37 anestesia pada pasien dengan penyakit neuromuskuler ok

25
BAB 37 Anestesia pada Pasien dengan Penyakit Neuromuskuler Morgan GE; 2006 KONSEP PENTING 1. Kelemahan yang berhubungan dengan myasthenia gravis dapat dipikirkan sebagai akibat dari gangguan autoimmun atau inaktivasi dari reseptor asetilkolin pasca sinap pada neuromuskuler junction, yang menimbulkan berkurangnya sejumlah reseptor dan hilangnya selaput pada membran pasca sinaptik. 2. Pasien myasthenia gravis dengan gangguan pada otot pernapasan atau bulbar dapat meningkatkan resiko terjadinya aspirasi pulmonal. 3. Beberapa pasien myasthenia gravis secara halus sensitif terhadap obat-obat pelumpuh otot non depolarisasi. 4. Pasien myasthenia gravis mempunyai resiko terbesar untuk terjadinya gagal nafas pasca operasi. Lama penyakit lebih dari 6 tahun, bersamaan dengan adanya penyakit paru, tekanan inspirasi < -25 cmH 2 O (yaitu : -20 cmH 2 O), kapasitas vital < 4 ml/kg, dan dosis pyridostigmine > 750 mg/hari diprediksikan akan memerlukan ventilasi pasca operasi setelah thymectomy. 5. Pasien dengan sindroma myasthenic sangat sensitif terhadap obat pelumpuh otot depolarisasi maupun non depokarisasi. 6. Degenerasi otot-otot respirasi pada pasien dengan distrofi otot dipengaruhi oleh mekanisme batuk yang efektif dan menimbulkan retensi dari sekresi dan infeksi paru yang berkali-kali. 7. Degenerasi otot jantung pada pasien distrofi otot juga umum terjadi, tetapi menghasilkan dilatasi atau hipertrofi kardiomiopati pada 10% pasien. 8. Suksinilkolin dapat digunakan dengan aman pada beberapa pasien dengan distrofia otot Duchenne dan Becker tetapi sebaiknya dihindari karena terdapat respon yang tidak dapat diprediksikan dan beresiko untuk mencetuskan hiperkalemia berat atau memicu hipertermia malignant. Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Page 1 of 25

Upload: rhaka-fhieldye-teruna

Post on 19-Jan-2016

49 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

jf

TRANSCRIPT

Page 1: 37 Anestesia Pada Pasien Dengan Penyakit Neuromuskuler Ok

BAB 37

Anestesia pada Pasien dengan Penyakit NeuromuskulerMorgan GE; 2006

KONSEP PENTING

1. Kelemahan yang berhubungan dengan myasthenia gravis dapat dipikirkan sebagai akibat dari gangguan autoimmun atau inaktivasi dari reseptor asetilkolin pasca sinap pada neuromuskuler junction, yang menimbulkan berkurangnya sejumlah reseptor dan hilangnya selaput pada membran pasca sinaptik.

2. Pasien myasthenia gravis dengan gangguan pada otot pernapasan atau bulbar dapat meningkatkan resiko terjadinya aspirasi pulmonal.

3. Beberapa pasien myasthenia gravis secara halus sensitif terhadap obat-obat pelumpuh otot non depolarisasi.

4. Pasien myasthenia gravis mempunyai resiko terbesar untuk terjadinya gagal nafas pasca operasi. Lama penyakit lebih dari 6 tahun, bersamaan dengan adanya penyakit paru, tekanan inspirasi < -25 cmH2O (yaitu : -20 cmH2O), kapasitas vital < 4 ml/kg, dan dosis pyridostigmine > 750 mg/hari diprediksikan akan memerlukan ventilasi pasca operasi setelah thymectomy.

5. Pasien dengan sindroma myasthenic sangat sensitif terhadap obat pelumpuh otot depolarisasi maupun non depokarisasi.

6. Degenerasi otot-otot respirasi pada pasien dengan distrofi otot dipengaruhi oleh mekanisme batuk yang efektif dan menimbulkan retensi dari sekresi dan infeksi paru yang berkali-kali.

7. Degenerasi otot jantung pada pasien distrofi otot juga umum terjadi, tetapi menghasilkan dilatasi atau hipertrofi kardiomiopati pada 10% pasien.

8. Suksinilkolin dapat digunakan dengan aman pada beberapa pasien dengan distrofia otot Duchenne dan Becker tetapi sebaiknya dihindari karena terdapat respon yang tidak dapat diprediksikan dan beresiko untuk mencetuskan hiperkalemia berat atau memicu hipertermia malignant.

9. Pada pasien dengan paralisis periodik, penatalaksanaan anestesia langsung ditujukan terhadap pencegahan serangan. Monitoring EKG secara cermat diperlukan untuk mengetahui serangan dan adanya aritmia selama anestesi.

10.Pada pasien dengan paralisis periodik, respon terhadap obat pelumpuh otot tidak bisa diprediksikan. Meningkatnya sensitivitas terhadap obat pelumpuh otot non depolarisasi terutama sekali mungkin dapat ditemukan pada pasien dengan paralisis periodik hipokalemia.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Page 1 of 17

Page 2: 37 Anestesia Pada Pasien Dengan Penyakit Neuromuskuler Ok

PENDAHULUAN

Meskipun kelainan neuromuskuler relatif jarang, beberapa pasien datang ke kamar operasi dengan teratur di pusat kesehatan untuk studi diagnostik, perawatan komplikasi, atau untuk penatalaksanaan bedah terhadap kelainan yang lain. Berkurangnya kekuatan otot pernapasan dan meningkatnya sensitivitas terhadap obat pelumpuh otot merupakan predisposisi pasien mengalami kegagalan ventilasi pasca operasi. Pengertian dasar tentang kelainan utama dan kecenderungan interaksi dengan obat-obat anestesi sangat diperlukan untuk menghindari morbiditas terutama pasca operasi.

MYASTHENIA GRAVIS

Myasthenia gravis ditandai dengan kelemahan dan mudahnya otot skeletal mengalami kelelahan dan hal ini diklasifikasikan menurut kelemahan otot yang dialami pasien, apakah hanya kelemahan otot okular atau kelemahan otot okular dan non okular (Tabel 37-1).

Tabel 37-1. Klasifikasi myasthenia.

