bab ii landasan teori - repository.unwira.ac.idrepository.unwira.ac.id/2331/3/file bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
II-1
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Umum
Pada dasarnya jalan beton direncanakan untuk memikul beban kendaraan lalu lintas
secara aman dan nyaman serta tidak terjadi kerusakan yang berarti. Untuk memenuhi
fungsi tersebut, perkerasan beton harus :
1. Mereduksi tegangan yang terjadi pada tanah dasar (akibat beban lalu – lintas) sampai
batas – batas yang masih mampu dipikul tanah dasar tersebut, tanpa menimbulkan
perbedaan penurunan / lendutan yang mampu merusak perkerasan.
2. Mampu mengatasi pengaruh kembang susut dan penurunan kekuatan tanah dasar,
serta pengaruh cuaca dan kondisi lingkungan.
Pada perkerasan beton semen, daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari pelat
beton. Sifat daya dukung dan keseragaman tanah dasar sangat mempengaruhi keawetan
dan kekuatan pekerasan beton semen. Faktor – faktor yang perlu diperhatikan adalah
kadar air pemadatan, kepadatan dan perubahan kadar air selama masa pelayanan. Lapis
pondasi bawah pada perkerasan beton semen adalah bukan merupakan bagian utama
yang memikul beban, tetapi merupakan bagian yang berfungsi sebagai berikut :
a. Mengendalikan kembang susut tanah dasar,
b. Mencegah intrusi dan pemompaan pada sambungan, retakan dan tepi – tepi pelat,
c. Memberikan dukungan yang mantap dan seragam pada pelat,
d. Sebagai perkerasan lantai kerja selama pelaksanaan.
Dasar pelaksanaan jalan beton mengacu pada Petunjuk Perencanaan Jalan Beton
Semen yang diterbitkan oleh Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Pd T-14-
2013 dan AASHTO Guide for Design of Pavement Structures 1986,
2.2 Perkerasan Jalan Beton
Perkerasan jalan beton semen atau secara umum disebut perkerasan kaku, terdiri
atas lapisan permukaan (surface) berupa plat (slab) beton semen, lapisan pondasi bawah
(sub base course) berupa sirtu (batu pecah) atau semen tipis dan lapisan tanah dasar
(subgrade) yang sudah dipadatkan.. Berdasarkan jenisnya perkerasan jalan beton
dikelompokkan menjadi :
1) Beton tanpa tulangan (URC, unreinforced concrete)
2) Beton bertulang dan sambungan (JRC, jointed reinforced concrete)
3) Pelat beton menerus dan bertulang (CRCP, concrete pavement)
II-2
Gambar 2.1 Detail Lapisan Perkerasan Kaku
Sumber : Bina Marga. (2003). Pd T-14-(2003)
Susunan lapisan perkerasan jalan beton tersebut terdiri dari dua lapis, yaitu
lapisan beton dan lapisan pondasi dibawahnya. Lapisan perkerasan beton dikerjakan
secara persegmen dan diberi sekat untuk mengantisipasi resiko kerusakan akibat faktor
kembang susut (shirinkage). Lapis beton tersebut berada diatas lapisan pondasi yang
biasa berupa meterial berbutir dengan tebal minimal 15 cm atau campuran beton kurus
(lean mix concrete) dengan tebal minimum 10 cm.
Perkerasan beton yang kaku dan memiliki modulus elastisitas yang tinggi akan
mendistribusikan beban terhadap area tanah yang cukup luas sehingga bagian terbesar
dari kapasitas struktur perkerasan diperoleh dari slab beton itu sendiri. Hal ini berbeda
dengan perkerasan lentur dimana kekuatan perkerasan diperoleh dari lapisan tebal
pondasi bawah, pondasi tengah dan lapisan permukaan. Karena yang paling penting
adalah mengetahui kapasitas struktur yang menanggung beban, maka faktor yang paling
diperhatikan dalam perancangan perkerasan kaku adalah kekuatan beton itu sendiri,
adanya berbagai kekuatan dari tanah dasar dan atau pondasi hanya berpengaruh
terhadap kapasitas struktural perkerasannya (tebal pelat betonnya), tetapi untuk desain
badan jalan (tanah dasar) perlu kajian geoteknik tersendiri jika ditemukan klasifikasi tanah
yang masuk kategori tidak baik sebagai tanah dasar. Lapisan pondasi bawah jika
digunakan dibawah perkerasan beton karena beberapa pertimbangan, yaitu untuk kendali
terhadap terjadinya pumping (kerusakan perkerasan beton semen berupa kepatahan
disertai penurunan slab beton), kendali terhadapat sistim drainase (drainase bawah
perkerasan), kendali terhadap kembang susut yang terjadi pada tanah dasar untuk
mempercepat pekerjaan konstruksi, serta menjaga kerataan dari pelat beton. Pada awal
teknik jalan raya, pelat perkerasan kaku dibangun langsung diatas tanah dasar tanpa
memperhatikan sama sekali jenis tanah dasar dan jenis drainasenya. Pada umumnya
dibangun slab setebal 6 – 7 inci. Dengan bertambahnya beban lalu lintas khususnya
setelah perang dunia ke II, mulai diperhatikan bahwa jenis tanah dasar berperan penting
terhadap perkerasan, terutama terjadinya pumping pada perkerasan. Oleh karena itu
II-3
perencanaan untuk mengatasi pumping adalah faktor yang sangat penting untuk
