ckd & hd.docx
TRANSCRIPT
HEMODIALISA
A. DEFINISI
Hemodialisa berasal dari bahas Yunani hemo berarti darah dan dialisis berarti pemisahan atau filtrasi. Secara klinis hemodialisis adalah suatu proses pemisahan zat-zat tertentu (toksik) dari darah melalui membran semipermeabel buatan (artificial) di dalam ginjal buatan yang disebut dialiser, dan selanjutnya dibuang melalui cairan dialisis yang disebut dialisat.
Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin di luar tubuh yang disebut dialyzer. Prosedur ini memerlukan jalan masuk ke aliran darah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka dibuat suatu hubungan buatan diantara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan.
B. Fungsi
1. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat.
2. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara darah dan bagian
cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dalam arus darah dan tekanan negatif
(penghisap) dalam kompartemen dialisat (proses ultrafiltrasi).
3. Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh.
4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
Ada 2 metode dialisa, yaitu hemodialisa dan dialisa peritoneal. Pada hemodialisa,
darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan dipompa ke dalam mesin yang akan menyaring
zat-zat racun keluar dari darah dan kemudian darah yang sudah bersih dikembalikan lagi ke
dalam tubuh penderita. Jumlah total cairan yang dikembalikan dapat disesuaikan.
Pada dialisa peritoneal, cairan yang mengandung campuran gula dan garam khusus
dimasukkan ke dalam rongga perut dan akan menyerap zat-zat racun dari jaringan. Cairan
tersebut kemudian dikeluarkan lagi dan dibuang.
C. INDIKASI
1. Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk sementara sampai fungsi ginjalnya pulih.
2. Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi:a. Hiperkalemia
b. Asidosis
c. Kegagalan terapi konservatif
d. Kadar ureum / kreatinin tinggi dalam darah
e. Kelebihan cairan
f. Mual dan muntah hebat
D. Prinsip Hemodialisa
1. Akses Vaskuler :
Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik biasanya
memiliki akses permanent seperti fistula atau graf sementara. Akut memiliki akses
temporer seperti vascoth.
2. Membran semi permeable
Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk mengadakan kontak
diantara darah dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi.
3. Difusi
Dalam dialisat yang konvensional, prinsip mayor yang menyebabkan pemindahan
zat terlarut adalah difusi substansi. Berpindah dari area yang konsentrasi tinggi ke area
dengan konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi tercipta antara darah dan dialisat yang
menyebabkan pemindahan zat pelarut yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang
dibutuhkan.
4. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan
mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan tersebut.
5. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai ultrafiltrasi artinya
adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga tipe dari tekanan
dapat terjadi pada membrane :
a. Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan dalam
membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan resisten
vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan positip “mendorong”
cairan menyeberangi membrane.
b. Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membrane oleh
pompa pada sisi dialisat dari membrane tekanan negative “menarik” cairan
keluar darah.
c. Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang
berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut. Larutan
dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari larutan lain
dengan konsentrasi yang rendah yang menyebabkan membrane permeable
terhadap air.
E. PERALATAN
1. Dialiser atau Ginjal Buatan
Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan kompartemen darah dan
dialisat. Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur fisik dan tipe membran yang digunakan untuk
membentuk kompartemen darah. Semua factor ini menentukan potensi efisiensi dialiser, yang
mengacu pada kemampuannya untuk membuang air (ultrafiltrasi) dan produk-produk sisa
(klirens).
2. Dialisat atau Cairan dialysis
Dialisat atau “bath” adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama dari serum
normal. Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air keran dan bahan kimia disaring.
Bukan merupakan system yang steril, karena bakteri terlalu besar untuk melewati membran dan
potensial terjadinya infeksi pada pasien minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat
menyebabkan reaksi pirogenik, khususnya pada membran permeable yang besar, air untuk
dialisat harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh pabrik
komersial. Bath standar umumnya digunakan pada unit kronis, namun dapat dibuat variasinya
untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu.
