126204591-bab-3-ckd
DESCRIPTION
bxTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal
Ginjal adalah organ ekskresi dalam vertebrata yang berbentuk mirip
kacang. Sebagai bagian dari sistem urin, ginjal berfungsi menyaring kotoran
(terutama urea) dari darah dan membuangnya bersama dengan air dalam bentuk
urin. Cabang dari kedokteran yang mempelajari ginjal dan penyakitnya disebut
nefrologi.
Manusia memiliki sepasang ginjal yang terletak di belakang perut atau
abdomen. Ginjal ini terletak di kanan dan kiri tulang belakang, di bawah hati dan
limpa. Di bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut
kelenjar suprarenal). Ginjal bersifat retroperitoneal, yang berarti terletak di
belakang peritoneum yang melapisi rongga abdomen. Kedua ginjal terletak di
sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit di bawah
ginjal kiri untuk memberi tempat untuk hati. Sebagian dari bagian atas ginjal
terlindungi oleh iga ke sebelas dan duabelas. Kedua ginjal dibungkus oleh dua
lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu meredam
goncangan.
Pada orang dewasa, setiap ginjal memiliki ukuran panjang sekitar 11 cm
dan ketebalan 5 cm dengan berat sekitar 150 gram. Ginjal memiliki bentuk seperti
kacang dengan lekukan yang menghadap ke dalam. Di tiap ginjal terdapat bukaan
yang disebut hilus yang menghubungkan arteri renal, vena renal, dan ureter.
Bagian paling luar dari ginjal disebut korteks, bagian lebih dalam lagi disebut
medulla. Bagian paling dalam disebut pelvis. Pada bagian medulla ginjal manusia
dapat pula dilihat adanya piramida yang merupakan bukaan saluran pengumpul.
Ginjal dibungkus oleh lapisan jaringan ikat longgar yang disebut kapsula.
Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah lebih
dari satu juta buah dalam satu ginjal normal manusia dewasa. Nefron berfungsi
sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara
menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih
diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan
pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan
kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin. Sebuah nefron
terdiri dari sebuah komponen penyaring yang disebut korpuskula (atau badan
Malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran-saluran (tubulus).
Setiap korpuskula mengandung gulungan kapiler darah yang disebut
glomerulus yang berada dalam kapsula Bowman. Setiap glomerulus mendapat
aliran darah dari arteri aferen. Dinding kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori
untuk filtrasi atau penyaringan. Darah dapat disaring melalui dinding epitelium
tipis yang berpori dari glomerulus dan kapsula Bowman karena adanya tekanan
dari darah yang mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke
dalan tubulus ginjal. Darah yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat
arteri eferen. Di antara darah dalam glomerulus dan ruangan berisi cairan dalam
kapsula Bowman terdapat tiga lapisan:
1. Kapiler selapis sel endotelium pada glomerulus
2. Lapisan kaya protein sebagai membran dasar
3. Selapis sel epitel melapisi dinding kapsula Bowman (podosit)
Gambar 1.1 Anatomi Glomerulus
Dengan bantuan tekanan, cairan dalan darah didorong keluar dari
glomerulus, melewati ketiga lapisan tersebut dan masuk ke dalam ruangan dalam
kapsula Bowman dalam bentuk filtrat glomerular. Filtrat plasma darah tidak
mengandung sel darah ataupun molekul protein yang besar. Protein dalam bentuk
molekul kecil dapat ditemukan dalam filtrat ini. Darah manusia melewati ginjal
sebanyak 350 kali setiap hari dengan laju 1,2 liter per menit, menghasilkan 125 cc
filtrat glomerular per menitnya. Laju penyaringan glomerular ini digunakan untuk
tes diagnosa fungsi ginjal. Tubulus ginjal merupakan lanjutan dari kapsula
Bowman. Bagian yang mengalirkan filtrat glomerular dari kapsula Bowman
disebut tubulus konvulasi proksimal. Bagian selanjutnya adalah lengkung Henle
yang bermuara pada tubulus konvulasi distal.
Lengkung Henle diberi nama berdasar penemunya yaitu Friedrich Gustav
Jakob Henle di awal tahun 1860-an. Lengkung Henle menjaga gradien osmotik
dalam pertukaran lawan arus yang digunakan untuk filtrasi. Sel yang melapisi
tubulus memiliki banyak mitokondria yang menghasilkan ATP dan
memungkinkan terjadinya transpor aktif untuk menyerap kembali glukosa, asam
amino, dan berbagai ion mineral. Sebagian besar air (97.7%) dalam filtrat masuk
ke dalam tubulus konvulasi dan tubulus kolektivus melalui osmosis.
Cairan mengalir dari tubulus konvulasi distal ke dalam sistem pengumpul yang
terdiri dari:
1. Tubulus penghubung
2. Tubulus kolektivus kortikal
3. Tubulus kloektivus medularis
Tempat lengkung Henle bersinggungan dengan arteri aferen disebut
aparatus juxtaglomerular, mengandung macula densa dan sel juxtaglomerular. Sel
juxtaglomerular adalah tempat terjadinya sintesis dan sekresi renin. Cairan
menjadi makin kental di sepanjang tubulus dan saluran untuk membentuk urin,
yang kemudian dibawa ke kandung kemih melewati ureter.