diperhitungkan. (Ari Suryawan, 2009)
Wiryanto (2010) mengatakan bahwa jalan beton dari sisi perilaku strukturnya memang
terlihat lebih baik, tegangan yang timbul akibat beban yang relatif lebih kecil, sehingga
tidak diperlukan lapisan bawah (base-course) yang tebal. Namun karena materialnya dari
beton, maka pengaruh kembang susut (shrinkage) akibat perubahan suhu menjadi
dominan. Hal inilah yang menyebabkan konstruksi jalan beton memiliki dua metode
pengerjaan, yaitu :
1. Jalan beton dibuat kontinyu
Jalan beton dibuat memanjang dengan jarak antar segmen sampai 15 meter, maka
untuk mengantisipasi pengaruh kembang susut pada jalan tersebut harus dipasang
tulangan baja sebagai tulangan susut. Meskipun jumlahnya relatif kecil, tetapi penggunan
tulangan baja menyebabkan jalan beton menjadi mahal dan pengerjaannya akan menjadi
kompleks. Detail dari jalan beton yang dibuat kontinyu ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Detail Konstruksi Jalan Beton yang dibuat Kontinyu
Sumber : Pavement Design Guide (1992)
2. Jalan beton disekat – sekat dengan siar dilatasi
Jalan beton dibuat dengan pengerjaan per segmen yang terpisah – pisah untuk
mengatasi resiko kerusakan akibat faktor kembang susut tanpa perlu memasang tulangan
susut. Biaya yang dikeluarkan akan lebih murah jika dibandingkan dengan pengerjaan
jalan beton yang dibuat kontinyu. Namun akibatnya, jalan ini menjadi tidak nyaman
karena tegangan pada bagian pinggir segmen menjadi besar, maka untuk mengatasinya
kedua segmen yang berdekatan dipasang dowel/ruji. Detail dari jalan beton yang disekat
dengan siar dilatasi ditunjukkan pada Gambar 2.3.
II-4
Gambar 2.3 Detail Konstruksi Jalan Beton dengan Sambungan Dowel
Sumber : Pavement Design Guide (1992)
Adapun segmen – segmen pada pengejaan jalan beton menyebabkan
pengunaannya tidak nyaman dan pengerjaannya membutuhkan waktu yang lama karena
banyaknya sambungan yang harus dipasang. Oleh karena itu, dikembangkan suatu
konstruksi yang merupakan kombinasi kedua cara diatas, yaitu konstruksi jalan beton
tersegmen dengan tulangan dan dowel, seperti pada Gambar 2.4. Gambaran crack yang
ditunjukkan pada Gambar 2.4 tersebut terjadi karena kembang susut, bukan karena
beban. Dengan konsep ini, crack dihasilkan relatif sedikit dan jarak sambungan antar
segmen menjadi lebih panjang, sehingga jalan menjadi lebih nyaman ketika dilalui.
Gambar 2.4 Jalan Beton Tersegmen dengan Tulangan dan Dowel
Sumber : Pavement Design Guide (1992)
2.3 Dasar – Dasar Perencanaan Perkerasan Jalan Beton
Dalam perhitungan perencanaan perkerasan kaku (Rigid pavement) ini mengacu pada
standar yang sudah biasa digunakan untuk perencanaan – perencanaan perkerasan
beton semen di Indonesia. Standar tersebut antara lain :
II-5
1. Perencanaan Perkerasan Jalan Beton semen.Departemen Pemukiman dan
Prasarana Wiayah.(Pd T-14-2003). Pedoman ini mencakup dasar-dasar ketentuan
perencanaan perkerasan jalan, yaitu :
a. Analisis kekuatan tanah dasar dan lapis pondasi.
b. Perhitungan beban dan komposisi lalu-lintas.
c. Analisis kekuatan beton semen untuk perkerasan
Pedoman Perkerasan Beton semen ini menguraikan Prosedur Perencanaan
Perkerasan kaku dan Perhitungan tulangan. Perkerasan beton semen pra-tegang
tidak termasuk di dalam buku ini. Prosedur ini tidak direkomendasikan untuk
perencanaan perkerasan kaku di daerah permukiman dan kawasan industri.
2. Perkerasan Jalan Beton Semen Portland (Rigid Pavement) Perencanaan Metode
AASHTO 1993. Buku ini dapat digunakan sebagai acuan dan pegangan terkait
dengan pekerjaan konstruksi jalan (perkerasan kaku). Perencanaan mengacu pada
AASHTO (American Association of State High-way and Transportation Officials guide
for design of pavement structures 1993 (selanjutnya disebut ASSHTO 1993). Langkah
– langkah / tahapan, prosedur, dan parameter – parameter perencanaan secara
praktis diberikan pada buku ini.
2.3.1 Persyaratan Teknis
Perkerasan jalan beton semen atau perkerasan kaku, terdiri dari pelat beton semen,
dengan atau tanpa lapisan pondasi bawah, di atas tanah dasar.
Plat beton yang kaku dan memiliki modulus elastisitas yang tinggi, akan
mendistribusikan beban lalu lintas ke tanah dasar yang melingkupi daerah yang cukup
luas. Dengan demikian, bagian terbesar dari kapasitas struktur perkerasan diperoleh dari
pelat beton itu sendiri. Secara umum faktor – faktor yang mempengaruhi perencanaan
seperti :
a) Lalu lintas, Variabel – variabel lalu lintas yang berpengaruh adalah berat kendaraan
terbesar,
b) Tanah dasar, dalam merencanakan tebal pelat beton perkerasan kaku, keseragaman
daya dukung tanah sangat penting. Pengujian daya dukung nilai tanah (nilai k) untuk
jalan beton berdarkan pengujian CBR Lapangan.
