portfolio ckd

31
Portofolio Kasus Gagal Ginjal Kronis Eksaserbasi Akut Disusun oleh: dr. Elizabeth Purnamasari Pendamping: dr. Lince Holsen dr. Clara Yosephine

Upload: elizabeth-purnamasari

Post on 15-Apr-2016

270 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

gagal ginjal kronis dan dasar teori

TRANSCRIPT

Page 1: Portfolio Ckd

Portofolio

Kasus

Gagal Ginjal Kronis Eksaserbasi Akut

Disusun oleh:

dr. Elizabeth Purnamasari

Pendamping:

dr. Lince Holsen

dr. Clara Yosephine

Rumah Sakit Umum Daerah TC Hillers

Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur

Program Dokter Internship Periode Maret 2014-Februari 2015

Page 2: Portfolio Ckd

Portofolio Anak

Nama Peserta: dr. Elizabeth Purnamasari

Nama Wahana: RSUD TC Hillers Maumere

Topik: Gagal Ginjal Kronis Eksaserbasi Akut Tanggal (kasus): 25 Mei 2015

Nama Pasien: Tn. YB No. RM: 160772

Tanggal Presentasi: Nama Pendamping: Dr. Lince HolsenDr. Clara Yosephine

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi: Tn. YB, laki-laki, 57 tahun, mual dan muntah

Tujuan: mengenali tanda dan gejala serta melakukan penatalaksanaan

penyakit gagal ginjal kronis

Bahan bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit

Cara membahas: Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos

Data pasien: Nama: Tn. YB Nomor Registrasi:

Nama klinik: RSUD TC Hillers Terdaftar sejak: 25 Mei 2015

Data utama untuk bahan diskusi:

2

Page 3: Portfolio Ckd

1. Diagnosis/Gambaran Klinis:

Pasien datang dengan keluhan mual dan muntah sejak 2 hari SMRS. Keluhan demam, sakit kepala, nyeri perut, nyeri sendi ataupun otot disangkal. Tanda-tanda perdarahan juga disangkal. Keluhan batuk, pilek, maupun nyeri menelan disangkal. Pasien mengatakan nafsu makan menurun dan badan terasa lemas. Pasien mengatakan BAK normal tidak ada darah maupun nyeri, BAB juga normal, tidak ada darah ataupun nyeri.

2. Riwayat kesehatan/Penyakit

Pasien Tn. YB sebelumnya pernah dirawat di RSUD TC Hillers 2 minggu lalu dengan keluhan serupa dan dinyatakan memiliki penyakit ginjal. Pasien dirawat selama 10 hari dan kemudian datang kontrol ke poliklinik, kemudian malam harinya pasien merasa mual dan kemudian muntah serta badan terasa lemas.

Pasien juga mengaku memiliki riwayat penyakit hipertensi sejak 18 tahun lalu, tidak terkontrol karena tidak minum obat dengan teratur. Riwayat penyakit diabetes mellitus disangkal.

Pasien juga menyangkal adanya riwayat penyakit jantung dan asma. Riwayat alergi obat disangkal.

Pasien memiliki riwayat merokok dan mengkonsumsi alkohol berupa moke. BAB dan BAK lancar tanpa distensi.

3. Riwayat keluarga:

Riwayat keluhan serupa pada anggota keluarga disangkal.

Orang tua pasien memiliki penyakit hipertensi, penyakit lainnya seperti penyakit diabetes, jantung, asma, tuberkulosis, dan keganasan disangkal.

4. Riwayat sosial:

Pembiayaan kesehatan pasien dengan BPJS.

3

Page 4: Portfolio Ckd

5. Pemeriksaan Fisik: Unit Gawat Darurat: (25 Mei 2015)

Kesadaran : kompos mentis.Keadaan umum : tampak sakit sedang.Tekanan Darah : 170/90 mmHg.Nadi : 76 x /menit, teratur, isi cukup.Laju nafas : 20 x /menit.Suhu : 36,6 °C.Mata : CA +/+, SI -/-, pupil bulat isokor.

Paru : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-. Jantung : bunyi jantung I dan II reguler, murmur dan gallop -.

Abdomen : supel, bising usus +.Ekstremitas : akral hangat, CRT <2s, edema -/-

Ruang Rawat:Kesadaran : kompos mentis.Keadaan umum : tampak sakit sedang.Tekanan Darah : 160/90 mmHg.Nadi : 80 x /menit, teratur, isi cukup.Laju nafas : 20 x /menit.Suhu : 36,8 °C.Berat Badan : 60 kgTinggi Badan : 170 cmMata : CA +/+, SI -/-, pupil bulat isokor.

Paru : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-. Jantung : bunyi jantung I dan II reguler, murmur dan gallop -.

Abdomen : supel, nyeri tekan -, CVA -/-, bising usus +.Ekstremitas : akral hangat, CRT <2s, edema -/-Kulit : terdapat furunkel pada fossa cubiti sinistra dan kruris sinistra.

6. Pemeriksaan Penunjang: MTT -/ Hb 6,9/ Ht 19,0/ MCV 81,5/ MCH 29,6/ Leu 5,38 OT 32/ PT 37/ GDS 127/ AU 6,2 BUN 510/ SC 12,14/ Golongan Darah : A+

Elektrolit : Natrium 118,66/ Kalium 4,26/ Chlorida 95,16

USG :chronic diffuse parenchymal renal disease bilateral dengan kista di kedua ren (1 buah di ren dextra dan 2 buah di ren sinistra)

7. Diagnosis:Acute on CKDHipertensi grade 2Anemia ec CKDHiponatremia ec CKDMultiple Furunkulosis

4

Page 5: Portfolio Ckd

8. Tatalaksana:IVFD RL lifelineTransfusi PRC 1 bag/hari sampai target Hb >9 (premed : furosemide 1 ampul IV bila TD > 100)Ondansetron 2 x 1 ampul ivCaCO3 3 x 1 tabAsam folat 2x 2 tabCaptopril 2 x 50 mgSF 2x1 tabGentamicin zalf ue 2x/ hari

Daftar Pustaka:

1. Sanjeev,Gulati. Chronic Kidney Disease. Department of Nephrology and Transplant Medicine, Fortis Hospitals, India. 2010.

2. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification .National Kidney Foundation (NKF) NKDOQI.2002.

3. Kasper,L. Braunwald,E. Harrison the principal of internal medicine.17th

edition.chapter 274:Chronic Kidney Disease.2008. The McGraw-Hill Companies, Inc.USA

4. KDIGO Clinical Practice Guideline for the Diagnosis, Evaluation, Prevention, and Treatment of Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone Disorder (CKD-MBD). ISN. http://www.kidney-international.org.

5. KDIGO Clinical Practive Guideline for the Management of Blood Pressure in Chronic Kidney Disease. ISN. http://www.kidney-international.org.

6. KDIGO Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease . ISN. http://www.kidney-international.org.

7. KDIGO Clinical Practice Guideline for Anemia in Chronic Kidney Disease . ISN. http://www.kidney-international.org.

8. Prim Care. Chronic Kidney Disease and Its Complications. National Institute of Health. June, 2008.

9. Tonelli, Marcello et al. Chronic Kidney Disease and Mortality Risk . http://www.jasn.org/

Hasil Pembelajaran:

1. Subyektif: Laki-laki, usia 57 tahun, dengan keluhan mual dan muntah sejak 2 hari SMRS, badan terasa lemas. Riwayat penyakit gagal ginjal yang diketahui kurang lebih 2minggu lalu sejak dirawat di RSUD TC Hillers selama ± 10 hari. Pasien membaik dan diizinkan pulang tetapi beberapa hari kemudian memburuk sehingga dibawa ke UGD RSUD TC Hillers.

5

Page 6: Portfolio Ckd

2. Obyektif: Tekanan darah saat di UGD 170/90, ruang perawatan 160/90 , konjungtiva pucat,

kulit kering, tampak lemah.Gambaran : chronic diffuse parenchymal renal disease bilateral dengan kista di kedua ren pada USG

3. Assessment: Definisi

Penyakit ginjal kronis (PGK) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal (proteinuria) dan atau laju filtrasi glomerulus (GFR) < 60 mL/mnt/1.73 m2 dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan.

Keberadaan penyakit ginjal kronis (PGK) harus ditetapkan berdasarkan adanya kerusakan ginjal dan tingkat fungsi ginjal (laju filtrasi glomerulus (GFR)).

(NKF KDOQI GUIDELINES of CKD, 2002)

Di antara pasien dengan penyakit ginjal kronis (PGK), Stage atau derajat harus ditentukan berdasarkan pada tingkat fungsi ginjal, sesuai kutipan tabel menurut klasifikasi CKD KDOQI dibawah ini:

(NKF KDOQI GUIDELINES of CKD, 2002)

Semua individu dengan GFR <60 mL/mnt/1.73 m2 selama lebih dari 3 bulan diklasifikasikan sebagai Penyakit Ginjal Kronik (PGK), terlepas dari adanya maupun tidak adanya kerusakan ginjal (contoh: ditemukannya proteinuria persisten, sedimen urin yang abnormal, kimia darah dan urin yang abnormal, dan pencitraan yang abnormal).

6

Page 7: Portfolio Ckd

Semua individu dengan kerusakan ginjal dapat diklasifikasikan sebagai PGK, terlepas dari penurunan tingkat GFR. Dasar pemikiran untuk mengikutsertakan individu dengan GFR 60 mL/min/1.73 m2 adalah bahwa GFR masih dapat dipertahankan pada tingkat normal ataupun meningkat meskipun terjadi kerusakan ginjal yang substansial, dan pada pasien dengan kerusakan ginjal mengalami peningkatan risiko dari dua komplikasi utama dari PGK : hilangnya fungsi ginjal dan perkembangan penyakit kardiovaskular.

EtiologiPenyebab Gagal Ginjal Kronik dapat dibagi dua, yaitu : 1. Kelainan parenkim ginjal

- Penyakit ginjal primer - Glomerulonefritis - Pielonefritis - Ginjal polikistik - TBC ginjal - Penyakit ginjal sekunder - Nefritis lupus - Nefropati analgesic - Amiloidosis ginjal

2. Penyakit ginjal obstruktif - Pembesaran prostat batu - Batu saluran kencing, dll.

PatofisiologiPatofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit

awal yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron yang sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vasoaktif, sitokin, dan growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi tehadap terjadinya hiperfiltrasi sclerosis dan progresifitas penyakit tersebut.

Aktivasi jangka panjang Aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh Growth Factor, seperti Transforming Growth Factor ß (TGF-ß). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dyslipidemia. Terdapat variabilitas inter individual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial. Pada stadium paling dini penyakit gagal ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan kelu- 7

Page 8: Portfolio Ckd

keluhan (asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi saluiran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, antara lain Na+ dan K+. Pada LFG di bawah 15%, akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

Azotemia adalah retensi dari produk sisa nitrogen sebagai perkembangan insufisiensi ginjal. Uremia adalah tahap yang lebih berat dari progresivitas insufisiensi ginjal dimana berbagai sistem organ telah terganggu. Meskipun uremia bukan penyebab utama, urea dapat menimbulkan gejala klinis seperti anoreksia, malaise, muntah dan sakit kepala. Produk nitrogen lainnya seperti komponen guanido, urat dan hipurat, hasil akhir metabolisme asam nukleat, poliamin, mioinosital, fenol, benzoat dan indol dapat tertahan dalam tubuh pada penyakit ginjal kronik dalam hal ini dipercaya dapat meningkatkan angka kematian pada uremia. Uremia tidak hanya mempengaruhi kegagalan ekskresi renal saja tetapi dapat juga menyebabkan gangguan pada fungsi metabolik dan endokrin yang dapat menyebabkan anemia malnutrisi, gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein, gangguan penggunaan energi, dan penyakit tulang metabolik. Lebih jauh lagi kadar plasma berbagai hormon polipeptida seperti paratiroid hormon (PTH), insulin, glukagon, luteinizing hormon, dan prolaktin akan meningkat pada gagal ginjal, bukan hanya karena gangguan katabolisme ginjal tetapi juga karena meningkatkan sekresi endokrin yang menimbulkan konsekuensi sekunder dari ekskresi primer atau gangguan sintetik renal. Di sisi lain, produksi eritropoetin (EPO) dan 1,25- dihidroksikolekalsiferol ginjal terganggu.

