6 steven johnson syndrome
DESCRIPTION
tugasTRANSCRIPT
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II
ASUHAN KEPERAWATAN PADA STEVEN JOHNSON’S SYNDROM
Oleh kelompok VI:
Adelina Vidya
Awalia Bella
Desy Fitri M
Ika Febty D C
Juzri Sidik
Novitasari
Septiana
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
2012/1433
1 | P a g e
1. PendahuluanSteven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai
kompleks imun yang merupakan bentuk yang berat dari eritema multiformis. SJS dikenal pula sebagai eritema multiformis mayor. SJS umumnya melibatkan kulit dan membran mukosa. Ketika bentuk minor terjadi, keterlibatan yang signifikan dari mulut, hidung, mata, vagina, uretra, saluran pencernaan, dan membran mukosa saluran pernafasan bawah dapat berkembang menjadi suatu penyakit. Keterlibatan saluran pencernaan dan saluran pernafasan dapat berlanjut menjadi nekrosis. SJS merupakan penyakit sistemik serius yang sangat potensial menjadi penyakit yang sangat berat dan bahkan menjadi sebuah kematian.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritema multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis. Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk.
2. Pengertian Penyakit Steven Johnson’s Syndrome (SJS)Eritema multiforme adalah penyakit generalisata yang
bisa timbul sebagai kelainan kulit soliter atau disertai gejala prodromal berupa demam, nyeri tenggorokan, nyeri kepala, atralgia, dan gastroenteritis. Keluhan diikuti oleh erupsi eritematosa pleomorfik yang bisa menjadi bullosa. Lengan atas dan tungkai sering terkena lebih dulu dan ruam bisa menyebar dengan pola sentripetal ke seluruh tubuh. Penyakit ini sembuh spontan dalam waktu 5-6 minggu namun bisa terjadi rekurensi.
Sindrom steven-Johnson adalah bentuk eritema multiforme yang berat yang ditandai oleh penyakit sistemik disertai lesi pada mulut, konjungtiva, regional, dan genital sindrom Stevens Johnson merupakan gangguan sistemik yang serius yang paling sedikit melibatkan dua membran mukosa dan kulit. Konjungtivitis purulen dan uveitis biasanya terjadi dan lesi kulit cenderung pecah, meninggalkan kulit yang terkelupas yang dapat mengakibatkan kehilangan cairan cukup banyak, anemia, dan resiko tinggi terjadinya superinfeksi bakteri dan sespsis. Erupsi dapat diawalai oleh infeksi saluran napas atas nonspesifik dan dapat disertai demam, menggigil, malaise dan kelemahan. Penyembuhan lengkap memerlukan 4-6 minggu; lesi kulit sembuh dengan meninggalkan hipopigmentasi atau hiperpigmentasi tetapi tanpa sikatrik. Striktura esophagus atau gangguan penglihatan karena sikatrik pada kornea dapat menjadi komplikasi eritema multiforme mayor, sekitar 25% dari seluruh kasus eritema multiforme terbatas pada mukosa oral, dengan predileksi batas merh terang bibir dan mukosa bukal, umumnya tidak melibatkan gusi. Kebanyakan
2 | P a g e
penderita mengalami episode tunggal eritema multiforme. Kekambuhan kemungkinan dipicu oleh obat-obatan atau kebanyakan oleh infeksi virus herpes simplek. Pada keadaan ini, DNA virus dapat dideteksi pada lesi kulit dengan reaksi rantai polymerase.
