bab ii kajian pustaka - repository.unwira.ac.idrepository.unwira.ac.id/4074/3/bab ii.pdf · antara...
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
.
A. Teknik Restrukturisasi Kognitif
1. Pengertian Teknik Restrukturisasi Kognitif
Ellis (dalam Nursalim, 2014:32) memberikan batasan tentang “teknik
restrukturisasi kognitif adalah memusatkan perhatian pada upaya
mengidentifikasi dan mengubah pikiran–pikiran atau pernyataan diri negatif
dan keyakinan-keyakinan konseli yang tidak rasional”.
Sedangkan menurut Nevid J.S, Rathus, S.A. & Green B (dalam Seli,
2013:21), “teknik restrukturisasi kognitif suatu proses dimana konselor
membantu konseli mencari pikiran-pikiran self-defiating dan mencari
alternatif rasional sehingga remaja dapat belajar menghadapi situasi
pembangkit kecemasan”
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa teknik
restrukrurisasi kognitif adalah suatu teknik yang dirancang dimana konselor
membantu konseli untuk mengidentifikasi, dan mengubah pikiran-pikiran
atau pernyataan diri negatif yang tidak rasional dan mencari alternatif rasional
sehingga remaja dapat menhadapi situasi pembangkit kecemasan.
2. Tujuan Teknik Restukturisasi Kognitif
Tujuan teknik restrukturisasi kognitif menurut Nursalim (2005:32)
Tidak hanya membantu konseli belajar mengenal dan menghentikan pikiran-
pikiran yang negatif yang merusak diri, tetapi juga menggantikan pikiran-
pikiran tersebut dengan pikiran-pikiran yang lebih positif .
10
3. Kegunaan Teknik Restrukturisasi Kognitif
Menurut Erford (2015:257), kegunaan teknik restrukturisasi kognitif
adalah sebagai berikut:
a) Untuk individu-individu yang pikirannya terpolarisasi, menunjukkan
ketakutan, kecemasan, dalam situasi-situasi tertentu atau bereaksi
berlebihan terhadap masalah-masalah kehidupan.
b) Untuk remaja dan anak-anak yang mengalami gangguan kecemasan,
dengan mengidentifikasi pikiran yang menyebabkan perasaan cemas.
c) Untuk orang-orang yang mengalami depresi, gangguan panik, fobia sosial,
4. Langkah – langkah Teknik Restrukturisasi Kognitif
Berdasarkan reviu Cormier dan Cormier (dalam Nursalim, 2014:32-36)
merangkum tahap-tahap restrukturisasi kognitif dalam enam bagian utama
sebagai berikut :
a) Rasional: tujuan dan tinjauan singkat prosedur
Rasional digunakan untuk memperkuat keyakinan konseli bahwa
“pernyataan diri” dapat mempengaruhi perilaku dan khususnya
pernyataan-pernyataan diri negatif atau pikiran–pikiran menyalahkan diri
dapat menyebabkan tekanan emosional. Suatu rasional dapat berisikan
penjelasan tentang tujuan, gambaran singkat prosedur yang akan
dilaksanakan, dan pembahasan tentang pikiran-pikiran diri positif dan
negatif. Setelah rasional diberikan, konseli diminta persetujuannya untuk
mencoba melakukan teknik ini.
11
b) Analisis terhadap pikiran konseli
Setelah konseli menerima rasional yang diberikan, langkah berikutnya
adalah melakukan analisis terhadap pikiran-pikiran konseli dalam situasi
yang mengandung tekanan atau situasi yang menimbulkan kecemasan.
Tahap ini dapat berisikan tiga kegiatan sebagai berikut:
1) Mendeskripsikan pikiran-pikiran konseli dalam situasi problem
Dalam wawancara, konselor dapat bertanya kepada konseli tentang
situasi-situasi yang membuatnya menderita atau tertekan dalam hal-hal
yang dipikirkan konseli sebelum, selama dan setelah situasi
berlangsung.
2) Memodelkan hubungan antara peristiwa dan emosi.