8

Page 9: Portfolio Ckd

Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan volume packed red cells (hematokrit) per 100 ml darah. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium. Anemia merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal. Anemia pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh, dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakian memburuknya fungsi ekskresi ginjal. Terdapat variasi hematokrit pada pasien penurunan fungsi ginjal. Kadar nilai hematokrit dan klirens kreatinin memiliki hubungan yang kuat. Kadar hematokrit biasanya menurun, saat kreatinin klirens menurun sampai kurang dari 30 – 35 ml/menit. Anemia pada gagal ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada faktor lain yang memperberat seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Anemia ini bersifat hiporegeneratif. Jumlah retikulosit yang nilai hematokrit nya dikoreksi menjadi normal, tidak adekuat.

Manifestasi GGK dan Uremia: 1. Gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa

a. Homeostasis Natrium dan Air. Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil kandungan Natrium dan H2O pada seluruh tubuh meningkat secara perlahan penyebabnya adalah terganggunya keseimbangan glomerulotubular yang menyebabkan retensi natrium atau natrium dari proses pencernaan menyebabkan penambahan natrium yang menyebabkan ekspansi volume cairan ekstra seluler (CES) dimana ekspansi CES akan menimbulkan hipertensi yang menyebabkan kerusakkan ginjal lebih jauh. Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang belum di dialisis tetapi terbukti terjadi ekspansi CES, pemberian loop diuretik bersama dengan pengurangan intake garam dapat digunakan sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan natrium dan H2O. Ketika penyebab ekstra renal pada kehilangan cairan terjadi seperti muntah, diare, berkeringat, demam, pasien akan mengalami kekurangan CES.

b. Homeostasis Kalium. Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan penurunan ekskresi kalium urine. Walaupun demikian hiperkalemia dapat terjadi dengan gejala klinis berupa konstipasi, katabolisme protein, hemolisis, metabolik asidosis dan beberapa obat dapat menghambat kalium masuk ke dalam sel atau menghambat sekresi kalium di distal nefron. Hipokalemia jarang terdapat pada penyakit ginjal kronik. Biasanya merupakan tanda kurangnya intake kalium dalam kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan dari gastro intestinal.

c. Metabolik Asidosis. Dengan berlanjutnya gagal ginjal seluruh ekskresi asam sehari hari dan produksi penyangga jatuh dibawah kadar yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan eksternal ion-ion hidrogen. Asidosis metabolik merupakan akibat yang tidak dapat dihindarkan. Pada kebanyakan

9

Page 10: Portfolio Ckd

kebanyakan pasien dengan insufisiensi ginjal yang stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium bikarbonat atau natrium sitrat memperbaiki asidosis. Namun dalam respons terhadap tantangan asam yang mendadak (apakah dari sumber endogen atau eksogen), pasien gagal ginjal kronik, rentan terhadap asidosis, yang dibutuhkan jumlah alkali yang besar utuk koreksi. Pemberian natrium harus dilaksanakan dengan perhatian yang seksama terhadap status volume.

2. Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat. Kelainan mayor dari penyakit tulang pada penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan sebagai high bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan rendah atau normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder hiperparatiroidism berhubungan dengan metabolisme mineral yang abnormal yaitu : (1). Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik fosfat (PO43- ) dan menimbulkan retensi PO43-. (2). Tertahannya PO43- memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH dan massa sel kelenjar para tiroid.(3) Tertahannya PO43- juga menyebabkan terjadinya produksi yang berlebihan dan sekresi PTH melalui turunnya ion Ca2+ dan dengan supresi produksi kalsitriol (1,25 – dihidroksi oleh kalsiferol). (4) Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis akibat pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang rendah, pada akhirnya, menimbulkan hiperparatiroidism melalui mekanisme langsung dan tidak langsung. Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi langsung pada transkripsi PTH. Oleh karena itu penurunan kalsitriol pada panyakit ginjal kronik menyebabkan peningkatan kadar PTH. Selain itu pengurangan kalsitriol menimbulkan gannguan absorbsi Ca2+ dari traktus gasrto interstinal, yang kemudian menimbulkan hipokalsemia, yang selanjutnya meningkatkan sekresi dan produksi PTH. Secara keseluruhan, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan penurunan sintesis kalsitriol, semuanya menyebabkan produksi PTH dan proliferasi dari paratiroid sel, yang menimbulkan hiperparatiroid sekunder. Low turn over bone disease dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu osteomalasia dan penyakit tulang adinamik. Keduanya memiliki karakteristik berupa penurunan jumlah osteoklas dan osteoblas dan dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas. Pada osteomalasia, terdapat akumulasi matriks tulang yang tidak termineralisasi, atau peningkatan volume osteoid, yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin D, peningkatan deposit aluminium, atau asidosis metabolik. Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.