3. Sistem Pemberian Dialisat
Unit pemberian tunggal memberikan dialisat untuk satu pasien: system pemberian
multiple dapat memasok sedikitnya untuk 20 unit pasien. Pada kedua system, suatu alat
pembagian proporsi otomatis dan alat pengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol
rasio konsentrat-air.
4. Asesori Peralatan
Piranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dialysis meliputi pompa darah,
pompa infus untuk pemberian heparin, alat monitor untuk pendeteksi suhu tubuh bila terjadi
ketidakamanan, konsentrasi dialisat, perubahan tekanan, udaara, dan kebocoran darah.
5. Komponen manusia
6. Pengkajian dan penatalaksanaan
F. PROSEDUR HEMODIALISA
Setelah pengkajian pradialisis, mengembangkan tujuan dan memeriksa keamanan
peralatan, perawat sudah siap untuk memulai hemodialisis. Akses ke system sirkulasi dicapai
melalui salah satu dari beberapa pilihan: fistula atau tandur arteriovenosa (AV) atau kateter
hemodialisis dua lumen. Dua jarum berlubang besar (diameter 15 atau 16) dibutuhkan untuk
mengkanulasi fistula atau tandur AV. Kateter dua lumen yang dipasang baik pada vena
subklavikula, jugularis interna, atau femoralis, harus dibuka dalam kondisi aseptic sesuai dengan
kebijakan institusi.
Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh pompa darah.
Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser diperuntukkan sebagai aliran “arterial”, keduanya
untuk membedakan darah yang masuk ke dalamnya sebagai darah yang belum mencapai dialiser
dan dalam acuan untuk meletakkan jarum: jarum “arterial” diletakkan paling dekat dengan
anastomosis AV pada vistula atau tandur untuk memaksimalkan aliran darah. Kantong cairan
normal salin yang di klep selalu disambungkan ke sirkuit tepat sebelum pompa darah. Pada
kejadian hipotensi, darah yang mengalir dari pasien dapat diklem sementara cairan normal salin
yang diklem dibuka dan memungkinkan dengan cepat menginfus untuk memperbaiki tekanan
darah. Tranfusi darah dan plasma ekspander juga dapat disambungkan ke sirkuit pada keadaan
ini dan dibiarkan untuk menetes, dibantu dengan pompa darah. Infus heparin dapat diletakkan
baik sebelum atau sesudah pompa darah, tergantung peralatan yang digunakan.
Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah mengalir ke dalam
kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya pertukaran cairan dan zat sisa. Darah yang
meninggalkan dialiser melewati detector udara dan foam yang mengklem dan menghentikan
pompa darah bila terdeteksi adanya udara. Pada kondisi seperti ini, setiap obat-obat yang akan
diberikan pada dialysis diberikan melalui port obat-obatan. Penting untuk diingat, bagaimanapun
bahwa kebanyakan obat-obatan ditunda pemberiannya sampai dialysis selesai kecuali memang
diperintahkan.
Darah yang telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui “venosa” atau selang
postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri dengan mengklem darah
dari pasien, membuka selang aliran normal salin, dan membilas sirkuit untuk mengembalikan
darah pasien. Selang dan dialiser dibuang kedalam perangkat akut, meskipun program dialisis
kronik sering membeli peralatan untuk membersihkan dan menggunakan ulang dialiser.
Tindakan kewaspadaan umum harus diikuti dengan teliti sepanjang tindakan dialysis
karena pemajanan terhadap darah. Masker pelindung wajah dan sarung tangan wajib untuk
digunakan oleh perawat yang melakukan hemodialisis.
