repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46051/1/fahrul...repository.uinjkt.ac.idauthor:...
TRANSCRIPT
-
PENCALONAN MANTAN NARAPIDANA KORUPSI SEBAGAI
ANGGOTA LEGISLATIF PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN
FIQIH SIYASAH (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO 46
P/HUM/2018)
Skripsi
Dibuat untuk Memenuhi salah satu syarat (S.H.)
Oleh:
Fahrul Rinaldi
NIM 11140430000059
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/ 2019 M
-
ABSTRAK
Fahrul Rinaldi. NIM 11140430000059. PENCALONAN MANTAN
NARAPIDANA KORUPSI SEBAGAI ANGGOTA LEGISLATIF DALAM
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Putusan Mahkamah Agung No. 46
P/HUM/2018) . Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan
Fiqih, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1440H/2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan tentang Pencalonan Mantan
Narapidana Korupsi sebagai Anggota Legislatif dalam Hukum Islam dan Hukum
Positif. Dengan menganalisis Putusan Mahkamah Agung No 46 P/HUM/2018
yang membolehkan mantan narapidana korupsi menjadi anggota legislatif.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan hukum normatif.
Dimana penelitian ini bersifat deskritif-analitis-komparatif, artinya penulis akan
mendeskripsikan status hukum mantan narapidana korupsi menjadi Calon
legislatif dalam Hukum Islam dan Hukum Positif, lalu menganalisis putusan dan
pertimbangan hakim tentang dibolehkanya mantan narapidana korupsi menjadi
calon legislatif dalam putusan Mahkamah Agung No 46 P/HUM/2018. Kemudian
membandingkan hasil analisis tersebut ke dalam Hukum Islam dan Hukum
Positif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa status hukum mantan narapidana
korupsi dalam Hukum Islam dan Hukum Positif dapat menjadi calon anggota
legislatif. Serta putusan Mahkamah Agung No 46 P/HUM/2018 sudah sesuai
dengan Hukum Islam dan Hukum Positif.
Kata kunci: Hak Asasi Manusia, Fiqih Siyasah, Mantan Narapidana Korupsi
menjadi anggota legislatif
Pembimbing: 1. Dr. Abdurrahman Dahlan, MA.
2. Ria Safitri, M,Hum.
Daftar Pustaka: 1964 s.d 2018
-
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi
mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab
yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf
Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b be ب
t te خ
ts te dan es ث
j Je ج
h ha dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r Er ر
-
z zet س
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
d de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
ع
koma terbalik di atas hadap
kanan
gh ge dan ha غ
f ef ف
q Qo ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
ء
apostrop
y ya ي
-
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
a fathah ـــــَـــــ
i kasrah ـــــِـــــ
u dammah ـــــُـــــ
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
ai a dan i ـــــَـــــ يَ
au a dan u ـــــَـــــ و
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
â a dengan topi diatas اـَــــ
î i dengan topi atas ىـِــــ
-
û u dengan topi diatas وــُـــ
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan
lam )ال), dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya: اإلجثهاد =al-ijtihâd
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الزخصح
e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: الشفعح = al-syuî
‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi
huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
syarî ‘ah شزٌعح 1
-al- syarî ‘ah al الشزٌعح اإلسالمٍح 2
islâmiyyah
Muqâranat al-madzâhib مقارنح المذاهة 3
g. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam
transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa
jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata
sandangnya. Misalnya, الثخاري= al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.
-
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara
ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama
tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis
Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
a. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan
berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
al-darûrah tubîhu almahzûrât الضرورة تبيح المحظوراث 1
اإلقتصاد اإلسالمي 2 al-iqtisâd al-islâmî
أصول الفقه 3 usûl al-fiqh
al-‘asl fi al-asyyâ’ alibâhah األصل فى األشياء اإلباحت 4
المصلحت المرسلت 5 al-maslahah al-mursalah
-
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliah ke zaman ilmiah seperti
sekarang ini.
Selanjutnya, penulis akan menyampaikan rasa terimakasih tak terhingga
kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik
berupa moril maupun materil. Karena tanpa bantuan dan dukungannya, penulis
tidak akan menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis secara
khusus akan menyampaikan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi, SH, MH, M.A., Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Hidayatullah. S.H,M.H, Sekretaris Program Studi Perbandingan
Mazhab.