Ginjal juga mempunyai fungsi homeostatis yaitu mengatur pH, konsentrasi
ion mineral, dan komposisi air dalam darah. Ginjal mempertahankan pH plasma
darah pada kisaran 7,4 melalui pertukaran ion hidronium dan hidroksil.
Akibatnya, urin yang dihasilkan dapat bersifat asam pada pH 5 atau alkalis pada
pH 8. Kadar ion natrium dikendalikan melalui sebuah proses homeostasis yang
melibatkan aldosteron untuk meningkatkan penyerapan ion natrium pada tubulus
konvulasi.
Kenaikan atau penurunan tekanan osmotik darah karena kelebihan atau
kekurangan air akan segera dideteksi oleh hipotalamus yang akan memberi sinyal
pada kelenjar pituitari dengan umpan balik negatif. Kelenjar pituitari mensekresi
hormon antidiuretik (vasopresin, untuk menekan sekresi air) sehingga terjadi
perubahan tingkat absorpsi air pada tubulus ginjal. Akibatnya konsentrasi cairan
jaringan akan kembali menjadi 98%.
3.2 Definisi Gagal Ginjal Kronis
Gagal ginjal kronis merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang
berlangsung pelahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan menetap yang
mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) sehingga ginjal tidak
dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit (Hudak &
Gallo, 1996).
Long (1996 : 368) mengemukakan bahwa Gagal ginjal kronik adalah
ginjal sudah tidak mampu lagi mempertahankan lingkugan internal yang konsisten
dengan kehidupan dan pemulihan fungsi sudah tidak dimulai. Gagal ginjal kronik
merupakan penurunan faal ginjal yang menahun yang umumnya tidak riversibel
dan cukup lanjut. (Suparman, 1990: 349). Gagal ginjal kronik merupakan
perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat, biasanya berlangsung
dalam beberapa tahun (Lorraine M Wilson, 1995: 812).
3.3 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu berdasarkan
derajat penyakit dan berdasarkan diagnosis etiologi. Klasifikasi berdasarkan
derajat penyakit dibuat atas dasar GFR yang dihitung dengan rumus Kockcrouft-
Gault. 2
GFR (ml/mnt/1,73m2) = (140-umur) x berat badan 72 x kreatinin plasma (mg/dl)
Pada perempuan dikalikan 0,85
Tabel 3.1 Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan derajat penyakit 2
Derajat Penjelasan GFR (ml/mnt/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat
≥90
2 Kerusakan ginjal dengan GFR menurun ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan GFR menurun sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan GFR menurun berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis
Tabel 3.2 Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan diagnosis etiologi 2
Penyakit Tipe Mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes
Penyakit glomerular (autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia),
Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati),
Penyakit tubulointertitial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat),
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik, keracunan obat, penyakit glomerular
transplantasi
3.4 Etiologi
Gagal ginjal kronik merupakan penyakit yang disebabkan oleh banyak jenis
penyakit lain. Penyakit tersebut antara lain sebagai berikut.
a. Infeksi saluran kemih, pielonefritis dan nefropati refluks
Infeksi Saluran Kemih (ISK) umumnya dibagi dalam dua subkategori besar:
ISK bagian bawah (uretritis, sistisis, prostatitis) dan ISK atas (pielonefritis
akut). Sistisis akut (infeksi kandung kemih) dan pielonefritis akut (infeksi
pelvis dan interstitium ginjal) adalah infeksi yang paling berperan dalam
menimbulkan morbiditas, tetapi jarang berakhir dengan gagal ginjal progresif.
Pielonefritis kronik adalah cedera ginjal progresif yang menunjukkan
kelainan parenkimal pada pemeriksaan PIV, disebabkan oleh infeksi berulang
atau infeksi yang menetap pada ginjal. Akhir- akhir ini bukti menunjukkan
bahwa pielonefritis kronik terjadi pada pasien dengan ISK yang juga
mempunyai kelainan anatomi utama pada saluran kemihnya, seperti refluks
vesikoureter (VUR), obstruksi, kalkuli, atau kandung kemih neurogenik
(Rose, 1987; Kunin, 1987). Diperkirakan bahwa kerusakan ginjal pada
pielonefritis kronik yang juga disebut sebagai nefropati refluks., diakibatkan
oleh refluks dari kemih yang terinfeksi ke dalam ueter yang kemudian masuk
ke dalam parenkim ginjal (refluks intrarenal). Pielonefritis kronik yang
disebabkan oleh VUR adalah penyebab utama gagal ginjal tahap akhir pada
anak-anak, dan secara teoritis dapat dicegah dengan mengendalikan infeksi
saluran kemih dan memperbaiki kelainan struktural dari saluran kemih yang
menyebebkan obstruksi.
Organisme penyebab infeksi saluran kemih yang paling sering ditemukan
adalah Escherichia coli, yang merupakan penghuni normal dari kolon.