G. Pedoman Pelaksanaan Hemodialisa
1. Perawatan sebelum hemodialisa
a. Sambungkan selang air dengan mesin hemodialisa
b. Kran air dibuka
c. Pastikan selang pembuang air dan mesin hemodialisis sudah masuk kelubang atau
saluran pembuangan
d. Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak
e. Hidupkan mesin
f. Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit
g. Matikan mesin hemodialisis
h. Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat
i. Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin hemodialisis
j. Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap)
2. Menyiapkan sirkulasi darah
a. Bukalah alat-alat dialysis dari set nya
b. Tempatkan dializer pada tempatnya dan posisi “inset” (tanda merah) diatas dan posisi
“outset” (tanda biru) di bawah.
c. Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung “inset”dari dializer.
d. Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung “out set” dari dializer dan tempatkan
buble tap di holder dengan posisi tengah..
e. Set infus ke botol NaCl 0,9% - 500 cc
f. Hubungkan set infus ke slang arteri
g. Bukalah klem NaCl 0,9%, isi slang arteri sampai ke ujung slang lalu diklem.
h. Memutarkan letak dializer dengan posisi “inset” di bawah dan “out set” di atas,
tujuannya agar dializer bebas dari udara.
i. Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin
j. Buka klem dari infus set ABL, VBL
k. Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/menit, kemudian naikkan
secara bertahap sampai dengan 200 ml/menit.
l. Isi bable-trap dengan NaCl 0,9% sampai ¾ cairan
m. Berikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengalirkan udara dari dalam
dializer, dilakukan sampai dengan dializer bebas udara (tekanan lebih dari 200
mmHg).
n. Lakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak 500 cc yang terdapat
pada botol (kalf) sisanya ditampung pada gelas ukur.
o. Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru
p. Sambungkan ujung biru VBL dengan ujung merah ABL dengan menggunakan
konektor.
q. Hidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dializer baru 15-20 menit untuk
dializer reuse dengan aliran 200-250 ml/menit.
r. Kembalikan posisi dializer ke posisi semula di mana “inlet” di atas dan “outlet” di
bawah.
s. Hubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10 menit, siap untuk
dihubungkan dengan pasien )soaking.
3. Persiapan pasien
a. Menimbang berat badan
b. Mengatur posisi pasien
c. Observasi keadaan umum
d. Observasi tanda-tanda vital
e. Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya mempergunakan
salah satu jalan darah/blood akses seperti di bawah ini:
1) Dengan interval A-V shunt / fistula simino
2) Dengan external A-V shunt / schungula
3) Tanpa 1 – 2 (vena pulmonalis)
H. Intrepretasi Hasil
Hasil dari tindakan dialysis harus diintrepretasikan dengan mengkaji jumlah cairan yang
dibuang dan koreksi gangguan elektrolit dan asam basa. Darah yang diambil segera setelah
dialysis dapat menunjukkan kadar elektrolit, nitrogen urea, dan kreatinin rendah palsu. Proses
penyeimbangan berlangsung terus menerus setelah dialysis, sejalan perpindahan zat dari dalam
sel ke plasma.
I. Komplikasi
1. Ketidakseimbangan cairan
a. Hipervolemia
b. Ultrafiltrasi
c. Rangkaian Ultrafiltrasi (Diafiltrasi)
d. Hipovolemia
e. Hipotensi
f. Hipertensi
g. Sindrom disequilibrium dialysis
2. Ketidakseimbangan Elektrolit
a. Natrium serum
b. Kalium
c. Bikarbonat
d. Kalsium
e. Fosfor
f. Magnesium
3. Infeksi
4. Perdarahan dan Heparinisasi
5. Troubleshooting
a. Masalah-masalah peralatan
b. Aliran dialisat
c. Konsentrat Dialisat
d. Suhu
e. Aliran Darah
f. Kebocoran Darah
g. Emboli Udara
6. Akses ke sirkulasi
a. Fistula Arteriovenosa
b. Ototandur
c. Tandur Sintetik
d. Kateter Vena Sentral Berlumen Ganda
CKD (Chronic Kidney Disease)
A. Definisi
CKD atau biasa dikenal sebagai gagal ginjal kronik adalah progresifitas lambat dari fungsi
ginjal selama beberapa tahun yang akhirnya pasien memiliki gagal ginjal permanen. Menurut
Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI), gagal ginjal kronik adalah kerusakan pada
organ ginjal dimana terjadi penurunan tingkat filtraasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate -
GFR) kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 dalam kurun waktu 3 bulan atau lebih.