10

Page 11: Portfolio Ckd

3. Kelainan kardiovaskuler. a. Penyakit Jantung Iskemik.

Peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner merupakan akibat dari faktor resiko tradisional (klasik), yaitu hipertensi, hipervolemia, dislipidemi, overaktivitas simpatis, dan hiperhomosisteinemia. Dan faktor resiko non-tradisional, yaitu anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme, dan derajat mikroinflamasi yang dapat ditemukan dalam setiap derajat penyakit ginjal kronik. Derajat inflamasi meningkatkan reaktan fase akut, seperti interleukin 6 dan C-reaktif protein, yang menyebabkan proses penyumbatan koroner dan meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Nitride oksida merupakan mediator yang penting dalam pada dilatasi vaskular. Keberadaan nitrit oksida, pada penyakit ginjal kronik menurun sebab terjadi prningkatan konsentrasi asimetris dimetil-1-arginin.

b. Gagal jantung kongestif. Kelainan fungsi jantung, seperti myocardial ischemic disease dan atau left ventricular hypertrophy, bersamaan dengan retensi air dan garam pada uremia, kadang menyebabkan gagal jantung kongestif dan edema pulmonal.

c. Hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang paling sering. Hipertensi yang berkepanjangan menyebabkan terjaadinya hipertrofi ventrikel.

4. Kelainan Hematologia. Anemia

Anemia terjadi pada 80 – 90 % pasien penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik, hirparatiroidisme yang berat, keracunan aluminium, dan keadaan umum lain seperti hemoglobinopaties. Anemia yang tidak diterapi akan berhubungan dengan beberapa kelainan fisiologis, seperti penurunan pengantaran dan penggunaan oksigen ke jaringan, meningkatkan cardiac output, pembesaran jantung, hipertrofi ventrikel, angina, gagal jantung kongestif, penurunan fungsi mental dan kognitif, gangguan siklus menstruasi, gangguan host untuk melawan infeksi. Selain itu anemia dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak dengan penyakit ginjal kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10 g % atau hematokrit ≤ 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/serum iron,kapasitas ikat besi total/total iron binding capacity, feritin serum), mencari sumber paerdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.

11

Page 12: Portfolio Ckd

b. Gangguan pembekuanHal ini berhubungan dengan pemanjangan bleeding time, penurunan aktivitas faktor pembekuan III, kelainan platelet agregation, dan gangguan konsumsi protrombin. Gejala kliniknya berupa perdarahan yang abnormal, perdarahan dari luka operasi, perdarahan spontan dari traktus gastro intestinal, dan lain-lain.

5. Kelainan neuromuscularNeuropati sentral, perifer, dan otonom, dengan gangguan komposisi dan fungsi otot, merupakan komplikasi yang sering pada penyakit ginjal kronik. Gejala awal pada sistem saraf pusat, seperti gangguan ingatan sedang, gangguan konsentrasi, dan gangguan tidur; iritabilitas neuromuskular, seperti hiccups, keram, fasikulasi atau twiching otot. Pada uremia terminal, didapatkan astherixis, mioklonus, chorea, bahkan sampai terjadi kejang dan koma. Neuropati perifer biasanya menyerang saraf sensoris lebih dari saraf motorik, ekstremitas bawah lebih dari ekstemitas atas, bagian distal lebih dari bagian proximal.

6. Kelainan gastrointestinal. Kelainan pada gastrointestinal antara lain uremic foetor ,sensasi pengecapan seperti metal, gastritis, peptic disease, ulserasi mukosa pada saluran pencernaan yang dapat menyababkan nyeri perut, mual, muntah, dan kehilangan darah,peningkatan insiden terjadinyadivertikulosis, pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik, meningkatkan terjadinya pankreatitis.

7. Gangguan metabolik endokrin Pada penyakit ginjal kronik terjadi gangguan metbolisme glukosa dan pada wanita terjadi penurunan hormon estrogen, sehingga terjadi amenorea, dan kemungkinan untuk menjadi hamil menjadi sangat kecil. Pada laki-laki yang telah menjalani dialisis dalam waktu yang lama akan terjadi impotensi, oligospermia, displasia sel germinal, yang menurunkan kadar testosteron plasma.

8. Kelainan dermatologi. Pada penyakit ginjal kronik terdapat pallor pada kulit akibat anemia, ekimosis dan hematoma akibat gannguan pembejkuab, gatal dan ekskoriasi akibat deposisi calcium-fosfat dan hiperparatiroid sekunder, diskolorasi berwarna kuning akibat deposisi pigmen metabolik dan urokrom, serta uremic frost akibat kadar urea itu sendiri.

KlasifikasiKlasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar derajat penyakit dan diagnostik etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas satu dari dua persamaan berdasarkan konsntrasi kreatinin plasma, umur, jenis kelamin, etnik. Pertama, persamaan dari penelitian modifikasi diet pada penyakit ginjal yaitu:

12

Page 13: Portfolio Ckd

Kedua, persamaan dari Kockcroft-Gault sebagai berikut :

Klasifikasi menurut NICE 2008 1. Memeriksa adanya proteinuria saat menentukan stadium dari GGK 2. Proteinuria:

a) Urin ACR (albumin clearance ratio) 30mg/mmol atau lebih. b) Urin PCR 50 mg/mmol atau lebih. (dengan perkiraan urinary protein excreation 0,5 g/24jam atau lebih)

3. Stadium 3 dari GGK harus dibagi menjadi 2 subkategori: a) LFG 45 – 59 ml/min/1,73 m2 (stadium 3A) b) LFG 30 – 44 ml/min/1,73 m2 (stadium 3B)

4. Penanganan pada GGK tidak boleh dipengaruhi oleh usia. Pada orang dengan usia > 70 tahun dengan LFG 45 – 59 ml/min/1,73 m2, apabila keadaan tersebut stabil seiring dengan waktu tanda ada kemungkinan dari gagal ginjal, biasanya hal tersebut tidak berhubungan dengan komplikasi dari GGK.

