tugas anestesia

82
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan semakin pesatnya kemajuan lalu lintas di berbagai belahan dunia, baik dari segi jumlah, pemakaian jalan, jumlah pemakaian jasa angkutan dan bertambahnya jaringan jalan serta kecepatan kendaraan maka akan meningkatkan angka kejadian trauma. Kecelakaan lalu lintas sering mengakibatkan trauma seperti torak, kepala organ indra, dll. Pada semua pasien trauma, khususnya mengenai trauma torak sering mengakibatkan hematoma torak dan pneumotorak. Lebih dari 5 juta kematian akibat trauma setiap tahunnya di seluruh dunia dan lebih dari 1 juta kematian diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas. Di Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga torak dan di Amerika Serikat didapatkan kematian 180.000 pertahun karena trauma 25% diantaranya karena trauma torak

Upload: myluvlymee

Post on 25-Nov-2015

42 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangDengan semakin pesatnya kemajuan lalu lintas di berbagai belahan dunia, baik dari segi jumlah, pemakaian jalan, jumlah pemakaian jasa angkutan dan bertambahnya jaringan jalan serta kecepatan kendaraan maka akan meningkatkan angka kejadian trauma. Kecelakaan lalu lintas sering mengakibatkan trauma seperti torak, kepala organ indra, dll. Pada semua pasien trauma, khususnya mengenai trauma torak sering mengakibatkan hematoma torak dan pneumotorak.Lebih dari 5 juta kematian akibat trauma setiap tahunnya di seluruh dunia dan lebih dari 1 juta kematian diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas. Di Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga torak dan di Amerika Serikat didapatkan kematian 180.000 pertahun karena trauma 25% diantaranya karena trauma torak langsung. Di Indonesia sendiri di bagian bedah FK UI pada tahun 1981 didapatkan 20% dari pasien trauma mengenai trauma torak.Selain akibat trauma, pembedahan torak juga digunakan untuk terapi penyakit neoplasma seperti kanker paru. Dari cancer research di Amerika Serikat pada tahun 2011, ditemukan kasus kanker paru sudah mencapai 13% yaitu 1.608.055 orang dan menjadi peringkat pertama dari 20 penyakit kanker lainnya serta mencapai angka kematian sebesar 18% yaitu 1.376.579 orang. Di Indonesia, kanker paru mengakibatkan kematian sebesar 18,48% dari tahun 1993-2007. Dengan semakin terus meningkatnya penyakit yang berhubungan dengan torak, maka pembedahan torak juga semakin tinggi. Sebelum dilakukan pembedahan torak dibutuhkan penilaian apakah layak pasien tersebut dilakukan operasi atau tidak. Ketika seorang pasien sudah layak untuk dilakukan operasi, maka diberikan anestesi yang sesuai dengan indikasi. Pemberian anestesi diperuntukkan agar tercipta kenyamanan terhadap pasien dan memperlancar proses pembedahan. Anestesi pada pembedahan torak juga memiliki syarat penggunaan sebelum diberikan kepada pasien. Untuk membahas lebih lanjut, maka penulis menyajikan selengkapnya dalam makalah ini.1.1 Batasan MasalahBatasan penulisan ini membahas mengenai teknik anestesi pada pembedahan torak.1.2 Tujuan PenulisanPenulisan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis mengenai anestesi pada pembedahan torak.1.3 Metode PenulisanPenulisan ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk dari berbagai macam literatur.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi2.1.1 DefinisiAnestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-tidak, tanpa dan aesthesos, persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Definisi anestesiologi berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran. Defini yang ditegakkan oleh The American Board of Anesthesiology pada tahun 1989 ialah mencakup semua kegiatan profesi atau praktek yang meliputi hal- hal sebagai berikut:1. Menilai, merancang, menyiapkan pasien untuk anestesia.2. Membantu pasien menghilangkan nyeri pada saat pembedahan, persalinan atau pada saat dilakukannya tindakan diagnostic-terapeutik.3. Memantau dan memperbaiki homeostasis pasien perioperative dan pada pasien dalam keadaan kritis.4. Mendiagnosis dan mengobati sindroma nyeri.5. Mengelola dan mengajarkan Resusitasi Jantung Paru (RJP).6. Membuat evaluasi fungsi pernapasan dan mengobati gangguan pernapasan.7. Mengajarkan, memberi supervise dan mengadakan evaluasi tentang penampilan personel paramedic dalam bidang anesthesia, perawatan pernapasan dan perawatan pasien dalam keadaan kritis.8. Mengadakan penelitian tentang ilmu dasar dan ilmu klinik untuk menjelaskan dan memperbaiki perawatan pasien terutama tentang fungsi fisiologis dan respon terhadap obat.9. Melibatkan diri dalam administrasi rumah sakit, pendidikan kedokteran dan fasilitas rawat jalan yang diperlukan untuk implementasi pertanggungjawaban (Latief, 2009)2.1.2 SejarahDahulu sebelum anestesi dikenal, operasi harus dijalankan secepat mungkin untuk meminimalkan rasa sakit. Rekor dunia untuk amputasi kaki dicapai dalam waktu 15 detik yang dilakukan oleh Dominique Larrey, ketua tim dokter pribadi Napoleon. Tahun 1800, Davy seorang ahli kimia yang sangat terkenal telah mempublikasikan bahwa zat kimia terterntu seperti oksida nitrogen dapat mempunyai efek bius. Walaupun dokter yang pertama kali menggunakan anestesi dalam praktiknya adalah Crawford Long, di Amerika Serikat, karena ia tidak pernah mempublikasikan, maka dalam sejarah Amerika Serikat menyebutkan bahwa penemu anestesi atau bius adalah William Morton karena Morton secara demonstratif telah menunjukkan cabut gigi tanpa rasa sakit di depan umum pada tahun 1846 ( Miller, 2007). Pada tahun 1848, di Inggris tercatat JY Simpson dan John Snow yang banyak mengembangkan anestesi. Eter waktu itu banyak digunakan untuk membantu persalinan di Inggris. Sambil berpraktik sebagai dokter, Simpson dan asistennya banyak bereksperimen dengan bahanbahan kimia untuk mencari anestesi yang efektif. Kadang mereka bereksperimen dengan diri mereka sendiri. Di dunia waktu itu, dan terutama di Inggris, banyak orang menganggap rasa sakit adalah bagian kodrat dari Tuhan, dan menggunakan anestesi berarti melawan kodrat itu. Namun, oposisi penggunaan anestesi berakhir setelah Ratu Victoria menggunakannya saat melahirkan Pangeran Leopold tahun 1853. Anestesi terhadap Ratu Victoria tersebut dilakukan oleh John Snow. Tindakan Ratu Victoria tersebut ternyata bisa mengubah pandangan umum tentang anestesi. Sehingga penggunaan anestesi pada prosedur bedah semakin lama semakin diperhitungkan ( Miller, 2007).