2.3.1.1 Tanah Dasar
Daya dukung tanah dasar ditentukan dengan pengujian CBR insitu sesuai dengan
SNI 03 - 1731-1989 atau CBR laboratorium sesuai dengan SNI 03-1744-1989, masing -
II-6
masing untuk perencanaan tebal perkerasan lama dan perkerasan jalan baru. Apabila
tanah dasar mempunyai nilai CBR lebih kecil dari 2 %, maka harus dipasang pondasi
bawah yang terbuat dari beton kurus (Lean-Mix Concrete) setebal 15 cm yang dianggap
mempunyai nilai CBR tanah dasar efektif 5 %.
Sebagaimana dijelaskan diatas untuk perencanaan tebal perkerasan kaku, daya
dukung tanah dasar diperoleh dengan nilai CBR, seperti halnya pada perencanaan
perkerasan lentur, meskipun pada umumnya dilakukan dengan menggunakan nilai (k)
yaitu modulus reaksi tanah dasar.
Tanah dasar (subgrade) yang dipakai sebagai tumpuan lapisan perkerasan jalan
diasumsikan sebagai tumpuan elastis yang dimodelkan sebagai tumpuan spring.
2.3.1.2 Pondasi Bawah
Bahan pondasi bawah dapat berupa bahan berbutir, dan campuran beton kurus
(Lean-Mix Concrete). Lapis pondasi bawah perlu diperlebar sampai 60 cm diluar tepi
perkerasan beton semen. Untuk tanah ekspansif perlu pertimbangan khusus perihal jenis
dan penentuan lebar lapisan pondasi dengan memperhitungkan tegangan
pengembangan yang mungkin timbul. Pemasangan lapis pondasi dengan lebar sampai ke
tepi luar lebar jalan merupakan salah satu cara untuk mereduksi prilaku tanah ekspansif.
Tebal lapisan pondasi minimum 10 cm yang paling sedikit mempunyai mutu sesuai
dengan SNI 03 - 6388 - 2000 dan AASHTO M-155 serta SNI 03 - 1743 - 1989. Bila
direncanakan perkerasan beton semen bersambung tanpa ruji, pondasi bawah harus
menggunakan campuran beton kurus (CBK). Tebal lapis pondasi bawah minimum yang
disarankan dapat dilihat pada Gambar 2.5 dan CBR tanah dasar efektif didapat dari
Gambar 2.6.
Gambar 2.5 Tebal pondasi bawah minimum untuk perkerasan beton semen
Sumber : Bina Marga. (2003). Pd T-14-(2003)
II-7
Gambar 2.6 CBR Tanah Dasar Efektif dan Tebal Pondasi Bawah
Sumber : Bina Marga. (2003). Pd T-14-(2003)
2.3.1.2.1 Pondasi Bawah Material Berbutir
Material berbutir tanpa pengikat harus memenuhi persyaratan sesuai dengan SNI-
03-6388- 2000. Persyaratan dan gradasi pondasi bawah harus sesuai dengan kelas B.
Sebelum pekerjaan dimulai, bahan pondasi bawah harus diuji gradasinya dan harus
memenuhi spesifikasi bahan untuk pondasi bawah, dengan penyimpangan ijin 3% - 5%.
Ketebalan minimum lapis pondasi bawah untuk tanah dasar dengan CBR minimum 5%
adalah 15 cm. Derajat kepadatan lapis pondasi bawah minimum 100 %, sesuai dengan
SNI 03-1743-1989.
2.3.1.2.2 Pondasi Bawah dengan Campuran Baton Kurus (Lean-Mix Concrete)
Campuran Beton Kurus (CBK) harus mempunyai kuat tekan beton karakteristik
pada umur 28 hari minimum 5 MPa (50 kg/cm2) tanpa menggunakan abu terbang, atau 7
MPa (70 kg/cm2) bila menggunakan abu terbang, dengan tebal minimum 10 cm.
2.3.1.2.3 Lapis Pemecah Ikatan Pondasi Bawah dan Pelat
Perencanaan ini didasarkan bahwa antara pelat dengan pondasi bawah tidak ada
ikatan. Jenis pemecah ikatan dan koefisien geseknya dapat dilihat pada Tabel 2.1.