13

Page 14: Portfolio Ckd

Manifestasi klinis 1. Kardiovaskuler:

a. Hipertensi b. Pembesaran vena leher c. Pitting edema d. Edema periorbital e. Friction rub pericardial

2. Pulmoner: a. Nafas dangkal b. Krekels c. Kusmaul d. Sputum kental dan liat

3. Gastrointestinal: a. Konstipasi / diare b. Anoreksia, mual dan muntah c. Nafas berbau ammonia d. Perdarahan saluran GI e. Ulserasi dan perdarahan pada mul

4. Muskuloskeletal: a. Kehilangan kekuatan otot b. Kram otot c. Fraktur tulang

5. Integumen: a. Kulit kering, bersisik b. Warna kulit abu-abu mengkilat c. Kuku tipis dan rapuh d. Rambut tipis dan kasar e. Pruritus f. Ekimosis

6. Reproduksi: a. Atrofi testis b. Amenore

7. Sindrom uremia: a. Lemah letargi b. Anoreksia c. Mual dan muntah d. Nokturia e. Kelebihan volume cairan (volume overload). f. Neuropati perifer g. Uremic frost h. Perikarditis i. Kejang j. Koma.

14

Page 15: Portfolio Ckd

Pemeriksaan Penunjang

A. Gambaran laboratorium Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: Sesuai dengan penyakit yang mendasari (diabetes melitus, hipertensi, dll). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum, dan

penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus kockcroft-gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.

Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.

Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosituria, cast, isosisteinuria.

B. Gambaran radiologi Pemeriksaan radiologi penyakit ginjal kronik meliputi: Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opaque. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa

melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran pasien terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakkan.

Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi. USG ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang

menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. Indikasi USG (NICE 2008):

- Progresif GGK (LFG turun > 5 ml.min.1,73m2 dalam 5 tahun). - Adanya hematuria - Ada gejala obstruksi saluran kencing - Ada riwayat keluarga penyakit ginjal polikistik dan berusia lebih dari 20

tahun. - GGK stadium 4 dan 5. - Memerlukan biopsi ginjal.

Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renogarfi dikerjakan bila ada indikasi.

DiagnosisDiagnosis GGK ditegakan apabila LFG < 60 ml/min/1,73m2 selama lebih dari 3

bulan, atau adanya bukti gagal ginjal (gambaran patologi yang abnormal atau adanya tanda kerusakan, termasuk abnormalitas dari pemeriksaan darah dan urin atau gambaran radiologi). Bila dari hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan belum dapat menegakkan diagnosis, maka dapat dilakukan biopsy ginjal terutama pada pasien dengan ukuran ginjal mendekati normal. Tetapi prosedur ini dikontraindikasikan pada ginjal yang kecil bilateral, penyakit ginjal polikistik, hipertensi tidak terkontrol, infeksi traktur urinarius, kelainan perdarahan, gangguan pernapasan dan morbid obesity.

15

Page 16: Portfolio Ckd

16

Page 17: Portfolio Ckd

PenatalaksanaanFarmakoterapi (menurut NICE guidelines 15september2008)

A. Kontrol tekanan darah Pada orang dengan GGK, harus mengkontrol tekanan sistolik < 140 mmHg

(dengan kisaran target 120 – 139 mm Hg) dan tekanan diastolic < 90 mmHg. Pada orang dengan GGK dan Diabetes dan juga orang dengan ACR 70

mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalent dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, atau proteinuria 1 gr/24jam atau lebih), diharuskan untuk menjaga tekanan sistolik < 130 mmHg (dengan kisaran target 120-129 mmHg) dan tekanan diastolik < 80 mmHg.

B. Pemilihan agen antihipertensi 1st line: ACEInhibitor/ARBs (apabila ACEInhibitor tidak dapat mentolerir).

ACE Inhibitor/ARBs diberikan pada: Pada GGK dengan diabetes dan ACR lebih dari 2,5 mg/mmol (pria) atau lebih

dari 3,5 mg/mmol (wanita), tanpa adanya hipertensi atau stadium GGK. Perbedaan kedua batas ACR berbeda diberikan di sini untuk memulai pengobatan ACE Inhibitor pada orang dengan CKD dan proteinuria. Potensi manfaat ACE inhibitor dalam konteks ini sangat meningkat jika seseorang juga memiliki diabetes dan hipertensi dan dalam keadaan ini, sebuah batas yang lebih rendah diterapkan.

GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR 30 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih, proteinuria 0,5 gr/24jam atau lebih).

GGK pada non-diabetik dan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalen dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, proteinuria 1 gr/24jam atau lebih), tanpa adanya hipertensi atau penyakit kardivaskular.

GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR < 30 mg/mmol (kira-kira ekuivalen dengan PCR < 50 mg/mmol, atau proteinuria < 0,5 gr/24jam.

Saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs, upayakan agar mencapai dosis terapi maksimal yang masih dapat ditoleransi sebelum menambahkan terapi 2nd line (spironolakton).

Hal-hal yang perlu diingat saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs: o Orang dengan GGK, harus mengetahui konsentrasi serum potassium dan

perkiraan LFG sebelum memulai terapi ACE Inhibitor/ARBs. Pemeriksaan ini diulang antara 1 sampai 2 minggu setelah penggunaan obat, dan setelah peningkatan dosis.

o Terapi ACE Inhibitor/ARBs tidak boleh dimulai apabila konsentrasi serum potassium secara signifikan > 5,0 mmol/L.

o Keadaan hiperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut, karena menurut hasil penelitian terapi tersebut dapat mencetuskan hiperkalemia.

17

Page 18: Portfolio Ckd

18

Page 19: Portfolio Ckd

o Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE Inhibitor/ARBs yang dapat juga mencetuskan hiperkalemia, bukan kontraindikasi penggunaan terapi tersebut, tapi harus menjaga konsentrasi serum potassium.

o Stop terapi tersebut, bila konsentrasi serum potassium meningkat > 6,0 mmol/L atau lebih dan obat lain yang diketahui dapat meningkatkan hiperkalemia sudah tidak digunakan.

o Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan bila batas LFG saat sebelum terapi kurang dari 25% atau kreatinin plasma meningkat dari batas awal kurang dari 30%.

o Apabila perubahan LFG 25% atau lebih atau perubahan kreatinin plasma 30% atau lebih: Investigasi adanya deplesi volume ataupun penggunaan NSAIDs. Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), stop terapi atau dosis

harus diturunkan dan alterlatif antihipertensi lain bisa digunakan.