Gambar 1. Sejarah AnestesiPerkembangan anestesiologi di Indonesia telah dimulai sebelum jaman Perang Dunia II. Pada masa itu, di waktu pendudukan Belanda, anestesiologi mulai diajarkan di CBZ (Central Bugerlijk Ziekenhuis), sekarang dikenal sebagai RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) yang dipergunakan sebagai RS pendidikan. Anestesiologi diajarkan sebagai salah satu topik dalam mata pelajaran Ilmu Bedah, dan tindakan anestesia umum dilakukan oleh para dokter asisten bedah (biasanya yang termuda) dan para co-asisten bagian bedah.Perhatian utama ditujukan masih pada pembedahan, bukan pada anestesinya. Pada saat itu belum ada dokter yang mengkhususkan diri di bidang anestesi. Anestesi menjadi suatu ketrampilan yang harus dimiliki oleh dokter bedah atau dokter lain yang melakukan pembedahan. Di rumah sakit lain, terutama di luar Jawa, pelayanan anestesia umum diserahkan kepada tenaga paramedik yang dididik oleh dokter bedah yang bersangkutan. Dinegara kita sendiri tidak boleh dilupakan jasa almarhum Prof. Dr. M Kelan yang telah merintis bidang anestesiologi. Almarhum pada tahun 1964, menjadi Dokter Spesialis Anestesi pertama di Indonesia yang telah mendapat pendidikan lengkap di luar negeri. Pada waktu itu bidang anestesi merupakan seksi dari ilmu bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tindakan anestesi menjadi tindakan ilmu kedokteran bukan keperawatan, karena itu di negara kita juga tindakan anestesi hanya boleh dilakukan oleh seorang dokter, sebaiknya dokter spesialis anestesi. Bila ini dilakukan oleh perawat anestesi maka ini adalah atas instruksi dan tanggung jawab dokter spesialis. Sejak tahun 1954-1988 telah terdidik 180 dokter spesialis anestesi yang dilakukan oleh empat pusat pendidikan dokter spesialis anestesi. Pada tanggal 1 Juni 1967 berdirilah Ikatan Ahli Anestesiologi Indonesia (IAAI) sebagai organisasi yang mempersatukan seluruh ahli anestesiologi di Indonesia. Awalnya hanya memiliki 4 cabang, yaitu Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada Kongres Nasional (KONAS) IAAI kedua di Bandung tahun 1988, nama IAAI diubah menjadi Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia (IDSAI) dan pada KONAS IDSAI kelima di Yogyakarta tahun 1998, nama organisasi diubah lagi menjadi Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi, dengan singkatan tetap IDSAI. Saat ini IDSAI telah memiliki 12 cabang, dan Solo merupakan cabang termuda yang telah dikukuhkan dalam KONAS IDSAI keenam di Jakarta tahun 2001. Menurut kongres PERDATIN (Perhimpunan Dokter Anestesi dan Intensivis Indonesia) di Semarang tahun 2013, sekarang terdapat 1054 orang dokter spesialis anestesi di indonesia, dimana 50%nya berada di pulau Jawa.2.1.3 Klasifikasi AnestesiObat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja. Namun, secara umum obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan menjadi tiga golongan yaitu anestesi lokal, regional, dan umum.a. Anestesi umum Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain. Anestesik yang menghasilkan anestesia umum dapat diberikan dengan cara inhalasi, paraenteral atau kombinasi. Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan. Jenis-jenis dari anestesi umum, yaitu: Anestesi inhalasi merupakan bentuk dasar dari gas N2O atau larutan yang diuapkan menggunakan mesin anestesia, masuk dalam sirkulasi sistemik melalui sistem pernapasan yaitu secara difusi di alveoli. Sistem aliran ini gas dalam sistem pernapasan dikelompokkan menjadi sistem terbuka, setengah terbuka/tertutup atau tertutup. Kriteria pengelompokkan ini didasarkan pada ada tidaknya proses rebreathing yaitu penghirupan kembali udara ekshalasi dan penyerap CO2 dalam sirkuit pernapasan mesin anesthesia. Contoh dari anestesi umum adalah eter, halotan, enfluran, isofluran dan sevofluran.Halotan sering digunakan sebagai induksi anestesi dikombinasikan dengan N2O, karena halotan adalah analgesik lemah tetapi sifat anestesinya kuat sehingga kombinasi keduanya sangat ideal. Pemeliharaan anestesi dengan halotan biasanya digunakan dosis 1-2% pada napas spontan atau dosis 0,5-1% pada napas terkendali, dan dapat disesuaikan dengan respon klinis pasien. Nilai MAC halotan adalah moderat, potensinya berada diantara metoksifluran dan isofluran, yaitu 0,3 0,75%. Halotan mempunyai tekanan uap yang tinggi, sehingga memerlukan ketelitian penggunaan vaporizer yang lebih tinggi. Penggunaan vaporizer yang memiliki tingkat ketelitian kurang, dapat menyebabkan konsentrasi halotan mencapai 30% padahal konsentrasi normal halotan yang diperlukan untuk anestesi adalah 1-2% sehingga penggunaan normal halotan memerlukan vaporizer khusus. Halotan menyebabkan vasodilatasi cerebral, meningkatkan aliran darah pada otak yang sulit dikendalikan. Kelebihan dosis halotan menyebabkan depresi napas, menurunkan tonus simpatik, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, dan depresi miokardium. Halotan dimetabolisme 20% di hati secara oksidatif menjadi komponen bromin, klorin, dan asam trikloro asetat. Halotan menyebabkan gangguan hati dan pasca pemberian sering menyebabkan pasien meninggal (Latief, 2007). Desfluran adalah halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya mirip dengan isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan anestetikum lainnya, sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus. Potensi desfluran sangat rendah (MAC 6,0%), bersifat simpatomimetik, menyebabkan takikardia dan hipertensi. Pengaruh depresi nafasnya sama dengan isofluran dan merangsang jalan napas atas sehingga tidak dapat digunakan sebagai induksi anestesi (Latief, 2007).Isofluran merupakan halogenasi eter dan secara kimia sangat mirip dengan metoksifluran dan sevofluran. Rentang keamanan isofluran lebih lebar dibandingkan halotan dan metoksifluran, sehingga sangat umum digunakan pada hewan terutama anjing dan kuda walaupun dengan harga yang lebih mahal. Penggunaaan isofluran pada dosis anestesi atau subanestesi menurunkan metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi akan meningkatkan aliran darah di otak dan tekanan intrakranial, sehingga menjadi pilihan pada pembedahan otak. Pengaruh terhadap jantung dan curah jantung (cardiac output) sangat minimal, sehingga dapat digunakan pada pasien dengan kelainan jantung. Potensi isofluran lebih kecil dibandingkan halotan karena mempunyai nilai MAC lebih tinggi dibandingkan halotan. Pemeliharaan anestesi dengan isofluran biasanya digunakan konsentrasi 1,5 2,5 % isofluran dalam oksigen (Latief, 2007). Anestesi paraenteralMerupakan anestesi yang dipakai untuk induksi anesthesia umum dan menimbulkan sedasi pada anesthesia lokal dengan conscious sedation. Anestesia ini langsung masuk ke darah dan eliminasinya harus menunggu proses metabolism maka dosisnya harus diperhitungkan secara teliti. Untuk mempertahankan anesthesia atau sedasi pada tingkat yang diinginkan, kadarnya dalam darah harus dipertahankan dengan suntikan berkala atau pemberian infus kontinu. Contohnya adalah propofol, benzodiazepine, ketamin (Syamsuhidayat, 2010).b. Anestesia RegionalAnestesi regional adalah tindakan menghilangnya nyeri yang dilakukan dengan cara menyuntikkan anestesi lokal pada lokasi syaraf yang menginervasi regio atau daerah tertentu sehingga menyebabkan hambatan konduksi inpuls yang reversibel. Anestesi regional dapat menghilangkan rasa nyeri pada suatu daerah atau regio tertentu secera reversibel tanpa disertai hilangnya kesadaran. Mekanisme kerja dan jenis anestesi yang digunakan sama dengan anestesi lokal, tetapi daerah atau luasan pada tubuh yang dipengaruhi adalah daerah atau regio tertentu. Anestesi regional dibedakan berdasarkan rute pemberiannya, yaitu secara epidural, spinal atau intrathekal atau subaraknoid, dan blok pleksus brakhialis (Adams, 2001).Spinal atau intrathekal atau subaraknoid anestesi sama dengan anestesi epidural tetapi dilakukan melalui duramater dan subaraknoid dimana jarum menembus duramater dan subaraknoid sehingga anestesi masuk ke dalam dan langsung mengenai syaraf spinal, menghasilkan anestesi yang segera dan lebih cepat. Anestesi ini mengakibatkan resiko berontak dan rasa sakit yang memerlukan kesembuhan lebih lama. Anestesi yang digunakan sama dengan anestesi lokal. Sedangkan blok pleksus brakhialis adalah anestesi regional dengan cara menyuntikkan anestesi lokal di daerah perjalanan fleksus brakhialis yang menginervasi daerah kaki depanAnestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu (Adams, 2001).Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal. Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi (Adams, 2001).c. Anestesi LokalAnestesi lokal adalah suatu bahan kimia yang mampu menghambat konduksi syaraf perifer tanpa menimbulkan kerusakan permanen pada syaraf tersebut. Mekanisme kerja anestesi lokal dengan cara menghambat (blok) saluran ion sodium (Na) pada syaraf perifer, konduksi atau aksi potensial pada syaraf terhambat sehingga respon nyeri secara lokal hilang. Anestesi lokal mencegah proses depolarisasi membran syaraf secara lokal melalui penghambatan saluran ion Na, sehingga membran akson tidak dapat bereaksi dengan neurotransmitter acetilkolin dan membran akan tetap dalam keadaan semipermiabel serta tidak terjadi perubahan potensial. Keadaan tersebut menyebabkan aliran inpuls yang melewati syaraf berhenti, sehingga semua rangsangan tidak sampai ke SSP. Sifat hambatan syaraf umumnya bersifat lokal, selektif, dan tergantung pada dosis atau jumlah obat yang diberikan. Sifat sifat yang harus dimiliki oleh obat anestesi lokal adalah poten, artinya efektif dalam dosis rendah, daya penetrasinya baik, mula kerjanya cepat, masa kerjanya lama, toksisitas sistemik rendah, tidak mengiritasi jaringan, pengaruhnya reversibel, dan mudah dikeluarkan dari tubuh (Miller, 2010). Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu menghambat konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh yang spesifik. Pada anestesi umum, rasa nyeri hilang bersamaan dengan hilangnya kesadaran penderita. Sedangkan pada anestesi lokal (sering juga diistilahkan dengan analgesia lokal), kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri yang hilang bersifat setempat (lokal). Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak hal. Misalnya, sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi berlubang, hingga merawat luka terbuka yang disertai tindakan penjahitan.Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila lebih dari itu, maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan tanpa rasa nyeri. Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dua golongan besar, yaitu golongan ester dan golongan amide. Perbedaan kimiawi ini direfleksikan dalam perbedaan tempat metabolism dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudo kolinesterase di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis di hati. Perbedaan ini juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi dimana golongan ester turunan dari amino benzoic acid memiliki frekuensi kecenderungan alergi lebih besar (Brown, 1996).Penggunaan anestesi lokal bisa dilakukan dengan meneteskan pada permukaan daerah yang akan dianestesi (surface aflication), dengan melakukan injeksi secara sub-kutan pada daerah yang akan dianestesi (subdermal, intradermal), serta dengan melakukan pemblokiran pada daerah tertentu (field block anestesi). Anestesi yang sering digunakan sebagai anestesi lokal adalah procaine HCI 2% - 4%, Lidocaine 0,5 - 2%, Lidocaine 4%, Tetracaine, bupivacaine 0,25% atau 0,5%, Dibucain, Pehacaine, Lidonest, dan Chlor buthanol dengan dosis pemberian secukupnya (Quantum statis, QS). Lidocaine dan bupivacaine dapat diencerkan dengan larutan salin (bukan air) untuk menurunkan konsentrasinya. Bupivacaine mempunyai onset lebih lambat (20 menit) dan durasi lebih panjang (6 jam) dibandingkan lidocaine (onset lebih cepat dan durasi 1-2 jam) (Adams, 2001).2.1.4 Ruang Lingkup Anestesi dan Reanimasi2.1.4.1 Penanggulangan NyeriNyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau kecenderungan akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan (Boulton, 1994).Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu :Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan, berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut. Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme proteksi, defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibilitas nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme defensif, memungkinkan untuk immobilisasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau patah sehingga sensibilitas yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan (Boulton, 1994).Nyeri juga berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan adanya nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui, misalnya nyeri yang dirasakan oleh seseorang pada daerah perut kanan bawah, kemungkinan pasien tersebut menderita radang usus buntu. Contoh lain misalnya, seorang ibu hamil cukup bulan, mengalami rasa nyeri di daerah perut, kemungkinan merupakan tanda bahwa proses persalinan sudah mulai (Boulton, 1994).Usaha penanggulangan nyeri terutama nyeri akut akibat trauma atau bedah, dilakukan untuk memperpendek fase akut/ katabolik pasca trauma atau bedah sehingga pasien segera memasuki fase anabolik dan proses penyembuhan luka lebih cepat. Penanggulangan nyeri kronis, baik yang bersifat cancer mupun non-cancer, dilakukan dalam upaya untuk memberikan suasana nyaman bagi pasien. Pada penderita kanker stadium lanjut, upaya perawatan baik penanggulangan nyerinya maupun terapi lainnya, terintegrasi dalam satu upaya paliatif (Boulton, 1994).2.1.4.2 Kedokteran Gawat DaruratAkibat pengaruh obat anestetik yang menimbulkan efek trias anestesia seperti yang dimaksud di atas, pasien akan mengalami koma (tidak sadar), reflex-refleks proteksi meghilang akibat mati rasa dan kelumpuhan otot rangka termasuk otot pernafasan. Jadi dengan demikian pasien berada dalam keadaan kritis atau gawat darurat. Selanjutnya, di samping pengaruh trias anestesia tersebut, pasien juga menderita manipulasi bedah mulai dari derajat ringan sampai berat, sehingga pada keadaan demikian pasien sangat memerlukan tindakan bantuan kehidupan selama prosedur anesthesia/ bedah berlangsung, yakni tindakan reanimasi/ resusitasi atau gerakan yang paling primitif untuk kehidupan yaitu gerakan pernafasan (bantuan nafas) (Boulton, 1994).Tindakan reanimasi yang dikerjakan pada pasien yang sedang menjalani prosedur anesthesia dan pembedahan, bisa juga diterapkan pada pasien yang mengalami keadaan gawat darurat yang terjadi di mana saja, kapan saja, siapa saja, dan oleh karena apa saja, yang masih mempunyai harapan hidup. Jadi dengan demikian tindakan reanimasi atau resusitasi yang merupakan salah satu dari trias kedokteran gawat darurat (resusitasi, kedaruratan medik, dan intensive care) bisa dikerjakan di luar rumah sakit, di tempat kejadian, selama transportasi dan di dalam rumah sakit (Boulton, 1994).Di dalam rumah sakit, tindakan resusitasi total dikerjakan di ruang khusus yaitu ruang terapi intensif, mulai dari bantuan hidup dasar yang telah diberikan sebelumnya, bantuan hidup lanjut dan bantuan hidup jangka panjang. Terapi intensif adalah usaha kedokteran gawat darurat yang berorientasi pada usaha gawat darurat yang berorientasi pada usaha oksigenasi darurat, usaha pemulihan/ pemeliharaan fungsi sirkulasi dan usaha pemulihan fungsi serebral yang dilakukan secara simultan di Ruang Terapi Intensif pada pasien yang mengalami kegagalan mendadak fungsi respirasi, sirkulasi, dan fungsi serebral yang masih mempunyai harapan hidup (Boulton, 1994). Ruang perawatan/terapi intensif merupakan terminalkasus gawat darurat yang masih mempunyai harapan hidup. Di ruangan ini pasien tersebut mendapatkan perawatan/ terapi total (total care) mulai dari bantuan hidup dasar, bantuan hidup lanjut dan bantuan hidup jangka panjang, agar pemulihan sistem organ dapat dicapai secara optimal. Dokter Spesialis Anestesiologi yang menjadi pengelola Unit Terapi Intensif harus mampu menggalang kebersamaan dengan dokter spesialis cabang ilmu lain yang menangani kasus/ pasien yang menderita kegagalan multi organ (Boulton, 1994). 2.1.4.3 Kedokteran PerioperatifSesungguhnya Kedokteran Perioperatif adalah kolaborasi dari tatalaksana penanggulangan nyeri khususnya nyeri akut trauma bedah dan kedokteran gawat darurat. Setiap pasien yang akan diacarakan untuk tindakan pembedahan maupun tindakan diagnostik, tidak ada yang merasa senang atau gembira, pasti mereka akan mengalami stress psikologis dan atau nyeri akibat penyakit yang dideritanya, kecuali pasien tidak sadar. Di samping itu, tidak jarang pasien tersebut juga menderita penyakit sistemik lain selain penyakit bedah yang dideritanya, seperti misalnya : stroke, hipertensi, diabetes melitus dan sebagainya. Oleh karena itu, sebagai dokter spesialis anestesiologi dituntut agar mampu menanggulangi masalah tersebut (Boulton, 1994).Tindakan anesthesia-analgesia berlandaskan kepada farmakologi dan fisiologi. Tindakan anesthesia-analgesia sesungguhnya adalah tindakan meracuni penderita, mempergunakan obat-obatan khusus yaitu obat anestesikum yang umumnya bersifat depresan atau racun yang bersifat reversible pada sistem organ tubuh sehingga dengan demikian sangat diperlukan pemahaman/ penguasaan farmakologi obat yang digunakan dan perubahan fisiologi yang terjadi akibat pengaruh obat tersebut serta penguasaan ilmu/ keterampilan untuk mempertahankan kehidupan selama anesthesia dan pembedahan, yang pada saat ini popular disebut Ilmu Reanimasi seperti telah diuraikan di atas (Boulton, 1994).Tindakan anesthesia yang memadai, meliputi tiga komponen :a) Hipnotik (tidak sadarkan diri = mati ingatan)b) Analgesia (bebas nyeri = mati rasa)c) Relaksasi otot rangka (mati gerak)Untuk mencapai ke tiga target tersebut, dapat digunakan hanya dengan mempergunakan satu jenis obat, misalnya eter, atau dengan memberikan beberapa kombinasi obat yang mempunyai efek khusus seperti tersebut di atas, yaitu : obat yang khusus sebagai hipnotik, khusus sebagai analgetik dan khusus sebagai obat pelumpuh otot. Ketiga target anesthesia popular tersebut disebut dengan trias anestesia.Dalam prakteknya, tindakan anestesi berarti memberikan pelayanan anesthesia umum pada pasien yang akan dilakukan pembedahan, yang meliputi trias anestesia, sedangkan tindakan analgesia berarti memberikan pelayanan anestersia atau analgesia regional yang hanya mencakup analgesia dan relaksasi otot pada area atau region tertentu dari organ tubuh, seperti misalnya : operasi di daerah perut bagian bawah, ano-rektal, genitalia eksterna, ekstremitas bawah dan ektremitas atas (Boulton, 1994).2.2 Bedah Torak2.2.1 PembedahanPembedahan merupakan cabang dari ilmu medis yang ikut berperan terhadap kesembuhan dari luka atau penyakit melalui prosedur manual atau melalui operasi dengan tangan. Hal ini memiliki sinonim yang sama dengan kata chirurgia dalam bahasa Yunani cheir artinya tangan dan ergon artinya kerja (Venugopalan, 2000). Pembedahan merupakan semua tindak pengobatan yang menggunakan cara invasive dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukan bagian tubuh ini pada umumnya dilakukan dengan membuat sayatan. Setelah bagian yang ditangani nampak, dilakukan tindak perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka (Syamsuhidayat, 2010).

