bab ii tinjauan pustaka - repository.unwira.ac.idrepository.unwira.ac.id/4240/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tumbuhan Miana (Colues antropurpureus Benth)
II.1.1 Morfologi dan Fisologi
Tumbuhan miana memiliki batang berair, tegak pada pangkalnya dan
merayap tinggi berkisar 30-150 cm, dan termasuk kategori tumbuhan basah yang
batangnya mudah patah. Daun tunggal, helaian daun berbentuk hati, pangkal
membulat atau melekuk menyerupai bentuk jantung dan setiap tepiannya dihiasi
oleh lekuk-lekuk tipis yang bersambungan yang memiliki warna beraneka ragam
dan ujung meruncing. Batang bersegi empat dengan alur yang agak dalam pada
masing-masing sisinya, berambut, percabangan banyak, berwarna kuning kemerah
coklatan. Bunga muncul pada pucuk tangkai batang berwarna putih, merah dan
ungu.
Tumbuhan miana memiliki aroma bau yang khas dan rasa yang agak
pahit. Buah keras berbentuk seperti telur dan licin. Jika seluruh bagian diremas
akan mengeluarkan bau yang harum.
Gambar II.2 Tumbuhan miana asal desa Kesetnana Kab. TTS
II.1.2 Klasifikasi
Menurut Wasiah, (2014) tanaman miana memiliki sinonim, seperti: Coleus
blumei, Coleus antropurpureus Benth, C. ingrates Benth, C lacintatus Benth, C.
hibridus hort, plectranthus scutellariodes (linn), Solenostemon scutellariodes
codd.
6
Di Indonesia dikenal dengan nama yang berbeda-beda tergantung daerah
yang ditemukannya. Di sumatera dikenal dengan nama gresing (Batak), adong-
adong (Palembang), miana dan pilado (Sumatera Barat). Di daerah jawa dikenal
dengan nama jawer kotok dan jengger ayam (Sunda), iler (Jawa Tengah),
kentangan (Jawa Timur). Di nusa tenggara dikenal dengan nama janggar siap,
ndae ana, sina (Bali) dan bunak mau larit (Timor). Di Sulawesi dikenal dengan
nama mayana (Manado), atik-atik (Bugis) dan bunga lali manu (Makasar).
Dari sistem sistematika (taksonomi), tumbuhan miana dapat diklasifikasi-
kan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Devisi : Spermatophyta
Class : Dicotylendonae
Ordo : Solanales
Family : Lamiaceae
Gens : Coleus
Speies : Coleus atropurpureus Benth.
II.1.3 Kandungan senyawa kimia daun miana
Menurut Frederik, (2015) daun miana memiliki kandungan kimia seperti
saponin, minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan saponin.
II.2 Gambaran Umum Bakteri Salmonella typhimurium
II.2.1 Morfologi dan Fisiologi
Salmonella typhimurium digolongkan sebagai bakteri gram negatif,
berbentuk batang (Gambar II.1), motil ukuran 1-3,5 cm × 0,5-0,8 cm (Sinona,
2005). Bakteri ini dapat tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif. Bertahan hidup
pada suhu di bawah 56oC. Salmonella typhimurium merupakan jenis
mikroorganisme penyebab demam tifoid.
7
Gambar II.1 Salmonella typhi di bawah mikroskop
II.2.2 Klasifikasi
Menurut Salmawati, (2015) bakteri Salmonella typhimurium dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Prokayotae
Division : Protophita
Phylum : Bacteria
Group : 5 – Facultatively Anaerobic Gram Negatif Rods
Ordo : Eubacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Species : Salmonella typhimurium
II.2.3 Penyakit Yang Disebabkan Oleh Salmonella typhimurium
Salmonella typhimurium adalah bakteri penyebab infeksi. Jika tertelan dan
masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan infeksi dan akan menimbulkan
penyakit demam (demam tifoid) pada manusia. Waktu inkubasi 7-21 hari,
kemudian timbul gejala demam dengan suhu tinggi, tidak buang air besar, kadang-
kadang diare, permukaan lidah kotor dengan warna putih, penderita kurang peka
terhadap rangsangan dari luar dan mulut terasa pahit.
Semakin tinggi jumlah Salmonella typhimurium di dalam suatu makanan,
semakin besar timbulnya gejala infeksi pada orang yang menelan makanan
tersebut dan semakin cepat waktu inkubasi selama timbulnya gejala infeksi.