II-8
Tabel 2.1 Koefisien Gesekan antara Pelat Beton dengan Lapis Pondasi Bawah
No Jenis Pondasi Faktor Gesekan (F)
1 Burtu, Lapen dan konstruksi sejenis 2,2
2 Aspal Beton, Lataston 1,8
3 Stabilisasi Kapur 1,8
4 Stabilisasi Aspal 1,8
5 Stabilisasi Semen 1,8
6 Koral 1,5
7 Batu Pecah 1,5
8 Sirtu 1,2
9 Tanah 0,9
Sumber : Ditjen Bina Marga (1985)
2.3.1.3 Beton Semen
Kekuatan beton harus dinyatakan dalam nilai kuat tarik lentur (flexural strength)
umur 28 hari, yang didapat dari hasil pengujian balok dengan pembebanan tiga titik
(ASTM C-78) yang besarnya secara tipikal sekitar 3 – 5 MPa (30 - 50 kg/cm2). Kuat tarik
lentur beton yang diperkuat dengan bahan serat penguat seperti serat baja, aramit atau
serat karbon, harus mencapai kuat tarik lentur 5 – 5,5 MPa (50 - 55 kg/cm2). Kekuatan
rencana harus dinyatakan dengan kuat tarik lentur karakteristik yang dibulatkan hingga
0,25 MPa (2,5 kg/cm2) terdekat. Hubungan antara kuat tekan karakteristik dengan kuat
tarik - lentur beton dapat didekati dengan rumus berikut :
fcf = K (fc’)0,50 dalam Mpa ............................................................................. 2.1
fcf = 3,13 K (fc’)0,50 dalam kg/cm2 ................................................................ 2.2
Dengan :
fc’ : kuat tekan beton karakteristik 28 hari (kg/cm2)
fcf : kuat tarik lentur beton 28 hari (kg/cm2)
K : konstanta, 0,7 untuk agregat tidak dipecah dan 0,75 untuk agregat pecah.
Bahan beton semen terdiri dari agregat, semen, air, dan bahan tambah jika
diperlukan, dengan spesifikasi sebagai berikut :
a. Agregat yang akan dipergunakan untuk perkerasan beton semen harus sesuai
dengan AASHTO M6-97 untuk agregat halus, dan AASHTO M80-87 untuk agregat
kasar. Ukuran maksimum nominal agregat kasar harus dibatasi hingga
II-9
seperempat dari tebal perkerasan beton semen. Ukuran nominal agregat kasar
yang didasarkan pada ketebalan perkerasan diperlihatkan pada Tabel 2.2 Ukuran
maksimum nominal agregat kasar harus dikombinasikan dengan ukuran yang
lebih kecil sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
Tabel 2.2 Ukuran Nominal Agregat Kasar Terhadap Tebal Perkerasan
No Ukuran Agregat Kasar (mm) Tebal Perkerasan (cm)
1 19,0 10,0 – 15,0
2 26,5 15,0 – 17,5
3 37,5 >17,5
Sumber : Litbang PU (2003)
b. Semen yang digunakan untuk pekerjaan beton umumnnya tipe I yang harus
sesuai dengan SNI 15-2049-1994. Semen harus dipilih dan sesuai dengan
lingkungan,
c. Air harus bersih terbebas dari segala hal yang dapat merugikan dan dapat
merusak kekuatan, waktu seting atau keawetan beton serta kekuatan beton serta
kekuatan dan keawetan tulangan,
d. Bahan tambah harus sesuai dengan persyaratan ASTM C-494 untuk water
reducing dan SNI 03-2496-1991 untuk airentraining.
2.3.1.4 Lalu Lintas
Penentuan beban lalu lintas rencana untuk perkerasan beton semen, dinyatakan
dalam jumlah sumbu kendaraan niaga (commercial vehicle), sesuai dengan konfigurasi
sumbu pada lajur rencana.
Kendaraan yag ditinjau untuk perkerasan jalan beton semen adalah yang
mempunyai berat total minimum 5 ton dan harus mempunyai lebar 2,75m (RSNI T-02-
2005, pasal 6.2)
2.3.1.4.1 Umur Rencana
Umur rencana perkerasan jalan ditentukan atas pertimbangan klasifikasi
fungsional jalan, pola lalu lintas serta nilai ekonomi jalan yang bersangkutan. Umumnya
perkerasan jalan beton dapat direncanakan dengan umur rencana (UR) 20 tahun sampai
40 tahun.
II-10
2.3.1.4.2 Pertumbuhan Lalu-lintas
Volume lalu lintas akan bertambah sesuai dengan umur rencana atau sampai
tahap di mana kapasitas jalan dicapai denga faktor pertumbuhan lalu-lintas yang dapat
ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut :
.......................................................................................... 2.3
Dimana :
R : Faktor pertumbuhan lalu lintas
i : Laju pertubuhan lalu lintas per tahun dalam %
UR : Umur rencana (Tahun)
Faktor pertumbuhan lalu lintas (R) dapat juga ditentukan berdasarkan Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Faktor Pertumbuhan Lalu-lintas (R)
Umur Rencana
(Tahun)
Laju Pertumbuhan (i) per tahun (%)
0 2 4 6 8 10
5 5 5,2 5,4 5,6 5,9 6,1
10 10 10,9 12 13,2 14,5 15,9
15 15 17,3 20 23,3 27,2 31,8
20 20 24,3 29,6 36,8 45,8 57,3
25 25 32 41,6 54,9 73,1 98,3
30 30 40,6 56,1 79,1 113,3 164,5
35 35 50 73,7 111,4 172,3 271
40 40 60,4 95 154,8 259,1 442,6
Sumber : Ditjen Bina Marga, (1985)
2.3.1.5 Sambungan
Sambungan pada perkerasan beton semen ditujukan untuk :
a. Membatasi tegangan dan pengendalian retak yang disebabkan oleh penyusutan,
pengaruh lenting serta beban lalu-lintas.
b. Memudahkan pelaksanaan.
c. Mengakomodasi gerakan pelat.
Pada perkerasan beton semen terdapat beberapa jenis sambungan antara lain :
a. Sambungan memanjang
b. Sambungan melintang
Semua sambungan harus ditutup dengan bahan penutup (joint sealer).