Kelas I Kelemahan otot okuler

Kelas II Kelemahan otot non okuler ringan 1

Kelas III Kelemahan otot non okuler sedang2

Kelas IV Kelemahan otot non okuler berat1

Kelas V Intubasi tracheal2 atau tracheostomy untuk melindungi jalan nafas dengan atau tanpa ventilasi mekanik

1 ± Kelemahan otot okuler menurut beratnya2 Kecuali dalam periode perioperatif

Prevalensi hidup pada myasthenia gravis di beberapa tempat antara 5 dan 40 per 100.000 orang. Insidens sekitar 4-11 per satu juta dan paling tinggi pada wanita selama dekade ketiga; pada pria, khususnya tampak pada dekade keenam dan ketujuh. 1Kelemahan yang berhubungan dengan myasthenia gravis dapat dipikirkan sebagai akibat dari gangguan autoimmun atau inaktivasi dari reseptor asetilkolin pasca sinap pada neuromuskuler junction, yang menimbulkan berkurangnya sejumlah reseptor dan hilangnya selaput pada membran pasca sinaptik. Antibodi (IgG) terhadap reseptor asetilkolin nikotinik pada neuromuskuler junction didapatkan pada 85-90% pasien dengan myasthenia gravis umum dan meningkat 50-70% pada pasien dengan myasthenia okuler. Sepuluh sampai 15% pasien dengan myasthenia menjadi suatu thymoma, di mana 65% mengalami hyperphasia thymic. Penyakit autoimmun yang lain (hypothyroidism, hyperthyroidism, rheumatoid arthritis) juga didapatkan pada 10% pasien.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Page 2 of 17

Page 3: 37 Anestesia Pada Pasien Dengan Penyakit Neuromuskuler Ok

Perjalanan penyakit ini ditandai dengan exaserbasi dan remisi. Remisi mungkin terjadi parsial atau komplit. Kelemahan dapat terjadi asimetris, terbatas pada satu kelompok otot, atau keseluruhan. Otot-otot okuler adalah yang paling sering terkena, menyebabkan timbulnya ptosis dan diplopia. Adanya kelemahan otot yang melibatkan bulbar, larynx, dan pharynx dapat menyebabkan dysartria, kesulitan dalam mengunyah dan menelan, masalah dalam pengeluaran sekret, atau aspirasi pulmonal. Beratnya penyakit biasanya juga berhubungan dengan kelemahan otot proksimal (terutama di daerah leher dan bahu) dan terlibatnya otot-otot respirasi. Pulihnya kekuatan otot diperbaiki dengan istirahat tetapi akan memburuk secara cepat dengan aktivitas. Infeksi, stress, pembedahan, dan kehamilan mempunyai efek yang tidak dapat diprediksi pada penyakit ini, tetapi sering menimbulkan exaserbasi.

Obat-obat antikolinesterase merupakan obat yang paling umum digunakan untuk mengobati kelemahan otot. Obat-obat ini meningkatkan jumlah asetilkolin pada neuromiuskuler junction melalui inhibisi asetilkolinesterase end-plate. Pyridostigmine adalah obat yang paling sering digunakan; bila diberikan secara oral, mempunyai durasi efektif selama 2-4 jam. Pemberian antikolinesterase yang berlebihan dapat memicu terjadinya krisis kolinergik, yang ditandai dengan meningkatnya kelemahan dan efek muskarinik yang berlebihan, termasuk salivasi, diare, miosis, dan bradikardia. Tes edrophonium dapat membantu membedakan krisis kolinergik dari krisis myasthenic. Meningkatnya kelemahan setelah pemberian edrophonium intravena sampai 10 mg menunjukkan adanya krisis kolinergik, sedangkan bila terjadi peningkatan kekuatan otot menunjukkan adanya krisis myasthenic. Jika hasil tes ini meragukan atau pasien secara jelas menunjukkan manifestasi hiperaktivitas kolinergik, semua obat kolinesterase seharusnya dihentikan dan pasien harus diobservasi secara ketat (pada umumnya di unit perawatan intensif). Hanya obat-obat antikolinesterase yang sering digunakan untuk merawat pasien dengan kelainan yang ringan. Pada pasien dengan penyakit yang sedang dan berat diterapi dengan kombinasi antara obat antikolinesterase dan terapi immunomodulating. Kortikosteroid biasanya diberikan pertama kali, diikuti dengan azathioprine atau cyclosporine. Beberapa alternatif pemberian immunomodulating juga dicoba termasuk cyclophosphamide, mycophenolate, mofetil, dan immunoglobulin intravena. Plasmapheresis sebagai cadangan untuk pasien dengan dysphagia atau gagal nafas, atau untuk menormalkan kekuatan otot preoperatif pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan. Sampai 85% pasien di bawah usia 55 tahun menunjukkan perbaikan secara klinis setelah thymectomy meskipun tidak ada tumor, tetapi perbaikan mungkin terlambat sampai beberapa tahun.

Pertimbangan Anestesi

Pasien dengan myasthenia mungkin datang untuk thymectomy atau untuk pembedahan yang tidak berhubungan dengan kelainannya atau prosedur obstetrik. Pada semua kasus, pasien sebaiknya berada dalam kontrol medis yang sebaik mungkin sebelum operasi. Pasien myasthenic dengan kelemahan otot respirasi dan oropharyngeal seharusnya diterapi secara agresif preoperatif dengan immunoglobulin intravena atau plasmapheresis. Bila kekuatan otot normal, insidens komplikasi respirasi pasca operasi adalah sama dengan pasien nonmyasthenic yang menjalani prosedur pembedahan yang sama. Pasien yang

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Page 3 of 17

Page 4: 37 Anestesia Pada Pasien Dengan Penyakit Neuromuskuler Ok

dijadwalkan thymectomy sering mengalami perburukan kekuatan otot, sehingga untuk menjalani prosedur elektif lainnya sebaiknya dikontrol dengan baik atau dalam remisi. Penyesuaian dalam medikasi antikolinesterase, immunosuppresan, atau terapi steroid mungkin diperlukan. Penatalaksanaan pada masa perioperatif dengan terapi antikolinesterase masih kontroversial tetapi kemungkinan bersifat individual. Masalah yang mungkin timbul dalam kelanjutan terapi termasuk perubahan kebutuhan pasien setelah pembedahan, meningkatnya vagal reflex, dan kemungkinan gangguan anastomosis usus sekunder sampai hiperperistalsis. Selain itu, karena obat-obat tersebut juga menghambat plasma cholinesterase, dapat memperpanjang durasi anestetik lokal tipe ester dan suksinilkolin. Sebaliknya, pasien dengan penyakit keseluruhan yang berat mungkin terjadi perburukan yang signifikan dengan penghentian pemberian obat-obat antikolinesterase.

Obat-obat ini sebaiknya dimulai kembali ketika pasien mendapatkan obat oral. Bila perlu, antikolinesterase juga dapat diberikan secara parenteral sejumlah 1/30 dosis oral.

Evaluasi preoperatif yang penting pada perjalanan penyakit yang terakhir, kelompok otot yang terkena, terapi obat-obatan, dan penyakit lain yang menyertai. 2Pasien myasthenia gravis dengan gangguan pada otot pernapasan atau bulbar dapat meningkatkan resiko terjadinya aspirasi pulmonal. Premedikasi dengan metoclopramide atau H2 blocker mungkin mengurangi resiko tersebut, tetapi studi yang mendukung sangat kurang pada kelompok pasien ini. Karena beberapa pasien dengan myasthenia sering sangat sensitif terhadap depresan nafas, premedikasi dengan opioid, benzodiazepine, dan obat-obat yang serupa biasanya dihindari.