8
II.2.4 Patogenesis dan Gejala Demam Tifoid
Demam tifoid timbul akibat dari infeksi oleh bakteri golongan Salmonella
yang memasuki tubuh penderita melalui saluran pencernaan. Sumber utama yang
terinfeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab
penyakit, baik ketika ia sedang sakit atau sedang dalam masa penyembuhan.
Salmonella typhimurium masuk ke tubuh manusia bersama bahan
makanan atau minuman yang tercemar. Cara penyebarannya melalui muntahan,
urin, dan kotoran dari penderita yang kemudian secara pasif terbawa oleh lalat
(kaki-kaki lalat). Gejala klinis yang umum adalah demam yang panjang (38,8 -
40,5˚C). Demam ini dapat berkelanjutan selama empat minggu jika tidak segera
ditangani. Gejala yang sering ditemukan seperti demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, mual, muntah, diare, pencernaan terganggu dan batuk.
II.2.5 Pencegahan Infeksi Salmonella typhimurium
Menurut Salmawati, (2015) kebanyakan kasus salmonelosis disebabkan
oleh makan makanan yang tercemar oleh bakteri salmonella, maka cara
pencegahan yang cepat adalah :
1. Memasak dengan baik bahan makanan yang berasal dari daging binatang.
2. Menyimpanan bahan makanan pada lemari es.
3. Melindungi bahan makanan dari pencemaran oleh binatang seperti lalat dan
hewan lain.
4. Pemeriksaan dari orang-orang yang menangani bahan makanan.
5. Penggunaan metode produksi dan produser pengolahan makanan.
6. Menjaga kebersihan diri dengan baik dan hidup dengan cara memenuhi syarat
kesehatan.
7. Ketika ditemukan adanya infeksi makanan oleh salmonella, maka harus segera
dilaporkan ke Dinas Kesehatan.
II.3 Ekstraksi Senyawa Bahan Alam
Ekstraksi adalah suatu proses penyaringan dengan memindahkan zat aktif
dari dalam sel menggunakan pelarut yang sesuai. Persiapan bahan baku meliputi
pengeringan bahan baku hingga kadar air tertentu, dan penggilingan untuk
9
mempermudah proses ekstraksi, serta mempermudah kontak antara bahan
dengan pelarut sehingga ekstraksi berlangsung dengan baik.
Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstrak.
Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang
berbeda. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah
selektivitas, kemampuan mengekstrak, toksisitas, kemampuan untuk diuapkan
dan harga pelarut.
Ekstraksi dapat dilakukan dengan metode maserasi, perkolasi, dan
sokletasi.
1. Maserasi
Maserasi merupakan cara penyaringan sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan panyaring. Cairan
penyaring akan menembus dinding sel dan masuk kedalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan
konsentrasi antara pelarut dan zat aktif dalam sel dan di luar sel, maka larutan
yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang-ulang sehingga
terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel.
2. Perkolasi
Perkolasi merupakan cara penyaringan yang dilakukan dengan
mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi.
Prinsip perkolasi adalah sebagai berikut :
a. Serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian
bawahnya diberi sekat berpori.
b. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut. Cairan
penyari akan melarutkan zat aktif yang dilalui sampai mencapai keadaan
jenuh. Gerakan ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri
dan cairan di atasnya, dikurangi dengan gaya kapiler yang cenderung untuk
menahan (Kristianti 2007).
3. Soxhletasi
Soxhletasi merupakan salah satu metode penyaringan yang digunakan
untuk menghasilkan ekstrak cair. Pada proses soxhletasi labu tempat cairan
10
penyari dipanaskan untuk uap penyari, uap cair penyari naik ke atas melalui
pipa samping, kemudian diembun kembali oleh pendingin tegak. Cairan turun
kembali ke labu melalui tabung yang berisi simplisia. Cairan penyari yang
turun akan melarutkan zat aktif serbuk simplisia, karena adanya sifon maka
setelah cairan mencapai permukaan sifon, seluruh cairan akan kembali ke labu.
Peristiwa ini berlangsung terus sehingga cairan penyari di dalam labu jenuh
oleh adanya zat aktif (Sinona, 2005).
II.4 Pengujian Antibakteri
Pengujian antibakteri merupakan suatu tindakan menguji satu bahan alam
terhadap suatu jenis bakteri. Dalam pengujian ini, hal yang diamati adalah
kemampuan dari ekstrak bahan alam tersebut yang dapat mempengaruhi
lingkungan tempat hidup bakteri yang diuji. Apabila kehadiran ekstrak bahan
alam menyebabkan lingkungan hidup bakteri menjadi tidak sesuai bagi kehidupan
bakteri, atau bahkan menyebabkan bakteri tidak dapat hidup pada lingkungan
tersebut, maka ekstrak bahan alam tersebut bersifat antibakteri.
