bab ii tinjauan pustaka - repository.unwira.ac.idrepository.unwira.ac.id/4104/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ketelitian (Accuracy)
2.1.1 Pengertian ketelitian
Ketelitian adalah kecermatan atau keseksamaan seseorang dalam melakukan
sesuatu (KBI Kontemporer, 2002 : 1571). Ketelitian juga merupakan kesesuaian dari
suatu data yang diukur secara berulang. Ketelitian memiliki pengaruh tertentu
terhadap hasil belajar individu. Persentase ketelitian siswa diukur melalui tes
ketelitian yaitu dengan memberikan jenis-jenis tes ketelitian dalam lembar portofolio
( KBBI, 1996).
Ketelitian adalah hal yang dibutuhkan oleh seluruh manusia untuk menjalankan
aktifitas sehari-hari. Penurunan ketelitian dapat mengakibatkan seseorang
memperoleh hasil prestasi belajar yang buruk (Prayudi dalam Hidayati, 2007 : 1).
Menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (2002 : 1571), teliti berarti cermat ;
seksama.
Ketelitian sangat penting dalam melakukan pekerjaan. Ketelitian pada dasarnya
merupakan ketepatan dalam melakukan suatu pekerjaan. Ketelitian menunjukan
gerakan yang memerlukan pengawasan terus-menerus. Hal ini berkaitan dengan
jumlah kesalahan yang dilakukan. Ketelitian ini dapat mengukur hasil aktivitas yang
dihasilkan oleh gerakan-gerakan tubuh. Berkurangnya ketelitian dapat menurunkan
kualitas hasil kerja, bahkan dalam beberapa kasus telah menyebabkan kecelakaan
(Oborne dalam Hidayati, 2007 : 2).
Ketelitian dan kejelian sangat dibutuhkan oleh seseorang yang akan bekerja
disebuah perusahaan atau instansi, dimana ketika seseorang memiliki ketelitian dan
kejelian yang tinggi, maka ia akan dengan mudah menangkap, mencerna, dan
14
menerjemahkan berbagai instruksi, petunjuk, perintah ditempat ia bekerja. Untuk
mengukur kecermatan dan kejelian seseorang terhadap suatu hal maka digunakanlah
tes ketelitian, dimana tes ketelitian ini merupakan salah satu komponen penting dalam
psikotes karena tes ketelitian ini sendiri bertujuan untuk menguji kecermatan atau
kejelian seseorang terhadap sesuatu hal. Tes ketelitian sendiri sudah banyak
digunakan oleh perusahaan, lembaga ataupun instansi dalam menyeleksi calon SDM
(Sarwadi, dkk. 2015 : 391).
2.1.2 Ciri-ciri Ketelitian
Adapun ciri-ciri orang yang memiliki ketelitian antara lain :
1) Menghitung problem aritmatika dengan cepat di luar kepala.
2) Menikmati penggunaan bahasa komputer atau program logika.
3) Suka menanyakan pertanyaan logis.
4) Menjelaskan masalah secara logis.
5) Merancang eksperimen untuk menguji hal-hal yang tidak dimengerti.
6) Mudah memahami sebab akibat.
7) Seseorang dengan kecerdasan matematis logis yang tinggi biasanya memiliki
ketertarikan terhadap angka-angka, menikmati ilmu pengetahuan, mudah
mengerjakan matematika dalam benaknya.
8) Dia juga suka memecahkan misteri, senang menghitung, suka membuat
perkiraan, menerka jumlah (seperti menerka jumlah uang logam dalam sebuah
wadah), mudah mengingat angka-angka serta skor-skor, menikmati permainan
yang menggunakan strategi seperti catur atau games strategi, memperhatikan
antara perbuatan dan akibatnya (yang dikenal dengan sebab-akibat).
9) Senang menghabiskan waktu dengan mengerjakan kuis asah otak atau teka-teki
logika, senang menemukan cara kerja komputer, senang mengelola informasi
15
kedalam tabel atau grafik dan mereka mampu menggunakan komputer lebih dari
sekedar bermain games.
10) Orang yang mempunyai ketelitiannya tinggi sangat mudah membuat klasifikasi
dan kategorisasi, dalam pemikiran serta cara mereka bekerja.
11) Dalam menghadapi banyak persoalan, dia akan mencoba mengelompokkannya
sehingga mudah dilihat mana yang pokok dan mana yang tidak, mana yang
berkaitan antar satu dan yang lain, serta mana yang merupakan persoalan lepas.
12) Mereka juga dengan mudah membuat abstraksi dari suatu persoalan yang luas
dan bermacam-macam sehingga dapat melihat inti persoalan yang dihadapi
dengan jelas (Nelvin, 2016 : 22).
Pemikiran orang yang teliti adalah induktif dan deduktif. Jalan pikirannya
bernalar dan dengan mudah mengembangkan pola sebab akibat. Bila menghadapi
persoalan, ia akan lebih dahulu menganalisanya secara sistematis, baru kemudian
mengambil langkah untuk memecahkannya. Biasanya orang yang menonjol dalam
inteligensi ini dapat menjadi organisator yang baik. Peserta didik yang mempunyai
ketelitian menonjol biasanya mempunyai nilai perhitungan yang baik, jalan
pikirannya bila bicara dan memecahkan persoalan logis, pikirannya rasional. Ia suka
belajar dengan skema, bagan, dan tidak begitu suka bacaan yang panjang kalimatnya.
Ia dengan mudah mengerti isi buku bila ada skema dan bagan di dalamnya. Dengan
melihat pekerjaan peserta didik dalam hal sains, seorang guru dengan cepat dapat
mengetahui peserta didik mana yang mempunyai ketelitian lebih menonjol
dibandingkan yang lain (Nelvin, 2017 : 22).
16
2.1.3 Faktor yang mempengaruhi Ketelitian
Ketelitian dipengaruhi oleh kecepatan mata untuk melihat suatu obyek dan
memfokuskan kepada obyek yang penting. Selain itu, ketelitian juga dipengaruhi
keadaan dari korteks bagian parietal terutama area kalkarina lobus okspital yang
menerima dan menginterpretasi semua obyek yang dilihat oleh mata. (Slameto dalam
Hidayati, 2007 : 2).
Obyek yang dapat digunakan untuk mengukur ketelitian seseorang sangat
beragam meliputi bentuk, warna, angka, huruf dan kata. Akan tetapi dari semua obyek
tersebut, angka dan kata merupakan suatu hal yang paling mendasar yang dimiliki
seseorang. Angka dan kata termasuk kedalam kemampuan intelektual umum yang
merupakan elemen intelegensi yang terpenting dan setiap ndividu berbeda dalam
kuantitas yang dimilikinya. (Spearman dalam Nurfaizah, 2007).
Ketelitian umumnya memerlukan pengawasan yang terus-menerus dari mata,
sehingga pada proses ketelitian kerja yang banyak berpengaruh adalah mata sebagai
penerima berita atau obyek. Ketelitian pada manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor
di antaranya adalah konsentrasi, tingkat pendidikan, faktor persiapan, kesehatan, usia,
asupan makanan maupun obat-obatan dan kesehatan.
Salah satu faktor yang berpengaruh untuk memperbaiki ketelitian adalah
makanan. Asupan makanan yang berpengaruh pada ketelitian adalah glukosa karena
otak manusia membutuhkan 65% glukosa dari total glukosa darah agar dapat
memenuhi metabolismenya. Ketika otak dapat memenuhi metabolismenya dengan
baik, maka ketelitian dapat meningkat (Guyton dalam Hidayati, 2007:1). Selain itu
glukosa juga dapat meningkatkan serotonin yang dapat meningkatkan mood. Ketika
mood seseorang meningkat, maka ketelitian orang tersebut akan menigkat juga. Hal
ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa ketika mood
17
seseorang buruk, maka ketelitian akan menurun (Ottaviani dalam Hidayati, 2007 : 1)
dan ketika mood baik maka ketelitian akan meningkat (Grawitch, dkk dalam Hidayati,
2007 : 2).
2.2 Motivasi intrinsik
2.2.1 Pengertian Motivasi
Istilah Motivasi (motivation) berasal dari bahasa latin, yakni “Movere” yang
berarti “menggerakkan” (Winardi dalam Danarjati,dkk, 2014:28). Menurut sardiman
(Danarjati,dkk, 2014 : 28), motivasi adalah perubahan energi diri seseorang yang
ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap
adanya tujuan. Swanburg (Danarjati,dkk, 2014 : 28), mendefenisikan motivasi sebagai
konsep yang menggambarkan baik kondisi ekstrinsik yang merangsang perilaku
tertentu dan respon intrinsik yang menampakkan perilaku manusia.
Motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan
atau mencapai sesuatu tujuan. Motivasi juga bisa dikatakan sebagai rencana atau
keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan hidup. Dengan kata
lain, motivasi adalah sebuah proses untuk tercapainya suatu tujuan. Seseorang yang
mempunyai motivasi berarti ia telah mempunyai kekuatan untuk memperoleh
kesuksesan dalam kehidupan.
Menurut Gray (Winardi dalam Danarjati,dkk, 2014 : 28), motivasi merupakan
sejumlah proses yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu, yang
menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi dalam hal melaksanakan
kegiatan-kegiatan tertentu.
Menurut Vroom, motivasi mengacu kepada suatu proses mempengaruhi pilihan-
pilihan individu terhadap bermacam-macam bentuk kegiatan yang dikehendaki.
Kemudian Jhon P. Champbell dan kawan-kawan menambahkan rincian dalam
18
defenisi tersebut dengan mengemukakan bahwa motivasi mencakup didalamnya arah
atau tujuan tingkah laku, kekuatan respons, dan kegigihan tingkah laku. Di samping
itu, istilah itupun mencakup sejumlah konsep seperti dorongan (drive), kebutuhan
(need), ransangan (incentive), ganjaran (reward), penguatan (reinforcement),
ketepatan tujuan (goal setting), harapan (expectancy), dan sebagainya (Purwanto,
2011 : 72).
Dari beberapa pengertian motivasi menurut para ahli yang telah dipaparkan
diatas, maka dapat disimpulkan motivasi adalah keinginan, dorongan yang timbul
pada diri seseorang baik secara sadar maupun tidak sadar untuk melakukan sesuatu
perbuatan dengan tujuan tertentu atau motivasi dapat diartikan sebagai usaha-usaha
yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak untuk
melakukan sesuatu karena ingin mendapat kepuasan atau tujuan yang dikehendaki
dengan perbuatannya itu (KBI Kontemporer, 2002 :997).
2.2.2 Jenis-jenis Motivasi
Menurut Djamarah (Danarjati,dkk 2014:34), motivasi terbagi menjadi dua jenis,
yaitu :
1. Motivasi intrinsik
Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak
perlu di rangsang dari luar karena dari setiap diri individu sudah ada dorongan
untuk melakukan sesuatu.
2. Motivasi ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya
perangsang atau pengaruh dari orang lain sehingga seseorang berbuat sesuatu
(Djamarah dalam Danarjati,dkk, 2014 : 35).
19
2.2.3 Teori Motivasi
Beberapa teori motivasi yang akan dibahas antara lain :
1. Teori Hedonisme
Hedonisme dalam bahasa Yunani artinya kesukaan, kesenangan, atau
kenikmatan. Hedonisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang memandang bahwa
tujuan hidup yang utama pada manusia adalah mencari kesenangan (hedone) yang
bersifat duniawi.