3. Etiologi
1. Infeksi Virus
- Herpes simplex
- Vaccinia, orf, milkers nodules
- Mumps; poliomyelitis;varicella-zoster
3 | P a g e
- Adenovirus; influenza
- Infectious mononucleosis
- Hepatitis B
- Coxsackie B5
Bakteri- Mycoplasma pneumonia
- Psittacosis; ornithosis; lymphogranuloma venereum
- Cat-sctrach disease
- Salmonellosis;tuberculosis;cholera
- Streptococci Jamur
- Histoplamosis
- Dermatophytosis
2. Obat - Nonstreroidal anti-inflammatory drugs
- Sulfonamides
- Penicillin
- Barbiturates
- Anticonvulsants
- Bromofluorene
3. Physical Agents- X-ray therapy
- Cold
- Heat
4. Systemic Diseases- Systemic lupus erythematosus
- Ulcerative colitis
- Crohn’s disease
- Behcet’s disease
- Reiter’s syndrome
- Cancer
4. Tanda dan Gejala
4 | P a g e
Pasien terlihat gejalanya selama 2-3 minggu setelah terpapar obat, lebih cepat pada pasien yang pernah terpapar. Gejala awal sama seperti gejala influenza yakni dengan demam, kelemahan, artralgi, mialgias, dan lesi membrane mucus. Hal ini diikuti dengan perkembangan lesi yang tak beraturan sering dengan nekrotik pada pusat lesi yang terus berkembang seinring waktu. Flaccid blisters terbentuk that tampak dengan tekanan (Nikolsky sign) terlihat seperti sheet-like loss of epidermis and exposure of the underlying dermis. 90% dengan kerusaka membrane mucus n dan 60% dengan kerusakan ocular.
Nikolsky’s Sign: penekanan pada edges of an intact blister membantu untuk membedakan antara intraepidermal blistering proses (Pemphigoid vulgaris, blister extendes and breaks easily) dan subepidermal proses (TEN, bullous pemphigoid, blister would not advance)
5. Klasifikasi
5 | P a g e
a. Eritermal Multiformis Usia 20-40 tahun Prodromal Gejala sedikit Papula urtikaria Lesi target (vesikel dan bula ) pada punggung tangan, telapak tangan, seluruh tubuh. Membrane mukosa : lesi minimal Lesi oral sedikit Penyembuhan 2-3 minggu
b. Steven Johnson Syndrome Anak anak, dewasa muda Prodromal Gejala saluran kemih Demam tinggi Radang tenggorokan Batuk Bula Lesi : pada kulit, konjungtiva, mulut, genitalia Stomatitis ulseratif Pneumonitis
c. Toxic Epidermal Necrolysis Prodromal Demam Sakit kepala Radang tenggorokan Penyakit membrane Mukosa seperti SJS Stomatitis Konjungtivitis Eritemia panas Kulit terasa nyeri Bula Bronkopneumonia Septikemia.
6 | P a g e
6. Patofisiologi
Patofisiologi Sindrom Stevens-JhonsonSindrom Stevens-Jhonson merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks
imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. a. Reaksi sensitivitas tipe III
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibody yang mikropresipitasi sehingga terjadi aktifitas system komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrophil yang kemudian melepaskan enzim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target-organ). Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibody yang bersikulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan. Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen-antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.