Jika konseli telah mengenali pikiran-pikiran negatifnya yang
mengganggu, konselor selanjutnya perlu menunjukkan pertalian (mata
rantai) antara pikiran-pikiran dengan situasi yang dihadapi dan emosi
yang dialami kemudian dan konselor perlu meminta konseli untuk
mencatat pertalian tersebut secara eksplisit. Jika konseli masih gagal
mengenali pikirannya, konselor dapat memodelkan hubungan tersebut
dengan menggunakan situasi konseli atau situasi yang berasal dari
kehidupan konselor.
3) Pemodelan pikiran oleh konseli.
Konselor dapat pula meminta konseli mengidentifikasi situasi-
situasi dan pikiran-pikiran dengan memonitor dan mencatat peristiwa
dan pemikiran-pemikiran di luar wawancara konseling dalam bentuk
12
tugas rumah. Dengan menggunakan data konseli tersebut, konselor dan
konseli dapat menetapkan manakah pikiran-pikiran yang negatif
(merusak) dan manakah pikiran–pikiran yang positif (meningkatkan
diri). Konselor dapat pula mencoba meminta konseli untuk memisahkan
antara dua tipe pernyataan diri dan mengenali mengapa satu pikiran
negatif dan yang lain positif. Identifikasi ini mengandung beberapa
maksud. Pertama untuk menetapkan apakah pikiran-pikiran yang
disajikan konseli berisikan pernyataan diri negatif dan positif. Data
tersebut dapat juga memberi informasi tentang derajat tekanan yang
dialami konseli dalam situasi yang dihadapi. Jika beberapa pikiran
positif telah diidentifikasi, konseli akan menyadari adanya alternatif
untuk mengubah pikirannya. Jika tidak ada pikiran positif yang
dikemukakan, ini merupakan petunjuk bahwa konselor perlu memberi
perhatian khusus. Konselor dapat menyatakan tentang bagaimana suatu
pikiran negatif dapat diubah dengan cara memperhatikan bagaimana
pikiran-pikiran yang merusak diri dapat dinyatakan kembali dengan
cara yang lebih konstruktif.
c) Pengenalan dan latihan coping thought (CT).
Pada tahap ini, terjadi perpindahan fokus dari pikiran-pikiran konseli yang
merusak diri atau mengalahkan diri menuju ke bentuk pikiran yang lebih
konstruktif (pikran yang tidak merusak diri). Pikiran-pikiran yang lebih
konstruktif ini disebut sebagai pikiran yang menanggulangi (coping
thought=CT) atau pernyataan yang menanggulangi (coping statement=CS)
13
atau instruksi diri menanggulangi (coping self-instruction=CSI). Semuanya
dikembangkan untuk konseli. Pengenalan dan pelatihan CS tersebut penting
untuk mendukung keberhasilan prosedur teknik restrukturisasi kognitif. Ini
dapat melalui beberapa kegiatan :’
1) Penjelasan dan pemberian contoh-contoh CS.
Konselor perlu memberi penjelasan tentang maksud CS sejelas-
jelasnya. Dalam penjelasan ini konselor dapat memberi contoh CS
sehingga konseli dapat membedakan dengan jelas antara CS dengan
pikiran menyalahkan diri.
2) Pemberian contoh oleh konseli.
Setelah memberi beberapa penjelasan, konselor dapat meminta konseli
untuk memikirkan CS. Konselor juga mendorong konseli untuk memilih
CS yang paling natural atau wajar.
3) Konseli mempraktekkan CS.
Dengan menggunakan CS yang telah ditemukan, konselor selanjutnya
meminta konseli untuk latihan memverbalisasikannya. Ini sangat penting,
sebab banyak konseli tidak bisa menggunakan CS. Latihan seperti ini
dapat mengurangi beberapa perasaan kaku konseli dan dapat menyakinkan
keyakinan bahwa ia mampu (perasaan mampu) untuk membuat”
pernyataan diri” yang berbeda.