3. Ibu dosen penasehat akademik penulis.
4. Bapak Dr. Abdurrahman Dahlan, MA dan Ibu Ria Safitri, M,Hum, dosen
pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu serta memberikan arahan,
saran dan ilmunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan
memberikan ilmu yang tak ternilai harganya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Tamrin dan Ibunda Raswi atas
pengorbanan dalam mendidik, mengasuh dan berjuang sampai ke titik ini dan
tak pernah lupa untuk mendoakan, memberikan arahan serta dukungan
kepada penulis. Juga kepada kaka Minhatun Hidayati dan adik Arsyilia Rifda,
-
Khoiriah yang telah menemani, memberikan doa serta dukungan sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Arif Fadillah, Tubagus Akbar, Tarsani, Subhan, Acev, Sarudin, Imam Arifin,
Imam Sahabudin, Syifa, Ahmad Zaki, Furqon Efendi, Muaz Anshori, Ishaq,
Nurkholis majid yang telah menerima penulis dan menjadi teman suka
maupun duka. Semoga persahabatan ini akan selalu terjalin sampai Jannah-
Nya.
8. Juga kepada Riyan Ananta, Fabi Kriyani, Mohamad asad dan Jamaludin
yang selalu membantu penulis dengan tulus dan ikhlas, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah membalas kebaikan kalian.
9. Keluarga Besar yang telah menemani dan mewarnai hari-hari penulis selama
perkuliahan. Juga kepada teman seperjuangan PMH 2014 yang telah memberi
pengalaman yang berharga selama perkuliahan.
10. Keluarga Besar Mahasiswa Cirebon Jakarta yang telah menemani
pengabdian selama dibangku perkuliahan. Dan keluarga besar alumni Buntet
Pesantren Cirebon yang selalu memberikan motivasi besar untuk selalu
berkhidmat kepada Guru.
Akhir kata semoga Allah SWT membalas semua kebaikan atas bantuan
yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kebaikan kalian menjadi berkah dan
amal jariyah untuk kita semua. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis serta pembaca pada umumnya. Aamiin
Jakarta, 13 April 2019
Penulis
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tindak pidana korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih
dibandingkan dengan tindak pidana lain diberbagai belahan dunia. Fenomena ini
dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana
ini. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan.
Korupsi merupakan masalah serius,tindak pidana ini dapat membahayakan
stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial
ekonomi dan juga politik, serta dapat merusak nilai– nilai demokrasi dan
moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya.
Korupsi merupakan ancaman terhadap cita- cita menuju masyarakat adil dan
makmur.1
Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena
ini memang sangat menarik untuk dikaji, apalagi dalam situasi seperti sekarang
ini,dimana ada indikasi yang mencerminkan ketidak percayaan rakyat terhadap
pemerintah. Tuntutan akan pemerintahan yang bersih semakin keras, menyusul
krisis ekonomi akhir-akhir ini. Hal ini sungguh masuk akal, sebab kekacauan
ekonomi saat ini merupakan ekses dari buruknya kinerja pemerintahan di
Indonesia dan praktik korupsi inilah yang menjadi akar masalah.2
Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.
Baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara.
Kualitas tindak pidana korupsi yang dilakukan juga semakin sistematis dengan
lingkup yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut
menjadi salah satu faktor utama penghambat keberhasilan untuk mewujudkan
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang dalam memberantas korupsi. Korupsi juga semakin
1 Leden Marpaung.. Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan. (Jakarta:
Djambatan 2001), h.27
2 Adrian Sutendi.. Hukum Keuangan Negara.( Jakarta: Sinar Grafika,2010) h.189
-
2
memperburuk citra pemerintah di mata masyarakat yang tercermin dalam bentuk
ketidak percayaan dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, bila tidak ada
perbaikan yang berarti, maka kondisi tersebut sangat membahayakan
kelangsungan hidup bangsa.3
Keseriusan pemerintah dalam menyikapi persoalan korupsi sejalan dengan
peraturan KPU No 20 tahun 2018 yang mengatur kriteria calon legislatif, penulis
melihat peraturan ini di buat untuk menjalankan prinsip integritas dalam institusi
legislatif. Lembaga legislatif merupakan lembaga yang memiliki peran vital di
indonesia. Badan ini merupakan representase dari aspirasi masyarakat sehingga
lembaga ini harus memiliki integritas dan mendapatkan kepercayaan penuh dari
masyarakat. KPU menyadari bagaimana pentingnya lembaga ini, sehingga KPU
(Komisi Pemilihan Umum) memiliki kewajiban untuk melakukan langkah
preventif dalam menentukan kriteria para calon anggotanya.
Komisi Pemilihan Umum mengambil peran penting dalam menjaga prinsip
integritas dalam sebuah lembaga legislatif.Tindak pidana korupsi merupakan
tindak pidana khusus dan berbahaya bagi keberlangsungan sebuah negara.