7 | P a g e
b . Reaksi hipersensitifitas tipe IVReaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai reaksi radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat ( delayed ) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
8 | P a g e
Patoflow (Rx III)
9 | P a g e
Infeksi, Obat, Agen biologi, Penyakit sistemik
Infeksi, Obat, Agen biologi, Penyakit sistemik
Antigen-Antibodyinvasi
penetrasi
Sistem Komplemen
Penumpukan Neutrofil
Pelepasan Enzim
Kerusakan pada organ target
Bersirkulasi dalam darah
Pengendapan
Degranulasi sel mast
Kerusakan jaringan
Fagositosis sel rusak
Pelepasan enzim sel
Siklus peradangan berlanjut
Menuju organ target
Rx IV
Pelepasan limtokin
limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang
sama
limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang
sama
Sebagai rx radang
Diperantarai limfosit T (delayed)
7. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan Lab: CBCD Pemeriksaan darah lengkapLytes Pemeriksaan ElektrolitCRP C-Reaktive Protein (CRP) adalah suatu test pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya infeksi akut dan peradangan (inflamasi)., Urea Pemeriksaan pada urin Microbiology: cairan C&S, serologi HSV (Herpes Simplex Virus) dan VZV (Varisella)Biopsi kulit melakukan Pembiakan
8. PenatalaksanaanPenatalaksanaan sindrom stevens Johnson adalah suportif dan simtomatik. Konsultasi mata perlu dilakukan karena gejala sisa pada mata seperti sikatrik kornea dapat mengakibatkan hilangnya penglihatan. Lesi oral sebaiknya ditangani dengan pencuci mulut dan usapan gliserin. Lesi vagina sebaiknya diobservasi ketat dan diterapi untuk menghindari striktura atau fusi vagina. Anastesi topical (difenhidramin, diklonin, dan lidokain kental) dapat digunakan untuk menghilangkan nyeri, terutama jika diberikan sebelum makan. Lesi kulit yang terkelupas dapat dibersihkan denngan larutan garam fisiologis atau kompres larutan burrow. Terapi antibiotika sesuai untuk infeksi bakteri sekunder. Kekambuhan yang sering terjadi dari eritema multiforme akibat herpes memerlukan terapi profilaksis asiklovir. Penanganan perlu dilakukan secara intensif; cairan intravena; dukungan nutrisi; kasur bulu domba atau udara cair; kompres garam fisiologis pada kelopak mata, bibir atau hidung; analgesic dan kateterisasi urin (jika diperlukan). Pemeriksaan setiap hari untuk infeksi dan lesi mata yang merupakan penyebab utama morbiditas jangka panjang harus dilakukan. Antibiotika sistemik merupakan indikasi untuk infeksi saluran kancing atau infeksi kulit dan untuk tersangka bakteremia karena infeksi dapat menjadi penyebab kematian. Antibiotika sistemik profilaksis, kortikosteroid sistemik dan debridement ekstensif tidak diperlukan.
9. Komplikasi Kerusakan kulit: kehilangan control suhu, cairan dan elektrolit yang tidak seimbang,
kegagalan mekanisme barrier Infeksi sekunder Gejala pernapasan Keterlibatan ginjal Anemia
10. NCP
10 | P a g e
Diagnosa Tujuan dan KH Intervensi Rasional
nyeri berhubungan dengan gangguan pada kulit dan jaringan.
DO:
konjungtivitis purulen
lesi kulit cenderung pecah
kulit terkelupas pasien mengatakan
nyeri skala 8 penurunan
interaksi dengan orang lain
perubahan pola tidur, intensitasnya berkurang.
Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, skala nyeri pasien berkurang menjadi 2.
Kriteria hasil : pola tidur
normal : 8 jam perhari
konjungtiva ananemis
kulit pasien lembab
pasien kembali berinteraksi dengan orang lain
catat umur dan BB pasien
evaluasi rasa sakit secara regular (catat karakteristik, lokasi dan intensitas)
catat adanya rasa cemas atau rasa takut terhadap lingkungan dan prosedur pemeriksaan
kaji TTV dan rasa sakit
dorong penggunaan teknik
pendekatan pada manajemen rasa sakit dapat dilakukan sesuai kondisi
informasi mengenai kebutuhan atau efektifitas interfensi
perhatikan hal-hal yang tidak diketahui atau inadekuat agar tidak memperburuk persepsi pasien akan rasa sakit
dapat mengindikasikan rasa sakit akut dan ketidaknyamanan
lepaskan ketegangan emosional dan pengontrolan terhadap perasaan yang dapat meningkatkan
11 | P a g e
relaksasi
kolaborasi :
berikan analgesik IV
analgesik dikontrol pasien (ADP)
kemampuan koping misalnya latihan napas dalam
analgesik akan segera mencapai pusat rasa sakit menimbulkan penghilangan yang lebih efektif dengan obat dosis kecil
penggunaan ADP harus mendapat instruksi secara detail pada metode penggunaan dan harus dipantau secara ketat.
resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pengeluaran integritas pembuluh darah
DO:
Peningkatan suhu tubuh
Penurunan berat badan
Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam kebutuhan cairan pasien terpenuhi
Kriteria hasil : suhu tubuh 37
°C tidak terjadi
penurunan
kaji turgor kulit, membrane mukosa, dan rasa haus.