14
d) Pindah dari pikiran-pikiran negatif ke coping thought (CT)
Setelah konseli mengidentifikasi pikiran-pikiran negatif dan
mempraktekkan CS alternatif, konselor selanjutnya melatih konseli untuk
pindah dari pikiran-pikiran negatif ke CS. Terdapat dua kegiatan dalam
prosedur ini, yaitu :
1) Pemberian contoh peralihan pikiran oleh konselor
2) Latihan peralihan pikiran oleh konseli
e) Pengenalan dan latihan penguat positif
Bagian terakhir dari restrukturisasi kognitif berisikan kegiatan mengajar
konseli tentang cara-cara memberi penguatan bagi dirinya sendiri untuk setiap
kegiatan yang dicapainya. Ini dapat dilakukan dengan cara konselor
memodelkan dan konseli mempraktikan pernyataan-pernyataan diri yang
positif. Maksud dari pernyataan diri positif ini adalah untuk membantu
konseli menghargai setiap keberhasilannya. Meskipun konselor dapat
memberi penguatan sosial dalam wawancara, konseli tak selalu dapat
tergantung pada dorongan dari seseorang ketika ia dihadapkan pada situasi
yang sulit. Untuk mempermudah konseli, konselor dapat menjelaskan maksud
dan memberi contoh tentang pernyataan diri positif; kemudian meminta
konseli untuk mempratikkannya.
f) Tugas rumah dan tindak lanjut
Meskipun tugas rumah merupakan bagian integral dari setiap tahapan
untuk menggunakan restrukturisasi kognitif kapanpun diperlukan dalam
situasi menekan. Tugas rumah ini dimaksud untuk memberi kesempatan pada
15
konseli untuk mempraktekkan ketrampilan yang diperoleh dalam
menggunakan CS dalam situasi yang sebenarnya. Jika penggunaan
restrukturisasi kognitif tidak mengurangi level penderitaan atau kecemasan
konseli, konselor dan konseli perlu membatasi kembali masalah dan tujuan
terapi.
B. Bimbingan Kelompok
1. Pengertian Bimbingan Kelompok
Bimbingan kelompok menurut Prayitno (2012:149), “merupakan
suatu layanan bimbingan yang diberikan kepada anggota kelompok dengan
mengaktifkan dinamika kelompok untuk membahas topik-topik umum yang
menjadi kepedulian bersama anggota kelompok dibawah pemimpin
kelompok (konselor).”
Bimbingan kelompok menurut Sukardi (2008:64)
Bimbingan yang memungkin sejumlah peserta didik secara bersama-sama
memperoleh berbagai bahan dari narasumber (guru pembimbing atau
konselor) yang berguna untuk menunjang kehidupan sehari-hari, baik sebagai
individu maupun sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Menurut Tohirin (2011:48), “bimbingan kelompok merupakan suatu
cara memberikan bantuan (bimbingan) kepada individu (siswa) melalui
kegiatan kelompok.”
Selanjutnya Tohirin mengatakan bahwa dalam layanan bimbingan
kelompok aktivitas dan dinamika kelompok harus diwujudkan untuk
membahas berbagai hal yang berguna bagi pembangunan dan pemecahan
masalah individu (siswa) yang menjadi peserta layanan. Dalam layanan
16
bimbingan kelompok dibahas topik-topik umum yang menjadi kepedulian
bersama anggota kelompok.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bimbingan
kelompok adalah salah satu kegiatan bimbingan yang diberikan kepada
anggota kelompok dengan mengaktifkan dinamika kelompok dimana
pemimpin kelompok menyediakan informasi-informasi untuk membahas
topik-topik umum yang berguna bagi kehidupan sehari-hari anggota
kelompok dipimpin oleh pemimpin kelompok (konselor).
2. Tujuan layanan bimbingan kelompok
Menurut Prayitno (2012:150)
Tujuan bimbingan terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus.
a) Tujuan umum adalah berkembangnya kemampuan sosialisasi siswa,
khususnya kemampuan komunikasi peserta layanan. Dalam kaitan ini
seringkali menjadi kenyataan bahwa kemampuan bersosialisasi/
komunikasi seseorang sering terganggu oleh perasaan, persepsi, wawasan
dan sikap yang tidak objektif, sempit dan terkukung serta tidak efektif.