Menurut Blaack’s Law dictionary “Suatu perbuatan yang dilakukan dengan
maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban
resmi dan hak-hak dari pihak lain, secara salah menggunakan jabatanya atau
karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau
untuk orang lain bersamaan dengan kewajibanya dan hak-hak dari pihak lain”.4
Menurut penasehat KPK Abdullah Hehamamua kejahatan korupsi
dikategorikan sebagai (extraordinary crime) ada sebab mengapa korupsi di
indonesia menjadi kejahatan luar biasa, salah satunya dari sektor ekonomi,hutang
di indonesia ke negara lain.5
Sebagaimana telah dibicarakan diatas, bahwa korupsi merupakan satu
penyakit masyarakat yang paling krusial dan harus diberantas, sebab dapat
menghancurkan seluruh jaringan keseimbangan manusia dalam bermasyarakat.
3Andi Hamzah.. Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.1991), h.2. 4 Campbell henry, black’s law dictionary di terjemahkan oleh wikipedia( tahun 1860-1927)
5 Media online republika, korupsi di sebut kejahatan luar biasa, (2018)
-
3
Bisa dikatakan dengan meminjam istilah umumnya, bahwa yang kaya bertambah
kaya dan yang miskin semakin miskin. Prilaku ini sedikit demi sedikit
menggerogoti moralitas manusia yang dibimbing agama. Islam sebagai agama
mayoritas di Indonesia sangat mengecam perbuatan korupsi, sebagaimana bisa
didengar komentar para ulama Indonesia bahwa perbuatan ini telah melanggar
nilai-nilai agama dan haram hukumnya. Mungkin mereka melihat dari sudut
pandang karakteristik dari korupsi tersebut, baik secara pengertian, sifat dan
lainnya. Dan meminjam istilah Zuhaili, bahwa yang haram itu berlaku umum,
karena mengingat tujuan dari penetapan sesuatu yang haram itu untuk
menghindari keudharatan atau menjauhi mafsadat yang terdapat di dalamnya.6
Dalam penetapan hukum yang dilakukan organisasi masyarakat (ormas)
Islam atau ulama Indonesia (MUI khususnya) bukan merupakan suatu persoalan
yang mudah. Hal ini tidak dipungkiri dan bisa diakui. Namun demikian, ketiadaan
hukum dengan sanksi yang tegas dari apresiasi yang dilakukan para ulama,
mengakibatkan adanya anggapan bahwa perbuatan ini merupakan pelanggaran
yang tidak berat. Dan bahkan diantara para koruptor itu, malahan terdapat orang-
orang yang memahami dan mengerti agama (sebagaimana kasus korupsi yang
terjadi di lingkungan Departemen Agama).
Dalam hukum Islam sebagaimana pemaparan diatas, secara global dan jelas
dapat disimpulkan bahwa perbuatan korupsi dengan segala dampak dan eksesnya
dikategorikan sebagai haram. Dari penetapan ini, bisa dilihat kembali berdasarkan
kajian ushul fiqh mengenai pengharaman tersebut atau bahkan dimungkinkan
adanya sanksi yang berat bagi pelakunya seiring dengan perkembangan kasus
korupsi yang semakin banyak, hingga merambah ke berbagai aspek kehidupan
masyarakat.
Menurut penulis langkah KPU membuat aturan untuk menyeleksi calon
anggota legislatif sudahlah sangat tepat melihat dari dampak yang di timbulkan
dari perilaku koruptif. Sebagian masyarakat begitu trauma terhadap politisi yang
korupsi sehingga tidak menutup kemungkinan pejabat atau elit politik yang
6 Wahbah Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam (Studi Banding Dengan Hukum
Positif), Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997, hlm. 11
-
4
pernah terlibat kasus korupsi akan mengulangi tindakan serupa pada masa yang
akan datang, penulis sangat memahami anggapan masyarakat terhadap perilaku
koruptif ini sehingga penulis akan mengembangkan persoalan ini dalam karya
ilmiah.
Namun terlepas dari Putusan MA Nomor 46 P/HUM/2018 yang
mengizinkan mantan narapidana korupsi mencalonkan diri sebagai legislatif,
Putusan MA ini berdampak terhadap tingkat kepercayaan masyarkat ke lembaga
legislatif, karena di nilai putusan ini mengistimewakan bagi calon legislatif yang
berbanding terbalik dengan lembaga negara lain dalam peraturannya yang jelas
melarang ketika ada pejabatnya yang melakukan tindakan koruptif akan
diberhentikan secara tidak hormat, ini tentu jelas menjadi sebuah polemik
berkepenjangan dan bertentangan pula dengan Hukum islam terhadap pelaku
koruptif, dan koruptor pula lahir dari kekuasaan.Sehingga penulis akan membahas
permasalahan ini dalam sebuah karya ilmiah berjudul:
“PENCALONAN MANTAN NARAPIDANA KORUPSI SEBAGAI
ANGGOTA LEGISLATIF PERSPEKTIF HUKUM ISLAM PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NO 46 P/HUM/2018”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan masalah
1. Identifikasi masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas beberapa
masalah yang dapat di identifikasikan :
a. Apa yang dimaksud mantan Narapidana?
b. Apa yang di maksud korupsi menurut Hukum Islam?
c. Apa yang di maksud korupsi menurut Hukum Positif?
d. Apa yang dimaksud lembaga legislatif?
e. Apa yang dimaksud anggota legislatife?
f. Apa sanksi korupsi menurut Hukum Islam dan Positif?
g. Apa dasar pertimbangan Hakim mantan narapidana boleh mencalonkan
menjadi anggota legisltaif dalam Putusan MA Nomor 46/HUM/2018?
h. Apakah Hukum positif membatasi Hak politik mantan narapidana ?