Dengan perkecualian obat pelumpuh otot, obat-obat anestesi standar mungkin digunakan pada pasien dengan myasthenia gravis. Ancaman depesi nafas, bagaimanapun mungkin terjadi setelah pemberian barbiturat atau opioid dosis sedang. Propofol mungkin lebih disukai karena lama kerjanya yang pendek. Obat anestesi volatile secara umum memuaskan. Anestesi dalam hanya dengan volatil pada pasien dengan myasthenia memberikan relaksasi yang cukup untuk intubasi tracheal sebaik pada sebagian besar prosedur pembedahan lainnya. Beberapa klinisi secara rutin mencoba menghindari obat pelimpuh otot. Respon terhadap suksinilkolin tidak dapat diprediksikan. Pasien mungkin menunjukkan relatif resisten, efek yang diperpanjang, atau suatu respon yang tidak biasa (fase II blok; lihat Bab 9). Dosis suksinilkolin mungkin meningkat sampai 2 mg/kg untuk mengatasi resistensi, tetapi efek yang memanjang harus diantisipasi. 3Beberapa pasien myasthenia gravis secara halus sensitif terhadap obat-obat pelumpuh otot non depolarisasi. Meski dengan dosis defasikulasi, pada beberapa pasien hampir dapat terjadi paralisis komplit. Bila obat pelumpuh otot diperlukan, lebih disukai penggunaan dosis kecil obat non depolarisasi dengan lama kerja yang relatif singkat (cisatracurium atau mivacurium). Blokade neuromuskuler sebaiknya dimonitor sangat ketat dengan suatu stimulator saraf. Fungsi ventilasi harus dievaluasi secara cermat sebelum extubasi. 4Pasien myasthenia gravis mempunyai resiko terbesar untuk terjadinya gagal nafas pasca operasi. Lama penyakit lebih dari 6 tahun, bersamaan dengan adanya penyakit paru, tekanan inspirasi < -25 cmH2O (yaitu : -20 cmH2O), kapasitas vital < 4 ml/kg, dan dosis pyridostigmine > 750 mg/hari diprediksikan akan memerlukan ventilasi pasca operasi setelah thymectomy.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Page 4 of 17

Page 5: 37 Anestesia Pada Pasien Dengan Penyakit Neuromuskuler Ok

Wanita dengan myasthenia dapat mengalami peningkatan kelemahan pada saat trimester terakhir kehamilan dan periode awal postpartum. Anestesi epidural secara umum lebih disukai untuk pasien tersebut karena dapat menghindari timbulnya masalah terhadap depresi pernapasan dan penggunaan obat-obat pelumpuh otot selama anestesi umum. Blokade motorik pada level tinggi yang berlebihan, bagaimanapun, juga dapat menyebabkan hipoventilasi. Bayi-bayi dari ibu yang myasthenic kemungkinan menunjukkan myasthenia sementara selama 1-3 minggu, disebabkan karena transfer transplasental antibodi reseptor asetilkolin, kadang-kadang memerlukan ventilasi mekanik yang terkontrol.

LAMBERT-EATON MYASTHENIC SYNDROME

Lambert-Eaton myasthenic syndrome (LEMS) adalah suatu sindroma paraneoplastik yang ditandai dengan kelemahan otot proksimal yang secara khusus dimulai dari extremitas bawah, tetapi mungkin menyebar sampai melibatkan anggota gerak bagian atas, bulbar, dan otot-otot pernapasan. Mulut kering, impotensi pada pria, dan manifestasi dari disfungsi otonom lainnya juga sangat sering didapatkan. LEMS biasanya berhubungan dengan small cell carcinoma pada paru. Hal ini juga dapat dijumpai pada keganasan yang tidak tampak lainnya atau sebagai suatu penyakit autoimmun idiopatik. Kelainan ini disebabkan karena adanya defek presinaptik pada transmisi neuromuskuler. Antibodi terhadap voltage-gated calcium channels pada akhir saraf secara nyata mengurangi pelepasan sejumlah asetilkolin pada motor end-plate. Sel-sel pada small cell carcinoma memperlihatkan voltage-gated calcium channels yang identik, merupakan suatu pencetus respon autoimmun pada pasien dengan LEMS paraneoplastik.

Berbeda dengan myasthenia gravis, kelemahan otot membaik dengan latihan yang berulang dan perbaikan ini kurang dramatis dengan obat-obat antikolinesterase. Guanidine hydrochloride dan 3,4-diaminopyridine (DAP) yang meningkatkan pelepasan asetilkolin, sering menghasilkan perbaikan yang signifikan pada LEMS. Penggunaan guanidine hydrochloride dibatasi oleh hepatotoksisitas. DAP hanya tersedia untuk penggunaan secara cuma-cuma di Amerika Serikat, tetapi secara luas tersedia di negara-negara lainnya. Beberapa pasien dengan LEMS membaik dengan immunosuppression atau plasmapheresis.

5Pasien dengan sindroma myasthenic sangat sensitif terhadap obat pelumpuh otot depolarisasi maupun non depokarisasi. Respon terhadap obat-obat anestesia lain yang digunakan biasanya normal. Obat volatile tunggal sering dapat mencukupi untuk memberikan relaksasi otot pada tindakan intubasi dan sebagian besar prosedur bedah. Obat-obat pelumpuh otot sebaiknya diberikan hanya dalam penambahan dosis kecil dan dengan monitoring neuromuskuler secara teliti. Penatalaksanaan defek otonom dibicarakan pada Bab 27.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Page 5 of 17

Page 6: 37 Anestesia Pada Pasien Dengan Penyakit Neuromuskuler Ok

MUSCULAR DYSTROPHIES

Pertimbangan Preoperatif

Muscular dystrophies merupakan suatu kelompok heterogen dari kelainan herediter yang ditandai dengan nekrosis dan regenerasi serabut otot, menyebabkan kelemahan dan degenerasi otot secara progresif. Pada kasus tertentu diduga sebagai akibat mutasi. α-Dystroglycan (α-DG) dysglycosylation merupakan patofisiologi yang paling sering pada muscular dystrophies kongenital dan salah satu bentuk limb girdle muscular dystrophy.

Duchenne’s Muscular Dystrophy

Duchenne’s muscular dystrophy merupakan bentuk muscular dystrophy yang paling sering dan paling berat. Jenis utama lainnya termasuk Becker’s, myotonic facioscapulohumeral, dan limb-girdle dystrophies. Suatu kelainan resesif yang berhubungan dengan X, Duchenne’s muscular dystrophy sebagian besar hanya mempengaruhi laki-laki. Insidensnya kira-kira satu sampai tiga kasus per 10.000 kelahiran hidup laki-laki dan sebagian besar biasanya tampak antara 3 dan 5 tahun. Individu yang mengalaminya akan menghasilkan dystrophin yang abnormal, suatu protein yang terdapat pada sarkolema serabut otot. Yang khas pada pasien ini adalah terdapat kelemahan otot proksimal yang simetris dan tampak sebagai suatu gangguan gaya berjalan. Infiltrasi lemak secara khusus menyebabkan pembesaran (pseudohypertrophy) otot, terutama pada betis. Kelemahan yang progresif dan kontraktur akhirnya menyebabkan kyphoscoliosis. Pada usia 12 tahun, sebagian besar pasien tergantung pada kursi roda. Pada beberapa pasien perkembangan penyakit ini dapat diperlambat sampai 2-3 tahun dengan terapi glukokortikoid. Kegagalan dapat terjadi tetapi umumnya tidak progresif. Kadar plasma creatine kinase (CK) 10-100 kali normal meski di awal penyakit dan diduga sebagai perwujudan dari peningkatan yang abnormal pada permeabilitas membran sel otot. Wanita pembawa juga sering mempunyai kadar plasma CK yang tinggi, kelemahan otot dengan derajat yang bervariasi, dan termasuk terlibatnya jantung, meski jarang. Konsentrasi myoglobin plasma juga mungkin meningkat. Diagnosis dikonfirmasi dengan biopsi otot. Pengurangan atau penggandaan pada gen dystrophin dapat diperiksa dengan analisis Southern blot atau metode polymerase chain reaction pada 65% pasien dengan Duchenne’s atau Becker’s muscular dystrophy.

