tugas mandiri mutia (2)

46
TUGAS WRAP UP SKENARIO 1 BLOK INFEKSI dan PENYAKIT TROPIK Demam Sore Hari KELOMPOK PBL B-01 Ketua : Mutia Tri Pujianti 1102012184 Sekretaris : 11020111 Anggota : Putri Erica 1102012215 Raden Agil Widjaya 1102012221 Ratna Kurnianingsih 1102012228 Roesa Dahliana Ibrahim 1102011243 Rumi Aulia 1102012257 Selly Viani 1102012267 Septha Amelia Dewi 1102012269 Soraya Dwi Khairunnisa 1102012285 1

Upload: mutia-tri-pujianti

Post on 28-Nov-2015

89 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Mandiri Mutia (2)

TUGAS WRAP UP

SKENARIO 1

BLOK INFEKSI dan PENYAKIT TROPIK

Demam Sore Hari

KELOMPOK PBL B-01

Ketua : Mutia Tri Pujianti 1102012184Sekretaris : 11020111Anggota : Putri Erica 1102012215

Raden Agil Widjaya 1102012221

Ratna Kurnianingsih 1102012228

Roesa Dahliana Ibrahim 1102011243

Rumi Aulia 1102012257

Selly Viani 1102012267

Septha Amelia Dewi 1102012269

Soraya Dwi Khairunnisa 1102012285

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI JAKARTA

2012 – 2013

1

Page 2: Tugas Mandiri Mutia (2)

SKENARIO 1

Demam sore hari

Seorang laki-laki 45 tahun, mengalami demam sejak 1 minggu yang lalu. Demam dirasakan lebih tinggi pada sore hari dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada pemeriksaan fisik kesadaran somnolen, nadi bradikardia, suhu tubuh hiperpiriksia (pengukuran jam 20.00 WIB), lidah terlihat typoid tongue. Pemeriksaan Tes Widal didapatkan titer anti-salmonella typhi O meningkat. Pasien bertanya kepada dokter apa diagnosa dan cara pencegahan penyakitnya.

1

Page 3: Tugas Mandiri Mutia (2)

LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Salmonella typhi

LO.1.1 Morfologi dan Sifat Salmonella typhi

LO.1.2 Siklus Hidup Salmonella typhi

LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Demam

LO.2.1 Definisi Demam

LO.2.2 Klasifikasi Demam

LO.2.3 Patofisiologi Demam

LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Demam Tipoid

LO.3.1 Definisi Demam Tipoid

LO.3.2 Etiologi Demam Tipoid

LO.3.3 Patofisiologi Demam Tipoid

LO.3.4 Manifestasi Klinis Demam Tipoid

LO.3.5 Diagnosis Demam Tipoid

LO.3.6 Komplikasi Demam Tipoid

LO.3.7 Prognosis Demam Tipoid

LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Demam Tipoid

LO.4.1 Tatalaksana Demam Tipoid

LO.4.2 Pencegahan Demam Tipoid

1

Page 4: Tugas Mandiri Mutia (2)

LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Salmonella Typhi

LO. 1.1 Morfologi dan sifat salmonella

Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif batang yang menyebabkan demam tifoid. Salmonella typhi merupakan salah satu penyebab infeksi tersering di daerah tropis, khususnya di tempat-tempat dengan higiene yang buruk. (Todar, 2008)

Morfologi salmonella

Panjang salmonella bervariasi. Sebagian besar isolat motil dengan flagel peritrika (peritrichous flagella), serta tidak membentuk spora, batang gram negatif. Salmonella mudah tumbuh pada medium sederhana, tetapi hampir tidak pernah memfermentasikan laktosa atau sukrosa. Organisme ini membentuk asam dan kadang-kadang gas dari glukosa dan manosa. Salmonella biasanya menghasilkan H2S. Bakteri ini dapat hidup dalam air yang membeku untuk waktu yang lama. Salmonella resistan terhadap bahan kimia tertentu (misalnya hijau brilian, natrium tetrationat, natrium deoksikolat) yang menghambat bakteri entertik lain, oleh karena itu senyawa-senyawa tersebut berguna untuk inklusi isolat salmonella dari feses pada medium. (Soebandrio, 2008)

Salmonella sp. berukuran 2 μ sampai 4 μ × 0;6 μ, mempunyai flagel (kecuali S. gallinarum dan S. pullorum), dan tidak berspora. Habitat Salmonella sp. adalah di saluran pencernaan (usus halus) manusia dan hewan. Suhu optimum pertumbuhan Salmonella sp. ialah 37oC dan pada pH 6-8. (Julius, 1990)

Organisme Salmonella tumbuh secara aerobic dan anaerobic fakultatif. Serta resisten terhadap banyak agen fisik tetapi dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 130ºF (54.4ºC) selama 1 jam atau 140ºF (60ºC) selama 15 menit. (Jawetz, 2008)

biologigonz.com/thypus-salmonella-thyposa

1

Page 5: Tugas Mandiri Mutia (2)

Struktur Antigen Salmonella sp. mempunyai tiga macam antigen utama untuk diagnostik atau

mengidentifikasi yaitu : somatik antigen (O), antigen flagel (H) dan antigen Vi (kasul) (Todar, 2008). Antigen O (Cell Wall Antigens ) merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida yang tahan panas (termostabil), dan alkohol asam (Julius, 1990). Antibodi yang dibentuk adalah IgM (Karsinah et al, 1994). Namun antigen O kurang imunogenik dan aglutinasi berlangsung lambat (Julius, 1990). Maka kurang bagus untuk pemeriksaan serologi karena terdapat 67 faktor antigen, tiap-tiap spesies memiliki beberapa faktor (Todar, 2008). Oleh karena itu titer antibodi O sesudah infeksi lebih rendah dari pada antibodi H (Julius, 1990).

Antigen H pada Salmonella sp. dibagi dalam 2 fase yaitu fase I : spesifik dan fase II : non spesifik. Antigen H adalah protein yang tidak tahan panas (termolabil), dapat dirusak dengan pemanasan di atas 60ºC dan alkohol asam (Karsinah et al, 1994). Antigen H sangat imunogenik dan antibodi yang dibentuk adalah IgG (Julius, 1990). Sedangkan Antigen Vi adalah polimer dari polisakarida yang bersifat asam. Terdapat dibagian paling luar dari badan kuman bersifai termolabil. Dapat dirusak dengan pemanasan 60oC selama 1 jam. Kuman yang mempunyai antigen Vi bersifat virulens pada hewan dan mausia. Antigen Vi juga menentukan kepekaan terhadap bakteriofaga dan dalam laboratorium sangat berguna untuk diagnosis cepat kuman S. typhi (Karsinah et al, 1994). Adanya antigen Vi menunjukkan individu yang bersangkutan merupakan pembawa kuman (carrier) (Julius, 1990).

Sifat dari salmonellaSalmonella typhi, Salmonella choleraesuis, dan mungkin juga Salmonella paratyphi A

dan Salmonella paratiphy B bersifat infeksius untuk manusia, dan infeksi oleh organisme tersebut didapatkan dari manusia. Namun, sebagian besar salmonella bersifat patogen terutama bagi hewan-hewan yang menjadi reservoir untuk infeksi manusia : unggas , babi, hewan ternak, binatang peliharaan (dari kura-kura hingga burung kakatua), dan banyak lainnya. Salmonella umumnya bersifat patogen untuk manusia atau hewan bila masuk ke mulut. Organisme ini ditularkan dari hewan dan produk hewan ke manusia, dan menyebabkan enteritis, infeksi sistemik, dan demam enterik.

Salmonella termasuk basil enterik gram negatif famili Enterobacteriaceae. Salmonella sp. bersifat aerob dan anaerob falkultatif, pertumbuhan Salmonella sp. pada suhu 37oC dan pada pH 6-8. Salmonella sp. memiliki flagel jadi pada uji motilitas hasilnya positif , pada media BAP (Blood Agar Plate) menyebabkan hemolisis. Pada media MC (Mac Conkay) tidak memfermentasi laktosa atau disebut Non Laktosa Fermenter (NLF) tapi Salmonella sp. memfermentasi glukosa , manitol dan maltosa disertai pembentukan asam dan gas kecuali S. typhi yang tidak menghasikkan gas. Kemudian pada media indol negatif, MR positif, Vp negatif dan sitrat kemungkinan positif. Tidak menghidrolisiskan urea dan menghasilkan H2S (Julius,1990).