Sifat suatu bahan sebagai antibakteri terdiri dari bakterisidal dan
bakteriostatik. Sifat bakterisidal yakni sifat suatu bahan antibakteri yang
mempunyai kemampuan membunuh secara kuat terhadap bakteri uji. Sifat
bakteriostatik yakni sifat suatu bahan antibakteri yang menghambat pertumbuhan
bakteri. Kemampuan suatu bahan antibakteri untuk membunuh atau menghambat
pertumbuhan bakteri, disebabkan oleh kemampuan interaksi kimiawi antara
senyawa kimia pada bahan antibakteri dengan senyawa kimia penyusun dinding
sel bakteri. Interaksi kimiawi dari suatu bahan dengan dinding sel bakteri yang
menyebabkan terjadinya kerusakan dinding sel bakteri sehingga menyebabkan
kematian pada bakteri, maka bahan kimia tersebut bersifat antibakteri.
Menurut Nahak, (2016) Pengujian aktivitas antibakteri suatu bahan alam,
dilakukan melalui beberapa metode, di antaranya metode difusi dan metode dilusi.
1. Metode Difusi, terdiri dari:
a. Metode disc diffusion, yaitu menentukan aktivitas agen antimikroba. Piringan
agen yang berisi antimikroba diletakan pada media agar yang telah ditanami
11
mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih
mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen
antimikroba pada permukaan media agar.
b. Metode E-test, digunakan untuk mengestimasi MIC (minimum inhibitor
concetration), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini, digunakan strip
plastik yang mengandung agen antimikroba dari konsentrasi terendah hingga
konsentrasi tertinggi dan diletakan pada permukaan media agar yang ditanami
mikroorganisme. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang ditimbulkan
menunjukan kadar agen antimikroba yang menghambat pertumbuhan
mikroorgnaisme pada media agar.
c. Ditch-plate technique, pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba
yang diletakan pada parit yang digunakan dengan cara memotong media agar
dalam cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan mikroba uji
(maksimum enam macam) digoreskan ke arah parit yang berisi agen
antimikroba.
d. Cup-plate technique, metode ini serupa dengan disc diffusion, dimana dibuat
sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada
sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji.
e. Gradient plate technique, pada metode ini konsentrasi agen antimikroba pada
media agar bervariasi dari nol hingga maksimal. Media agar dicairkan dan
larutan uji ditambahkan. Campuran kemudian dituangkan kedalam cawan
petri dan diletakan dalam posisi miring. Nutrisi kedua kemudian dituangkan
di atasnya. Plate inkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen
antimikroba berdifusi dan permukaan media mengering. Mikroba uji
(maksimal enam macam) digoreskan pada arah mulai dari konsentrasi tinggi
ke rendah. Hasil diperhitungkan sebagai total pertumbuhan mikorganisme
maksimum yang mungkin dibandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil
goresan.
12
2. Metode Dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua, yaitu dilusi cair (broth dilution) dan
dilusi padat (solid dilution).
a. Metode dilusi cair, digunakan untuk mengukur MIC atau kadar hambat
minimum dan MBC atau kadar bunuh minimum. Cara yang dilakukan adalah
dengan memberi seri pengenceran, agen antimikroba pada media cair yang
ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar
terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan
sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM selanjutnya dikultur
ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen
antimikroba dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat
jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KHB.
b. Metode dilusi padat, metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun
menggunkan metode padat (soil). Keuntungan metode ini adalah suatu
konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji
beberapa mikroba uji.
II.5 Analisis komponen aktif Senyawa Bahan Alam
II.5.1 fitokimia
a. Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa fenolik alam yang potensial sebagai
antioksidan dan mempunyai bioaktivitas sebagai obat. Flavonoid pada
umumnya mempunyai kerangka flavon C6-C3-C6, dengan tiga atom karbon
sebagai jembatan antara gugus fenil yang biasanya juga terdapat atom
oksigen.
Gambar II.3 Struktur senyawa flavonoid atau 1,3-diarilpropana
13
Senyawa flavonoid yang telah diisolasi dari berbagai tumbuhan diketahui
mempunyai aktivitas biologi, seperti bersifat sitotoksik terhadap sel kanker,
anti inflamasi, anti jamur, dan antibakteri. Flavonoid merupakan senyawa
yang bersifat polar karena memiliki gugus hidroksil yang tidak tersubstitusi.