Menurut pandangan hedonisme, manusia pada hakikatnya adalah makhluk
yang mementingkan kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Oleh
karena itu, setiap menghadapi persoalan yang perlu pemecahan, manusia
cenderung lebih memilih alternatif pemecahan yang dapat mendatangkan
kesenangan daripada yang mengakibatkan kesukaran, kesulitan, penderitaan, dan
sebagainya (Purwanto, 2011 : 74)
Implikasi dari teori ini adalah adanya anggapan bahwa semua orang akan
cenderung menghindari hal-hal yang sulit dan menyusahkan, atau yang
mengandung resiko berat, dan lebih suka melakukan sesuatu yang mendatangkan
kesenangan baginya. Misalnya, siswa disuatu kelas merasa gembira dan bertepuk
tangan mendengar pengumuman dari kepala sekolah bahwa guru matematika
mereka tidak dapat mengajar karena sakit.
2. Teori Kebutuhan
Teori ini beranggapan bahwa tindakan yang dilakukan oleh manusia pada
hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan fisik maupun
kebutuhan psikis. Banyak ahli psikologi yang telah berjasa merumuskan
kebutuhan-kebutuhan manusia ditinjau dari sudut psikologi, salah satu pakar
psikologi yaitu Maslow. Maslow mengemukakan adanya lima tingkatan kebutuhan
20
pokok manusia. Kelima tingkatan kebutuhan pokok inilah yang kemudian
dijadikan pengertian kunci dalam mempelajari motivasi manusia. Adapun kelima
tingkatan kebutuhan pokok yang dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Kebutuhan fisiologis
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan dasar yang bersifat primer dan vital yang
menyangkut fungsi-fungsi biologis dasar dari organisme manusia seperti
kebutuhan akan pangan, sandang, da papan, kesehatan fisik, dan sebagainya.
b. Kebutuhan rasa aman dan perlindungan (safety and security)
Kebutuhan ini seperti terjamin keamanannya, terlindung dari bahaya dan
ancaman penyakit, perang, kemiskinan, kelaparan, perlakuan tidak adil, dan
sebagainya.
c. Kebutuhan sosial (social needs)
Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan dicintai, diperhitungkan sebagai pribadi,
diakui sebagai anggota kelompok, rasa setia kawan, dan kerjasama.
d. Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs)
Kebutuhan ini mencakup kebutuhan dihargai karena prestasi, kemampuan,
kedudukan atau status, pangkat, dan sebagainya.
e. Kebutuhan akan aktualisasi diri (self actualization)
Kebutuhan ini seperti kebutuhan mempertinggi potensi-potensi yang dimiliki,
pengembangan diri secara maksimum, kreativitas, dan ekspresi diri (Purwanto,
2011 : 77).
21
2.2.4 Fungsi Motivasi
Menurut Notoatmodjo (Danarjati,dkk, 2014 : 38), motivasi memiliki tiga fungsi
yaitu :
1. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang
melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap
kegiatan yang akan dikerjakan.
2. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan
demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan
sesuai dengan rumusan tujuan yang sudah direncanakan sebelumnya.
3. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus
dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-
perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Pilihan perbuatan yang
sudah ditentukan atau dikerjakan akan memberikan kepercayaan diri yang tinggi
karena sudah melakukan proses penyelesaian.
2.2.5 Pengertian Motivasi Intrinsik
Suwatno (jurnal “Pengaruh Motivasi intrinsik dan lingkungan kerja terhadap
kinerja karyawan pada PT Intimas Lestari Nusantara”) menyatakan motivasi intrinsik
adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari
luar karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu.
Husani Usman (jurnal “Pengaruh Motivasi intrinsik dan lingkungan kerja terhadap
kinerja karyawan pada PT Intimas Lestari Nusantara”) mendefenisikan motivasi
intrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam diri sendiri.
22
Motivasi intrinsik yaitu motivasi yang datangnya secara alamiah atau murni dari
diri peserta didik itu sendiri sebagai wujud adanya kesadaran diri (self awareness) dari
lubuk hati yang paling dalam. (Hanafiah Nanang dan cucu Suhana 2009 : 26).
Menurut Singgih (2008 : 50), motivasi intrinsik merupakan dorongan yang kuat
berasal dari dalam diri seseorang. John W. Santrock (2003 : 476) mengatakan
motivasi intrinsik adalah keinginan dari dalam diri seseorang untuk menjadi kompeten
dan melakukan sesuatu demi usaha itu sendiri.
Menurut Djamarah (Danarjati,dkk, 2014 : 34), Motivasi intrinsik adalah motif-
motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu di rangsang dari luar karena
dari setiap diri individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan motivasi intrinsik adalah
motivasi yang kuat berasal dari dalam diri individu tanpa adanya pengaruh dari luar
yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu kegiatan. Semakin kuat motivasi
intrinsik yang dimiliki, semakin memperlihatkan tingkah laku yang kuat untuk
mencapai tujuan (Singgih, 2008 :50).
2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi intrinsik
Menurut Taufik (Danarjati,dkk, 2014 : 35), faktor-faktor yang mempengaruhi
motivasi intrinsik yaitu :
1. Kebutuhan (need)
Seseorang melakukan aktivitas/kegiatan karena adanya faktor-faktor kebutuhan
baik biologis maupun psikologis.
2. Harapan (Expectancy)
Seseorang dimotivasi oleh karena keberhasilan dan adanya harapan keberhasilan
bersifat pemuasan diri seseorang, keberhasilan dan harga diri meningkat dan
menggerakkan seseorang ke arah pencapaian tujuan.
23
3. Minat
Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keinginan pada suatu hal tanpa ada
yang menyuruh.
2.3 Hasil Belajar
2.3.1 Belajar
2.3.1.1 Pengertian Belajar
Belajar merupakan kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar.
Apa yang sedang terjadi dalam diri seseorang yang sedang belajar tidak dapat
diketahui secara langsung hanya dengan mengamati orang itu. Bahkan hasil
belajar orang itu tidak langsung kelihatan tanpa orang itu melakukan sesuatu yang
menampakkan kemampuan yang telah diperoleh melalui belajar.
Kemampuan manusia untuk belajar merupakan karakteristik penting yang
membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Belajar mempunyai
keuntungan, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Keuntungan bagi
individu, yaitu kemampuan untuk belajar secara terus-menerus akan memberikan
kontribusi terhadap pengembangan kualitas hidupnya dan keuntungan bagi
masyarakat antara lain belajar mempunyai peran yang penting dalam
mentransmisikan budaya dan pengetahuan dari generasi ke generasi (Bell-Gredler
dalam Baharuddin-Wahyuni, 2015 :13).
Secara etimologis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, belajar adalah
berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Defenisi ini memiliki pengetian
bahwa belajar adalah sebuah kegiatan untuk mencapai kepandaian atau ilmu.
Usaha untuk mencapai kepandaian atau ilmu merupakan usaha manusia untuk
memenuhi kebutuhannya mendapatkan ilmu atau kepandaian yang belum dimiliki
24
sebelumnya, sehingga dengan belajar maka manusia menjadi tahu, memahami,
mengerti, dapat melaksanakan dan memiliki tentang sesuatu (Fudyartanto dalam
Baharuddin-Wahyuni, 2015 :15).
Defenisi etimologis diatas mungkin sangat singkat dan sederhana sehingga
masih diperlukan penjelasan terminologis mengenai defenisi belajar yang lebih
mendalam. Dalam hal ini, banyak ahli yang mengemukakan pengertian belajar.
Pertama, Cronbach (Baharuddin-Wahyuni, 2015 :16). Menurut Cronbach,
“learning is shown by change in behavior as result of experience”. Artinya,
Belajar yang terbaik adalah melalui pengalaman. Dengan pengalaman tersebut,
pelajar menggunakan seluruh pancainderanya. Kedua, Morgan dan kawan-kawan
(Baharuddin-Wahyuni, 2015 :16), menyatakan bahwa belajar adalah perubahan
tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman.
Pernyataan Morgan dan kawan-kawan ini senada dengan apa yang dikemukakan
para ahli yang menyatakan bahwa belajar merupakan proses yang dapat
menyebabkan perubahan tingkah laku disebabkan adanya reaksi terhadap sesuatu
situasi tertentu atau adanya proses internal yang terjadi didalam diri seseorang.
Perubahan ini tidak terjadi karena adanya warisan genetik atau respons secara
alamiah, kedewasaan, atau keadaan organisma yang bersifat temporer seperti
kelelahan, pengaruh obat-obatan, rasa takut, dan sebagainya melainkan perubahan
dalam pemahaman, perilaku, persepsi, motivasi atau gabungan dari semuanya
(Soekamto dan Winataputra dalam Baharuddin-Wahyuni, 2015 :16).
Belajar sebagai proses yang kompleks, juga dikemukakan oleh Gredler
(Baharuddin-Wahyuni, 2015 :17) dalam bukunya Learning and instruction :
Teori dan aplikasi. Ia menyatakan bahwa belajar (learning) adalah proses
multisegi yang biasanya dianggap sesuatu yang biasa saja oleh individu sampai
25
mereka mengalami kesulitan saat menghadapi tugas yang kompleks. Akan tetapi,
kapasitas belajar ini menjadi karakteristik yang membedakan manusia dari
makhluk lainnya. Hanya manusia yang memiliki otak untuk berkembang baik
untuk digunakan melakukan tindakan yang memiliki tujuan. Diantara
kemampuan itu adalah mengidentifikasi objek, merancang tujuan, menyusun
rencana, mengorganisasikan sumber daya, dan memonitor konsekuensi.
Dari berbagai defenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu
kegiatan atau usaha untuk mencapai tujuan tertentu, dimana belajar sendiri
merupakan sebuah aktivitas mental/psikis untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan
lingkungan yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotor.
2.3.1.2 Ciri-Ciri Belajar
Dari beberapa defenisi para ahli diatas, dapat disimpulkan adanya beberapa
ciri belajar, yaitu sebagai berikut (Baharuddin-Wahyuni, 2015 :18):
1. Belajar ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku (change behavior).
Artinya bahwa hasil dari belajar hanya dapat diamati dari tingkah laku, yaitu
adanya perubahan tingkah laku, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak
terampil menjadi terampil. Tanpa mengamati tingkah laku hasil belajar, kita
tidak akan mengetahui ada tidaknya hasil belajar.
2. Perubahan perilaku relatif permanent. Artinya bahwa perubahan tingkah laku
yang terjadi karena belajar untuk waktu tertentu akan tetap atau tidak berubah-
berubah, tetapi perubahan tingkah laku tersebut tidak akan terpancung seumur
hidup.
26
3. Perubahan tingkah laku tidak harus segera dapat diamati pada saat proses
belajar sedang berlangsung, sebab perubahan perilaku tersebut bersifat
potensial.
4. Perubahan tingkah laku merupakan hasil latihan atau pengalaman.
5. Pengalaman atau latihan itu dapat memberi penguatan. Sesuatu yang
memperkuat itu akan memberikan semangat atau dorongan untuk mengubah
tingkah laku.
2.3.1.3 Tujuan Belajar
Menurut Suprijono (Thobroni, 2016 :20), tujuan belajar yang eksplisit
diusahakan untuk mencapai dengan tindakan instruksional yang dinamakan
instructional effects, yang biasanya berbentuk pengetahuan dan ketrampilan.
Sedangkan, tujuan belajar sebagai hasil yang menyertai tujuan belajar
instruksional disebut nurturant effects. Bentuknya berupa kemampuan berpikir
kritis dan kreatif, sikap terbuka dan demokratis, menerima orang lain, dan
sebagainya. Tujuan ini merupakan konsekuensi logis dari peserta didik
“menghidupi” (live in) suatu sistem lingkungan belajar tertentu.