1

Page 6: Tugas Mandiri Mutia (2)

Klasifikasi dari salmonella

Kingdom : Eubacteria

Phylum : Proteobacteria

Class : Gamma Proteobacteria

Ordo : Enterobacteriales

Famili : Enterobacteriaceae

Genus : Salmonella

Spesies : Salmonella enterica

Subspesies : Salmonella enterica enterica

Salmonella enterica salamae

Salmonella enterica arizonae

Salmonella enterica diarizonae

Salmonella enterica houtenae

Salmonella enterica indica

Klasifikasi salmonella sangat rumit karena organisme tersebut merupakan rangkaian kesatuan dan bukan tertentu. Anggota genus Salmonella awalnya diklasifikasikan berdasarkan epidemiologi, jangkauan pejamu, reaksi biokimia, dan struktur antigen O, H, dan Vi. Terdapat lebih dari 2500 serotip Salmonella, termasuk lebih dari 1400 dalam kelompok hibridasi DNA grup I yang dapat menginfeksi manusia. Hampir semua Salmonella yang menyebabkan penyakit pada manusia dapat diidentifikasikan di laboraturium klinis melalui pemeriksaan biokimia dan serologik. Serotip tersebut adalah sebagai berikut:

Salmonella paratyphi A (serogrup A) Salmonella paratyphi B (serogrup B) Salmonella cholerasuis (serogrup C1) Salmonella typhi (serogrup D)

Penentuan serotipe didasarkan atas reaktivitas antigen O dan antigen H bifasik. Berdasarkan penelitian hibridisasi DNA, klasifikasi taksonomik resmi meliputi genus Salmonella dengan subspecies dan genus Arizona dengan subspesies.

1

Page 7: Tugas Mandiri Mutia (2)

Contoh rumus antigenik salmonella

Golongan O Seriotip Formula antigenikD S typhi 9,12 (vi):d:-A S paratyphi A 1,2,12:a-C1 S choleraesuis 6,7: c:1,5B S typhimurium 1,4,5,12:i:1,2D S enteritidis 1,9,12:g,m:-

 (Jawetz, 2008)

LO. 1. 2. Memahami dan Menjelaskan siklus hidup salmonellaOrganisme ini hampir selalu masuk melalui rute oral, biasanya bersama makanan atau

minuman yang terkontaminasi. Dosis infektif rata-rata untuk menimbulkan infeksi klinis atau subklinis pada manusia adalah 105-108 bakteri. Beberapa faktor pejamu yang menimbulkan resistansi terhadap infeksi salmonella adalah keasaman lambung, flora mikroba normal usus, dan kekebalan usus setempat. Salmonella menyebabkan tiga macam penyakit utama pada manusia, tetapi sering juga ditemukan bentuk campuran. Lihat tabel. (Jawetz, 2007)

Manusia terinfeksi Salmo-nella typhi secara fecal-oral. Tidak selalu Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebab-kan infeksi karena untuk menim-bulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus. Salah satu faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi men-capai usus halus adalah keasaman lambung. Bila keasaman lambung berkurang atau makanan terlalu cepat melewati lambung, maka hal ini akan memudahkan infeksi Salmonella typhi. (Salyers & Whitt, 2002).

Penyakit klinis yang disebabkan oleh salmonella

  Demam enterik Septikemia EnterokolitisPeriode inkubasi 7-20 hari Bervariasi 8-48 jamAwitan Perlahan Mendadak MendadakDemam Bertahap, kemudian

plateau, tinggiMeningkat cepat, kemudian temperatur menukik spt sepsis

Biasanya demam ringan

Lama penyakit Beberapa minggu Bervariasi 2-5 hariGejala gastrointestinal

Awalnya sering konstipasi, selanjutnya diare berdarah

Sering tidak ada Mual muntah diare saat awitan

Biakan darah Positif pada minggu 1 hingga minggu 5 penyakit

Positif pada saat demam tinggi

Negatif

Biakan feses Positif pada minggu 2, negatif pada awal penyakit

Jarang positif Positif segera setelah awitan

(Jawetz, 2008)

1

Page 8: Tugas Mandiri Mutia (2)

LI. 2. Memahami dan Menjelaskan DemamLO. 2.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Demam

Demam adalah peningkatan suhu tubuh diatas normal, hal ini dapat disebabkan oleh stress fisiologik, seperti pada ovulasi, sekresi hormon tiroid berlebihan atau olahraga berat, lesi sistem saraf pusat atau infeksi mikroorganisme atau sejumlah proses non infeksi, misalnya radang atau pelepasan bahan tertentu seperti pada leukimia. (Dorland, 2010). Suhu tubuh normal berkisar 36,5-37,2oC. Suhu subnormal dibawah 36oC. Hiperpireksia adalah suatu keadaan kenaikan suhu tubuh sampai setinggi 41,2oC atau lebih. Adapun kisaran nilai normal suhu tubuh adalah: Suhu oral, antara 35,5-37,5oC Suhu aksila, antara 34,7-37,3oC Suhu rektal, antara 36,6-37,9oC suhu infrared tympanic, antara 35,7-37,5oC

Suhu tubuh yang diukur di mulut akan lebih rendah 0,5-0,6oC (1oF) dari suhu rektal. Suhu tubuh yang diketiak lebih rendah 0,8-1oC (1,5-2oF) dari suhu oral. Suhu tubuh yang diukur timpani akan 0,5-0,6oC (1oF) lebih rendah dari suhu ketiak.

Demam mempunyai manfaat melawan infekasi. Namun demam juga memberikan dampak negatif diantaranya menjadi peninhkatan metabolisme tubuh, dehidrasi ringan, dan dapat mebuat rasa tidak nyaman.

LO. 2.2 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Demam

Beberapa klasifikasi demam yang mungkin kita jumpai, antara lain:a. Demam Septik

Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik. Contoh penyakit dari demam septik adalah penyakit kawasaki dan infeksi pyogenik.

b. Demam RemitenPada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik. Demam remitmen biasanya disebabkan penyakit virus dan bakteri.

c. Demam IntermitenPada tipe demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana. Contoh penyakit dari demam intermiten adalah malaria, limfoma, endokarditis.

d. Demam Kontinyu Pada demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia. Contoh: demam tifoid. Contoh penyakit dari demam kontinyu adalah demam tifoid dan malaria falciparum malignan.

1

Page 9: Tugas Mandiri Mutia (2)

e. Demam SiklikPada demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula. (Sudoyo, 2009)

f. Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya traktus urinarius) atau sistem organ multiple. Contoh: Familial Mediterranean fever.

g. Demam quotidian, yaitu demam yang disebabkan oleh P. Vivax, ditandai dengan paroksisme demam yang terjadi setiap hari.

h. Demam quotidian ganda yaitu demam yang memiliki dua puncak dalam 12 jam (siklus 12 jam). Contoh: kala azar, arthritis gonococcal, juvenile rheumathoid arthritis, beberapa drug fever (karbamazepin).

i. Relapsing fever dan demam periodik:a. Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval regular

atau irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari, beberapa minggu atau beberapa bulan suhu normal. Contoh yang dapat dilihat adalah malaria (istilah tertiana digunakan bila demam terjadi setiap hari ke-3, kuartana bila demam terjadi setiap hari ke-4) dan brucellosis.

b. Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren yang disebabkan oleh sejumlah spesies borrelia dan ditularkan oleh kutu (louse-borne RF) atau tick (tick-borne RF).

Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi mendadak, yang berulang secara tiba-tiba berlangsung selama 3 – 6 hari, diikuti oleh periode bebas demam dengan durasi yang hampir sama. Suhu maksimal dapat mencapai 40,6oC pada tick-borne fever dan 39,5oC pada louse-borne. Gejala penyerta meliputi myalgia, sakit kepala, nyeri perut, dan perubahan kesadaran. Resolusi tiap episode demam dapat disertai Jarish-Herxheimer reaction (JHR) selama beberapa jam (6 – 8 jam), yang umumnya mengikuti pengobatan antibiotik. Reaksi ini disebabkan oleh pelepasan endotoxin saat organisme dihancurkan oleh antibiotik. JHR sangat sering ditemukan setelah mengobati pasien syphillis. Reaksi ini lebih jarang terlihat pada kasus leptospirosis, Lyme disease, dan brucellosis. Gejala bervariasi dari demam ringan dan fatigue sampai reaksi anafilaktik full-blown. Penyakit dari demam ini adalah malaria tertiana atau kuartana brucellosis.