6Degenerasi otot-otot respirasi pada pasien dengan distrofi otot dipengaruhi oleh mekanisme batuk yang efektif dan menimbulkan retensi dari sekresi dan infeksi paru yang berkali-kali. Kombinasi dari kyphoscoliosis yang nyata dan kerusakan otot akan menimbulkan defek ventilasi restriktif yang berat. Hipertensi pulmonal biasa terjadi pada perjalanan penyakit ini. 7Degenerasi otot jantung pada pasien distrofi otot juga umum terjadi, tetapi menghasilkan dilatasi atau hipertrofi kardiomiopati pada 10% pasien. Regurgitasi mitral sekunder pada disfungsi muskulus papillaris juga dapat dibuktikan sampai pada 25% pasien. Abnormalitas elektrokardiografi (EKG) termasuk pemanjangan interval P-R, kelainan segmen QRS dan ST, dan peninggian gelombang R melebihi precordium kanan dengan gelombang Q yang dalam melebihi prekordium kiri. Aritmia atrial sering terjadi. Kematian pada umumnya disebabkan karena infeksi paru yang berulang, gagal nafas, atau gagal jantung pada usia 15-25 tahun.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Page 6 of 17

Page 7: 37 Anestesia Pada Pasien Dengan Penyakit Neuromuskuler Ok

Becker’s Muscular Dystrophy

Becker’s muscular dystrophy, suatu kelainan yang jarang terjadi (1:30.000 kelahiran laki-laki), juga merupakan kelainan resesif muscular dystrophy yang berhubungan dengan X. Juga diduga merupakan akibat dari pengurangan atau mutasi langsung pada gen dystrophin, yang menyebabkan suatu defek pada produksi dystrophin. Manifestasi kelainan ini hampir sama dengan Duchenne’s muscular dystrophy kecuali pada kelainan ini biasanya tampak pada usia berikutnya (remaja) dan perkembangannya lebih lambat. Retardasi mental jarang terjadi. Pasien dapat mencapai usia dekade keempat atau kelima, meskipun beberapa pasien dapat bertahan sampai usia 80 tahun. Kematian pada umumnya akibat komplikasi respirasi. Kardiomiopati dapat terjadi pada beberapa kasus dan mungkin didahului kelemahan otot skeletal yang berat.

Myotonic Dystrophy

Myotonic dystrophy (MD) adalah kelainan multisistem yang biasanya menyebabkan myotonia – melambatnya relaksasi setelah kontraksi otot sebagai respon terhadap rangsangan elektrik atau perkusi. Penyakit ini diturunkan secara autosomal dominan dan insidensnya 1:8.000. Bentuk yang paling sering terdapat pada kromosom 19, lokus q12.3; kode gen untuk serine/threonine protein kinase. Berulangnya rantai panjang trinucleotide yang abnormal diduga sebagai penyebab kelainan ini. Manifestasi MD tampak pada dekade kedua sampai ketiga kehidupan pasien; bagaimanapun, dapat muncul sejak usia bayi sampai kehidupan dewasa. Myotonia merupakan manifestasi awal yang utama pada penyakit ini, tetapi sesuai perkembangan penyakitnya, kelemahan otot dan atrophy menjadi lebih menonjol. Kelemahan dan atrophy otot ini biasanya mengenai otot kranial (orbicularis oculi dan oris, masseter, dan sternocleidomastoid) dan menimbulkan bentuk wajah yang khas. Berlawanan dengan myopathi pada umumnya, otot-otot distal lebih banyak terlibat daripada otot proksimal. Kadar plasma CK normal atau sedikit meningkat.

Bermacam-macam sistem organ ikut terlibat dalam penyakit ini yang dibuktikan dengan adanya katarak presenile; premature drontal baldness; hypersomnolence dengan sleep apnea; dan disfungsi endokrin yang menyebabkan insufisiensi pankreas, adrenal, thyroid, dan gonad. Terganggunya respirasi mengakibatkan penurunan kapasitas vital. Hipoventilasi alveolar disebabkan oleh pulmonal atau disfungsi sistem saraf pusat. Hipoksemia kronik mungkin menyebabkan cor pulmonale. Hipomotilitas gastrointestinal dapat menjadi predisposisi pasien mengalami aspirasi pulmonal. Atonia uteri dapat memperpanjang persalinan dan meningkatkan insidens retensio plasenta. Manifestasi cardiac, yang sering muncul sebelum gejala yang lain tampak, terdiri dari aritmia atrial, blok jantung dengan derajat yang bervariasi, dan yang kurang banyak dijumpai adalah depresi fungsi ventrikel.

Myotonia pada umumnya digambarkan pada pasien dengan kekakuan yang mereda dengan aktivitas yang berkelanjutan, disebut juga fenomena “warm-up”. Pasien sering dilaporkan makin memburuk kekakuannya dengan temperatur yang dingin, walaupun penelitian elektrofisiologis menunjukkan perbaikan pada penghentian myotonia dengan pendinginan. Terapi antimyotonia dapat dilakukan

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Page 7 of 17

Page 8: 37 Anestesia Pada Pasien Dengan Penyakit Neuromuskuler Ok

dengan obat-obat yang menstabilkan membran. Fenitoin, quinine sulfate, dan procainamide telah digunakan dalam hal ini. Fenitoin tidak tampak memperburuk kelainan konduksi jantung, di mana quinine dan procainamide dapat memperpanjang interval P-R. Mexiletine dan tocainide sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan MD. Alat pacu jantung seharusnya dipasang pada pasien dengan defek konduksi yang signifikan, meskipun mereka tidak menunjukkan gejala.

Facioscapulohumeral Dystrophy

Facioscapulohumeral dystrophy merupakan suatu variasi dari autosomal dominant dengan insidens kira-kira 1-3:100.000, akibat dari pengurangan DNA pada kromosom 4q35. Dapat mengenai pria maupun wanita, meskipun pada wanita dengan defek gen yang asimtomatik. Biasanya tampak pada pasien dalam dekade usia kedua atau ketiga dengan kelemahan yang utama melibatkan otot-otot wajah dan gelang bahu. Otot-otot pada ekstremitas bawah biasanya jarang terkena, dan otot-otot pernapasan pada umumnya tidak terlibat. Penyakit ini berjalan lambat dan bervariasi. Kadar plasma CK biasanya normal atau hanya sedikit meningkat. Jarang melibatkan jantung, namun paralisis atrial telah dilaporkan terjadi pada sebagian kecil pasien. Kejadian ini menyebabkan hilangnya aktivitas elektrik atrium dan terdapat ketidakmampuan memompa jantung pada bagian atrial; pompa ventrikuler masih memungkinkan. Pasien dengan usia lanjut jarang terkena pada penyakit ini.