2.3.2 Hasil Belajar
2.3.2.1 Pengertian hasil belajar
Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang
membentuknya yaitu “hasil” dan “belajar”. Hasil adalah suatu perolehan akibat
dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang mengakibatkan berubahnya input
secara fungsional (Purwanto,2013:44). Sedangkan belajar adalah perubahan
tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan
individu dan individu dengan lingkungannya. (Aunuhrrahman, 2011:35).
27
Menurut Winkel (dalam Purwanto, 2011:45), hasil belajar adalah perubahan
yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya.
Soedijarto mendefenisikan hasil belajar sebagai tingkat penguasaan yang
dicapai oleh siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan
pendidikan yang ditetapkan (Soedijarto, 1993:49).
Hasil belajar adalah perubahan perilaku siswa akibat belajar. Perubahan
perilaku disebabkan karena dia mencapai penguasaan atas sejumlah bahan yang
diberikan dalam proses belajar mengajar. Pencapaian itu didasarkan atas tujuan
pengajaran yang telah ditetapkan. Hasil itu dapat berupa perubahan dalam aspek
kognitif, afektif maupun psikomotorik (Purwanto, 2013:46).
Gagne menyimpulkan ada lima macam hasil belajar yaitu (Thobroni, 2016
: 20):
1. Informasi verbal, yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk
bahasa, baik lisan maupun tertulis.
2. Keterampilan intelektual, yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan
lambang. Ketrampilan intelektual merupakan kemampuan melakukan aktivitas
kognitif bersifat khas.
3. Strategi kognitif, yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas
kognitifnya. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam
memecahkan masalah.
4. Ketrampilan motorik, yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani
dalam urusan dan koordinasi sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.
5. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian
terhadap objek tersebut. Sikap merupakan kemampuan menjadikan nilai-nilai
sebagai standar perilaku.
28
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan
perilaku secara keseluruhan, bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan
saja. Artinya, hasil pembelajaran yang dikategorisasikan oleh para pakar
pendidikan sebagaimana disebutkan diatas tidak dilihat secara fragmentaris atau
terpisah tetapi secara komprehensif (Thobroni, 2016 :20).
2.3.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar
Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dibedakan atas
dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kedua faktor tersebut
saling mempengaruhi dalam proses belajar individu sehingga menentukan
kualitas hasil belajar siswa (Baharuddin-Wahyuni, 2015 :23).
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari diri individu dan
dapat mempengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor tersebut meliputi
faktor fisiologis dan psikologis.
a. Faktor Fisiologis
Faktor-faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan
kondisi fisik individu. Secara umum, kondisi fisiologis seperti kesehatan
yang prima, tidak dalam keadaan lelah dan capek, tidak dalam keadaan
cacat jasmani, dan sebagainya. Semuanya akan membantu dalam proses dan
hasil belajar. Misalnya, siswa yang kekurangan gizi ternyata kemampuan
belajarnya berada dibawah siswa-siswa yang tidak kekurangan gizi sebab
mereka yang kekurangan gizi pada umumnya cenderung cepat lelah dan
capek, cepat ngantuk dan akhirnya tidak mudah dalam menerima pelajaran.
Demikian juga kondisi saraf pengontrol kesadaran dapat berpengaruh
pada proses dan hasil belajar. Misalnya, seseorang yang minum minuman
29
keras akan kesulitan untuk melakukan proses belajar karena syaraf
pengontrol kesadarannya terganggu. Bahkan perubahan tingkah laku akibat
pengaruh minuman keras tersebut, tidak bisa dikatakan perubahan tingkah
laku hasil belajar.
Disamping kondisi-kondisi diatas, perlu diperhatikan juga kondisi
pancaindera. Aminuddin Rasyad (Munadi, 2010 :26) mengatakan bahwa
pancaindera merupakan pintu gerbang ilmu pengetahuan. Artinya, kondisi
pancaindera tersebut akan memberikan pengaruh pada proses dan hasil
belajar (Munadi, 2010 :24).
b. Faktor Psikologis
Faktor kedua dari faktor internal adalah faktor psikologis. Setiap
manusia atau anak didik pada dasarnya memiliki kondisi psikologis yang
berbeda-beda. Adapun beberapa faktor psikologis yang dapat diuraikan
diantaranya meliputi intelegensi, perhatian, minat dan bakat, motif dan
motivasi, serta kognitif dan daya nalar (Munadi, 2010 :26).
1) Intelegensi
C.P. Chaplin (Munadi, 2010 : 26) mengartikan intelegensi sebagai :
a) Kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi
baru secara cepat dan efektif.
b) Kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif.
c) Kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat
sekali.
30
Ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Proses belajar mmerupakan proses yang kompleks, maka aspek
intelegensi ini tidak dapat menjamin hasil belajar seseorang karena
intelegensi hanya sebuah potensi. Artinya, seseorang yang memiliki
intelegensi tinggi mempunyai peluang besar untuk memperoleh hasil
belajar yang lebih baik.
2) Perhatian
Perhatian adalah keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa semata-mata
tertuju kepada suatu obyek ataupun sekumpulan obyek (Slameto dalam
Munadi, 2010 : 27). Untuk dapat menjamin hasil belajar yang baik,
maka siswa harus dihadapkan pada obyek-obyek yang dapat menarik
perhatian siswa, sebab jika tidak maka perhatian siswa tidak akan
terarah atau fokus pada obyek yang sedang dipelajarinya.
3) Minat dan bakat
Hilgard (Slameto dalam Munadi, 2010 : 27) mengartikan minat
sebagai kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan
mengenang beberapa kegiatan.
Bakat adalah kemampuan untuk belajar. Kemampuan ini baru akan
terealisasi menjadi kecakapan yang nyata setelah melalui belajar dan
berlatih. Seseorang biasanya memiliki kecenderungan yang tetap untuk
memperhatikan bakatnya. Oleh karena itu, beruntung sekali bagi
seseorang yang menyadari bahwa dirinya memiliki bakat dibidang-
bidang tertentu, karena ia akan terus mengembangkannya melalui
latihan dan belajar.
31
4) Motif dan motivasi
Kata motif sering digunakan untuk menunjukkan tindakan atau
aktivitas seseorang, contohnya, apa motif anak itu pergi ke sekolah?
atau mengapa seorang siswa mengerjakan pekerjaan rumahnya?, dan
seterusnya. Kata Motif diartikan sebagai daya upaya yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu (Sardiman dalam Munadi, 2010 :
27).
Menurut Aminuddin Rasyad (Munadi, 2010 :28), dalam setiap diri
manusia pada umumnya mempunyai dua macam motif atau dorongan,
yaitu motif yang sudah ada di dalam diri yang sewaktu-waktu akan
muncul tanpa ada pengaruh dari luar, disebut intrinsic motive. Bila
motif dalam diri ini baik dan berfungsi pada setiap diri siswa, maka
tingkah laku belajarnya tidak menampakkan diri dalam bentuk aktif
serta kreatif dan apabila motif intrinsiknya kurang berfungsi maka
tingkah laku belajarnya tidak menampakkan keaktifan dan kreatif yang
berarti.
5) Kognitif dan daya nalar
Pembahasan mengenai hal ini meliputi tiga hal, yaitu:
a. Persepsi
Persepsi adalah penginderaan terhadap suatu kesan yang timbul
dalam lingkungannya. Penginderaan itu dipengaruhi oleh
pengalaman, kebiasaan dan kebutuhan. Kemampuan mempersepsi
antara siswa yang satu dengan siswa yang lain tidak sama meskipun
mereka sama-sama disekolah yang sama, bahkan kelas yang sama.
Ini ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman belajar itu sendiri,
32
dimana pengetahuan dan pengelaman akan memperkaya benaknya
dengan perbendaharaan untuk memperkuat daya persepsinya.
Semakin sering ia melibatkan diri dalam berbagai aktivitas, maka
akan semakin kuat daya persepsinya.
b. Mengingat
Mengingat adalah suatu aktivitas koognitif, dimana orang
menyadari bahwa pengetahuannya berasal dari masa lampau atau
berdasarkan kesan-kesan yang diperoleh melalui pengalamannya
dimasa lampau.
c. Berpikir
Menurut Jalaluddin Rachmat (1985 : 86) dibagi dua macam,
yaitu berpikir autistik (contohnya : melamun ; fantasi, menghayal)
dan berpikir realistik disebut juga nalar, yaitu berpikir dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dunia nyata.
2. Faktor Eksternal
Selain faktor-faktor internal, faktor-faktor eksternal juga dapat
mempengaruhi hasil belajar siswa. Faktor-faktor tersebut antara lain :
a. Faktor lingkungan
Kondisi lingkungan juga mempengaruhi proses dan hasil belajar.
Lingkungan ini dapat berupa lingkungan fisik atau alam dan dapat pula
berupa lingkungan sosial.
Lingkungan sosial baik yang berwujud manusia maupun hal-hal lainnya
juga dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar. Seringkali guru dan para
siswa yang sedang belajar didalam kelas merasa tergganggu oleh obrolan-
obrolan orang-orang yang berada diluar persis di depan kelas tersebut,
33
apalagi obrolan itu diiringi dengan gelak tawa yang keras dan teriakan.
Hiruk pikuk lingkungan sosial seperti suara mesin pabrik, lalu lintas
gemuruhnya pasar, dan lain-lain juga akan berpengaruh pada hasil belajar.
Oleh sebab itu, sekolah sebaiknya didirikan dalam lingkungan yang
kondusif untuk belajar.
b. Faktor instrumental
Faktor-faktor instrumental adalah faktor yang keberadaan dan
penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan.
Faktor-faktor instrumental ini dapat berupa kurikulum, sarana dan
fasilitas, dan guru. Berbicara kurikulum berarti bicara komponennya, yaitu
tujuan, bahan atau program, proses belajar mengajar, dan evaluasi. Kiranya
jelas faktor-faktor ini besar pengaruhnya pada proses dan hasil belajar.
Misalnya, dilihat dari sisi tujuan kurikulum dimana setiap tujuan kurikulum
merupakan pernyataan keinginan tentang hasil pendidikan. Oleh karena itu,
setiap ada perubahan tujuan kurikulum maka bisa dipastikan ada perubahan
keinginan. Bisa dipastikan juga bahwa perubahan tujuan itu akan mengubah
program atau bahan (mata pelajaran) yang akan diberikan bahkan mungkin
dengan ruang lingkupnya masing-masing dan juga pada aspek-aspek
lainnya, termasuk pada aspek sarana dan fasilitas. Demikian itu akan
berdampak pula pada kompetensi yang harus dimiliki para guru (Munadi,
2010 :33).
2.3.2.3 Indikator hasil belajar
Ketuntasan hasil belajar siswa diukur dengan tes hasil belajar. Acuan
kriteria ketuntasan yang digunakan adalah ketuntasan Depdiknas yang berlaku
bagi SMP dan SMA. Suatu indikator hasil belajar dikatakan tuntas apabila
34
proporsi P ≥ 0,75, sedangkan Tes Hasil Belajar dikatakan tuntas apabila proporsi
memenuhi kriteria ≥ 0,75, sedangkan kelas dikatakan tuntas bila 80% dari seluruh
siswa dalam kelas mencapai ≥ 0,75 (Domingga, 2017: 41).
2.3.2.4 Ketuntasan Hasil Belajar
Untuk menentukan ketuntasan belajar siswa (individual) dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan
(Trianto, 2010:241). Menurut Trianto (2010:241), penentuan ketuntasan belajar
ditentukan sendiri oleh masing-masing sekolah yang dikenal dengan istilah
Kriteria Ketuntasan Minimal, dengan berpedoman pada tiga pertimbangan, yaitu
kemampuan setiap peserta didik berbeda-beda; fasilitas (sarana) setiap sekolah
berbeda; dan daya dukung setiap sekolah berbeda.