𝑅 = 1 + 𝑖 𝑈𝑅 − 1
𝑖
II-11
2.3.1.5.1 Sambungan Memanjang Dengan Batang Pengikat (tie bars)
Pemasangan sambungan memanjang ditujukan untuk mengendalikan terjadinya
retak memanjang. Jarak antar sambungan memanjang sekitar 3 – 4 m. Sambungan
memanjang harus dilengkapi dengan batang ulir dengan mutu minimum BJTU – 24 dan
berdiameter 16 mm. Ukuran batang pengikat dihitung dengan persamaan sebagai berikut
Untuk menentukan dimensi batang pengikat, menurut AASHTO Guide for Design
of Pavement Structures 1986, dapat digunakan grafik Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Jarak Tie Bars Maksimum Menurut ASHTO (1986) untuk Tulangan Baja Grad40
dan F = 1,5
Sumber : Yoder dan Witczak, (1975)
2.3.1.5.2 Sambungan Pelaksanaan Memanjang
Sambungan pelaksanaan memanjang umumnya dilakukan dengan cara
penguncian. Bentuk dan ukuran penguncian dapat berbentuk trapesium atau setengah
lingkaran sebagai mana diperlihatkan pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Tipikal Sambungan Memanjang
Sumber : Bina Marga. (2003). Pd T-14-(2003)
II-12
Gambar 2.9 Ukuran standar penguncian sambungan memanjang
Sumber : Bina Marga. (2003). Pd T-14-(2003)
2.3.1.5.3 Sambungan Susut Memanjang
Sambungan susut memanjang dapat dilakukan dengan salah satu dari dua cara
ini, yaitu menggergaji atau membentuk pada saat beton masih plastis dengan kedalaman
sepertiga dari tebal pelat.
2.3.1.5.4 Sambungan Susut Dan Sambungan Pelaksanaan Melintang
Ujung sambungan ini harus tegak lurus terhadap sumbu memanjang jalan dan tepi
perkerasan. Untuk mengurangi beban dinamis, sambungan melintang harus dipasang
dengan kemiringan 1 : 10 searah perputaran jarum jam.
2.3.1.5.5 Sambungan Susut Melintang
Kedalaman sambungan kurang lebih mencapai seperempat dari tebal pelat untuk
perkerasan dengan lapis pondasi berbutir atau sepertiga dari tebal pelat untuk lapis
pondasi stabilisasi semen sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2.9 dan 2.10. Jarak
sambungan susut melintang untuk perkerasan beton bersambung tanpa tulangan sekitar
4 - 5 m, sedangkan untuk perkerasan beton bersambung dengan tulangan 8 – 15 m dan
untuk sambungan perkerasan beton menerus dengan tulangan sesuai dengan
kemampuan pelaksanaan. Sambungan ini harus dilengkapi dengan ruji polos panjang 45
cm, jarak antara ruji 30 cm, lurus dan bebas dari tonjolan tajam yang akan mempengaruhi
gerakan bebas pada saat pelat beton menyusut. Setengah panjang ruji polos harus dicat
atau dilumuri dengan bahan anti lengket ataupun digunakan pipa untuk menjamin tidak
ada ikatan dengan beton. Tujuannya agar pada saat terjadi guncangan akibat gaya yang
bekerja antara segmen pada pelat tidak terjadi patahan/retak pada pelat yang dibebani
II-13
tersebut. Sehingga beban yang diterima oleh pelat dapat seimbang tanpa merusak
(retak/patah) pada sambungan pelat tersebut. Diameter ruji tergantung pada tebal pelat
beton sebagaimana terlihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Data Teknis Perkerasan
No Tebal pelat beton, h (mm) Diameter Ruji (mm)
1 125<h≤140 20
2 140<h≤160 24
3 160<h≤190 28
4 190<h≤220 33
5 220<h≤250 36
Sumber : Bina Marga. (2003). Pd T-14-(2003)
Gambar 2.10 Sambungan Susut Melintang Tanpa Ruji
Sumber : Bina Marga. (2003). Pd T-14-(2003)
Gambar 2.11 Sambungan Susut Melintang Dengan Ruji
Sumber : Bina Marga. (2003). Pd T-14-(2003)
2.3.1.5.6 Sambungan Pelaksanaan Melintang
Batang pengikat berulir, sedangkan pada sambungan yang direncanakan harus
menggunakan batang tulangan polos yang diletakkan di tengah tebal pelat. Tipikal
sambungan pelaksanaan melintang diperlihatkan pada Gambar 2.11 dan Gambar 2.12.
II-14
Sambungan pelaksanaan tersebut di atas harus dilengkapi dengan batang pengikat
berdiameter 16 mm, panjang 69 cm dan jarak 60 cm, untuk ketebalan pelat sampai 17
cm. Untuk ketebalan lebih dari 17 cm, ukuran batang pengikat berdiameter 20 mm,
panjang 84 cm dan jarak 60 cm.
Gambar 2.12 Sambungan Pelaksanaan yang Direncanakan dan yang Tidak Direncanakan
Untuk Pengecoran Per-lajur
Sumber : Bina Marga. (2003). Pd T-14-(2003)
Gambar 2.13 Sambungan Pelaksanaan yang Direncanakan dan yang Tidak Direncanakan
Untuk Pengecoran Seluruh Lebar Perkerasan
Sumber : Bina Marga. (2003). Pd T-14-(2003)
2.3.1.5.7 Penutup Sambungan
Penutup sambungan dimaksudkan untuk mencegah masuknya air dan atau benda
lain ke dalam sambungan perkerasan. Benda-benda lain yang masuk ke dalam
sambungan dapat menyebabkan kerusakan berupa gompal dan atau pelat beton yang
saling menekan ke atas (blow up).