Adapun tiga kelompok utama demam yang dijumpai pada praktek pediatrik:

1

Klasifikasi Penyebab tersering Lama demam pada umumnya

Demam dengan localizing

signs

Infeksi saluran nafas atas <1 minggu

Demam tanpa localizing

signs

Infeksi virus, infeksi saluran

kemih

<1minggu

Fever of unknown origin Infeksi, juvenile idiopathic arthritis

>1 minggu

Page 10: Tugas Mandiri Mutia (2)

1. Demam dengan localizing signs

Penyakit demam yang paling sering ditemukan pada praktek pediatrik berada pada kategori ini (Tabel 1.). Demam biasanya berlangsung singkat, baik karena mereda secara spontan atau karena pengobatan spesifik seperti pemberian antibiotik. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan foto rontgen dada.

Tabel 1. Penyebab utama demam karena penyakit localized signs

Kelompok Penyakit

Infeksi saluran nafas atas

ISPA virus, otitis media, tonsillitis, laryngitis, stomatitis herpetika

Pulmonal Bronkiolitis, pneumoniaGastrointestinal Gastroenteritis, hepatitis, appendisitisSistem saraf pusat Meningitis, encephalitisEksantem Campak, cacar airKolagen Rheumathoid arthritis, penyakit KawasakiNeoplasma Leukemia, lymphomaTropis Kala azar, cickle cell anemia

2. Demam tanpa localizing signs

Sekitar 20% dari keseluruhan episode demam menunjukkan tidak ditemukannya localizing signs pada saat terjadi. Penyebab tersering adalah infeksi virus, terutama terjadi selama beberapa tahun pertama kehidupan. Infeksi seperti ini harus dipikirkan hanya setelah menyingkirkan infeksi saluran kemih dan bakteremia. Tabel 2. menunjukan penyebab paling sering kelompok ini.1 Demam tanpa localizing signs umumnya memiliki awitan akut, berlangsung kurang dari 1 minggu, dan merupakan sebuah dilema diagnostik yang sering dihadapi oleh dokter anak dalam merawat anak berusia kurang dari 36 bulan.

Tabel 2. Penyebab umum demam tanpa localizing signs

Penyebab Contoh Petunjuk diagnosis

Infeksi Bakteremia/sepsis

Sebagian besar virus (HH-6)

Infeksi saluran kemih

Malaria

Tampak sakit, CRP tinggi, leukositosis

Tampak baik, CRP normal, leukosit normal

Dipstik urine

Di daerah malaria

PUO (persistent pyrexia of unknown origin) atau FUO

Juvenile idiopathic arthritis

Pre-articular, ruam, splenomegali, antinuclear factor tinggi, CRP tinggi

Pasca vaksinasi Vaksinasi triple, campak Waktu demam terjadi berhubungan

1

Page 11: Tugas Mandiri Mutia (2)

dengan waktu vaksinasi

Drug fever Sebagian besar obat Riwayat minum obat, diagnosis eksklusi

(http://d.yimg.com/kq/groups/15854266/766761054/name/Monograf)

3. Persistent Pyrexia of Unknown Origin (PUO)

Istilah ini biasanya digunakan bila demam tanpa localizing signs bertahan selama 1 minggu dimana dalam kurun waktu tersebut evaluasi di rumah sakit gagal mendeteksi penyebabnya. Persistent pyrexia of unknown origin, atau lebih dikenal sebagai fever of unknown origin (FUO) diartikan dengan “demam belum terdiagnosis” adalah suatu keadaan dimana seorang pasien mengalami demam terus menerus selama 3 minggu dengan suhu badan di atas 38,3˚C dan tetap belum ditemukan penyebabnya walaupun telah diteliti selama satu minggu secara intensif dengan menggunakan sarana laboratorium dan penunjang medis lainnya.

Klasifikasi demam yang belum terdiagnosis :a. FUO Klasik 

penderita telah diperiksa di RS atau di klinik selma 3 hari berturut–turut tanpa dapat ditetapkan penyebab demam. Demam yang sudah lebih dari 3 minggu dimana telah diusahakan diagnostik non-invasif maupun invasif selama satu minggu tanpa hasilyang dapat menetapkan penyebab demam. 

b. FUO NosokominalPenderita yang awalnya dirawat tanpa infeksi di rumah sakit dan kemudian menderita

demam >38,3˚Cdan sudah diperiksa secara intensif untuk menentukan penyebab demam tanpa hasil yang jelas

c. FUO Neutropenik Penderita yang memiliki hitung jenis neutrofil <500 ul dengan deman >38,3˚C dan

sudah diusahakan pemeriksaan intensif selama 3 hari tanpa hasil yang jelas. d. FUO HIV

Penderita HIV yang menderita demam >38,3˚C selama 4 minggu pada rawat jalan tanpa dapat menentukan penyebabnya atau pada penderita yang dirawat di RS yang mengalami demam selama lebih dari 3 hari dan telah dilakukan peneriksaan tanpa hasil yang jelas. (Sudoyo, 2009) 

 LO. 2.3 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Demam

1

Page 12: Tugas Mandiri Mutia (2)

Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh akibat dari peradangan atau infeksi. Proses perubahan suhu yang terjadi saat tubuh dalam keadaan sakit lebih dikarenakan oleh zat toksin yang masuk kedalam tubuh.Umumnya, keadaan sakit terjadi karena adanya proses peradangan (inflamasi) di dalam tubuh. Proses peradangan itu sendiri sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan dasar tubuh terhadap adanya serangan yang mengancam keadaan fisiologis tubuh. Proses peradangan diawali dengan masuknya zat toksin(mikroorganisme) kedalam tubuh kita. Mikroorganisme (MO) yang masuk kedalamtubuh umumnya memiliki suatu zat toksin tertentu yang dikenal sebagai pirogen eksogen.

Dengan masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha melawan danmencegahnya dengan pertahanan tubuh antara lain berupa leukosit, makrofag, danlimfosit untuk memakannya (fagositosit). Dengan adanya proses fagositosit ini, tubuhakan mengeluarkan senjata, berupa zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen(khususnya IL-1) yang berfungsi sebagai anti infeksi. Pirogen endogen yang keluar,selanjutnya akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus untuk mengeluarkan suatusubstansi yakni asam arakhidonat. Asam arakhidonat dapat keluar dengan adanya bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh hipotalamusakan pemacu pengeluaran prostaglandin (PGE).

Pengeluaran prostaglandin dibantu oleh enzim siklooksigenase (COX).Pengeluaran prostaglandin akan mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus.Sebagai kompensasinya, hipotalamus akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh (diatas suhu normal). Adanya peningkatan titik patokan ini dikarenakan termostat tubuh(hipotalamus) merasa bahwa suhu tubuh sekarang dibawah batas normal. Akibatnyaterjadilah respon dingin/ menggigil. Selain itu vasokontriksi kulit juga berlangsunguntuk mengurangi pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong suhunaik. Adanya proses menggigil ( pergerakan otot rangka) ini ditujukan untuk menghasilkan panas tubuh yang lebih banyak. Dan terjadilah demam.

PirogenPirogen adalah zat yang menginduksi demam.Pirogen dapat berupa factor

internal(endogen) atau eksternal (eksogen).Substansi bakteri lipopolisakarida (LPS) yang adadalam dinding sel dari beberapa bakteri adalah contoh dari pirogeneksogen.Pirogenitas dapat bervariasi, misalnya beberapa bakteri yang dikenal sebaga pirogen superantigens dapat menyebabkan demam cepat dan berbahaya. Depirogenasidapat dicapai melalui proses filtrasi, distilasi, kromatografi, atau inaktivasi.

EndogenSitokin (khususnya interleukin 1) adalah bagian dari sistem imun bawaan yangdiproduksi

oleh sel fagosit dan dapat menyebabkan peningkatan set pointthermoregulatory di hipotalamus. Contoh lain dari pirogen endogen adalah interleukin6 (IL-6) dan faktor nekrosis tumor-alfa.Sitokin dilepaskan dalam sirkulasi umum bermigrasi ke organ sirkumventrikular dariotak karena penyerapan lebih mudah disebabkan oleh penghalang darah-otak filtrasikarena mereka dapat mengurangi aksi.Faktor sitokin kemudian berikatan denganreseptor endotel.Saat sitokin mengikat, jalur asam arakidonat kemudian teraktivasi.