Organiosme-organisme lain yang juga dapat menimbulkan infeksi adalah
golongan Proteus, Klebsiella, Pseudomonas, Enterokok, dan Staphylococcus.
Pada kebanyakan kasus, organisme tersebut dapat mencapai kandung kemih
melalui uretra. E. coli merupakan organisme penyebab infeksi yang paling
sering ditemukan pada pielonefritis akut tanpa komplikasi. Dari seluruh
pasien infeksi ini, 90 % di antaranya memberi respons terhadap terapi
antibiotika, ttetapi 10% sisanya dapat mengalami infeksi akut berulang atau
bakteriuria asimtomatik yang menetap. Bila pielonefritis akut mengalami
komplikasi obstruksi, maka bakteri rekuren atau menetap ditemukan pada 50-
80% pasien dalam waktu 2 tahun. Tidak diketahui dengan pasti berapa
banyak dari pasien-pasien ini yang akan mengalami kerusakan ginjal yang
nyata atau berapa lama proses itu akan berlangsung.
b. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral.
Peradangan dimulai dari dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai
proteinuria dan atau hematuria. Meskipun lesi terutama ditemukan pada
glomerulus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan,
mengakibatkan gagal ginjal kronik. Kematian yang diakibatkan oleh gagal
ginjal umumnya disebabkan oleh glomerulonefritis kronik. Glomerulonefritis
akut biasanya disebabkan oleh Streptokok beta hemolitik grup A tipe 12 dan
4. namun sebenarnya bukan Streptokok yang menyebabkan kerusakan pada
ginjal, diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap antigen khusus
yang merupakan unsur membrana plasma spesifik stertokok. Terbentuk
kompleks antigen-antibodi dalam daarah yang bersirkulasi ke dalam
glomerulus dimana kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam
membrana basaalis.
Selanjutnya komplemen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan
yang menarik leukopsit polimerfonuklear (PMN) dan trombosit menuju
tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endotel
dan membrana basalis glomerulus (MBG). Sebagai respons terhadap lesiyang
terjadi, timbul ploriferasi sel-sel epitel. Akibat semakin meningkatnya
kebocoran kapiler glomerulus, maka protein dan sel darah erah dapat keluar
ke dalam kemih yang sedang dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria
dan hematuria.
c. Penyakit vaskular hipertensif
Steniosis arteri renalis
Stenosis arteria renalis dapat unilateral maupun bilateral. Bilamana ukuran
arteria berkurang sampai 70% atau lebih, maka terjadilah iskemia ginjal.
Iskemia ginjal mengaktifkan sistem renin-angiotensin yang diikuti hipertensi.
Meskipun jarang menyebabkan hipertensi (sekitar 1-2% dari kasus
hipertensi), stenosis arteria renalis termasuk kasus penting karena perbaikan
dengan jalan pembedahan dapat mengurangi hipertensi dan menimbulkan
perbaikan yang cukup nyata. Stenosis arteria unilateral tidak saja
menyebabkan atrofi iskemik ginjal yang terserang, tetapi akhirnya dapat
menyebabkan nefrosklerosis hipertensif dari ginjal kontralateral.
d. Penyakit jaringan penyambung
Penyakit jaringan penyambung (penyakit kolagen) adalah penyakit sistemik
yang manifestasinya terutama mengenai jaringan lunak tubuh.
Lupus eritematosus sistemik
Lupus eritematosus sistemik merupakan suatu penyakit yang terutama
menyerang wanita (90% dari seluruh kasus). Penyakit ini dapat melibatkan
banyak organ atau jaringan, tetapi keterlibatan ginjal paling bermakna
akibatnya. Nefritis lupus disebabkan oleh kompleks imun yang bersirkulasi,
yang terperangkap dalam membrana basalis glomerulus dan menimbulkan
kerusakan. Mekanismenya serupa dengan mekanisme GNAPS, kecuali
sumber antigen adalah DNA tubuh sendiri dan bukan membran plasma
streptokok. Pada kasus SLE, tubuh membentuk antibodi terhadap DNAnya
sendiri.
Poliarteritis nodosa
Poliarteritis nodosa merupakan suatu penyakit radang dan nekrosis yang
melibatkan arteria- berukuran sedang dan kecil di seluruh tubuh. Pria lebih
sering terkena draipada wanita. Lesi ginjal dapat dibagi menjadi dua jenis.
Bila menyerang arteria ginjal berukuran sedang, maka timbul daerah-daerah
infark ginjal. Jika penyakit terbatas pada arteriola, maka histologi ginjal
adalah glomerulonefritis proliferatif berat, fokal dengan perubahan-perubahan
nekrotik fibrinoid dan sabit epitel.