2.3.2 Perencanaan Tebal Pelat Perkerasan Kaku
Pada proses perencanaan tebal perkerasan kaku didesain menggunakan program
komputer SAP2000 dimana untuk perhitungan secara konservatif, diterapkan prinsip
kelelahan (fatigue) dimana dianggap apabila perbandingan tegangan yang terjadi pada
beton akibat beban roda terhadap kuat lentur beton (Modulus of Rapture, MR) <100%.
Apabila perbandingan tegangan tersebut sangat rendah, maka beton akan mampu
memikul repetisi tegangan yang tidak terbatas tanpa kehilangan kekuatannya. Apabila
II-15
prinsip kelelahannya (tegangan maksimum) lebih besar dari kekuatan ijin (Moduus of
Rapture, MR), tebal taksiran dinaikan dan proses perencanaan diulangi.
Tebal rencana adalah tebal taksiran yang paling kecil yang mempunyai total fatik
dan atau total tegangan lebih kecil atau sama dengan kekuatan ijin.
Teori-teori yang meninjau penyebaran tegangan pada pelat ketika diberi beban
antara lain :Teori Westergaard. Westergaard membuat bentuk pendekatan solusi analitis
untuk tegangan pada perkerasan kaku pada tahun 1926. Dia mengasumsikan bahwa
tanah dasar tidak dapat menyalurkan tegangan geser. Dimana kondisi pondasi Winkler
dan tanah dasar ditandai dengan parameter tunggal yakni dengan modulus reaksi tanah
dasar (Tu, 2007). Tekanan vertikal tanah dasar terhadap pelat beton adalah konstanta
yang sama terhadap reaksi tanah dasar (k). Pendekatan yang dibuat oleh Westergaard
dalam penelitiannya, yaitu mengaasumsikan bahwa :
a. Pelat beton bersifat homogen, isotropik.
b. Teori klasik pelat Kirchhoff diasumsikan untuk pelat beton.
c. Reaksi tanah dasar hanya ke arah vertikal dan sebanding dengan lendutan pada
pelat.
d. Pelat beton bertumpu pada rangkaian pegas dengan konstanta pegas (k),
tergantung pada lendutan pelat.
e. Ketebalan pelat adalah seragam.
f. Tiga kondisi pembebanan yang ditinjau terdiri dari pembebanan dalam (interior
loading), pembebanan sudut (corner loading), dan pembebanan tepi (edge
loading).
g. Tekanan beban diasumsikan terdistribusi seragam pada area lingkaran atau
setengah lingkaran dengan jari-jari (a).
Persamaan Westergaard telah dikomputasi oleh Packard dan Darter pada tahun
1968 dan 1987, teori Westergaard memiliki banyak keterbatasan untuk model realitas
perilaku perkerasan. Sebagai contoh, ketidakmampuan memperkirakan respon pada
lokasi/titik acak dapat menjadi masalah serius dalam analisa respon pada kondisi
pembebanan tertentu untuk kasus dimana rasio antara bentang dengan ketebalan kurang
dari 100 (Tu, W, 2007).
2.3.2.1 Muatan Sumbu Terberat (MST) Kendaraan
Untuk pengendalian beban berlebih, diperlukan pengaturan melalui pembatasan
beban lalu lintas dengan konsep Muatan Sumbu Terberat (MST) dimana muatan sumbu
II-16
terberat (MST) adalah beban gandar maksimum yang diijinkan pada jalan raya. MST
dipakai sebagai dasar Hukum (Legal Aspect) dalam pengendalian dan pengawasan
muatan kendaraan di jalan dan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang undangan.
Berdasarkan keputusan Departemen Perhubungan, dilakukan pembatasan beban
kendaraan dengan MST diatas 10 ton, MST = 10 ton dan MST = 8 ton. Muatan sumbu
terberat (MST) di Indonesia menurut Peraturan Pemerintah No. 43 Th. 1993 tentang
Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, MST lebih 10 ton : untuk jalan kelas I, MST = 10 ton :
untuk jalan kelas II, dan MST = 8 ton : untuk jalan kelas IIIA, IIIB, IIIC.
Beban truk "T" adalah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan pada
beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap as terdiri dari dua bidang kontak
pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi pengaruh roda kendaraan berat. Hanya
satu truk "T" diterapkan per lajur lalu lintas rencana. Pembebanan truk "T" terdiri dari
kendaraan truk semi-trailer yang mempunyai susunan dan berat as. Berat dari masing-
masing as disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang merupakan bidang
kontak antara roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2 as tersebut bisa diubah-
ubah antara 4,0 m sampai 9,0 m untuk mendapatkan pengaruh terbesar pada arah
memanjang perkerasan (RSNI T-02-2005, pasal 6.4.1). Penggunaan MST lebih dari 10
ton ini akan diatur oleh Menteri Perhubungan dan Menteri Pekerjaan Umum. Adapun
konfigurasi konfigurasi beban untuk MST 10 ton dapat dilihat pada Gambar dibawah :
Gambar 2.14 Konfigurasi Beban Untuk MST 10 Ton
Sumber : Departemen Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (1993)
II-17
Gambar 2.15 Distribusi Beban Sumbu dari Berbagai Jenis Kendaraan
Sumber : Silvia Sukirman (1999)
Dimensi, berat kendaraan, dan beban yang dimuat akan menimbulkan gaya tekan
pada sumbu kendaraan. Gaya tekan sumbu selanjutnya disalurkan ke permukaan
perkerasan dan akan memberikan kontribusi pada perusakan jalan (Idris, M. dkk, 2009).