EksogenSalah satu mekanisme demam yang disebabkan oleh pirogen eksogen adalah LPSyang

merupakan komponen dari dinding sel bakteri gram-negatif.Sebuah proteinimunologi yang disebut protein lipopolisakarida (LBP) mengikat LPS.LBP-LPSkompleks kemudian mengikat

1

Page 13: Tugas Mandiri Mutia (2)

reseptor CD14 di dekat makrofag.Hal tersebutmenyebabkan sintesis dan pelepasan endogen dari berbagai faktor sitokin, sepertiinterleukin 1 (IL-1), interleukin 6 (IL-6), dan faktor nekrosis tumor-alfa. Dengan katalain, faktor eksogen menyebabkan teraktivasinya faktor endogen.

Sekresi PGE2Sekresi PGE2 berasal dari jalur asam arakidonat. Jalur tersebut ditengahi oleh

enzimfosfolipase A2 (PLA2), siklooksigenase-2 (COX-2), dan prostaglandin sintase E2 .Enzim-enzim tersebut berada di antara proses sintesis dan pelepasan PGE2.PGE2 merupakan mediator utama dari respon demam. Temperatur set point daritubuh akan tetap tinggi sampai PGE2 tidak lagi diproduksi. PGE2 bekerja padaneuron di daerah preoptik anterior hipotalamus (POA) melalui reseptor prostaglandinE3 (EP3).EP3 mengekspresikan neuron di POA hipotalamus dorsomedial (DMH),rostral rafe inti pallidus di medula oblongata (rRPa), dan inti paraventrikular (PVN)dari hipotalamus.Sinyal demam dikirim ke DMH dan memimpin rRPa untuk stimulasisimpatik keluaran sistem, yang membangkitkan termogenesis non-menggigil untuk menghasilkan panas tubuh dan vasokonstriksi kulit untuk menurunkan panas yanghilang dari permukaan tubuh.Diduga bahwa persarafan dari POA ke PVN menengahiefek neuroendokrin demam melalui jalur yang melibatkan kelenjar pituitari dan berbagai organ endokrin.

HipotalamusOtak mengatur efektor mekanisme panas melalui sistem saraf otonom.Hal tersebutdapat

terjadi karena peningkatan produksi panas oleh peningkatan aktivitas ototmisalnya dengan menggigil, dan aktivitas hormon seperti epinefrin.Pencegahan darikehilangan panas, seperti vasokonstriksi.Sistem saraf otonom juga dapatmengaktifkan jaringan adiposa coklat untuk menghasilkan panas (non-menggigiltermogenesis), tapi ini tampaknya penting terutama untukbayi.Peningkatandenyut jantung dan vasokonstriksi berkontribusi untuk meningkatkan tekanan darah padademam.

LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Demam tifoidLO. 3.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi Demam Tifoid

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari dan ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke sel fagosit manonuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe dan Payer’s patch.( Sumarmo et al , 2010)

Sejarah tifoid dimulai saat ilmuan Perancis bernama Pierre Louis memperkenalkan istilah typhoid pada tahun 1829. Typhoid atau typhus berasal dari bahasa Yunani typhos yang berarti penderita demam dengan gangguan kesadaran. Kemudian Gaffky menyatakan bahwa penularan penyakit ini menular melalui air dan bukan melalui udara. (Widoyono, 2005)

1

Page 14: Tugas Mandiri Mutia (2)

LO. 3.2 Memahami dan Menjelaskan Etiologi Demam Tifoid

Etiologi demam tifoid berasal dari beberapa faktor, yaitu: faktor host, faktor agent, faktor environment, sumber penularan, dan dari penderita demam tifoid.

Faktor Host

Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya.

Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control , mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar (OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan (OR=2,7).

Faktor Agent

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang tertelan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.

Faktor Environment Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis

terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.

Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain case control , mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang baik (OR=20,8) dan kualitas air minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak tercemar berat coliform (OR=6,4)

Sumber Penularan (Reservoir) Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia melalui

makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita tifoid.Sumber infeksi adalah makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh salmonella. Berikut adalah sumber-sumber infeksi yang penting

Air, kontaminasi dengan feses sering menimbulkan epidemik yang luas

1

Page 15: Tugas Mandiri Mutia (2)

Susu dan produk susu lainnya (es krim, keju, puding), kontaminasi dengan feses dan pasteurisasi yang tidak adekuat atau penanganan yang salah. Beberapa wabah dapat ditelusuri sampai sumber kumannya

Kerang, dari air yang terkontaminasi Telur beku atau dikeringkan, dari unggas yang terinfeksi atau kontaminasi saat

pemrosesan Daging dan produk daging, dari hewan yang terinfeksi (hewan ternak) atau

kontaminasi oleh feses melalui hewan pengerat atau manusia Obat “rekreasi”, mariyuana dan obat lainnya Pewarnaan hewan, pewarnaan (misal, carmine) digunakan untuk obat,

makanan, dan kosmetik Hewan peliharaan, kura-kura, anjing, kucing, dll

( Jawetz, 2008)

Penderita Demam Tifoid Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan

mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya.

Karier Demam Tifoid.Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin)

mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 – 3 bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan.

Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya.

Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis:a. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti pada penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.

b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan pada virus hepatitis.

c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh dari penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya kemungkinan hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan pada dipteri.

d. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama seperti pada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.

1

Page 16: Tugas Mandiri Mutia (2)

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28625/4/Chapter%20II.pdf

LO. 3.3 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Demam Tifoid

Masa inkubasi demam tifoid kurang lebih 14 hari. Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman ini akan dimusnahkan dalam lambung, sebagian lagi lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteriemia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular gangguan mental, dan koagulasi.

Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Peranan endotoksin dalam patogenesis demam tifoid telah dipelajari secara mendalam. Pernah dicoba pemberian suntikan endotoksin 0.5 mcg pada sukarelawan-sukarelawan, dalam waktu enam puluh menit mereka menjadi sakit kepala, dingin, rasa tak enak pada perut. Bakteriolisis yang dilakukan oleh sistem retikuloendotelialium merupakan upaya pertahanan tubuh di dalam pembasmian kuman. Akibat bakteriolisis maka dibebaskan suatu zat endotoksin, yaitu suatu lipopolisakarida (LPS), yang akan merangsang pelepasan pirogen endogen dari leukosit, sel-sel limpa, dan sel-sel kuppfer hati, makrofag, sel polimorfonuklear dan monosit. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organik lainnya.

1

Page 17: Tugas Mandiri Mutia (2)

LO. 3.4. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis Demam Tifoid

1

Page 18: Tugas Mandiri Mutia (2)

Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan tidak memerlukan perawatan khusus sampai gejala klinis berat dan memerlukan perawatan khusus. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya. ( Sumarmo et al, 2010)

Pada minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berkepanjangan yaitu setinggi 39º C hingga 40º C, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan meradang. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen di salah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam.

Pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita.Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Umumnya terjadi gangguan pendengaran, lidah tampak kering, nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, diare yang meningkat dan berwarna gelap, pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus menerus, dan mulai kacau jika berkomunikasi.

Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana septikemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas, dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.

Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer

1

Page 19: Tugas Mandiri Mutia (2)

LO. 3.5 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Demam Tifoid

Diagnosis demam tifoid ada beberapa metode yaitu diagnosis klinik, diagnosis mikrobiolgik (kultur) dan diagnosis serologik. Yang merupakan pemeriksaan atau diagnosis gold standart demam tifoid dengan diagnosis mikrobiologik yaitu kultur darah, faeses, urin dan sum-sum tulang penderita demam tifoid (Karsinah et al, 1994).

Perawatan dan pengobatan terhadap penderita penyakit demam tifoid bertujuan menghentikan invasi kuman, memperpendek perjalanan penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, serta mencegah agar tak kambuh kembali. Pengobatan penyakit tifus dilakukan dengan jalan mengisolasi penderita dan melakukan desinfeksi pakaian, feses dan urine untuk mencegah penularan.