2.4 Hubungan dan Pengaruh Ketelitian dan Motivasi Intrinsik terhadap Hasil Belajar
Ketelitian merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan seseorang untuk
melakukan pekerjaannya. Ketelitian berkaitan dengan kecermatan mengenai sesuatu.
Apabila seseorang tidak memiliki ketelitian yang baik, maka akan membuat orang
tersebut susah untuk melakukan hal-hal yang membutuhkan konsentrasi dan ketelitian
yang tinggi. Peserta didik adalah individu yang memiliki keunikan berbeda satu sama
lain dan tidak satu pun memiliki ciri-ciri persis sama meskipun mereka itu kembar.
Peserta didik yang telah memahami kekuatan dirinya akan lebih cenderung memiliki
dorongan dan minat untuk belajar secara lebih sungguh-sungguh sehingga dapat
mencapai hasil belajar yang memuaskan (Aunurrahman, 2016:134).
Di samping ketelitian, Motivasi intrinsik juga merupakan salah satu faktor internal
yang mempengaruhi hasil belajar peserta didik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang
kuat berasal dari dalam diri individu tanpa adanya pengaruh dari luar yang mendorong
35
seseorang untuk melakukan sesuatu kegiatan. Semakin kuat motivasi intrinsik yang
dimiliki, maka akan semakin memperlihatkan tingkah laku yang kuat untuk mencapai
tujuan (Singgih, 2008 :50).
Motivasi intrinsik sangat diperlukan dalam memahami suatu konsep materi,
dimana motivasi intrinsik timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan atau
dorongan orang lain melainkan atas dasar kemauan sendiri sehingga akan berdampak
positif jika siswa memiliki motivasi intrinsik yang kuat, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan hasil belajarnya. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Vreedy Frans Danar tentang hubungan antara motivasi belajar intrinsik dan ekstrinsik
siswa dengan prestasi belajar siswa, dimana hasil penelitian tersebut menunjukkan
adanya hubungan positif yang signifikan antar motivasi belajar intrinsik siswa dengan
prestasi belajar siswa.
Berdasarkan uraian di atas, ketelitian dan Motivasi intrinsik merupakan faktor
penting yang harus dimiliki oleh peserta didik untuk meningkatkan hasil belajar agar
menjadi lebih baik. Jika anak memiliki ketelitian dan Motivasi Intrinsik yang baik maka
hasil belajarnya akan baik pula. Hal tersebut dilihat dari hubungan serta pengaruh
keduanya dengan hasil belajar. Masing-masing aspek dapat meningkatkan hasil belajar
peserta didik.
2.5 Pendekatan Discovery Learning
2.5.1 Pengertian Discovery Learning
Penemuan (Discovery) merupakan suatu pendekatan yang dikembangkan
berdasarkan pandangan konstruktivisme. Pendekatan Discovery Learning lebih
menekankan pada pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide penting terhadap suatu
disiplin ilmu melalui keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran
36
(Hosnan, 2016 : 280). Jerome Bruner juga berpendapat bahwa Discovery Learning
merupakan metode belajar yang mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan dan
menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum praktis. Yang menjadikan dasar ide J.
Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif
dalam belajar dikelas. Bruner menggunakan strategi yang disebutnya Discovery
Learning, dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk
akhir (Dalyono dalam Hosnan, 2016 : 281). Strategi Discovery Learning adalah
memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai
pada suatu kesimpulan (Budiningsih dalam Hosnan, 2016 : 281). Penemuan konsep
terjadi bila konsep tidak disajikan dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan dengan
model Discovery Learning siswa mampu mengorganisasi sendiri konsep yang
diterimanya. Discovery sendiri dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran,
prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitif process, sedangkan
discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and principles
in the mind (Malik dalam Hosnan 2016 : 281).
Selain Hosnan dan Bruner, Wilcox juga berpendapat bahwa dalam pembelajaran
dengan penemuan, siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan
aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong
siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan
mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri (Slavin dalam Hosnan,
2016 : 281). Selanjutnya Bell (1978) mengatakan bahwa belajar penemuan adalah
belajar yang terjadi sebagai hasil dari siswa memanipulasi, membuat struktur dan
mentransformasikan informasi sedemikian sehingga ia menemukan informasi baru.
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
Discovery Learning adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk mengembangkan
37
cara belajar siswa agar aktif untuk menemukan sendiri, menyelidiki sendiri sehingga
hasil yang diperoleh tidak akan mudah dilupakan siswa dan siswa juga dilatih belajar
berpikir analisis dan mencoba memecahkan sendiri masalah yang dihadapi dan guru
memotivasi siswa agar memiliki pengalaman dan melakukan eksperimen dengan
memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip atau konsep-konsep bagi diri
mereka sendiri (Hosnan, 2016 : 281).
2.5.2 Karakteristik pendekatan Discovery Learning
Ciri utama dari Discovery Learning, yaitu :
1. Mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan
dan menggeneralisasi pengetahuan.
2. Berpusat pada siswa.
3. Kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah
ada (Hosnan, 2016 : 284).
Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori
konstruktivisme, yaitu sebagai berikut :
1. Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada siswa.
2. Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai.
3. Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil.
4. Mendorong siswa untuk mampu melakukan penyelidikan.
5. Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar.
6. Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa.
7. Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa.
8. Mendasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip kognitif.
38
9. Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses
pembelajaran; seperti predeksi, inferensi, kreasi, dan analisis.
10. Menekankan pentingnya “bagaimana” siswa belajar.
11. Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa
lain dan guru.
12. Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif.
13. Menekankan pentingnya konteks dalam belajar.
14. Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar.
15. Memberikan ksempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan
pemahaman baru yang didasari pada pengalaman nyata (Hosnan, 2016 : 284).
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme tersebut, penerapannya dalam
kelas yaitu sebagai berikut :
1. Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar.
2. Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa
waktu kepada siswa untuk merespons.
3. Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi.
4. Siswa terlibat secara aktif dalam bidang atau diskusi dengan guru atau siswa
lainnya.
5. Siswa terlibat dalam pengetahuan yang mendorong dan menantang terjadinya
diskusi.
6. Guru menggunakan data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi
interaktif (Hosnan, 2016 : 285).
39
2.5.3 Teori yang melandasi pembelajaran Discovery Learning
Adapun teori-teori yang melandasi pembelajaran Discovery Learning, yaitu :
1. Teori Konstruktivisme
Teori ini merupakan dasar teori pendekatan Discovery Learning, dimana
dalam teori ini dikatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-
aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi disesuaikan.
Adapun bagi siswa, agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan
pengetahuan, harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu
untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.
Dalam teori kontruktivisme, satu prinsip paling penting dalam psikologi
pendidikan adalah guru tidak hanya sekedar memberi pengetahuan kepada siswa
tetapi siswa harus membangun sendiri pengetahuan didalam benaknya (Trianto,
2007 : 13).
2. Teori Piaget
Teori perkembangan piaget mewakili kontruktivisme, dimana pada teori ini
memandang bahwa perkembangan kognitif sebagai suatu proses yang mana anak
secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui
pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka (Trianto, 2007 : 14).
Menurut piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang baru
dilahirkan sampai menginjak usia dewasa akan mengalami empat tingkat
perkembangan kognitif, antara lain : sensori motor (usia 0-2 tahun), pra-
operasional (usia 2-7 tahun), operasional konkrit (usia 7-11 tahun), operasional
formal (usia 11-dewasa). Perkembangan kognitif sebagian besar bergantung pada
sebagian besar anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan
40
lingkungannya. Penggunaan operasional formal bergantung pada keakraban
dengan subyek tertentu. Apabila siswa akrab dengan suatu subyek tertentu, maka
kemungkinan besar menggunakan operasional formal (Trianto, 2007 : 16).
Perkembangan kognitif bukan merupakan akumulasi dari kepingan informasi
terpisah, tetapi lebih merupakan pengkonstruksian oleh siswa tentang suatu
kerangka mental untuk memahami lingkungan mereka.
Teori ini mendukung teori belajar Discovery, dikarenakan dalam tahap
perkembangan anak akan memperoleh informasi baru dari pengalaman dan
lingkungan tempat ia berada.
3. Teori John Dewey
Menurut Dewey, metode reflektif dalam memecahkan masalah, yaitu suatu
proses berpikir aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berpikir kearah kesimpulan-
kesimpulan yang defenitif menurut langkah-langkah yang mirip penelitian ilmiah
(Trianto, 2007 : 18). Langkah-langkah penelitian ilmiah inilah yang menjadi
dasar penemuan suatu informasi baru. Adapun langkah-langkahnya adalah
sebagai berikut :
a. Siswa mengenali masalah. Masalah tersebut datang dari luar diri siswa.
b. Siswa akan menyelidiki dan menganalisa kesulitannya dan menentukan
masalah yang dihadapinya.
c. Menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya itu satu sama lain dan
mengumpulkan berbagai kemungkinan guna memecahkan masalah tersebut.
d. Menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis dengan akibatnya masing-
masing.
e. Mencoba mempraktekan salah satu kemungkinan pemecahan yang
dipandangnya terbaik. Hasilnya akan membuktikan betul atau tidak
41
pemecahan masalah itu. Jika pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat,
maka akan dicobanya kemungkinan yang lain sampai ditemukan pemecahan
masalah yang tepat (Trianto, 2007 : 18).
4. Teori Brunner
Brunner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian
pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberi hasil yang
paling baik.
Brunner menyarankan agar siswa hendaknya belajar melalui partisipasi secara
aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, agar mereka dianjurkan untuk
memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang
mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri (Trianto, 2007 :
26).
Teori ini sangat berpengaruh dan dianggap sebagai teori pendekatan
instruksional kognitif dan pendekatan ini dikenal dengan belajar penemuan
(Discovery Learning).
5. Teori Vygostsky
Menurut vygostsky, proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja
menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas tersebut masih berada
dalam jangkauan mereka (Trianto, 2007 : 26). Teori ini menjadi salah satu dasar
teori pendekatan Discovery Learning karena menurut teori ini, setiap masalah
yang dihadapi anak harus bekerja mencari informasi dalam menyelesaikan atau
memecahkan masalah tersebut. Penemuan informasi dalam memecahkan masalah
tersebut akan menjadi pembelajaran bagi anak dalam proses pemecahan masalah
dan penarikan kesimpulan.
42
Sumbangan paling penting dari teori vygostsky adalah penekanan pada
hakikatnya sosiokultural dari pembelajaran. Menurut vygostsky, siswa memiliki
dua tingkat perkembangan, yaitu :
a. Tingkat perkembangan aktual
Tingkat perkembangan ini berhubungan dengan pemfungsian intelektual
individu saat ini dan kemampuan untuk belajar sesuatu yang khusus atas
kemampuannya sendiri.
b. Tingkat perkembangan potensial
Tingkat perkembangan ini berhubungan dengan pemfungsian tingkat seorang
individu untuk mencapai tingkat tertentu dengan bantuan orang lain, seperti
guru, orang tua, atau teman sejawat yang kemampuannya lebih tinggi (Trianto,
2010 : 38).
2.5.4 Tujuan Pembelajaran Discovery Learning
Bell (Hosnan, 2016 : 284) mengemukakan beberapa tujuan spesifik dari
pembelajaran dengan Discovery (penemuan), yaitu sebagai berikut:
1. Dalam Discovery, siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam
pembelajaran. Kenyataan menunjukkan bahwa partisipasi banyak siswa dalam
pembelajaran meningkat ketika discovery digunakan.