Limb-Girdle Dystrophy

Limb-girdle muscular dystrophy merupakan penyakit neuromuskuler yang heterogen terdiri dari beberapa variasi, yang lebih jauh ditentukan oleh molekul genetik. Sindroma limb-girdle termasuk severe childhood autosomal recessive muscular dystrophy (SCARMD, kromosom 13), autosomal recessive muscular dystrophy (kromosom 15), dan sindroma lainnya yang ditentukan autosomal resesif inkomplit seperti Erb’s (tipe scapulohumeral) dan Leyden-Mobius (tipe pelvifemoral). Sebagian besar pasien tampak pada masa anak-anak sampai usia dekade kedua atau ketiga dengan kelemahan otot yang melibatkan gelang bahu, gelang panggul, atau keduanya. Penyakit ini cenderung untuk berjalan sangat lambat. Kadar plasma CK biasanya meningkat. Terlibatnya jantung, serupa dengan yang terjadi pada Duchenne’s muscular dystrophy, dapat menimbulkan aritmia yang frekuen atau gagal jantung kongestif tetapi hal ini relatif jarang terjadi. Komplikasi pada pernapasan, seperti hipoventilasi dan infeksi pernapasan yang berulang, dapat terjadi di awal penyakit tetapi lebih sering didapatkan setelah penyakit berjalan lama (> 30 tahun).

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Page 8 of 17

Page 9: 37 Anestesia Pada Pasien Dengan Penyakit Neuromuskuler Ok

Pertimbangan Anestesi

A. Duchenne’s dan Becker’s Muscular Dystrophies

Penatalaksanaan anestesi pada pasien ini cukup rumit bukan hanya karena kelemahan otot tetapi juga karena manifestasi pada jantung dan paru. Diduga ada hubungan dengan hipertermia malignan tetapi tidak terbukti. Premedikasi preoperatif dengan sedatif atau opioid dihindari, karena kemungkinan pasien sangat beresiko tinggi terhadap aspirasi akibat kelemahan otot-otot pernapasan atau hipomotilitas gaster. Posisi intraoperatif dapat menjadi sulit bila pasien mengalami kyphoscoliosis atau kontraktur fleksi pada ekstremitas atau leher. 8Suksinilkolin dapat digunakan dengan aman pada beberapa pasien dengan distrofia otot Duchenne dan Becker tetapi sebaiknya dihindari karena terdapat respon yang tidak dapat diprediksikan dan beresiko untuk mencetuskan hiperkalemia berat atau memicu hipertermia malignant. Walaupun beberapa pasien menunjukkan respon yang normal terhadap obat-obat pelumpuh otot non depolarisasi, pasien yang lain mungkin menjadi sangat sensitif. Tanda-tanda depresi napas dan sirkulasi dapat dilihat pada pasien yang mendapat obat anestesi volatil dengan penyakit yang cukup parah. Anestesi regional atau lokal lebih dipilih pada pasien-pasien seperti ini. Komplikasi respirasi sangat besar perannya terhadap morbiditas perioperatif. Pasien dengan kapasitas vital kurang dari 30% diperkirakan akan mendapat resiko yang paling besar dan sering memerlukan ventilasi mekanik sementara pasca operasi.

B. Myotonic Dystrophy

Pasien dengan MD beresiko tinggi terhadap komplikasi respirasi dan jantung perioperatif. Pembedahan dengan anestesi umum sebaiknya dihindari, kecuali bila benar-benar diperlukan. Pengetahuan tentang diagnosa MD pada pasien sangat diperlukan untuk perawatannya; bagaimanapun, pasien dengan penyakit ini mungkin tidak mendapatkan informasi tentang penyakitnya, dan beberapa pasien mungkin hanya presimtomatik dan tidak terdiagnosa. Diagnosa MD dibuat pada beberapa pasien hanya setelah mengalami henti napas yang berkepanjangan setelah anestesi umum. Masalah perioperatif yang timbul paling banyak pada pasien MD dengan kelemahan yang berat dan pada kasus-kasus di mana ahli bedah dan ahli anestesi tidak menyadari akan diagnosa tersebut.

Pasien dengan MD mengalami perubahan respon terhadap sejumlah obat-obat anestesi. Mereka sering sangat sensitif sekalipun terhadap dosis kecil opioid, sedatif, obat-obat inhalasi dan intravena lainnya, di mana kesemuanya dapat mengakibatkan henti napas tiba-tiba dan kemudian memanjang. Oleh karena itu pemberian premedikasi lebih baik dihindari, jika memungkinkan. Suksinilkolin merupakan kontraindikasi relatif karena dapat mempercepat kontraksi myotonik dengan hebat; trismus dapat mempersulit pembukaan mulut saat intubasi. Kontraksi myotonik pada otot pernapasan, otot dinding dada, atau otot larynx dapat membuat ventilasi menjadi sulit atau tidak mungkin. Obat-obat lain yang bekerja pada motor end plate, seperti decamethonium, neostigmine, dan physostigmine, dapat memperburuk myotonia. Anestesi regional dapat digunakan tetapi tidak selalu dapat mencegah kontraksi myotonia. Myotonia yang mengganggu jarang terjadi, tetapi dapat dikurangi dengan pemberian injeksi procaine pada otot atau quinine hydrochloride 300-600 mg intravena.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Page 9 of 17

Page 10: 37 Anestesia Pada Pasien Dengan Penyakit Neuromuskuler Ok

Respon terhadap obat pelumpuh otot non depolarisasi dilaporkan normal; bagaimanapun, mereka tidak mencegah atau mengurangi kontraksi myotonik secara konsisten. Seperti halnya obat reversal terhadap obat-obat pelumpuh otot dapat menimbulkan kontraksi myotonia, penggunaan obat-obat pelumpuh otot non depolarisasi yang bekerja singkat (cisatracurium atau mivacurium) direkomendasikan. Kejadian menggigil pasca operasi pada umumnya berhubungan dengan obat volatil, terutama yang berhubungan dengan penurunan suhu tubuh, dapat menimbulkan kontraksi myotonia di ruang pemulihan. Dosis kecil meperidine sering dapat mencegah menggigil dan mungkin kontraksi myotonia.

Induksi anestesi tanpa komplikasi dilaporkan pada sejumlah obat termasuk thiopental, obat inhalasi, dan propofol (dengan atau tanpa ketamin). Penghambatan neuromuskuler, bila diperlukan, sebaiknya menggunakan obat pelumpuh otot yang bekerja singkat. Nitrous oxide dan obat inhalasi dapat digunakan dapat digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Reversal dengan antikolinesterase harus dihindari, bila memungkinkan. Dalam hal ini tidak ada hubungan antara jenis anestesi yang digunakan dengan beberapa komplikasi pasca operasi.

Komplikasi utama pasca operasi pada paru : hipoventilasi yang memanjang, atelektasis, dan pneumonia. Diindikasikan perawatan paru secara agresif dengan terapi fisik, dorongan spirometri, monitoring yang cermat pasca operasi. Juga diindikasikan profilaksis aspirasi. Pasien yang menjalani pembedahan abdomen bagian atas atau dengan kelemahan otot proksimal yang berat pada umumnya akan mengalami jenis komplikasi tersebut. Abnormalitas konduksi jantung perioperatif jarang terjadi tetapi masih tetap diperlukan monitoring kardiovaskuler secara ketat.

Adanya hubungan antara MD dan hipertermia malignant telah diduga namun tidak berlanjut. Hal ini tidak tampak, oleh karena itu, pasien dengan MD resiko untuk terjadi hipertermia malignan akan meningkat. Yang menarik, kedua penyakit tersebut terdapat pada kromosom 19, meskipun dalam lokasi yang berbeda.