Sklerosis sistemik progresif
Sklerosis sistemik progresif atau skleroderma merupakan suatu penyakit
sistemik yang jarang dijumpai dan ditandai dengan sklerosis difus dari kulit
dan organ-organ lain. Wanita lebih sering terserang daripada pria. Arteria
interlobaris memperlihatkan perubahan-perubbahan khas yang menyerupai
nefrosklerosis hipertensif. Setelah bertahun-tahun secara perlahan dapat
terjadi gangguan ginjal progresif.
e. Gangguan kongenital dan herediter
Asidosis tubulus ginjal dan penyakit polikistik ginjal merupakan gangguan
herediter yang terutama mengenai tubulus ginjal. Keduanya dapat berakhir
pada gagal ginjal, meskipun lebih sering dijumpai pada penyakit polikistik.
Penyakit ginjal polikistik
Penyakit ginjal polikistik (PGPK) ditemukan kista-kista multipel, bilateral
yang mengadakan ekspansi dan lambat laun mengganggu dan
menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan. Ginjal dapat
membesar (kadang-kadang sebesar sepatu bola) dan terisi oleh kelompok
kista-kista yang menyerupai anggur. Kista-kista itu terisi oleh cairan jernih
atau hemoragik.
Asidosis tubulus ginjal
Asidosis tubulus ginjal (ATG) menunjukkan suatu kelompok gangguan di
mana terdapat gangguan ekskresi H+ dari tubulus ginjal ataukehilangan
HCO3-. Dalam kemih walaupun GFR yang memadai tetap dipertahankan.
Akibatnya timbul asidosis metabolik.
f. Penyakit Metabolik
Diabetes melitus
Nefropati diabetika (penyakit ginjal pada penderita diabetes) merupakan
penyebab kematian dan kecacatan yang umum pada penderita diabetes
melitus. Kira-kira 50% penderita diabetes melitus tergantung insulin (tipe I
atau IDDM) dan 6% penderita tak tergantung insulin (tipe II atau NIDDM)
mengalami gagal ginjal.
Gout
Gout merupakan suatu penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperurisemia
(peningkatan kadar asam urat plasma). Penyakit ini mempunyai dua bentuk.
Gout primer merupakan suatu gangguan metabolisme asam urat herediter.
Sembilan puluh lima persen kasus menyerang pria. Gout sekunder mungkin
timbul akibat peningkatan produksi asam urat pada keadaan seperti leukemia,
polisitemia vera, atau mieloma multipel, atau dapat juga diakibatkan oleh
pengurangan ekskresi asam urat seperti yang dijumpai pada gagal ginjal
kronik.
Hiperparatiroidisme
Hiperparatiroidisme primer akibat hipersekresi hormon paratiroid merupakan
penyakit yang secara relatif jarang ditemukan. Penyakit ini pada akhirnay
dapat mengakibatkan nefrokalsinosis dan selanjutnya dapat menyebabkan
gagal ginjal. Penyebab yang paling sering adalah adenoma kelenjar paratiroid.
Amiloidosis
Amiloidosis merupakan suatu penyakit metabolik di mana amiloid, suatu
glikoprotein yang tidak dapat larut dan berlilin tertimbun pada berbagai
jaringan lunak tubuh. Saat ini dikenal dua bentuk klinis utama. Amiloidosis
primer atau kongenital lebih sering ditemukan pada lidah, jantung, saluran
cerna dan saraf perifer dari ginjal. Amiloidosis sekunder seringkali menyertai
penyakit infeksi kronik seperti tuberkulosis, artritis reumatoid kronik (25%),
dan mieloma multipel (10%-20%), dan dengan paraplegia (40%). Pada
amiloidosis sekunder ginjal seringkali ikut terserang. Sindrom nefrotik dan
kematian akibat gagal ginjal sering terjadi pada penyakit ini.
g. Nefropati Toksik
Ginjal khususnya rentan terhadap efek toksik, obat-obatan dan bahan-bahan
kimia karena alasan-alasan berikut: (1) ginjal menerima 23% dari curah
jantung, sehingga sering dan mudah kontak dengan xat kimia dalam jumlah
besar; (2) interstitium yang hiperosmotik memungkinkan zat kimia
dikonsentrasikan pada daerah relatif hipovaskular; dan (3) ginjal merupakan
jalur ekskresi obligator untuk kebanyakan obat, sehingga insufisiensi ginjal
mengakibatkan penimbunan obat dan meningkatkan konsentrasi dalam cairan
tubulus. Gagal ginjal kronik dapat diakibatkan penyalahgunaan analgesik dan
paparan timbal.
- Penyalahgunaan analgesik
Penyalahgunaan analgesik secara kronik dapat menyebabkan cedera ginjal.
Gagal ginjal kronik yang disebabkan oleh kelebihan pemakaian analgesik
sering dijumpai dan mudah dicegah. Aspirin menyebabkan iskemia medula
dengan menghambat produksi prostaglandin (suatu hormon vasodilator ginjal
yang kuat) lokal, sehingga meningkatkan efek toksik dari metabolit fenasetin
dan memperlambat pengeluaran metabolit tersebut.
- Nefropati timbal
Timbal yang masuk ke dalam tunuh akan bergabung dengan tulang dan
secaraa perlahan akan dilepaskan kembali setelah selang waktu bertahun-
tahun. Timbal juga akan terikat pada tubulus ginjal. Lesi ginjal dasar adalah
nefritis interstitial, dan dapat menyebabkan gagal ginjal yang berjalan lambat.
