repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/mutia...repository.uinjkt.ac.idauthor:...

106
HADHANAH AKIBAT PERCERAIAN DALAM HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN MAROKO SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: Mutia Wardah NIM: 11140440000080 Oleh: MUTIA WARDAH NIM. 11140440000080 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M / 1440 H

Upload: lythien

Post on 17-Apr-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

HADHANAH AKIBAT PERCERAIAN DALAM HUKUM KELUARGA

DI INDONESIA DAN MAROKO

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Mutia Wardah

NIM: 11140440000080

Oleh:

MUTIA WARDAH

NIM. 11140440000080

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2018 M / 1440 H

Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018
Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018
Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018
Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

v

ABSTRAK

Mutia Wardah. NIM 11140440000080. HADHANAH AKIBAT PERCERAIAN

DALAM HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN MAROKO. Program

Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, (x halaman, 86 halaman,

dan 12 lampiran)

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui hadhanah akibat perceraian di

Indonesia dan Maroko, faktor-faktor yang menyebabkan persamaan dan

perbedaan hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan Maroko, dan unsur-unsur

persamaan dan perbedaan mengenai hadhanah akibat perceraian dalam dalam

kedua sistem hukum tersebut.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan (termasuk wawancara dengan

narasumber), dengan meneliti Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan, Undang-undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak,

Kompilasi Hukum Islam, dan The Moroccan Family Code (Moudawana) Of

February 5, 2004, berbagai buku, majalah, surat kabar, dan tulisan-tulisan ilimiah

lainnya yang ada hubungannya dengan judul yang dibahas dalam skripsi ini.

Penulis juga mewawancarai Dr. H., Nasich Salam Suharto, Lc, Llm. Hakim di

Pengadilan Agama 1A Cibinong. Adapun analisis data yang dipakai dalam

penelitian ini adalah analisis komparatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum terdapat 10 hal yang

diatur dalam hadhanah akibat perceraian diantaranya yaitu kewajiban pengasuh

anak. Adanya perbedaan antara hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan

Maroko diantaranya batas usia anak boleh memilih antara ayah dan ibunya adalah

12 tahun jika di Indonesia dan 15 tahun jika di Maroko. Adapun persamaannya

diantaranya adalah mengenai kewajiban pengasuh anak. Faktor-faktor yang

menyebabkan adanya perbedaan diantaranya dari segi mazhab Indonesia

menganut mazhab Syafi’i sedangkan Maroko menganut mazhab Maliki. Lalu dari

segi politik dengan Indonesia yang menganut Civil Law System yang diwarisi dari

pemerintah kolonial Belanda dan Maroko dengan pengaruh hukum Prancis

sebagai akibat jajahannya. Adapun yang terakhir dengan adanya pergerakan

seperti di Indonesia Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) dan Himpunan

Mahasiswa Islam (HMI) yang mengajukan kembali RUU tentang perkawinan

kepada DPR RI untuk dibahas kembali dan dilaksanakan sebagai uu yang

diberlakukan untuk seluruh warga negara Indonesia. Maroko dengan permintaan

dari The Women’s Action Union (UAF) agar raja segera merevisi Undang-Undang

Hukum Keluarga tetap berlandaskan hukum Islam akan tetapi tetap sesuai dengan

hak asasi manusia tuntutan modernitas.

Kata Kunci : Hadhanah, Penerapan, Perceraian, Indonesia, Maroko

Pembimbing : Dr. H. Muchtar Ali, M. Hum.

Daftar Pustaka : 1974 s.d. 2018

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

vi

KATA PENGANTAR

Bismilahirrahmaanirrahim

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa Ta’ala

yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya serta memberikan segala

petunjuk dan kemudahahan kepada penulis sehingga atas karunia pertolongan-

Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis

panjatkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat

dan para ummat-Nya.

Dalam penulisan skripsi ini, sedikit banyak hambatan dan kesulitan

yang penulis hadapi, akan tetapi syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-

Nya, kesungguhan serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik langsung

maupun tidak langsung segala hambatan dapat diatasi sehingga pada akhirnya

skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Skripsi ini penulis persembahkan untuk motivator terhebat sepanjang

perjalanan hidup penulis, yaitu kedua orang tua penulis Drs, H. Sirojuddin SH.,

dan ibunda Hj. Yuyu Rubiasih beserta saudara-saudaraku terkasih dan tercinta

Hakimah Farhah S.Sy, SH., Zakiyah Fitratunnisa, Akbar Fariz Ramzi, dan Habib

Baqir Azfa yang tiada lelah dan bosan memberikan motivasi, bimbingan, kasih

sayangnya serta do’a, semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan

kasih saying kepada mereka semua.

Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya

kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Univeristas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag dan Indra Rahmatullah, S.HI., M.H. selaku

Ketua Program Studi dan Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

vii

3. Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum. selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk mengarahkan memotivasi

selama membimbing penulis semoga Allah SWT senantiasa memberikan

rahmat dan kasih sayangnya kepada beliau.

4. Dr. H., Nasich Salam Suharto, Lc, Llm. Hakim di Pengadilan Agama 1A

Cibinong sebagai narasumber yang telah meluangkan waktu, tenaga,

fikiran dan membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini.

5. Segenap Bapak Ibu dosen, pada lingkungan Program Studi Hukum

Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

yang telah memberikan banyak ilmu selama penulis duduk di bangku

kuliah.

6. Segenap pimpinan dan staf Perpustakaan Umum dan Perpustakaan

Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan dan

penyediaan buku-bukunya sehingga memudahkan penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

7. Sahabatku terkasih Muhammad Aris Munandar, Neng Emawati, Nida

Sriwidianti dan Hilman Fauzi yang senantiasa memberikan semangat,

canda, tawanya melewati suka duka selama di bangku perkuliahan serta

kesabaran dan kesetiaannya menemani dari awal bertemu sampai pada

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh teman-teman Hukum Keluarga 2014 yang tidak bisa saya

sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat serta kenangan

indah penulis selama di bangku perkuliahan semoga kesuksesan selalu

menyertai kita.

9. Keluarga besar UKM Bahasa-FLAT sebagai tempat penulis dalam

mengembangkan potensi diri dan menjadi tempat berbagi canda tawa dan

berbagi ilmu selama di bangku perkuliahan.

10. Sahabat-sahabat terkasih Catur Dasa. Ikmal Wafa, Riki Hanafy, Fatimah,

Anisa Rizkia dan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah

menemani penulis selama di bangku perkuliahan dengan segala kesabaran,

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

viii

kesetiaan, dan pengertiannya sampai pada penulis dapat menyelesaikan

skripsi.

Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan

dukungannya, hanya doa semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah

SWT dengan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis

khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan

saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk skripsi ini.

Bogor, 16 Oktober 2018

Penulis

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN .............................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii

LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv

ABSTRAK ......................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...........................................................1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah .....................5

C. Tujuan Penelitian ......................................................................6

D. Manfaat Penelitian ....................................................................6

E. Tinjaun (Review) Kajian Terdahulu .........................................6

F. Kerangka Teori dan Konseptual ...............................................9

G. Metode Penelitian .....................................................................10

H. Sistematika Penelitian ...............................................................13

BAB II REFORMASI HUKUM KELUARGA DI INDONESIA

DAN MAROKO

A. Reformasi Hukum Keluarga di Indonesia .................................14

B. Reformasi Hukum Keluarga di Maroko ...................................26

BAB III HAK ASUH ANAK MENURUT HUKUM

PERKAWINAN DI INDONESIA DAN MAROKO

A. Hadhanah Menurut Para Ulama Mazhab .................................40

B. Hadhanah Menurut Peraturan Perundang-undangan

Hukum Keluarga di Indonesia ..................................................50

C. Hadhanah Menurut Peraturan Perundang-undangan

Hukum Keluarga di Maroko .....................................................52

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

x

BAB IV HADHANAH AKIBAT PERCERAIAN DI INDONESIA

DAN MAROKO

A. Pengaturan Hadhanah Akibat Perceraian di Indonesia dan

Maroko ......................................................................................67

B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Adanya Persamaan dan

Perbedaan Hadhanah Akibat Perceraian di Negara

Indonesia dan Maroko ...............................................................70

C. Unsur-Unsur Persamaan dan Perbedaan Mengenai

Hadhanah Akibat Perceraian di Indonesia dan Maroko ...........75

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...............................................................................81

B. Saran-saran ................................................................................83

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................84

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...............................................................................

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai akibat dari perceraian seringkali hadhanah menjadi hal yang

sering diperselisihkan antara suami dan istri. Hal ini menyebabkan hak anak

menjadi terabaikan dan penguasaan yang tidak jelas dengan berbagai alasan.

Padahal, hak-hak anak sudah dilindungi dalam Undang-undang Dasar

1945 selanjutnya disebut UUD 1945 pada Amandemen ke-4 sebagai landasan

konstitusional yang secara tegas telah mengatur tentang pentingnya

perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk didalamnya hak-hak

perempuan dan anak-anak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 B ayat

(2), yang menyebutkan bahwa Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,

tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi”.1

Ini berarti bahwa semua hak termasuk didalamnya hak-hak anak sudah

diatur salah satunya dalam UUD 1945 sehingga pengabaian hak anak dan

penguasaan yang tidak jelas tidak seharusnya terjadi.

Oleh karena itu orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak

mereka dengan sebaiknya. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 45 Undang-

undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan selanjutnya disebut UUP bahwa

Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-

baiknya dan berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri

kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua

putus.2

1 Undang-undang Dasar 1945, (DAP Publsher: Jakarta, 2014), h. 32.

2 Undang-Undang Pokok Perkawinan, (Bumi Aksara: Jakarta, 1989), h. 14.

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

2

Pasal ini menjelaskan bahwa orang tua harus memelihara dan

mendidik anak-anak mereka sampai anak itu kawin meskipun perkawinan

antara kedua orang tua putus.

Adapun jika terjadi perceraian maka seperti yang diatur dalam Intruksi

Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 105,

bahwa dalam hal terjadi perceraian Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz

atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, jika sudah mumayyiz

diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai

pemegang hak pemeliharaannya dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh

ayahnya.3

Jadi kita dapat melihat bahwa terdapat pembagian yang jelas kepada

siapa anak harus harus diasuh dan dipelihara tergantung dari apakah si anak

itu sudah mumayyiz atau belum.

Perlindungan dan jaminan hak pemeliharaan terhadap anakpun

semakin diperkuat dengan ditetapkannya UU No. 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Adapun UU ini telah diamandemen dengan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016

Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak.4

Hal ini semakin memperkuat hak-hak pemeliharaan terhadap anak

karena sudah diatur dalam UUD 1945, UU Perkawinan, Kompilasi Hukum

Islam, bahkan dalam UU yang khusus membahas tentang perlindungan anak.

Lalu penjabaran tentang hak-hak anak setelah terjadinya perceraian

semakin dikuatkan pula dalam pasal 14 dalam Undang-Undang No. 35 tahun

2014 tentang perlindungan anak yang pada prinsipnya merincikan tentang

3 Departemen Agama R.I., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:

Departemen Agama R.I., 1997), h. 50. 4 Khoiruddin Nasution, Perlindungan Terhadap Anak Dalam Hukum Keluarga

Islam Indonesia, (Al-'Adalah Vol. XIII, No. 1, Juni 2016), h. 2.

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

3

hak-hak anak setelah terjadi perceraian seperti berhak bertemu langsung dan

berhubungan pribadi, mendapatkan pengasuhan dan hak anak lainnya.

Akhir-akhir ini seiring dengan perkembangan peradaban dan kemajuan

teknologi, arus informasi diseluruh penjuru dunia menjadi terbuka dan cepat

beredar yang menimbulkan kesadaran akan pentingnya penegakan Hak Asasi

Manusia (HAM), kesetaraan gender, dan perlindungan anak.5

Hadhanah pun berkaitan dengan Hak Asasi Manusia dan kesetaraan

gender karena kecenderungan hukum yang tidak memberikan hadhanah

kepada wanita yang menikah kembali.

Seperti Mukhtar Zamzami dalam artikelnya menjelaskan bahwa

hukum Keluarga yang ideal adalah hukum keluarga yang memerhatikan

aspek-aspek penegakan HAM, kesetaraan gender, dan perlindungan anak.

Ketiga aspek ini adalah intisari dari ajaran-ajaran Islam jika diukur dengan

kondisi peradaban manusia saat awal munculnya Islam. 6

Seperti yang sudah dijelaskan di atas tentang perlindungan hak-hak

anak, sehingga pantaslah perlindungan anak termasuk dalam aspek-aspek

penegakan hukum keluarga yang ideal.

Salah satu Negara yang melakukan pembaharuan hukum keluarga

adalah Maroko. Mounira M. Charrad dalam artikelnya menjelaskan bahwa:

We now turn to Morocco, which comes second after Tunisia in the

Arab world in implementing a family law reform that gave women greater

rights in family life. Following its independence from French colonial rule in

1956, Morocco initially adopted a socially conservative policy towards family

law by promulgating the Muddawwana or Code of Personal Status of 1957-

5 Mukhtar Zamzami, “Pembaruan Hukum Keluarga Dalam Perspektif Politik

Hukum Islam di Indonesia”., Mimbar Hukum dan Peradilan. (Jakarta: Pusat

Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), 2009), h. 114. 6 Mukhtar Zamzami, “Pembaruan Hukum Keluarga Dalam Perspektif Politik

Hukum Islam di Indonesia”., Mimbar Hukum dan Peradilan. , h. 115.

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

4

58. The Mudawwana was essentially a reiteration of Maliki family law left in

place during French colonization.7

Artinya: Sekarang kita beralih ke Maroko yang merupakan negara kedua

setelah Tunisia di dunia Arab yang mengimplementasikan perubahan hukum

keluarga yang memberikan wanita hak yang lebih baik dalam kehidupan

berkeluarga. Setelah kemerdekaannya dari pemerintahan kolonial Prancis pada

tahun 1956, Maroko mengadopsi sebuah kebijakan sosial konservatif terhadap

hukum keluarga dengan mengumumkan Moudawana atau Undang-Undang

Hukum Keluarga Tahun 1957-1958. Moudawana pada dasarnya adalah

sebuah pengulangan Hukum keluarga bermadzhab Maliki yang masih berlaku

selama penjajahan Prancis.

Dalam Undang-undang Hukum Keluarga di Maroko pasal 164-165

Moudawana 2004 dalam hal hadhanah dijelaskan bahwasanya hadhanah

adalah kewajiban orang tua selama pernikahannya masih berjalan dan jika di

antara orang yang berhak mendapatkan hak asuh tidak memenuhi syarat maka

pengadilan dapat memberi hak asuh kepada anggota keluarga yang lain atau

institusi yang ditunjuk.8

Intisarinya adalah hadhanah merupakan kewajiban orang tua selama

pernikahan masih berjalan. Akan tetapi jika terjadi perceraian dan jika orang

yang diberi hak asuh tidak bisa atau tidak memenuhi syarat maka pengadilan

dapat memberi hak asuh kepada anggota keluarga yang lain atau institusi yang

ditunjuk.

Hal inilah yang penulis anggap sebagai sesuatu yang menarik untuk

diteliti apa sebenarnya faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembentukan

hukum keluarga khususnya hadhanah di Indonesia dan Maroko sehingga akan

diangkat sebagai kajian dalam bentuk skripsi yang berjudul “HADHANAH

AKIBAT PERCERAIAN DALAM HUKUM KELUARGA DI

INDONESIA DAN MAROKO”

7 Mounira M. Charrad, Family Law Reforms In The Arab World:Tunisia And

Morocco, (Good Practices in Family Policy Making:Family Policy Development,

Monitoring and Implementation: Lessons Learnt, diselenggarakan sebagai bagian dari

persiapan untuk ulang tahun kedua puluh tahun internasioanal keluarga 2014),h. 6. 8 Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

5

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

a. Bagaimana pengaturan hadhanah yang disebabkan perceraian di

Negara Indonesia dan Maroko?

b. Apa saja perbedaan mengenai hadhanah yang disebabkan perceraian

antara Negara Indonesia dan Maroko?

c. Apa yang melatarbelakangi perbedaan mengenai hadhanah yang

disebabkan perceraian antara Negara Indonesia dan Maroko?

2. Pembatasan Masalah

Penulis membatasi permasalahan mengenai hadhanah yang

disebabkan perceraian antara Negara Indonesia dan Maroko. Berdasarkan

latar belakang dan permasalahan di atas maka penulis ingin melakukan

analisis perbandingan terhadap peraturan perundang-undangan hukum

keluarga khususnya tentang hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan

Maroko.

3. Perumusan Masalah

Penulis merumuskan permasalahan yaitu bagaimana hadhanah yang

disebabkan oleh perceraian antara Negara Indonesia dan Maroko dengan

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana pengaturan hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan

Maroko?

b. Apa faktor-faktor yang menyebabkan persamaan dan perbedaan

hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan Maroko?

c. Apa unsur-unsur persamaan dan perbedaan mengenai hadhanah akibat

perceraian dalam dalam kedua sistem hukum tersebut?

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

6

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hadhanah yang

disebabkan oleh perceraian antara Negara Indonesia dan Maroko dengan hasil

akhir penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan hadhanah akibat perceraian di Indonesia

dan Maroko.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan persamaan dan

perbedaan hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan Maroko.

3. Untuk mengetahui unsur-unsur persamaan dan perbedaan mengenai

hadhanah akibat perceraian dalam dalam kedua sistem hukum tersebut.

D. Manfaat Penelitian

1. Penulisan skripsi ini diharapkan mampu mengembangkan pengetahuan,

menambah khazanah keilmuan di bidang hukum keluarga khususnya

bidang hadhanah.

2. Penelitian ini diharapkan akan menjadi pelengkap penelitian-penelitian

sebelumnya.

3. Memberikan sumbangan kepada mahasiswa atau siapa saja yang konsen

dengan permasalahan ini.

4. Memberikan saran kepada pemerintah ketika nanti akan merevisi Undang-

Undang Perkawinan di Indonesia khususnya di bidang hadhanah.

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

1. Skripsi Ahmad Firdaus, Hak Hadhanah Bagi Anak yang Belum Mumayyiz

(Analisis Putusan No. 184/pdt.G/PA. Dpk). Program Studi Hukum

Keluarga 2015. Skripsi ini memaparkan tentang pengaturan hadhanah

bagi anak yang belum mumayyiz yang jatuh kepada bapak dalam putusan

perkara hadhanah di Pengadilan Agama Depok perkara No.

184/pdt.G/PA. Dpk. yang dilihat berdasarkan pertimbangan hakim.

Adapun skripsi ini membahas mengenai hadhanah jika terjadi perceraian

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

7

dengan membandingkan peraturan perundang-undangan Indonesia dan

Maroko.

2. Skripsi Diana Yulita Sari, Hak Asuh Anak di bawah Umur Akibar

Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak (Analisis Putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor

349 K/AG/2006). Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum 2010.

Skripsi ini memaparkan tentang hak asuh anak di bawah umur akibat

perceraian menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak dan berdasarkan analisa dalam putusan perkara

Mahkamah Agung No. 349 K/AG/2006. Adapun skripsi ini membahas

mengenai hadhanah jika terjadi perceraian dengan membandingkan

peraturan perundang-undangan Indonesia dan Maroko yang dalam

peraturan perundang-undangan Indonesia dibahas menurut Undang-

Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, Inpres Kompilasi Hukum Islam

No. 1 tahun 1991, dan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak No. 17

tahun. Adapun dalam peraturan perundang-undangan Maroko dibahas

dalam The Moroccan Family Code (Moudawana) Tahun 2004.

3. Skripsi Mahrur Rahmansyah, Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua yang

Bercerai karena Berbeda Agama (Analisis Keputusan Ijtima’ Ulama

Komisi Fatwa Se-Indonesia Tahun 2015). Program Studi Perbandingan

Mazhab Hukum 2016. Skripsi ini mengemukakan seputar permasalahan

hak asuh anak bagi orang tua yang bercerai akibat berbeda agama yang

didasarkan pada Analisis Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-

Indonesia Tahun 2015. Adapun skripsi ini membahas mengenai studi

komparasi peraturan perundangan-undangan tentang hadhanah akibat

perceraian antara Negara Indonesia dan Maroko.

4. Skripsi Siti Munawaroh, Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak

karena Istri Mafqud (Analisa Yurisprudensi No: 881/Pdt.G/2008/PA.JB).

Program Studi Hukum Keluarga 2011. Skripsi ini membahas mengenai

dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan pelimpahan hak asuh anak

kepada bapak karena istri mafqud dalam pokok bahasan analisis putusan

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

8

Pengadilan Agama Jakarta Barat No. 881/Pdt.G/2008/PA.JB). Adapun

skripsi ini membahas mengenai hadhanah akibat perceraian dalam pokok

bahasan peraturan perundang-undangan Indonesia dan Maroko.

5. Skripsi Hakimah Farhah, Hak Asuh Anak Dalam Hukum Keluarga di

Indonesia dan Tunisia. Program Studi Hukum Keluarga 2016. Skripsi ini

memaparkan tentang hak asuh anak menurut hukum perkawinan di

Indonesia dan Tunisia secara umum baik ketika masih dalam ikatan

perkawinan ataupun ketika bercerai, faktor-faktor yang mempengaruhi

pembentukan peraturan perundang-undangannya, dan segi persamaan dan

perbedaan anatara keduanya. Adapun skripsi ini membahas mengenai

hadhanah menurut hukum perkawinan Indonesia dan Maroko akibat

perceraian, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukannya, dan

persaman dan perbedaan antara keduanya.

6. Paper Abbas Hadjian, The Children of Shari‟a., Los Angeles Lawyer 36.2

(2013): 32-39. Artikel ini membahas mengenai status hukum dan hak asuh

anak secara umum di 5 Negara Islam yaitu Bangladesh, Indonesia, Iran,

Maroko, Arab Saudi, dan bagaimana undang-undang hak asuh anak pada

Negara-negara tersebut berangkat dari tradisi masing-masing. Adapun

penelitian penulis mengkaji mengenai status hukum dan hadhanah di

Indonesia dan Maroko akibat perceraian dan bagaimana peraturan

perundang-undangan tentang hadhanah di Indonesia dan Maroko.

7. Paper Leila Hanafi, The Implementation Of Morocco‟s 2004 Family Code

Moudawana: Stock-Taking & Recommendations, The Danish Centre for

Research and Information on Gender, Equality, and Diversity. Artikel ini

membahas mengenai penerapan Moudawana sebagai Undang-Undang

Hukum Keluarga di Maroko tahun 2004 secara umum. Adapun skripsi ini

membahas mengenai peraturan perundangan-undangan tentang Hukum

Keluarga di Negara Indonesia dan Maroko khususnya mengenai hadhanah

akibat perceraian.