2. Melalui pembelajaran dengan discovery, siswa belajar menemukan pola dalam
situasi konkrit maupun abstrak serta siswa banyak meramalkan informasi tambahan
yang diberikan.
3. Siswa juga belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak rancu dan
menggunakan tanya jawab untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam
menemukan.
43
4. Pembelajaran dengan discovery, membantu siswa membentuk cara kerja bersama
yang efektif, saling membagi informasi, serta mendengar dan menggunakan ide-ide
orang lain.
5. Terdapat beberapa fakta yang menunjukkan bahwa ketrampilan-ketrampilan,
konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dipelajari melalui discovery lebih
bermakna.
6. Ketrampilan yang dipelajari dalam situasi belajar discovery dalam beberapa kasus,
lebih mudah ditransfer untuk aktivitas baru dan di aplikasikan dalam situasi belajar
yang baru (Hosnan, 2016 : 284).
2.5.5 Langkah-langkah Operasional Implementasi dalam proses Pembelajaran
Langkah-langkah dalam mengaplikasikan pendekatan Discovery Learning di
kelas, yaitu sebagai berikut :
1. Perencanaan
a. Menentukan tujuan pembelajaran.
b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (Kemampuan awal, minat, gaya
belajar, dan sebagainya).
c. Memilih materi pelajaran.
d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari
contoh-contoh generalisasi).
e. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi,
tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang
konkrit ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
44
2. Pelaksanaan
Menurut Syah (Hosnan, 2016 : 289), dalam mengaplikasikan metode Discovery
Learning dikelas. Ada beberapa prosedur/ langkah-langkah yang harus
dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum, yaitu :
a. Stimulation (Stimulasi/pemberian rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini, siswa dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi
generalisasi agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu,
guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran
membaca buku dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan
pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan
kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa
dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini, Bruner memberikan stimulation
dengan menggunakan teknik bertanya, yaitu dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang
mendorong eksplorasi. Dengan demikian, seorang guru harus menguasai teknik-
teknik dalam memberi stimulus kepada siswa agar tujuan mengaktifkan siswa
untuk mengeksplorasi dapat tercapai.
b. Problem Statement (Pernyataan atau Identifikasi masalah)
Setelah dilakukan stimulation, langkah selanjutnya adalah guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak
mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran,
kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis
(jawaban sementara atas pertanyaan masalah). Sedangkan menurut
permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk
45
pertanyaan atau hipotesis, yakni pernyataan (statement) sebagai jawaban
sementara atas pertanyaan yang diajukan. Memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisa permasalahan yang mereka
hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka
terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
c. Data Collection (pengumpulan data)
Ketika eksplorasi berlangsung, guru juga memberi kesempatan kepada para
siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis. Pada tahap ini berfungsi untuk
menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis, dengan
demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection)
berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek,
wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri, dan sebagainya.
Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan
sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi. Dengan
demikian, secara tidak sengaja siswa menghubungkan masalah dengan
pengetahuan yang telah dimiliki.
d. Data Processing (Pengolahan data)
Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang
telah diperoleh para siswa, baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya
lalu ditafsirkan. Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan
sebagainya kemudian semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi,
bahkan bila perlu di hitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat
kepercayaan tertentu. Data processing disebut juga dengan pengkodean
(coding)/kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan
46
generalisasi. Dari generalisasi tersebut, siswa akan mendapatkan pengetahuan
baru tentang alternatif jawaban / penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian
secara logis.
e. Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini, siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan sebelumnya
dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing.
Verification menurut Bruner bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan
baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh
yang ia jumpai dalam kehidupannya sehari-hari. Berdasarkan hasil pengolahan
dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah
dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek apakah terjawab atau tidak dan
apakah terbukti atau tidak.
f. Generalization (Generalisasi / menarik kesimpulan)
Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua
kejadian atau masalah yang sama dengan memperhatikan hasil verifikasi.
Berdasarkan hasil verifikasi, maka dapat dirumuskan prinsip-prinsip yang
mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan, siswa harus
memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan
pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas, yang mendasari
pengalaman seseorang serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari
pengalaman-pengalaman seseorang serta pentingnya proses pengaturan dan
generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.
47
2.5.6 Kelebihan dan kekurangan pendekatam Discovery Learning
2.5.6.1 Kelebihan pendekatan Discovery Learning
Berikut adalah beberapa kelebihan dari model pembelajaran Discovery
Learning, yaitu :
1. Membantu peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan ketrampilan-
ketrampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci
dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
2. Dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah
(problem solving).
3. Pengetahuan yang diperoleh melalui strategi ini sangat pribadi dan ampuh
karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
4. Strategi ini memungkinkan peserta didik berkembang dengan cepat dan
sesuai dengan kecepatannya sendiri.
5. Menyebabkan peserta didik mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan
melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
6. Strategi ini dapat membantu peserta didik memperkuat konsep dirinya,
karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
7. Berpusat pada peserta didik dan guru berperan sama-sama aktif
mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan guru pun dapat bertindak sebagai
peserta didik dan sebagai peneliti didalam situasi diskusi.
8. Membantu peserta didik menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena
mengarah pada kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
9. Peserta didik akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik
10. Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer pada situasi proses
belajar yang baru.
48
11. Mendorong peserta didik berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
12. Mendorong peserta didik berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
13. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik.
14. Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang
15. Menimbulkan rasa senang pada peserta didik, karena tumbuhnya rasa
menyelidiki dan berhasil.
16. Proses belajar meliputi sesama aspeknya peserta didik menuju pada
pembentukan manusia seutuhnya.
17. Mendorong keterlibatan keaktifan siswa.
18. Menimbulkan rasa puas bagi siswa. Kepuasan batin ini mendorong ingin
melakukan penemuan lagi sehingga minat belajarnya meningkat.
19. Siswa akan dapat mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks.
20. Dapat meningkatkan motivasi.
21. Meningkatkan tingkat penghargaan pada peserta didik.
22. Kemungkinan peserta didik belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis
sumber belajar.
23. Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.
24. Melatih siswa belajar mandiri.
25. Siswa aktif dalam kegiatan belajar mengajar, sebab ia berpikir dan
menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir (Hosnan, 2016 :
288).
49
2.5.6.2 Kekurangan pendekatan Discovery Learning
Pendekatan ini, selain memiliki banyak kelebihan ada juga kekurangannya,
yaitu sebagai berikut :
1. Guru merasa gagal mendeteksi masalah dan adanya kesalahpahaman antara
guru dengan siswa.
2. Menyita banyak waktu. Guru dituntut mengubah kebiasaan mengajar yang
umumnya sebagai pemberi informasi menjadi fasilitator, motivator, dan
pembimbing siswa dalam belajar. Untuk seorang guru, ini bukan pekerjaan
yang mudah sehingga guru memerlukan waktu yang banyak dan seringkali
guru merasa belum puas kalau tidak banyak memberi motivasi dan
membimbing siswa belajar dengan baik.
3. Menyita pekerjaan guru.
4. Tidak semua siswa mampu melakukan penemuan.
5. Tidak berlaku untuk semua topik.
6. Berkenaan dengan waktu, strategi discovery learning membutuhkan waktu
yang lebih lama daripada ekspositori.
7. Kemampuan berpikir rasional siswa ada yang masih terbatas.
8. Kesukaran dalam menggunakan faktor subjektivitas, terlalu cepat pada suatu
kesimpulan.
9. Faktor kebudayaan atau kebiasaan yang masih menggunakan pola
pembelajaran lama.
10.Tidak semua siswa dapat mengikuti pelajaran dengan cara ini. Di lapangan,
beberapa siswa masih terbiasa dan mudah mengerti dengan model ceramah.
50
11.Tidak semua topik cocok disampaikan dengan model ini. Umumnya, topik-
topik yang berhubungan dengan prinsip dapat dikembangkan dengan model
penemuan (Hosnan, 2016 : 288).
2.6 Kompetensi Guru
Proporsi antara pengetahuan, sikap, dan ketrampilan sangat tergantung pada jenis
pekerjaan. Misalnya, seorang tukang kayu memerlukan porsi ketrampilan fisik lebih
besar daripada pengetahuan dan sikap. Kemudian seorang dokter bedah memerlukan
porsi pengetahuan, ketrampilan dan sikap secara seimbang, lalu seorang pekerja sosial
memerlukan porsi sikap lebih besar daripada pengetahuan dan ketrampilan sebagai
kompetensi (Sagala, 2013 : 29).
Bertolak dari gambaran singkat diatas, para ahli memberikan defenisi yang variatif
terhadap pengertian Kompetensi, terlebih khusus pada topik bahasan ini adalah mengenai
kompetensi guru, dimana kompetensi guru ini dinilai oleh berbagai kalangan sebagai
gambaran profesional atau tidaknya tenaga pendidik (guru), bahkan kompetensi guru
memiliki pengaruh terhadap keberhasilan yang dicapai peserta didik (Janawi, 2012 : 29).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012 : 29), kata “ kompetensi” diartikan
sebagai “cakap atau kemampuan”.
Menurut W. Robert Houston, dikatakan bahwa competence ordinarily is defined as
adequacy for a task or as possession of require knowledge, skill and abilities.
Kompetensi dirumuskan sebagai suatu tugas yang memadai atau pemilikan pengetahuan,
ketrampilan dan kemampuan yang di tuntut oleh jabatan seseorang (Roestiyah dalam
Janawi, 2012 : 29). Artinya bahwa dalam diri manusia ada suatu potensi tertentu yang
dikembangkan dan dapat dijadikan sebagai motivator, yakni kekuatan dari dalam diri
individu tersebut. Pengertian diatas lebih ditekankan pada tugas guru dalam mendidik.
51
Kemudian Nana Sudjana memahami kompetensi sebagai suatu kemampuan yang
disyaratkan untuk memangku profesi (Sudjana dalam Janawi, 2012 : 29). Senada dengan
Nana Sudjana, Sardiman mengartikan kompetensi adalah kemampuan dasar yang harus
dimiliki oleh seseorang berkenaan dengan tugasnya (Sardiman dalam Janawi, 2012 : 29).
Kedua defenisi tersebut menjelaskan bahwa kompetensi adalah kemampuan dasar yang
harus dimiliki oleh seseorang, dalam hal ini oleh guru. Kompetensi mutlak dimiliki oleh
seorang guru sebagai suatu kemampuan dasar , keahlian dan ketrampilan dalam proses
belajar mengajar.
Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pasal 1 ayat 10
dinyatakan secara tegas bahwa “ kompetensi adalah seperangkat pengetahuan,
ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau
dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan “. Wujud profesional atau tidaknya
tenaga pendidik diwujudkan dengan sertifikat pendidik. Dalam pasal 1 ayat 12
ditegaskan “ sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan
kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional” (Janawi, 2012 : 31). Kompetensi
yang dimaksudkan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen adalah
berkenaan dengan kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi
kepribadian dan kompetensi sosial, (Janawi, 2012 : 46). Keempat kompetensi tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Kompetensi Pedagogik
Kompetensi Pedagogik berkaitan langsung dengan penguasaan disiplin ilmu
pendidikan dan ilmu lain yang berkaitan dengan tugasnya sebagai guru. Oleh karena
itu, seorang calon guru (pendidik) harus memiliki latar belakang pendidikan keguruan
yang relevan dengan bidang keilmuwannya. Secara teknis, kompetensi pedagogik ini
meliputi :
52
a) Menguasai karakteristik peserta didik.
b) Menguasai teori dan prinsip-prinsip pembelajaran.
c) Mengembangkan kurikulum dan rancangan pembelajaran.
d) Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik.
e) Memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk kepentingan
pembelajaran.
f) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik.
g) Berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun dengan peserta didik.
h) Menyelenggarakan evaluasi dan penilaian proses dan hasil belajar.
i) Memanfaatkan hasil evaluasi dan penilaian untuk kepentingan pembelajaran.
j) Melakukan tindakan Reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran (Janawi,
2012 : 47).
2. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional merupakan kemampuan dasar tenaga pendidik. Ia akan
disebut profesional, jika ia mampu menguasai keahlian dan ketrampilan teoritik dan
praktek dalam proses pembelajaran. Kompetensi ini cenderung mengacu pada
kemampuan teoritik dan praktek lapangan. Secara rinci dapat dijabarkan sebagai
berikut :
a) Menguasai materi, struktur, konsep dan pola pikir keilmuan yang sesuai dan
mendukung bidang keahlian atau bidang studi yang diampu.
b) Memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran sesuai bidang studi yang diampu.
c) Menguasai filosofi, metodologi, teknis dan fraksis penelitian dan pengembangan
ilmu yang sesuai dan mendukung bidang keahliannya.
53
d) Mengembangkan diri dan kinerja profesionalitasnya dengan melakukan tindakan
reflektif dan penggunaan TIK.
e) Meningkatkan kinerja dan komitmen dalam pelaksanaan pengabdian kepada
masyarakat (Janawi, 2012 : 48).
3. Kompetensi Kepribadian
Kemampuan ini meliputi kemampuan personalitas, jati diri sebagai seorang
tenaga pendidik yang menjadi panutan bagi peserta didik. Kompetensi inilah yang
selalu menggambarkan prinsip, bahwasanya guru adalah sosok yang patut digugu dan
ditiru. Dengan kata lain, guru menjadi suri teladan bagi peserta didik atau guru
menjadi sumber dasar bagi peserta didik, apalagi untuk jenjang pendidikan dasar atau
taman kanak-kanak karena anak berbuat dan berperilaku cenderung mengikuti apa
yang dilihat dan didengarnya. Secara khusus, kemampuan ini dapat dijabarkan
sebagai berikut :
a) Berjiwa pendidik dan bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan
kebudayaan nasional Indonesia.
b) Tampil sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia dan menjadi teladan bagi
peserta didik dan masyarakat.
c) Tampil sebagai pribadi yang mantap, dewasa, stabil dan berwibawa.
d) Menunjukkan etos kerja, tanggungjawab, rasa bangga sebagai tenaga pendidik dan
rasa percaya diri (Janawi, 2012 : 49).
4. Kompetensi Sosial
Kompetensi ini berkaitan dengan kemampuan guru berinteraksi dengan peserta
didik dan orang yang ada disekitar dirinya. Modal interaksi berupa komunikasi
personal yang dapat diterima oleh peserta didik dan masyarakat yang ada disekitarnya.
Walaupun demikian, pendekatan komunikasi lebih mengarah pada proses
54
pembentukan masyarakat belajar (learning community). Adapun kemampuan sosial
ini dapat dirincikan sebagai berikut :
a) Bersikap inklusif dan bertindak obyektif.
b) Beradaptasi dengan lingkungan tempat bertugas dan dengan lingkungan
masyarakat.
c) Berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun dengan komunitas profesi
sendiri maupun profesi lain, secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.
d) Berkomunikasi secara empatik dan santun dengan masyarakat luas.
Keempat kompetensi diatas adalah kompetensi mutlak yang harus dikuasai oleh
semua guru. Keempatnya menjadi kompetensi standar dan menjadi standar mutu guru
(pendidik) dalam bidang standar kompetensi. Guru yang memiliki kompetensi standar
dianggap mampu mengembangkan proses pembelajaran pada satuan pendidikan
(Janawi, 2012 : 50).
2.7 Titrasi Asam-Basa
2.7.1 Pengertian Titrasi Asam Basa
Titrasi merupakan salah satu aplikasi stoikiometri larutan. Pada umumnya, Titrasi
digunakan untuk penentuan konsentrasi asam atau basa. Titrasi seperti ini (yang
melibatkan reaksi asam dan basa) disebut Titrasi Asam Basa atau Asidi Alkalimetri.
Jadi, Titrasi Asam-Basa merupakan suatu metode penentuan konsentrasi kadar larutan
asam dengan zat penitrasi larutan basa atau penentuan kadar larutan basa dengan zat
penitrasi larutan asam.
Zat yang akan ditentukan, dititrasi oleh larutan yang konsentrasinya diketahui
(Larutan Baku atau larutan standar) dengan tepat, dengan disertai penambahan
indikator. Indikator adalah zat yang menunjukkan tanda perubahan pada titik akhir
55
titrasi. Proses ini melibatkan larutan yang konsentrasinya telah diketahui (titran),
kemudian larutan ini dikeluarkan dari buret ke dalam larutan yang akan ditentukan
konsentrasinya sampai pada titik ekivalen. Akan tetapi pada prakteknya, titik ekivalen
ini tidak dapat diamati langsung dari percobaan. Yang bisa diamati adalah titik dimana
saat warna indikator tepat berubah warna, yang disebut Titik akhir titrasi. Titik akhir
titrasi ditandai dengan perubahan warna dari larutan. Titik akhir titrasi diharapkan
mendekati titik ekivalen titrasi. Kondisi ini berlangsung saat larutan asam tepat bereaksi
dengan larutan basa.
Pendekatan antara titik akhir titrasi dengan titik ekivalen tergantung pada pH
yang ditandai perubahan warna dari larutan indikator. Jika perubahan warna indikator
terletak pada pH titik ekivalen, maka titrasi akhir titrasi akan sama dengan titik
ekivalen. Akan tetap, jika perubahan warna indikator terletak pada pH dimana zat
penitrasi sedikit berlebih maka titik akhir titrasi berbeda dengan titik ekivalen.
Untuk memperoleh ketepatan hasil titrasi yang tinggi, maka diusahakan titik akhir
titrasi sedekat mungkin dengan titik ekivalen. Oleh karena itu, harus dipilih indikator
yang mengalami perubahan warna disekitar titik ekivalen.
1. Prinsip Titrasi Asam Basa
Titrasi asam basa adalah titrasi yang bertujuan menentukan kadar larutan asam
atau kadar larutan basa. Asam (yang sering diwakili dengan rumus umum HA) secara
umum merupakan senyawa kimia yang bila dilarutkan dalam air akan menghasilkan
larutan dengan pH lebih kecil dari 7. Pada prinsipnya, dalam titrasi asam basa
melibatkan asam maupun basa sebagai titer atau titran. Kadar larutan asam ditentukan
dengan menggunakan larutan basa dan sebaliknya. Titrant ditambahkan titer sedikit
demi sedikit sampai mencapai keadaan ekivalen (artinya secara stoikiometri titrant dan
titer tepat habis bereaksi). Keadaan ini disebut sebagai “titik ekivalen”. Pada saat titik
56
ekivalen ini, maka proses titrasi dihentikan, kemudian dicatat volume titer yang
diperlukan untuk mencapai keadaan tersebut. Dengan menggunakan data volume
titrant, volume dan konsentrasi titer, maka bisa dihitung kadar titrant.
2. Prosedur Titrasi Asam Basa
Titrasi asam-basa dilakukan dengan menggunakan buret. Adapun langkah-
langkah melakukan titrasi asam basa, yaitu sebagai berikut :
Langkah 1 :
Larutan yang akan diteteskan dimasukkan ke dalam buret (pipa panjang berskala).
Larutan dalam buret disebut penitrasi.
Langkah 2 :
Larutan yang akan dititrasi dimasukkan ke dalam erlenmeyer dengan mengukur
volumenya terlebih dahulu memakai pipet gondok.
Langkah 3:
Memberikan beberapa tetes indikator pada larutan yang dititrasi (dalam erlenmeyer)
menggunakan pipet tetes. Indikator yang dipakai adalah yang perubahan warnanya
sekitar titik ekivalen.
Langkah 4 :
Proses titrasi, yaitu larutan yang berada dalam buret diteteskan secara perlahan-lahan
melalui kran ke dalam erlenmeyer. Erlenmeyer digoyang-goyang sehingga larutan
penitrasi dapat larut dengan larutan yang berada dalam erlenmeyer. Penambahan
larutan penitrasi ke dalam erlenmeyer dihentikan ketika sudah terjadi perubahan warna
dalam erlenmeyer. Perubahan warna ini menandakan telah tercapainya titik akhir titrasi
(titik ekivalen).
57
Langkah 5 :
Mencatat volume yang dibutuhkan larutan penitrasi dengan melihat volume yang
berkurang pada buret setelah dilakukan proses titrasi.
Langkah 6 :
Percobaan titrasi sebaiknya dilakukan dua atau tiga kali (duplo atau triplo) agar teliti.
Hasil rata-rata dari ketiga tersebut digunakan untuk perhitungan.
3. Cara Mengetahui Titik Ekivalen
Ada dua cara umum untuk menentukan titik ekivalen pada titrasi asam basa.
1) Memakai pH meter untuk memonitor perubahan pH selama titrasi dilakukan, kemudian
membuat plot antara pH dengan volume titrant untuk memperoleh kurva titrasi. Titik
tengah dari kurva titrasi tersebut adalah “titik ekivalen”.
2) Memakai indikator asam basa. Indikator ditambahkan pada titrant sebelum proses titrasi
dilakukan. Indikator ini akan berubah warna ketika titik ekivalen terjadi, pada saat
inilah titrasi kita hentikan.
Pada umumnya cara kedua dipilih karena kemudahan pengamatan, tidak diperlukan
alat tambahan, dan sangat praktis.
Indikator adalah zat warna larut yang perubahan warnanya tampak jelas dalam
rentang pH yang sempit. Indikator yang baik mempunyai intensitas warna sedemikian
rupa sehingga hanya beberapa tetes larutan indikator encer yang harus ditambahkan ke
dalam larutan yang sedang diuji. Indikator yang dipakai dalam titrasi asam basa adalah
indikator yang perubahan warnanya dipengaruhi oleh pH. Penambahan indikator
diusahakan sesedikit mungkin dan umumnya adalah dua hingga tiga tetes.
58
Tabel 2.1
Indikator asam basa
Indikator Perubahan warna Trayek pH
Asam Basa
Lakmus Merah Biru 4,5-8,3
Metil kuning Merah Kuning 2,0-4,0
Metil jingga Merah Kuning jingga 3,1-4,4
Metil merah Merah Kuning 4,2-6,2
Bromtimol biru Kuning Biru 6,0-7,6
Fenolftalein Tidak berwarna Merah ungu 8,3-10,0
Thimolftalein Tidak berwarna Biru 9,3-10,6
4. Rumus Umum Titrasi
Pada saat titik ekivalen, maka mol ekivalen asam akan sama dengan mol ekivalen
basa, sehingga dapat ditulis :
Mol ekivalen diperoleh dari hasil perkalian antara Normalitas dengan volume, maka
rumus diatas dapat ditulis :
Normalitas diperoleh dari hasil perkalian antara molaritas (M) dengan jumlah ion H+
pada asam atau jumlah ion OH pada basa, sehingga rumus diatas menjadi :
Mol ekivalen asam = mol ekivalen basa
N.V asam = N.V basa
V. M . n asam = V . M. n basa
59
Keterangan :
N = Normalitas
V = volume
M = Molaritas
nasam = valensi asam
nbasa = valensi basa
5. Perhitungan Titrasi Asam Basa
a. Membuat Larutan
Zat-zat kimia dalam industri atau laboratorium biasanya digunakan dalam
bentuk larutan dengan konsentrasi dan jumlah tertentu. Larutan dengan konsentrasi
dan volume tertentu dapat dibuat melalui langkah-langkah berikut :
1) Melarutkan zat padat
Untuk membuat larutan dengan konsentrasi dan volume tertentu, berikut
adalah langkah-langkahnya :
a) Terlebih dahulu harus menetapkan kemolaran dan volume larutan yang
diinginkan.
b) Menghitung massa zat yang diperlukan dan menimbang dengan tepat
menggunakan persamaan : M =
c) Melarutkan zat yang ditimbang tersebut dengan air dalam sebuah labu ukur.
d) Menambahkan air sampai volume yang diinginkan.