2.2.2 TorakAnatomiTorak merupakan rongga yang berbentuk kerucut pada bagian bawah lebih besar daripada bagian atas dan pada bagian belakang lebih panjang daripada bagian depan. Rongga dada berisi paru-paru dan mediastinum. Mediastinum adalah ruang di dalam rongga dada di antara kedua paru-paru. Torak terletak antara leher dan perut. Cavum torak terdiri dari jantung, paru-paru, trakea, esophagus, dan pembuluh darah. Rangka torak dibentuk oleh columna vertebralis, tulang costa, cartilage costa dan sternum (Snell, 1997).

Gambar 2. Anatomi TorakBedah torak merupakan pembedahan yang khusus untuk diagnosis dan terapi pembedahan dari penyakit yang berada di dalam dada termasuk paru-paru, trakea, pleura, mediastinum, dinding dada, diagfragma, pericardium, dan jantung (American Board of Thoracic Surgery, 2012).

2.2.3 Kelaianan Pada TorakKelainan torak yang disebabkan oleh trauma sudah mencapai angka mortalitas sebesar 10% dimana trauma torak menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di Amerika Utara. Kurang dari 10% dari trauma tumpul torak dan hanya 15- 30% dari trauma tembus torak yang membutuhkan tindakan torakotomi. Di Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga torak. Dengan adanya trauma torak akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan trauma. Pneumatorak, hemotorak kontusio paru dan flail chest dapat meningkatkan kematian : 38%, 42%, 56% dan 69% (ATLS, 2004). Penyebab trauma torak tersering adalah oleh karena kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar dan terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma torak oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3, berdasarkan tingkat energinya yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energi rendah, berenergi sedang dengan kecepatan kurang dari 1500 kaki per detik (seperti pistol) dan trauma torak oleh karena proyektil berenergi tinggi (senjata militer) dengan kecepatan melebihi 3000 kaki per detik. Penyebab trauma torak yang lain oleh karena adanya tekanan yang berlebihan pada paru-paru bisa menimbulkan pecah atau pneumotorak (Syamsuhidayat, 2010).