Beban yang terjadi akibat lalu lintas dapat dikonversikan ke dalam konfigurasi beban
sumbu seperti Gambar 2.13, dan 2.14.
2.3.2.2 Model Elemen Hingga (Finite Element Method) Perkerasan Kaku
Sejak tahun awal tahun 1970-an metode elemen hingga menjadi alat bantu yang
digunakan secara luas untuk menganalisis perkerasan kaku. Metode elemen hingga ini
sangat berguna untuk membantu keterbatasan metode analitis, sekalipun solusi
pendekatan analisis sangat diinginkan oleh para peneliti perkerasan jalan.
Zaghloul (1994), meneliti faktor beban equivalen dengan menggunakan model 3-D
elemen hingga nonlinier dinamis dengan program komputer berbasis elemen hingga
II-18
ABAQUS. Pelat beton dan tanah dasar dimodelkan dengan elemen brick 3-D. beton
dimodelkan sebagai bilinier elastic-plastic solid. Lapis pondasi dan tanah dasar
dimodelkan sebagai sebuah model elastis-plastis. Tanah dasar dimodelkan menggunakan
model Cam-Clay. Prediksi lendutan untuk kondisi beban statis dibandingkan dengan
solusi analitis Westergaard dan program elemen hingga terpisah digunakan untuk
memverifikasi model. Ketebalan berbeda dan kondisi tanah dasar juga diuji. Kemampuan
model dinamis program diuji dengan membandingkan respon pelat dengan data dari
pengamatan lapangan, hasilnya menunjukkan bahwa analisis dengan metode elemen
hingga menghampiri nilai data pengamatan lapangan.
2.3.2.3 Modulus Reaksi Tanah Dasar
Koefisien Modulus of Subgrade Reaction (ks) yang digunakan untuk analisis
struktur perkerasan dapat dihitung berdasarkan nilai CBR tanah dasarnya.
Gambar 2.16 Penentuan Nilai Modulus Reaksi Tanah Dasar
Sumber : DPU (1985)
2.3.2.4 Modulus Elastisitas
Modulus elastisitas biasa disebut juga modulus, dimana pada tahun 1807 Thomas
Young menemukan konsep baru. Modulus elastisitas (E) dapat digunakan untuk berbagai
material padat merupakan rasio konstan dari tegangan dan regangan dengan Persamaan
berikut :
II-19
........................................................................................ 2.6
Bahan elastis bisa kembali ke ukuran atau bentuk aslinya dengan seketika setelah
diregangkan atau ditekan. Hampir semua bahan-bahan adalah elastis dengan beban
yang diberikan dan tidak mengubah bentuk untuk selamanya. Oleh sebab itu, keelastisan
suatu struktur atau benda tergantung pada koefisien kakunya dan bentuk geometrisnya.
Pada dasarnya modulus elastisitas untuk satu bahan mempunyai batas regangan dan
tegangan elastisitasnya. Penting untuk diingat bahwa nilai dari modulus elastisitas bahan
adalah tidak sama nilainya dengan kekuatan bahan. Berikut uraian modulus elastisitas
yang dipakai dalam pemodelan perkerasan jalan kaku :
Modulus elastisitas beton dapat dihitung berdasarkan kuat tekan beton dengan
menggunakan Persamaan 2.7, (SNI 03 - 2847 – 2002, Pasal 10.5, hal.54).
Ec (Psi) = 4700√ ........................................................................................... 2.7
2.3.2.5 Angka / Rasio Poisson
Poisson ratio ialah perbandingan regangan arah lateral dengan regangan aksial
akibat pembebanan aksial dalam kondisi batas elastis. Nilai poisson ratio beton normal
berkisar antara 0,15-0,20. Namun demikian beberapa hasil penelitian mendapatkan nilai
poisson ratio beton normal antara 0,10 – 0,30 (R.Park dan T.Paulay, 1975).
Selain modulus elastisitas, parameter angka/rasion poisson juga penting dalam
pemodelan perkerasan jalan, Nilai poisson ratio ditentukan sebagai rasio kompresi poros
terhadap regangan permuaian lateral. Nilai poisson ratio dapat ditentukan berdasarkan
jenis tanah seperti yang terlihat pada Tabel 2.5 di bawah ini.