Menurut Fitriana, (2008) pada tumbuhan, flavonoid meningkatkan
pembentukan sel-sel halus, sebagai enzim penghambat pembentukan protein,
menghasilkan zat warna pada bunga untuk merangsang serangga, burung
dan satwa lainnya untuk mendatangi tumbuhan tersebut sebagai agen
dalam penyerbukan dan penyebaran biji. Flavonoid melakukan aktivitas
antioksidan dengan cara menekan pembentukan spesies oksigen reaktif, baik
dengan cara menghambat kerja enzim maupun dengan mengikat logam yang
terlibat dalam produksi radikal bebas.
Berdasarkan tingkat oksidasi rantai propane, flavanoid dapat
dibedakan atas beberapa golongan, yaitu flavon, flavonol, isoflavon, Dari
semua golongan tersebut flavon, flavonol adalah golongan yang paling sering
ditemukan. Penggolongan flavonoid berdasarkan penambahan rantai oksigen
dan perbedaan distribusi dari gugus hidroksil ditunjukkan pada gambar
sebagai berikut:
O
O
Gambar II.4 Struktur kimia flavonon,
14
O
O
Gambar II.5 Struktur kimia flavon
O
O
Gambar II.6 Struktur kimia isoflavon
b. Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa kimia yang secara khas diperoleh dari
tumbuhan dan hewan, bersifat basa, mengandung satu atau lebih atom
nitrogen (biasanya dalam cincin heterosiklik), dibiosintesis dari asam amino,
banyak diantaranya memiliki aktivitas biologis pada manusia dan hewan.
Alkaloid merupakan suatu golongan senyawa organik yang terbanyak
ditemukan di alam. Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai bagian
tumbuhan seperti biji, daun, ranting dan kulit batang.
Kebanyakan alkaloid berupa padatan kristal dengan titik lebur tertentu
atau mempunyai kisaran dekomposisi. Dapat juga berbentuk amorf dan
beberapa seperti nikotin dan kuinilin berupa cairan.
Menurut Pramita (2013) senyawa alkaloid banyak diminati karena
sebagai bioaktivitas dan efek farmakalogi seperti antimikroba, antibakteri,
antijamur, antioksidan, antiradikal dan antikanker.
Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan
fisiologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi adapula yang sangat
berguna untuk pengobatan. Morfin dan striknin merupakan contoh senyawa
alkaloid yang terkenal mempunyai efek fisiologis dan psikologis (Astuti,
15
2007).
Beberapa senyawa alkaloid yang mempunyai efek fisiologis, yakni
alkaloid indol memiliki kemampuan untuk menghentikan reaksi radikal bebas
atau antioksidan secara efisien. Morfin memiliki kemampuan untuk menahan
rasa nyeri. Kodein digunakan sebagai obat batuk,
Menurut Salmawati (2015) alkaloid mempunyai kemampuan sebagai
antibakteri. Mekanisme yang diduga adalah dengan cara mengganggu
komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding
sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut.
NH
Gambar II.7 Struktur dasar alkaloid
c. Saponin
Saponin adalah golongan glikosida dan strerol yang apabila
dihidrolisis secara sempurna akan menjadi gula yang disebut sapogenin atau
genin. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang kuat yang
menimbulkan busa jika dikocok dalam air pada konsentrasi yang rendah
sering menyebabkan hemolosis sel darah merah. Hemolisis darah merah oleh
saponin ini merupakan hasil interaksi antara saponin dengan senyawa-
senyawa yang terdapat pada permukaan membran sel, seperti kolesterol,
protein dan fosfolipid. Saponin larut dalam air, sedikit larut atau tidak
sama sekali dalam etanol dan metanol pekat yang dingin.
Menurut Kristianti, (2007) Saponin berasa pahit, berbusa dalam air,
mempunyai sifat deterjen yang baik, beracun bagi binatang berdarah dingin,
mempunyai aktivitas hemolisis, merusak sel darah merah, tidak beracun bagi
hewan berdarah panas, mempunyai sifat antiinflamasi.
Menurut Dian dkk, (2016) mekanisme kerja saponin sebagai
antibakteri adalah berdifusi melalui membran luar dan dinding sel yang
16
rentan kemudian mengikat membran sitoplasma sehingga mengganggu dan
mengurangi kestabilan membran sel. Hal ini menyebabkan sitoplasma bocor
keluar dari sel yang mengakibatkan kematian sel. Agen antimikroba yang
mengganggu membran sitoplasma bersifat bakterisida.