Gangguan anatomi dan fisiologi akibat trauma torakAkibat trauma daripada torak, ada tiga komponen biomekanika yang dapat menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan dan stres. Kompresi terjadi ketika jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan terjadi ketika jaringan kulit terpisah dan stres merupakan tempat benturan pada jaringan kulit yang bergerak berhubungan dengan jaringan kulit yang tidak bergerak. Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi yang ringan berupa jejas pada dinding torak, fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multiple dengan komplikasi, pneumotorak, hematotorak dan kontusio paru. Trauma yang lebih berat menyebabkan perobekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada jantung (ATLS, 2004).Akibat kerusakan anatomi dinding torak dan organ didalamnya dapat menganggu fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler. Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik/alat pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma torak adalah gangguan faal jantung dan pembuluh darah (ATLS, 2004).Penatalaksanaan dari trauma torak salah satunya adalah torakotomi. Torakotomi merupakan salah satu tindakan membuat lubang pada dinding dada di daerah interkostal V di anterior garis mid aksila pada sisi torak yang patologis, kemudian dipasang tube elastik dan difiksasi, untuk mengeluarkan cairan, darah atau udara dari kavum pleura, baik secara aktif maupun pasif. Tindakan ini dikerjakan untuk menangani kasus-kasus pasien dengan efusi pleura, hematotorak, pneumotorak, silotorak, post operasi torakotomi dan empiema. Mendapatkan 54% indikasi pemasangan torak tube pada pasien trauma oleh karena pneumotorak, 20% oleh karena hematotorak, 18% oleh karena efusi pleura, 2% oleh karena fraktur kosta multipel dan 6% oleh karena berbagai sebab (Syamsuhidayat, 2010).Pada pemasangan chest tube dapat timbul komplikasi. Komplikasi yang tersering berupa perdarahan dan hemotorak yang bersumber dari robeknya arteri interkostal, perforasi organ viseral (seperti: paru-paru, jantung, diafragma, atau organ intra abdomen), perforasi struktur pembuluh darah besar seperti aorta atau vena subklavia, neuralgia interkostal oleh karena trauma pada neurovaskuler, subkutaneus empisema, reekspansi oedem pulmonary, infeksi luka insisi, pneumonia dan empiema. Disamping itu dapat timbul sumbatan berulang pada chest tube oleh karena bekuan darah, pus atau debris, atau posisi tube yang tidak benar sehingga fungsi drainase tidak efektif (Syamsuhidayat, 2010).Selain akibat trauma, pembedahan torak dapat disebabkan oleh penyakit akibat infeksi ataupun neoplasma. Pada neoplasma seperti pada kanker paru sudah meningkat kejadiannya. Kanker paru adalah pertumbuhan sel sel kanker yang tidak dapat terkendali dalam jaringan paru yang dapat disebabkan oleh sejumlah karsinogen (Simadibrata, 1999). Dari WHO insidens penyakit kanker paru pada tahun 1999 sudah mencapai 2,1% (WHO, 2004). American Cancer Society mengestimasikan kanker paru di Amerika Serikat pada tahun 2010 yaitu estimasi kematian karena kanker paru sekitar 157.300 kasus, berkisar 28% dari semua kasus kematian karena kanker. Sedangkan di Indonesia, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal PPM dan PL di 5 rumah sakit provinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004 menunjukkan angka kesakitan yang disebabkan oleh kanker paru sebesar 30% (Depkes RI, 2004).Penyebab dari kanker paru terutama adalah akibat merokok. Di dalam kandungan rokok terdapat hidrokarbon karsinogenik yang dapat menimbulkan tumor. Perokok berat memiliki kecenderungan sepuluh kali lebih besar daripada perokok ringan. Selain karena rokok, kanker paru juga bisa disebabkan oleh polusi udara akibat karsinogen dari pabrik industri dan uap diesel dalam atmosfer kota (Suryatenggara, 1999).Terbentuknya kanker paru belum diketahui secara pasti. Sel mucosal bronkial mengalami perubahan metaplastik sebagai respon terhadap paparan kronis dari partikel yang terhirup dan kemudian melukai paru. Sebagai respon dari adanya luka seluler tersebut maka terjadilah peradangan. Sel basal mukusal akan mengalami proliferasi dan terdiferensiasi menjadi sel goblet yang mensekresi mucus. Aktifitas metaplastik terjadi akibat pergantian lapisan epitelium kolumnar dengan epitelium skuamus yang disertai dengan atipia seluler dan peningkatan aktivitas mitotic yang berkembang menjadi dysplasia mucosal. Rentang waktu proses ini belum dapat dipastikan kurang lebih antara 10 tahun hingga 20 tahun (Suryatenggara, 1999).Tatalaksana yang dilakukan yaitu pembedahan. Tujuan pembedahan ialah mereseksi kanker dan jaringan sekitarnya termasuk kelenjer limfe yang mungkin mengandung sel karsinoma (Syamsuhidayat, 2010). Tindakan pembedahan biasanya dilakukan untuk kanker yang belum menyebar hingga ke jaringan lain di luar paru-paru. Pembedahan biasanya untuk jenis kanker non small cell lung cancer dan dibatasi pada satu bagian paru-paru dari stadium I hingga stadium III A. Teknik yang dilakukan untuk pembedahannya dengan cara torakotomi yaitu dengan membuka dinding dada untuk mengangkat tumor pada paru-paru (Parkway cancer center, 2010).2.3 Anestesi Pembedahan Torak2.3.1 Sejarah Anestesi Pembedahan TorakKemajuan pengelolaan penyakit di daerah toraks sejalan dengan perkembangan dibidang anesthesia dan bedah torak. Pada awal abad XX, tindakan di daerah toraks sebatas pada reseksi iga dan drainase empiema akibat tuberkulosis. Sampai akhir abad ke- 20, anestesi umum biasanya baik eter atau kloroform dikelola oleh masker ke spontan bernapas pasien. Metode ini diterima untuk pasien dengan dada utuh, karena respirasi pada dasarnya normal selama anestesi. Dewasa ini, tindakan di region torak berkembang meliputi trauma dan kelainan esophagus dan mediastinum. Tindakan diagnostik seperti bronkoskopi, mediastinoskopi dan biopsi paru terbuka pun biasa dikerjakan (Bayu, 2011).Kondisi yangberbeda untuk operasi intratorakal. Sekali ahli bedah membuka dinding dada, paru-paru kollaps dan mediastinum bergeser menuju paru-paru yang tidak dioperasi sehingga pasien cepat menjadi takipnea dan sianosis. Paru-paru yang terkena akan memperluas diri dan menetap. Hal ini mengakibatkan pasien berusaha untuk bernapas, yaitu itu paru akan menjadi lebih kecil pada inspirasidan lebih besar pada ekspirasi. "Pendulluft" adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perpindahan udara dari paru-paru yang terkena ke yang paru-paru yang sehat. Dokter bedah torak memiliki waktu yang sangat singkat untuk menyelesaikan operasi, karena kecuali dada segera ditutup, pasien akan mati (Brodzky, 2007).Gambar 3. Kondisi paru yang sedang kolapsSejak dahulunya perkembangan mengenai alat alat yang digunakan untuk melakukan anestesi pada pembedahan torak berubah dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut semakin lama semakin dapat menciptakan anestesi yang mampu melakukan pembedahan torak menjadi lebih mudah dan cepat. Kombinasi dari penemuan yang satu dengan penemuan yang lain menjadikan alat yang digunakan semakin berfungsi lebih baik dalam melakukan anestesi (Brodzky, 2007). Gambar 4. Instrumens intubasi pada waktu dahuluBerikut sejarah manajemen jalan nafas dalam pembedahan torak yang ditemukan oleh peneliti:

Tabel 1. Sejarah pengaturan pembedahan torakAgen anestetik yang selalu menjadi pilihan untuk torakotomi sejak 50 tahun yang lalu adalah siklopropane. Siklopropane dipakai karena mempermudah pengontrolan ventilasi. Meskipun eter dan siklopropane umumnya aman digunakan tetapi mereka mempunyai daya eksplosif yang tinggi. Sehingga diganti dengan haloten yang induksinya halus, tetapi haloten terkait dengan toksisitas pada hati dan aritmia jantung. Oleh karena itu, pada tahun 1960-70s digunakanlah methofluran dan enfluran yang terus berubah pada tahun 1980-90s menjadi isofluran, sevofluran dan desfluran (Brodzky, 2007).2.3.2 Taksiran PreoperatifSemua pasien yang akan dilakukan pembedahan torak harus lengkap riwayat penyakitnya dan pemeriksaan fisiknya. Pemeriksaan fisik langsung kepada sistem kardivaskuler dan pulmonal. Jika terdapat wheezing, ronkhi, atau napas yang abnormal maka dibutuhkan intervensi. Adanya deviasi pada trakea berpotensi terjadinya kesulitan dalam melakukan intubasi atau mengakibatkan obstruksi pada jalan nafas selama induksi atau anestesi. Elektrokardiogram (EKG) dari pasien juga harus dinilai. Jika pasien dengan penyakit obstruktif pulmonal kronik maka pada atrium atau ventrikuler akan mengalami hipertrofi. Besarnya gelombang P di lead II pada EKG merupakan indikasi terjadinya pembesaran atrium kanan dan rendahnya voltase kompleks QRS menandakan terjadinya hiperinflasi paru (Brodsky, 2007).Tes fungsi pulmonal dan sampel gas darah harus dilakukan sebelum pembedahan dilakukan sebagai dasar penilaian nantinya. Pada tes fungsi pulmonal digunakan untuk menilai ventilasi dan ketahanan paru setelah dilakukannya pembedahan torak. Komplikasi pada jantung dan pulmo dapat hadir dan mengakibatkan mortalitas dan morbiditas ketika operasi torak. Hal ini dapat terjadi pada pasien yang memiliki faktor resiko tinggi yang dapat memicu komplikasi tersebut. Faktor-faktor itu termasuk kapasitas karbon monoksida, tekanan oksigen, adanya oklusi arteri pulmonal, disfungsi kardiovaskuler dan neurologik, obesitas, usia, durasi anestesi, dll (Brodzky, 2007).Pasien dengan kelemahan otot pernapasan memiliki insidens yang tinggi untuk timbul komplikasi pulmonal post operasi. Tes preoperatif pada otot pernapasan akan mengurangi komplikasi tersebut. Dengan rendahnya hasil tes maka sebelum dilakukan operasi, terlebih dahulu dilakukan perbaikan kekuatan otot sehingga komplikasi yang tidak diinginkan tidak akan timbul. Indeks resiko kardiopulmonal (CPRI) telah digunakan untuk memprediksi post operatif pada torakotomi. Penilaian ini untuk memastikan faktor- faktor pada jantung (gagal jantung kongestif, infark miokardium, aritmia, stenonis aorta) dan pulmonal (obesitas, batuk, merokok, wheezing difus) (Brodzky, 2007). Tabel 2. Indeks Resiko Kardiopulmonal2.3.3 Pemilihan Agen AnestesiGeneral anestesi normalnya meningkatkan resistensi jalan nafas dengan mengurangi kapasitas residu fungsional (FRC). Resistensi jalan nafas dapat meningkat selama pembedahan torak oleh karena obstruksi dengan sekresi atau tumor dan dari trauma yang dapat menyebabkan perdarahan dan brokospasme. Semua efek ini dapat diringankan dengan pemakaian agen inhalasi anestesi. Halotan, enfluran, isoflueran, desfluran dan sevofluran memiliki efek bronkodilator dan mengurangi refleks bronkokonstriksi pada jalan nafas. Tidak ada perbedaan pada oksigenasi atau kestabilan hemodinamik dalam penggunaan isofluran atau sevofluran atau desfluran selama ventilasi satu paru (Brodzky, 2007).

Tabel 3. Agen Yang Digunakan Pada Pembedahan AnestesiObat-obatan yang termasuk pengeluaran histamin (tiopental, tiamilal, propanidid) dapat menghasilkan bronkospasme. Agen-agen ini harus digunakan pada kondisi pasien yang mengalami gangguan jalan nafas reaktif. Methohexital, etomidate dan propofol tidak menyebabkan pengeluaran histamin dan harus dipertimbangkan penggunaannya pada pasien asma. Beberapa pelumpuh otot juga dapat menyebakan pengeluaran histamin, contohnya adalah pancuronium dan cisatracurium yang digunakan pada pasien yang jalan nafasnya reaktif. Ketamin secara langsung memberikan efek bronkodilator dan antagonis bronkokonstriksi dari histamin tanpa terjadi depresi nafas. Ketamin juga mempertahankan respon vasokontriksi pulmonal hipoksik (HPV) (Brodzky, 2007). Preanestesi

Antikolinergik Pelemas ototDisosiatif Narkotik TransquilizerAtropinXylazinePenciklidineMorfinPromazinScopolamineDiazepamKetamine Apomorpin MidazolamAminopentamidLorazepamTiletaminEtorpin XylazinGlikopirolatMidazolamNalorpin Klorpromazin

2.3.4 Monitoring IntraoperatifMonitoring rutin selama operasi torak termasuk penilaian pada tekanan darah, EKG, capnografi, suhu,dan kateter urin. Selama ventilasi satu paru, oksigenasi harus dipantau melalui saturasi. Penilaian pada cairan melalui tekanan vena sentral (CVP) atau arteri pulmonal (PA) tidak rutin dibutuhkan selama torakotomi karena perubahan volume tidak banyak. Restriksi cairan diindikasikan untuk reseksi pulmonal. Kurang lebih 20mL/kg dari solusi kristaloid dalam 24 jam direkomendasikan dan peningkatan input cairan pada pencapaian output urin dari 0,5mL/kg tidak begitu diperlukan. Setiap pemasangan peralatan monitoring invasif memiliki resiko sehingga perbandingan risk-benefit hendaknya selalu dipertimbangkan (Brodzky, 2007).

Tabel 4. Monitoring Pembedahan Torak MayorPulse oksimetri merupakan salah satu standar pengelolaan pasien di kamar operasi. Bekerja dengan menganalisa pulsasi aliran darah arteriol sehingga menggambarkan saturasi arteriol (SpO2). Desaturasi yang nyata (SpO2 400 mmHg cenderung tidak mengalami desaturasi bila dikonversi ke ventilasi satu paru sedangkan pasien dengan PaO2 nya 200 mmHg akan cenderung menjadi desaturasi bila dikonversi ke ventilasi satu paru meskipun dua-duanya menunjukkan saturasi 99% bahkan 100% (Budy, 2011) Kedua, kecepatan penurunan PaO2 setelah onset ventilasi satu paru merupakan indikator resiko desaturasi lebih lanjut. Untuk alasan itu, sebaiknya PaO2 diukur dengan BGA sebelum ventilasi satu paru dan diulang lagi setelah 20 menit setelah dimulainya ventilasi satu paru. Ketiga, terdapat perbedaan yang bermakna antar pabrikan dalam hal akurasi monitor SpO2. Dan lagi, selama hipoksemia, malposisi sensor SpO2 menghasilkan nilai saturasi yang salah. Apabila saturasi oksigen turun, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut : segera gunakan 100% oksigen ventilasi menggunakan tangan periksa FiO2 kapnograf peak airway pressure auskultasi dada bilateral periksa ulang kedalaman pipa ET lakukan penyedotan untuk menilai adakah tekukan pipa sekaligus menghisap lendir (Budy, 2011).