C. Penyakit Muscular Dystrophy Lainnya

Pasien dengan facioscapulohumeral dan limb-girdle muscular dystrophy pada umumnya mempunyai respon yang normal terhadap obat-obat anestesi. Namun, karena besarnya variasi dan kesamaan antara berbagai bentuk dari muscular dystrophy, obat-obat pelumpuh otot non depolarisasi sebaiknya digunakan secara hati-hati, dan suksinilkolin seharusnya dihindari.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Page 10 of 17

Page 11: 37 Anestesia Pada Pasien Dengan Penyakit Neuromuskuler Ok

MYOTONIAS

Myotonia Congenita & Paramyotonia Congenita

Myotonia congenita merupakan kelainan yang muncul di awal kehidupan dengan myotonia secara umum. Penyakit ini disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom 7q35 yang memberi kode untuk chloride channel pada permukaan membran serabut otot skeletal. Kedua bentuk autosomal dominant (Thomsen”s) dan resesif (Becker’s) didapatkan. Penyakit ini terbatas pada otot skeletal dan tidak menyebabkan, minimal, atau kelemahan yang tidak progresif. Beberapa pasien pada kenyataannya mempunyai perkembangan otot yang baik akibat kontraksi otot yang hampir konstan. Myotonia biasanya lebih banyak pada pasien yang bermasalah dengan myotonia daripada pasien dengan MD. Terapi antimyotonic termasuk phenytoin, mexiletine, quinine sulfat, atau procainamide. Obat-obat lain yang biasa digunakan termasuk tocainide, dantrolene, prednisone, acetazolamide, dan taurine. Tidak ada keterlibatan otot jantung pada myotonia congenita, dan diharapkan masa hidup yang normal.

Paramyotonia congenita merupakan suatu kelainan autosomal dominan yang sangat jarang, terdapat pada kromosom 17q. Mutasi pada subunit α sodium channel yang berhubungan dengan penyakit. Tanda-tanda paramyotonia congenita termasuk kekakuan sementara (myotonia) dan kadang-kadang kelemahan setelah terpapar oleh suhu dingin. Kekakuan diperburuk dengan aktivitas, hal ini berlawanan dengan myotonia yang sebenarnya, sehingga timbul istilah “paramyotonia”. Konsentrasi potassium plasma dapat meningkat setelah serangan serupa dengan paralisis periodik hiperkalemik (lihat keterangan di bawah). Obat-obat yang digunakan untuk menghambat respon dingin termasuk mexiletine dan tocainide.

Penatalaksanaan anestesi pada pasien dengan myotonia congenita dan paramyotonia cukup rumit dengan adanya respon yang abnormal terhadap suksinilkolin, kontraksi myotonik intraoperatif yang menyulitkan, dan perlunya menghindari hipotermia. Obat-obat pelumpuh otot secara paradoksal menyebabkan spasme otot menyeluruh, termasuk trismus, yang mengakibatkan kesulitan saat intubasi dan ventilasi.

Infiltrasi otot di lapangan operasi dengan suatu larutan anestetik lokal dapat mengurangi kontraksi myotonik yang refrakter. Tidak ada pasien dengan myotonia jenis ini yang dilaporkan mempunyai hasil tes in vitro yang positif terhadap hipertermia malignant. Otot yang hilang pada pasien tersebut, bagaimanapun, menunjukkan kontraksi myotonic yang berkepanjangan saat terpapar oleh obat pelumpuh otot depolarisasi. Kontraksi otot yang berlebihan selama anestesi, oleh karena itu, mungkin menunjukkan myotonia yang makin berat dan bukan hipertermia malignant.

PERIODIC PARALYSIS

Kelainan dalam kelompok ini ditandai dengan serangan mendadak berupa kelemahan otot sementara atau paralisis. Gejala biasanya dimulai pada masa anak-anak. Timbulnya serangan pada umumnya berakhir dalam beberapa jam dan khususnya kecuali otot respirasi. Serangan yang berupa kelemahan ini akibat hilangnya eksitabilitas serabut otot karena depolarisasi parsial saat potensial

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Page 11 of 17

Page 12: 37 Anestesia Pada Pasien Dengan Penyakit Neuromuskuler Ok

istirahat. Depolarisasi tersebut mencegah timbulnya aksi potensial berikutnya dan dengan demikian menyebabkan kelemahan.

Kelompok penyakit ini diklasifikasikan menjadi primary genetic channelopathies dan secondary acquired forms. Tipe yang genetik atau diwariskan merupakan akibat mutasi secara dominan yang diturunkan dalam voltage-gated sodium, calcium, atau potassium ion channels. Klasifikasi ini berdasarkan perbedaan klinis, tetapi hal ini tidak menunjukkan hubungan dengan channel ion tertentu. Defek yang berbeda pada channel yang sama dapat menyebabkan gambaran klinik yang berbeda, di mana mutasi pada channel yang berbeda mungkin mempunyai gambaran klinik yang serupa. Bagaimanapun, klasifikasi secara klinis bermanfaat sebagai pedoman untuk menentukan prognosa dan terapi.

Pada kelainan yang diwariskan secara dominan terdapat defek pada voltage-gated, calcium channels. Pada kelompok ini secara khusus berhubungan dengan kadar potassium serum yang rendah selama serangan kelemahan. Suatu defek yang diturunkan secara dominan pada channel sodium, juga menyebabkan paralisis periodik, yang berhubungan dengan peningkatan kadar potassium serum selama episode kelemahan. Masing-masing defek ini menyebabkan membran otot tidak dapat bereksitasi baik terhadap stimulasi yang langsung maupun tidak langsung akibat penurunan konduksi potassium atau peningkatan konduksi sodium secara berturutan. Kedua defek ini berhubungan dengan pergeseran cairan dan elektrolit. Kedua kelainan tersebut diturunkan sebagai sifat yang autosomal dominant, tetapi masing-masing mempunyai sejumlah variasi pasangan yang menyebabkan perbedaan gambaran pada keluarga yang berbeda. Paramyotonia dengan sensitivitas terhadap dingin merupakan salah satu contoh dari sodium channelopathies.

Bentuk primer dari penyakit ini mempunyai sejumlah kesamaan secara klinis. Ditandai dengan episode kelemahan yang sporadis (jarang). Kekuatan otot dan konsentrasi potassium serum pada umumnya normal di antara serangan. Kelainan ini juga ditandai dengan perburukan yang disebabkan oleh hipotermia. Kelemahan biasanya berakhir kurang dari 1 jam, tetapi dapat berakhir sampai 2 hari, dan serangan yang teratur dapat menimbulkan kelemahan progresif dalam waktu yang lama pada beberapa pasien. Episode ini dapat meningkat dengan istirahat setelah latihan yang keras, tetapi dapat diminimalkan dengan latihan otot secara berkesinambungan.

1. Voltage-Gated Calcium Channelopathy (Paralisis Periodik Hipokalemik)

Jenis hipokalemik ini sering muncul pada masa anak-anak hingga awal masa dewasa. Sesuai perjalanan waktu, biasanya terjadi peningkatan frekuensi serangan, walaupun kelainan ini mungkin mereda atau menghilang di usia selanjutnya.