-
5
i. Apakah islam membatasi Hak Politik mantan narapidana?
j. Bagaiamana Diktum Putusan MA?
2. Pembatasan Masalah
Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih Putusan Mahkamh
Agung sebagai objek penelitian. Mengingat banyaknya perkara yang diputus
oleh Pengadilan Negeri tersebut, maka penulis melakukan pembatasan yakni
hanya pada putusan mengenai Putusan Mahkamah Agung No 46
P/HUM/2018 tentang dibolehkanya mantan narapidana korupsi menjadi calon
legislatif.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka penulis menarik
rumusan masalah sebagai berikut :
a. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim tentang pencalonan Mantan
Narapidana Korupsi dalam Putusan Mahkamah Agung No 46/HUM/2018?
b. Bagaimana Hak Asasi manusia memandang Putusan Mahkamah Agung
No 46 P/Hum/2018?
c. Bagaimana Fiqih siyasah memandang Putusan Mahkamah Agung No 46
P/HUM/2018?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan, yaitu:
a. Untuk mengetahui status hukum mantan narapidana korupsi dalam Hak
Asasi manusia dan Fiqih Siyasah.
b. Untuk menjelaskan Pertimbangan Hakim terhadap Mantan Narapidana
dalam Putusan Mahkamah Agung No 46 P/HUM/2018
c. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dala Hukum Positif dan
Hukum Islamtentang mantan narapidana
2. Manfaat Penelitian
a. Secara akademik, penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat menambah
pengetahuan dan keilmuan dalam memahami Putusan Mahkam Agung
-
6
Nomor 46/HUM/2018 di dalam kajian Hukum Positif dan Hukum Islam.
Kemudian menambah literatur perpustakaan khususnya dalam bidang
perbandingan madzhab dan hukum dan pada pembaca umumnya.
b. Manfaat Praktis. Diharapkan hasil penelitian ini bisa memberikan
penjelasan kepada masyarakat tentang status hukum mantan narapidana
Putusan MA Nomor 46 P/HUM/2018 yang mengizinkan mantan narapidana
korupsi untuk ikut seta dalam pemilu legislatife dan di kaji dalam Hukum
Islam dan Hukum Positif.
D. Review studi terdahulu
No. Nama
Penulis/Judul/Tahun Substansi Pembeda
1. Dede Suryanti/Analisis
siyasah tasyri’iyah
terhadap mantan
terpidana menjadi
anggota legislative dan
kepala daerah/
Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga/ Syariah
dan Hukum/2018
Skripsi ini
menjelaskan bahwa
menurut siyasah
tasyri’yyah mantan
narapidana di anggap
cacat moral dan harus
diputus segala haknya
Skripsi yang
penulis bahas
menitik beratkan
pada akibat ketika
mantan narapidana
diserahkan
seluruhnya akan
kembali berbuat
korupsi
2. Nuryani Rahma/ Studi
analisis Hukum Positif
tentang Judicial Review
Peraturan KPU No 20
Tahun 2018 tentang
larangan mantan
narapidana Korupsi
sebaagai calon legslatif/
Universitas Islam Negeri
Skripsi ini membahas
terhadap Peraturan
KPU yang melarang
Mantan narapidana
korupsi yang
menitikberatkan
terhadap pandangan
Hukum Positif
Skripsi yang
penulis bahas tidak
menitiberatkan
pada satu
pandangan hukum
saja yakni Hukum
Positif
-
7
Sunan Ampel/Fakultas
Syariah dan Hukum/2019
E. Metode Penelitian
Guna mendapatkan data dan pengolahan data yang diperlukan dalam
kerangka penyusunan penulisan penelitian ini, penyusun menggunakan
metode penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis
normatif. Menurut Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan
penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.7
2. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan dalam mengolah dan
menganalisa data adalah penelitian kualitatif. Penulis menggunakan
metode kualitatif dengan cara menganalisa dengan menggunakan
penafsiran hukum, penalaran hukum, dan argumentasi rasional.8 Dalam
hal ini objeknya ialah Putusan Mahkamah Agung No 46 P/HUM/2018,
dan dan sebuah Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h., 13-14.