2) Mengencerkan larutan pekat
Beberapa pereaksi yang sering digunakan dalam industri dan laboratorium
kimia dapat dibuat tanpa mengikuti langkah-langkah pada pembuatan larutan
NaOH. Pereaksi-pereaksi, seperti asam sulfat (H2SO4), asam nitrat (HNO3), dan
60
asam klorida (HCl) tersedia dalam bentuk larutan pekat. Cara memperoleh larutan
yang diinginkan adalah dengan mengencerkan larutan pekatnya.
Pengenceran larutan pekat dapat dilakukan dengan cara menambahkan zat
pelarut sehingga volume larutan menjadi besar dan kemolaran menjadi lebih kecil.
Jumlah mol zat terlarut dalam proses pengenceran tidak berubah.
Perhitungan yang digunakan dalam proses pengenceran dapat dirumuskan
sebagai berikut :
n1 = n2 atau V1 x M1 = V2 x M2
Keterangan :
n1 = Jumlah mol zat sebelum diencerkan
n2 = Jumlah mol zat setelah diencerkan
V1 = Volume larutan sebelum diencerkan atau volume larutan pekat yang dipipet
V2 = Volume larutan setelah diencerkan
M1 = Kemolaran larutan sebelum diencerkan
M2 = Kemolaran larutan setelah diencerkan
b. Cara menghitung konsentrasi
Untuk mengetahui cara menentukan konsentrasi larutan yang dititrasi, terlebih
dahulu harus menentukan titik ekivalen.
Pada titik ekivalen, ion H+ dari asam akan tepat bereaksi dengan ion OH- dari
basa menghasilkan molekul air. Perhatikan reaksi antara HCl dan NaOH berikut :
HCl (Aq) + NaOH (Aq) → NaCl (Aq) + H2O (l)
Reaksi antara HCl dan NaOH merupakan salah satu jenis reaksi penetralan yang
paling sederhana. Dalam reaksi tersebut, 1 mol NaOH = 1 mol HCl sehingga untuk
bereaksi sempurna diperlukan NaOH dan HCl dengan jumlah mol yang sama. Apabila
diganti dengan Ba(OH)2, maka persamaan reaksinya dapat ditulis sebagai berikut :
61
2HCl (Aq) + Ba(OH)2 (Aq) → BaCl2 (Aq) + 2H2O (l)
Karena 1 mol Ba(OH)2 = 2 mol HCl, maka diperlukan dua kali jumlah HCl untuk
menetralkan larutan basa Ba(OH)2 dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk
bereaksi dengan NaOH yang konsentrasi dan volumenya sama. Karena pada proses
tersebut, 1 mol Ba(OH)2 menghasilkan 2 mol OH-.
c. Pencampuran dua larutan yang berbeda konsentrasinya
Prinsip pencampuran dua larutan yang berbeda konsentrasinya sama dengan
pengenceran. Pada pengenceran menggunakan aquades, zat terlarut hanya berasal dari
larutan yang diencerkan, sedangkan aquades tidak mengandung zat terlarut. Adapun
pada pencampuran, baik yang diencerkan maupun yang digunakan untuk
mengencerkan, keduanya mengandung zat terlarut.
Untuk menentukan konsentrasi setelah pencampuran, yang harus diperhatikan
adalah jumlah mol dan volume. Jumlah mol setelah pencampuran terdiri atas mol yang
berasal dari zat pertama dan mol yang berasal dari zat kedua. Demikian juga dengan
volumenya. Volume pencampuran merupakan penjumlahan dari volume kedua zat
yang dicampurkan. Secara matematis, pernyataan itu dapat ditulis sebagai berikut :
n1 + n2 = nc
V1 x M1 + V2 x M2 = Vc x Mc
Mc =
2.7.2 Perubahan pH pada titrasi asam basa (kurva titrasi)
1. Jenis-jenis Titrasi Asam Basa
Kurva titrasi adalah grafik yang menyatakan perubahan pH pada penambahan asam
dengan basa (atau sebaliknya). Kurva titrasi mempermudah dalam menentukan titik
62
ekivalen. Karakteristik kurva titrasi ini berbeda-beda, tergantung pada jenis asam dan
basa yang direaksikan. Berikut ini akan dibahas empat jenis kurva titrasi :
a. Titrasi Asam Kuat oleh Basa Kuat (pH titik ekivalen = 7)
Titrasi asam basa melibatkan reaksi netralisasi dimana asam akan bereaksi dengan
basa dalam jumlah yang ekivalen. Titran yang dipakai dalam titrasi asam basa selalu asam
kuat atau basa kuat. Titik akhir titrasi mudah diketahui dengan membuat kurva titrasi yaitu
plot antara pH larutan sebagai fungsi dari volume titran yang ditambahkan.
Sebagai contoh titrasi asam kuat dan basa kuat adalah titrasi HCl dengan NaOH.
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
HCl + NaOH →NaCl + H2O
H+ + OH- → H2O
Reaksi umum yang terjadi pada titrasi asam basa dapat ditulis sesuai dengan reaksi kedua
diatas. Ion H+ bereaksi dengan OH- membentuk H2O sehingga hasil akhir titrasi pada titik
ekivalen pH larutan adalah netral. Kurva titrasi antara 50 mL HCl 0,1 M dengan 50 mL
NaOH 0,1 M dapat ditunjukkan dengan gambar berikut ini:
Gambar 1.2Kurva Titrasi 0,1 M HCl dengan 0,1 M NaOH
63
Pada awal sebelum titrasi berlangsung maka dalam Erlenmeyer hanya terdapat 0,1
M HCl shingga pH larutan adalah 1. Selanjutnya setelah proses titrasi berlangsung maka
pH meningkat sedikit demi sedikit dikarenakan jumlah H+ yang semakin berkurang.
Sebagai perbandingan saja jika 90% HCl telah bereaksi dengan NaOH maka konsentrasi
H+ dalam larutan berkisar 5,3.10-3 M dan pHnya adalah 2,3, dan secara gradual pHnya
akan meningkat sampai pada saat titik ekivalen diperoleh. Pada titik ekivalen maka pH
larutan adalah sama dengan 7, dalam larutan hanya terdapat NaCl dan H2O.
Penambahan NaOH selanjutnya akan membuat pH semakin meningkat dari
konsentrasi 10-7 M untuk OH- hingga bisa mencapai 10-3 M hanya dengan penambahan 5
mL NaOH saja.
Pada kurva titrasi diatas ditunjukkan 2 penggunaan indikator yaitu metil orange
(MO) dan fenolthalein (PP). Untuk titrasi HCl dan NaOH diatas maka digunakan indikator
pp disebabkan trayek pH indikator pp adalah 8,3 – 10 dimana trayek pH ini adalah dekat
dengan pH titik ekivalen titrasi HCl-NaOH yaitu pada pH 7. Pemilihan indikator yang
baik adalah setidak-tidaknya antara -1 pH titik ekivalen sampai dengan +1 pH titik
ekivalen. Indikator lain yang bisa dipakai adalah Bromothimol biru. Jika digunakan
indikator MO maka titik akhir titrasi akan terjadi terlebih dahulu sebelum titik ekivalen
tercapai. Hal ini tentu saja akan membuat perhitungan analisa kita jauh dari akurat. Bila
yang dipergunakan sebagai titer adalah HCl maka kurva titrasinya adalah kebalikan dari
kurva titrasi HCl-NaOH diatas.
Pada titrasi asam kuat oleh basa kuat, pH larutan dapat dihitung dengan persamaan
berikut :
a. pH mula-mula
pH = - log [H+]
b. pH setelah penambahan basa sebelum titik ekivalen
64
[H+] =
c. titik ekivalen
pH = 7
d. setelah titik ekivalen (kelebihan basa)
[OH-] =
pOH = - log [OH-]
pH = 14 – pOH
b. Titrasi Basa Kuat oleh Asam Kuat (pH pada titik ekivalen = 7)
Untuk menentukan titik akhir titrasi pada reaksi penetralan basa kuat oleh asam kuat
digunakan indikator metil merah, misalnya pada pada titrasi KOH 0,1 M oleh HCl 0,1 M.
Pada awalnya , dalam erlenmeyer hanya berisi 50 ml larutan KOH 0,1 M dan beberapa
tetes indikator metil merah. Konsentrasi KOH adalah 0,1 M berarti pH larutan = 13.
Pada suasana basa, indikator metil merah (trayek pH= 4,2 – 6,3) bewarna kuning. Titik
ekivalen tercapai pada penambahan sedikit HCl menyebabkan menurunnya pH sehingga
indikator metil merah berubah warna menjadi merah.
Gambar 1.3
Titrasi KOH 0,1 M oleh HCl 0,1 M
65
Pada titrasi basa kuat oleh asam kuat, pH larutannya dapat dihitung dengan
persamaan berikut :
a. pH mula-mula
pH = - log [OH-]
b. pH setelah penambahan basa sebelum titik ekivalen
[OH-] =
pOH = - log [OH-]
pH = 14 - pOH
c. titik ekivalen
pH = 7
d. setelah titik ekivalen (kelebihan asam)
[H+] =
c. Titrasi Asam Lemah oleh Basa kuat (pH pada titik ekivalen adalah ±9)
Asam lemah yang dicontohkan disini adalah asam asetat CH3COOH (biasanya
disingkat menjadi HOAc) dan dititrasi dengan basa kuat NaOH. Reaksi yang terjadi dapat
ditulis sebagai berikut:
HOAc + NaOH → NaOAC + H2O
pH titik ekivalen pada titrasi ini adalah ±9 dan kurva titrasi antara 0,1 M HOAc 50 mL
dengan 0,1 M NaOH 50 mL dapat digambarkan sebagai berikut:
66
Gambar 1.4
Kurva titrasi 0,1 M CH3COOH dengan 0,1 M NaOH
Pada titrasi asam lemah oleh basa kuat, pH larutannya dapat dihitung dengan
persamaan berikut :
a. pH mula-mula
[H+] =
pH = - log [H+]
b. pH setelah penambahan basa sebelum titik ekivalen
[H+] =
pH = - log [H+]
c. titik ekivalen
[garam] =
[OH-] =
pOH = - log [OH-]
pH = 14 - pOH
d. setelah titik ekivalen
[OH-] =
67
pOH = - log [OH-]
pH = 14 – pOH
Pada titrasi ini, pH larutan pada saat titik ekivalen berkisar antara 8,85. pH ini adalah
berada pada trayek pH indikator pp. Oleh sebab itu titrasi asam asetat dengan NaOH
dipakai indikator pp. Jika indikator MO dipakai maka warnanya akan berubah begitu
titrasi dimulai dan secara gradual berubah menjadi warna pada kondisi basa pada sekitar
pH diatas 6 sebelum titik akhir titrasi dicapai, sehingga indikator titrasi asam lemah yang
dipakai adalah indikator yang memiliki transisi perubahan warna pada kisaran pH 7
sampai 10 dan indikator pp memenuhi kriteria ini. Dengan penambahan NaOH maka OH-
dari hasil hidrolisis NaOAc dapat diabaikan sebab OH- dari NaOH yang akan
mendominasi. Oleh sebab itu adanya penambahan NaOH maka pHnya ditentukan oleh
konsentrasi OH- dari NaOH dengan demikian pHnya semakin naik ke pH basa.