Melalui bimbingan kelompok hal-hal yang menghimpit perasaan dapat
diungkapkan, dilonggarkan, diringankan melalui berbagai cara; pikiran
yang suntuk atau beku dicairkan dan didinamikkan melalui berbagai
masukkan dan tanggapan baru; persepsi yang menyimpang atau sempit
diluruskan dan diperluas melalui pencairan pikiran, penyadaran dan
penjelasan; sikap yang tidak objektif, terkukung dan tidak terkendali serta
tidak efektif digugat dan didobrak; kalau perlu diganti dengan yang baru
yang lebih efektif. Melalui dinamika peserta layanan berpersepsi dan
berwawasan yang terarah, luwes, dan luas serta dinamis, kemampuan
berkomunikasi, bersosialisasi dan bersikap dapat berkembang. Para peserta
berpikir, merasa, bersikap, bertindak dan bertanggung jawab berkenaan
dengan materi yang dibahas dalam layanan untuk mengentaskan masalah
konseli dengan memanfaatkan dinamika kelompok.
b) Tujuan Khusus
Tujuan khusus bimbingan kelompok membahas topik-topik tertentu yang
mengandung permasalahan aktual (hangat) dan menjadi perhatian peserta.
Melaui dinamika kelompok yang intensif, pembahasan topik-topik itu
mendorong pengembangan perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan sikap
yang menunjang diwjudkanya tingkah laku yang lebih efektif dan
17
bertanggung jawab. Dalam hal ini kemampuan komunikasi verbal maupun
non verbal ditingkatkan.
3. Asas-asas dalam Bimbingan Kelompok
Prayitno (2012:162-164) mengatakan bahwa asas-asas dalam bimbingan
kelompok adalah etika dasar dalam bimbingan kelompok. Asas-asas dalam
bimbingan kelompok adalah sebagai berikut :
a) Asas Kerahasiaan
Segala sesuatu yang dibahas dan dimunculkan dalam kegiatan bimbingan
kelompok hendaknya menjadi rahasia kelompok yang hanya boleh
diketahui oleh anggota kelompok dan tidak disebarluaskan ke luar
kelompok. Seluruh anggota kelompok menyadari benar hal ini dan
bertekat untuk melaksanakannya, karena pokok bahasan adalah masalah
pribadi yang dialami anggota kelompok.
b) Asas Kesukarelaan
Kesukarelaan anggota kelompok dapat mewujudkan peran aktif masing-
masing untuk mencapai tujuan layanan.
c) Asas Kegiatan dan keterbukaan
Asas kegiatan dalam dinamika kelompok secara intensif dan efektif,
anggota kelompok akan secara aktif dan terbuka menampilkan diri tanpa
rasa takut, malu serta ragu.
d) Asas Kekinian
Anggota kelompok diminta mengemukakan hal-hal yang terjadi dan
berlaku sekarang ini.
18
e) Asas kenormatifan
Berkenaan dengan berkomunikasi dan bertatakrama dalam kegiatan
kelompok dan dalam mengemas isi bahasan.
5. Tahap-tahap bimbingan kelompok.
Prayitno (2012:170-178) mengemukakan bahwa tahap-tahap dalam
konseling kelompok diselenggarakan melalui lima tahap kegiatan yaitu :
a) Tahap I: Pembentukan
Tahap pembentukan yaitu untuk membentuk kerumunan sejumlah individu
menjadi satu kelompok yang siap mengembangkan dinamika kelompok
dalam mencapai tujuan bersama.
1) Tujuan dari tahap pembentukan yaitu:
a) Anggota kelompok memahami pengertian dan kegiatan bimbingan
kelompok;
b) Tumbuhnya suasana kelompok;
c) Tumbuhnya minat kelompok mengikuti kegiatan bimbingan
kelompok;
d) Tumbuhnya saling mengenal, percaya, menerima dan membantu di
antara anggota;
e) Tumbuhnya suasana bebas dan terbuka;
f) Dimulainya pembahasan tentang tingkah laku dan perasaan dalam
kelompok.
19
2) Kegiatan yang dilakukan pada tahap pembentukan dalam bimbingan
kelompok adalah sebagai berikut :
a) Mengungkapkan pengertian dan tujuan bimbingan kelompok;
b) Menjelaskan cara-cara dan asas-asas yang berlaku dalam bimbingan
kelompok;
c) Saling memperkenalkan dan mengungkapkan diri;
d) Permainan (Ice breaking) agar anggota kelompok saling mengenal dan
merasa nyaman dengan lingkungan barunya.