Beberapa pemeriksaan laboratorium :

a. Pemeriksaan Mikrobiologi (kultur)

Metode diagnosis mikrobiologik atau kultur merupakan gold standart untuk diagnosis demam tifoid. Spesifikasinya lebih dari 90% pada penderita yang belum diobati, kultur darahnya positif pada minngu pertama. Jika sudah diobati hasil positif menjadi 40% namun pada kultur sum-sum tulang hasil positif tinggi 90%. Pada minggu selanjutnya kultur tinja dan urin meningkat yaitu 85% dan 25%, berturut-turut positif pada minggu ke-3 dan ke-4. Selama 3 bulan kultur tinja dapat positif kira-kira 3% karena penderita tersebut termasuk carrierkronik. Carrierkronik sering terjadi pada orang dewasa dari pada anak-anak dan lebih sering pada wanita daripada laki-laki.

b. Pemeriksaan Klinik (darah)

1. Hitung lekosit total pada demam tifoid menunjukkan lekopenia, kemungkinan 3.000 sampai 8.000 per mm kubik.2. Hitung jenis lekosit : Kemungkinan limfositosis dan monositosis.

c. Pemeriksaan Serologi

1. Widal testUji widal erupakan uji yang medeteksi anti bodi penderita yang timbul pada minggu

pertama. Uji ini mengukur adanya antibodi yang ditimbulkan oleh antigen O dan H pada Salmonella sp. Hasil bermakna jika hasil titer O dan H yaitu 1:160 atau lebih. Sebagian besar rumah sakit di Indonesia menggunakan uji widal untuk mendiagnosis demam tifoid.2. IDL Tubex® test

Tubex® test pemeriksaan yang sederhana dan cepat. Prinsip pemeriksaannya adalah mendeteksi antibodi pada penderita. Serum yang dicampur 1 menit dengan larutan A. Kemudian 2 tetes larutan B dicampur selama 12 menit. Tabung ditempelkan pada magnet khusus. Kemudian pembacaan hasil didasarkan pada warna akibat ikatan antigen dan antibodi. Yang akan menimbulkan warna dan disamakan dengan warna pada magnet khusus.

3. Typhidot® TestUji serologi ini untuk mendeteksi adanya IgG dan IgM yang spesifik untuk S.

typhi. Uji ini lebih baik dari pada uji Widal dan merupakan uji Enzyme Immuno

1

Page 20: Tugas Mandiri Mutia (2)

Assay(EIA)ketegasan (75%), kepekaan (95%). Studi evaluasi juga menunjukkan Typhidot-M®l ebih baik dari pada metoda kultur. Walaupun kultur merupakan pemeriksaan gold standar. Perbandingan kepekaan Typhidot-M®dan metode kultur adalah >93%. Typhidot-M®sangat bermanfaat untuk diagnosis cepat di daerah endemis demam tifoid.4. IgM dipstick test

Pengujian IgM dipstick test demam tifoid dengan mendeteksi adanya antibodi yang dibentuk karena infeksi S. typhidalam serum penderita. Pemeriksaan IgM dipstick dapat menggunakan serum dengan perbandingan 1:50 dan darah 1 : 25. Selanjutnya diinkubasi 3 jam pada suhu kamar. Kemudian dibilas dengan air biarkan kering. Hasil dibaca jika ada warna berarti positif dan Hasil negatif jika tidak ada warna. Interpretasi hasil 1+, 2+, 3+ atau 4+ jika positif lemah.

d. Pemeriksaan Laboratorium1. Darah

Pada penderita demam typhoid bisa di dapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, kadang-kadang di dapatkan trombositopenia dan pada hitung jenis di dapatkan aeosinofilia dan limfositosis relatif.

2. Uji Serologis Sampai saat ini test widal merupakan reaksi serologis yang di gunakan untuk

membantu menegakan diagnosis demam typhoid. Dasar test widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen salmonella typhi dengan antibodi yang terdapat pada serum penderita. Untuk dapat memberikan hasil yang akurat, test widal sebaiknya tidak hanya di lakukan satu kali saja melainkan perlu satu pemeriksaan, kecuali hasilnya sesuai standar setempat.

3. Pemeriksaan Urin dan Darah Akhir-akhir ini ada beberapa teknik baru untuk mendeteksi bedanya antibodi

terhadap salmonella typhi pada serum penderita dan adanya antigen salmonella typhi dalam darah dan urin melalui, antara lain dengan hemaglutination in hibiton test, enzyme linked imunosorbent assay, complement fixation test, stapilococal protein acoaglutination assay. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/114/jtptunimus-gdl-sodikinkur-5696-2-babiik-s.pdf

4. Biologi Molekular.PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada

cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian diidentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi.Kriteria diagnosis yang biasa digunakan adalah :

Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negative tidak menyingkirkan demam tifoid.

Biakan tinja positif menyokong diagnosis klinis demam tifoid.

1

Page 21: Tugas Mandiri Mutia (2)

Peningkatan titer uji widal 4 kali lipat selama 2–3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.

Reaksi widal tunggal dengan titer antibodi Antigen O 1: 320 atau titer antigen H 1: 640 menyokong diagnosis demam tifoid pada pasien dengan gambaran klinis yang khas .

Pada beberapa pasien, uji widal tetap negatif pada pemeriksaan ulang walaupun biakan darah positif. (Sumarmo, 2010)

LO. 3.6 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Demam TifoidBeberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:

1. Komplikasi intestinalKomplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan

frekuensi nadi.Umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal, yaitu:- Perdarahan ususDilaporkan dapat terjadi pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena.- Perforasi ususDilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelah itu dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara di antara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.

- PeritonitisBiasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, defance muskulare, dan nyeri pada penekanan.(Djoko, 2009)

2.Komplikasi di luar usus (ekstraintestinal)

Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu meningitis, kolesistitis, ensefelopati dan lain-lain. Terjadi karena infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia.

- Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.

- Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, KID, rthritis.

- Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis

- Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolesistitis

- Komplikasi ginjal : glumerolunofritis, pielonefritis, perinefritis

- Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, rthritis

- Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik(Djoko, 2009)

LO. 3.7 Memahami dan Menjelaskan Prognosis Demam Tifoid

1

Page 22: Tugas Mandiri Mutia (2)

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau pendararahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. (Djoko, 2009)

Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%. Prognosis demam tifoid umumnya baik asal penderita cepat berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat adalah 6%. Prognosis menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti:

Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris continual. Kesadaran menurun sekali. Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis, peritonitis,

bronkopnemonia dan lain-lain. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi protein)

LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Demam Tifoid

LO. 4.1 Memahami dan Menjelaskan Tatalakasana Demam TifoidSampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu : Istirahat

dan perawatan, diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif), dan pemberian medika mentosa. Istirahat yang berupa tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Sedangkan diet dan terapi penunjang merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Obat antimikroba yang sering diberikan adalah kloramfenikol, tiamfenikol, kotrimoksazol, dan sefalosporin generasi ketiga. Obat antimikroba ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan manusia. 1.      KloramfenikolFarmakodinamik

Efek AntimikrobaKloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Efek toksik

kloramfenikol pada sistem hemopoetik sel mamalia diduga berhubungan dengan mekanisme keja obat ini.

Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu.

Spektrum antibakteri kloramfenikol meliputi D. pneumoniae, S. pyogenes, S. viridans, Neisseria, Haemophilus, Bacillus spp, Listeria, Bartonella, Brucella, P. multocida, C. diphtheriae, Chlamydia, Mycoplasma, Rickettsia, Treponema dan kebanyakan kuman anaerob.

Resistensi

1

Page 23: Tugas Mandiri Mutia (2)

Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi obat oleh asetil transferase yang diperantarai oleh faktor-R dan adapula dengan merubah permeabilitas membran yang mengurangi masuknya obat ke dalam sel bakteri.

FarmakokinetikSetelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar puncak dalam

darah tercapai dalam 2 jam. Pada anak biasanya diberikan bentuk ester kloramfenikol palmitat atau stearat yang rasanya tidak pahit. Bentuk ester ini akan mengalami hidrolisis dalam usus dan membebaskan kloramfenikol.

Untuk pemberian secara parenteral digunakan kloramfenikol suksinat yang akan dihidrolisis dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol. Masa paruh eliminasi pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, dan pada bayi yang umurnya kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Obat ini didistribusikan secar baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata.