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

9

F. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Penulis membahas beberapa definisi, diantaranya:

a. Pembaharuan Hukum Islam

Pembaharuan hukum Islam dalam berbagai aspek sudah terjadi

dalam kurun waktu yang lama, berproses dengan kondisi dan situasi

perkembangan zaman. Hal ini disebabkan karena hukum-hukum yang

terkandung dalam kitab-kitab fikih klasik sudah tidak mampu lagi

mengakomodir persoalan-persoalan baru yang berkembang.9

Maka diperlukan pembaharuan agar hukum-hukum yang ada

dapat diterapkan dan hasil penerapannya dirasa berpengaruh karena

sesuai dengan tuntutan zaman.

b. Hadhanah

Hadhanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan

mendidik orang yang belum mumayiz atau orang yang dewasa tetapi

kehilangan akal (kecerdasan berpikirnya. Munculnya persoalan

hadhanah tersebut ada kalanya disebabkan oleh perceraian atau

karena meninggal dunia di mana anak belum dewasa dan tidak mampu

mengurus diri mereka, oleh karena itu diperlukan adanya orang-orang

yang bertanggung jawab untuk merawat dan mendidik anak tersebut.10

Adapun skripsi ini akan membahas persoalan hadhanah yang

disebabkan oleh perceraian. Hal ini disebabkan karena tidak jarang

bila antar mantan suami dan mantan isteri, saling berebut

mendapatkan hadhanah mereka. Seringkali dalam kenyataannya salah

satu orang wali saja yang mendapatkan hak perwalian anak dan

ternyata tidak dapat melaksanakan kewajibannya, sedangkan pihak

9 Hilal Malarangan, “Pembaruan Hukum Islam Dalam Hukum Keluarga Di

Indonesia”, (Jurnal Hunafa Vol. 5 No. 1, April 2008), h.. 40. 10

Andi Syamsu Alam, dkk, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:

Prenada Media Group, 2008), h. 114.

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

10

lain yang tidak mendapatkan hak perwalian juga ternyata sangat

melalaikan kewajibannya.11

Akibatnya hak anak menjadi terombang-ambing karena

kelalaian pihak orang tua atau bahkan pengadilan dalam memutuskan

suatu perkara.

2. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam skripsi ini penulis ambil dari analisis

komparatif yang merupakan salah satu cara yang digunakan dalam

penelitian normatif untuk membandingkan salah satu lembaga hukum

(legal institutions) dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum

(yang kurang lebih sama dari sistem hukum) yang lain. Dari perbandingan

tersebut dapat ditemukan unsur-unsur persamaan dan perbedaan kedua

sistem hukum itu. Persamaan-persamaan akan menunjukkan inti dari

lembaga hukum yang diselidiki, sedangkan perbedaan-perbedaan

disebabkan oleh adanya perbedaan iklim, suasana, dan sejarah masing-

masing bangsa yang bersangkutan dengan sistem hukum yang berbeda.12

Dengan diketahuinya persamaan dan perbedaan masing-masing

peraturan perundang-undangan dapat ditarik benang merah terhadap

perbaikan dan perluasan terhadap pengetahuan hukum kita.

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini diaplikasikan metode pendekatan perbandingan,

yaitu membandingkan undang-undang suatu Negara dengan undang-

undang dari satu atau lebih Negara lain mengenai hal yang sama.13

Dengan

11

Rahmadi Indra Tektona, “Kepastian Hukum Terhadap Perlindungan Hak Anak

Korban Perceraian”, (Muwâzâh, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012), h. 45. 12

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:

Bayumedia Publishing, 2008), h. 313. 13

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group,

2005), h. 135.

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

11

adanya perbandingan itu diperoleh poin-poin persamaan dan perbedaan di

antara undang-undang tersebut.

2. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan (termasuk wawancara

dengan narasumber) yang mencakup perbandingan hukum, yaitu

membangun pengetahuan umum mengenai hukum positif dengan

membandingkan sistem hukum di Negara lain dimana dalam skripsi ini

membahas perbandingan hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan

Maroko.14

Dengan adanya bahan kepustakaan yang disertai wawancara dengan

narasumber semakin memperkuat data yang ada.

3. Sumber Data

a. Data Primer: yaitu data yang berasal dari Al-Qur’an, kitab hadis, UUD

1945, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Intruksi Presiden No. 1

Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan The

Moroccan Family Code (Moudawana) Of February 5, 2004.

b. Data Sekunder: yaitu data yang berupa dokumen-dokumen yang

terdapat dalam buku, majalah, surat kabar, jurnal ilmiah, internet, dan

artikel yang relevan dengan tema skripsi ini.

4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan

dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dan atau

14

Mukti Fajar, dkk, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,

(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015), h. 34-35.

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

12

bahan non-hukum.15

Jadi diharapkan materi dalam skripsi ini dapat

memenuhi tujuan penelitian.

5. Teknik Pengolahan Data

Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan bahan berwujud

kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum

tertulis. Dalam hal ini pengolahan bahan dilakukan dengan cara,

melakukan seleksi data sekunder atau bahan hukum, kemudian melakukan

klasifikasi menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil

penelitian tersebut secara sistematis, tentu saja hal tersebut dilakukan

secara logis, artinya ada hubungan dan keterkaitan antara bahan hukum

satu dengan bahan hukum lainnya untuk mendapatkan gambaran umum

dari hasil penelitian.16

Jika datanya sistematis maka gambaran umum dari hasil penelitian

akan lebih jelas dan dapat lebih mudah dipahami oleh pembaca.

6. Teknik Analisa Data

Adapun analisis data yang dipakai dalam penelitian normatif ini

adalah analisis pendekatan perbandingan dimana dalam hal ini dilakukan

dengan membandingkan peraturan perundangan Indonesia dengan Maroko

dalam hadhanah sehingga dapat ditemukan persamaan dan perbedaan dari

hukum masing-masing Negara.17

Selain itu dengan melakukan analisa

pendekatan perbandingan data yang ada dapat lebih mudah diklasifikasi

sehingga lebih mudah dipahami.

7. Teknik Penulisan Skripsi

Secara teknis penulisan ini berpedoman pada buku “Pedoman

Penulisan Skripsi Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tahun 2017”

15

Mukti Fajar, dkk, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, h. 160. 16

Mukti Fajar, dkk, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, h. 181. 17

Mukti Fajar, dkk, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, h. 188.

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

13

H. Sistematika Penelitian

Bab I Pendahuluan

Berisi Latar Belakang, Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review)

Kajian Terdahulu, Kerangka Teori dan Konseptual, Metode

Penelitian, dan Sistematika Penelitian.

Bab II Berisi tentang reformasi hukum keluarga di Indonesia dan Maroko

disertai biografi Negara Maroko.

Bab III Berisi tentang paparan hadhanah menurut ulama mazhab dan

hadhanah menurut peraturan perundangan di Indonesia dan

Maroko

Bab IV Berisi tentang hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan

Maroko, faktor-faktor yang menyebabkan persamaan dan

perbedaan hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan Maroko

dan unsur-unsur persamaan dan perbedaan hadhanah akibat

perceraian di Negara Indonesia dan Maroko.

Bab V Kesimpulan dan penutup

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

14

BAB II

REFORMASI HUKUM KELUARGA

DI INDONESIA DAN MAROKO

A. Reformasi Hukum Keluarga di Indonesia

Salah satu fenomena yang muncul sejak awal abad ke-20 di dunia

Muslim dan Islam adalah adanya usaha pembaruan Hukum Keluarga

(perkawinan, perceraian dan warisan). Turki tercatat sebagai Negara pertama

yang melakukan pembaruan Hukum Perkawinan kemudian diikuti oleh

Mesir.1 Di Asia Tenggara upaya ini diawali pemerintah Malaysia dan

Kemudian di Indonesia.2

Hal ini membawa dampak baik untuk Negara-negara lainnya untuk

turut serta melakukan pembaruan hukum keluarga sehingga hukum-hukum

yang ada sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan modernitas.

Indonesia menggunakan kodifikasi sebagai konsep dan metode

pembaharuannya. Kodifikasi hukum yaitu pembukuan materi hukum secara

lengkap dan sistematis; pada awalnya dikenal dari sistem hukum Barat

terutama Eropa Kontinental. Dalam pertemuan antara masyarakat muslim

dengan Barat di masa kolonial; pengaruh sistem hukum Barat ini pun diadopsi

oleh negara-negara Muslim. Berbagai Negara muslim membuat kodifikasi

dengan mengundangkan berbagai materi hukum Islam dalam rangka

pembaharuan hukum Islamnya.3

Adapun dalam perkembangannya dibagi ke dalam 5 masa,

diantaranya:

1 Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-

Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta:INIS,

2002), h. 3-4. 2 Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-

Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h, 10. 3 Sri Wahyuni, Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Negaranegara

Muslim, Al-Ahwal, Vol. 6, No. 2, 2013 M/1435 H, h. 4.

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

15

1. Masa sebelum Penjajahan Belanda

Sebelum pemerintahan kolonial dahulu menguasai tanah air,

hukum Islam telah ada dan berlaku dan dapat ditelusuri melalui catatan

sejarah. Dimulai dari ketika Ibnu Batutah singgah di Samudera Pasai

(Aceh, dekat Lho’Seumawe sekarang) pada tahun 1345 Masehi, ia

mengagumi perkembangan Islam di “negeri” itu dan kemampuan Sultan

al-Malik al-Zahir sebagai sultan dari kerajaan Samudra Pasai dalam

pemahamannya tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fikih.4

Menurut Hamka, dari Pasailah disebarkan paham Syafi’i kerajaan-

kerjaan Islam lainnya di Indonesia, bahkan setelah kerajaan Islam Malaka

berdiri (1400-1500 M) para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera

Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang

mereka jumpai dalam masyarakat.5

Hal ini merupakan suatu hal yang bagus dimana sudah ada ahli

hukum Islam pada saat itu meskipun perkembangan dan penyebarannya

belum merata.

Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh

para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan, peranan hukum Islam

adalah besar. Melalui perkawinan dengan mengislamkan wanitanya

terlebih dahulu dan pernikahannya dilangsungkan menurut ketentuan

hukum Islam. Setelahnya, hubungan antar anggota keluarga diatur sesuai

kaidah-kaidah Islam atau kaidah lama yang disesuaikan dengan hukum

Islam.6

Fakta ini di dukung oleh sumber-sumber yang berasal dari Cina

yang mengatakan bahwa menjelang akhir abad ke tujuh, seorang pedagang

4 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (PT Raja Grafindo

Persada: Jakarta, 2002), h, 190. 5 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 190.

6 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 190.

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

16

Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman sebuah pemukiman Arab

muslim di pesisir pantai Sumatera. Sebagian dari orang Arab itu

melakukan perkawinan dengan wanita setempat, sehingga membentuk

sebuah komunitas muslim yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang

dan penduduk lokal, dan anggota komunitas muslim ini melakukan

penyebaran Islam. 7

Kita dapat melihat kecerdikan para saudagar dalam menyebarkan

hukum Islam yaitu dengan mendekati para wanitanya terlebih dahulu lalu

menikahi mereka sesuai ketentuan Islam dimana setelah itu mereka dapat

dengan mudah menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Setelah agama Islam berakar dalam masyarakat, peranan saudagar

dalam penyebaran Islam digantikan para ulama yang bertindak sebagai

guru, khatib, pengawal hukum Islam. Sekedar contoh dapat dikemukakan

nama Nuruddin ar-Raniri (yang hidup di abad 17 M) menulis buku hukum

Islam dengan judul Sirathal Mustaqim (Jalan Lurus) pada tahun 1628. 8

Maka dengan datangnya para saudagar, mulai bermunculanlah para

Ulama yang bertugas menyebarkan agama Islam di Indonesia saat itu.

Hukum Islam diikuti dan dilaksanakan juga oleh para pemeluk

agama Islam dalam kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik,

Ngampel dan kemudian Mataram. Hal ini dibuktikan dari karya para

pujangga yang hidup di masa itu. Di antaranya dapat disebut misalnya

Kutaragama, Sajinatul Hukum dan lain-lain.9

7 Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam

Hukum Nasional, (Wahana Semesta Intermedia: Jakarta, 2012), h. 22-23. 8 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (PT Raja Grafindo

Persada: Jakarta, 2002), h. 191. 9 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 192.

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

17

Dengan adanya para Ulama sebagai pengganti para saudagar maka

semakin banyak karya-karya yang dihasilkan para Ulama saat itu guna

dipelajari oleh para pengikutnya.

2. Masa Penjajahan Belanda

Di zaman Daendels (1800-1811) perubahan masih belum dimulai.

Di masa itu umumlah pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam

adalah hukum asli orang pribumi. Oleh karena itu, Daendels mengeluarkan

peraturan yang menyatakan bahwa perihal (hukum) agama orang Jawa

tidak boleh diganggu dan hak-hak penghulu mereka untuk memutus

beberapa macam perkara tentang perkawinan dan kewarisan harus diakui

oleh alat kekuasaan pemerintah Belanda. 10

Kita bisa melihat bahwa pada awalnya pemerintah Belanda

menghormati adanya hukum Islam sebagai hukum asli orang pribumi

dengan mengeluarkan peraturan dimana hak-hak penghulu dalam

memutus perkara harus diakui dan tidak boleh diganggu.

Waktu Inggris menguasai Indonesia (1811-1816) keadaan tidak

berubah. Thomas S. Raffles yang menjadi Gubernur Jendral Inggris untuk

kepulauan Indonesia pada waktu menyatakan bahwa hukum yang berlaku

di kalangan rakyat adalah hukum Islam.11

Keadaanpun tidak jauh beda ketika Inggris yang menguasai

Indonesia, mereka tidak mengotak-atik hukum yang sudah berlaku di

Indonesia yaitu hukum Islam.

Setelah Indonesia dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda,

pemerintah kolonial Belanda membuat suatu undang-undang tentang

kebijaksanaan pemerintah, susunan pengadilan, pertanian dan perdagangan

dalam daerah jajahan-(nya) di Asia yang mengakibatkan perubahan di

10

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 195. 11

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 195.

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

18

hampir semua bidang kehidupan orang Indonesia termasuk bidang hukum

yang akan merugikan perkembangan hukum Islam selanjutnya.12

Kita dapat melihat inkonsistensi dari pemerintah kolonial Belanda

terhadap pengakuan penerapan hukum Islam setelah Indonesia

dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda.

Menurut H.J. Benda, pada abad ke-19, banyak orang Belanda baik

di negerinya sendiri maupun di Hindia Belanda, sangat berharap segera

dapat menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia

dengan berbagai cara, di antaranya melalui proses Kristenisasi. 13

Tujuan dari proses kristenisasi ini adalah untuk mengubah agama

penduduk yang semula Islam menjadi pemeluk Kristen. Dengan masuknya

orang-orang pribumi dari Islam ke Kristen harapannya akan

menguntungkan hubungan agama mereka dengan agama

pemerintahannya.14

Menurut penulis, pemerintah kolonial Belanda sengaja

mengangkat hukum Islam pada awalnya lalu kemudian mencoba

menghilangkannya salah satunya dengan kristenisasi sehingga

kepercayaan penduduk Indonesia terpengaruh oleh para penjajah dan

setelah mereka masuk Kristen akan menjadi warga Negara yang loyal lahir

batin.

Untuk melaksanakan maksud tersebut pemerintah Belanda

mengangkat komisi yang diketuai oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem

yang bertugas antara lain untuk melakukan penyesuaian undang-undang

Belanda itu dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda.15

12

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 195. 13

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 195. 14

Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial

Politik di Indonesia, (Bayumedia Publishing: Malang, 2005), h. 37. 15

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (PT Raja Grafindo

Persada: Jakarta, 2002), h. 196.

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

19

Menurut penulis disini terlihat sudah terjadi pergerakan bahwa

pemerintah kolonial Belanda mulai mengambil alih dari sistem hukum di

Indonesia dengan menyesuaikan Undang-undang Belanda dengan keadaan

istimewa di Hindia Belanda itu sendiri.

Dalam usaha pembaharuan tata hukum di Hindia Belanda itu, Mr.

Scholten van Oud Haarlem yang menjadi ketua komisi tersebut menulis

sebuah nota kepada pemerintah Belanda, yang berbunyi antara lain, “

Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan, jika

ditiadakan pelanggaran terhadap hukum orang bumi putera dan agama

Islam, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat

tinggal tetap dalam lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat

mereka.”16

Akan tetapi disini terlihat bahwa pemerintah Belanda tidak serta

merta merubah hukum yang ada, mereka tetap berupaya agar pribumi

dapat tetap tinggal dalam lingkungan agama dan adat istiadat mereka guna

mencegah adanya perlawanan.

Sebagai contoh pembentukan pengadilan agama dengan keputusan

Raja Belanda dimuat dalam Stb. 1882 Nomor 152 itu sesungguhnya

adalah pengakuan resmi dan pengukuhan sesuatu yang telah ada, tumbuh

dan berkembang dalam masyarakat, tetapi dengan pengawasan atau

pengendalian ketat melalui fiat eksekusi17

ketua pengadilan negeri atau

landraad atas semua keputusan.18

Hal ini semakin dikuatkan dengan adanya Pengadilan Agama

meskipun diawasi dan dikendalikan secara ketat oleh ketua Pengadilan

Negeri termasuk semua keputusannya.

16

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 196-197. 17

Penetapan pengadilan untuk melaksanakan putusan jika pihak yang dikalahkan

dalam putusan menolak untuk melaksanakannya secara sukarela (Diakses dari

https://www.maknaa.com/hukum/fiat-eksekusi pada tanggal 25 September 2018 15.44) 18

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 198.

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

20

Sementara itu terdapat pendapat yang dikemukakan oleh Solomon

Keyzer (1823-1886) seorang ahli bahasa dan ahli kebudayaan Hindia

Belanda yang menyatakan bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam.

Pendapat ini dikuatkan oleh Lodewijk Christian van den Berg (1845-1927)

yang menurutnya, hukum itu mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika

orang itu memeluk agama Islam; hukum Islamlah yang berlaku baginya.19

.

Berdasarkan pernyataan diatas terlihat jelas bahwa tidak semua

orang Hindia Belanda menginginkan penghapusan hukum Islam dengan

proses kristenisasi. Seperti Solomon Keyzer dan Lodewijk Christian van

den Berg dengan pernyataannya bahwa jika orang itu beragama Islam

maka hukum Islamlah yang berlaku untuk dirinya.

Teori ini dikenal dengan nama Receptio in Complexu, yang

menyatakan bahwa yang diterima oleh orang Islam Indonesia itu tidak

hanya bagian-bagian hukum Islam tetapi keseluruhannya sebagai satu

kesatuan. 20

Sebab mereka telah memeluk agama Islam walaupun dalam

pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Apresiasi Belanda

pada teori ini hanya terhadap hukum keluarga Islam. Van den Berg

mengusahakan hukum keluarga Islam dijalankan oleh hakim-hakim

Belanda dengan bantuan penghulu/qadli Islam.21

Hal ini berarti jika terjadi

perkara maka hendaklah hakim memutus berdasarkan hukum Islam secara

keseluruhan.

Pendapat ini ditentang oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-

1936), ia berpendapat bahwa yang berlaku bagi orang Islam itu bukanlah

hukum Islam tetapi hukum adat. Ke dalam hukum adat itu, memang telah

masuk pengaruh hukum Islam, tetapi pengaruh itu baru mempunyai

kekuatan hukum kalau telah benar-benar diterima oleh hukum adat.

19

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 199. 20

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 200 21

Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam

Hukum Nasional, (Wahana Semesta Intermedia: Jakarta, 2012), h. 30.

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

21

Pendapat itu kemudian terkenal dengan reseptie theorie yang mempunyai

banyak pengikut di kalangan para sarjana hukum.22

Jadi, pemerintah Belanda disini memberikan “toleransi” kepada

pribumi dengan mendahulukan hukum adat ketimbang hukum Islam

sehingga hukum Islam baru mendapatkan kekuatan ketika diterima oleh

hukum adat.

Akan tetapi pendapat ini mendapat tantangan dari pemikir hukum

Islam di Indonesia seperti Prof Hazairin yang merupakan salah seorang

murid Ter Haar tetapi tidak sejalan dengan ajaran yang dikembangkan

gurunya.23

Menurut teori resepsi, demikian Hazairin, hukum Islam itu sendiri

bukanlah hukum kalau belum diterima ke dalam dan menjadi hukum adat.

Jika telah diterima oleh hukum adat (setempat) hukum Islam yang

demikian, tidak dapat lagi dikatakan hukum Islam, tetapi hukum adat.

Hukum adatlah yang menentukan apakah hukum Islam itu hukum atau

bukan 24

Kita dapat melihat jelasnya dukungan kolonial Belanda terhadap

pergantian hukum Islam dengan hukum adat karena sejatinya hukum Islam

tidak dianggap hukum tanpa pengakuan dari hukum adat.

3. Masa Penjajahan Jepang

Pada masa ini tidak ada perubahan yang terlalu berarti meskipun

terdapat beberapa upaya atau usaha mengenai pengadilan agama dan

wewenangnya. Disini terdapat dua jenis pemimpin, yaitu pemimpin

nasionalis Islamis melalui Abikoesno Tjokrosoejoso yang menghendaki

agar kedudukan dan wewenang pengadilan agama lebih dikukuhkan.

22

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (PT Raja Grafindo

Persada: Jakarta, 2002), h. 200. 23

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 201. 24

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 201.

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

22

Kedua yaitu pemimpin nasionalis sekuler seperti Sartono yang

menghendaki agar pengadilan agama dihapuskan saja.25

Menurut pendapat penulis alasan kenapa tidak bisa diterapkan

hukum Islam secara menyeluruh karena dalam hal Pengadilan Agama saja

terdapat dua kubu yang bertentangan yaitu yang islamis dan nasionalis

sehingga kaum penjajah baik Belanda ataupun Jepang dapat dengan

mudah merubah hukum yang dapat diterapkan di Indonesia.

4. Masa Indonesia Merdeka: 1945-1974

Usaha selanjutnya dalam upaya melahirkan UU Perkawinan,

diupayakan lebih serius lagi setelah pemilihan umum tahun 1971 dalam

kondisi politik stabil. Dalam sebuah simposium, Ikatan Sarjana Wanita

Indonesia (ISWI) tanggal 29 Januari 1972 memberi saran kepada

pengurusnya agar memperjuangkan kembali UU Perkawinan untuk

diberlakukan kepada seluruh warga negara Indonesia. Kemudian Badan

Musyawarah organisasi-organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal

22 Februari 1972 juga mendesak pemerintah agar mengajukan kembali

kedua RUU tentang Perkawinan yang dulu dikembalikan DPR kepada

pemerintah, agar dibahas kembali oleh DPR RI.26

Akhirnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) membicarakan

kembali tentang hukum perkawinan umat Islam di Indonesia dalam acara

sarasehan yang dilaksanakan pada tanggal 11 Februari 1973 di Jakarta dan

mengaharapkan agar pemerintah segera mengajukan kembali RUU tentang

perkawinan kepada DPR RI untuk dibahas kembali dan dilaksanakan

sebagai uu yang diberlakukan untuk seuruh warga negara Indonesia.27

25

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 203. 26

Yayan Sopyan, Islam Negara, Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dan

Hukum Nasional, (Wahana Semesta Intermedia: Jakarta, 2012), h. 87. 27

Yayan Sopyan, Islam Negara, Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dan

Hukum Nasional, h. 87.