8 Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta:PUAJ, 2007), h.,
29.
-
8
3. Sumber Data
Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber
penelitian yang berupa data primer, data sekunder, dan data tersier.9
Adapun sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:
a. Data Primer
Data primer yang penulis pergunakan dalam penulisan hukum
ini adalah:
1) Al-Qur’an dan Al-Hadits
2) Good Governance
3) Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
4) Fiqih Siyasah
5) Putusan Mahkamah Agung No 46 P/HUM/2018
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari hasil-hasil kajian hukum terhadap
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
Putusan Mahkamah Agung No 46 P/HUM/2018.
c. Data Tersier
Data tersier yang penulis pergunakan dalam hasil penulisan
penelitian ini meliputi:
1) Kamus Hukum.
2) Media Internet.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang diambil oleh penulis dalam
penulisan penelitian ini adalah
a. Teknik studi kepustakaan, yaitu: Teknik pengumpulan data dengan
mempelajari, membaca, dan mencatat buku-buku, literatur, catatan-
catatan, peraturan perundang-undangan, serta artikel-artikel penting
dari media internet dan erat kaitannya dengan pokok-pokok masalah
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian HUkum, (Jakarta: Kencana Prenada media
Group, 2008), h., 141.
-
9
yang digunakan untuk menyusun penulisan penelitian ini yang
kemudian dikategorisasikan menurut pengelompokan yang tepat.
5. Teknik Analisis Data
Setelah semua data terkumpul, dalam penulisan data yang
diperoleh baik data primer, data sekunder, maupun data tersier maka data
tersebut diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan
menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus serta
menafsirkan data berdasarkan teori sekaligus menjawab permasalahan
dalam penulisan ini.
F. Sistematika pembahasan
Sebagaimana layaknya satu karya ilmiah hasil penelitian dalam bentuk
skripsi maka uraian skripsi ini dimulai dengan menjelaskan prosedur standar suatu
penelitian dalam bentuk skripsi karena itu penulis memulai uraian ini dengan
menjelaskan latar belakang masalah mengapa penelitian ini dilakukan kemudian
identifikasi, pembatasan dan perumusahan masalah. Di samping itu, tentu saja
penulis juga menjelaskan apa tujuan dan manfaat penelitian, serta menentukan
metode apa yang digunakan untuk penelitian. Uraian ini ditempatkan pada Bab I
dengan judul Pendahuluan.
Selanjutnya untuk memberikan gambaran umum kepada pembaca tentang
masalah pencalonan mantan narapidana korupsi dengan segala bentuknya dalam
kajian Pidana Islam maka penulis memaparkan hal-hal yang bersifat umum
berkaitan dengan pengertian korupsi, sanksi,dasar hukum. Korupsi sebagai
kejahatan luar biasa, kedudukan mantan narapidana, syarat anggota legislatif
Uraian ini dimaksudkan sebagai pintu gerbang bagi pembaca untuk memahami
konsep-konsep dasar tentang korupsi Uraian ini ditempatkan pada BAB II dengan
Judul korupsi dalam Hukum Islam
Sebagaimana halnya Bab II maka Bab III juga menguraikan hal-hal yang
bersifat teoritis tentang konsep pencalonan mantan narpidana korupsi sebagai
anggota legislatif menurut Hukum positif, Penulis menguraikan hal-hal yang
-
10
bersifat umum secara terperinci terdiri atas seputar pengertian korupsi, Sanksi dan
dasar hukum.
Kemudian pada Bab IV penulis melakukan analisis Putusan Mahkamah
Agung No. 46/P/HUM/2018 tentang pencalonan mantan narapidana korupsi
sebagai anggota legislatif. Uraian ini terdiri dari atas deskripsi Putusan Mahkamah
Agung dengan menjelaskan kronoligis dan pertimbangan hakim dan persamaan
perbedaan antara Hukum Islam dan Hukum Positif. Bab ini merupakan bab inti
dari uraian skripsi dan di sini dikemukakan berbagai sudut pandang berkaitan
dengan hal ini.
Sebagai bagian akhir dari skripsi ini adalah penutup. Penulis memaparkan
hasil-hasil penelitian yang sudah dilakukan sebagaimana tergambar dalam skripsi
ini dan kemudian diakhiri dengan saran. Saran yang penulis pandang relevan
untuk perbaikan dari apa yang sudah ada sekarang ini.