Dalam hati, kloramfenikol mengalami konjugasi dengan asam glukuronat oleh enzim glukuronil transferase. Pada pasien gangguan faal hati, waktu paruh lebih panjang. Kloramfenikol yang diekskresi melalui urin hanya berkisar 5-10% dalam bentuk aktif. Sisanya terdapat dalam bentuk glukuronat atau hidrolisat lain yang tidak aktif. Kloramfenikol dalam bentuk aktif diekskresi terutama melalui fitrat glomerulus dan metabolitnya dengan sekresi tubulus.

Pada gagal ginjal, masa paruh kloramfenikol bentuk aktif tidak banyak berubah sehingga tidak perlu penguraian dosis. Dosis perlu dikurangi jika terdapat gangguan fungsi hepar.

InteraksiInteraksi obat dengan fenobarbital dan rifampisin akan memperpendek waktu

paruh dari kloramfenikol sehingga kadar obat ini dalam darah menjadi subterapeutik. Adapun dalam dosis terapi, toksisitas obat menjadi lebih tinggi bila diberikan bersamaan dengan kloramfenikol karena kloramfenikol menghambat biotransformasi tolbutamid, fenitoin, dikumarol, dan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim mikrosom hepar.

IndikasiBanyak perbedaan pendapat mengenai indikasi penggunaan klomfenikol, tetapi

sebaiknya obat ini hanya digunakan untuk mengobati demam tifoid dan meningitis oleh H. influenzae. Infeksi lain sebaiknya tidak diobati dengan kloramfenikol bila masih ada antimikroba yang lebih aman dan efektif. Kloramfenikol dikontraindikasikan untuk neonatus, pasien dengan gangguan faal hati dan yang hipersensitif terhadapnya.Demam tifoid

Kloramfenikol tidak lagi menjadi pilihan utama untuk mengobati penyakit tersebut karena telah tersedia obat-obat yang lebih aman seperi siprofloksasin dan seftriakson. Walaupun demikian, pemakaiannya sebagai lini pertama masih dapat dibenarkan bila resistensi belum merupakan masalah.

Untuk pengobatan demam tifoid dapat pula diberikan tiamfenikol dengan dosis 50 mg/kgBB sehari pada minggu pertama, lalu diteruskan 1-2 minggu lagi dengan dosis separuhnya. Suatu uji klinik di Indonesia menunjukkan bahwa terapi kloramfenikol (4x500 mg/hari) dan siprofloksasin (2x500 mg/hari) peroral untuk demam tifoid selama 7 hari tidak berbeda bermakna dalam hal penyembuhan klinik maupun turunnya demam. Sekalipun demikian siproflokasin lebih efektif untuk membersihkan sumsum tulang dari Salmonella.

1

Page 24: Tugas Mandiri Mutia (2)

Hingga sekarang belum disepakati obat apa yang paling efektif untuk mengobati status karier (carrier state) demam tifoid, namun beberapa stidi menunjukkan bahwa norfloksasin dan spiroploksasin mungkin bermanfaat untuk itu.

Gastroenteritris akibat Salmonella spp (yang bukan S. typhi) tidak perlu diberi antibiotik karena tidak mempercepat sembuhnya infeksi dan dapat memperpanjang carrier state. 

Efek samping Reaksi hematologik.

Terdapat dalam 2 bentuk. Yang pertama ialah reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang. Bentuk yang kedua adalah anemia aplastik dengan pansitopenia yang ireversibel dan memiliki prognosis sangat buruk. Ada pendapat yang menyatakan bahwa kloramfenikol yang diberikan secara parenteral jarang menimbulkan anemia aplastik. Pengobatan terlalu lama atau berulang kali perlu dihindarkan. Hitung sel darah secara periodik, hitung leukosit, dan hitung jenis tiap 2 hari dapat memberi petunjuk untuk mengurangi dosis atau menghentikan terapi.

Reaksi saluran cerna. Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare, dan enterokolitis.

Sindrom gray. Pada neonatus, terutama bayi prematur yang mendapat dosis tinggi (200 mg/kgBB)

dapat timbul sindrom Gray.(Setiabudy, Rianto. 2009)  2.       Fluorokuinolon

Daya antibakteri fluirokuinolon jauh lebih kuat dibandingkan kuinolon lama. Selain itu diserap dengan baik pada pemberian oral, dan beberapa derivatnya parenteral sehingga dapat digunakan untuk infeksi berat khususnya yang disebabkan oleh kuman gram-negatif. Daya antibakterinya terhadap kuman gram-positif relatif lemah. Yang termasuk golongan ini ialah siprofloksasin, pefloksasin, ofloksasin, norfloksasin, enoksasin, levofloksasin, fleroksasin, dll. Terdapat golongan kuinolon baru yaitu moksifloksasin, gatifloksasin, dan gemifloksasin.

Mekanisme kerjaFluorokuinolon bekerja dengan mekanisme yang sama dengan kelompok kuinolon

terdahulu. Fluorokuinolon baru menghambat topoisomerase II (=DNA Girase) dan IV pada kuman.enzim topoisomerase II berfungsi menimbulkan relaksasi pada DNA yang mengalami positive supercoiling (pilinan positif yang berlebihan) pada waktu transkripsi dalam proses replikasi DNA. Topoisomerase IV berfungsi dalam pemisahan DNA baru yang terbentuk setelah proses replikasi DNA kuman selesai.

FarmakokinetikFlurokuinolon diserap lebih baik melalui saluran cerna dibandingkan asam nalidiksat.

Pefloksasin adalah flurokuinolon yang absorpsinya paling baik dan masa paruh eliminasinya paling panjang. Bioavailablitasnya pada pemberian oral sama dengan pemberian parenteral. Fluorokuinolon hanya sedikit terikat dengan protein. Golongan obat ini didistribusi dengan baik pada berbagai organ. Golongan obat ini mampu mencapai kadar tinggi dalam jaringan prostat. Sifat lain flurokuinolon yang menguntungkan adalah masa paruh eliminasinya panjang sehingga obat cukup diberikan 2 kali sehari. Kebanyakan fluorokuinolon dimetabolisme di hati dan di ekskresikan melalui ginjal.

1

Page 25: Tugas Mandiri Mutia (2)

ResistensiMekanisme resistensi melalui plasmid tidak dijumpai pada golongan kuinolon, namun

resistensi terhadap kuinolon dapat terjadi melalui 3 mekanisme yaitu:1.                  Mutasi gen gyr A yang menyebabkan subunit A dari DNA girase kuman berubah sehingga tidak dapat diduduki molekul obat lagi2.                  Perubahan pada permukaan sel kuman yang mempersulit penetrasi obat ke dalam sel 3. Peningkatan mekanisme pemompaan obat keluar sel (efflux) 

IndikasiFluorokuinolon digunakan untuk indikasi yang jauh lebih luas antara lain:•      Infeksi saluran kemih (ISK): Fluorokuinolon efektif untuk ISK dengan atau tanpa penyulit. Siprofloksasin, norfloksasin, dan ofloksasin dapat mencapai kadar yang cukup tinggi di jaringan prostat dan dapat digunakan untuk terapi prostatitis bakterial akut maupun kronik.•      Infeksi saluran cerna: Fluorokuinolon juga efektif untuk diare yang disebabkan oleh Shigella, Salmonella,E.coli dan Campylobacter. Siprofloksasin dan ofloksasin mempunyai efektivitas yang baik terhadap demam tifoid.•      Infeksi saluran napas (ISN): Secara umum efektivitas flurokuinolon generasi pertama untuk infeksi bakterial saluran napas bawah adalah cukup baik. Namun perlu diperhatikan bahwa kuman S.pneumoniae dan S.aureus yang sering menjadi penyebab ISN kurang peka terhadap golongan obat ini.•      Penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual: Siprofloksasin oral dan levofloksasin oral merupakan obat pilihan utama disamping seftriakson dan sefiksim untuk pengobatan uretris dan servitis oleh gonokokus.•      Infeksi tulang dan sendi: Siprofloksasin oral yang diberikan selama 4-6 minggu efektif untuk mengatasi infeksi pada tulang dan sendi yang disebabkan oleh kuman yang peka.•      Infeksi kulit dan jaringan lunak: Fluorokuinolon oraal mempunyai efektivitas sebanding dengan sefalosporin parenteral generasi ketiga untuk pengobatan infeksi berat pada kulit atau jaringan lunak.