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

23

Akhirnya pelaksanaan hukum perkawinan dan hukum kewarisan

di Indonesia setelah Indonesia merdeka, dalam periode 1945-1974, melalui

badan peradilan agama di Indonesia, tetap tidak berubah seperti sediakala

karena adanya teori resepsi.28

Akibatnya teori ini mulai digugat karena tidak sesuai dengan UUD

1945 sebagai penjabaran Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa

sebagai sila pertamanya karena teori ini bertentangan dengan iman orang

Islam dan dengan dua kalimat syahadat karena mengajak orang-orang

Islam tidak mematuhi firman Allah yang tercantum dalam al-Qur’an dan

Sunnah Rasulullah dalam kitab-kitab Hadis seharusnya tidak diikuti. 29

Penulis sepakat dengan pendapat Mohammad Daud Ali karena

seharusnya hukum yang dianut oleh seseorang adalah hukum yang sesuai

dengan agamanya. Adapun hukum adat dapat dijalankan secara berirama

dengan hukum Islam.

Namun melalui pasal peralihan UUD 1945 dan kuatnya tertanam

teori resepsi yang diajarkan, tetap saja berlangsung dalam Negara

Indonesia merdeka, kendatipun Undang Undang Dasar atau peraturan

dasarnya sudah berganti dan berbeda.30

Baru tahun 1974, dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1

Tahun 1974, teori resepsi itu menemui ajalnya “dihantam” kalimat,”

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan perumusan pada

pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan tersebut, setiap perkawinan

harus dilakukan menurut hukum agama. Untuk orang Islam, misalnya,

perkawinan seorang pria dengan seorang wanita baru sah, kalau dilakukan

menurut hukum perkawinan Islam yang merupakan bagian dari agama

28

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 207. 29

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 208. 30

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 208.

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

24

Islam, tanpa syarat istimewa teori resepsi “ kalau hukum Islam itu sudah

diterima oleh hukum adat”.31

Menurut penulis dengan diundangkan Undang-undang No. 1

Tahun 1974 terdapat kejelasan tentang pemberlakuan hukum Islam di

Indonesia karena sebagaimana telah dijelaskan dalam pasal 2 ayat (1)

tentang kesahan perkawinan tanpa syarat istimewa dari teori resepsi.

5. Masa setelah Tahun 1974 sampai sekarang

Setelah Undang-undang Perkawinan diundangkan awal 1974,

dibuat perangkat perundang-undangan sebagai peraturan pelaksanaannya

melalui PP No. 9/1975 Undang-undang Perkawinan yang berlaku secara

efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975. Namun, dalam pelaksanaannya

seringkali Undang-undang Perkawinan ini menghadapi banyak kendala

dan masalah.32

Masalah yang bersifat intern, yang muncul dari kekurangjelasan

rumusan pasal yang terdapat di dalamnya, karena mengejar target harus

selesai sebelum hari ibu tanggal 22 Desember 1973 dan banyak pula pasal-

pasal yang bertentangan dengan hukum Islam yang harus disesuaikan lebih

dahulu atau dihilangkan saja dari rancangannya.33

Salah satu pasal yang bertentangan adalah pasal 37 ayat 1 yang

menyatakan bahwa harta benda yang dieproleh selama perkawinan

menjadi milik bersama (dalam islam ditentukan bahwa hasil usaha masing-

masing suami atau isteri secara sendiri-sendiri, adalah menjadi milik

masing-masing yang mengusahakannya.) 34

31

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 208. 32

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 218. 33

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 218. 34

Yayan Sopyan, Islam Negara, Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dan

Hukum Nasional, (RMBooks: Jakarta, 2012), h. 97.

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

25

Menurut penulis hal ini disebabkan karena ketergesa-gesaan para

perancang Undang-undang sehingga rumusan pasal yang dihasilkanpun

kurang maksimal.

Secara ekstern, masyarakat menganggap Undang-undang

Perkawinan ini bertentangan dengan Hukum Perkawinan Islam. Masih

berlakunya SE Biro Peradilan Agama tahun 1958 yang memuat tentang

batas-batas kekuasaan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah, materi

hukum yang dipergunakan dalam memutuskan perkara, penyelenggaraan

tata-usaha dan kepaniteraan, sidang keliling dan perjalanan dinas dan

bandingan yang dapat juga dipakai sebagai kendala ekstern.35

Hal ini terjadi karena peraturan yang bentrok dan pemahaman

masyarakat tentang Undang-undang Perkawinan yang tidak sempurna.

Lalu diadakanlah pengumpulan kaidah-kaidah hukum perkawinan

Islam ke dalam satu kitab yang dapat dijadikan pegangan oleh hakim

Pengadilan Agama di seluruh Indonesia setelah lahirnya UU No. 7/1989

tentang Peradilan Agama yang diundangkan tanggal 29 Desember 1989

yang dinamakan dengan Kompilasi Hukum Islam selanjutnya disebut

KHI.36

Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia bercermin kepada

Moudawwana al-Usrah di Maroko karena masyarakat Maroko dengan

masyarakat Indonesia sama-sama beraliran ahl al-sunnah wa al-jama‟ah

(aswaja), di Maroko Mazhab Maliki yang menjadi pedoman dan di

Indonesia Mazhab Syafi‟i yang menjadi panutan. Kedua mazhab itu masih

termasuk dalam bingkai aswaja, termasuk juga Mazhab Hanafi dan

Mazhab Hambali termasuk di dalamnya. Oleh karena itu, masalah

35

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 218-219. 36

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 219.

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

26

perkawinan Islam tidak ada perbedaan yang signifikan antara masyarakat

Maroko dengan Indonesia.37

Dalam praktik, walaupun KHI bersumber dari kitab-kitab fikih,

tetapi ketika detail masalah hukum yang dibutuhkan tidak terdapat dalam

KHI, para hakim peradilan agama kembali membuka kitab-kitab fikih

karena pada umumnya kitab-kitab fikih sering membahasa suatu persoalan

dengan rinci. Selain rinci, jumlah kitab-kitab fikih juga begitu banyak

sehingga masalah-masalah yang tidak terdapat dalam suatu kitab, besar

kemungkinan akan ditemui dalam kitab yang lain. 38

Adapun di Indonesia permasalahan tentang hadhanah khususnya

yang terjadi akibat perceraian diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016

Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak, Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adapun yang mengalami pembaharuan

hanyalah Undang-undang tentang perlindungan anak yaitu selama dua

kali.

B. Reformasi Hukum Keluarga di Maroko

1. Biografi Negara Maroko

Dalam The World Book Encyclopedia dijelaskan bahwa, “Morocco

is mountainous country on the north-western coast of Africa. It lies only

nine miles from Spain, across the strait of Gibraltar. The moroccans call

their country Moghreb el Aksa, which is Arabic for the farthest west.

Rabat is the capital of Morocco. Casablanca is the largest city.”39

Artinya: Maroko adalah negara pegunungan yang terletak di sudut

barat laut Afrika. Hanya berjarak sembilan mil dari Spanyol dan melintasi

37

Nasiri, Perkawinan Di Maroko, Syaikhuna Volume 8 Nomor 1 Maret 2017, h. 4. 38

Mukhtar Zamzami, “Pembaruan Hukum keluarga Dalam Perspektif Politik

Hukum Islam di Indonesia”, Mimbar Hukum dan Peradilan. No. 68, Februari 2009, h.

114 39The World Book Encyclopedia, (USA: Field Entrepises Educational Corporation,

1966), Vol. 8 di bawah artikel “Morocco”, h. 412.

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

27

selat Gibraltar. Orang-orang Maroko memanggil negara mereka dengan

“Moghreb el Aksa” yang merupakan bahasa Arab dari “barat yang

terjauh”. Rabat adalah ibu kota Maroko. Kasablanka adalah kota terluas.

Lalu dalam Encyclopedia Britannica dijelaskan lebih lanjut bahwa

“The country borders Algeria (east and southeast) and western sahara

(south); its western border is defined by the atlantic ocean, and its

northern border is defined by the Mediteranean Sea.”40

Artinya: Negara ini berbatasan dengan Aljazair (timur dan tenggara)

dan sahara barat (selatan); perbatasan baratnya ditentukan oleh samudra

atlantik, dan perbatasan utaranya didefinisikan oleh Mediterania.

Menurut Juan E. Campo dalam Encyclopedia of Islam mengenai

populasi negara Maroko adalah “The population is 99 percent Sunni

Muslim, with a small number of Christians (mostly foreign) and Jews.

Moroccan Islam has traditionally followed Maliki religious law. art,

architecture, music, and culture combine Berber, Arab, and Andalusian

themes, although the influence of European styles has become much more

visible in recent years.”41

Artinya: Populasinya 99 persen Muslim Sunni, dengan sejumlah kecil

orang Kristen (kebanyakan orang asing) dan orang Yahudi. Muslim

Maroko secara tradisional mengikuti Mazhab Maliki. Hukum, seni,

arsitektur, musik, dan budaya menggabungkan tema Berber, Arab, dan

Andalusia. Meskipun pengaruh gaya Eropa menjadi lebih terlihat dalam

beberapa tahun terakhir.

2. Sistem Pemerintahan di Negara Maroko

Dalam Grolier Academic Encyclopedia tentang sistem

pemerintahan di negara Maroko, “Morocco is a constitutional monarchy.

The 264 members of the unicameral legislature are elected to 4-year

terms. The king holds executive power; he appoints the cabinet and may

dismiss its members and may also disband the legislature”42

Artinya: Maroko adalah negara yang menganut sistem Monarki

Kontitusional. 264 anggota legislatif unikameral (sistem pemerintahan

yang hanya terdiri dari satu kamar parlemen) dipilih untuk masa jabatan 4

tahun. Raja memegang kekuasaan eksekutif. Ia menunjuk kabinet dan

40

Encyclopedia Britannica, (USA: The University of Chicago, tt.), Vol. 8 di bawah

artikel “Morocco”, h. 331. 41

Juan E. Campo, Encyclopedia of Islam, (New York: Facts on File, 2009),

dibawah artikel “Morocco”, h. 481. 42

Grolier Academic Encyclopedia, (USA: Grolier International, 1983), Vol. 13,

dibawah artikel “Morocco”, h. 586.

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

28

dapat memberhentikan anggotanya dan mungkin juga memberhentikan

undang-undang.

3. Sistem Hukum di Negara Maroko

Hukum di Maroko tidak menggunakan hukum syariah, dan bahkan

lebih diwarnai oleh sistem hukum barat. Hukum Islam yang dipakai adalah

madzhab Maliki, akan tetapi itu juga hanya berlaku untuk umat Islam dan

hanya dalam bidang-bidang tertentu, yakni perkawinan, warisan dan

perwakafan.43

Kedudukan hukum Islam sebagai prinsip hukum, dan posisinya

sebagai sumber hukum ketiga setelah hukum Perancis dan hukum eropa

lainnya. Begitupula di Indonesia, posisi hukum Islam juga sebagai sumber

hukum positif selain hukum barat dan hukum adat.44

Secara umum, sistem hukum di Maroko dibagi menjadi 4 macam

badan peradilan, mahkamah Syariah dan mahkamah Madaniyah (peradilan

umum), hukum kanomik, civil law Prancis. Bersamaan dengan

diberlakukannya hukum Islam di lembaga pengadilan syariat, ditetapkan

pula hukum adat di beberapa Negara bagian Maroko yang diatur oleh

pengadilan setempat. Pada aspek-aspek tertentu pemberlakuan hukum adat

dapat membawa konflik terhadap hukum Islam. Hal ini diakui oleh para

ahli hukum Islam Maroko yang tidak menyukai muatan-muatan hukum

Prancis dan adat setempat masuk dalam hukum privat di Maroko.45

Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem hukum yang dianut di

Maroko merupakan perpaduan dari beberapa sistem hukum. Yakni

43

Diakses dari http://syffzh2314.blogspot.com/2014/10/sistem-hukum-di-

maroko.html pada tanggal 31 Juli 2018 44

Muhammad Maksum, Kedudukan syariah sebagai sumber Hukum positif: Kajian

Awal atas Hukum Perkawinan, Ekonomi Islam, dan Hukum Ketenagakerjaan di

Indonesia dan Maroko, Istinbáth Jurnal Hukum Islam Vol. 15, No. 2, Desember 2016, h.

2 45

Diakses dari http://syffzh2314.blogspot.com/2014/10/sistem-hukum-di-

maroko.html pada tanggal 31 Juli 2018

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

29

perpaduan dari hukum agama, hukum adata, dan hukum Eropa terutama

Prancis yang dibawa saat menjajah Maroko.

4. Kehidupan Masyarakat Maroko

a. Bidang Sosial

Masyarakat Maroko yang berada di pedalaman atau pedesaan

yang merupakan 4/5 bagian dari penduduk Maroko keseluruhan,

mempunyai dua pola kehidupan, yaitu nomaden dan menetap. Suku

Berber sebagai suku asli, sebagian besar merupakan penduduk yang

menetap, sementara suku Arab yang pada mulanya merupakan kaum

pendatang secara umum merupakan penduduk nomaden dan sebagain

kecil dari mereka ada juga yang menetap pada lahan-lahan yang ingin

mereka kembangkan. Ini berarti pembagian pola hidup nomaden dan

menetap ini bukan berdasarkan faktor etnis semata-mata tetapi karena

pengaruh kondisi geografis. Biasanya mereka yang tinggal di daerah

pegunungan masuk kelompok yang menetap, sementara mereka yang

berada di gurun pasir seringkali berpindah-pindah. 46

Penduduk yang bertempat tinggal di kota dikategorikan

menjadi dua, yakni mereka yang disebut hadhariyya dan non-

hadhariyya. Pola hidup kota yang masuk dalam kategori hadhariyya

konon banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Spanyol, Negara yang

pernah menjajah mereka, yaitu Fez, Rabat-Sale, dan Tetwan. Adapun

kota yang disebut non hadhariyya antara lain Udjda, Mazagan, dan

Tangier, yang komposisi penduduknya kebanyakan berasal dari

pedesaan yang berpindah ke kota (masyarakat urban).47

b. Bidang Politik

Maroko menganut sistem banyak partai politik dan menolak

sistem satu partai. Hukum adalah pernyataan tertinggi dari kemauan

rakyat dan semua harus tunduk kepadanya. Islam adalah agama

46

Atho Mudzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat

Press, 2003), h. 98. 47

Atho Mudzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, h. 99.

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

30

negara. Laki-laki dan perempuan menikmati hak-hak politik yang

sama. Tiap warga negara baik laki-laki maupun wanita mempunyai

hak untuk memilih.negara juga menjamin kebebasan bagi semua

warga negara untuk menyatakan pendapatnya, berserikat dan

membentuk atau memasuki organisasi/partai pilihan nya.48

Sebagaimana negara-negara yang menganut sistem demokrasi,

Maroko mendasarkan sistem politiknya atas prinsip kedaulatan rakyat

dengan arti bahwa kemauan rakyat merupakan hukum tertinggi serta

atas prinsip banyak partai dan bukan sistem satu partai seperti yang

terdapat di negara-negara sosialis khususnya di Eropa Timur sampai

waktu belakangan ini.49

c. Bidang Ekonomi

Dalam The New Book of Knowledge dipaparkan bahwa sekitar

setengah dari orang-orang Maroko bekerja sebagai petani. Maroko

mengekspor serat pohon palem yang digunakan untuk membuat isian

perabotan dan gabus yang berasal dari pohon oak. Maroko memiliki

pelabuhan sarden terkemuka di dunia yang bernama Safi. Penduduk

Maroko juga membuat jenis tepung baru dan ikan sarden yang lebih

murah dan lebih bergizi daripada tepung yang terbuat dari biji-bijian.

Maroko juga kaya akan mineral. Industri Maroko berkembang pesat.

Pabrik-pabrik membuat semen, truk, dan mobil. Maroko memiliki

jalan yang baik, kereta api, dan sistem listrik dan telepon yang dimulai

oleh orang Prancis dan Spanyol. 50

d. Bidang Agama

Menurut E.J. Brill dalam First Encyclopedia of Islam pada

awalnya, terutama di daerah perkotaan, masyarakat Maroko sedikit

banyak dipengaruhi oleh ajaran agama Yahudi dan Kristen walaupun

48

Diakses dari http://hasbagiilmu.blogspot.com/2015/08/sistem-politik-di-negara-

negara-islam.html 1 Agustus 15.08 49

Diakses dari http://hasbagiilmu.blogspot.com/2015/08/sistem-politik-di-negara-

negara-islam.html 1 Agustus 15.08 50

The New Book of Knowledge, (USA: Grolier Incorporated, 1986), Vol. 12, di

bawah artikel “Morocco”, h. 460.

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

31

diragukan ritual keagamaan mereka berdasarkan ajaran yang tepat dari

dua agama tersebut. Nampaknya mereka hanya sebatas mengakui

ajaran-ajarannya ketimbang sebagai pemeluk yang teguh kepada ajaran

kedua agama tersebut. Terbukti ketika mereka mengenal agama

Monoteis baru, Islam yang diperkenalkan oleh bangsa Arab, ternyata

mereka cepat bisa mengadopsinya. 51

Seluruh muslim Maroko adalah penganut aliran sunni, hampir

tidak ditemukan ajaran syi’ah disana. Penduduk perkotaan merupakan

penganut agama yang taat dan menjalankan ritual keagaaman secara

teguh, sementara penduduk desa terutama suku Berber dan Baduwi

agak longgar dalam menjalankan ajaran agama. Namun di daerah

perbukitan, hampir pada setiap desa dapat ditemukan masjid. 52

5. Reformasi Hukum Keluarga di Maroko

Maroko menggunakan kodifikasi sebagai konsep dan metode

pembaharuannya. Kodifikasi hukum yaitu pembukuan materi hukum

secara lengkap dan sistematis; pada awalnya dikenal dari sistem hukum

Barat terutama Eropa Kontinental. Dalam pertemuan antara masyarakat

muslim dengan Barat di masa kolonial; pengaruh sistem hukum Barat ini

pun diadopsi oleh negara-negara Muslim. Berbagai Negara muslimpun

membuat kodifikasi dengan mengundangkan berbagai materi hukum Islam

dalam rangka pembaharuan hukum Islamnya. Di antara negara-negara

yang telah melakukan pembaharuan tersebut adalah Lebanon, Jordania,

Syiria, Tunisia, Maroko dan Irak, yang membuat peraturan perundang-

undangan yang diambil dari hukum Islam tradisional tanpa beberapa

perubahan.53

Menurut Tahir Mahmood dalam Personal Law in Islamic

Countries tentang reformasi hukum keluarga di Maroko, “Between 1912

51

E.J Brill, First Encylopedia of Islam, (The Netherlands: tp, 1987), Vol. VI, di

bawah artikel “Morocco”, h. 593. 52

E.J Brill, First Encylopedia of Islam, h. 594. 53

Sri Wahyuni, Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Negara-negara

Muslim, Al-Ahwal, Vol. 6, No. 2, 2013 M/1435 H, h. 4

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

32

and 1956 major parts of Morocco were under the political domination of

France and Spain. During this period the French and the Spanish legal

systems influenced the local law, but in the matters of personal law the

Sha‟riah remained supreme. Inhabited mainly by the followers of the

Maliki school of Islamic law, Morocco had the priciples of that law

applied in its Shariah courts. Along with the shariah, however, was also

applicable in some parts of Morocco a customary law (ta‟amul),

administered by local tribunals, which in some aspects came in conflict

with the shariah law. The moroccan jurists were unhappy with the

influence of both the French law and local custom and wanted that the

shariah should be meticulously applied in cases of personal status.

Codification of the shariah law on modern lines was they thought,

imperative for this purpose: and they began working towards this goal.” 54

Artinya: Antara tahun 1912 dan 1956 sebagian besar wilayah Maroko

berada dibawah dominasi politik dari Prancis dan Spanyol. Selama periode

ini sistem hukum Prancis dan Spanyol telah mempengaruhi hukum lokal,

tapi dalam hal hukum keluarga Maroko masih berdasarkan syariah Islam.

Penduduknya mayoritas adalah pengikut Mazhab Maliki, Maroko

memiliki prinsip-prinsip dari ajaran Mazhab Maliki yang diaplikasikan di

Pengadilan Syariah. Bersamaan dengan syariah bagaimanapun hukum adat

juga diaplikasikan dalam beberapa hal yang diatur oleh pengadilan dengan

beberapa aspek yang bertentangan dengan syariah. Ahli hukum Maroko

merasa tidak senang dengan pengaruh dari Hukum Prancis dan Hukum

Adat dan menginginkan bahwa syariah harus dengan teliti diaplikasikan

dalam urusan hukum keluarga. Kodifikasi hukum syariah dalam garis

modern yang mereka pikirkan penting sekali untuk tujuan ini dan mereka

memulai bekerja untuk tujuan ini.

“The year of Morocco‟s independence coincided with the promulgation of

a new code of personal status in the neighbouring Tunisia. Influenced by

this development, the jurists and legal scholars in Morocco accelerated

tehir deliberations on the feasibility of codifying the personal law in their

country. By the time the old sultanate of Morocco was changed into a

constitutional monarchy the debate on the codification of personal law in

the country had entered an advanced stage”55

Artinya: Hari kemerdekaan Maroko bertepatan dengan pengumuman

dari New Code of Personal Status dari Negara tetangga yaitu Tunisia.

Terpengaruh dari perkembangan ini, ahli hukum dan para sarjana hukum

di Maroko mempercepat pertimbangan mereka dalam kemungkinan

terjadinya kodifikasi hukum keluarga di Maroko. Pada saat itu kesultanan

54

Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (Academy of Law and

Religion: New Delhi, 1987), h. 117 55

Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 118.

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

33

tua Maroko berganti menjadi Monarki Konstitusional. Perdebatan dalam

kodifikasi hukum keluarga di Negara ini telah memasuki tahap lanjutan.

“On 19 august 1957 the government of Morocco set up a high-power

commission charged with the function of fializing a draft code of personal

status for the country on which leading Moroccan law-men had been

working for several years. The royal decree isued for this purpose outlined

the aims and objects of the proposed codification of Islamic personal law.

The commision soon came out with a final draft. The sources on which the

draft was based included:

1. Principles of the various schools of Islamic law, especially the

dominant opinion in the Maliki law:

2. The Maliki doctrine of [ublic interest (masalih al-mursalah); and

3. Legislation enacted i the other Muslim countries.”56

Artinya: Pada tanggal 19 Agustus 1957 pemerintah Maroko

mempersiapkan komite yang bertanggung jawab dalam fungsi

penyelesaian draft Undang-Undang Hukum Keluarga untuk Negara yang

mana para ahli hukum Maroko sudah bekerja selama beberapa tahun.

Keputusan kerajaan yang dikeluarkan untuk tujuan ini menggariskan

tujuan dan objek dari kodifikasi hukum Islam yang diusulkan. Sumber-

sumber dari draft peraturan perundang-undangannya berasal dari:

1. Prinsip-prinsip dari berbagai aliran hukum islam, khususnya pendapat

dominan dalam Mazhab Maliki.