3.5 Patofisiologi
Gangguan fungsi ginjal pada GGK dapat dijelaskan dengan dua
pendekatan teoritis. Sudut pandang tradisional menjelaskan bahwa semua unit
nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda-beda, dan
bagian-bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat
saja benar-benar rusak atau berubah strukturnya. Misalnya lesi organic pada
medula akan merusak susunan anatomic dari lengkung Henle dan vasa kreta, atau
pompa klorida pada pars ascebden lengkung Henle yang akan menggangu psoses
aliran balik pemekat dan aliran balik penukar.
Pendekatan kedua dikenal dengan hipotesis nefron utuh atau hipotesis
Bricker, yang berpendapat bila nefron terserang penyakit, maka seluruh unitnya
akan hancur, namun sis nefrron yang masih utuh tetap bekerja tersebut sudah
menurun secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai
respon terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron
yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh
beban kerja ginjal. Kecepatan filtrasi, beban solute dan reabsorbsi pada setiap
nefron mengalami peningkatan meskipun GFR untuk seluruh masa nefron dalam
ginjal turun dibawah nilai normal.
Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat
rendah. Namun akhirnya, jika sekitar 75% massa nefron sudah hancur maka
kecepatan filtrasi dan beban solute bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga
keseimbangan glomerulus-tubulus (keseimbangan antara filtrasi glomerulus
dengan reabsorbsi tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pda
proses ekskresi maupun konversi solute dan air menjadi berkurang. Sedikit
perubahan pada diet dapat merubah keseimbangan yang rawan tersebut, karena
semakin rendah GFR semakin besar perubahan ekskresi per nefron. Hilangnya
kkemampuan memekatkan dan mengencerkan kemih menybabkan berat jenis
kemih tetap pada 1.010 atau 285 mOsmol (sama dengan konsentrasi plasma) dan
merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia.
Hipotesis nefron utuh ini didukung oleh beberapa pengamatan
eksperimental. Bricker dan fine (1969) telah memperlihatkan bahwa pada
penderita pielonefritis dan anjing-anjing yang ginjalnya dirusak pada percobaan
maka nefron yang masih bertahan akan mengalami hipertrofi dan menjadi lebih
aktif dari keadaan normal. Juga diketahui bila satu ginjal orang normal dibuang,
maka ginjal yang tersisa akan mengalami hipertrofi dan fungsi ginjal ini
mendekati kemampuan yang sebelumnya dimiliki oleh keduua ginjal itu bersama-
sama. Juga dibuktikan bahwa ginjal normal dalam keadaan dimana masa solut
meningkat akan bertindak sama seperti ginjal yang mengalami gagal ginjal
progresif.
3.5 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungi ginjal dan
homeostasis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada gagal ginjal
tahap akhir dan faktor yang dipulihkan (mis., obstruksi) diidentifikasi dan
ditangani (Smeltzer,Bare.2002).
Menurut Smeltzer,Bare.2002; komplikasi potensial gagal ginjal kronis yang
memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatan mencakup:
1. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik,
katabolisme, dan masukan diet berlebih. Dapat dicegah dengan
penanganan dialisis yang adekuat serta pengambilan kalium dan
pemantauan yang cermat terhadap kandungan kalium pada setiap
medikasi.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tempinade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
renin-angiostenin-aldosteron.
4. Anemia (hemokrit <30%) akibat penurunan eritropoetin, penurunan
rentang usia sel darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi
oleh toksin dan kehilangan selama hemodialisis. Pada pasien GGK
ditangani Epogen (eritropoetin manusia rekombinan). Epogen
diberikan tiga kali seminggu dalam waktu 2-6 minggu (sampai
hemokrit naik menjadi 33-38%). Epogen tidak diindikasikan untuk
pasien yang memerlukan koreksi anemia dengan segera. Efek samping
Epogen mencakup hipertensi (terutama selama tahap awal
penanganan), peningkatan bekuan pada tempat akses vaskuler, kejang
dan penipisan cadangan besi tubuh.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar
kalium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal, dan
peningkatan kadar alumunium.
Komplikasi dapat dicegah atau dihambat dengan pemberian antihipertensif,
eritropoetin, suplemen besi, agen pengikat fosfat, dan suplemen kalsium. Pasien
juga perlu mendapatkan penanganan dialisis yang adekuat untuk menurunkan
kadar produk sampah uremik dalam darah (Smeltzer,Bare.2002).
Intervensi diet juga perlu pada gangguan fungsi renal dan mencakup pengaturan
yang cermat terhadap masukan protein, masukan cairan untuk mengganti cairan
yang hilang dan pembatasan kalium. Pada saat yang sama, masukan kalori yang
adekuat dan suplemwen vitamin harus dianjurkan. Protein dibatasi karena urea,
asam urat dan asam organik (hasil pemecahan makanan dan jaringan) akan
menumpuk secara cepat dengan darah jika terjadi gangguan pada klirens renal.