3) Peran Pemimpin kelompok pada tahap pembentukan :
a) Memimpin doa sebelum kegiatan
b) Menampilkan diri secara utuh dan terbuka
c) Menampilkan kehormatan pada orang lain hangat, tulus, bersedia
membantu dan penuh empati
b) Tahap II : Peralihan
Tahap peralihan adalah tahap untuk mengalihkan kegiatan awal
kelompok ke kegiatan berikutnya yang lebih terarah pada pencapaian tujuan
kelompok.
1) Tujuan tahap peralihan dalam bimbingan kelompok adalah :
a) Terbebaskannya anggota dari perasaan atau sikap enggan, ragu, malu
atau saling tidak percaya untuk memasuki tahap berikutnya.
b) Makin mantapnya suasana kelompok dan kebersamaan.
c) Makin mantap minat untuk ikut serta dalam kegiatan kelompok.
20
2) Kegiatan yang dilakukan pada tahap peralihan adalah sebagai berikut
a) Menjelaskan kegiatan yang akan ditempuh pada tahap berikutnya.
b) Menawarkan sambil mengamati apakah para anggota sudah siap
menjalani kegiatan pada tahap selanjutnya (tahap ketiga).
c) Membahas suasana yang terjadi.
d) Meningkatkan kemampuan keikutsertaan anggota. Kalau perlu kembali
ke beberapa aspek tahap pertama (tahap pembentukan
3) Peranan pemimpin kelompok
Pemimpin kelompok mempunyai peranan yang sangat penting pada tahap
kedua yaitu:
a) Menerima suasana yang ada secara sabar dan terbuka.
b) Tidak menggunakan cara-cara yang bersifat langsung.
c) Mengambil alih kekuasaan atau permasalahan.
d) Mendorong dibahasnya suasana perasaan.
e) Membuka diri, sebagai contoh dan penuh empati
c. Tahap III: Kegiatan
Tahap kegiatan adalah tahap kegiatan inti untuk mengentaskan masalah
pribadi anggota kelompok.
1) Tujuan kegiatan inti
Tahap kegiatan inti dalam bimbingan kelompok mempunyai tujuan
sebagai berikut:
a) Terbahasnya dan terentaskannya masalah klien (yang menjadi anggota
kelompok).
21
b) Seluruh anggota kelompok ikut serta menganalisis masalah sesama
anggota kelompok serta mencari jalan keluar dan pengentasannya.
2) Kegiatan yang dilakukan oleh anggota kelompok pada tahap kegiatan inti
adalah sebagai berikut :
a) Setiap anggota kelompok mengungkapkan masalah pribadi yang perlu
mendapat bantuan untuk pengentasannya.
b) Kelompok memilih masalah mana yang hendak dibahas dan
dientaskan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya.
c) Klien (anggota kelompok yang masalahnya dibahas) memberi
gambaran yang lebih rinci masalah yang dialaminya.
d) Seluruh anggota kelompok ikut membahas masalah klien melalui
berbagai cara, seperti bertanya, menjelaskan, mengkritisi, memberi
contoh, mengemukakan pengalaman pribadi, menyarankan.
e) Klien setiap kali diberi kesempatan untuk merespon hal-hal yang
ditampilan oleh rekan kelompok.
f) Kegiatan selingan
3) Peranan Pemimpin kelompok
Pemimpin kelompok berperan dalam kegiatan ini yaitu:
a) Sebagai pengatur lalu lintas yang sabar dan terbuka.
b) Aktif tetapi tidak banyak berbicara
c) Mendorong, menjelaskan, memberi penguatan, menjembatani
d) Mensikronisasi, memberi contoh (jika perlu melatih klien) dalam
rangkah mendalami permasalahan klien dan mengentaskanya
22
d. Tahap IV: Penyimpulan.
Tahap kegiatan untuk melihat kembali apa yang sudah dilakukan dan
dicapai oleh kelompok. Peserta kelompok diminta melakukan refleksi
berkenaan dengan kegiatan pembahasan yang baru saja mereka ikuti:
1) Tujuan kegiatan tahap keempat :
a) Terungkapnya kesan-kesan anggota kelompok tentang pelaksanaan
kegiatan.
b) Terungkapnya hasil kegiatan kelompok yang telah dicapai.