Pantau pemasukan cairan minimal 2500 ml/hari.
Indikator tidak langsung dari status cairan.
Mempertahan keseimbangan cairan, mengurangi rasa haus, dan melembabkan membran
12 | P a g e
penurunan turgor kulit
Penurunan tekanan darah
membrane mukosa kering
DS :
pasien mengeluh lemas
Pasien mengatakan sering haus
berat badan pasien
turgor kulit baik
membran mukosa lembab
Kolaborasi :
Berikan cairan elektrolit melalui selang pemberian makan atau IV.
mukosa. Mungkin
diperlukan untuk mendukung volume sirkularis, terutama jika pemasukan oral tidak adekuat.
Infeksi: resiko tinggi berhubungan dengan kulit yang rusak, trauma jaringan.
DO:
penurunan imunologis
Kerusakan integritas kulit
DS: -
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam resiko infeksi teratasi
Kriteria hasil : Kadar leukosit
normal:Pria:4.000-11.000 /mm3Wanita:4.000-11.000 /mm3
Turgor kulit elastis
Lakukan perawatan kulit secara aseptik.
Gunakan pakaian tipis dan lembut.
Jaga kebersiahan pakaian
Kolaborasi :
Berikan matras busa/ flotasi
Mempercepat pertumbuhan kulit dan mencegah terjadinya infeksi akibat iritasi tekanan dari pakaian.
Untuk mencegah infeksi.
Menurunkan iskemi jaringan, mengurangi tekanan pada kulit, jaringan, dan lesi.
Mengidentifikasi bakteri pathogen dan pilihan perawatan yang sesuai.
Digunakan pada perawatan lesi kulit.
Pemenuhan kebutuhan pasien lebih optimal
13 | P a g e
Dapatkan kultur dari lesi kulit terbuka.
Berikan obat topical sesuai indikasi.
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan kondisi penyakit.
DO:
perubahan aktual pada fungsi
perubahan aktual pada struktur
perubahan dalam keterlibatan sosial
DS:
pasien mengatakan takut terhadap reaksi orang lain.
pasien mengutarakan perasaan negatif tentang tubuh
Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam gangguan citra tubuh teratasiKriteria hasil :
pasien mengutarakan perasaan positif
pasien mengatakan tidak takut lagi terhadap reaksi orang lain
dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan
diskusikan persepsi pasien mengenai bagaimana orang terdekat menerima keterbatasan.
Bantu pasien untuk mengidentifikasi perilaku positif yang dapat meningkatkan perilaku koping.
Kolaborasi:
Rujuk pada konseling psikiatri
berikan kesempatan untuk mengidentifikasi rasa takut.
Isyarat orang terdekat dapat mempunyai pengaruh mayor pada bagaimana pasien memandang dirinya sendiri.
Membantu pasien utuk mempertahankan control diri, yang dapat meningkatkan perasaan harga diri.
Memerlukan dukungan selama berhadapan dengan proses jangka
14 | P a g e
Daftar Pustaka
Hoang-kuan,dkk., thanh Inflamatory disease of conjuctivae
Hui, David. 2011 Approach to internal Medicine: a resource book for clinical practice:Third Edition. Houston: Springer hlm 365
Sooriakumaran, Prasanna dkk.,2006. Master Pass 100 Medical Emergencies for Final. United Kingdom: Radcliffe Publishing Ltd
Arvin, Benheman Kliegma Nelson Ilmu Kesehatan Anak,
16 | P a g e