2. Ajaran Mazhab Maliki untuk kepentingan public (masalih al

mursalah)

3. Undang-undang yang diberlakukan di negara-negara muslim lainnya.

“The draft code finalized by the commission was approved and enacted in

stages by the Moroccan legislature within the next few months. Unlike

Tunisia where the code of personal status was called Majallah, Morocco

called its new Code the Mudawanah al-ahwal al-Shakhsiyah. The bulky

Code had over 300 articles arranged in six “books” which came in force

on different dates mentioned below:

I. Marriage 21.11.1957

II. Dissolution of Marriage -do-

III. Birth and Its results 18.12.1957

IV. Legal Capacity and Representation 25.1.1958

V. Testamentary Succesion 20.2.1958

VI. Intestate Succesion 3.4.195857

56

Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 118. 57

Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 118.

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

34

Artinya: Draft peraturan perundang-undangan yang diselesaikan oleh

komite disetujui dan disahkan secara bertahap oleh Badan Legislatif

Maroko dalam beberapa bulan ke depan. Tidak seperti Tunisia yang

menamai peraturan perundang-undangannya dengan Majallah, Maroko

menamainya dengan Mudawanah al-Ahwal al-Shakhsiyah. Kitab

Peraturan Perundang-undangannya memiliki lebih dari 300 pasal yang

disusun dalam enam buku yang berlaku pada tanggal yang berbeda yang

disebutkan di bawah ini:

I. Perkawinan 21.11.1957

II. Putusnya Perkawinan 21.11.1957

III. Kelahiran dan hal-hal yang 18.12.1957

berkaitan dengannya

IV. Kecakapan Hukum dan Perwalian 25.1.1958

V. Wasiat 20.2.1958

VI. Warisan 3.3.1958

“A large number of the provisions of the code were based exclusively on

the Maliki law. The enactment of the code was described by the then

Moroccan ruler as “return to the riches of the Shariah”58

Artinya: Sejumlah besar ketentuan Undang-Undang secara eksklusif

didasarkan pada Mazhab Maliki. Pemberlakuan Undang-Undang

digambarkan oleh penguasa Maroko saat itu sebagai "kembali ke kekayaan

syari'ah".

Setelah memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 19 Agustus

1957 Maroko yang penduduknya adalah pengikut mazhab Maliki

melakukan kodifikasi selama tahun 1957-1958 yang menghasilkan

Moudawwana al – Ahwal al – Shakhsiyah.59

“As such, the 1958 law was “the only major area of the Moroccan legal

system based on Islamic Shari‟a law. Criminal and business law, for

example, were drafted in secular terms.”60

58

Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 119. 59

A. Khumedi Ja’far, dkk, Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim Modern,

(Anugrah Utama Raharja: Lampung, 2013), h. 97. 60

Ann Marie Eisenberg, Law on the Books vs. Law in Action: Under-Enforcement

of Morocco's Reformed 2004 Family, (Cornell Law Library Prize for Exemplary Student

Research Papers. Paper 1), h. 703.

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

35

Artinya: Undang-Undang Tahun 1958 adalah satu-satunya bidang

dari system hukum Maroko yang berdasarkan syariah Islam. Adapun

hukum pidana dan bisnis disusun secara sekuler.

Meskipun penduduk Maroko adalah pengikut mazhab Maliki

akan tetapi yang dikodifikasi setelah kemerdekaan hanyalah Undang-

Undang Hukum Keluarga yang berbasis hukum Islam.

Sejarah lahirnya Undang-Undang Maroko berawal pada tanggal 6

Desember 1957 (13 Jumadil Awal 1377 H) dengan terbitnya Dekrit Raja

yang bertanggal 22 Nopember 1957 (28 Rabiul Tsani 1377 H),

mengumumkan akan lahirnya Undang-Undang Perkawinan dan Perceraian

(Code of Personal Status and Inheritance).61

Akhirnya Undang-Undang Keluarga pertama yang mencakup

perkawinan dan perceraian ini mulai berlaku di seluruh wilayah Maroko

sejak tanggal 1 Januari 1958. Kedua buku ini adalah hasil kerja dari komite

(Komisi) yang di bentuk tanggal 19 Agustus 1957 (22 Muharram 1377

H).62

Komisi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Raja ini bertugas

menyusun rancangan Undang-Undang Hukum Keluarga, termasuk

Kewarisan. Penyusunan rancangan Undang-Undang ini didasarkan pada

tiga sumber pokok. Pertama, beberapa prinsip hukum dari Mazhab Hukum

Islam (fiqih), khususnya Mazhab Maliki yang dianut Muslim Maroko.

Kedua, prinsip mashlahah mursalah. Ketiga, UU yang berlakukan di

beberapa negara Muslim laainnya. Adapun isinya terdiri dari 8 Bab, yaitu:

I. Perkawinan dan Pinangan; II. Dasar-dasar dan Syarat-syarat Akad Nikah;

61

A. Khumedi Ja’far, dkk, Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim Modern,

(Anugrah Utama Raharja: Lampung, 2013), h. 97. 62

A. Khumedi Ja’far, dkk, Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim Modern, h.

97.

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

36

III. Wali Nikah; IV. Mahar; V. Pembatalan Perkawinan; VI. Jenis

Perkawinan dan Akibat-akibatnya; VII dan VIII. Tentang Perceraian.63

Imane Chaare menjelaskan tentang perdebatan tentang Undang-

Undang Hukum Keluarga, “Despite some debates in the 1970s and the

1980s, the Family Code has remained virtually identical to that which was

enacted after independence. In the early 1990s, the debate concerning the

Code began to grow in importance. In 1993, a campaign led by the

associative sector managed to collect one million signatures to support the

claims of those working towards a change in the law.“64

Artinya: Meskipun ada perdebatan di tahun 1970-an dan 1980-an,

Undang-undang Hukum Keluarga tetap identik dengan apa yang dilakukan

setelah kemerdekaan. Pada awal 1990-an, perdebatan tentang Undang-

undang Hukum Keluarga mulai menjadi penting. Pada tahun 1993, sebuah

kampanye yang dipimpin oleh sektor asosiasi berhasil mengumpulkan satu

juta tanda tangan untuk mendukung klaim dari mereka yang bekerja

menuju perubahan dalam hukum.

Kita dapat melihat bahwa mulai tampak kesadaran masyarakat

tentang pentingnya pembaharuan hukum keluarga dengan mengadakan

petisi untuk pemerintah agar Moudawwana segera direvisi.

“The Women‟s Action Union (UAF) founded in 1987 presented an open

letter to the House of Representatives including claims based on a triple

standard: the objectives of Sharia (under Islamic law), social reality, and

universal human rights. This letter was addressed to politicians, not to the

king who is the „Commander of the Faithful‟. King Hassan II reacted

stating that the issue is based on religious values and declares that its

treatment comes under the „Commander of the Faithful‟, and not the

political world.”65

Artinya: The Women‟s Action Union (UAF) atau yang bisa disebut

dengan Serikat Aksi Perempuan yang didirikan pada 1987

mempresentasikan surat terbuka untuk Dewan Perwakilan termasuk klaim

63

A. Khumedi Ja’far, dkk, Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim Modern, h.

97. 64

Imane Chaare, Pro-Women Legal Reform in Morocco: Is Religion an Obstacle? Proceedings of the German Development Economics Conference, Berlin 2011, No. 17, h.

4. 65

Imane Chaare, Pro-Women Legal Reform in Morocco: Is Religion an Obstacle,

h. 4.

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

37

berdasarkan tiga standar diantaranya berdasarkan hukum Islam, realitas

sosial, dan hak asasi manusia. Surat ini ditujukan kepada politisi, bukan

kepada raja yang merupakan pemimpin Negara. Raja Hasan II bereaksi

menyatakan bahwa masalah ini didasarkan pada nilai-nilai agama dan

menyatakan bahwa hal ini diatur oleh Raja dan bukan politisi.

Permintaan dari The Women‟s Action Union (UAF) agar raja

segera merevisi Undang-Undang Hukum Keluarga tetap berlandaskan

hukum Islam akan tetapi tetap sesuai dengan hak asasi manusia tuntutan

modernitas.

“The king then received a delegation of women. He quoted ijtihad3,

stressing that it cannot prohibit what God has not prohibited, and it

cannot allow what has not been permitted by God. He promised

amendments proposed by a committee composed of ulama (theologians

and jurists). However, the changes are limited. The steps taken toward

establishing a polygamous marriage and obtaining a divorce are more

complicated than before.”66

Artinya: Raja kemudian menerima perwakilan wanita, ia

mengutip ijtihad dan menekankan bahwa raja tidak dapat melarang apa

yang tidak dilarang tuhan dan tidak dapat membiarkan apa yang tidak

diizinkan tuhan. Dia menjanjikan amandemen yang diusulkan oleh sebuah

komite yang terdiri atas Ulama (ahli teologi dan ahli hukum). Namun

perubahannya terbatas, langkah-langkah yang diambil untuk membangun

pernikahan poligami dan mendapatkan perceraian lebih rumit dari

sebelumnya.

Upaya dari The Women‟s Action Union (UAF) membuahkan hasil

dengan pada akhirnya raja menjanjikan amandemen meskipun

perubahannya terbatas.“These reforms considerably enhanced the rights of

women in terms of equality within the family, increasing their rights within

the household on two levels. Firstly, husbands and wives were provided

joint responsibility in family matters, making both de jure heads-of-

household. Secondly, women were no longer required to be obedient to

their husbands in return for exercise of other rights, such as the rights to

financial maintenance or employment outside of the home.”67

66

Imane Chaare, Pro-Women Legal Reform in Morocco: Is Religion an Obstacle,

h. 4. 67

Paul Scott Prettitore , Family Law Reform, Gender Equality, and Underage

Marriage: A view from Morocco and Jordan,( The Review of Faith & International

Affairs , volume 13, number 3 (fall 2015) , h. 32.

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

38

Artinya: Perubahan ini sangat meningkatkan hak perempuan

dalam hal kesetaraan dalam keluarga, meningkatkan hak mereka dalam

rumah tangga. Pertama, suami dan istri diberikan tanggung jawab bersama

dalam masalah keluarga, membuat keduanya secara de jure sebagai kepala

keluarga. Kedua, perempuan tidak lagi dituntut untuk patuh kepada suami

mereka sebagai imbalan atas pelaksanaan hak-hak lainnya, seperti hak atas

pemeliharaan keuangan atau pekerjaan di luar rumah.

Perubahan ini secara tidak langsung sebagai bentuk penerapan

kesetaraan jender dalam kehidupan keluarga dan memberikan sedikit

kelonggaran bagi wanita dalam berumah tangga.

“The new Moudawana also increased protections afforded

women. For example, it introduced an option for married couples to sign

an additional contract at the time of marriage, separate from the marriage

contract, allowing for designation of a community property regime, which

could greatly benefit women given the low labor force participation of

married women in Morocco. It also restricted polygamy, gave women the

authority to sign their own marriage contracts and allowed women access

to no-fault divorce.”68

Artinya: Moudawwana yang baru juga meningkatkan

perlindungan yang diberikan perempuan. Sebagai contoh, Moudawwana

menawarkan pilihan untuk pasangan yang sudah menikah untuk

menandatangani kontrak tambahan ketika pernikahan, yang berbeda dari

perjanjian perkawinan, memungkinkan penunjukkan aturan harta bersama,

yang dapat sangat menguntungkan perempuan mengingat rendahnya

wanita menikah yang bekerja di Maroko. Moudawwana juga membatasi

poligami, memberi perempuan wewenang untuk menandatangani kontrak

pernikahan mereka sendiri dan mengizinkan perempuan tanpa salah

mengakses perceraian.

Perlindungan hak-hak wanita dalam Moudawwana benar-benar

berusaha diangkat dan dijunjung tinggi terbukti dengan beberapa aturan

yang menguntungkan perempuan.

“The Moudawana also enhanced protections for children. In terms of

child custody, the best interests of the child could be used as a basis for

making custody decisions, rather than relying on less flexible formulas.

Protection of children was to be increased through the inclusion in the

68

Paul Scott Prettitore , Family Law Reform, Gender Equality, and Underage

Marriage: A view from Morocco and Jordan, h. 33.

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

39

Moudawana of provisions of international conventions ratified by

Morocco.”69

Artinya: Moudawwana juga meningkatkan perlindungan bagi

anak-anak. Dalam hal pengasuhan anak kepentingan terbaik anak dapat

digunakan sebagai dasar untuk membuat keputusan hak asuh, daripada

mengandalkan pada cara yang kurang fleksibel. Perlindungan anak-anak

harus ditingkatkan melalui penyantuman dalam Moudawwana tentang

ketentuan konvensi internasional yang diratifikasi oleh Maroko.

Selain hak perempuan, hak anak juga turut diangkat dalam

Moudawwana dengan dikuatkan konvensi internasional yang diratifikasi

oleh Maroko.

“On the matter of the age of marriage, it raised the age of

marriage for girls to 18, equating it with the age of marriage for boys.

However, it allows for marriage under the minimum age if certified by a

court. To improve implementation of the Moudawana, priority was given

to establishing a system of competent family courts.”70

Artinya: Dalam hal usia boleh menikah, untuk gadis menjadi 18

tahun disamakan dengan laki-laki. Bagaimanapun, undang-undang

membolehkan menikah di bawah umur jika diizinkan oleh pengadilan.

Untuk meningkatkan penerapan Moudawwana, prioritas diberikan untuk

membangun sistem pengadilan hukum keluarga yang kompeten.

Dengan penyamarataan usia boleh nikah semakin menyiratkan

bahwa Moudawwana berusaha untuk menerapkan keserataan jender dalam

Hukum Keluarga.

69

Paul Scott Prettitore , Family Law Reform, Gender Equality, and Underage

Marriage: A view from Morocco and Jordan, h. 33. 70

Paul Scott Prettitore , Family Law Reform, Gender Equality, and Underage

Marriage: A view from Morocco and Jordan, h. 33.

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

40

BAB III

HADHANAH MENURUT HUKUM PERKAWINAN

DI INDONESIA DAN MAROKO

A. Hadhanah menurut Para Ulama Mazhab

1. Pengertian Hadhanah

a. Hanafi

1.ونمةياحينفولعجفولزتعايأءيالش لجالر نضحاؿقيػةياحينفءيالش لعج Artinya: Menjadikan sesuatu itu dalam pihak yang

dikatakan mengasuh seseorang atau yang membatasinya maka

menjadikannya dalam pihak sesuatu itu.

b. Maliki

ـيالقوزاجالعةانيص 2.وحالصمبا Artinya: Memelihara orang lemah dan mengurusi

kepentingannya.

c. Syafi’i

كنونػجامريػبكول,وهر ضايم عويقيووحلصايمبهرومأبل قتسيلنمةي برتػ هده عتػيػفأاـنيػلوكيرحتودهيالمفريغالص طبروولحكوونىدووابيثوهدسجلسغبػ 3.ا

Artinya: Mendidik seseorang yang tidak bisa mengurusi

urusannya sendiri dengan apa yang bermanfaat baginya dan

menjaganya dari yang membahayakannya. Meskipun sudah

dewasa dan gila seakan-akan menjaganya, memandikan jasadnya

dan bajunya dan meminyakinya dan seperti keadaanya dan

mengikat anak kecil dalam ayunan dan menggerakkannya untuk

tidur.

d. Hanbali

ـيالق,وهر ضايم عوظفح,وولوتي برتػوصخىالش لإاهنعيمفنمولفالط م ض 4.وحالصمبا

1 Bakr ibn Mas’ud al-Kasani, Badaai‟u as-Shonaa‟i fii tartiibi asy-Syarooi‟ juz IV,

(t.p., Beirut, 1986), h. 40. 2 Syaikh Muhammad ibn Muhammad Salam, Lawami‟ ad-dururi fii hataki astari

al-Mukhtashor juz VIII, (t.p., t.t., 2015), h. 755. 3 Syaikh Muhammad asy-Syarbayni al-Khotib, Al-Bujairomi ali Khotib juz IV, (t.p.,

Beirut: 2007), h. 104.

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

41

Artinya: Mengumpulkan anak kecil dan yang dimaksud

dalam artinya merujuk kepada seseorang dan mendidiknya, dan

menjaganya dari yang membahayakannya, dan mengurusi

kepentingannya.

Jika disimpulkan dari masing-masing pendapat fuqaha

madzhab sebenarnya hampir sama secara keseluruhan. Hanya saja

Syafi’i menambahkan orang dewasa atau gila dalam definisinya.

2. Dasar Hukum Hadhanah

Dasar hukum hadhanah adalah firman Allah Swt. (QS Al-Tahrim

ayat 6):

يأيػ هاالذينءامنػواقػوأنػفسكموأىليكمناراوقػودىاالن اسوالحجارة...Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan

keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia

dan batu…” (QS Al-Tahrim [66]: 6)

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan kepada

kaum Mukminin agar memelihara diri mereka dengan amal perbuatan

mereka, dan memelihara keluarga mereka dari neraka dengan nasihat,

didikan, bimbingan, tuntunan, dan pengajaran. Termasuk anggota

keluarga dalam ayat ini adalah anak. 5

Maksud ayat diatas adalah perintah kepada kaum mukminin untuk

menjaga dirinya sendiri dan keluarga mereka dengan ajaran yang benar

terutama kepada anak.

3. Yang Berhak Memegang Hadhanah

a. Hanafi

عاؿجالر واءسالن نمبارقللتبثتػةانضالح التػ ل, فتالبيترى اباسالن ق حأي:أىدعبػنمم ,ثةقل طموأبالبةجو زتػمتانكاءو,سـ الةانضلح ا,وهم أـ أاوهم اوذكى وةانضحللةحالصـ الـ أ فوكتفأد بلا. أفق حالـ الـ لسيل. في

4 Abdul Karim ibn Muhammad Lahim, Al-Muthlai‟ „ala daqoiqi zaadu al-Mustaqni

juz V, (t.p.: Riyadh, t.th.), h. 404. 5 Wahbah Az-Zuhaili, ed, Tafsir Al-Munir Jilid 14, Penerjamah Abdul Hayyie al-

Kattani, dkk, (Gema Insani: Jakarta, 2014), h. 695.

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

42

المهتنبنابنضحت فأةالالحهذيىفبلل,فولو دعون ا؟لهجوزتييبػفةجو زتػاـ لةانضالحق حلقتػانػريغالص ـرحمريغبتجو زتػو.أـ الـ أتاتامذإا.فهنػمهذخأي

إم .أتل عفإوبال كذا كةمرحمبةجو زتػمتانا إم. كذا .هد جبةجو زتػمةد جتانالهتػانػضحفإف فطقستا فةقيػقش التخللق حاللقتػانػتجو زتػوأتاتمفإ. فإ,اىدعبػنمم ,ثةقيػقالش تخاالىدعبػنمم .ثبلتخياللإلقتػانػتجو زتػوأتاتم6.ـ لتخالتنب

Artinya: Hak asuh anak ditetapkan untuk kerabat dari pihak

perempuan dan laki-laki, dengan ketetapan sebagai berikut: orang

yang paling berhak mendapatkan hak asuh adalah ibunya,

meskipun masih dalam ikatan pernikahan atau sudah bercerai.

Kemudian setelah itu adalah nenek dan ibunya nenek. Dan wajib

ibu sahnya untuk mengasuh anak. Dan bukan ibu yang mengasuh

anak-anaknya di rumah suaminya. Maka untuk ayah pada bagian

ini adalah mengambil anaknya darinya. Maka jika meninggal

ibunya ibu, atau menikah dengan selain mahrom maka berpindah

hak asuhnya untuk ibunya ayah dan keatasnya. Adapun jika

menikah dengan mahromnya. Sebagaimana jika nenek menikah

dengan kakeknya maka hak asuhnya tidak jatuh. Maka jika

meninggal atau menikah maka haknya berpindah kepada saudara

perempuan seayah dan seibu, maka jika meninggal atau menikah

maka berpindah kepada saudara perempuan seayah tapi tidak

seibu. Kemudian setelahnya saudara perempuan seayah dan seibu,

kemudian setelah anaknya bibi.

b. Maliki

ذتالبيترالتػ ىلعروكذواثنإنمريػغالص بارقأةانضالحق حتسي فهركي ق حأ,,ـ لةالالخم ,ثةقيػقالش ةالالخم ,ثتل عفإووم لوتد يجنعا,يػهم أم ,ثوم أوباسالن ىلعـد قتػن هنػمي برقال.وويبأـ أووم أـ أم ,ثبالـ أم ,ثـ الةم عم ,ثـ الةالخم ثودعبػال ثويبأةهجنيمتىال لعـد قتػوم أةهجنيمتال ى. ةهجنمةد الجدعبػم ,

ىلإم ,ثويبأتخأريغالص ةم ىعلإم ,ثتخىاللإم ,ثبىاللإةانضالحلقتنتػبالىلإم ,ثبلم ,ثـ لم ,ثقيقالش خالتنبم ,ثويبأةالىخلإم ثهد جتخأويبأةم ععجرمهضعبػو,ةانضحللحلصالن هنػمـد قيػءلؤىعمتجااذإوكلذكتخالتنباءويسصىالولإةانضالحلقتنتػءلؤىدعبػم ,ثتخالاتنىبػلعخالاتنبػميدقتػ

6 Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, (Darul

Kutub al-Ilmiyah: Lebanon, 2003), h. 455.

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

43

م ,ثـ الةهجنمد الجويلعـد قيػ,وخالنبام ,ثريػغالص خالم ىثثنػأواأركذافك 7ا.بسنوتبصعوأق تعالمم ثدعبػىاللعبرقػالـد قيػ,وونبػام ثم عال

Artinya: adapun yang berhak memegang hak asuh anak

dari pihak perempuan dan laki-laki sebagai berikut: maka yang

paling berhak adalah ibunya, ibu ibunya, yaitu nenek ibunya dan

keatas, kemudian bibi seayah dan seibu, kemudian bibi dari

ibunya, kemudian bibinya ibu, kemudian ibunya ayah, kemudian

ibu ibunya dan ibu ayahnya. Dan kerabat dari pihak wanita lebih

diutamakan daripada dari pihak laki-laki. Kemudian setelah nenek

dari pihak ayah berpindah hak asuh kepada ayah, kemudian kepada

saudara perempuan, kemudian kepada bibi (saudara perempuannya

ayah), kemudian kepada bibinya ayah (saudara perempuan

kakeknya) kemudian bibinya ayah, kemudian anak perempuan

saudara laki-laki yang seayah dan seibu, kemudian kepada ibu,

kemudian kepada ayah, kemudian kepada anaknya saudara

perempuan begitupula jika berkumpul maka yang paling didahulukan untuk hak asuh anak adalah dari pihak perempuan,

dan sebagiannya kembali mendahulukan anak perempuan saudara

laki-lakinya terhadap anak perempuan saudara perempuan.