-
11
BAB II
PRINSIP GOOD GOVERNANCE DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM
PENCALONAN MANTAN NARAPIDANA KORUPSI SEBAGAI
ANGGOTA LEGISLATIF
A. Good Governance
Konsep good governance lahir sejalan dengan konsep-konsep dan
instrument demokrasi, yaitu masyarakat madani, partisipasi masyarakat, hak asasi
manusia dan pembangunan masayarakat secara berkelanjutan. Konsep baru itu
menekankan pada peranan manajemen publik agar memberikan pelayanan
berkualitas pada masyarakat, mendorong otonomi manajerial, terutama
mengurangi campur tangan atau yang dilakukan oleh pemerintah pusat,
transparansi dan akuntabilitas publik. Tiga unsur penting yang saling
mempengaruhi dan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam
konsep good governance adalah unsur, masyarakat madani, dan unsur swasta.
Ketiga unsur tersebut mempunyai tata hubungan yang sama, sederajat dan saling
mempengaruhi. Sedangkan prinsip-prinsip good governance itu sendiri adalah
partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, kepedulian
kepada stakeholder, berorientasi kepada konsumen, kesetaraan, efektifitas dan
efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis. 1
Pemahaman mengenai good governance dan clean government mulai
mengemuka di Indonesia sejak 1990-an, terutama diungkapkan oleh kalangan
negara-negara pemberi bantuan atau pinjaman (donor agency). Kata good
governance dan clean government merupakan aspek yang perlu dipertimbangkan
dalam pemberian bantuan atau pinjaman baik loan (pinjaman lunak-kecil
bunganya) maupun grant (hibah). Sehingga sebetulnya istilah tersebut tidak lebih
1 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi
Daerah, (Mandar Maju, Bandung,2003) hlm 1
-
12
hasil adopsian bagi negara-negara berkembang dari negara maju untuk
memberikan berbagai macam bantuan. 2
Menurut Taschereau dan Campos bahwa tata pemerintahan yang baik
(good governance) itu merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses
kesejajaran, kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran serta adanya saling
mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen, yakni pemerintah (government),
rakyat (citizen) atau (civil society) dan usahawan (business) yang berada di unsur
swasta (Miftah Thoha . 2002). Ketiga komponen tersebut sedapat mungkin
saling mengintegrasikan semua kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pihak
pemerintah (government). Pihak pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang
mendorong iklim investasi yang lebih mudah bagi kalangan swasta. Sedangkan
pihak civil society menjalankan fungsi pengawasan, bersifat moral dan sosial
kemasyarakatan atas kebijakankebijakan pemerintah. 3
Kriteria atau karakteristik yang dikemukakan tersebut, akuntabilitas dan
transparansi merupakan dua instrumen pokok yang selalu ada dalam good
governance. Akuntabilitas sebagai salah satu prinsip good governance dewasa ini
boleh dikatakan sebagai harga mati yang harus dilakukan pemerintah.
Akuntabilitas atau tanggung gugat lembaga eksekutif selain disebabkan
oleh adanya tuntutan perkembangan good governance dan perkembangan
demokratisasi juga karena kesadaran kritis masyarakat yang sudah mulai
tumbuh subur. Persoalan sekarang adalah bagaimana keterkaitan antara
pertanggungjawaban pemerintah dengan good governance. 4
Suatu tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa merupakan harapan
dari diberlakukanya otonomi daerah. Miftah Toha menjelaskan bahwa tata
pemerintahan yang baik dan berwibawa (good governance) harus predictable,
terbuka, dan proses pengambilan kebijaksanaanya bebas dari kecurigaan. Tata
2 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka
Otonomi Daerah,( Mandar Maju, Bandung,2003) hlm 2 3 Miftah Thoha, Praktik Birokrasi Publik Yang Menjadi Kendala Terwujudnya Good
Governance. Balai Pustaka Jakarta 2013 4 Joko Widodo,Good Governance;Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol
Birokrasi. Surabaya: Insana Cendekia Press 2001
-
13
pemerintahan yang semacam itu memerlukan akuntabilitas, transparansi, terbuka
menerima perbedaan dan keragaman masyarakat serta keharusan penegakan rule
of law secara eksklusif (Miftah Toha. 1999) 5
Prinsip-Prinsip Good Governance
9 karekteristik prinsip-prinsip Good Governance yang saling mengait sebagai
berikut: 6
1. Partisipasi (participation), setiap warga mempunyai hak suara dalam
pembuatan
keputusan;
2. Taat Hukum (rule of law), hukum keadilan dilaksanakan tanpa pandang bulu;
3. Transparansi kebebasan informasi untuk dipahami dan dimonitor;
4. Responsif (responsiveness), lembaga-lembaga berusaha melayani setiap
stakeholdersnya dan instrument terhadap aspirasi masyarakat;
5. Berorientasi pada kesepakatan (consensus orientation), menjadi perantara
terhadap kepentingan yang berbeda untuk mendapatkan pilihan terbaik bagi
kepentingan bersama;
6. Kesetaraan (equity), semua warga mempunyai kesempatan yang sama dalam
meningkatkan kesejahteraan;
7. Efektif dan Efisien (effectiveness and efficiency), proses dan lembaga
menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan
sumber-sumber sebaik mungkin;
8. Akuntabilitas (accountability), pemerintah, swasta, masyarakat, bertanggung
jawab kepada publik dan lembaga stakeholders;
9. Visi Stratejik (strategic vision), pemimpin dan publik mempunyai perspektif
good governance yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan yang diperlukan
untuk pembangunan.