d. Titrasi Basa Lemah oleh Asam Kuat (pH pada titik ekivalen adalah ± 5 )
Titrasi basa lemah oleh asam kuat adalah analog dengan titrasi asam lemah dengan
basa kuat, akan tetapi kurva yang terbentuk adalah cerminan dari kurva titrasi asam
lemah vs basa kuat. Sebagai contoh disini adalah titrasi 0,1 M NH4OH 25 mL dengan 0,1
HCl 25 mL dimana reaksinya dapat ditulis sebagai:
NH4OH + HCl → NH4Cl + H2O
Kurva titrasinya dapat ditulis sebagai berikut:
68
Gambar 1.5Kurva titrasi 0,1 M NH4OH dengan 0,1 M HCl
Pada titrasi ini, pH pada titik ekivalen titrasi NH4OH dengan HCl jatuh
pada kisaran pH 5,15 maka indikator yang memenuhi trayek pH ini adalah metil
merah yang memiliki trayek pH 4,4 sampai dengan 6,2 atau juga bisa digunakan
metil orange (MO) yang trayek pHnya 3,1 – 4,4.
a. pH mula-mula
[OH-] =
pOH = - log [OH-]
pH = 14 – pOH
b. pH setelah penambahan basa sebelum titik ekivalen
[OH-] =
pOH = - log [OH-]
pH = 14 – pOH
c. titik ekivalen
[garam] =
[H+] = → Kw = konstanta air = 1 x 10-14
pH = - log [H+]
69
d. setelah titik ekivalen
[H+] =
pH = - log [H+]
1. Membuat Kurva Titrasi
Kurva titrasi dapat dibuat dengan menghitung pH larutan asam atau basa pada
beberapa titik, antara lain :
a. Titik awal sebelum penambahan asam atau basa.
b. Titik-titik setelah ditambah asam atau basa sehingga larutan mengandung garam yang
terbentuk dan asam atau basa yang berlebih.
c. Titik ekivalen, yaitu saat larutan hanya mengandung garam, tanpa ada kelebihan asam
atau basa.
d. Daerah lewat ekivalen, yaitu larutan yang mengandung garam dan kelebihan asam atau
basa.
2.8 Penelitian Yang Relevan
Penelitan ini relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh:
1. Skripsi Dominikus Jefrianto Nelvin pada tahun 2017 dengan judul “Pengaruh
kemampuan verbal dan ketelitian terhadap hasil belajar materi pokok sistem koloid
yang menerapkan pendekatan Discovery Learning siswa kelas XI IPA 2 SMA Negeri
5 Kupang tahun pelajaran 2016/2017“. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
Ada hubungan antara kemampuan verbal dan ketelitian siswa dengan hasil belajar
dengan koefisien korelasi RX1X2Y=0,87200046 serta ada pengaruh antara kemampuan
verbal dan ketelitian siswa terhadap hasil belajar kimia dengan persamaan regresi
ganda Ῠ = 25,69419828 + 0,690115464 X1 + 0,021492074 X2.
2. Skripsi Vreedy Frans Danar pada tahun 2012 dengan judul “Hubungan antara
motivasi belajar intrinsik dan ekstrinsik siswa dengan prestasi belajar siswa kelas X
70
Kompetensi Keahlian Teknik Audio video SMK Ma’arif 1 Wates”. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antar motivasi belajar
intrinsik siswa dengan prestasi belajar siswa ditunjukkan dengan koefisien r sebesar
0,446 dan signifikansi hubungan variabel X1 dengan variabel Y dapat dilihat nilai
thitung sebesar 12,558 > dengan ttabel (n-2) sebesar 2,042 dan besar peningkatan motivasi
intrinsik tiap 1 poin maka prestasi belajar meningkat 0,454.
3. Skripsi Andrie Riomalen Y. Rissi pada tahun 2015 dengan judul “pengaruh
kecerdasan intelektual dan ketrampilan sosial terhadap hasil belajar melalui
pendekatan Discovery Learning pada materi pokok Hidrolisis garam siswa kelas XI
MIPA SMAK Giovanni Kupang tahun 2014/2015”. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ada pengaruh antara kecerdasan intelektual dan ketrampilan sosial siswa
terhadap hasil belajar kimia siswa dengan persamaan regresi ganda Ῠ = 43,73 +
0,1184. X1 + 0,398 X2.
4. Skripsi Agus Gede Yudha Suparta tahun 2015 dengan judul “ Pengaruh motivasi
intrinsik, komunikasi, dan kompensasi financial terhadap kinerja karyawan pada PT.
Maharani Prema Sakti Denpasar”. Hasil penelitian membuktikan motivasi intrinsik,
komunikasi dan kompensasi financial secara bersama-sama berpengaruh signifikan
terhadap kinerja karyawan dengan kontribusi sebesar 79,9%
5. Skripsi Nuor Ainiy Hidayati tahun 2016 dengan judul “ Penerapan model
pembelajaran discovery learning untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa
kelas VIII-D SMPN 2 Kamal”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam
pembelajaran terjadi peningkatan hasil belajar dan motivasi belajar pada siswa kelas
VIII D SMPN 2 Kamal dengan menggunakan penerapan Discovery Learning”
6. Jurnal Teknik Pomits King Adhen dan Khomsin tahun 2013 dengan judul “analisis
perbandingan ketelitian posisi GPS CORS RTK-NTRIP dengan Rapid statik, dimana
71
hasil penelitiannya membuktikan bahwa siswa yang memiliki ketelitian tinggi akan
berpengaruh terhadap hasil belajar yang tinggi pula.
2.9 Kerangka Berpikir
Berhasil tidaknya suatu proses belajar di sekolah dapat diketahui dari tingginya hasil
belajar siswa yang nyata dalam perolehan nilai melalui tugas, kuis, ulangan harian, ujian
tengah semester dan ujian akhir semester.
Ada dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar yakni faktor internal dan faktor
eksternal. Ketelitian dan motivasi intrinsik merupakan faktor internal yang
mempengaruhi hasil belajar.
Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan pada guru mata pelajaran sebelum
turun penelitian di SMAN 6 Kupang, dikatakan bahwa ketelitian siswa masih tergolong
rendah. Hal ini dilihat dari setiap jawaban siswa saat diberi pertanyaan, dimana mereka
mudah sekali terkeco dengan pertanyaan yang membutuhkan ketelitian, siswa juga
terbiasa tidak meninjau kembali jawaban atas tugas atau latihan yang diberikan, dan
tidak teliti dalam melakukan percobaan. Selain itu, ditemukan pula rendahnya motivasi
dari dalam diri siswa (Motivasi intrinsik), dimana hal ini dilihat dari masa bodohnya
siswa saat mengikuti proses belajar, rendahnya minat untuk belajar, malas mencari tahu
jawaban atas pertanyaan atau tugas yang diberikan, malas bertanya jika mengalami
kendala atas hal yang tidak diketahui.
Melihat masalah ini, maka solusi untuk mengatasinya adalah peneliti mencoba
menerapkan pendekatan pembelajaran yang dapat membuat peserta didik aktif, sehingga
bukan guru lagi yang mendominasi selama proses pembelajaran berlangsung. Pendekatan
yang diterapkan adalah pendekatan Discovery learning.
Pembelajaran dengan menerapkan pendekatan Discovery learning itu adalah salah
satu pendekatan yang digunakan untuk mengembangkan cara belajar siswa agar aktif
72
untuk menemukan sendiri, menyelidiki sendiri sehingga hasil yang diperoleh tidak akan
mudah dilupakan siswa dan siswa juga dilatih belajar berpikir analisis dan mencoba
memecahkan sendiri masalah yang dihadapi dan guru memotivasi siswa agar memiliki
pengalaman dan melakukan eksperimen dengan memungkinkan mereka menemukan
prinsip-prinsip atau konsep-konsep bagi diri mereka sendiri (Hosnan, 2016 : 281).
Dengan demikian, jika menerapkan pendekatan ini maka kemampuan siswa untuk
memahami materi pelajaran akan lebih efektif lagi, dimana pendekatan ini lebih
menekankan pada belajar penemuan. Artinya bahwa siswa yang menemukan sendiri
masalah disekitarnya dan menyelesaikan masalah dengan mengumpulkan informasi-
informasi, baik itu melalui wawancara, observasi, maupun eksperimen. Alasan ini
diperkuat lagi dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu tentang
pengaruh kemampuan verbal dan ketelitian terhadap hasil belajar dengan menerapkan
pendekatan discovery learning, dimana hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa
dalam pembelajaran tersebut terdapat pengaruh kemampuan verbal dan ketelitian siswa
terhadap hasil belajar dengan menerapkan pendekatan Discovery Learning.
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa Ketelitian dan motivasi intrinsik siswa dapat
dikembangkan melalui pembelajaran yang menerapkan pendekatan Discovery Learning
dan memiliki hubungan dan pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar.
2.10 Hipotesis
Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Penerapan pendekatan Discovery Learning efektif pada materi pokok titrasi asam
basa siswa kelas XI IPA 3 SMA Negeri 6 Kupang Tahun pelajaran 2017/2018,
dimana dicirikan dengan guru mampu mengelola pembelajaran, ketuntasan indikator
tercapai dan hasil belajar tuntas.
73
2. Ketelitian siswa kelas XI IPA 3 SMA Negeri 6 Kupang tahun pelajaran 2017/2018
dikatakan baik dengan skor tes ketelitian ≥ 61.
3. Motivasi Intrinsik siswa kelas XI IPA 3 SMA Negeri 6 Kupang tahun pelajaran
2017/2018 dikatakan baik dengan persentase yang diperoleh ≥ 61%.
4. Hubungan
a. Ada hubungan yang signifikan antara Ketelitian siswa dengan hasil belajar yang
menerapkan pendekatan Discovery Learning pada materi pokok Titrasi Asam
Basa siswa kelas XI IPA 3 SMA Negeri 6 Kupang tahun pelajaran 2017/2018.
b. Ada hubungan yang signifikan antara Motivasi Intrinsik siswa dengan hasil
belajar yang menerapkan pendekatan Discovery Learning pada materi pokok
Titrasi Asam Basa siswa kelas XI IPA 3 SMA Negeri 6 Kupang tahun pelajaran
2017/2018.
c. Ada hubungan yang signifikan antara Ketelitian dan Motivasi Intrinsik siswa
dengan hasil belajar yang menerapkan pendekatan Discovery Learning pada
materi pokok Titrasi Asam Basa siswa kelas XI IPA 3 SMA Negeri 6 Kupang
tahun pelajaran 2017/2018.
5. Pengaruh
a. Ada pengaruh yang signifikan antara Ketelitian siswa terhadap hasil belajar yang
menerapkan pendekatan Discovery Learning pada materi pokok titrasi asam basa
siswa kelas XI IPA 3 SMA Negeri 6 Kupang tahun pelajaran 2017/2018.
b. Ada pengaruh yang signifikan antara Motivasi Intrinsik siswa terhadap hasil
belajar yang menerapkan pendekatan Discovery Learning pada materi pokok
titrasi asam basa siswa kelas XI IPA 3 SMA Negeri 6 Kupang tahun pelajaran
2017/2018.
74
c. Ada pengaruh yang signifikan antara Ketelitian dan Motivasi Intrinsik siswa
terhadap hasil belajar yang menerapkan pendekatan Discovery Learning pada
materi pokok titrasi asam basa siswa kelas XI IPA 3 SMA Negeri 6 Kupang tahun
pelajaran 2017/2018.