2) Kegiatan yang dilakukan pada tahap keempat :
a) Pemimpin kelompok meminta anggota kelompok mengemukakan
kesan dan hasil-hasil kegiatan (refleksi)
b) Mengemukakan pesan dan harapan
3) Peranan pemimpin kelompok
Peran pemimpin kelompok pada tahap keempat adalah:
a) Mengusahakan suasana hangat, bebas dan terbuka
b) Memberikan semangat untuk refleksi
c) Penuh rasa persahabatan, empati dan penguatan
e. Tahap V : Penutupan
Tahap penutupan yaitu merupakan tahap akhir dari seluruh kegiatan.
Kelompok merencanakan kegiatan bimbingan kelompok selanjutnya dan
salam hangat perpisahan.
a) Tahap kelima dari bimbingan kelompok mempunyai tujuan sebagai
berikut :
23
a) Terumuskannya kegiatan lebih lanjut.
b) Tetap terjalinnya hubungan kelompok dan kebersamaan yang akrab
meskipun kegiatan diakhiri
2) Kegiatan yang dilakukan oleh peserta kelompok pada tahap kelima
adalah sebagai berikut :
a) Membahas kegiatan lanjutan
b) Kelompok mengakhiri kegiatan
3) Peranan pemimpin kelompok
Pemimpin kelompok mempunyai peranan yang penting dalam tahap
kelima yaitu:
a) Mengungkapkan bahwa kegiatan kelompok akan segera diakhiri.
b) Mempertahankan suasana hangat, bebas dan terbuka.
c) Mengajak peserta kegiatan bimbingan kelompok untuk merencanakan
kegiatan lanjutan.
d) Berterima kasih atas keikutsertaan semua anggota
e) Memimpin doa syukur
C. Kecemasan Sosial
1. Pengertian Kecemasan Sosial
Semiun (2006:325) memberi pengertian tentang kecemasan sosial
“ merupakan ketakutan yang terus-menerus dan irasional terhadap kehadiran
orang lain.”
Dengan demikian orang-orang yang menderita kecemasan sosial
menghindari orang-orang karena takut dikritik. Berbicara atau menampilkan
24
diri di depan umum atau melakukan kegiatan-kegiatan lain di depan umum,
makan di depan umum, menggunakan kamar kecil untuk umum atau
melakukan kegiatan-kegiatan lain di depan umum dapat menimbulkan
kecemasan yang hebat. Fobia ini muncul pada masa remaja ketika kesadaran
sosial dan pergaulan dengan orang lain merupakan hal yang penting dalam
kehidupan seorang remaja.
Kecemasan sosial menurut LaGreca dan Lopes (dalam Solihat
2012:32) American Psychiatric Association (APA)
kecemasan sosial adalah ketakutan yang menetap terhadap sebuah (atau
lebih) situasi yang terkait hubungan dengan performa, yang membuat
individu harus berhadapan dengan orang-orang yang tidak dikenalnya
atau menghadapi kemungkinan diamati oleh orang lain, takut bahwa
dirinya dipermalukan atau dihina.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan sosial
adalah ketakutan yang dialami oleh individu ketika berhadapan dengan orang
lain dalam relasi sosial, malu melakukan kegiatan di depan umum karena
diamati oleh orang lain, takut dikritik, dipermalukan dan dihina.
2. Penyebab Kecemasan Sosial
Semiun (2006:321-323), mengemukakan bahwa ada empat faktor
penyebab kecemasan sosial yaitu :
a) Simtom suasana hati
Simtom-simtom suasana hati dalam gangguan kecemasan adalah
kecemasan, tegangan, panik dan kekhawatiran. Individu yang mengalami
kecemasan memiliki perasaan akan adanya hukuman dan bencana yang
mengancam dari suatu sumber tertentu. Simtom suasana hati yang lain
adalah depresi dan sifat mudah marah.
25
b) Simtom kognitif
Simtom kognitif dalam gangguan kecemasan menunjukkan
kekhawatiran dan keprihatinan mengenai bencana yang diantisipasi oleh
individu. Misalnya seorang individu yang merasa takut berada dikhalayak
ramai (agorafobia), menghabiskan waktu untuk khawatir mengenai hal-hal
yang tidak menyenangkan (mengerikan) yang mungkin terjadi, dan
kemudian dia merencanakan bagaimana dia harus menghindari hal-hal
tersebut.
c) Simtom Somatik
Simtom-somatik dari kecemasan dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
1) Simtom langsung yang terdiri dari keringat, mulut kering, bernapas
pendek, denyut nadi cepat, tekanan darah meningkat, kepala terasa
berdenyut-denyut, dan otot terasa tegang.