Jenis hipokalemik ini paling sering terjadi dan mungkin dapat diturunkan, kejadiannya sangat jarang, atau berhubungan dengan hipertiroidism. Sampai 10% dari laki-laki hipertiroid keturunan Latin atau Asia mempunyai episode paralisis periodik hipokalemik. Serangan tersebut ditandai dengan kelemahan atau paralisis otot anggota gerak yang berlangsung selama 3-4 jam, tetapi dapat berlangsung sampai beberapa hari. Serangan paling sering terjadi pada pagi hari

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Page 12 of 17

Page 13: 37 Anestesia Pada Pasien Dengan Penyakit Neuromuskuler Ok

dan dipicu oleh latihan yang keras atau makanan yang mengandung karbohidrat tinggi. Latihan yang ringan dapat mencegah atau memperlambat terjadinya paralisis. Yang menarik, anestesi lokal dengan antiphlogistics dapat memicu timbulnya serangan. Selama serangan, kadar potassium dapat normal atau sedikit menurun, sesuai dengan kadar fosfor. Ginjal akan menahan sodium, potassium, chloride, dan air, yang berhubungan dengan peningkatan volume cairan intraseluler dan penurunan volume ekstraseluler. Kelainan ini mungkin berhubungan dengan oliguria, obstipasi, dan diaphoresis. Bisa terjadi perubahan EKG (lihat Bab 28) yang sesuai dengan kadar potassium yang rendah. Seperti yang telah disebutkan, kerusakan otot yang permanen dapat terjadi sesuai dengan peningkatan frekuensi serangan.

Diagnosa biasanya ditegakkan dengan menanyakan riwayat keluarga dengan cermat, riwayat pasien, dan catatan perubahan myotonia potassium pada elektromiografi. Serangan akut diterapi dengan 2-10 gram potassium oral tanpa glukosa, dengan aktivitas fisik ringan yang dianjurkan. Potassium intravena lama tidak direkomendasikan karena dapat menyebabkan hiperkalemia. Kelainan ini dapat dicegah dengan pemberian acetazolamide dosis rendah. Larutan glukosa sebaiknya dihindari, karena pengambilan glukosa oleh sel-sel, berhubungan dengan perubahan potassium serum, dapat memperburuk hipokalemia dan kelemahan.

Bentuk kedua dari penyakit ini berhubungan dengan tirotoksikosis. Hal ini menyerupai bentuk primernya tetapi lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, terutama pada orang-orang keturunan Asia dan pada dewasa muda. Kondisi tiroid telah diterapi sekali, maka episode penyakit biasanya akan berhenti. Penyakit ini dapat muncul di berbagai tempat dari 10 sampai 20% laki-laki Asia yang hipertiroid. Gejala sisa metabolik dan pergeseran cairan dan elektrolit yang tampak pada bentuk primer ini juga dapat ditemukan pada paralisis periodik hipokalemik sekunder. Penatalaksanaan penyakit ini meliputi pengelolaan hipertiroidism, menghindari makanan dengan karbohidrat yang tinggi dan rendah potassium, dan potassium chloride untuk serangan akut.

Paralisis hipokalemik sekunder juga dapat terjadi bila terdapat kehilangan potassium yang nyata melalui ginjal atau melalui saluran gastrointestinal. Hal ini berhubungan dengan kelemahan, pada saat serangan. Kadar potassium lebih rendah dibandingkan jenis yang lain. Banyak hal yang dapat menjadi penyebabnya. Terapi penyakit primernya dengan penggantian potassium seperti pengobatan asidosis atau alkalosis merupakan hal yang penting untuk mencegah timbulnya serangan.

Pasien yang mengkonsumsi sejumlah besar garam barium, yang dapat menghambat channel potassium, juga dapat terjadi paralisis periodik hipokalemik. Keadaan ini dapat diterapi dengan menghentikan garam barium dan pemberian potassium oral.

2. Sodium Channelopathy (Paralisis periodik Hiperkalemik)

Pasien dengan paralisis periodik tipe ini cenderung lebih pendek masa serangannya (1-2 jam) tetapi frekuensi serangan lebih sering. Penyakit ini merupakan hiperkalemik primer membran otot sodium channelopathy. Meskipun bersifat dominan, merupakan mutasi pasangan yang multipel. Paralisis dipicu oleh

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Page 13 of 17

Page 14: 37 Anestesia Pada Pasien Dengan Penyakit Neuromuskuler Ok

inaktivasi abnormal sodium channel dengan peningkatan ringan pada potassium. Aliran sodium dan air ke dalam sel dengan depolarisasi yang memanjang. Terdapat hemokonsentrasi yang berhubungan dengan peningkatan kadar potassium serum.

Gambaran klinik biasanya muncul selama masa anak-anak dengan serangan pada pagi hari, di mana terjadi peningkatan frekuensi yang berlebihan. Frekuensi serangan lebih sering dan memburuk dengan istirahat setelah latihan yang berat. Bagaimanapun, latihan yang ringan dapat mencegah paralisis pada otot yang sama. Frekuensi terjadinya serangan dapat menurun pada usia selanjutnya. Hipotermia, kehamilan, pemberian glukokortikoid dan potassium dapat memperburuk keadaan ini. Selama serangan, kadar potassium biasanya meningkat sampai lebih dari 6 mEq/L tetapi tetap normal di antara serangan. Karena terjadi pergeseran sodium dan air ke dalam sel, hal ini juga dapat berhubungan dengan hiponatremia dan hemokonsentrasi. Pergeseran elektrolit lain juga disebutkan. Hipotermia dapat menyebabkan kelemahan atau memperburuk keadaan.

Paralisis periodik normokalemik menyerupai paralisis periodik hiperkalemik dan sering mempunyai genotip yang sama. Keduanya berbeda dalam hal kurangnya manfaat dari glukosa, karena kadar potassium normal selama episode. Meskipun kadar potassium biasanya normal, pasien juga dapat mengalami myopathy persisten.

Kadar potassium yang tinggi di antara episode kelemahan diduga merupakan bentuk sekunder dari kelainan ini. Pada keadaan ini, diagnoasa ditegakkan dengan menggali secara cermat riwayat keluarga, dokumentasi klinik tentang peningkatan kadar potassium di antara serangan, dan elektromiogram yang menunjukkan myotonia yang berhubungan dengan latihan berat yang diikuti dengan istirahat. Pada keadaan ini, terapi dengan makanan yang mengandung karbohidrat yang tinggi secara teratur, pemeliharaan dengan diet potassium yang rendah bila memungkinkan, dan menghindari aktivitas yang berat dan suhu dingin. Acetazolamide juga dapat membantu mencegah terjadinya serangan. Yang menarik, paramyotonia congenita merupakan jenis mutasi yang berpasangan dari sodium channel.

Kelainan hiperkalemik sekunder tampak pada pasien (pria lebih sering daripada wanita) dengan kadar potassium lebih dari 7 mEq/L. Kelemahan yang menetap terjadi di antara serangan. Hal ini disebabkan berbagai faktor medis, tetapi yang paling sering terjadi pada semua kelainan hiperkalemik adalah kelemahan dengan istirahat setelah latihan. Tujuan perawatan adalah untuk mengatasi penyakit primernya dan mengurangi potassium.