Gambar 5. Variasi Pemasangan SaturasiTokatomi terbuka pada posisi lateral dekubitus berguna dalam pemberian informasi terhadap asal dari CVP atau PA selama pembedahan. Lateral dekubitus adalah posisi dimana pasien miring bertumpu pada satu sisi badan. Dalam pengertian ini, right lateral decubitus berarti pasien posisi miring bertumpu pada sisi kanan (sisi kanan menempel meja operasi), demikian juga sebaliknya. Sisi bawah yang menempel meja operasi disebut dependen, sedangkan sisi atas disebut non dependen (Bayu, 2011).

Gambar 6. Posisi Lateral Dekubitus

Gambar 7. Posisi lateral dekubitus dengan lengan non dependenPosisi ini dapat bervariasi tergantung pada lokasi operasi. Posisi lateral dekubitus memberikan akses yang optimal pada sebagian besar operasi paru, pleura, esophagus, mediastinum dan vertebra. Membaringkan pasien pada posisi miring dapat menimbulkan risiko. Bila pasien ditidurkan, harus dalam kondisi yang dalam untuk menghindar reflek batuk. Perlu diperhatikan beberapa hal khusus untuk menghindari adanya komplikasi.

Tabel 6. Variasi posisi Chest Roll berupa gulungan kain diletakkan di sebelah kaudal aksila dependent sehingga aksila tidak menempel meja operasi. Hal ini bertujuan untuk mencegah penekanan struktur neurovaskuler, meliputi arteri dan pleksus brakhialis oleh kaput humeri. Penggunaan bean bag bermanfaat untuk menstabilkan posisi pasien dan mengurangi risiko nekrosis akibat lipatan pasien. Kadang- kadang bagian dada sedikit ditekuk agar celah interkostalisnya lebih lebar sehingga instrumen dan kamera torakoskopi mudah dimasukkan non dependen (Bayu, 2011).

Gambar 8. Penggunaan rollSendi panggul dan lutut bawah agak difleksikan untuk menstabilkan posisi pasien dan mengurangi peregangan nervus sciatic. Kaki atas diposisikan lurus beralaskan bantal untuk menghindari tekanan pada kaki bawah. Posisi ektremitas superior dan kepala membutuhkan perhatian khusus untuk mencegah cedera kompresi dan regangan pleksus brakialis dan saraf tepi. Tulang servikal diposisikan lurus, tangan atas dielevasikan kearah superior bertumpu pada sandaran. Posisi ini distabilkan dengan penggunaan plester atau straps melintasi kedua sisi meja operasi setinggi panggul non dependen (Bayu, 2011).Fisiologi Posisi Lateral Dekubitus Pasien sadar, nafas spontan Gravitasi menyebabkan gradient vertical terhadap distribusi aliran darah pulmonal pada posisi lateral dekubitus sebagaimana layaknya pada posisi tegak. Gradien hidrostatik vertikal lebih kecil dibandingkan posisi tegak, karena jarak antara sebagian besar massa paru dependen dan non dependen relatif pendek. Meskipun demikian, aliran darah ke paru dependen lebih besar dari pada paru non dependen. Secara normal dalam posisi tegak, paru kanan menerima aliran darah 55% dari total aliran darah karena ukurannya yang relatif lebih besar, sedangkan paru kiri menerima 45% aliran darah sisanya (Bayu, 2011).Pada posisi lateral dekubitus kiri, paru kanan non dependen menerima 45% dari total aliran darah, sedangkan paru kiri dependen menerima aliran darah 55%. Pada saat paru kiri dalam posisi non dependen menerima 35% aliran darah, sedangkan paru kanan dependen menerima 65% aliran darah. Sebagaimana pada posisi tegak, ventilasi relatif meningkat pada area paru dependen (Bayu, 2011).Sebagai tambahan, pada posisi lateral dekubitus, kubah diafragma bawah terdorong lebih tinggi ke arah dada, teregang dan membentuk lengkung lebih tajam dibanding kubah diafragma atas. Hal ini menyebabkan diafragma dependen lebih efisien selama ventilasi spontan. Sehingga pada pasien sadar posisi lateral dekubitus dengan pernafasan spontan, paru dependen mendapatkan ventilasi yang lebih baik dari pada paru non dependen, dan V/Q masih sesua (Bayu, 2011).

Gambar 9. Paru Dalam Posisi Lateral Dekubitus Pasien terbius, dada tertutup Pada pasien terbius posisi lateral dekubitus yang bernafas spontan, paru dependenmasih menerima perfusi yang relatif lebih banyak daripada paru non dependen. Distribusi perubahan ventilasi setah induksi anestesi digambarkan dalam gambar dibawah ini.

Gambar 10. Paru Dalam Keadaan AnestesiDengan induksi anestesi umum, FRC turun. Kedua paru mengalami pengurangan volume, dan pada kurva pressure volume bergeser ke arah bawah. Paru dependen menempati kurva bagian yang relative datar (komplians lebih rendah). Paru non dependen yang semula pada bagian non komplians begeser ke kurva dengan komplians yang curam. Kompresi oleh mediastinum dan organ abdomen berkontribusi pada penurunan FRC paru dependen. Setelah induksi anestesi, terjadi perubahan ventilasi yang drastis sedangkan distribusi perfusi mengalami sedikit perubahan. Pada kondisi ini paru non dependen menerima ventilasi yang besar tetapi terjadipengurangan perfusi, sedangkan paru dependen mengalami penurunan ventilasi dengan perfusi yang tetap lebih besar. Hal ini menambah terjadinya shunt (paru dependen memiliki V/Q rendah) dan dead space (paru non dependen memiliki V/Q>1) (Bayu, 2011). Pasien terbius, dilumpuhkan, dengan ventilasi mekanik Ventilasi mekanik menyebabkan bertambah buruknya V/Q. Perfusi tetap lebih besar ke paru dependen karena gravitasi, dan ventilasi lebih banyak ke paru non dependen. Dengan penggunaan ventilasi mekanik, diafragma pada paru dependen tidak lagi memberikan kontribusi yang baik terhadap ventilasi karena dilumpuhkan. Organ abdomen secara fisik membatasi pengembangan paru dependen, sehingga menambah kecenderungan distribusi ventilasi ke paru non dependen. Pada pasien lateral dekubitus yang dilumpuhkan, V/Q semakin jelek. Penggunaan PEEP (Positive EndExpiratory Pressure) pada kedua paru dapat mengembalikan FRC, dan memberikan ventilasi yang lebih baik pada paru dependen. Pada kurva pressure volume, paru dependen kembali pada bagian yang curam dan paru non dependen kembali pada posisi flat (Bayu, 2011). Pasien terbius, dada terbuka Pada ventilasi spontan dengan dada terbuka, tidal volume berkurang saat inspirasi karena mediastinum turun menyebabkan terganggunya ventilasi pada paru dependen dan terjadi pernafasan paradoksal. Pernafasan paradoksal mengacu pada perpindahan udara antar paru dependen dan non dependen, serta udara bebas ke rongga dada yang terbuk. Perubahan fisiologi ini dapat mempengaruhi sirkulasi dengan menurunkan venous return (Bayu, 2011).