2) Kecemasan berkepanjangan seperti tekanan darah meningkat secara
kronis, sakit kepala, otot melemah.
d) Simtom motor
Orang yang cemas merasa tidak tenang, gugup, kegiatan motor menjadi
tanpa arti dan tujuan, misalnya jari-jari kaki mengetuk-ngetuk dan sangat
kaget terhadap suara yang terjadi secara tiba-tiba.
26
3. Indikator Kecemasan Sosial
Dari pengertian kecemasan sosial menurut Semiun (2006:322)
menyatakan ada beberapa indikator dari kecemasan sosial yaitu:
a) Ketakutan ; merasa takut berada melakukan kegiatan di tempat umum,
takut berbicara di depan umum, takut dikritik, takut akan penilaian jelek.
b) Kekhawatiran akan hal-hal tidak menyenangkan atau yang mengerikan
yang mungkin terjadi,
c) Gugup berbicara di depan umum, gugup melakukan kegiatan di depan
umum
d) Malu untuk tampil di depan umum
e) Menghidar dari orang-orang karena takut dikritik
f) Tidak percaya diri karena merasa banyak memiliki kekurangan.
4. Ciri-ciri Kecemasan Sosial
Kecemasan sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a) Ciri-ciri kognitif
1) Mengkhawatirkan apa yang dipikirkan orang lain
2) Sulit untuk berkonsentrasi dan selalu mengikat apa yang orang lain
katakan
3) Fokus terhadap diri sendiri, sangat berhati-hati dengan apa yang akan
dikatakan dan dilakukan
4) Selalu berpikir tentang kesalahan yang mungkin akan dilakukan
5) Selalu berpikir tentang kesalahan yang telah dilakukan
6) Pikiran menjadi kosong, menjadi bingung untuk mengatakan sesuatu
27
b) Ciri-ciri perilaku
1) Kadang-kadang berbicara dengan cepat atau lambat, diam sehingga
kata-katanya menjadi tidak jelas
2) Menghindar kontak mata dengan orang lain
3) Melakukan sesuatu dengan sangat hati-hati agar tidak menarik
perhatian orang lain
4) Selalu mencari”aman”: tempat yang aman, berbicara dengan orang
yang aman dan membicarakan topik yang “aman”
5) Menghindari kegiatan atau situasi sosial
c) Ciri-ciri respon tubuh
1) Muka merah karena malu, berkeringat atau menggigil
2) Tegang, merasa sakit dan sulit untuk tenang
3) Panik: jantung berdetak kencang, pusing
d) Ciri-ciri emosi atau perasaan
1) Grogi, cemas, takut akan sesuatu yang terjadi
2) Frustrasi, marah terhadap diri sendiri dan orang lain
3) Menjadi tidak percaya diri.
5. Dampak dari kecemasan sosial
Menurut Gilian Butler (dalam Solihat. 2012: 36),
kecemasan sosial dapat menghentikan seseorang untuk melakukan sesuatu
yang sebenarnya dapat dilakukan dan menghilangkan kemampuan yang
dimiliki dan selanjutnya dapat mempengaruhi karir, hubungan pribadi,
pertemanan, kerja dan kehidupan sehari-hari.
28
D. Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan
Untuk melengkapi penelitian ini peneliti menulis hasil penelitian
terdahulu yang relevan yaitu sebagai berikut :
1. Iin Siti Solihat (2012) meneliti tentang Efektivitas Penerapan Teknik
Restrukturisasi Kognitif untuk Mereduksi Kecemasan Sosial pada Remaja
kelas X SMA YAS Bandung mengalami kecemasan sosial pada kategori
sedang. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan
antar hasil pretest dan postest. Dengan demikian teknik restrukturisasi
kognitif efektif mereduksi kecedmasan sosial pada remaja.