Efek sampingBeberapa efek samping yang dihubungkan dengan penggunaan obat ini ialah:•      Saluran cerna: Paling sering timbul pada penggunan golongan kuinolon dan bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, dan rasa tidak enak di perut.•      Susunan saraf pusat: Yang paling sering dijumpai ialah sakit kepala dan pusing.Bentuk yang jarang timbul ialah halusinasi, kejang dan delirium.•      Hepatotoksisitas: Efek samping ini jarang terjadi.•      Kardiotoksisitas: Beberpa fluorokuinolon  antara lain sparfloksasin dan grepafloksasin (kedua obat ini sekarang tidak dipasarkan lagi) dapat memperpanjang interval QTc (corrected QT interval).•     Disglikemia: Gatifloksasin dapat menimbulkan hiper-atau hipoglikemia, khususnya pada pasien berusia lanjut. Obat ini tidak boleh diberikan kepada pasien diabetes melitus.•      Fototoksisitas: Klinafloksasin (tidak dipasarkan lagi) dan sparfloksasin adalah fluorokuinolon yang relatif sering menimbulkan fototoksisitas.

1

Page 26: Tugas Mandiri Mutia (2)

•      Lain-lain: Golongan kuinolon hingga sekarang tidak diindikasikan untuk anak (sampai 18 tahun) dan wanita hamil karena data dari penelitian hewan menunjukkan bahwa golongan ini dapat menimbulkan kerusakan sendi.

Interaksi obatGolongan kuinolon dan fluorokuinolon berinteraksi dengan beberapa obat, misalnya: Antasid dan preparat besi (Fe) Teofilin Obat-obat yang dapat memperpanjang interval Qtc

(Setiabudy, Rianto. 2009)

 3.                   Kotrimoksazol

Trimetoprim dan sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatik obligat pada dua tahap berurutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat memberikan efek sinergi. Penemuan sediaan kombinasi ini merupakan kemajuan penting dalam usaha meningkatkan efektivitas klinik antimikroba. Kombinasi ini lebih dikenal dengan nama kotrimoksazol.

FarmakokinetikRasio kadar sulfametoksazol & trimetoprim yang ingin dicapai dalam darah ialah sekitar

20:1. Karena sifat nya yang lipofilik, trimetoprim mempunyai volume distribusi yang lebih besar daripada sulfametoksazol. Dengan memberikan sulfametoksazol 800 mg  dan trimetoprim 160 mg per oral (rasio sulfametoksazol : trimetoprim =  5:1) dapat diperoleh rasio kadar kedua obat tersebut dalam darah kurang lebih 20:1

 Trimetoprim cepat distribusi ke dalam jaringan dan kira-kira 40% terikat pada protein plasma dengan adanya sulfametoksazol. Volume distribusi trimetoprim hampir 9 kali lebih besar dari pada sulfametoksazol. Obat masuk ke CSS dan salivadengan mudah. Masing-masing kompenen ditemukan  dalam kadar tinggi di dalam empedu. Kira-kira 65% sulfametoksazol terikat pada protein plasma. Sampai 60% trimetoprim dan 25-50% sulfametoksazol di eksresikan melalui urine dalam 24 jam setelah pemberian. Dua-pertiga dari  sulfonamid tidak mengalami konjugasi. Metabolit  trimetoprim ditemukan juga diurin,pada pasien uremia, kecepatan eksresi dan kadar urin kedua obat jenis menurun

Kotrimoksazol tersedia dalam bentuk tablet oral, mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg  trimetoprim atau 800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim. Untuk anak tersedia juga suspensi oral yang mengandung 200mg sulfametoksazol dan 40 mg trimetoprim/5 mL, serta tablet pediatrik yang mengandung 100 mg sulfametoksazol  dan 20 mg trimetoprim. Untuk pemberian IV tersedia sediaan infus yang mengandung 400mg  sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim per 5 mL. Dosis dewasa pada umumnya ialah 800 mg sulfametoksazol dan 160mg trimetroprim setiap 12 jam. Pada infeksi yang lebih berat diberikan dosis yang lebih besar.dengan pasien gagal ginjal, diberikan dosis biasa bila klirens kreatinin lebih dari30 ml/menit: bila klirens kreatinin 15-30 mL/menit, dosis 2 tablet diberikan setiap 24 jam obat ini tidak boleh diberikan.

Dosis yang dianjurkan pada anak adalah trimetopim 8 mg/kgBB/hari dan sulfametoksazol 40 mg.kgBB/hari yang diberikan dalam 2 dosis. Pemberian pada anak dibawah usia 2 tahun dan pada ibu hamil atau menyusui tidak dianjurkan.

Trimetoprim juga terdapat sebagai sediaan tunggal dalam bentuk tablet 100 dan 200mg.

1

Page 27: Tugas Mandiri Mutia (2)

ResistensiFrekuensi terjadinya resistensi terhadap kotrimoksazol lebih rendah dari pada

masingmasing obat, karena mikroba yang resistensi terhadap salah satu komponen masih peka terhadap komponen lain nya. Resistensi mikroba terhadap trimetoprim dapat terjadi karena mutasi. Resistensi yang terjadi pada bakteri Gram-negatif disebabkan oleh adanya  plasmid yang membawa sifat  menghambat  kerja obat terhadap enzim dihidrofolat reduktase. 

Efek samping•      Pada dosis yang dianjurkan tidak terbukti bahwa kotrimoksazol menimbulkan defisiensi folat pada orang normal, namun batas antara toksisitas untuk bakteri dan manusia relatif sempit bila sel tubuh mengalami defisiensi folat, dalam keadaan demikian obat ini mungkin menimbulkan megaloblastosis, leukopenia atau trombositopenia.•      Kira-kira 75% efek samping terjadi pada kulit, berupa reaksi yang khas ditimbulkan oleh sulfonamid.namun demikian kombinasi sulfametoksazol-trimetoprim dilaporkan dapat menimbulkan reaksi kulit sampai tiga kali lebih sering dibandingkan sulfametoksazol tunggal (5,9% vs 1,7%). Dermatitis eksfoliatif, sindrom stevens-johnson dan toxic epidermal necrolysis jarang terjadi.•      Gejala pada saluran pencernaan terutama berupa mual dan muntah, diare jarang terjadi glositis dan stomatitis relatif sering.•      Ikterus terutama terjadi pada pasien yang sebelumnya telah mengalami hepatitis kolestatik alergik.•      Reaksi pada susunan saraf pusat berupa sakit kepala, depresi, dan halussinasi, disebabkan oleh sulfonanid. Reaksi hematologi lainnya ialah berbagai macam anemia (aplastik, hemolitik dan makrositik) gangguan koagulasi, granulositopenia, agranulositosis, purpura, purpura henoch-schonlein dan sulfhemoglobinemia.

Indikasi•      Infeksi saluran kemihSulfonamid masih berguna untuk infeksi ringan pada saluran kemih bagian bawah. Tapi timbulnya resistensi makin meningkat terutama bakteri Gram-negatif sehingga sulfonamid tidak dapat digunakn pada pengobatan infeksi yang lebih berat pada saluran kemih tsb,penting untuk membedakan antara infeksi pada ginjal dan infeksi pada saluran kemih bagian bawah,pada keadaan pielonefritis akut yang disertai dengan demam hebat dan bila ada kemungkinan timbulnya bakteremia dan syok, sebaiknya jangan diberikanpengobtan dengan Sulfonamid tetapi dianjurkan diberikan sesuatu  antimikroba yang bakterisid secara parenteral yang dipilih berdasarkan uji sensitivitasmikroba dari hasil kultur urin, Sulfonamid digunakan untuk pengobatan sistitis akut maupun kronik,infeksi kronik bagiab kemih bagian atas dan bakteriuria yang asimtomatik. Sulfonamid efektif untuk sistitis akut  penyulit pada wanita,pengobatan infeksi ringan saluran kemih bagian bawah dengan kotrimoksazol ternyata sangat efektif  bahkan untuk infeksi oleh mikroba yang telah resistensi terhadap Sulfonamid sendiri.•      Infeksi saluran napasKotrimoksazol tidak dianjurkan untuk pengobatan faringitis akut oleh S. Pyogenes, karena tidak dapat membasmi mikroba.preparat kombinasi ini efektif untuk pengobatan  bronkitis kronik dengan eksaserbasi akut•      Infeksi saluran cernaSediaan kombinasi ini sangat berguna untuk pengobatan shigellosis karena beberapa strain mikroba  menyebabkan telah resisten terhadap ampisilin, obat ini juga ampuh dan efektif