Cairan yang diperbolehkan 500-600 ml untuk 24 jam. Karbohidrat dan lemak
diperlukan untuk mencegah kelemahan. Konsumsi vitamin juga dibutuhkan
(Smeltzer,Bare.2002).
Pengkajian klinik menentukan:
1. Jenis penyakit ginjaladanya penyakit penyerta
2. Derajat penurunan fungsi ginjal
3. Komplikasi akibat penurunan fungsiginjal
4. Faktor risiko untuk penurunan fungsi ginjal
5. Faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular
(Rindiastuti, Yuyun.2008).
Penatalaksanaan meliputi:
a. Terapi penyakit ginjal
b. Pengobatan penyakit penyerta
c. Penghambatan penurunan fungsi ginjal
d. Pencegahan dan pengobatan penyakit kardiovaskular
e. Pencegahan dan pengobatan komplikasi akibat penurunan fungsi ginjal
f. Terapi pengganti ginjal dengan dialisis atau transplantasi
(Rindiastuti, Yuyun.2008).
Jika timbul gejala dan tanda uremia stadium dini penyakit ginjal kronik dapat
dideteksi dengan:
a. Pemeriksaan laboratorium
b. Pengukuran kadar kreatinin serum dilanjutkan dengan penghitungan laju
filtrasi glomerulus dapat mengidentifikasi pasien yang mengalami
penurunan fungsi ginjal.
c. Pemeriksaan ekskresi albumin dalam urin dapat mengidentifikasi pada
sebagian pasien adanya kerusakan ginjal.
(Rindiastuti, Yuyun.2008)
Sebagian besar individu dengan stadium dini penyakit ginjal kronik terutama
dinegara berkembang tidak terdiagnosis. Deteksi dini kerusakan ginjal sangat
penting untuk dapat memberikan pengobatan segera, sebelum terjadi kerusakan
dan komplikasi lebih lanjut. Pemeriksaan skrinning pada individu asimtomatik
yang menyandang faktor risiko dapat membantu deteksi dini penyakit ginjal
kronik. Pemeriksaan skrinning seperti pemeriksaan kadar kreatinin serum dan
ekskresi albumin dalam urin dianjurkan untuk individu yang menyandang
faktorrisiko penyakit ginjal kronik, yaitu pada:
a. Pasien dengan diebetes melitus atau hioertensi
b. Individu dengan obesitas atau perokok
c. Individu berumur lebih dari 50 tahun
d. Individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi,
danpenyakit ginjal dalam keluarga.
(Rindiastuti, Yuyun.2008).
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi: 2
Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Memperlambat pemburukan fungsi ginjal dengan pembatasan asupan
protein, fosfat, cairan dan elektrolit
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Tabel 3.5 Rencana Tatalaksana Penyakit ginjal Kronik Sesuai Derajatnya 2
Derajat GFR (ml/mnt/1,73m2)
Penjelasan
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi pemburukan fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular
2 60-89 Menghambat pemburukan fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 <15 atau dialisis Terapi pengganti ginjal
1. Terapi Non Farmakologi: 3
Diet protein 0,6-0,8 gram/BB/hari
Diet kalori 35 kalori/kgBB/hari
Restriksi garam 5g NaCl/hari
Air disesuaikan dengan jumlah urin. Bila tidak ada urin, diberikan
cairan sebanyak 500cc/24 jam, bila jumlah urin 1000 cc, diberikan cairan
sebanyak 1500 cc/24 jam.
Restriksi kalium batasi atau hindari buah-buahan (pisang, jeruk, tomat)
serta sayuran berlebih
Pembatasan asupan protein dilakukan pada GFR ≤60ml/menit, sedangkan
diatas nilai tersebut tidak dianjurkan, karena pemberian diet tinggi protein pada
pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen
dan ion anorganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan dan metabolik
yang disebut uremia. Asupan protein yang berlebih akan mengakibatkan
perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan hiperfiltrasi
intraglomerulus.2
Tabel 3.6 Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal KronikGFR
(ml/mnt/1,73m2)Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8 g/kg/hari termasuk ≥0,35 g/kg/hari nilai biologi tinggi
≤10 g
5-25 0,6-0,8 g/kg/hari termasuk ≥0,35 g/kg/hari nilai biologi tinggi atau tambahan 0,3g asam
amino esensial atau asam keton
≤10 g
<60 (sindrom nefrotik)
0,8g/kg/hari (+1g protein/g proteinuria atau 0,3 g/kg tambahan asam amino esensial atau
asam keton)
≤9 g
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik bertujuan untuk
mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke
dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun
insensible water loss, dengan asumsi air yang keluar 500-800 ml/hari, lalu
ditambah dengan jumlah urin.2
Pembatasan elektrolit yang perlu diawasi adalah pembatasan kalium untuk
mencegah hiperkalemi, karena dapat menyebabkan aritmia jantung yang fatal.