Kemudian setelah itu hak asuh anak berpindah kepada yang

memberikan wasiat baik itu lelaki atau perempuan kemudian

saudara laki-lakinya, kemudian anak laki-lakinya saudara laki-laki,

dan didahulukan kakek dari pohak ibu, kemudian paman kemudian

anaknya, dan didahulukan yang lebih dekat dibanding yang lebih

jauh kemudian kerabatnya almarhum.

c. Syafi’i

الحاؿوحأةثلثةانضيالحفنيقحتسملل ألوالةال: عمروكالذ بارقالعمتجيفى:الحاثنال أةيانالث ةال. الحطقفػاثنالعمتجيف: أةثالالث ةال, روكالذ عمتجتف: 8.طقفػ

Artinya: untuk orang-orang yang berhak memegang hak

asuh anak ada tiga bagian, yaitu: 1. Mengumpulkan pihak laki-laki

dan perempuan, 2. Mengumpulkan pihak perempuannya saja, 3.

Mengumpulkan pihak laki-lakinya saja.

d. Hanbali

فإوواتهم أم ,ثبالم ا,ثرجملىا,وهم أـ أم ا,ثهم أم ,ثـ لاةانضحالباسالن ق حأةالخم ,ثنيوبػلةالخم ,ثبلتخأم ,ثنيوبػلتخأم ثواتهم أم ثد جالم ,ثتل ع

7 Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 456.

8 Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 456.

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

44

ـد قتػ,ووم أتالخم ,ثبلةم عم ثـ لةم عم ,ثنيوبػلةمعم ,ثبلةالخم ,ثـ لثةقيػقالش ثـ يلتال م , ثبيلتال م , ثكلذكويبأةالخم , م ثكلذكويبأاتم عم ,

ـمعأاتنبػم ,ثواتم عاتنبػم ,ثواممعأاتنبػم ,ثوتوخإاتنبػم ,ثوتوخإاتنبػ ووم أاـمعأاتنبػ ,وبلنيذال م ,ثـ لنيذال م .ثاءقشالول ككليذفـد قتػ,فػكلذكويبأا

لهيػلعةانضحل كـرحما وم عالنبا. وبالم عنبا, لذك, لهيػلعةانضحا ـرحما 9.اعضرب

Artinya: orang yang paling berhak atas hak asuh adalah ibu,

kemudian ibunya ibu dan seterusnya. Kemudian ayah, kemudian

ibu-ibunya ayah keatas, kemudian kakek kemudian ibu-ibunya

kakek kemudian saudara perempuan dari orang tua, kemudian

saudara perempuan dari ibu, kemudian bibi dari orang tua,

kemudian bibi dari ibu, kemudian bibi dari ayah, kemudian bibi

dari kedua orang tua, kemudian bibi dari ibu, kemudian bibi dari

ayah, kemudian bibi-bibi dari ibunya, dan didahulukan yang sah,

kemudian yang dari ibu, kemudian yang dari ayah, kemudian bibi-

bibi dari ayah begitupula, kemudian bibi-bibi ayahnya, kemudian

anak-anak perempuan saudara perempuannya, kemudian anak-

anak perempuan paman-pamannya, kemudian anak-anak

perempuan bibinya, kemudian anak-anak permepuan paman-

pamannya ibunya kemudian dari ayahnya juga, maka didahulukan

atas semua itu semua saudara kandung, kemudian yang dari pihak

ibu, kemudian dari pihak ayah, dan tidak ada hak asuh baginya

untuk mahrom, seperti anaknya paman, anaknya pamannya ayah,

dan begitupula tidak ada hak asuh bagi mahrom dengan susuan.

Jika disimpulkan mayoritas madzhab mengutamakan ibu

dan kaum perempuan dalam bagian orang-orang yang berhak

menerima hadhanah.

4. Syarat-syarat Pengasuh Anak

a. Madzhab Hanafi

فهق حطقستدتارفإ,فناضالحد تريػلفأ .1 اردبتق حلاءو.سةناضيالحا ا.هق احهلعجرتابتفإ.فلو أبرالح

.ويلعةنومأمريػغةقاسففوكتلفأ .2

9 Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 457.

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

45

فويبأريػغجو زتػتػلفأ .3 إهق حطقستجو زتػفإ, رهجوزفوكيفأل ا, امحاكريغلص ل لم عفوكيفأ, فوا فهق حطقسةي بنجأتجو زتػفإ, الز هقل طفإا, جوا

.ةانضيالحافهق حاهلاديعانالث .ةباقػرمفودبي بالص ؾرتػتػلفأ .4 .ةرجأبل إريغالص ةانضحنعـ التعنػتػاما,ورسعمبالفوكيلفأ .5 10.دلوـ أوأومأفوكتلفأ .6

Artinya:

1. Pengasuh tidak murtad, maka jika murtad gugur hak asuhnya

meskipun berada di daar al-harb. Maka jika ia bertaubat

kembali lagi haknya.

2. Bukan orang fasik

3. Tidak menikah kecuali ayahnya, maka jika menikah jatuh

haknya,kecuali jika suaminya sayang terhadap anaknya,

seakan-akan paman baginya, maka jika ia menikahi laki-laki

asing maka jatuh haknya, maka jika suaminya menyeraikannya

maka hak asuhnya dapat kembali lagi.

4. Tidak meninggalkan anak-anak tanpa pengawasan.

5. Sekiranya ayah tidak menyulitkan, dan melarang ibu dari

mengasuh anak kecuali dengan upah.

6. Bukan budak, maka tidak ada hak asuh baginya.

b. Madzhab Syafi’i

كذإل ,إفونػجمللةانضحل,فلاقعفوكيفأ .1 كرادنليلقونونػجافا داحوـويػا, ا.هل كةن يالس ف

.قيقرلةانضحل,فةير الح .2 .ملسىملعرافكلةانضحل,فـلسال .3 .قاسفلةانضحل,فةف الع .4 ةانمال .5كذإفوضحالمدلبػنمةامقال .6 .ازيػ ممافا 11.ـرحمريغبةجو زتػمريغالص ـ أفوكتلفأ .7

Artinya:

1. Berakal, maka tidak ada hak asuh bagi orang gila. Kecuali jika

gilanya sedikit, seperti satu hari dalam setahun.

2. Merdeka, tidak ada hak asuh bagi budak.

10

Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 457. 11

Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h.458.

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

46

3. Islam, tidak ada hak asuh untuk kafir atas muslim.

4. Suci, maka tidak ada hak asuh untuk orang fasik.

5. Dapat menjaga kepercayaan.

6. Mampu menjaga anak jika sudah mumayyiz.

7. Ibunya tidak menikah lagi dengan selain mahrom.

c. Madzhab Hanbali

.فونػجملةانضحل,فلاقعناضالحفوكيفأ .1 ا.قيػقرفوكيلفأ .2 ازجاعفوكيلفأ .3 .ةانضيالحفوق حطقسل إ,وـذجأو,أصربػأفوكيلفأ .4فإ,فوبيرقوهد جكي بنجأريػغافكفإ,فلفالط نمي بنجأبةجو زتػمفوكتلفأ .5

12.ةانضاالحهلArtinya:

1. Pengasuh harus berakal. Maka tidak ada hak asuh untuk orang

gila.

2. Bukan budak

3. Tidak cacat.

4. Tidak memiliki sakit kusta atau ajdzam, maka jatuh hak

asuhnya.

5. Tidak menikah dengan laki-laki asing dari anaknya, maka jika

tidak asing seperti kakeknya dan kerabatnya, maka baginya hak

asuh.

d. Madzhab Maliki

لقعةف خوبنملل,وافيحالضعيبػفقيفيول,وفونػجملةانضحل,فلقالع .1 .شيطو

ـيىالقلعةردالق .2 .زاجعللةانضحل,ففوضحالمفأشباياكمناضحللفوكيفأ .3 بػتال ويفتنالبػظفحنكمف نمةوهالش د حتغلي

كذإ,فادسفال .طقستوتانػضحفإ,فةنومأمريغةهيجفافا .نييالد فةانمال .4 .ونملفىالط لىعشخيدعمضرمباباصمناضالحفوكيلفأ .5فديشرناضالحفوكيفأ .6 فإفوضحالماؿمفلتيػل ئ,لرذ بمويفسلةانضحلا

.اؿمولافك

12

Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 458.

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

47

إاهبلخدجوزنعولالخ .7 تػذإل , أـرحمبتجو زا ةانضالحق حولنمملعو,ـعةد متكساوهجو زتػايػىدعبػ 13 .كلذبطقستوتانػضحفإفرذعلبا

Artinya:

1. Berakal, maka tidak ada hak asuh anak bagi orang gila walau

gilanya setengah dan lemahnya akal.

2. Mampu membesarkan yang diasuh, maka tidak ada hak asuh

bagi orang yang lemah.

3. Pengasuh memiliki tempat tinggal yang memungkinkan

menjaga anak yang sudah mencapat batasan syahwat dari

kerusakan.

4. Dapat dipercaya dalam agama.

5. Pengasuh tidak tertimpa penyakit yang menakuti anak yang

diasuhnya.

6. Pengasuh harus pintar.

7. Tidak adanya suami baru, kecuali jika menikah dengan

mahrom, atau mengetahui hak asuhnya setelah menikah dan diam selama setahun tanpa udzur maka hak asunya gugur.

Jika disimpulkan secara keseluruhan, seluruh fuqaha

madzhab sepakat bahwa ibu tidak boleh menikah lagi kecuali

dengan mahrom. Sebagian fuqoha seperti Hanbali dan Malikipun

mensyaratkan bahwa pengasuh harus terbebas dari penyakit.

Malikipun mensyaratkan bahwa pengasuh harus memiliki tempat

tinggal.

5. Masa dan Upah Hadhanah

a. Masa Pengasuhan

1. Madzhab Hanafi

14.نينسعستبمهضعبػ,ونينسعبسبمهضعابػىرد قـلغللةانضالحةد م Artinya: masa pengasuhan untuk anak diukur sebagian

dengan tujuh tahun dan sebagian lagi dengan sembilan tahun.

2. Madzhab Maliki

ألإوتدلونيحنمـلالغةانضحةد م فغلبػيػفى ىت حوتانػضحـ أولافكفإ,ثغلبػيػ وهتػانػضحطقستم , ونونػجمغلبػولا, اذإبىاللعوتقفنػر متستنكلا, 15.جو زتػىتػت ىحثنػالةانضحةد ما,ونونػجمغلبػ

13

Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 458. 14

Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 459.

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

48

Artinya: masa pengasuhan anak-anak dari sejak

kelahirannya sampai baligh, maka jika untuknya ibu yang

mengasuhnya sampai baligh maka gugur hak asuhnya

meskipun sampai menjadi gila, akan tetapi nafkah ditanggung

ayah jika sampai menjadi gila, dan masa hak asuh perempuan

sampai ia menikah.

3. Madzhab Syafi’i

فةمولعمةد مةانضحللسيل متمي بالصفإ, فوم أوويبأنيبػزيػ ى ارتخافإ,كمىدحأ 16.ولافا

Artinya: bukan untuk hak asuh itu masa yang diketahui,

maka jika seorang anak memilih antara ayah dan ibunya, maka

jika ia memilih salah satunya dia menjadi milik orang yang

dipilihnya.

4. Madzhab Hanbali

قفتػ اونينسعبسي بالص غلابػذإنكلى,وثنػالوركالذ نينسعبسةانضالحةد مفمىدحأدنعفوكيفأاهوبػأ وح صيون إا في بالص ريػاخعازنتػفإ, نمعمافك,لمىدحأارتخاون أملعيػلفأطرشا,بمهنػمارتخا ويلعدد شالت ـدعووتلوهسا 17.اداسفب شيفػولافنالعؽلطإووتي بريالتػ ف

Artinya: Masa hadhanah adalah tujuh tahun bagi laki-laki

dan perempuan, akan tetapi jika anak itu sampai tujuh tahun

dan ayahnya sepakat untuk memilih salah satu dari keduanya

maka sah saja. Dan jika mereka berdua bertengkar tentang

anaknya maka itu bergantung bersama siapa anak itu memilih

dengan syarat ia mengetahui bahwa ia memilihnya dengan

kemudahan dan tidak keras dalam mendidiknya, dan

mengekangnya dan ia menjadi rusak.

Adapun jika disimpulkan mayoritas ulama menyatakan

batas hadhanah adalah sampai anak tersebut baligh. Yaitu pada

umur tujuh atau sembilan tahun.

b. Upah Hadhanah

1. Madzhab Hanafi

15

Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 459 16

Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h.459. 17

Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 459.

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

49

,اعضالر ةرجأريػغيىا,وىريػغواأم أتانكاءو,سةناضحللةتابثةانضالحةرجأفػدلالوةقفنػريػغو اللعبجي, أبى أةثلثةقفالنػ ويلعبجتنمو, ةرج:

18.دلالوةقفنػ,وةانضالحةرجأ,واعضالر Artinya: Upah hadhanah tetap untuk pengasuhnya

meskipun ibu atau selainnya, yaitu selain upah susuan, dan

selain nafkah anak, maka wajib untuk ayah, atau yang wajib

baginya itu ada 3 nafkah: upah susuan, upah hadhanah, dan

nafkah anak.

2. Madzhab Maliki

الحلعةرجأناضحللسيل سةانضى أم أتانكاءو, بىريػغوا نعرظالن عطقا,كذاأهنػ إ,فةناضالح اؿمنامهيػلعقفنيػون إفاؿمفوضحولدىاالملوةريػقفتانا

لىدلو لىرقفا الوم أةانضحللا وةوسكالوةقفالنػ ويبىألعولفػفوضحالمدلا 19.ويلعوقفنتوونموضبقتػةناضالح,وشرالفواءطالغ

Artinya: Bukan untuk pengasuh itu upah atas hadhanah,

meskipun ibu atau selainnya, dengan berhenti melihat kepada

pengasuhnya, maka jika sesungguhnya ada seorang faqir dan

anak yang diasuhnya memiliki harta maka ia menginfakkan

atasnya dari harta anaknya. Adapun anak yang diasuh maka

untuknya atas ayahnya nafkah dan pakaian dan penutup dan

kasur, dan pengasuhnya memegangnya darinya dan

menginfakkannya atasnya.

3. Madzhab Syafi’i

كذإ,فاعضالر ةرجأريػغيى,وـ ىالت حناضحللةتابثةانضالحةرجأ ـ التاناريغلص لافكفإم ,ثتبيجأةانضحالواعضالر ىلعةرجالتبلطوةعضرالميىمفةرجالتانكاؿم ووالي اللعفل إ, ووتقفنػومزلتػنموأبى اهلردقيػ, 20ا.هالحبسحايهتػايػفك

Artinya: Upah hak asuh tetap atas pengasuh sampai ibu,

yaitu selain upah susuan. Maka jika ibu dan ia menyusui juga

dan meminta upah atas susuan dan hak asuh maka

diperkenankan. Maka jika anak memiliki harta maka upah ada

dalam hartanya, dna kecuali pekerjaan ayah atau siapa yang

wajib atas nafkahnya, dan menetepkan atasnya kemampuannya

yang mengukur keadaannya.

18

Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 462. 19

Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 462. 20

Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 462.

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

50

4. Madzhab Hanbali

ونضحتةعر بػتمتدجوولووتانضحبق حأـ ال,وةانضالحةرجأبلطةناضحللواعضلر لةارماترجؤتػااسذإا,وهلفطةانضىحلعـ الربػجتلن كلا,وانجم

بةانضالح الحهتػمزلاعضالر دقيالعفركذفإ,ودقالعلزماىا فإوا,عبػتػةانضاالر همزليػملةانضحللترجؤتػسا واعضا اذإ, وهق حطقسـ التعنػتػما لقتػانػا, 21.ـد قتػالموجوىاللا,عىريىغلإ

Artinya: Untuk pengasuh meminta upah atas hak asuh, dan

ibu lebih berhak dengan hak asuhnya meskipun ia

mendapatkan derma yang cuma-cuma, akan tetapi ibu tidak

dipaksa atas hak asuh anaknya, dan jika perempuan itu

memberanikan diri untuk susuan dan hak asuh maka

seharusnya dengan akad, dan jika disebutkan dalam akad

susuan seharusnya hak asuhnya mengikuti, dan jika ia berani

untuk hak asuh maka tidak mewajibkannya atas susuan, dan

jika ibu melarang maka jatuh haknya, dan berpindah ke yang

lain dengan penjelasan yang lebih lanjut.

Jadi jika disimpulkan mayoritas ulama membolehkan

adanya upah hadhanah kecuali fuqaha Maliki.

B. Hadhanah Menurut Peraturan Perundang-undangan Hukum Keluarga

di Indonesia

1. Hadhanah Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

Pemeliharaan anak yang menjadi kewajiban orang tua harus

dipenuhi karena kegagalan memelihara anak dalam membekali kebutuhan

mereka, terutama bekal keagamaan, bukan saja merugikan diri si anak

yang bersangkutan, namun kedua orang tuanya pun akan menderita

kerugian yang tidak kecil.22

Hal ini dirumuskan dalam pasal 45 Undang-

undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut:

21

Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 463. 22

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Raja Grafindo

Persada:Jakarta, 2013), h. 195.

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

51

1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak

mereka sebaik-baiknya.

2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini

berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban

mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.23

Jadi, intisari dari kedua ayat diatas adalah kedua orang tua tetap

berkewajiban mengasuh dan memelihara anak-anaknya baik dalam ikatan

perkawinan ataupun tidak.

Namun apabila terjadi perceraian maka kedudukan orang tua

sebagai pengasuh anak dijelaskan dalam pasal 41 ayat 1 dan 2 Undang-

undang Nomor 1 tahun 1974 sebagai berikut:

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak

bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak

pengadilan memberi keputusannya.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam

kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,

pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya

tersebut.24

Jadi, intisari dari pasal diatas adalah tentang penegasan hak-hak

yang harus dipenuhi jika terjadi perceraian. Termasuk didalamnya hak

anak untuk tetap diasuh oleh kedua orang tuanya dan ditambahkan pula

dalam poin terakhir untuk memberikan biaya penghidupan untuk bekas

istri.

2. Hadhanah Menurut Inpres KHI (Kompilasi Hukum Islam) Nomor 1

tahun 1991

23

Undang-Undang Pokok Perkawinan, (Bumi Aksara : Jakarta, 1989), h. 14. 24

Undang-Undang Pokok Perkawinan, (Bumi Aksara : Jakarta, 1989), h. 13.

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

52

Dalam pasal 105 KHI dijelaskan bahwa:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12

tahun adalah hak ibunya;

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak

untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak

pemeliharaanya;

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.25

Intisari dari pasal diatas adalah jika anak belum mumayyiz atau

belum berumur 12 tahun maka ibunya yang berhak mengasuh, selebihnya

ia boleh memilih antara ayah dan ibunya. Adapun biayanya tetap

ditanggung ayah.

Adapun hubungan kajian antara Undang-Undang Perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam adalah jika Undang-Undang Perkawinan

membahas tentang kewajiban mengasuh anak baik dalam ikatan

perkawinan maupun tidak dan penegasan hak-hak yang harus dipenuhi

setelah perceraian. Sedangkan KHI membahas tentang batas usia anak dan

hal-hal yang berkaitan dengan pengasuhannya.

C. Hadhanah Menurut Peraturan Perundang-undangan Hukum Keluarga

di Maroko

Setelah memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 19 Agustus

1957, Maroko yang penduduknya adalah pengikut mazhab Maliki, melakukan

kodifikasi selama tahun 1957-1958, yang menghasilkan Moudawana al-Ahwal

al-Shakhsiyah.26

Kemudian pada tahun 2004 Maroko kembali

mengamandemen peraturan perundang-undangan tentang hukum keluarganya.

25

Departemen Agama R.I., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Departemen

Agama R.I.: Jakarta, 1997), h. 50. 26

A. Khumedi Ja‟far dkk, Hukum Keluarga Di Negara-Negara Muslim Modern,

(Lampung: Anugerah Utama Raharja, 2013), h. 93.

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

53

Ketentuan tentang pemeliharaan anak secara umum bersumber dari

prinsip-prinsip mazhab Maliki. Dalam fiqih Mazhab Maliki dinyatakan bahwa

jika seseorang mentalaq istrinya, pemeliharaan anak menjadi hak ibu, dengan

alasan seorang ibu lebih besar kasih sayangnya dan memahami kemaslahatan

dan kebutuhan anak daripada ayah. 27

Adapun ketentuan peraturan perundang-undangan tentang hadhanah

di dalam The Moroccan Family Code (Moudawana) diatur dalam pasal 163-

186 sebagai berikut:

Pasal 163

أف علىالحاضن, مصالحو. و بتػربي تو ـ القيا و يضر ه, قد ا مم الولد حفظ قدرالحضانة يػقوــ القيا و نػفسو, و جسمو في سلمتو و المحضوف لحفظ زمة الل الجراءات بكل المستطاع

مص ضياع خيف إذا الض رورة حالة في و , الش رعي الن ائب غي بة حالة في الحبمصالحو28المحضوف.

Artinya: Hak asuh anak melindungi anak dari bahaya dan

memastikan pendidikannya dan perlindungan terhadap kepentingannya.

Pemegang hak asuh harus mengambil semua tindakan yang diperlukan

untuk menjamin keamanan fisik dan psikologis anak tersebut dalam

pengasuhannya, mengelola kepentingannya dengan tidak adanya

pembimbing hukum, dan bila diperlukan pada saat kepentingan anak

tersebut berada dalam asuhannya terancam.

Hal ini sesuai dengan pendapat Mazhab Maliki yang mensyaratkan

tempat bagi anak haruslah aman dan lingkungannya kondusif. Orang yang

rumahnya jadi tempat perkumpulan orang-orang fasik tidak berhak mengurus

hadhanah anak, atau jika lingkungan rumahnya membahayakan.29

Kemudian diperjelas dengan pasal 169 sebagai berikut:

بشؤوفالمحضوففيالتأديبع الحاضنة,واجبالعناية ـ وال ولىالبأوالن ائبالش رعي إذارأىالقاضيمصلحةالمح عندحاضنتو,إل وففيضالتػ وجي ةالد راسي,ولكن وليػبػي تإل

27

M. Atho Muzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Ciputat: Ciputat

Press, 2003), h. 91. 28

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 29

Wahbah Az-Zuhaili. ed, Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 10, Penerjamah Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk, (Gema Insani : Jakarta, 2011), h. 67.

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

54

ـ ,مراقػبةالمحضوففيالمتابػعةاليػومي ةلواجبتوال رال د راس ية.غيرذالك.وعلىالحاضنغيػ المحكمة إلى المر يػرفع الحاضن, و الش رعي الن ائب بػين الخلؼ حالة في وفقو للبت

30مصلحةالمحضوف.Artinya: Ayah atau wali hakim dan ibu pengasuh harus menjaga

kepentingan anak, termasuk pendidikan dan asuhannya; bagaimanapun,

pengasuh selalu menghabiskan malam di rumah pengasuh kecuali jika

hakim memutuskan sebaliknya. Jika pengasuhnya selain ibu, pengasuh itu

harus mengawasi dan menindaklanjuti setiap hari tentang pekerjaan rumah

anak tersebut. Jika terjadi perselisihan antara wali hukum dan pengasuh,

kasus tersebut diajukan ke pengadilan untuk diselesaikan sesuai dengan

kepentingan anak.