5 Miftah Thoha, Praktik Birokrasi Publik Yang Menjadi Kendala Terwujudnya Good
Governance. Balai Pustaka Jakarta 2013 6 Joko Widodo,Good Governance;Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol
Birokrasi. Surabaya: Insana Cendekia Press 2001) hlm. 6
-
14
Penjelasan lebih sederhana disampaikan oleh Ganie Rochman, dalam buku Good
Governance Joko Widodo (2001), bahwa governance adalah mekanisme
pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh negara
(state), dan non-negara (private state) dalam suatu kegiatan kolektif.
Good governance adalah cita-cita yang diharapkan seluruh pemerintahan
didunia, karena tujuan hadirnya pemerintahan itu untuk mensejahterakan
rakyatnya, maka cara yang paling mungkin adalah menciptakan Good
Governance. Indonesia juga adalah salah satu negara yang menginginkan adanya
Good Governance dengan menciptakan lembaga-lembaga yang relevan dengan
permasalahan yang terjadi di masyarakat. Indonesia juga telah tegas untuk dapat
menciptakan good governance dengan menghadirkan lembaga pemberantas
korupsi yang bersifat independen. Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi
indikasi bahwa Indonesia telah serius dalam menciptakan pemerintahan yang
bersih, bahkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juga lahir berdasarkan
kebutuhan negara dalam menciptakan Good Governance.
B. Asas Tiada Pidana Tanpa kesalahan
Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” merupakan asas yang fundamental
dalam hukum pidana.7 Bahkan sedemikian fundamentalnya, asas ini telah meresap
dan menggema dalam hampir semua ajaran dalam hukum pidana.8 Asas ini juga
terdapat dalam hukum pidana Belanda yang dikenal dengan istilah “geen straf
zonder schuld” dan di Jerman yang dikenal dengan istilah “keine straf ohne
schuld”.9 Dalam hukum pidana di Inggris juga terdapat asas yang serupa yang
dalam bahasa Latin berbunyi:“actusnon facit reum nisi mens sit rea”atau
diterjemahkan kedalam bahasa Inggris sebagai an act does not make a person
guilty until the mind is guilty.10
7 E.Ph.R. Sutorius, Het Schuldbeginsel / opzet en de Varianten Daarvan, diterjemahkan oleh Wonosutanto,Bahan Penataran Hukum Pidana Angkatan 1 tanggal 6-28 Agustus 1987,
(Semarang: FH-UNDIP), hlm. 1. Sebagaimana dikutip oleh Muladi, Dwidja Priyatno, Op.cit., hlm.
103.
8 Ibid.
9 Muladi, Dwidja Priyatno, Ibid., hlm. 102
10
Molejatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 5
-
15
Jika melihat ke dalam ketentuan dari KUHP,11 maka asas ini tidak akan
ditemukan secara tertulis sebagaimana asas legalitas pada Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Menurut Moeljatno, asas“tiada pidana tanpa kesalahan” merupakan asas tidak
tertulis dalam hukum yang hidup dalam anggapan masyarakat dan
tidak kurang keberlakuannya daripada asas yang tertulis, seperti asas legalitas.12
Lanjutnya,ia mencontohkan bahwa apabila ada seseorang yang dipidana tanpa
adanya kesalahan,tentunya akan melukai perasaan keadilan.13
Dalam perkembangannya, R. Achmad S.SoemaDipraja menyatakan bahwa
asas ini bukan sekedar asas tidak tertulis lagi, karena telah menjadi dasar bagi
hakim dalam menjatuhkan pidana,14 dimana asas tersebut termuat dalam Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman54 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 199955 dan UndangUndang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman).15
Pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman,
menentukan:16“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila
pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat
keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah
bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”17 Dalam
perkembangannya, R-KUHP revisi 2015 juga sudah mengatur secara tegas
mengenai asas “tiada pidana tanpa kesalahan” di dalam Pasal 38 ayat (1), yang
mengatur: “Tidak seorangpun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa
kesalahan”
11 KUHP yang dimaksud adalah KUHP tahun 1915 yang diadopsi dari Wetboek van
Straftrecht tahun 1881
12
Ibid
13
Ibid
14
R. Achmad S. Soema di Pradja, Beberapa Tinjauan Tentang Hukum Pidana dan
Hukum Acara Pidana, (Bandung : CV Armico, 1983), hlm. 21
15
Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 Tahun 2004, LN
No. 8 Tahun 2004, TLN No. 4358
16
Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 Tahun 2004, LN
No. 8 Tahun 2004, TLN No. 4358
17
Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 Tahun 2004, LN
No. 8 Tahun 2004, TLN No. 4358
-
16
Hal ini semakin menunjukkan pentingnya unsur kesalahan sebagai penentu
apakah subjek hukum dapat dipidana atau tidak, dimana norma ini sebelumnya
hanya berlaku sebagai suatu asas yang tidak tertulis, yang kemudian dituangkan
secara konkrit dalam suatu pasal.