Gambar II.8 Struktur kimia saponin
d. Terpenoid
Terpenoid adalah komponen-komponen tumbuhan yang memiliki bau
dan dapat diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan disebut minyak
atsiri. Secara umum minyak atsiri adalah senyawa yang mengandung karbon
dan hidrogen yang tidak bersifat aromatik yang disebut terpenoid. Sebagian
besar terpenoid mempunyai kerangka karbon yang dibangun oleh dua atau
lebih unit C5 yang disebut isoprena. Secara umum terpenoid terdiri dari
unsur-unsur C dan H dengan rumus molekul umum (C5H8)n. Sebagian besar
terpenoid mengandung atom karbon yang jumlahnya merupakan kelipatan
lima. Penyelidikan selanjutnya menunjukan pula bahwa sebagian besar
terpenoid mempunyai kerangka karbon yang dibangun oleh dua atau lebih
unit C5 yang disebut unit isopren. Unit C5 ini dinamakan demikian karena
kerangka karbonnya seperti senyawa isopren.
Senyawa golongan terpenoid menunjukkan aktivitas farmakologi
yang signifikan, seperti anti-viral, anti-bakteri, anti-inflamasi, sebagai inhibisi
terhadap sintesis kolesterol dan sebagai anti kanker.
17
Gambar II.9 Struktur kimia beberapa terpenoid
e. Steroid
Steroid merupakan senyawa turunan lemak yang berasal dari
terpenoid yang tidak terhidrolisis. Steroid sendiri merupakan kelompok
senyawa yang penting dengan struktur dasar berupa 17 atom karbon dan 4
cincin. Steroid dapat meningkatkan permeabilitas membran sel dan
merangsang pembungaan.
Dalam pengobatan senyawa ini berguna sebagai zat antibiotik
diantaranya anti jamur, bakteri dan virus. Steroid sebagai pengatur aktivitas
biologis dalam organisme hidup. Steroid dibentuk oleh bahan alam yang
disebut sterol. Sterol merupakan senyawa yang terdapat pada lapisan luar
(lilin) daun dan buah yang berfungsi sebagai pelindung untuk menolak
serangga dan serangan mikroba (Dian dkk, 2016).
Gambar II.10 Struktur kimia steroid
f. Tanin
Tanin terdapat dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae
terdapat khusus dalam jaringan kayu. Sebagian besar tumbuhan yang
banyak bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya
yang sepat. Tanin terkondensasi hampir terdapat di dalam paku-pakuan dan
gimnospermae, serta tersebar luas dalam angiospermoe, terutama pada
18
tumbuhan berkayu. Sebaliknya, tanin yang terhidrolisiskan penyebarannya
terbatas pada tumbuhan berkeping dua.
Senyawa ini memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Mekanisme
aktivitas antibakteri yang dimiliki tanin adalah dengan cara mengkerutkan
dinding sel atau membran sel sehingga mengganggu permeabilitas sel.
Akibatnya sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup sehingga
pertumbuhan terhambat atau mati (Ajizah, 2004).
Adapun struktur kimia tannin adalah sebagai berikut
Gambar II.11 Struktur kimia tannin
Uji tannin akan digunakan FeCl3 yang hasil ujinya akan berwarna
hijau kehitaman yang menunjukan adanya tannin. Terbentuknya warna hijau
kehitaman karena tannin akan membentuk senyawa kompleks dengan FeCl3.
Gambar II.12 Reaksi tannin dengan FeCl3
19
II.5.2 Fraksinasi
Fraksinasi senyawa bahan alam merupakan suatu tindakan untuk
memisahkan komponen-komponen senyawa kimia di dalam suatu bahan
alam. Metode fraksinasi yang umum dilakukan adalah melalui kromatografi.
Teknik kromatografi terdiri dari:
a. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis merupakan suatu metode pemisahan
komponen kimia yang sederhana dengan menggunakan waktu yang
singkat dengan menggunakan plat kaca yang dilapisi silika gel dengan
menggunakan pelarut tertentu.
Fase diam yang digunakan dalam KLT adalah lapisan tipis yang
terdiri atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar.
Absorben atau penyerap yang biasa digunakan adalah silika gel, alumina
atau selulosa. Besar partikel yang digunakan adalah 1–25 mikron. Partikel
dengan butiran sangat kasar tidak dapat memisahkan komponen dengan
baik, sehingga untuk mendapatkan pemisahan yang baik yaitu dengan
menggunakan partikel dengan butiran yang lebih halus.