Pasal ini menjelaskan meskipun anak berada dalam kuasa asuh

salah satu orang tua maupun pengasuh, orang tua tetap berkewajiban untuk

memberikan hak pendidikan kepada anaknya. Lalu menjadi pengasuh di

Maroko haruslah bertanggung jawab dan jika terjadi perselisihan maka

diselesaikan di pengadilan.

Kemudian diperjelas lagi dalam pasal 173 sebagai berikut:

شروطالحاضن: الر شدالقانػونيلغيرالبػوين .1ستقامةوالمنة .2 العلىتػربي ةالمحضوفوصيانتوورعايتوديػنا .3 وخلقاوعلىالقدرة وصح ة

مراقػبةتمد رسوالمادتػين .4 في ها عليػ المنصوص الحالت في إل الحضانة طالبة زواج ـ عد

بػعده.175و174إلحاؽالض منو خيف الحاضن فيوضعيو ر تػغييػ وقع المجنػونش.إذا با رور

31سقطتحضانػتووانػتقلتإلىمنيليو.Artinya: Kriteria pengasuh:

1. Orang lain selain orang tua pasti sudah mencapai usia yang dibolehkan

dalam hukum;

2. Memiliki moral yang baik dan dapat dipercaya

30

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 31

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

55

3. Memiliki kemampuan untuk membesarkan anak, melindungi

kesehatannya dan memastikan moral mereka dan pendidikan agama

dan sekolah;

4. Petugas pemohon perempuan untuk hak asuh mungkin tidak akan

menikah kecuali dalam kasus yang diatur dalam Pasal 174 dan 175 di

bawah ini.

Jika terjadi perubahan dalam status pengasuh yang cenderung

menyebabkan kerugian bagi anak, hadhanah akan ditarik dan diberikan

kepada orang yang berhak berikutnya.

Pasal ini menjelaskan persyaratan secara rinci mengenai syarat-

syarat orang yang berhak mengasuh anak, agar pengasuh bukanlah orang

yang sembarangan, sebab anak yang belum mumayyiz rentan sekali

meniru kebaikan maupun keburukan orang-orang di sekitarnya, maka

diharapkan pengasuh haruslah orang yang baik dan bertanggungjawab dan

disyaratkan tidak menikah lagi untuk ibu pengasuh yang bukan ibu

kandungnya.

Pasal 164

32.الحضانةمنواجباتالبػوين,مادمتعلقةالز وجي ةقائمة Artinya: Hak asuh anak adalah kewajiban orangtua selama

pernikahannya masih berjalan.

Pasal 165

عمنيػعنيوآذالميػوجدبػينمستحق يالحضانةمنيػقبػلها,أووجدولمتػتػوفػ رفيوالش روط,رفتػراه من اختيار لتػقر ر المحكمة, إلى المر العامة النػ يابة أو آلى أقاربالمر من صالحا

لةلذلك. اختارتإحدىالمؤى 33المحضوفأوغيرىم,وإل Artinya: Jika di antara orang yang berhak dipercayakan dengan hak

asuh tidak ada yang menerimanya atau memenuhi kondisi yang

dipersyaratkan, pihak yang bersangkutan atau Kantor Kejaksaan dapat

meminta pengadilan untuk menunjuk siapa pun yang dianggap sesuai di

antara keluarga anak atau orang lain, atau memilih institusi yang ditunjuk

untuk tujuan ini.

32

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 33

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

56

Kedua pasal diatas menjelaskan bahwa pada dasarnya orang tua lebih

berhak karena secara fisik dan psikologis merekalah yang paling berhak

atas hak tersebut dan pemberian hadhanah pasca perceraian diberikan

kepada salah satu orang tua baik ayah ataupun ibu tapi apabila ada orang

lain yang ingin mengasuh anak tersebut maka pengadilan dapat

memutuskan kepada siapa hak asuh akan diberikan.

Penjelasan tentang orang-orang yang diberi hak asuh dipertegas

kembali dalam pasal 171 sebagai berikut:

بناءعلىمتخوؿالحضان أفتػقر ر ـ ,فإفتػعذ رذلك,فللمحكمة ال لـ للب,ثم للـ ,ثم اةعجعل,ملديػهامنقػرائنلصالحرعايةالمحضوف,إسنادالحضانةلحدالقاربالكثػرأىلي ة

34.تػوفيرسكنلئقللمحضوفمنواجباتالنػ فقة

Artinya: Hak asuh anak pertama-tama diberikan kepada ibu, lalu

kepada ayah, kemudian ke nenek ibu anak tersebut. Jika ini terbukti sulit,

pengadilan harus memutuskan, berdasarkan bukti di depan dan mengingat

apa yang akan melayani kepentingan anak tersebut, untuk memberikan hak

asuh kepada keluarga kerabat yang paling berkualitas, sambil menjamin

agar penginapan yang cocok bagi anak tersebut dari kewajiban hak asuh.

Hal yang paling menonjol dalam pasal ini adalah adanya pemberian

hak asuh kepada orang tua pasca perceraian yang lebih memprioritaskan

ibu yang memegang kendali baik dari sisi pengaturan kebutuhan anak

maupun keuangannya. Akan tetapi jika terjadi perselisihan maka

diselesaikan oleh pengadilan.

Pasal 166

الر شدالقانػونيللذكروالنػثىعلىحد سواء. الحضانةإلىبػلوغسن تستمر عشرةسنة,افيختارمنيحضنوبػعدانتهاءالعلقةالز وجي ة,يحق للمحضوفا لذيأتم الخامسة

منأبيوأوأم و. فيالماد ة المنصوصعليهم أقاربو حد أ اختيار يمكنو وجودىما, عدـ بػعده,171فيحالة

.شريطةأفليػتاعرضذلكمعمصلح تو,وأفيػوافقنائبوالش رعي الموافقة,يػرفعالمرإلىالقاضىلبػيتوفقمصلحةالقاصر .وفيحالةعدـ

35

34

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

57

Artinya: Pengasuhan dilakukan sampai anak laki-laki dan perempuan

mencapai usia yang diperbolehkan hukum. Setelah perkawinan orang

tuanya putus, anak yang berusia lima belas tahun berhak memilih ayah

atau ibu sebagai pemegang hak asuh. Seorang anak tanpa orang tua dapat

memilih salah satu saudara yang disebutkan dalam Pasal 171, asalkan

kepentingannya tidak terancam dan bahwa wali hakim tersebut setuju.

Dengan tidak adanya kesepakatan, kasus tersebut diajukan kepada hakim

untuk menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan kepentingan anak di

bawah umur.

Sementara itu, Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi berpendapat

tidak diberikan hak pilih kepada si anak, karena ia belum bisa menentukan

pilihan dengan akal sehatnya sehingga terkadang ia lebih memilih ikut

orang yang biasa bermain bersamanya.36

Namun diantara keduanya berbeda pendapat dalam

penyelesaiannya. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa bila si anak telah

dapat hidup mandiri, baik dalam berpakaian, makan, dan membersihkan

badannya, maka ayah lebih berhak atasnya. Mazhab Maliki berpendapat

bahwa ibu yang lebih berhak sampai selesai masa asuhnya.37

Jadi, berbeda dengan Indonesia yang menetapkan usia 12 tahun

anak boleh memilih salah satu dari kedua orang tuanya dalam Kompilasi

Hukum Islam pasal 105, Maroko menetapkan usia 15 tahun baru anak

boleh memilih antara kedua orangtuanya. Adapun jika kesepakatannya

bermasalah maka hakim yang menyelesaikannya.

Pasal 167

رأجرةالر ضاعةوالنػ ها,علىالمكل فبنػفقةالمحضوفوىيغيػ .فقةأجرةالحضانةومصارفيػ

ـ أجرةالحضانةفيحاؿ العلقةالز وجي ة,أوفيعد ةمنطلؽلتستحق ال 38رجعي.قياـ

35 Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 36

Wahbah Az-Zuhaili. ed, Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 10, Penerjamah Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk, (Gema Insani : Jakarta, 2011), h. 80 37

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Prenada Media:

Jakarta, 2006), h. 331. 38

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

58

Artinya: Gaji dan biaya pengasuh anak harus ditutupi oleh

orang yang bertanggung jawab atas perawatan anak, dan terpisah

dari gaji menyusui dan dukungan anak. Tidak ada gaji pengasuh

karena ibunya saat hubungan pernikahan masih ada, atau selama

masa tunggu sah setelah penolakan ditolak.

Ibu tidak berhak atas upah hadhanah selama ia masih terikat dalam

hubungan pernikahan karena ia masih mempunyai nafkah sebagai istri.

Sementara itu perempuan selain ibunya si anak boleh menerima upah

hadhanah sejak ia menangani hadhanah-nya, seperti halnya penyapih

yang bekerja menyusui anak kecil dengan bayaran.

Pasal 168

رىما.تػعتبرتكالفسكنىالمحضوفمستقل ةفي تػقديرىاعنالنػ فقةوأجرةالحضانةوغيػلسكناىم,أوأفيػؤد يالمبػل غا لذيتػقديػره المحكمةيجبعلىالبأفيػهي ئلولدهمحل

ـا بػعده.191لماد ةلكرئو,مراعي ةفيذلكأحكابػعدتػنفيذالبللحكمالخاصبسكنىالمحضو ف.ليػفر غالمحضوفمنبػيتالز وجي ة,إل

فيذىذاالحكممنعلىالمحكمةأفتحد دفيحكمهاالجراءاتالكفيػلةبضمافاستمرارتػنػعليو. 39قػبلالبالمحكوـ

Artinya: Biaya akomodasi untuk anak harus diperbaiki secara terpisah

dari dukungan anak, gaji pengasuh dan biaya asuh lainnya. Sang ayah

harus menyediakan akomodasi untuk anak-anaknya atau membayar

sejumlah uang yang diperkirakan oleh pengadilan untuk pembayaran uang

sewa mereka, sesuai dengan ketentuan Pasal 191 di bawah ini. Anak-anak

mungkin tidak diusir dari rumah suami istri orang tua mereka sampai sang

ayah melaksanakan penghakiman atas akomodasi mereka. Pengadilan

harus menentukan tindakan dan prosedur yang akan menjamin eksekusi

putusan oleh ayah yang bersangkutan.

Peraturan ini juga merupakan pendapat dari Mazhab Maliki yang

menyebutkan bahwa nafkah dan tempat tinggal untuk pengasuh dan anak-

anak yang diasuh ditanggung oleh ayah mereka.40

39

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 40

Wahbah Az-Zuhaili. ed, Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 10, Penerjamah Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk, (Gema Insani, Jakarta, 2011), h. 74.

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

59

Jadi, walau anak diasuh bukan dengan orang tuanya, biaya

pengasuhan tetap harus ditanggung oleh kedua orang tuanya.

Pasal 170

ها.تػعودالحضانةلمستحق هاإذاارتػفععنوالعذر ال ذيمنػعومنػكافذلكفيمصلحةالمحضوف. 41يمكنللمحكمةأفتعيدالن ظرفيالحضانةإذا

Artinya: Hak asuh anak harus dikembalikan kepada orang yang

berhak atas hal itu apabila alasannya penarikan diri sudah tidak ada lagi

Pengadilan dapat mempertimbangkan kembali hak asuh bila ditujukan

untuk kepentingan anak.

Pasal ini berkaitan dengan pasal 173 yang sudah dijelaskan diatas

dimana jika terjadi perubahan dalam status pengasuh yang cenderung

menyebabkan kerugian bagi anak, hadhanah akan ditarik dan diberikan

kepada orang yang berhak berikutnya.

Bab II: Orang-orang yang diberi hak asuh dan urutan prioritasnya

Pasal 172

تػقري إنجاز في اجتماعي ة بمساعدة الستعانة يػوفػ رهللمحكمة, ما و الحاضن, سكن عن ر42.للمحضوفمنالحاجاتالض روري ةالمادي ةوالمعنوي ة

Artinya: Pengadilan dapat meminta bantuan seorang pekerja sosial

untuk menyiapkan laporan tentang rumah pengasuh dan sejauh mana hal

tersebut memenuhi kebutuhan material dan moral anak tersebut.

Pasal ini menyiratkan tentang keseriusan pemerintah Maroko dalam

pemenuhan hak-hak anak pasca perceraian.

Bab III: Ketentuan untuk Pemberian Hak asuh dan Penyebab

Penarikannya

Pasal 174

41

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 42

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

60

ين: فيالحالتػينالتيتػ ـ ,يسقطحضانػتػهاإل رال زواجالحاضنةغيػ

كافزوجهاقريػبامحرماأونائباشرعي اللمحضوف-1 إذا

كانتنائباشرعي اللمحضوف-2 43إذا

Artinya: Perkawinan seorang pengasuh wanita selain ibunya akan

mengakibatkan hilangnya hak asuhnya, kecuali dalam dua kasus berikut:

1. Jika suaminya berada dalam hubungan kekerabatan yang menghalangi

pernikahan, atau perwakilan hukum anak tersebut;

2. Jika dia adalah wali hakim anak.

Jadi, jika pengasuh wanita selain ibu kandungnya menikah lagi akan

mengakibatkan hak asuh kecuali jika suami adalah kerabat yang dapat

menghalangi pernikahan dan ia adalah wali hakim anak sehingga ia

memiliki tanggung jawab juga kepada anak. Kemudian penjelasan

mengenai pengaruh perkawinan pengasuh terhadap hadhanah diperjelas

dalam pasal 175 sebagai berikut:

ـ ,ليسقطحضانػتػهافيالحواؿالتية: زواجالحاضنةال

رالميػتجاوز-1 كافالمحضوفصغيػ سبعسنػوات,أويػلحقوضررمنفراقهاإذاـ -2 كانتبالمحضوفعل ةأوعاىةتجعلحضانػتومستػعصي ةعلىغيرال إذاكافزوجهاقريػبامحر ماأونائباشرعي اللمحضوف-3 إذاكانتنائباشرعي اللمحضوف.-4 إذا

قىنػفقة تػبػ و الحضانة, أجرة و المحضوف سكن تكاليف من يػعفيالب الحاضنة ـ ال زواج44المحضوفواجبةعلىالب.

Artinya: Perkawinan ibu pengasuh tidak akan mengakibatkan

hilangnya hak asuh anak tersebut dalam kasus berikut:

1. Jika anak belum mencapai usia tujuh tahun; atau jika pemisahan

semacam itu dapat merugikannya;

43

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 44

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

61

2. Jika anak menderita penyakit atau cacat yang membuat penahanannya

sulit dilakukan oleh orang lain selain ibunya;

3. Jika suaminya berada dalam hubungan kekerabatan yang menghalangi

pernikahan, atau anak itu perwakilan hukum;

4. Jika dia adalah perwakilan hukum anak tersebut.

Perkawinan ibu pengasuh harus membebaskan ayah dari pembayaran

biaya akomodasi anak dan gaji pengasuh, dan sang ayah tetap bertanggung

jawab atas pembayaran dukungan anak.45

Akan tetapi menurut Mazhab Maliki, jika wanita pengasuh menikah

lagi dan suaminya masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan anak

yang diasuh maka pernikahan wanita tersebut tidak menggugurkan

hadhanah secara mutlak. Adapun jika suaminya bukan termasuk kerabat,

dan selama suaminya meridhoi maka ia termasuk yang berhak

melaksanakan hadhanah.46

Pasal 174 dan 175 menjelaskan tentang larangan menikah bagi ibu

pengasuh selain ibu kandung kecuali beberapa pengecualian. Hal ini

mengkhawatirkan akan merugikan hak anak yang diasuh.

Pasal 176

لسباب 47.قاىرةسكوتمنلوالحق فيالحضانةمد ةسنةبػعدعلموبالبناءيسقطحضانػتوإل

Artinya: Diamnya orang yang memiliki hak untuk mengasuh selama

satu tahun setelah mengetahui pernikahan pengasuhnya dapat berakibat

hilangnya hak asuh anaknya kecuali karna alasan yang kuat.

Pasal ini menjelaskan bahwa orang-orang yang berhak mengasuh

setelah ibu dan ayahnya harus mengetahui jika ibu pengasuh sudah

menikah kembali karena akan berakibat hilangnya hak asuh.

45

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 19. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 46

Huzaemah Tahido Yanggo, FIqih Anak: Metode Islam dalam Mengasuh dan

Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak, (Al-

Mawardi Prima: Jakarta, 2004), h. 129. 47

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

62

Hal ini sejalan dengan pendapat mazhab Maliki yang menyatakan

bahwa diamnya atau tidak meminta hak hadhanah itu menggugurkan

haknya sendiri.48

Pasal 177

المحضوفوالقاربوغ ـ الضرارال تييجبعلىالبوأ بكل العام ة رىم,إحظارالنػ يابة يػبإسقاط المطالبة ها فيػ بما حقوقو, على للحفاظ بواجبها لتػقوـ المحضوف لها يػتػعر ض

49الحضانة.

Artinya: Ayah dan ibu dari anak tersebut, serta kerabatnya dan pihak

ketiga lainnya, harus memberitahukan kepada Jaksa Penuntut Umum

tentang bahaya yang dialami oleh anak tersebut sehingga diperlukan

tindakan yang diperlukan untuk melindungi hak anak, termasuk penarikan

dari asuhan.50

Seperti yang sudah dijelaskan dalam pasal-pasal sebelumnya bahwa

meskipun hak asuh tidak dipegang oleh salah satu orang tua tapi tetap saja

kedua orang tua, kerabat dan pihak ketiga lainnya harus memperhatikan

hak anak sehingga anak tidak akan dalam kondisi bahaya.

Pasal 178

48

Wahbah Az-Zuhaili. ed, Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 10, Penerjamah Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk, (Gema Insani, Jakarta, 2011), h. 72. 49

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 50

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 19. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

63

منمكافلخرداخلالم للقامة أوالنائبالش رعي بانتقاؿالحاضنة غرب,لتسقطالحضانةأذاثػبتللمحكمةمايػوجبالس قوط,مراعاةلمصلحةالمهضوفوالظ روؼا لخاص ةبالبإل

. ,والمسافةا لتيتػفصلالمحضوفعننائبوالش رعي 51أوالن ائبشالش رعي

Artinya: Hak asuh anak tidak hilang jika pengasuh atau wali hukum

berpindah ke wilayah lain di dalam Maroko, kecuali jika ditetapkan untuk

pengadilan bahwa ada alasan untuk mencabutnya, dengan

mempertimbangkan kepentingan terbaik anak, kondisi khusus ayah atau

wali hukum, serta pemisahan yang memisahkan anak tersebut dari wali

hukumnya.

Jadi, perpindahan pengasuh atau wali hukum ke wilayah lain dalam

Maroko tidak menyebabkan hilangnya hak asuh jika kepentingan anak

tetap terpenuhi. Kecuali ada penetapan pengadilan untuk mencabutnya.

Pasal 179

للمحضوف,أفتضمنفييمكنللمحكمةبناءعلىطلبمنالنػ يابةالعامة,أوالن ائبال ش رعي وافقةقػرارإسنادالحضانة,أوفيقػرارلحق,منعالس فربالمحضوفإلىخارجالمغرب,دوفم

. الش رعي

صةمقر رالمنع,قصدات خاذالجراءاتال لزمةلضمافتػتػول ىالنػ يابةالعامةتػبليغالجهاتالمختتػنفيذذلك.

قاضى إلى اللجوء يمكن المغرب, خارج لمحضوف با الس فر على الموافقة رفض حالة فيالمستػعجلتإذفبذلك.

بػعدالت أكدمنالصفةالعرضي ةللس فر,ومنعودةالمحضوفل إلىيستجابلهذالطلب,إل 52المغرب.

Artinya: Pengadilan bisa atas permintaan pihak Jaksa Penuntut Umum

atau wali hukum anak termasuk dalam keputusan hak asuh atau keputusan

yang tertunda sebagai perintah pengadilan melarang bepergian dengan

51

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 52

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

64

anak di luar Maroko tanpa persetujuan terlebih dahulu dari wali

hukumnya.

Jaksa Penuntut Umum harus memberitahukan pihak yang berwenang

mengenai perintah tersebut sehingga mereka dapat mengambil semua

tindakan yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaan keputusan ini.

Jika izin untuk bepergian ke luar Maroko dengan anak tidak diperoleh,

pengasuh dapat mengajukan petisi kepada hakim yang menangani kasus-

kasus yang cepat untuk mendapatkan izin tersebut.

Izin tidak boleh diberikan sampai hakim memastikan bahwa perjalanan

tersebut bersifat sementara dan bahwa anak tersebut akan dikembalikan ke

Maroko.

Meskipun pengasuh atau wali hukumnya tidak akan kehilangan hak

asuh jika pindah ke luar Maroko, akan tetapi orang tua selain pengasuh

atau bahkan kerabat dan pihak ketiga tidak bisa membawa anak ke luar

Maroko tanpa seizin pengasuh. Apabila tidak mendapat izin maka urusan

ini bisa diproses di pengadilan dan diputus oleh hakim.

Pasal 180

53لغيرالحاضنمنالبػوين,حق زيادةواستزارةالمحضوف.

Artinya: Orang tua yang bukan pengasuh berhak untuk mengunjungi

dan dikunjungi oleh anak tersebut.

Hal ini sesuai dengan pendapat Mazhab Maliki yang berpendapat

seorang ibu juga berhak untuk menjenguk anaknya apabila anak berada

dalam kuasa asuh ayahnya, waktu untuk menjenguk anak yang belum

sekolah adalah seminggu sekali akan tetapi apabila anak telah mencapai

usia sekolah maka ia boleh menjenguknya secara berkala.54

Jadi, anak tetap mendapatkan haknya sebagai anak dari kedua orang

tuanya meskipun sudah bercerai. Kemudian penjelasan mengenai

53

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 54

Wahbah Az-Zuhaili. ed, Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 10, Penerjamah Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk, (Gema Insani, Jakarta, 2011), h. 78.

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

65

kunjungan anak diperjelas dalam pasal 181, 182, 183, 184, 185 sebagai

berikut:

Pasal 181

فيينتػنظيمىذهالز يادةباتػ فاؽبػينهما,يػبػل غانوإلىالمحكمة,ا لذييسجلمضمونويمكنللبػو55مقر رإسنادالحضانة.

Artinya: Orang tua dapat mengatur kunjungan tersebut melalui

kesepakatan bersama, yang kemudian disampaikan ke pengadilan dan

persyaratannya dicatat dalam keputusan hak asuh.

Hal ini menyiratkan bahwa masalah kunjungan dan persyaratannya

pun sudah diatur dalam perundang-undangan Maroko sehingga hak anak

dapat terpenuhi meskipun terjadi perceraian.

Pasal 182

راتالز يارةو دالمحكمةفيقػرارإسنادالحضانة,فتػ اتػ فاؽالبػوين,تحد تضبطفيحالةعدـالوقتوالمكافبمايمنعقدرالمكافالتحاي لفيالتػنفيذ.