C. Pemilihan statins dan antiplatelet Terapi statin digunakan untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular.

Pada orang dengan GGK, penggunaannya-pun tidak berbeda. Penggunaan statin pada orang dengan GGK merupakan pencegahan

sekunder dari penyakit kardiovaskular, terlepas dari batas nilai lipid-nya. Penggunaan antiplatelet pada orang dengan GGK merupakan pencegahan

sekunder dari penyakit kardiovaskular. GGK bukan merupakan kontraindikasi dari penggunaan aspirin dosis rendah, tetapi dokter harus memperhatikan adanya kemungkinan perdarahan minor pada orang dengan GGK yang diberikan antiplatelet multipel.

D. Komplikasi lainnya Metabolisme tulang dan osteoporosis

- Melakukan pengukurang rutin untuk kalsium, fosfat, paratiroid hormone (PTH) dan level vitamin D pada orang dengan GGK stadium 1, 2, 3A/3B, tidak tirekomendasikan.

- Melakukan pengukuran kalsium, fosfat, konsentrasi PTH pada orang dengan GGK stadium 4 dan 5 (LFG < 30 ml/min/1,73m2).

- Memberikan bisphosphonate, apabila ada indikasi untuk mencegah dan mengobati osteoporosis pada orang dengan GGK stadium 1, 2, 3A/3B.

- Pemberian suplemen vitamin D: GGK stadium 1, 2, 3A/3B diberikan cholecalciferol atau

ergocalciferol. GGK stadium 4 dan 5 diberikan 1-alpha-hydroxycholecalciferol

(alfacalcidol) atau 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitrol). - Monitor lonsentrasi serum kalsium dan fosfat pada orang yang

mendapatkan terapi diberikan 1-alpha-hydroxycholecalciferol (alfacalcidol) atau 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitrol).

19

Page 20: Portfolio Ckd

20

Page 21: Portfolio Ckd

E. Anemia Penanganan anemia pada GGK harus dilakukan saat Hb < 11 g/dl (atau 10

g/dl pada usia < 2 tahun). Menentukan apakah anemia disebabkan oleh GGK atau bukan. Dengan

memperhatikan LFG < 60 ml/min/1.73m2. Anemia defisiensi zat besi, biasanya pada:

o Orang dengan GGK stadium 5 dengan level ferritin < 100 mikrogram/L. o Orang dengan GGK stadium 3 dan 4, dengan level ferritin < 100

mikrogram/L. Penanganan anemia

1. Suplementasi eritropoetin Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia menggunakan recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi terapi. Seperti yang telah di demonstrasikan dengan plasma kambing uremia yang kaya eritropoetin, human recombinant eritropoetin diberikan intravena kepada pasien hemodialisa, telah dibuktikan menyebabkan peningkatan eritropoetin yang drastis. Hal ini memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal setelah transfusi darah berakhir pada pasien bilateral nefrektomi yang membutuhkan transfusi reguler. Pada gambar.3, saat sejumlah erotropoetin diberikan IV 3x seminggu setelah setiap dialisa, pasien reguler hemodialisis merespon dengan peningkatan Ht dengan dosis tertentu dalam beberapa minggu. Percobaan menunjukkan bahwa AB yang melawan materi rekombinan dan menghambat terhadap penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek samping utamanya adalah meningkatkan tekanan darah dan memerlukan dosis Heparin yang tinggi untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial selama dialisis. Pada beberapa pasien, trombosis pada pembuluh darah dapat terlihat.Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan viskositas darah tetapi juga peningkatan tonus vaskular perifer. Komplikasi trombosis juga berkaitan dengan tingginya viskositas darah bagaimanapun sedikitnya satu kelompok investigator terlihat peningkatan trombosit. Penelitian in vitro menunjukkan efek stimulasi human recombinant eritropoetin pada diferensiasi murine megakariosit. Lalu trombositosis mungkin mempengaruhi hiperkoagubilitas. Konsentrasi serum predialisis ureum kreatinin yang meningkat dan hiperkalemia dapat mengakibatkan berkurangnya efisiensi dializer karena tingginya Ht dan peningkatan nafsu makan karena peningkatan keadaan umum. Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi oleh eritropoetin dapat menimbulkan defisiensi besi khususnya pada pasien dengan peningkatan blood loss. Seluruh observasi ini mengindikasikan bahwa recombinant human eritropoetin harus digunakan dengan hati-hati. Hal ini juga memungkinkan bahwa kebanyakan efek samping ini dapat diminimalkan jika nilai hematokrit tidak meningkat ke normal, tetapi pada nilai 30-35%. Produksi recombinant human eritropoetin merupakan manajemen yang utama pada pasien uremia.

21

Page 22: Portfolio Ckd

22

Page 23: Portfolio Ckd

Indikasi dan Kontraindikasi terapi EPO: 1) Indikasi: Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan

dan penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah: a. Cadangan besi adekuat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi

transferin > 20%. b. Tidak ada infeksi yang berat.

2) Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap EPO.

3) Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada keadaan: a. Hipertensi tidak terkontrol. b. Hiperkoagulasi. c. Beban cairan berlebihan / fluid overload.

Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup, terdapat beberapa kriteria pengkajian status besi pada GGK: i. Anemia dengan status besi cukup. ii. Anemia defisiensi besi:

a. Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 mcg/L b. Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100 mcg/L

Saturasi Transferin < 20 %

Terapi Eritropoietin Fase koreksi: Tujuan: Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.

a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4 minggu.

b. Target respon yang diharapkan: Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 % dalam 2-4 minggu.

c. Pantau Hb dan Ht tiap 4 minggu. d. Bila target respon tercapai: pertahankan dosis EPO sampai target Hb

tercapai (> 10 g/dL). e. Bila terget respon belum tercapai naikkan dosis 50%. f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan

dosis 25%. g. Pemantauan status besi:

Selama terapi Eritropoietin, pantau status besi, berikan suplemen sesuai dengan panduan terapi besi.