Fase gerak adalah medium angkut yang terdiri dari satu atau
beberapa pelarut. Pemilihan fasa gerak (pelarut pengembang), tergantung
pada sifat kelarutan dan kemampuan elusi pelarut tersebut. Pelarut
pengembang akan bergerak pada fase diam dari bawah ke atas. Komponen
yang larut dalam pelarut akan terbawa oleh fase gerak melewati absorben
dengan kecepatan yang berbeda-beda, sedangkan komponen yang tidak
larut akan tertahan. Perbandingan kecepatan ini disingkat Rf (Retardation
factor) yaitu jarak yang ditempuh oleh komponen senyawa terlarut
(terelusi) dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut (pengelusi).
b. Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom merupakan Kolom kromatografi dapat berupa
pipa gelas yang dilengkapi dengan kran dan gelas penyaring di dalamnya.
kromatografi yang menggunakan kolom sebagai alat untuk memisahkan
komponen-komponen dalam campuran. Ukuran kolom tergantung pada
20
banyaknya zat yang akan dipisahkan. Untuk menahan penyerap yang
diletakkan di dalam kolom dapat digunakan gelas wool atau kapas. Penyerap
yang sering digunakan adalah silica gel dan alumina.
Pelarut yang digunakan untuk melarutkan absorben dapat digunakan
kembali untuk melarutkan sampel dan digunakan pertama kali untuk
mengelusi sampel. Larutan cuplikan dimasukkan ke dalam kolom dengan
menggunakan pipet kecil yang ujungnya ditempelkan pada dinding kolom
dan terletak sedikit di atas dari permukaan penyerap, selama zat cair lepas
dari pipet, ujung pipet digerakkan berkeliling dalam kolom dan jangan sampai
ujungnya menyentuh penyerap. Bila semua cuplikan telah diserap dalam
kolom, maka bagian atasnya dapat diisi dengan pelarut dan permukaan
pelarut dapat menggunakan corong pisah.
II.5.3 Spektrofotometri UV-Vis
Spektrofotometer UV-Vis adalah seuatu alat yang digunakan untuk
mengukur trasmitan atau absorban suatu sampel sebagai fungsi panjang
gelombang, tiap media akan menyerap cahaya pada panjang gelombang
tertentu tergantung pada senyawa atau warna terbentuk. Menurut Suhartati,
(2017) Spektrofotometer terdiri dari 4 bagian tertentu diantaranya:
a. Sumber cahaya
Sebagai sumber cahaya pada Spektrofotometer, memiliki pancaran
radiasi yang stabil dan insentitasnya tinggi. Sumber energi cahaya yang biasa
untuk daerah tampak. Ultraviolet dekat dan inframerah dekat adalah
sebuah lampu pijar dengan kawat rambut terbuat dari wolfran (tungsten)
lampu ini mirip dengan bola lampu pijar biasa pada daerah panjang
gelombang adalah 350-2200 nanometer (nm).
b. Monokromator
Momokromator adalah alat yang berfungsi untuk mengerakkan cahaya
polikromatis menjadi beberapa komponen panjang gelombang tertentu
(monokromatis) yang berbeda (terdispersi).
c. Kuvet
21
Kuvet Spektrofotometer adalah suatu alat yang digunakan sebagai
tempat sampel atau cuplikan yang akan dianalisis. kuvet biasanya terbuat dari
kwarsa, plexigalass, kaca, plastik dengan bentuk tabung empat persegi
panjang 1x1cm dan tinggi 5cm.
d. Detektor
Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya
pada berbagai panjang gelombang, detektor mengubah cahaya menjadi sinyal
listrik yang selanjutnya akan ditampilkan data dalam bentuk jarum penunjuk
atau angka digital.
Gambar II.13 Diagram alat spektrofotometer UV-Vis
Sumber: Suhartati, 2017.
Cara Kerja Spektrofotometer
Cahaya yang berasal dari lampu deuterium maupun wolfram diteruskan
melalui lensa menuju ke manokromator pada spektrofotometer dan filter cahaya
pada fotometer. Monokromator kemudian mengubah cahaya polikromatis
menjadi cahaya monokromatis (tunggal). Bercak-bercak cahaya dengan panjang
tertentu kemudian akan dilewatkan pada sampel yang mengandung suatu zat
dalam konsentrasi tertentu. Oleh karena itu terdapat cahaya yang diserap
(diabsorbsi), adapula yang dilewatkan. Cahaya yang dilewatkan kemudian
diterima oleh detektor. Detektor kemudian akan menghitung cahaya yang
diterima kemudian diserap oleh sampel (Suhartati, 2017).
Istilah-istilah yang sering digunakan dalam spektrofotometri
ultraviolet (Harmita, 2006)
22
1. Kromofor merupakan gugus tidak jenuh yang menyerap radiasi di daerah
ultraviolet dengan hampir semua kromofor mempunyai ikatan tak jenuh.