يكوفتػراعي و قضي ة, بكل الخاصة الملبسات و الطراؼ ظروؼ ذلك, كل في المحكمةللطعن. 56قػرارىاقابل

Artinya: Dalam hal orang tua tidak setuju, dalam keputusan

pengasuhannya, pengadilan harus menetapkan waktu kunjungan dan

tempat dengan ketepatan seperti untuk mencegah upaya yang

dimaksudkan untuk menggagalkan kunjungan tersebut. Dalam

penentuannya, pengadilan harus mempertimbangkan kondisi masing-

masing pihak dan keadaan spesifik yang berkaitan dengan setiap kasus,

dan keputusannya dapat terbuka untuk diajukan banding.

Jadi, di Maroko banding masalah hadhanah dapat diajukan jika orang

tua tidak setuju dalam keputusan pengasuhannya. Adapun penentuannya

ditentukan oleh kondisi masing-masing pihak.

Pasal 183

55

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 56

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

66

ائيضارااستجدتظروؼأصبحمعهاتػنظيمالز يارةالمقر رةباتػ فاؽالبػوينأوبالمقر رالقضإذا57.منظروؼبأحدال طرفػينأوبالمحضوف,أمكنطلبمراجعتووتػعديػلوبمايلئمماحدث

Artinya: Jika ada keadaan yang timbul yang karena waktu kunjungan,

seperti yang disetujui oleh kedua orang tua atau yang ditentukan oleh

keputusan pengadilan, yang merugikan orang atau anak, syarat kunjungan

dapat direvisi dan diubah untuk mempertimbangkan hal tersebut.

Jika ada yang dirugikan perihal kunjungan baik yang dirugikan itu

orang lain atau mungkin anak sendiri maka keputusannya bisa direvisi

untuk mempertimbangkan hal tersebut.

Pasal 184

تػراهمناسبامنإجراءات,بمافيذلكتػعديلنظاـالز يارة,وإسقاطحق تػت خذالمحكمةما58الحضانةفيحالةالخلؿأوالتحاي لفيتػنفيذالتػ فاؽأوالمقر رالمنظ مللز يارة.

Artinya: Pengadilan dapat mengambil tindakan yang dianggap perlu

dilakukan, termasuk modifikasi syarat kunjungan dan penarikan hak asuh,

jika terjadi pelanggaran atau penipuan dalam pelaksanaan kesepakatan

atau keputusan kunjungan.

Jadi, pelanggaran atau penipuan juga termasuk dalam syarat yang

menyebabkan perubahan perihal kunjungan dan penarikan hak asuh.

Pasal 185

ـإ ذاتػوف يأحدوالديالمحضوف,يحل محل وأبػواهفيحق الز يادةالمنظ مةبالحكا

.الس ابقة 59 Artinya: Jika salah satu dari orang tua anak tersebut meninggal, orang

tua almarhum berhak mengunjungi anak tersebut sesuai dengan

pengaturan kunjungan anak sebelumnya.

57

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 58

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 59

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

67

Termasuk jika salah satu orang tua meninggal dunia, ini juga

termasuk dalam hak anak untuk mengunjungi orang tuanya.

Pasal 186

60تػراعيالمحكمةمصلحةالمحضوففيتطبيقموادىذاالباب. Artinya: Pengadilan harus mempertimbangkan kepentingan anak saat

menerapkan ketentuan dalam Bagian ini.

Pada intinya, pasal 181-186 menjelaskan tentang hal-hal yang

berkaitan dengan kunjungan dimana jika terjadi perselisihan maka

diserahkan kepada pengadilan dan diputus oleh hakim dan tentunya harus

mempertimbangkan kepentingan anak saat membuat keputusannya.

60

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses

dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

68

BAB IV

HADHANAH AKIBAT PERCERAIAN

DI NEGARA INDONESIA DAN MAROKO

A. Pengaturan Hadhanah Akibat Perceraian di Indonesia dan Maroko

Secara signifikan, terdapat 5 hal yang diatur dalam pengaturan hadhanah

akibat perceraian di Indonesia dan Maroko, diantaranya:

No Hal Indonesia Maroko

1 Kewajiban

Pengasuh

Anak

Diatur dalam UU No. 1

Tahun 1974 pasal 45

yang menjelaskan

tentang kewajiban

pengasuh untuk

memelihara dan

mendidik anak-anak

sebaik-baiknya

meskipun

perkawinannya putus.

Lalu dalam pasal 26

ayat 1 Undang-undang

Nomor 17 tahun 2016

tentang kewajiban dan

tanggung jawab

pengasuh termasuk

memberikan

pendidikan karakter

dan budi pekerti kepada

anak.

Diatur dalam pasal 163

dan 169 Moudawwana

bahwasanya seorang

pengasuh harus

menjamin keamanan

fisik, psikologis anak dan

menjaga kepentingan

anak termasuk

pendidikan dan

asuhannya.

2 Orang-

orang yang

Diatur dalam KHI pasal

156 tentang urutan

Diatur dalam pasal 164

dan 165 bahwasanya hak

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

69

diberi Hak

Asuh Anak

penerima hak asuh

anak yang belum

mumayyiz dan

ketentuan lainnya.

asuh anak adalah

kewajiban orangtua

selama pernikahanya

masih berjalan dan jika

tidak memenuhi syarat

maka pengadilan dapat

menunjuk siapapun dari

pihak keluarga, orang

lain atau bahkan

lembaga. Adapun

urutannya sudah diatur

dalam pasal 171.

3 Batas Usia

Anak

Diatur dalam KHI pasal

105 ayat a dan b

bahwasanya

pemeliharaan anak

yang belum mumayyiz

atau belum berusia 12

maka jatuh kepada

ibunya. Diatas itu maka

dibebaskan kepada

anak memilih ayah atau

ibunya. Dalam

penerapannya majlis

hakim dapat

menghubungkan

dengan Undang-undang

Perlindungan Anak dan

menafsirkan ketentuan

umur 12 tahun itu

karena ada kepentingan

Diatur dalam pasal 166

bahwasanya batas usia

anak boleh memilih

antara ayah dan ibunya

adalah pada usia 15

tahun.

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

70

anak yang

menghendaki lain maka

bisa ditetapkan kepada

pihak selain dari ibu.

Jadi yang dimaksud

dalam Undang-undang

bukan mengatur hak

ibu atau hak ayah,

tetapi mengatur tentang

kepentingan anak yang

terbaik.

4 Upah

Pengasuh

Dalam KHI pasal 104

ayat 1 dijelaskan

bahwasanya biaya

penyusuan dibebankan

kepada ayah. Dalam

penerapannya jika

terjadi kesepakatan

antara mantan suami

dan mantan istri maka

tidak menjadi masalah.

Diatur dalam pasal 167

bahwasanya upah

pengasuh ditutupi oleh

orang yang bertanggung

jawab atas perawatan

anak. Ibu tidak

mendapatkan upah

selama perkawinan masih

berjalan atau sedang

dalam masa iddah.

5 Biaya

Akomodasi

Anak

Diatur dalam UU No. 1

tahun 1974 pasal 41

ayat b bahwasanya

ayah berkewajiban

untuk membiayai

pemeliharaan dan

pendidikan anaknya,

jika terbukti tidak

mampu maka

Diatur dalam pasal 168

bahwa biaya akomodasi

untuk anak-anak

diperkirakan pengadilan

untuk pembayarannya

dan dilakukan oleh ayah.

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

71

pengadilan bisa

memutuskan istri untuk

ikut serta dalam

pembiayaannya.

B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Adanya Persamaan dan Perbedaan

Hadhanah Akibat Perceraian di Negara Indonesia dan Maroko

Secara umum hadhanah akibat perceraian di Negara Indonesia dan

Maroko hampir mirip karena referensi utama dari hukum materiil khususnya

yang berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan hukum keluarga

bersumber dari hukum Islam. Akan tetapi Maroko lebih progresif dalam

peraturan perundang-undangannya karena masalah tentang hadhanah sudah

dibuat secara khusus dan terperinci babnya dalam Moudawana.

Adapun Negara Indonesia meskipun sudah ada peraturan perundang-

undangannya yang mengatur tentang hadhanah akan tetapi belum terperinci.

Adapun dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang

hadhanah diatur dalam bab Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak.

Lalu dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam bab Pemeliharaan Anak

akan tetapi tidak selengkap yang dituliskan dalam Moudawana.

Dalam Kompilasi Hukum Islam yang diatur hanyalah tentang batas

usia anak yang mampu berdiri sendiri, pengaturan tentang anak yang sah

secara Islam, biaya penyusuan anak dan kewajiban pengasuh. Sementara

dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang perlindungan anak yang

mengatur berkaitan dengan hadhanah hanya terdapat dalam bab IV tentang

Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang Tua, bab VI tentang

Kuasa Asuh, bab VII tentang Perwalian dan bab VIII tentang Pengasuhan dan

Pengangkatan Anak.

Seperti yang sudah dibahas dalam bab-bab sebelumnya bahwasanya

Indonesia dan Maroko memiliki faktor-faktor yang menyebabkan persamaan

hadhanah di Negara Indonesia dan Maroko, diantaranya:

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

72

1. Hukum perkawinan di Maroko tidak jauh berbeda dengan hukum

perkawinan di negara-negara Islam lainnya, termasuk juga dengan

Indonesia. Regulasi terkait dengan perkawinan pun hampir sama

dengan Indonesia karena Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia

bercermin kepada Moudawwana al-Usrah di Maroko.

2. Di negara-negara Arab, terutama yang geografisnya berada di wilayah

Afrika Utara, selain Mesir, seperti Tunisia, Maroko, dan Aljazair,

kedudukan hukum Islam sebagai prinsip hukum, dan posisinya

sebagai sumber hukum ketiga setelah hukum Perancis dan hukum

Eropa lainnya. Di Indonesia posisi hukum Islam juga sebagai sumber

hukum positif selain hukum barat dan hukum adat.

Adapun Beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan hadhanah

akibat perceraian di Negara Indonesia dan Maroko adalah:

1. Mazhab

Indonesia dan Maroko menganut mazhab yang berbeda.

Indonesia menganut mazhab Syafi’i sedangkan Maroko menganut

mazhab Maliki. Hal ini dapat dilihat salah satunya dalam pasal 105

ayat a dan b Kompilasi Hukum Islam dimana hadhanah dibawah

umur 12 tahun maka diserahkan kepada ibunya. Setelah umur 12, anak

dibebaskan untuk memilih antara ibu dan ayahnya. Penjelasan pasal

ini sejalan dengan pendapat mazhab Syafi’i yang menjelaskan bahwa

hadhanah lebih diutamakan kepada ibunya. 1

Lalu dalam pasal 173 Moudawana dijelaskan pengasuh harus

seseorang yang dewasa, memiliki karakter yang baik, dan bisa

menjaga kesehatan dan pendidikan moral anak. Hal ini tidak jauh

berbeda dengan pendapat mazhab Maliki yang menjelaskan tentang

keharusan pengasuh memiliki sifat seperti berakal sehat, bisa

1Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak: Metode Islam dalam Mengasuh dan

Mendidik Anak serta Hukum-Hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak, (Jakarta:

Al-Mawardi Prima, 2004), h. 105.

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

73

dipercaya, suci diri, bukan pelaku maksiat, serta tidak mengabaikan

anak yang diasuhkan.2

2. Politik

Indonesia menganut sistem hukum Civil Law System yang

diwarisi dari pemerintah Kolonial Belanda, yang artinya peraturan

perundang-undangan tertulis sebagai rujukan utama bagi hakim

maupun aparatur negara untuk memutus dan menetapkan sesuatu

terkait hak dan kewajiban warga negara. Benar atau salahnya menjadi

bersifat tentatif, yakni benar atau salahnya sejauh peraturan tertulis

tersebut belum diganti ataupun dicabut.

Seperti halnya teori resepsi yang diungkapkan oleh Christian

Snouck Hurgronje (1857-1936), ia berpendapat bahwa yang berlaku

bagi orang Islam itu bukanlah hukum Islam tetapi hukum adat. Ke

dalam hukum adat itu, memang telah masuk pengaruh hukum Islam,

tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuatan hukum kalau telah

benar-benar diterima oleh hukum adat.

Lalu pada tahun 1974, dengan diundangkannya Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974, teori resepsi itu menemui ajalnya

“dihantam” kalimat,” Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Dengan perumusan pada pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan

tersebut, setiap perkawinan harus dilakukan menurut hukum agama.

Untuk orang Islam, misalnya, perkawinan seorang pria dengan

seorang wanita baru sah, kalau dilakukan menurut hukum perkawinan

Islam yang merupakan bagian dari agama Islam, tanpa syarat

istimewa teori resepsi “ kalau hukum Islam itu sudah diterima oleh

hukum adat

2 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Penerjamah Masykur A.B.,

dkk, (Jakarta: Lentera, 1996), h. 416.

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

74

Dalam konteks Maroko, kita mengetahui bahwa sebelum

tahun 1957, hukum perkawinan dan keluarga yang digunakan adalah

hukum Islam atau fikih. Namun semenjak negara itu memulai

melakukan kodifikasi hukum Islam di era tahun 1957- 1958, selain

hukum Islam yang menjadi bahan penyusunan kodifikasi hukum

keluarga tersebut, juga dipengaruhi oleh hukum barat, terutama dari

perancis. Maroko melakukan reformasi terhadap hukum keluarga.

Pertama dilakukan pada tahun 1957 yaitu amandemen hukum

keluarga dan terakhir tahun 2004 tentang perubahan hukum keluarga.

Reformasi ini menunjukkan bahwa hukum Islam sama seperti hukum

sipil dan common law yang dapat beradaptasi dengan kondisi sosial

dan ekonomi masyarakat yang berubah.3

3. Pergerakan Organisasi

Seperti yang sudah dibahas dalam bab 2 bahwasanya

pergerakan organisasi turut mempengaruhi hukum perkawinan di

Indonesia. Seperti halnya Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI)

dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang mengajukan kembali

RUU tentang perkawinan kepada DPR RI untuk dibahas kembali dan

dilaksanakan sebagai uu yang diberlakukan untuk seuruh warga

negara Indonesia.

Lalu dalam konteks Maroko dengan permintaan dari The

Women‟s Action Union (UAF) agar raja segera merevisi Undang-

Undang Hukum Keluarga tetap berlandaskan hukum Islam akan

tetapi tetap sesuai dengan hak asasi manusia tuntutan modernitas.

3 Muhammad Maksum, Kedudukan syariah sebagai sumber Hukum positif: Kajian

Awal atas Hukum Perkawinan, Ekonomi Islam, dan Hukum Ketenagakerjaan di

Indonesia dan Maroko, Jurnal Hukum Islam Vol. 15, No. 2, Desember 2016, h. 288.

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

75

Di Maroko, hukum Islam tetap dapat diberlakukan setelah ada

perjanjian antara Perancis dan Maroko seputar privilej hukum Islam

dan sistem kerajaan Maroko.4

Keberhasilan gerakan Moudawana dalam melahirkan hukum

keluarga (al-Moudawana al-Usrah) yang adil dan setara ini tidak

bisa dilepaskan dari peran penting Raja Muhammad al-Malik as-

Sa'id sebagai pemilik otoritas tertinggi di bidang politik sebagai

pemimpin negara sekaligus otoritas tertinggi di bidang agama

sebagai pemimpin para Ulama di Maroko. Pada awalnya perlunya

revisi hukum keluarga untuk menjamin keadilan bagi laki-laki

sekaligus perempuan ini selalu dibahas di mana saja hingga ke

kerajaan. Setelah proses yang cukup lama akhirnya tuntutan

perubahan Hukum Keluarga tersebut mendapat sambutan yang

positif dari Raja dengan dibentuknya Komisi Khusus yang menelaah

draft usulan perubahan Hukum Keluarga dan selalu melibatkan

kalangan aktifis perempuan dalam setiap pembahasannya. Setelah

tiga tahun diproses oleh Komisi Khusus ini, akhirnya Raja

mengesahkan Revisi Hukum Keluarga (Moudawana al-Usrah) pada

2004.5

Moudawwana disajikan sebagai symbol nasional dan identitas

Islam. Pemerintah Maroko yang baru merdeka menempatkan norma

yang beragam dan berlaku selama berada dalam jajahan Prancis dan

Spanyol. Ketika berkaitan dengan hukum Islam, hukum adat Berber

4 Muhammad Maksum, Kedudukan syariah sebagai sumber Hukum positif: Kajian

Awal atas Hukum Perkawinan, Ekonomi Islam, dan Hukum Ketenagakerjaan di

Indonesia dan Maroko, Jurnal Hukum Islam Vol. 15, No. 2, Desember 2016, h. 286. 5 A. Khumedi Jafar, dkk, Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim Modern,

(Anugrah Utama Raharja: Lampung, 2013), h. 99.

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

76

juga dipertimbangkan sebagai sumber hukum sebagai undang-

undang untuk semua muslim. 6

C. Unsur-Unsur Persamaan dan Perbedaan Mengenai Hadhanah Akibat

Perceraian di Indonesia dan Maroko.

1. Unsur-unsur Persamaan Mengenai Hadhanah Akibat Perceraian di

Indonesia dan Maroko

a. Kewajiban Pengasuh Anak

Dalam pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

dijelaskan bahwa orang tua berkewajiban untuk memelihara dan

mendidik anak-anaknya sebaik-baiknya meskipun perkawinan telah

putus. Hal ini semakin dipertegas dalam pasal 26 ayat 1 Undang-

Undang Nomor 17 tahun 2016 bahwa orang tua wajib

bertanggungjawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan

melindungi anak serta menumbuhkembangkan anak sesuai minat dan

bakatnya lalu mencegah perkawinan pada usia anak dan terakhir

memberikan pendidikan karakter dan budi pekerti kepada anak.

Jadi, karena anak-anak memiliki hak-hak dasar. Hak untuk

dibina dan dikembangkan. Ketika seseorang sudah ditetapkan menjadi

pengasuh anak maka ia harus bisa memenuhi semua hak-hak anak.7

Selanjutnya dalam Moudawwana disebutkan dalam pasal 163

bahwa pengasuh harus menjamin keamanan fisik dan psikologis anak.

Lalu dipertegas lagi dalam pasal 169 bahwa pengasuh harus menjaga

kepentingan anak termasuk pendidikan dan asuhannya.

Kedua peraturan diatas tidak jauh berbeda dengan pendapat

Mazhab Syafi’i bawa hadhanah adalah mendidik orang yang tidak

6 Léon Buskens, Recent Debates on Family Law Reform in Morocco: Islamic Law

as Politics in an Emerging Public Sphere, Islamic Law and Society, Vol. 10, No. 1, Public

Debates on Family Law ReformParticipants, Positions, and Styles of Argumentation in

the 1990s (2003), h. 76. 7 Wawancara pribadi dengan Dr. H., Nasich Salam Suharto, Lc, Llm. Hakim di

Pengadilan Agama 1A Cibinong, Bogor, 10 Agustus 2018.

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

77

dapat mengurus dirinya sendiri dengan apa yang bermaslahat baginya

dan memeliharanya dari apa yang membahayakannya. Pendapat inipun

dekat dengan apa yang diyakini Mazhab Maliki.8 Tentunya seorang

pengasuh memiliki kewajiban untuk mendidik dan mengurus anak dari

segi fisik dan psikologis anak.

b. Upah Pengasuh

Dalam KHI pasal 104 ayat 1 dijelaskan bahwa biaya

penyusuan dibebankan kepada ayah, akan tetapi jika ayah meninggal

dunia maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang

berkewajiban memberikan nafkah kepada ayahnya atau walinya.

Hal ini sejalan dengan pendapat Mazhab Syafi’i bahwasanya

upah itu merupakan tanggung jawab ayahnya atau orang yang

berkewajiban memberi nafkah kepada ayah atau walinya.9

Menurut Dr. H., Nasich Salam Suharto, Lc, Llm. dilihat dulu

dari konteksnya. Akan tetapi jika terjadi kesepakatan antara mantan

suami dan mantan istri untuk memberikan upah kepada yang

ditetapkan menjadi pengasuh maka tidak menjadi masalah. Jika

pengasuhnya itu orang lain, dalam praktik pengadilan dia bukan

diminta tapi menawarkan diri. Jika ia menawarkan diri bagaimana

mungkin meminta untuk diupahkan. Jika salah seorang mengajukan

perkara permohonan hadhanah dan menaruh dalam klausulanya untuk

meminta upah maka majlis hakim akan berpikir serius tentang

8 Huzaemah Tahido Yanggo, FIqih Anak: Metode Islam dalam Mengasuh dan

Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak, (Al-

Mawardi Prima: Jakarta, 2004), h. 101. 9 Muhammad Jawad Mughniyah, ed, Fiqih Lima Mazhab, Penerjemah Masykur,

dkk, (Lentera: Jakarta, 1996), h. 418.

Page 88: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

78

ketulusan dari peminta hak asuh. Jadi masalahnya bukan boleh atau

tidak boleh tapi kembali lagi kepada kepentingan anak.10

Adapun dalam pasal 167 The Moroccan Family Code

(Moudawana) Of February 5, 2004 dijelaskan bahwa gaji dan biaya

pengasuh anak harus ditutupi oleh orang yang bertanggung jawab atas

perawatan anak, dan terpisah dari gaji menyusui dan dukungan anak.

Tidak ada gaji pengasuh karena ibunya saat hubungan pernikahan

masih ada, atau selama masa tunggu sah setelah penolakan ditolak.

c. Biaya Akomodasi Anak

Dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 41 ayat b dijelaskan

bahwasanya ayah berkewajiban untuk membiayai pemeliharaan dan

pendidikan anaknya, jika terbukti tidak mampu maka pengadilan bisa

memutuskan istri untuk ikut serta dalam pembiayaannya.

Adapun Maroko dalam pasal 168 The Moroccan Family Code

(Moudawana) Of February 5, 2004 dijelaskan bahwasanya biaya

akomodasi untuk anak harus diperbaiki secara terpisah dari dukungan

anak, gaji pengasuh dan biaya asuh lainnya. Sang ayah harus

menyediakan akomodasi untuk anak-anaknya atau membayar sejumlah

uang yang diperkirakan oleh pengadilan untuk pembayaran uang sewa

mereka. Anak-anak mungkin tidak diusir dari rumah suami istri orang

tua mereka sampai sang ayah melaksanakan penghakiman atas

akomodasi mereka. Pengadilan harus menentukan tindakan dan

prosedur yang akan menjamin eksekusi putusan oleh ayah yang

bersangkutan.

10

Wawancara pribadi dengan Dr. H., Nasich Salam Suharto, Lc, Llm. Hakim di

Pengadilan Agama 1A Cibinong, Bogor, 10 Agustus 2018.

Page 89: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

79

2. Unsur-unsur Perbedaan Mengenai Hadhanah Akibat Perceraian

di Indonesia dan Maroko

a. Orang-orang yang Diberi Hak Asuh

Dalam KHI Pasal 156 ayat a dijelaskan bahwa urutan

penerima hak asuh bagi anak yang belum mumayyiz adalah sebagai

berikut:

a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;

b. Ayah;

c. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;

d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari

ayah.