2. Apriyanti Seli (2014) meneliti tentang Efektivitas Teknik Restrukturisasi
Kognitif untuk Mereduksi Kecemasan Komunikasi pada remaja. Studi Pra
Eksperimen terhadap peserta didik kelas X SMA Pasundan 2 Bandung
berada pada kategori sedang. Hasil penelitian menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan antara hasil pretest dan postest. Dengan
demikian teknik restrukturisasi kognitif efektif mereduksi kecemasan
komunikasi pada remaja
3. Ahla, Wulida Firdausu (2014) meneliti tentang Efektivitas Teknik
Restrukturisasi Kognitif dalam Mereduksi Tingkat Kecemasan Saat
Menghadapi Tes pada Siswa Kelas VIII Madrasah Tsanawiyah Negeri
Sidoardjo. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan antara hasil pretest dan postest. Hasil analisis wilcoson dan sign
menunjukkan statistik hitung < statistik tabel maka hipoteis alternatif (Ha)
diterima.Hasil uji Z sign 2-tailed untuk uji satu sisi adalah 0.012 maka
29
probabilitas menjadi (0,006 < 0.05 ). Sehingga Ha diterima artinya terknik
restrukturisasi kognitif efektif mereduksi kecemasan menghadapi tes.
Dengan demikian teknik restrukturisasi kognitif efektif mereduksi
kecemasan tingkat kecemasan saat menghadapi tes pada siswa kelas VIII
Madrasah Tsanawiyah Negeri Sidoardjo.
Kesamaan penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti adalah pada varaibel X (variabel bebas),
menggunakan teknik restrukturisasi kognitif, dan perbedaannya terletak
pada variabel Y (Variabel terikat).
E. Kerangka berpikir
Sekaran (dalam Sugiyono; 2016:91) mengemukakan bahwa kerangka
berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan
dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting.
Kerangka berpikir yang baik akan menjelaskan secara teoritis pertautan
antara variabel yang akan diteliti. Jadi, secara teoritis perlu dijelaskan
hubungan antar variabel independen dan dependen.
Berdasarkan pendapat ahli di atas dan landasan teori yang telah
dikemukakan, maka dapat disusun suatu kerangka pemikiran sebagai berikut :
30
Nursalim (2014:33-35)
Nursalim (2014:33-35) Semiun (2006:321-325)
F. Hipotesis penelitian
Menurut Sedarmayanti & Hidayat (2011 : 108)
hipotesis adalah asumsi atau perkiraan atau dugaan sementara mengenai suatu
hal atau permasalahan yang harus dibuktikan kebenarannya dengan
menggunakan data atau fakta atau informasi yang dapat diperoleh dari hasil
penelitian yang valid dan reliabel dengan menggunakan cara yang sudah
ditentukan”.
Lebih lanjut Sedarmayanti & Hidayat membagi hipotesis menjadi dua
jenis sebagai berikut :
a. Hipotesis nol, yaitu hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan
antara satu variabel dengan variabel lainnya. Dalam penulisan hipotesis ini
dituliskan dengan simbol “Ho”
b. Hipotesis alternatif atau hipotesis kerja yaitu hipotesis yang menyatakan
adanya hubungan antar variabel. Dalam penulisan hipotesis ini ditulis
dengan “Ha”
Berdasarkan pendapat ahli di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
Variabel X (Variabel bebas)
Teknik Restrukturisasi kognitif:
Tahap-tahapnya :
1.Rasional
2.Analisis
3. Pengenalan dan latihan CT
4.Pindah dari pikiran negatif ke CT
5. Pengenalan dan latihan penguat
positif
Variabel Y (Variabel terikat)
Kecemasan Sosial :
1. Takut
2. Khawatir
3. Gugup
4. Malu
5. Menghindar
6. Tidak percaya diri
31
1) Hipotesis Nol (Ho): teknik restrukturisasi kognitif melalui bimbingan
kelompok tidak efektif menurunkan kecemasan sosial warga asrama
Stella Maris Naikoten 2 Kupang tahun 2018.
2) Hipotesis Alternatif (Ha): teknik restrukturisasi kognitif melalui
bimbingan kelompok efektif menurunkan kecemasan sosial warga
asrama Stella Maris Naikoten 2 Kupang tahun 2018.