B. Etiologi
CKD terjadi setelah berbagai macam penyakit merusak nefron ginjal. Sebagian besar
merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral, antara lain : infeksi, penyakit
peradangan, penyakit vaskuler hipertensif, gangguan jaringan penyambung, gangguan kongenital
dan herediter, penyakit metabolik, nefropati obstruktif.
C. Patofisiologi
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari penurunan
fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya diekresikan ke dalam urin
tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang mempengarui sistem tubuh. Semakin
banyak timbunan produk sampah, maka setiap gejala semakin meningkat, sehingga
menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan
jumlah glomerulus yang berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah
yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam
untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya filtrasi glomelurus atau akibat tidak
berfungsinya glomeluri klirens kreatinin. Sehingga kadar kreatinin serum akan meningkat selain
itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator
paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN
tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi juga oleh masukan protein dalam
diet, katabolisme dan medikasi seperti steroid. Pasien lain
mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan
hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin
memperburuk status uremik.
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan muatan asam (H+)
yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresi
amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan
asam organik lain juga terjadi.
Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menurun dan anemia
terjadi disertai sesak napas, angina dan keletihan. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat
memendekkan usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami
perdarahan karena status pasien, terutama dari saluran gastrointestinal sehingga terjadi anemia
berat atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah subtansi normal yang diproduksi oleh ginjal untuk
menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.
Abnormalitas utama yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan Bare (2001) adalah
gangguan metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki hubungan saling timbal balik,
jika salah satunya meningkat yang lain menurun. Penurunan LFG menyebabkan peningkatan
kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar serum menyebabkan penurunan sekresi
parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun pada CKD, tubuh tidak berespon secara normal
terhadap peningkatan sekresi parathormon, dan akibatnya kalsium di tulang menurun,
menyebabkan perubahan pada tulang dan menyebabkan penyakit tulang, selain itu metabolik
aktif vitamin D (1,25 dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat didalam ginjal menurun,
seiring dengan berkembangnya CKD terjadi penyakit tulang uremik dan sering disebut
Osteodistrofienal. Osteodistrofienal terjadi dari perubahan komplek kalsium, fosfat dan
keseimbangan parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal juga berkaitan dengan gangguan yang
mendasari ekresi protein dan urin, dan adanya hipertensi. Pasien yang mengekresikan secara
signifikan sejumlah protein atau mengalami peningkatan tekanan darah cenderung akan cepat
memburuk dari pada mereka yang tidak mengalimi kondisi ini.
Gambar 1. Patogenesis Chronic kidney disease dan komplikasinya terhadap sistem kardiovaskuler. Pada PGK stage 1 dan 2 terdapat hubungan yang erat antara merokok, obesitas, hipertensi, dislipidemia, homocysteinemia, inflamasi kronik dengan faktor resiko, nefropati primer, dan diabetes mellitus. Hal ini dapat menyebabkan suatu inflamasi kronik pada sistem kardiovaskuler. PGK yang memburuk dimana telah terjadi kerusakan glumerulus atau jaringan interstisial disebut dengan PGK stage 3-4. Pada keadaan ini akan terjadi anemia, toksin uremik, abnormalitas dari kalsium dan fosfat, dan overload natrium dan air. Hal ini juga dapat menyebabkan inflamasi kronik pada sistem kardiovaskuler. Pada PGK stage 5 terjadi sklerosis dan fibrosis pada glomerulus. Hal ini dapat meningkatkan terjadinya inflamasi kronik pada sistem kardiovaskuler dan stimulasi monosit. Hal ini akan meningkatkan resistensi insulin, metabolisme otot, dan adipositokin. Selain itu, stimulasi monosit juga akan menyebabkan reaktan fase akut, menurunkan appetite, remodeling tulang, dan disfungsi endotel (Dikutip dari Nitta, 2011).
C. Manifestasi klinis
1. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak
jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus
(Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer
dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik
lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).
2. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat
bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari
akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering
ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan,
sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya
(Waspadji, 1996).
3. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi
primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut
juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
4. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang
semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang
tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik,
kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan
kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah
penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar
baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun (Suhardjono, 1998).
D. Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi,
obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit
diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation,
2009).
E. Klasifikasi
Pada tahun 2002, KDOQI menerbitkan klasifikasi tahapan penyakit gagal ginjal kornis
sebagai berikut:
1. Tahap 1 : kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat (>90ml/min/1,73m2)
2. Tahap 2 : penurunan ringan pada GFR (60-89 ml/min/1,73m2)
3. Tahap 3 : penurunan moderat pada GFR (30-59 ml/min/1,73m2)
4. Tahap 4 : penurunan berat pada GFR (15-29 ml/min/1,73m2)
5. Tahap 5 : gagal ginjal (GFR <15 ml/min/1,73m2 atau dialisis)
Pada tahap 1 dan tahap 2 penyakit gagal ginjal kronis, GFR saja tidak dapat dilakukan
diagnosis. Tanda lain dari kerusakan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin
atau kelainan pada studi pencitraan, juga harus ada dalam menetapkan diagnosis tahap 1 dan
tahap 2 penyakit ginjal kronis.
Pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 1-3 umunya asimptomatik, manifestasi klinis
biasanya muncul dalam tahap 4-5. Diagnosis dini, pengobatan dan penyebab atau tindakan
pencegahan sekunder sangat penting pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Hal ini dapat
menunda atau menghentikan kemungkinan atau kemajuan gagal ginjal.
F. Gambaran klinik
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,
kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).
1. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada
pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100
mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
2. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik
terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih belum jelas, diduga
mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia
inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-
keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan
antibiotika.
3. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal
kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal
kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan
atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi
dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal
kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
4. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah
tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan
kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
5. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal
kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi
mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
6. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak
jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan
atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari
dasar kepribadiannya (personalitas).
7. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung. Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan
bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).
G. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif,
meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme
secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin
azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif
nitrogen.
b) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama,
yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara
status gizi.
c) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis
mencapai 2 L per hari.
d) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan
penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
a) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia).
Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi
alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum
bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi
alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat
menyebabkan kematian mendadak.
c) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada CKD.
Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari CKD. Keluhan
gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat,
medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan
transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan
malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap
akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan
paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah
persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi
elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m イ, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat
(Sukandar, 2006).
b) Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat
ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang
tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal
terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity
dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi
untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
c) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan
program transplantasi ginjal, yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal,
sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
B. Fokus Pengkajian
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada Doenges (2001),
serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang mengalami
CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti proses pengobatan,
penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan
lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena kebiasaan
kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang tidak menyediakan cukup air
minum / mengandung banyak senyawa / zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo nefritis,
hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus urinarius bagian
bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pengkajian pola fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit parah.
Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter. Tandanya adalah
pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung kenapa kondisinya seprti ini
meski segala hal yang telah dilarang telah dihindari.
b. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6
bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.
c. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya adalah
penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah atau
tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
d. Aktifitas dan latian.
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak dapat
menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktivitas dibantu.
e. Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata.
Tandanya adalah pasien terliat sering menguap.
f. Pola persepsi dan koknitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan kesadaran
seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan jelas.
g. Pola hubungan dengan orang lain.
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai
terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup, komunikasi
tidak jelas.
h. Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan dalam
hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat berhubungan, penurunan
kualitas hubungan.
i. Pola persepsi diri.
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema, citra
diri jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan percaya diri.
j. Pola mekanisme koping.
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan dengan
tepat, mudah terpancing emosi.
k. Pola kepercayaan.
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah
meninggalkan perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan agama
seperti biasanya.
5. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari
compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau
terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga,
hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan pecah-
pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu
napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru (rongkhi
basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan
Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia,
dan terjadi perikarditis.
6. Pemeriksaan penunjang.
a. Pemeriksaan Laboratorium :
1. Urin
a) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria), atau urine tidak ada (anuria).
b) Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus / nanah,
bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan menunjukkan
adanya darah, miglobin, dan porfirin.
c) Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal
berat).
d) Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, amrasio
urine / ureum sering 1:1.
