Gugup

4. Malu

5. Menghindar

6. Tidak percaya diri

31

1) Hipotesis Nol (Ho): teknik restrukturisasi kognitif melalui bimbingan

kelompok tidak efektif menurunkan kecemasan sosial warga asrama

Stella Maris Naikoten 2 Kupang tahun 2018.

2) Hipotesis Alternatif (Ha): teknik restrukturisasi kognitif melalui

bimbingan kelompok efektif menurunkan kecemasan sosial warga

asrama Stella Maris Naikoten 2 Kupang tahun 2018.