Oleh karena itu pemberian obat yang mengandung kalium dan makanan tinggi
kalium dibatasi. Kadar kalium yang dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan
natrium untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang
diberikan disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema.2
2. Terapi Farmakologi: 3
Kalsium karbonat atau kalsium asetat 1-2 g/hari. Bila kadar kalsium
darah >10,5 mg/dl atau terdapat kalsifikasi vaskuler diberikan sevelamer
atau lantanum karbonat
Kalsitriol (vit D3) diberikan bila ada hiperfosfatemia, PTH >300 dan
hipokalsemia. Dosis kalsitriol 0,25 mikrogram/hari
Kayexalate (sodium polysrene sulfonate) untuk hiperkalemia. Dosis yang
diberikan 25-50 gram, 3-4x sehari
Eritropoetin yang diberikan subkutan dengan dosis 50-75 U/kgBB.
Diberikan 2x seminggu dengan target hemoglobin 11-12 g/dl atau
hematokrit 33-36%
Preparat besi sulfatferrous dengan dosis 325 mg, 1-2x/hari
Tablet bikarbonat dengan dosis 0,5-1 meq/kgBB. Pemberiannya harus
hati-hati pada pasien dengan retensi cairan dan hipertensi. Bikarbonat
diberikan bila kadar bikarbonat serum <20meq/L
Pengelolaan hipertensi
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus adalah dengan obat
antihipertensi. Target tekanan darah 125/75 mmHg. Terutama penghambat
enzim konverting angiotensin (ACE inhibitor) dan ARB, karena melalui
beberapa studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi
ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan
antiproteinuria.2 Apabila dicurigai adanya stenosis arteri renal maka ACE
inhibitor adalah kontraindikasi 4
Persiapan dialisis dan transplantasi ginjal komplikasi yang merupakan
indikasi untuk tindakan hemodialisis antara lain ensefalopati uremik,
perikarditis atau pleuritis, neuropati perifer progresif, hiperkalemia yang
tidak terkendali, sindroma overload, infeksi yang mengancam jiwa.4
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal yang terbaik dan
akan memperbaiki survival dan kualitas hidup.3
Gambar 3.1 Hemodialisis
Pengobatan yang diberikan pada Ny.K ini meliputi:
Diet rendah protein dan balance intake & output cairan
IVFD PZ 500cc/24 jm
Inj. Ranitidin 2x1 Ranitidine merupakan antagonis H2-reseptor histamin
mirip dengan simetidin dan famotidine. Antagonis reseptor H2, sering
disingkat menjadi antagonis H2, adalah obat yang digunakan untuk
memblokir aksi histamin pada sel parietal dalam perut, penurunan produksi
asam oleh sel-sel. Obat ini digunakan dalam pengobatan dispepsia, namun
penggunaannya telah berkurang sejak munculnya inhibitor proton lebih
efektif pompa.
Inj. Metamizol 3x1 mengandung analgesik dan antipiretik.
Inj. Ceftriaxon 2x1 Ceftriaxone adalah kelompok obat yang disebut
cephalosporin antibiotics. Ceftriaxone bekerja dengan cara mematikan
bakteri dalam tubuh. Diindikasikan untuk mengobati berbagai jenis infeksi
bakteri.
Inj. Lasix 3x1 Furosemid adalah diuretik derivat asam antranilat.
Aktivitas diuretik furosemid terutama dengan jalan menghambat absorpsi
natrium dan klorida, tidak hanya pada tubulus proksimal dan tubulus distal,
tapi juga pada loop of Henle. Tempat kerja yang spesifik ini menghasilkan
efektivitas kerja yang tinggi. Efektivitas kerja furosemid ditingkatkan
dengan efek vasodilatasi dan penurunan hambatan vaskuler sehingga akan
meningkatkan aliran darah ke ginjal. Furosemid juga menunjukkan aktivitas
menurunkan tekanan darah sebagai akibat penurunan volume plasma.
Nabic 3x1/oral Natrium Bikarbonat diberikan untuk dugaan hiperkalemia
(kelas I), setelah sirkulasi spontan yang timbul pada henti jantung lama
(kelas II B), asidosis metabolik karena hipoksia (kelas III) dan overdosis
antidepresi trisiklik.
Allopurinol merupakan obat yang menghambat pembentukan asam urat
di dalam tubuh. Obat ini terutama diberikan kepada penderita yang memiliki
kadar asam urat yang tinggi dan batu ginjal atau mengalami kerusakan
ginjal. Allopurinol bisa menyebabkan gangguan pencernaan, timbulnya
ruam di kulit, berkurangnya jumlah sel darah putih dan kerusakan hati.
Aminefron 3x1 Untuk gangguan ginjal kronis disertai dengan diet rendah
protein tinggi kalori.