2. Kliren kreatinin mungkin agak menurun.
3. Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
4. Protein : Derajat tinggi proteinuria ( 3-4+ ), secara kuat menunjukkan kerusakan
glomerulus bila sel darah merah (SDM) dan fregmen juga ada.
5. Darah
a) Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga
tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
b) Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang
dari 7-8 g/dL.
c) SDM (Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin seperti
pada azotemia.
d) GDA (Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi
karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksekresi hidrogen dan
amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCO2
menurun.
e) Natrium serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau normal
(menunjukkan status dilusi hipernatremia).
f) Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan selular
(asidosis), atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir ,
perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau lebih
besar. Magnesium terjadi peningkatan fosfat, kalsium menurun. Protein
(khuusnya albumin), kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau
penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial. Osmolalitas serum
lebih besar dari 285 mosm/kg, sering sama dengan urine.
b. Pemeriksaan Radiologi
1. Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista,
obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis
histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
5. KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih dan
adanya obtruksi (batu).
6. Arteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan megidentifikasi ekstravaskuler,
massa.
7. Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis ginjal.
8. Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran kandung kemih, refluk
kedalam ureter, dan retensi.
9. Pada pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat ketat dengan diit tinggi kalori
dan rendah karbohidrat. Serta dilakukan pembatasan yang sangat ketat pula pada asupan
cairan yaitu antara 500-800 ml/hari.
10. Pada terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi obat anti hipertensi, obat
diuretik, dan atrapit yang berguna sebagai pengontol pada penyakit DM, sampai
selanjutnya nanti akan dilakukan dialisis dan transplantasi.
Perencanaan keperawatanNo Diagnosa
(NANDA)NOC NIC
1 Excessive fluid volume b.d gangguan mekanisme regulasi.
Definisi:Peningkatan retensi cairan isotonik.
Batasan karakteristik:-gangguan tekanan darah-gangguan pola nafas-penurunan Hb
Fluid balanceSetelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam, cairan tubuh pasien seimbang dengan indikator:
Indikator Awal TargetTekanan darah 2 4Intake dan output 24 jam
3 5
BB stabil 2 3Turgor kulit 3 4Kelembaban membran mukosa
3 5
Kehausan 3 4Edema perifer 3 4
Fluid/ electrolyte management- monitor serum elektrolit abnormal- cek labrotarorium untuk memantau cairan/ elektrolit yang terganggu (misalnya: Hmt, BUN, protein, sodium, dan kalium)- batasi intake cairan- monitor hasil lab yang berhubungan dengan retensi cairan (misanya peningkatan BUN, penurunan Hmt)- monitor status hemodinamik- monitor tanda dan gejala retensi cairan- mencatat intake dan output setiap hari
-edema-kelemahan-ketidakseimbangan elektrolit
Pusing 3 4
Kidney functionSetelah dilakukan perawatan 3x24 jam, fungsi ginjal pasien optimal dengan kriteria hasil:
Indikator Awal TargetIntake cairan 2 4keseimbangan intake dan output 24 jam
3 4
Warna urin 3 5Proteinuria 3 4Hipertensi 3 5Kelelahan 4 5Anemia 3 4
1: severely compromised2: substantially compromised3: moderately compromised4: mildly compromisesd5: not compromised
- monitor vital sign- monitor manifestasi klinis ketidakseimbangan elektrolit- mengkaji emmbran mukosa, sklera, dan kulit sebgai indikasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (misalnya kering, sianois, jaundice)- kolaborasi medik tanda dan gejala ketidakseimbangan cairan dan elektrolit memburuk- menyiapkan pasien HD- monitor kehilangan cairan (misalnya: takipnea)
Vital signs monitoring- monitor HR, TD, RR, dan suhu- monitor TD ketika berbaring, duduk, berdiri sebelum dan sesudah perubahan posisi.- monitor TD, RR, HR sebelum, selama, dan sesudah aktivitas- monitor kualitas nadi- monitor suara paru-monitor pola nafas abnormal- monitor warna, suhu, dan kelembaban kulit- monitor sianosis perifer dan sentra
2 Activity intolerance b.d ketidakseimbangan antara kebutuhan dan supply oksigen.
Definisi:Ketidakcukupan energi fisik atau psikologis untuk mempertahankan atau memenuhi aktivitas sehari-hari.