Tabel 2.5 Hubungan Antara Jenis Tanah dan Poission Ratio
Jenis Tanah Poisson Ratio
Lempung Jenuh 0,4 – 0,5
Lembpung Tak Jenuh 0,1 – 0,3
Lempung Berpasir 0,2 – 0,3
Lanau 03 – 0,35
Pasir 0,1 – 2,0
Batuan 0,1 – 0,4
Umum dipakai untuk tanah 0,3 – 0,4
Sumber :Braja M Das (1995)
𝐸 =𝑇𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝜎
𝑅𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝜀
II-20
Angka Poisson (Poisson ratio) untuk tiap material perkerasan yang akan
digunakan dalam analisis struktur perkerasan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel
2.6 berikut:
Tabel 2.6 Angka Poisson Ratio Untuk Material Perkerasan dalam Pemodelan Struktur
Perkerasan Kaku yang Duduk Di Atas Pasir
Material Angka Poisson ()
Beton / Portland Cement Cocrete (PCC) 0,2
Pasir (Subgrade) 0,4
Sumber : Braja M. Das (1995)
2.3.2.6 Permodelan Struktur Perkerasan Jalan Dengan Aplikasi SAP2000
Terkait dengan kompleksitas dari lapisan perkerasan, permodelan material, dan
kondisi pembebabanan, tidak ada solusi eksak yang dikembangkan untuk perhitungan
tegangan, regangan, dan lendutan pada struktur perkerasan. Metode pendekatan yang
cukup populer untuk menghitung tegangan, regangan, dan lendutan pada kondisi struktur
perkerasan yang kompleks tersebut adalah Metode Elemen Hingga atau Finite Element
Methond (FEM), sebab metode ini bisa menghitung banyak aspek penting untuk
memodelkan struktur perkerasan jalan, seperti perilaku non linier dari material
perkerasan, pembebanan statis, dinamis, serta pengaruh temperatur.
SAP2000 terdapat elemen - elemen yang digunakan untuk mendesain,
memodelkan struktur. Elemen-elemen itu terdiri dari enam macam yaitu, elemen rangka
(FRAME), elemen cangkang (SHEEL), elemen benda pejal dua dimensi (PLANE), elemen
benda pejal tiga dimensi aksisimetris (ASOLID), elemen benda pejal tiga dimensi
(SOLID), dan elemen nonlinier (NLLINK). Elemen yang mempresentasikan struktur
perkerasan lentur adalah elemen SOLID, ASOLID, SHELL, dan PLANE. (Hariadi, 2007).
Permodelan struktur perkerasan kaku dapat dilakukan dengan memodelkan pelat
beton dengan elemen SHELL kemudian dipresentasikan sebagai model tiga dimensi
dengan elemen SOLID, selanjutnya lapis pondasi dan tanah dasar dipresentasikan
sebagai kumpulan pegas (elastic spring). Karakteristik/propertis dari pelat beton yang
digunakan kemudian didefenisikan seperti tebal pelat, mutu beton, modulus elastisitas,
angka poisson, berat jenis beton.
2.3.3 Perencanaan Penulangan Jalan Beton
Besi tulangan yang dipakai dalam perkerasan kaku mempunyai fungsi utama untuk :
a. Membatasi lebar retakan, agar kekuatan pelat tetap dapat dipertahankan,
II-21
b. Memungkinkan penggunaan pelat yang lebih panjang agar dapat mengurangi
jumlah sambungan melintang sehingga dapat meningkatkan kenyamanan,
c. Mengurangi pengaruh kembang susut karena perubahan suhu,
d. Mengurangi biaya pemeiliharaan.
Besi tulangan yang dipakai harus bersih dari oli, kotoran, karat, dan pengelupasan.
Tulangan harus dipasang sebelum pembetonan dengan diberi penyangga yang ditahan
pada letak yang diinginkan. Ukuran atau jarak tulangan dari pelat beton adalah :
1. 60 ± 10 mm dibawah permukaan beton, untuk tebal pelat kurang dari 270mm
2. 70 ± 10 mm dibawah permukaan beton, untuk tebal pelat 270 mm atau lebih.
2.3.3.1 Perencanaan Tulangan Melintang
Luas tulangan melintang (As) yang diperlukan pada perkerasan beton
bersambung dengan tulangan dihitung menggunakan persamaan berikut :
............................................................................ 2.8
Dimana :
As : Luas penampang tulangan baja (mm2/m ebar pelat)
F : Koefisien gesek antara pelat beton dan pondasi bawah (Tabel 2.3)
L : Jarak antara sambungan yang tidak diikatat / tepi bebas pelat (m)
h : Tebal Pelat (m)
fs : Kuat tarik ijin tulangan (Mpa). Biasanya 0,6 kali tegangan leleh.
Tulangan melintang dipasang tepat ditengah tebal pelat dengan jarak antara
tulangan 300 ± 50 mm dari tepi pelat.
2.3.3.2 Perencanaan Tulangan Memanjang
Tulangan memanjang yang dibutuhkan pada perkerasan beton bertulang menerus
dengan tulangan dihitung dari persamaan berikut :
................................................................. 2.9
Dimana :
Ps :Presentase luas tulangan memanjang yang dibutuhkan terhadap luas
penampang beton (%)
𝐴𝑠 =1200 ∗ 𝐹 ∗ 𝐿 ∗ ℎ
𝑓𝑠
𝑃𝑠 =100 ∗ 𝑓𝑐𝑡 ∗ 1 3 − 0 2𝐹
𝑓𝑦 − 𝑛 𝑓𝑐𝑡
II-22
Fct : Kuat tarik langsung beton = 0,4 – 0,5 fcf (kg/cm2)
n : Angka ekivalen antara baja dan beton (Es/Ec)
F : Koefisien gesek antara pelat beton dan pondasi bawah (Tabel 2.3)
Es : Modulus elastisitas baja (20000 kg/cm2)
Ec : Modulus elastisitas beton = 1400√ (kg/cm2)
Tulangan dipasang tepat ditengah tebal pelat dengan jarak antara tulangan 125 ±
25 mm dari tepi pelat.