1

Page 28: Tugas Mandiri Mutia (2)

untuk demam tifoid, karena prevalensi resistensi mikroba menyebabkan terhadap obat ini masih rendah.•      Infeksi oleh pneumocystis cariniPengobatan dengan dosis tinggi (trimetoprim 20 mg/kgBB perhari dengan sulfametoksazol100 mg/kgBB per hari,dalam 3-4 kali pemberian). Efektif untuk pasien infeksi berat pada pasien AIDS.•      Infeksi genitaliaKarena resistensis mikroba Kotrimoksazol Tidak dianjurkan lagi untuk pengobatan gonore.pemberian eritromisin 500mg 4 kali sehari selama 10hari  atau 160mg trimetoprim dan 800mg  sulfametoksazol peroral dua kali sehari selama 10 hari efektif untuk pengobatan chancroid•      Infeksi lainnyaInfeksi oleh jamur nokardia dapat diobati dengan kombinasi ini, sulfametoksazol mungkin efektif untuk pengobatan bruselosis bahkan bila ada lesi lokal seperti artritis,endokarditis,atau epididimoorkitis,(Setiabudy R, Mariana Y. 2009) 4.                   Sefalosporin Generasi KetigaSefalosporin golongan ketiga umumnya kurang aktif dibandingkan dengan generasi pertama

terhadap kokus Gram-positif, tetapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil penisilinase. Seftazidim dan sefoperazon aktif terhadap P. Aeruginosa. (Istiantoro YH & Gan VHS. 2009). Hingga saat ini sefalosproin generasi ketiga yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson. (Widodo, 2009)

FarmakokinetikBeberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya sefuroksim, seftriakson, sefepim,

sefotaksim dan seftizoksim mencapai kadar yang tinggi di cairan serebrospinal (CSS), sehingga dapat bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar darah uri, mencapai kadar tinggi di cairan sinovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik, kadar sefalosporin generasi ketiga di cairan mata relatif tinggi, tetapi tidak mencapai vitreus. Kadar sefalosporin dalam empedu umumnya tinggi, terutama sefoperazon.

Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh melalui ginjal, dengan proses sekresi tubuli, kecuali sefoperazon yang sebagian besar diekskresi melalui empedu. Karena itu dosis sefalosporin umumnya harus dikurangi pada pasien insufisiensi ginjal. Probenesid mengurangi ekskresi sefalosporin, kecuali moksalaktam dan beberapa lainnya. Sefalotin, sefapirin dan sefotaksim mengalami deasetilasi; metabolit yang aktivitas antimikrobanya lebih rendah juga diekskresi melalui ginjal.

Efek sampingReaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi, gejalanya mirip dengan

reaksi alergi yang ditimbulkan oleh penisilin. Reaksi mendadak yaitu anafilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang umumnya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin ringan atau sedang kemungkinannya kecil. Dengan demikian pada pasien dengan alergi penisilin berat, tidak dianjurkan penggunaan sefalosporin atau kalau sangat diperlukan harus diawasi dengan sungguh-sungguh. Reaksi Coombs sering timbul pada penggunaan sefalosporin dosis tinggi. Depresi sumsum tulang terutama granulositopenia dapat timbul meskipun jarang. 

Sefalosporin bersifat nefrotoksik, meskipun jauh lebih ringan dibandingkan aminoglikosida dan polimiksin. Nekrosis ginjal dapat terjadi pada pemberian sefaloridin 4

1

Page 29: Tugas Mandiri Mutia (2)

g/hari (obat ini tidak beredar di Indonesia). Sefalosporin lain pada dosis terapi jauh kurang toksik dibandingkan dengan sefaloridin. Kombinasi sefalosporin dengan gentamisin atau tobramisin mempermudah terjadinya nefrotoksisitas.

Diare dapat timbul terutama pada pemberian sefoperazon, mungkin karena ekskresinya terutama melalui empedu, sehingga mengganggu flora normal usus. Selain itu dapat terjadi perdarahan hebat karena hipoprotrombinemia, dan/atau disfungsi trombosit, khususnya pada pemberian moksalaktam.

IndikasiSefalosporin generasi ketiga tunggal atau dalam kombinasi dengan aminoglikosida

merupakan obat pilihan utama untuk infeksi berat oleh Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Provedencia, Serratia dan Haemophillus spesies. Seftriakson dewasa ini merupakan obat pilihan untuk semua bentuk gonore dan infeksi berat penyakit Lyme.

5. Ampisilin Ampisilin dan amoksisilin memiliki kemampuan untuk menurunkan demam lebih

rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Obat ini mempunyai ketersediaan biologik : 60%. Waktu paruh plasmanya 1.5 jam (bayi baru lahir: 3,5 jam). Dosis untuk pemberian per oral dalam lambung yang kosong dibagi dalam pemberian setiap 6-8 jam sekitar 1/2 jam sebelum makan. Untuk orang dewasa 2-8 g/hari, sedangkan pada anak 100-200 mg/kg/hari. Pada pemberiaan secara intravena paling baik diberikan dengan infus singkat yang dibagi dalam pemberiaan setiap 6-8 jam. Untuk dewasa 2-8 g/hari, sedangkan pada anak 100-200 mg/kg/hari. Bentuk yang tersedia di masyarakat berupa kapsul 250 mg, 500 mg; Kaptab 250 mg, 500 mg; Serbuk Inj.250 mg/vial, 500 mg/vial, 1g/vial, 2 g/vial; Sirup 125 mg/5 ml, 250 mg/5 ml; Tablet 250 mg, 500 mg. Beberapa efek samping yang mungkin muncul adalah sakit, thrombophlebitis, mencret, mual, muntah, lambung terasa terbakar, sakit epigastrium, iritasi neuromuskular, halusinasi, neutropenia toksik, anemia hemolitik, eksantema makula, dan beberapa manifestasi alergi. Interaksinya dengan allopurinol dapat memudahkan munculnya reaksi alergi pada kulit. Eliminasi ampisilin diperlambat pada pemberian yang bersamaan dengan urikosuria (misal: probenezid), diuretik, dan obat dengan asam lemah.

1

Page 30: Tugas Mandiri Mutia (2)

LO. 4.2 Memahami dan Menjelaskan Pencegahan Demam TifoidPencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit, yaitu

pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain salmonella typhi yang dilemahkan. Di indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid yaitu:

a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontradiksi pada wanita hamil, ibu menyususi, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik.

b. Vaksin parenteral sel utuh: Type Bio Farma dikenal 2 jenis yakni: K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.

c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun.

Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.

2. pencegahan sekunderPencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara

dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu : Diagnosis klinis, diagnosis mikrobiologik, dan Diagnosis serologik (Uji Widal dan Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay)

3. Pencegahan tersierPencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan

akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.

1

Page 31: Tugas Mandiri Mutia (2)

Daftar Pustaka

Dorland, W.A.N. 2010. Kamus Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Ganong, W.F. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 21, Jakarta: EGC.

http://d.yimg.com/kq/groups/15854266/766761054/name/Monograf diakses tanggal 02 April 2013 Jam 20.00WIB

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/107/jtptunimus-gdl-wahyunengs-5324-2-bab2.pdf diakses tanggal 03 April 2013 Jam 17.00 WIB

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28625/4/Chapter%20II.pdf diakses tanggal 03 April 2013 Jam 17.00 WIB

Jawetz. dkk. 2008. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg edisi 23. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Julius, E.S. 1990. Mikrobiologi Dasar. Jakarta : Binarupa Aksara Karsinah, H.M, Lucky. Suharto. H.W, Mardiastuti. 1994. Batang Negatif Gram dalam

Staf Pengajar FKUI. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara

Nelwan, R.H.H. 2009. Demam: Tipe dan Pendekatan dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Samuelson, John. 2008. Patologi Umum Penyakit Infeksi dalam Brooks, G.F., Butel, Janet S., Morse, S.A. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Setiabudi, Rianto. 2012. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 6. Jakarta: EGC Sudoyo, A.W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed.5. Jakarta: Interna

Publishing Sumarmo, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis edisi 2. Jakarta: EGC Todar, K. 2008. Salmonella and Salmonellosis.

http://www.textbookofbacteriology.net/salmonella.html diakses 03 April 2013 Jam 19.00 WIB

Widodo, Djoko. 2009. Demam Tifoid dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Widoyono. 2005. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasan. Jakarta: Penerbit Erlangga

1