Terapi Eritropoietin Fase Pemeliharaan:a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>12 g/dL). Dosis 2 atau 1 kali

2000 IU/minggu. Pantau Hb dan Ht setiap bulan Periksa status besi setiap 3 bulan.

23

Page 24: Portfolio Ckd

24

Page 25: Portfolio Ckd

b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi cukup) maka dosis EPO diturunkan 25% Pemberian eritropoetin ternyata dapat menimbulkan efek samping diantaranya: - Hipertensi:

i. tekanan darah harus dipantau ketat terutama selama terapi eritropoetin fase koreksi.

ii. pasien mungkin membutuhkan terapi antihipertensi atau peningkatan dosis obat antihipertensi.

iii. peningkatan tekanan darah pada pasien dengan terapi eritropoietin tidak berhubungan dengan kadar Hb.

- Kejang: i. Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase koreksi.

ii. Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat dan tekanan darah yang tidak terkontrol. Terkadang pemberian EPO menghasilkan respon yang tidak adekwat. Respon EPO tidak adekuat bila pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht yang dikehendaki setelah pemberian EPO selama 4-8 minggu.

2. Terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis.Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra korporeal dan peritoneal dialisis pada dasarnya dapat juga mempengaruhi patogenesis anemia pada gagal ginjal, sejak prosedur ini dapat membuang toksin yang menyebabkan hemolisis dan menghambat eritropoesis. Selain itu, pengalaman klinis membuktikan bahwa perkembangannya lebih cepat daripada menggunakan terapi eritropoetin. Ketidakefektivan pada terapi pengganti ginjal merupakan akibat keterbatasan pengetahuan tentang toksin dan cara terbaik untuk menghilangkannya. Pendekatan sederhana untuk meningkatkan terapi dtoksifikasi pada uremia dengan meningkatkan batas atas ukuran molekular yang dibuang dengan difusi dan atau transportasi konvektif tidak menghasilkan hasil yang memuaskan. Misalnya, tidak ada data yang membuktikan bahwa hemofiltrasi yang mencakup pembuangan jangkauan molekuler yang lebih besar dibanding hemodialisis dengan membaran selulosa yang kecil, merupakan dua terapi utama dalam mengkoreksi anemia pada gagal ginjal. Selain itu continious ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) , juga merupakan terapi dengan pembuangan jangkauan molekuler yang besar, ini lebih baik dibandingkan dengan hemodialisis standar dengan membaran selulosa yang kecil. Hal ini masih tidak jelas jika keuntungan CAPD ini hanya karena pembuangan yang lebih baik dari inhibitor eritropoesis.

3. Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine. Sejak inhibitor eritropoesis diketahui, pada kasus intoksikasi aluminium, terapi dapat selektif dan efektif efek aluminium yang memperberat pada anemia dengan gagal ginjal selalu harus diasumsikan ketika terjadi anemia mikrositik dengan normal atau peningkatan feritin serum pada

25

Page 26: Portfolio Ckd

pasien reguler hemodialisis. Diagnosis ditegakkan denan peningkatan nilai aluminium serum, riwayat terpapar aluminium baik oral maupun dialisat, gejala intoksikasi aluminium seperti ensekalopati penyakit tulang aluminium, dan keberhasilan percobaan terapi. Terapi utama adalah pemberian chelator deferoxamin (DFO) IV selama satu sampai dua jam terakhir saat hemodialisa atau hemofiltrasi atau CAPD. Range dosis 0,5 – 2,0 gr, 3 kali seminggu. DFO memobilisasi aluminium sebagai larutan yang kompleks, dimana kemudian dibuang dengan terapi dialisis atau prosedur filtrasi. Efek samping utama adalah hipotensi, toksisitas okular, komplikasi neurologi seperti kejang dan mudah terkena infeksi jamur. Efek samping ini berespons terhadap pemberhentian terapi sementara waktu, pengurangan dosis atau pemberhentian terapi. Efek DFO pada anemia dapat berakibat drastis, yang menggambarkan perubahan nilai hemoglobine, feritin serum, dan konsentrasi aluminium, MCV, MCH pada pasien dengan ostemalasia yang berhubungan dengan aluminium. Pada permulaan terapi pasien mengalami anemia mikrositik peningkatan nilai aluminium serum dan feritin. Setelah beberapa bulan terapi dengan DFO, MCV dan MCH pada nilai diatas normal, hemoglobin meningkat secara signifikan dan feritin serum dan aluminium menurun.

4. Mengkoreksi hiperparatiroidism.Sekunder hiperparatiroid pada anemia dengan gagal ginjal, paratiroidektomi bukan merupakan indikasi untuk terapi anemia. Pengobatan supresi aktivitas kelenjar paratiroid dengan 1,25-dihidroksi vitamin D3 biasanya berhubungan dengan peningkatan anemia.

5. Terapi androgenEfek yang positif pada terapi ini yaitu meningkatkan produksi eritropoetin, meningkatkan sensitivitas polifrasi eritropoetin yang sensitif terhadap populasi stem cell. Testosteron ester (testosteron propionat, enanthane, cypionate), derivat 17-metil androstanes (fluoxymesterone, oxymetholone, methyl testosterone), dan komponen 19 norterstosteron (nandrolone dekanoat, nandrolone phenpropionate) telah sukses digunakan pada terapi anemia dengan gagal ginjal. Respon nya lambat dan efek dari obat ini dapat terbukti dalam 4 minggu terapi. Nandrolone dekanoat cukup diberikan dengan dosis 100-200 mg, 1 x seminggu. Testosteron ester tidak mahal tetapi harus dibatasi karena efek sterilitas yang besar. Komponen 19-nortestosteron memiliki ratio anabolik : androgenik yang paling tinggi dan yang paling sedikit menyebabkan hirsutisme serta paling aman untuk pasien wanita. Fluoksimesterone dapat menyebabkan priapismus pada pasien pria. Penyakit Hepatoseluler kolestatik dapat menyebabkan komplikasi pada penggunaan zat ini dan lebih sering pada 17 methylated steroid. Pada keadaan meningkatnya transaminase darah yang progesif dan bilirubin serum yang meningkat, terapi harus dihentikan. Namun, komponen 17- methylated steroid ini memiliki ratio anabolik/ androgen yang baik dan dapat diberikan secara oral.