Contohnya C=C, C=O, dan NO2
2. Ausokrom merupakan sebuah gugus jenuh yang bila terikat pada
kromofor akan mengubah panjang gelombang dan intensitas dari serapan
maksimum.
Contohnya : -OH, -NH2, -Cl.
3. Pergeseran batokromik atau pergeseran merah merupakan pergeseran
serapan maksimum ke arah panjang gelombang yang lebih panjang yang
disebabkan oleh perubahan pelarut atau adanya suatu auksokrom.
4. Pergeseran hipsokromik atau pergeseran biru merupakan pergeseran
serapan ke arah panjang gelombang lebih pendek yang disebabkan oleh
perubahan pelarut atau adanya konyugasi yang dihilangkan.
5. Efek hipokromik merupakan efek yang menyebabkan penurunan intensitas
serapan.
6. Efek hiperkromik merupakan efek yang menyebabkan kenaikan intensitas
serapan.
Interaksi sinar UV-Vis dengan senyawa
Menurut Suhartati, (20017) interaksi sinar ultraviolet atau sinar tampak
menghasilkan transisi elektronik dari elektron-elektron ikatan, baik ikatan
sigma (σ) dan pi (π) maupun elektron non ikatan (n) yang ada dalam molekul
organic. Elektron-elektron ini berbeda di bagian luar dari molekul organik.
Transisi elektronik yang terjadi merupakan perpindahan electron dari
orbital ikatan atau nonikatan ke tingkat orbital anti ikatan atau disebut
dengan tingkat eksitasi. Orbital ikatan atau non ikatan sering
disebut dengan orbital dasar, sehingga transisi elektron sering
dinyatakan sebagai transisi elektron dari tingkat dasar ke tingkat
tereksitasi. Tingkat tereksitasi dari elektron molekul organik hanya
ada dua jenis, yaitu pi bintang (π*) dan sigma bintang (σ*).
23
Gambar II.14 Tipe transisi elektronik dalam molekul organic
Transisi σ σ* memerlukan panjang gelombang paling kecil
atau energy paling besar sedangkan transisi elektron n π*, memerlukan
panjang gelombang yang paling besar. Sinar ultraviolet (UV)
mempunyai rentang panjang gelombang 100-400 nm, sedangkan
sinar tampak (Vis) 400-750 nm. Umumnya senyawa organic yang hanya
memiliki ikatan sigma, akan mengabsorbsi panjang gelombang dibawah 200
nm; absorbsi pada panjang gelombang tersebut disebut dengan absorb
pada panjang gelombang tersebut disebut dengan absorpsi di
daerah ultraviolet vakum (daerah di bawah 200 nm) merupakan
daerah yang sukar memperoleh informasi mengenai struktur molekul
organik, sedangkan molekul organik yang memiliki ikatan π atau
memiliki elektron nonikatan akan mengabsorbsi pada panjang
gelombang yang lebih besar (Suhartati, 2017).
II.5.4 Spektrofotometer IR
Spektrofotometer IR merupakan salah satu alat yang dapat digunakan
untuk identifikasi senyawa, khususnya senyawa organik, baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Analisis dilakukan dengan melihat bentuk spektrumnya
yaitu dengan melihat puncak-puncak spesifik yang menunjukan jenis gugus
fungsional yang dimiliki oleh senyawa tersebut. Sinar inframerah bila
24
dilewatkan melalui cuplikan senyawa organik maka sejumlah frekuensi akan
diserap sedangkan frekuensi yang lain diteruskan tanpa diserap. Penggunaan
terbesar terhadap kimia organik adalah pada panjang gelombang 4000-400 cm-
1. Frekuensi radiasi IR kurang dari 100 cm
-1 diabsorbsi dan diubah oleh
molekul organik menjadi energi rotasi molekul. Serapan ini diukur. Radiasi IR
dalam daerah panjang gelombang 10000-100 cm-1
diabsorbsi dan diubah oleh
sebuah molekul organik ke dalam energi vibrasi molekul.
Spektrofotometri inframerah memungkinkan identifikasi gugus
fungsional karena gugus fungsi tersebut menunjukkkan serapan yang spesifik
pada daerah inframerah. Cara menganalisis spektrum inframerah dari senyawa
yang tidak diketahui adalah pertama harus ditentukan ada atau tidaknya
beberapa gugus fungsional utama, seperti N-H, O-H, C-H, C=O, C-O, C=C,
C-N, N-C=O.