Pasien terbius, dada terbuka, dengan ventilasi mekanik Pada kondisi ini, tekanan airway pada paru dependen maupun non dependen menurun. Sebagai dampaknya, ventilasi paru dependen meningkat bila dibandingkan saat dada tertutup. Cardiac index meningkat, tetapi MAP (Mean arterial Pressure) tidak berubah secara signifikan. Paru atas mengeliminasi lebih banyak CO2 setelah pleura dibuka. Peningkatan eliminasi CO2 dari paru atas lebih besar daripada peningkatan ventilasinya. Dan juga, end-tidal CO2 yang diukur dari paru atas meningkat lebih besar dari paru bawah, hal ini menggambarkapeningkatan aliran darah pada paru atas. Penurunan tekanan airway pada pleura yang terbuka bersamaan dengan meningkatnya cardiac index menghasilkan peningkatan aliran darah ke paru non dependen (Bayu, 2011).2.3.5 Teknik AnestesiMeskipun operasi torak dapat dilakukan hanya menggunakan blok regional, tetapi hampir semua torakotomi menggunakan anestesi umum dengan ventilasi yang terkontrol. Teknik epidural atau regional lainnya sering digunakan untuk mengurangi kebutuhan obat bius intraoperatif, untuk memfasilirasi ekstubasi dan mengontrol rasa nyeri setelah post operasi (Longnecker, 2008).Pada anestesi umum, diperuntukkan pada pasien yang mengalami proses manipulasi torakotomi. Setelah induksi dari anestesi, trakea diintubasi dengan single-lumen tube atau double-lumen tube yang diindikasikan untuk prosedur pembedahan. Posisi dari endotrakeal tube di konfirmasikan dengan asukultasi, kapnografi dan jika diperlukan dengan fiberoptic bronchoskopy (Longnecker, 2008).

Gambar 11. Double-lumen Tube Indikasi intubasi endrotrakeal adalah

Tabel 7. Indikasi Intubasi EndotrakealPada anestesi regional, untuk prosedur torak termasuk torakotomi maka digunakan epidural anestesi, blok paravertebral, dan blok nervus interkostal. Blokade epidural torak membangunkan pasien yang tersedasi secara sempurna pada tindakan torakotomi dan torakoskopi. Kombinasi blokade epidural dan anestesi umum sudah sering digunakan untuk mendapatkan setiap kelebihannya. Blokade epidural digunakan untuk analgetik post operasi atau sebagai anestesi mayor sedangkan anestesi umum digunakan untuk menimbulkan efek amnesia dan sedasi (Longnecker, 2008).

Tabel 8. Teknik Anestesi pada Bedah Toraks2.3.6 Anestesi pada penyakit-penyakit di daerah torak1. Anestesi pada bronkopleural fistulaPada bronkopleural fistula harus dilakukan pneumonektomi, lobektomi, bulektomi atau pembedahan pengurangan volume. Gejala pada penyakit ini adalah dispnue, emfisema subkutan, deviasi kontralateral pada trakea dan ekspektoran dari material yang purulen. Diagnosis ditegakkan dengan bronkoskopi. Faktor predisposisi pada pasien ini adalah kanker, debilitasi, trauma, malnurismen, abses paru, barotrauma, imunosupresan, diabetes, terapi steroid, post terapi radiasi, dan reseksi pulmonal pada tuberkulosis (Longnecker, 2008)Dilakukan terapi pembedahan adalah ketika dalam kondisi : penutupan bronkopleural fistula dengan otot pedikel dekortikasi jika paru terperangkap dalam lapisan purulen yang tebal torakoplasti yang melenyapkan ruang pleural biasanya dikombinasikan dengan otot pedikel perubahan dari panjang puncak bronkialManajemen anestesi pada bronkopleural fistula adalah dalam pengobatan intraoperatif pada pasien bronkopleural fistula ada perubahan yang unik. Strategi pengaturan untuk induksi dan intubasi tergantung pada beratnya bronkopleural fistula dan ada tidaknya infeksi. Jika pipa pada dada tidak ditempatkan atau malfungsional, mengakibatkan udara menuju ke rongga pleura dan akan menghasilkan sebuah tekanan pneumotorak. Hal ini dikarenakan tekanan positif ventilasi meningkatkan kebocoran udara dan beresiko mengontaminasi paru-paru yang tidak terinfeksi. Pasien sering diinduksi memakai induksi cepat untuk meminimalisir waktu sebelum intubasi trakea dan isolasi paru (Longnecker, 2008). Alternatif lainnya dengan intubasi melalui ventilasi spontan pasien dengan double lumen tube. Ketika tube sudah diposisinya, paru yang sehat harus diisolasi segera dan kepala ditinggikan untuk mengurangi kontaminasi. Pada pasien dengan bronkopleural fistula kronik yang kecil dan minimal kebocoran serta tidak ada terinfeksi atau mengalami emfisema maka dapat menggunakan endotrakeal tube yang standar. Tetapi jika ada emfisema harus di drainase terlebih dahulu sebelum di induksi anestesi. Pengurangan jumlah pus di kavitas pleural akan menurunkan kontaminasi pada paru kontralateral dan mengurangi tekanan pneumotorak (Longnecker, 2008)2. Anestesi pada pneumotorak spontanPasien yang menderita pneumotorak spontan biasanya muda, sehat, terkadang atletik dengan tidak ada penyakit paru sebelumnya dan tidak pernah reseksi paru sebelumnya. Terapi pembedahan pneumotorak spontan termasuk pleurektomi dan pleurodesis kimia. Indikasi pembedahan yaitu: kegagalan chest tube drainase dan suction pada pneumotorak yang ditunjukkan dengan munculnya bronkopleural fistula. ketika terjadinya pneumotorak ipsilateral kedua dan kontralateral spontan jika pasien memiliki gaya hidup yang memicu kekambuhan untuk terjadinya pneumotorak spontan karena kekambuhan mencapai 10-25%.Saat pasien pneumotorak spontan sudah di kamar operasi, beri double-lumen endotrakeal tube untuk memfasilitasi dilakukannya torakoskopi atau torakotomi. Jika diberikan single-lumen tube dan kebocoran udara cukup besar, single-lumen tube dapat dimajukan ke dalam bronkus melalui bronkoskopi (Longnecker, 2008).3. Anestesi pada COPD Eksaserbasi AkutGejala pada COPD eksaserbasi akut adalah dispnue, peningkatan volume sputum, dan sputum yang semakin purulen. Penyakit ini biasanya mengakibatkan mortalitas 3-4% dan 10% dalam pengobatan di ruang ICU. Pengobatan pada COPD eksaserbasi akut adalah bronkodilator, antibiotik dan steroid. Pembedahan dilakukan mesti hati-hati karena akan menempatkan pasien dalam resiko tinggi untuk terjadinya komplikasi (Miller, 2007).Preoperatif harus dilakukan, dimana semua kondisi harus dalam kondisi stabil, kalau belum memungkinkan untuk dioperasi maka bisa ditunda terlebih dahulu. Pada pengaturan anestesinya adalah pemakaian anestesi umum. Sebuah teknik keseimbangan dari anestesi inhalasi dan opioid adalah pilihan yang biasa untuk anestesi (Miller, 2007).4. Anestesi pada kanker esofagusPasien engan esofagus malignansi sering dikarenakan malnutrisi. Preoperatif dilakukan dalam perbaikan gizi seperti makanan melalui total paraenteral. Indikasi dilakukan total paraenteral adalah ketidak kemampuan menelan makan, berkurang berat badan 10%, serum albumin