26

Page 27: Portfolio Ckd

27

Page 28: Portfolio Ckd

Terapi dengan androgen dapat menimbulakan gejala prostatism atau pertumbuhan yang cepat dari Ca prostat. Rash kulit, perubahan suara seperti laki-laki, dan perubahan fisik adalah efek samping lainnya pada terapi ini.

6. Suplementasi besi. Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi dengan absorpsi besi pada usus. Monitoring penyimpanan besi tubuh dengan determinasi ferritin serum satu atau dua kali pertahun merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak dipengaruhi oleh uremia, suplementasi besi oral lebih dipilih ketika terjadi defisiensi besi. Jika terapi oral gagal untuk memperbaiki defisiensi besi, penggantian besi secara parenteral harus dilakukan. Hal ini dilakukan dengan iron dextran atau interferon. Terapi IV lebih aman dan nyaman dibanding injeksi intra muskular. Syok anafilaktik dapat terjadi pada 1% pasien yang menerima terapi besi parenteral. Untuk emngurangi kejadian komplikasi yang berbahaya ini, pasien harus di tes dengan 5 menit pertama dengan dosis kecil dari total dosis. Jumlah yang diperlukan untuk replinish penyimpanan besi dapat diberikan dengan dosis terbagi yaitu 500mg dalam 5-10 menit setiap harinya atau dosis tunggal dicampur dengan normal saline diberikan 5% iron dextran dan diinfuskan perlahan dalam beberapa jam.

Terapi besi fase pemeliharaan: a. Tujuan : menjaga kecukupan persediaan besi untuk eritropoiesis selama terapi EPO.

b. Target terapi: Feritin serum > 100 mcg/L – < 500 mcg/L Saturasi transferin > 20 % – < 40 %

c. Dosis i. IV : iron sucrose : maksimum 100 mg/minggu iron dextran : IV : 50 mg/minggu iron gluconate : IV : 31,25-125 mg/minggu

ii. IM : iron dextran : 80 mg/ 2 minggu

iii. Oral: 200 mg besi elemental : 2-3 x/hari

iv. Status besi diperiksa setiap 3 bulan

v. Bila status besi dalam batas target yang dikehendaki lanjutkan terapi besi dosis pemeliharaan.

vi. Bila feritin serum > 500 mcg/L atau saturasi transferin > 40%, suplementasi besi distop selama 3 bulan.

vii. Bila pemeriksaan ulang setelah 3 bulan feritin serum < 500 mcg/L dan saturasi transferun < 40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan dengan dosis 1/3-1/2 sebelumnya.

28

Page 29: Portfolio Ckd

29

Page 30: Portfolio Ckd

7. Transfusi darah. Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi darah adalah: a. Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik b. Tidak memungkinkan penggunaan EPI dan Hb < 7 g /dL c. Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik d. Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat diberikan transfusi darah dengan hati-hati e. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah : 7-9 g/dL (tidak sama dengan target Hb pada terapi EPO). Transfusi diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi, hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat, walaupun pada pasien dengan penyakut jantung. Pada kelompok pasien yang direncakan untuk transplantasi ginjal, pemberian transfusi darah sedapat mungkin dihindari.

F. Nutrisi Pemberian nutrisi yang seimbang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi

dan nutrient sekaligus mengurangi gejala-gejala uremia dan menunda percepatan penurunan fungsi ginjal atau memperlambatnya. Status nutrisi memiliki kaitan erat dengan angka mortalitas pada pasien dengan GGK. Dianjurkan kecukupan energy > 35 kkal/kgBB/hari, sedangkan untuk usia > 60 tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari, sedangkan untuk usia > 60 tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari. Asupan kalori harus cukup untuk mencegah terjadinya proses katabolik. Bila asupan peroral tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan nutrisis sehari-hari sesuai dengan status gizi seseorang, dapat ditambahkan nutrisi parenteral. Perbandingan kalori yang bersumber dari lemak dan karbohidrat sebesar 25%: 75%. Selain itu diberikan kombinasi dari asam amino esensial dan non esensial. Jumlah maksimal pemberian karbohidrat adalah 5 g/kgBB. Sedangkan lipid diberikan maksimal 1 g/kgBB dalam bentuk fat emulsion 10-20% sebanyak 500 mL.

Diet rendah garam, dalam bentuk protein sekitar 0,6–0,75% g/kgBB/hari,dengan protein yang memiliki nilai biologic tinggi, sebesar 0,35 g/kgBB/hari tergantung dari beratnya gangguan fungsi ginjal. Pasien dengan gagal ginjal krooni harus mengurangi asupan proeinnya karena protein berlebih akan menyebabkan terjadinya penumpukan nitrogen dan ion inorganic yang akan mengakibatkan gangguan metabolic yang disebut uremia. Dua penelitian meta-analisis membuktikan efek dari restriksi protein memperlambat progresivitas penyakit ginjal diabetik dan non-diabetik. Asupan kalori yang cukup sekitar 35 kkal/kgBB.

30

Page 31: Portfolio Ckd

PrognosisPenyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk, kecuali jika dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progesivitas dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala, sehingga penanganannya seringkali terlambat.

Pendamping, Pendamping,

dr. Lince Holsen dr. Clara Yosephine

31