Setiap frekuensi sinar (termasuk inframerah) mempunyai energi
tertentu, apabila frekuensi tertentu diserap ketika melewati sebuah senyawa
yang sedang diselidiki, maka energi dari frekuensi tersebut ditransfer ke
senyawa tersebut.
Dasar Spektroskopi Inframerah dikemukakan oleh Hooke dan
didasarkan atas senyawa yang terdiri atas dua atom atau diatom yang
digambarkan dengan dua buah bola yang saling terikat oleh pegas. Jika pegas
direntangkan atau ditekan pada jarak keseimbangan tersebut maka energi
potensial dari sistim tersebut akan naik. Setiap senyawa pada keadaan tertentu
telah mempunyai tiga macam gerak, yaitu :
a). Gerak Translasi, yaitu perpindahan dari satu titik ke titik lain.
b). Gerak Rotasi, yaitu berputar pada porosnya, dan
c). Gerak Vibrasi, yaitu bergetar pada tempatnya.
Bila ikatan bergetar, maka energi vibrasi secara terus menerus dan
secara periodik berubah dari energi kinetik ke energi potensial dan sebaiknya.
Jumlah energi total adalah sebanding dengan frekuensi vibrasi dan tetapan gaya
( k ) dari pegas dan massa ( m1) dan (m2 ) dari dua atom yang terikat. Energi
25
yang dimiliki oleh sinar infra merah hanya cukup kuat untuk mengadakan
perubahan vibrasi.
Prinsip dari spektrofotometer IR adalah ketika suatu molekul dari suatu
senyawa diberikan energi radiasi inframerah, maka molekul tersebut akan
mengalami vibrasi dengan syarat energi yang diberikan terhadap molekul
cukup untuk mengalami vibrasi. Ada dua macam vibrasi yaitu vibrasi regangan
atau sterching dan vibrasi tekuk atau bending. Vibrasi regangan adalah
pergerakan atom yang teratur sepanjang sumbu ikatan antara dua atom
sehingga jarak antara atom dapat bertambah atau berkurang. Vibrasi streching
ada dua tipe yaitu streching asimetris dan stretching simetris. Streching
simetris merupakan unit struktur bergerak bersamaan dan searah dalam satu
bidang datar. Streching asimetri merupakan unit struktur bergerak bersamaan
dan tidak searah tetapi dalam satu bidang datar (Sadaruddin, 2014).
Gambar II.15 Bentuk Vibrasi Streching
Vibrasi tekuk (bending) adalah pergerakan atom yang menyebabkan
perubahan sudut ikatan antara dua ikatan atau pergerakan dari sekelompok
atom terhadap atom lainnya. Ada 4 tipe vibrasi bending yaitu vibrasi goyangan
(rocking), vibrasi guntingan (scissoring), vibrasi pelintiran (twisting), dan
vibrasi kibasan (wagging).
26
Gambar II.16 bentuk vibrasi bending
Suatu ikatan dapat mengalami lebih dari satu masam vibrasi. Oleh karana
itu suatu ikatan tertentu dapat menyerap energi lebih dari satu panjang
gelombang. Misanya, suatu ikatan O-H menyerap energi pada kira-kira 3330 cm-
1 (vibrasi ulur/regangan). Selain itu ikatan O-H juga menyerap pada kira-kira
1250 cm-1
(vibrasi tekuk) (Sadaruddin, 2014).
27
Tabel II.1 Serapan Khas Beberapa Gugus Fungsi
Jenis senyawa Daerah serapan (cm-1
)
C-H Alkana (Rentangan) 3000 – 2850
Alkena (Rentangan) 3100 – 3000
Aromatik (Rentangan) 3159 – 3050
(Serapan Keluar Bidang) 900 – 650
Alkuna (Rentangan) ± 3330
Aldehid 2900 – 2800
2800 – 2700
C=C Alkena 1680 – 1600
Aromatik 1600 – 1475
C≡C Alkuna 2250 – 2100
C=O Aldehid 1740 – 1720
C=C Alkena 1680 – 1600
Aromatik 1600 – 1475
C≡C Alkuna 2250 – 2100
C=O Aldehid 1740 – 1720
Keton 1725 – 1705
Asam Karboksilat 1725 – 1700
Ester
Amida
1750 – 1730
1680 – 1630
Keton 1670 – 1640
C-O Alkohol, Ester, Eter, Asam
Karboksilat, Anhidrida,O-H Alkohol,
Fenol
1300 – 1000
N-H Amida Primer, Dan Sekunder 3500 – 3100
Amina (rentangan)
(Bengkokan) 1640 – 1550
C-N Amin 1350 – 1000
Sumber: Pavia dkk, (2009)