Batasan karakteristik:-ketidaknormalan HR selama aktivitas.-kelelahan
Activity toleranceSetelah dilakukan perawatan 3x24 jam, respon fisiologis tubuh pasien dalam batas normal dengan kriterdia hasil:
Indikator Awal TargetSat O2 selama aktivitas
3 4
HR selama aktivitas
3 4
RR selama aktivitas
3 4
TD selama aktivitas
3 4
Jarak berjalan 3 4Kekuatan ekst. bawah
3 5
1: severely compromised2: substantially compromised
Activity tolerance- kolaboraasi denan fisioterapis dalam perencanaan dan minitoring program aktivitas- menentukan komitmen pasien dalam menignkatkan frekuensi dan/ atau range aktivitas- membantu pasienuntuk fokus terhadap apa yang dapat dilakukan.- membantu pasien dan keluarga untuk emngidentifikasi penurunan aktivitas- memfasilitasi aktivitas substitusi ketika pasien terbatas gerak, energi dan waktu- membantu ADL- memberikan reinforcement positif terhadap partisipasi pasien dalam kegiatan
-kelemahan umum 3: moderately compromised4: mildly compromised5: not compromised
- monitor respon emosional, fisik, psikologis dan sosial terhadap aktivitas.
3 Sleep deprivation b.d narkolepsi, ketidaknyamanan berkepanjangan.
Definisi:Periode waktu terjaga berkepanjangan tanpa tidur.
Batasan karakteristik:-gangguan konsentrasi-kelelahan-kelemahan
SleepSetelah dilakukan perawatan 3x24 jam, pasien dapat tidur berkualitas dengan kriteria hasil:
Indikator Awal TargetJam tidur 4 5Jumlah jam tidur yang teramati
4 5
Pola tidur 3 4Kualitas tidur 3 5Bed yang nyaman
3 5
Kesulitan memulai tidur
3 4
1: severely compromised2: substantially compromised3: moderately compromised4: mildly compromised5: not compromised
Sleep enhancement- Tentukan pola tidur atau aktivitas
klien- Jelaskan pentingnya tidur saat kondisi
sakit- Tentukan efek pengobatan terhadap
pola tidur klien- Monitor pola dan jumlah jam tidur
klien- Monitor pola tidur dan catat
hubungan faktor-faktor fisik (apnea saat tidur, nyeri/ ketidaknyamanan) dan faktor psikologi
- Modifikasi lingkungan- Motivasi pasien untuk tidur rutin- Fasilitasi pasien agar dapat tidur rutin- Bantu untuk mengurangi stressor dari
lingkungan- Lakukan massage atau pengaturan
posisi- Lakukan pendkes pada keluarga
Daftar Pustaka
Blackwell, Wiley. 2014. Nursing Diagnoses definitions and classification 2015-2017. United Kingdom: Blackwell.
Dochterman, J. M. & Bulecheck, G. N. 2004. Nursing Intervention Classification (NIC) fourth edition. Missouri: Mosby
Jevuska. 2012. Gagal Ginjal Kronik atau CKD: Pengertian dan klasifikasi, diakses pada 22 Desember 2014, (Online), http://www.jevuska.com/2012/10/27/gagal-ginjal-kronik-atau-ckd/.
Kidney Disease Outcomes Quality Iniatiative of The National Kidney Foundation. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. 2002.
Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M.L. & Swanson, E. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) fourth edition. Missouri: Mosby
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV, Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. US Renal Data System (USRDS). 2010. Annual Data Report: Atlas of Chronic Kidney Disease and End-Stage Renal Disease in the United States. Bethesda, Md: National Institutes of Health, National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. Hyperlink Available at: http://www.usrds.org/adr.htm.