Adalat oros 1-0-0 ; bila TD>159 diberi 1-0-1 atau disebut Nifedipin
golongan Calsium Canal Blocker (CCB), telah dirumuskan baik sebagai
blocker panjang dan short-acting 1,4-dihidropiridin saluran
kalsium. Kerjanya terutama pada sel otot polos pembuluh darah dengan
menstabilkan tegangan-gated L-jenis saluran kalsium dalam konformasi
aktif mereka. Dengan menghambat masuknya kalsium dalam sel otot polos,
nifedipin mencegah kalsium bergantung kontraksi miosit dan
vasokonstriksi. Mekanisme yang diusulkan kedua untuk efek vasodilatory
obat melibatkan pH-tergantung penghambatan masuknya kalsium melalui
penghambatan karbonik anhidrase otot polos. Nifedipin digunakan untuk
mengobati hipertensi dan angina stabil kronis.
ISDN 3x5mg Isosorbid dinitrat adalah suatu obat golongan nitrat yang
digunakan secara farmakologis sebagai vasodilator (pelebar pembuluh
darah), khususnya pada kondisi angina pektoris, juga pada CHF (congestive
heart failure), yakni kondisi ketika jantung tidak mampu memompa cukup
darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Isosorbid dinitrat lebih bermanfaat
untuk tujuan pencegahan serangan angina, untuk tujuan ini isosorbid dinitrat
dalam bentuk "long acting" atau kerja diperpanjang lebih disukai.
Premed lasix 2 amp (pre & post transfusi PRC)
Irbesartan 1x300 mg/oral termasuk golongan angitensin reseptor bloker
(ARB) yang biasanya untuk hipertensi. Irbesartan adalah turunan tetrazole
nonpeptide dan angiotensin II antagonis yang selektif menghambat
pengikatan angiotensin II ke AT 1 reseptor. Dalam sistem renin angiotensin-,
angiotensin I diubah oleh angiotensin-converting enzyme (ACE) untuk
membentuk angiotensin II. Angiotensin II merangsang korteks adrenal
untuk mensintesis dan mensekresi aldosteron, yang mengurangi ekskresi
natrium dan meningkatkan ekskresi kalium. Angiotensin II juga bertindak
sebagai vasokonstriktor dalam otot polos pembuluh darah. Irbesartan,
dengan menghalangi pengikatan angiotensin II ke AT 1 reseptor,
mempromosikan vasodilatasi dan mengurangi efek aldosteron. Peraturan
umpan balik negatif dari angiotensin II pada sekresi renin juga terhambat,
namun kenaikan mengakibatkan konsentrasi renin plasma dan konsekuensi
kenaikan angiotensin II plasma konsentrasi tidak melawan penurun tekanan
darah efek yang terjadi. Tindakan ARB berbeda dari inhibitor ACE, yang
menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, yang berarti
bahwa produksi angiotensin II tidak sepenuhnya terhambat, karena hormon
dapat dibentuk melalui enzim lainnya. Juga, tidak seperti ACE inhibitor,
ARB irbesartan dan tidak mengganggu respon terhadap bradykinins dan
substansi P, yang memungkinkan untuk adanya efek samping yang hadir di
ACE inhibitor (misalnya batuk kering).
Hemodialisis pada pasien Ny.K ini dilakukan hemodialisis 2 kali dan
dari hasil pemeriksaan serum kreatinin, urea dan uric acid terlihat penurunan
yang bermakna setelah di hemodialisis.
3.6 Komplikasi
Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik, terutama
disebabkan oleh defisiensi eritropoetin, defisiensi besi, kehilangan darah,
masa hidup eritrosit yang pendek akibat hemolisis, defisiensi asam folat.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤10 g% atau
hematokrit ≤30%. Penatalaksanaan dengan pemberian eritropoetin, namun
status besinya harus diperhatikan karena pemberian eritropoetin memerlukan
besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan secara hati-hati berdasarkan indikasi dan pemantauan
yang tepat, karena bila tidak dapat terjadi kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin adalah 11-
12 g/dl.
Uremia
Uremia lebih sering ditemukan pada gagal ginjal stadium lima penyakit
ginjal kronik. Dalam keadaan normal ginjal berfungsi sebagai tempat
produksi dan sekresi hormon-hormon tertentu, regulasi cairan dan elektrolit
dan eliminasi produk-produk sisa. Bila terjadi penurunan fungsi ginjal, fungsi
ini tidak dapat berjalan secara normal dan timbul kelainan metabolik seperti
anemia, asidosis, hiperkalemia, hiperparatiroidisme dan hipertensi. Kejadian
ini ditemukan bila klirens kreatinin <10 ml/menit, meskipun pada sebagian
pasien gejala ini dapat terjadi pada klirens kreatinin >10 ml/menit terutama
bila penurunan fungsi ginjal berlangsung cepat.
3.7 Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan
yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal
dankardiovaskular adalah:
a.Pengobatan hipertensi yaitu makin rendah tekanan darah makin
kecilrisiko penurunan fungsi ginjal
b.Pengendalian gula darah, lemak darah, dan anemia
c.Penghentian merokok
d.Peningkatan aktivitas fisik
e.Pengendalian berat badan
f. Obat penghambat sistem renin angiotensin seperti penghambat
ACE(angiotensin converting enzyme) dan penyekat reseptor
angiotensintelah terbukti dapat mencegah dan menghambat
proteinuria danpenurunan fungsi ginjal.
(Rindiastuti, Yuyun.2008).