3. Potassium Channelopathy (Andersen’s syndrome)

Andersen’s syndrome ditetapkan baru-baru ini, merupakan kelainan yang diwariskan secara dominan yang tampak pada kelompok pasien dengan paralisis periodik dan aritmia ventrikuler yang tidak tergantung pada potassium serum. Jarak yang lebar pada bentuk aritmia jantung dapat terjadi, dan mungkin merupakan bagian yang dysmorphic, terutama pada wajah dan kepala.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Page 14 of 17

Page 15: 37 Anestesia Pada Pasien Dengan Penyakit Neuromuskuler Ok

Pertimbangan Anestesi9Pada pasien dengan paralisis periodik, penatalaksanaan anestesia langsung ditujukan terhadap pencegahan serangan. Monitoring EKG secara cermat diperlukan untuk mengetahui serangan dan adanya aritmia selama anestesi. Pengukuran konsentrasi potassium plasma secara teratur selama intraoperatif dapat dianjurkan bila memungkinkan. Cairan intravena yang mengandung glukosa sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan paralisis hipokalemik, di mana larutan tersebut mungkin menguntungkan pada pasien dengan paralisis hiperkalemik dan normokalemik (lihat keterangan di atas). Fungsi neuromuskuler sebaiknya dimonitoring secara cermat selama anestesi umum. 10Pada pasien dengan paralisis periodik, respon terhadap obat pelumpuh otot tidak bisa diprediksikan. Meningkatnya sensitivitas terhadap obat pelumpuh otot non depolarisasi terutama sekali mungkin dapat ditemukan pada pasien dengan paralisis periodik hipokalemia. Suksinilkolin merupakan kontraindikasi pada paralisis hiperkalemik dan mungkin pada varian lainnya karena resiko hiperkalemia. Karena menggigil dan hipotermia dapat memicu terjadinya serangan, pemeliharaan suhu tubuh selama intraoperatif sangat penting.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Page 15 of 17

Page 16: 37 Anestesia Pada Pasien Dengan Penyakit Neuromuskuler Ok

DISKUSI KASUS :ANESTESI UNTUK BIOPSI OTOT

Seorang anak laki-laki berusia 16 tahun dengan kelemahan otot proksimal yang progresif diduga mengalami myopathy primer dan dijadwalkan untuk biopsi otot quadriceps.

Abnormalitas potensial lain apakah yang seharusnya diperhatikan oleh anesthesiologist?

Diagnosa myopathy dapat menjadi sulit untuk dibuat dan diagnosa banding mungkin termasuk salah satu dari beberapa penyakit herediter, inflamasi, endokrin, metabolik, atau keracunan. Biopsi otot mungkin diperlukan sebagai pelengkap temuan klinis, laboratorium, konduksi saraf, dan elektromiografi dan membantu menegakkan diagnosa. Walaupun penyebab myopathy pada kasus ini belum jelas, klinisi harus selalu mempertimbangkan masalah yang potensial yang dapat berhubungan dengan myopathy primer.

Terlibatnya otot pernapasan sebaiknya selalu dicurigai pada pasien dengan kelemahan otot. Cadangan paru dapat dinilai secra klinis dengan menanyakan adanya dyspnea dan tingkat aktivitas. Tes fungsi paru diindikasikan jika ditemukan sesak saat aktivitas yang signifikan. Meningkatnya resiko aspirasi pulmonal diduga bila terdapat riwayat dysphagia, regurgitasi, infeksi paru yang berulang, atau distensi abdomen. Abnormalitas jantung dapat berupa aritmia, prolaps katup mitral, atau kardiomiopati. EKG 12 lead juga bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan abnormalitas konduksi. Foto thorax dapat mengevaluasi usaha inspirasi, parenkim paru, dan ukuran jantung; distensi gaster sekunder terhadap otot polos atau disfungsi otonom mungkin juga menjadi jelas. Evaluasi laboratorium preoperatif seharusnya dapat menyingkirkan penyebab metabolik dengan mengukur konsentrasi sodium, potassium, magnesium, calcium, dan fosfat dalam serum. Begitu pula dengan kelainan thyroid, adrenal, dan pituitary seharusnya disingkirkan. Pengukuran plasma CK tidak banyak membantu, tetapi kadar yang sangat tinggi (10 kali normal) pada umumnya diduga sebagai suatu muscular dystrophy atau polymyositis.

Teknik anestesi apakah yang sebaiknya digunakan?

Pilihan anestesi yang akan digunakan sebaiknya berdasarkan atas keperluan pasien dan pembedahan. Pada umumnya biopsi otot dapat dilakukan di bawah anestesi lokal atau anestesi regional dengan tambahan sedasi intravena, menggunakan midazolam dosis kecil. Karena sebagian besar prosedur dilakukan pada pasien rawat jalan, anestesi spinal dan epidural sering dihindari. Blok nervus femoralis dapat memberikan anestesi yang sangat baik untuk biopsi otot quadriceps; injeksi yang terpisah mungkin diperlukan pada nervus cutaneus femoralis lateral untuk menganestesi femur anterolateral. Anestesi umum harus dipersiapkan pada pasien yang tidak kooperatif atau bila anestesi lokal yang diberikan ternyata tidak adekuat. Oleh karena itu anesthesiologist harus selalu siap dengan rencana anestesi umum.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Page 16 of 17

Page 17: 37 Anestesia Pada Pasien Dengan Penyakit Neuromuskuler Ok

Obat-obat apakah yang dapat digunakan dengan aman untuk anestesi umum?

Prinsip yang sama telah dibicarakan dalam Bab 36 sebaiknya digunakan. Ttujuan utama termasuk mencegah aspirasi pulmonal, menghindari depresi napas dan sirkulasi yang berlebihan, jika memungkinkan menghindari penggunaan obat pelumpuh otot, dan mungkin menghindari obat-obat yang telah diketahui dapat memicu terjadinya hipertermia malignant. Respon yang normal terhadap anestesi umum sebelumnya pada pasien atau anggota keluarganya mungkin menenangkan tetapi tidak menjamin respon yang sama berikutnya. Pada anestesi umum, induksi dan pemeliharaan dengan kombinasi barbiturat (thiopental atau methohexital), benzodiazepine (midazolam), propofol, atau opioid (fentanyl) dan nitrous oxide. Pasien dengan resiko aspirasi yang tinggi sebaiknya diintubasi (lihat keterangan di atas). Bila diperlukan obat pelumpuh otot, sebaiknya digunakan obat non depolarisasi yang bekerja singkat (cisatracurium atau mivacurium). Suksinilkolin pada umumnya dihindari karena resiko yang tidak diketahui dari respon yang tidak biasa (kontraksi myotonic, durasi yang memanjang, atau blok fase II), dapat menimbulkan hiperkalemi berat atau memicu hipertermia malignant.

BACAAN YANG DIANJURKAN

1. Booij LH, Vree TB : Skeletal muscle relaxants : pharmacodynamics and pharmacokinetics in different patient groups. Clin Pract 2000;54:526.

2. Ichizo N, Eijiro O : Muscular dystrophies. Curr Opin Neurol 2002;15:539.

3. Mathieu J, Allard P, Gobeil G, et al : Anesthetic and surgical complications in 219 cases of myotonic dystrophy. Neurology 1997;49:1646.

4. Pourmand R: Neuromuscular Diseases: Expert Clinician”s Views. Butterworth-Heineman, 2001.

5. Stoelting RK, Dierdorf SF: Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease, 2nd ed. Churchill Livingstone, 2002.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Page 17 of 17