Lalu dalam penjelasan ayat b dan c disebutkan bahwa anak

yang sudah mumayyiz dibolehkan memilih salah satu dari kedua

orang tuanya dan jika kedua orang tuanya tidak memenuhi syarat

untuk menjadi pengasuh maka pengadilan bisa menunjuk kerabat yang

masih memiliki hak asuh untuk mengasuh anak.

Adapun dalam penerapannya secara normatif memang

peraturan telah mengatur sedemikian rupa tentang pengelolaan

hadhanah. Bahwa anak dibawah umur 12 atau belum mumayyiz hak

asuhnya jatuh kepada ibunya. Selebihnya maka diserahkan kepada

anaknya. Maksud peraturan ini adalah mengatur dalam kondisi

normal. Kondisi dimana tidak ada sesuatu yang menjadi konsideran

lain. Jadi, pengecualian bahwa anak dibawah umur 12 atau mumayyiz

boleh jatuh ke bapaknya, pertimbangannya adalah perlindungan anak.

Jadi perlindungan anak itu yang dikedepankan. Kata kunci dari

pengecualiannya adalah ketika anak menghendaki kepentingan lain.

Dalam hal ini majlis hakim dapat menghubungkan dengan Undang-

undang Perlindungan Anak dan menafsirkan ketentuan umur 12 tahun

itu karena ada kepentingan anak yang menghendaki lain maka bisa

ditetapkan kepada pihak selain dari ibu. Jadi yang dimaksud dalam

Page 90: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

80

Undang-undang bukan mengatur hak ibu atau hak ayah, tetapi

mengatur tentang kepentingan anak yang terbaik.11

Lalu jika pengasuh itu bukan orang tua maka tetap

dimungkinkan karena semuanya bermuara kepada kepentingan anak.

Tinggal prosedurnya itu diatur dalam hukum acara. Secara normatif

memang sudah diatur urutannya, akan tetapi kembali lagi kata

kuncinya kembali kepada kepada kepentingan anak tinggal bagaimana

di pembuktiannya apakah hak orang tua dapat dikecualikan12

Maroko membolehkan hadhanah jatuh kepada orang lain

dalam moudawwana. Seperti yang dijelaskan dalam pasal 164 The

Moroccan Family Code (Moudawana) Of February 5, 2004

bahwasanya hadhanah adalah hak orang tua selama pernikahannya

masih berjalan. Lalu jika orang-orang yang seharusnya diberi hak asuh

tidak memenuhi syarat maka pengadilan dapat menunjuk siapapun

dari pihak keluarga atau orang lain atau bahkan lembaga lain yang

ditunjuk untuk kepentingan pengasuhan berdasarkan pasal 165 The

Moroccan Family Code (Moudawana) Of February 5, 2004.

Lalu mengenai urutan orang-orang yang diberi hak asuh pun

diatur dalam pasal 171 The Moroccan Family Code (Moudawana) Of

February 5, 2004 bahwasanya urutannya dimulai dari ibu, ayah, dan

nenek dari ibunya anak. Jika dalam praktiknya sulit dilakukan maka

pengadilan dapat memilih siapapun yang dibutuhkan berdasarkan

kepentingan anak.

b. Batas Usia Anak

Dalam KHI pasal 105 ayat a dan b dijelaskan bahwasanya

pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berusia 12 tahun

11

Wawancara pribadi dengan Dr. H., Nasich Salam Suharto, Lc, Llm. Hakim di

Pengadilan Agama 1A Cibinong, Bogor, 10 Agustus 2018. 12

Wawancara pribadi dengan Dr. H., Nasich Salam Suharto, Lc, Llm. Hakim di

Pengadilan Agama 1A Cibinong, Bogor, 10 Agustus 2018.

Page 91: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

81

maka jatuh kepada ibunya. Diatas itu maka dibebaskan kepada anak

memilih ayah atau ibunya.

Berbeda dengan Maroko dalam pasal 166 The Moroccan

Family Code (Moudawana) Of February 5, 2004 bahwasanya batas

usia anak boleh memilih antara ayah dan ibunya adalah pada usia 15

tahun.

Page 92: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

82

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya

maka sebagai akhir dari bagian penelitian ini penulis akan menarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Secara signifikan terdapat 5 hal yang diatur dalam hadhanah akibat

perceraian yaitu kewajiban pengasuh anak, orang-orang yang diberi hak

asuh, batas usia anak, upah pengasuh, dan biaya akomodasi anak.

Ketentuan-ketentuan tentang hadhanah pada dasarnya bermuara pada

kepentingan anak. Jadi selama kepentingan anak tidak terbentur maka

tidak menjadi masalah.

2. Hal-hal yang menyebabkan persamaan hadhanah di Indonesia dan

Maroko adalah karena KHI bercermin kepada Moudawwana dan hukum

Islam sama-sama menjadi sumber hukum positif di Indonesia dan

Maroko.

Adapun hal-hal yang menyebabkan perbedaan hadhanah di Indonesia dan

Maroko yaitu karena adanya perbedaan mazhab. Mazhab Maliki yang di

anut di Maroko menjadi faktor terpenting dalam pembentukan hukum

keluarganya, salah satu contohnya adalah yang terdapat dalam pasal 167

dan 168 The Moroccan Family Code (Moudawana) Of February 5, 2004

tentang upah pengasuh bahwasanya selain ibu maka pengasuh berhak

mendapatkan upah yang terpisah dari biaya menyusui, dukungan anak,

dan akomodasi anak. Hal ini sama persis dengan apa yang diungkapkan

mazhab Maliki. Mayoritas mazhab yang dipakai di Indonesia adalah

mazhab Syafi’i, hal ini memiliki pengaruh yang kuat dalam pembentukan

Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Di antaranya pada pasal 156 KHI yang menyebutkan bahwa kedudukan

orang-orang yang berhak mengasuh anak setelah ibu adalah ayah dan

Page 93: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

83

seterusnya hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh Mazhab Syafi’i

yang meletakkan ayah pada posisi kedua setelah ibu dalam hal

pemeliharaan anak. Faktor politik pun sangat berpengaruh pada

pembentukan peraturan hukum keluarga di Indonesia dan Maroko. Dalam

konteks Maroko, kita mengetahui bahwa sebelum tahun 1957, hukum

perkawinan dan keluarga yang digunakan adalah hukum Islam atau fikih.

Namun semenjak negara itu memulai melakukan kodifikasi hukum Islam

di era tahun 1957- 1958, selain hukum Islam yang menjadi bahan

penyusunan kodifikasi hukum keluarga tersebut, juga dipengaruhi oleh

hukum barat, terutama dari Perancis. Maroko melakukan reformasi

terhadap hukum keluarga. Pertama dilakukan pada tahun 1957 yaitu

amandemen hukum keluarga dan terakhir tahun 2004 tentang perubahan

hukum keluarga. Reformasi ini menunjukkan bahwa hukum Islam sama

seperti hukum sipil dan common law yang dapat beradaptasi dengan

kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang berubah. Adapun di

Indonesia dengan Civil Law System-nya yang merupakan warisan dari

pemerintah kolonial Belanda dan teori resepsi yang diungkapkan oleh

Christian Snouck Hurgronje yang menjadi sangat berpengaruh dengan

Undang-Undang Perkawinan di Indonesia. Lalu selanjutnya adanya

pergerakan politik seperti halnya di Indonesia dengan adanya Ikatan

Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

yang mengajukan kembali RUU tentang perkawinan kepada DPR RI

untuk dibahas kembali dan dilaksanakan sebagai uu yang diberlakukan

untuk seuruh warga negara Indonesia. Adapun Maroko dengan adanya

permintaan dari The Women‟s Action Union (UAF) agar raja segera

merevisi Undang-Undang Hukum Keluarga tetap berlandaskan hukum

Islam akan tetapi tetap sesuai dengan hak asasi manusia tuntutan

modernitas.

3. Persamaan hadhanah akibat perceraian antara Indonesia dan Maroko

diantaranya adalah mengenai kewajiban pengasuh anak, upah pengasuh,

dan biaya akomodasi anak.

Page 94: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

84

Perbedaan hadhanah akibat perceraian antara Indonesia dan Maroko

secara umum adalah peraturan di Maroko lebih terperinci, sedangkan di

Indonesia peraturan tentang hadhanah belum seprogresif peraturan di

Maroko. Seperti tentang orang-orang yang diberi hak asuh dan batas usia

anak.

B. Saran-Saran

Sebagai catatan akhir maka penulis akan memberikan saran:

1. Aturan perkawinan khususnya hadhanah di Indonesia diharapkan bisa

menampung semua aspirasi berbagai pihak, khususnya penetapan

hadhanah haruslah berdasarkan kemaslahatan bagi anak.

2. Pengetahuan perbandingan hukum keluarga Islam ini sangat penting di

Indonesia karena seringkali kita memperdebatkan masalah yang di negara

lain sudah selesai. Contohnya di Indonesia tidak mengatur tentang biaya

akomodasi anak sedangkan di Maroko sudah ada peraturannya.

3. Agar Indonesia segera mengamandemen Undang-Undang Hukum

Keluarganya yang sejak tahun 1974 belum pernah diamandemen

sedangkan peraturan mengenai Hukum Keluarga di Maroko sudah

mengalami 3 kali amandemen. Agar peraturan hukum keluarga khususnya

hadhanah lebih sesuai dengan perkembangan zaman.

Page 95: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

85

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Al-Jaziri, Abdurrohman, Al-Fiqh Ala-Madzahib Al-Arba‟ah, Darul Kutub Al

Ilmiyah: Lebanon, 2003.

Asy-Syarbayni al-Khotib, Syaikh Muhammad, Al-Bujairomi ali Khotib juz IV,

t.p., Beirut: 2007.

Az-Zuhaili, Wahbah, ed, Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 10, Penerjamah Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk, Gema Insani : Jakarta, 2011.

Az-Zuhaili, Wahbah, ed, Tafsir Al-Munir Jilid 14, Penerjamah Abdul Hayyie al-

Kattani, dkk, Gema Insani: Jakarta, 2014.

Brill, E.J, First Encylopedia of Islam, The Netherlands: tp, 1987.

Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam dan Peradilan Agama, PT Raja Grafindo

Persada: Jakarta, 2002.

E. Campo, Juan, Encyclopedia of Islam, New York: Facts on File, 2009.

Encyclopedia Britannica, USA: The University of Chicago, tt.

Fajar, Mukti, dkk, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,

Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015.

Grolier Academic Encyclopedia, USA: Grolier International, 1983.

Ibn Mas’ud al-Kasani, Bakr, Badaai‟u as-Shonaa‟i fii tartiibi asy-Syarooi‟ juz IV,

t.p., Beirut, 1986.

Ibn Muhammad Lahim, Abdul Karim, Al-Muthlai‟ „ala daqoiqi zaadu al-

Mustaqni juz V, t.p.: Riyadh, t.th.

Ibn Muhammad Salam, Syaikh Muhammad, Lawami‟ ad-dururi fii hataki astari

al-Mukhtashor juz VIII, t.p., t.t., 2015.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:

Bayumedia Publishing, 2008.

Ja‟far, Khumedi, dkk, Hukum Keluarga Di Negara-Negara Muslim Modern,

Lampung: Anugerah Utama Raharja, 2013.

Jawad Mughniyah, Muhammad, ed, Fiqih Lima Mazhab, Penerjemah Masykur,

dkk, Lentera: Jakarta, 1996.

Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries, Academy of Law and

Religion: New Delhi, 1987.

Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenadamedia Group, 2005.

Page 96: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

86

Muzhar, M. Atho Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Ciputat: Ciputat

Press, 2003.

Nasution, Khoirudin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-

Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia,

Jakarta:INIS, 2002.

Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Raja Grafindo

Persada:Jakarta, 2013.

Sabiq, Sayyid, Fiqh As-Sunnah Jilid 2, Beirut: Daarul Fikri, 1983.

Sopyan, Yayan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam

Hukum Nasional, Wahana Semesta Intermedia: Jakarta, 2012.

Sumitro, Warkum, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial

Politik di Indonesia, Bayumedia Publishing: Malang, 2005.

Syamsu Alam, Andi, dkk, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta:

Prenada Media Group, 2008.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prenada Media:

Jakarta, 2006.

Tahido Yanggo, Huzaemah, FIqih Anak: Metode Islam dalam Mengasuh dan

Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas

Anak, Al-Mawardi Prima: Jakarta, 2004.

The New Book of Knowledge, USA: Grolier Incorporated, 1986.

The World Book Encyclopedia, USA: Field Entrepises Educational Corporation,

1966.

Zamzami, Mukhtar, “Pembaruan Hukum Keluarga Dalam Perspektif Politik

Hukum Islam di Indonesia”., Mimbar Hukum dan Peradilan. Jakarta: Pusat

Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), 2009)

Perundang-undangan

Departemen Agama R.I., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:

Departemen Agama R.I., 1997.

Undang-undang Dasar 1945, DAP Publsher: Jakarta, 2014.

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016, Bandung: Citra Umbara, 2017.

Undang-Undang Pokok Perkawinan, Bumi Aksara: Jakarta, 1989

Sumber Internet

Page 97: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

87

https://www.maknaa.com/hukum/fiat-eksekusi diakses pada tanggal 25 September

2018.

http://syffzh2314.blogspot.com/2014/10/sistem-hukum-di- maroko.html diakses

pada tanggal 31 Juli 2018.

http://hasbagiilmu.blogspot.com/2015/08/sistem-politik-di-negara-negara-

islam.html diakses pada tanggal 1 Agustus 2018.

Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, Diakses dari

www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018.

Jurnal

Chaare, Imane, Pro-Women Legal Reform in Morocco: Is Religion an Obstacle?

Proceedings of the German Development Economics Conference, Berlin

2011, No. 17.

Indra Tektona, Rahmadi, “Kepastian Hukum Terhadap Perlindungan Hak Anak

Korban Perceraian”, Muwâzâh, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012.

M. Charrad, Mounira, Family Law Reforms In The Arab World:Tunisia And

Morocco, Good Practices in Family Policy Making:Family Policy

Development, Monitoring and Implementation: Lessons Learnt,

diselenggarakan sebagai bagian dari persiapan untuk ulang tahun kedua

puluh tahun internasioanal keluarga 2014

Malarangan, Hilal, “Pembaruan Hukum Islam Dalam Hukum Keluarga Di

Indonesia”, Jurnal Hunafa Vol. 5 No. 1, April 2008.

Marie Eisenberg, Ann, Law on the Books vs. Law in Action: Under-Enforcement

of Morocco's Reformed 2004 Family, Cornell Law Library Prize for

Exemplary Student Research Papers. Paper 1.

Nasiri, Perkawinan Di Maroko, Syaikhuna Volume 8 Nomor 1 Maret 2017.

Nasution, Khoiruddin, Perlindungan Terhadap Anak Dalam Hukum Keluarga

Islam Indonesia, Al-'Adalah Vol. XIII, No. 1, Juni 2016

Scott Prettitore, Paul, Family Law Reform, Gender Equality, and Underage

Marriage: A view from Morocco and Jordan, The Review of Faith &

International Affairs , volume 13, number 3 fall 2015.

Wahyuni, Sri, Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Negara-negara Muslim,

Al-Ahwal, Vol. 6, No. 2, 2013 M/1435 H

Hasil Penelitian

Wawancara pribadi dengan Dr. H., Nasich Salam Suharto, Lc, Llm. Hakim di

Pengadilan Agama 1A Cibinong, Bogor, 10 Agustus 2018.

Page 98: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018
Page 99: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

HASIL WAWANCARA

Nama : Dr. H., Nasich Salam Suharto, Lc, Llm.

Jabatan : Hakim di Pengadilan Agama 1A Cibinong

S1 Mesir, S2 Sudan, S3 Sudan

1. Bagaimana pendapat bapak tentang hukum keluarga di Maroko?

Secara umum hampir mirip dengan Indonesia karena referensi utama dari

hukum materiil khususnya yang berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan

dengan hukum keluarga bersumber dari hukum Islam.

2. Bagaimanakah penerapan hak asuh anak akibat perceraian di Indonesia ?

a. Yang berhak mengasuh anak setelah perceraian

1. Dalam KHI Pasal 105 dijelaskan bahwasanya hak asuh anak

dibawah umur 12 atau belum mumayyiz maka jatuh kepada

ibunya. Sedangkan diatas itu maka anak boleh memilih salah satu

dari kedua orang tua. Bagaimana dalam penerapannya? Apakah

ada pengecualian bahwa anak dibawah umur 12 atau belum

mumayyiz boleh jatuh ke bapaknya atau semacamnya?

Secara normative memang peraturan telah mengatur sedemikian

rupa tentang pengelolaan hak asuh anak. Bahwa anak dibawah

umur 12 atau belum mumayyiz hak asuhnya jatuh kepada ibunya.

Selebihnya maka diserahkan kepada anaknya. Maksud peraturan

ini adalah mengatur dalam kondisi normal. Kondisi dimana tidak

ada sesuatu yang menjadi konsideran lain. Jadi, pengecualian

bahwa anak dibawah umur 12 atau mumayyiz boleh jatuh ke

bapaknya, pertimbangannya adalah perlindungan anak. Jadi

perlindungan anak itu yang dikedepankan. Kata kunci dari

pengecualiannya adalah ketika anak menghendaki kepentingan

lain. Dalam hal ini majlis hakim dapat menghubungkan dengan

Undang-undang Perlindungan Anak dan menafsirkan ketentuan

umur 12 tahun itu karena ada kepentingan anak yang menghendaki

lain maka bisa ditetapkan kepada pihak selain dari ibu. Jadi yang

Page 100: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

dimaksud dalam Undang-undang bukan mengatur hak ibu atau hak

ayah, tetapi mengatur tentang kepentingan anak yang terbaik.

2. Bolehkah jika pengasuh itu bukan orang tua?(jika keluarga,

bagaimana urutannya?) Bagaimana dengan yang tidak memiliki

ikatan keluarga?(kalau iya, apa syaratnya?) Bagaimana dengan

penerapannya?

Dimungkinkan karena semuanya bermuara kepada kepentingan

anak. Tinggal prosedurnya itu diatur dalam hukum acara. Secara

normative memang sudah diatur urutannya, akan tetapi kembali

lagi kata kuncinya kembali kepada kepada kepentingan anak

tinggal bagaimana di pembuktiannya apakah hak orang tua dapat

dikecualikan

b. Hak dan kewajiban pengasuh anak

Bagaimana dengan hak dan kewajiban pengasuh anak dalam

penerapannya?

Anak-anak memiliki hak-hak dasar. Hak untuk dibina dan

dikembangkan. Jadi, ketika seseorang sudah ditetapkan menjadi

pengasuh anak maka ia harus bisa memenuhi semua hak-hak anak.

c. Upah pengasuh

Apakah pengasuh mendapatkan upah meskipun ia ibu kandung atau

masih keluarga? Kenapa? (kalau iya apa persyaratannya?) dan

bagaimana penerapannya?

Dilihat dulu dari konteksnya. Akan tetapi jika terjadi kesepakatan

antara mantan suami dan mantan istri untuk memberikan upah kepada

yang ditetapkan menjadi pengasuh maka tidak menjadi masalah. Kalau

pengasuhnya itu orang lain, dalam praktik pengadilan dia bukan

diminta tapi menawarkan diri. Kalau ia menawarkan diri bagaimana

mungkin meminta untuk diupahkan. Karena jika salah seorang

mengajukan perkara permohonan hak asuh anak dan menaruh dalam

klausulanya untuk meminta upah maka majlis hakim akan berpikir

Page 101: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

serius tentang ketulusan dari peminta hak asuh. Jadi masalahnya bukan

boleh atau tidak boleh tapi kembali lagi kepada kepentingan anak.

d. Syarat-syarat pengasuh

Dalam Undang-Undang Perkawinan secara tekstual sebenarnya saya

belum menemukan apa saja syarat-syarat seseorang untuk menjadi

pengasuh. Apa yang menjadi sudut pandang seorang hakim dalam

menentukan persyaratan apa saja yang harus dipenuhi untuk menjadi

pengasuh bagi anak? Dan bagaimana dalam penerapannya?

Secara singkat orang itu harus memiliki integritas dalam arti amanah

dan bertanggungjawab. Yang kedua dia memiliki kapasitas untuk

menjalankan tugasnya sebagai pengasuh seperti menjaga tumbuh

kembang anak, memberikan pendidikan, memastikan kepentingan

dasar anak tentang keyakinannya bisa diberikan

e. Hak-hak anak setelah terjadi perceraian

Apa yang membedakan hak-hak anak sebelum dan sesudah

perceraian? Dan bagaimana dalam penerapannya?

Hak-hak anak sebelum dan sesudah perceraian itu sama. Meskipun

secara factual kedua orang tuanya sudan bercerai, akan tetapi orang tua

yang menjadi pengasuh tidak boleh menghalang-halangi anak untuk

bertemu dan mendapatkan kasih saying dari orang tua yang tidak

memegang hak asuhnya.

f. Pengaruh perkawinan pengasuh terhadap hak asuh yang dipegangnya

Apakah perkawinan ayah/ibu pemegang hak asuh berpengaruh

terhadap hak asuh yang dipegangnya? Kalau iya, kenapa? Apakah ada

pengecualiannya? Bagaimana dalam penerapannya?

Secara aturan umum memang jika ibu menikah lagi maka dia akan

kehilangan hak asuhnya. Akan tetapi dalam kenyataannya bagaimana

jika ibu menikah lagi akan tetapi suami barunya menyatakan

mendukung dan ayah kandungnya sedang dalam kondisi moralitas

yang tidak baik?. Maka kembali lagi kepada kepentingan anak

Page 102: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018

menghendaki yang mana. Kita tidak bisa hanya mengacu dengan

Undang-undang tapi kita juga harus mempelajarinya lebih lanjut.

g. Alasan penyebab hilangnya hak asuh

Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 49

dijelaskan bahwasanya salah seorang/kedua orang tua dapat dicabut

kekuasaannya dengan permintaan orang tua yang lainnya, keluarga

atau pejabat yang berwenang karena ia melalaikan kewajibannya dan

berprilaku buruk. Dalam penerapannya, adakah alasan lain yang dapat

menyebabkan hilangnya hak asuh? Dan kenapa?

Sebenarnya Undang-undang yang telah disebutkan itu sudah

mencakup semuanya. Ketika pemegang hak asuh anak mencederai

kepentingan dan membahayakan anak maka itu bisa menjadi alasan

pencabutan anak

h. Kunjungan anak

Apakah pengadilan turut serta mengatur tentang kunjungan anak antara

anak dan orang tua dan tidak mengasuh? Jika iya, hal-hal apa saja yang

hakim perhatikan dalam kunjungan anak? Dan bagaimana dan

penerapannya?

Dalam praktiknya detail tentang teknis hubungan orang tua yang

mengasuh dan tidak mengasuh diserahkan kepada kesepakatan kedua

belah pihak. Yang diatur dalam putusan adalah bahwa menghalang-

halangi pihak lain untuk memberikan kasih saying bisa menjadi alasan

untuk mencabut hak asuhnya.

Page 103: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018
Page 104: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018
Page 105: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018
Page 106: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44301/1/MUTIA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Mutia WardahPublish Year: 2018