Guna mengetahui mengapa asas “tiada pidana tanpa kesalahan” ini sebagai
suatu asas yang penting perlu diketahui apa yang dimaksud dengan asas ini? E.Ph.
R.Sutorius mencoba mengartikan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”.
Menurutnya,:
“pertama-tama harus diperhatikan bahwa kesalahan selalu hanya
mengenai perbuatan yang tidak patut, yaitu melakukan sesuatu yang
seharusnya tidak dilakukan dan tidak melakukan sesuatu yang seharusnya
dilakukan. Ditinjau secara lebih mendalam, bahwa kesalahan memandang
hubungan antara perbuatan tidak patut dan pelakuknya sedemikian
rupa,sehingga perbuatan itu dalam arti kata yang sesungguhnya
merupakan perbuatannya.Perbuatan ini tidak hanya objektif tidak patut,
tetapi juga dapat dicelakan kepadanya.Dapat dicela itu bukanlah inti dari
pengertian kesalahan, melainkan akibat dari kesalahan. Sebab hubungan
antara perbuatan dan pelakunya itu selalu membawa celaan,maka orang
dapat menamaka nsebagai“dapat dicela”. Sehingga, kalau dirangkumkan
akan menjadi bahwa asas tiada pidana tanpa kesalahan mempunyai arti
bahwa agar dapat menjatuhkan pidana, tidak hanya disyaratkan bahwa
seseorang telah berbuat tidak patut secara objektif, tetapi juga perbuatan
tidak patut itu dapat dicelakan kepadanya”.18
Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” pada dasarnya tidak menghendaki
terjadinya pemidanaan terhadap seseorang tanpa adanya kesalahan, meski yang
bersangkutan secara nyata telah melakukan suatu pelanggaran aturan.19
Sebagaimana dijelaskan pada bagian pertanggungjawaban pidana, unsur
kesalahan atau schuld guna menentukan pertanggungjawaban pidana atau
toerekeningsvatbaarheid sebagai dasar penjatuhan pidana memiliki kedudukan
yang penting.Unsur kesalahan menjadi penentu apakah seseorang dapat dikenakan
18 Ph.R. Sutorius, Op.cit.., hlm. 2. Sebagaimana dikutip oleh Muladi, Dwidja Priyatno, Op.cit., hlm.
104.
19
Ibid.
-
17
pertanggungjawaban pidana terhadapanya atas suatu perbuatan pidana.20
Bahkan
beberapa Sarjana memandang unsur kesalahan ini sebagai unsur konstitutif. 21
C. Konsep Hak Asasi Manusia
Dalam Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) sebenarnya dapat dilacak
secara teologis lewat hubungan manusia, sebagai makhluk dengan penciptanya.
Tidak ada manusia yang lebih tinggi daripada manusia lainnya. Hanya satu yang
mutlak, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Keberadaanya sebagai prima facie,
berkonsekuensi pada kerelatifan pengetahuan manusia.22
Dan pengetahuan
tersebut membawa memberikan pemahaman; manusia diciptakan langsung
dengan hak-hak yang tidak dapat dipisahkan.
Hak untuk hidup misalnya. Tidak ada satu daya pun, begitupula kuasa,
yang dapat membatalkan hak hidup yang diberikan Tuhan kepada manusia,
walaupun manusia tersebut melakukan perbuatan yang paling keji. Penghormatan
pada hak-hak dasar manusia juga berarti penghormatan kepada Sang
Penciptanya.23
Konsepsi HAM di atas, jika dirunut lebih ke belakang, muncul dari teori
hak kodrati (natural rights theory). Teori tersebut muncul dari teori hukum
kodrat (natural law theory). Salah seorang pemikir yang banyak berbicara
tentang hukum kodrat adalah Thomas Aquinas.24
20 D. Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek van Het Nederlanches
Straftrecht), cet.1,(Bandung: CV
Pionir Jaya, 1992),, hlm. 195
21
Sarjana yang dimaksud adalah Van Hamel, Simons, Zevenbergen, dan Scheper. Meski
demikian, pendapat ini ditolak oleh beberapa Sarjana lainnya, yakni Pompe dan Hazewinkel -
Suringa. Utrecht, Op.cit., hlm. 285. 22 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), hlm. 199. 23
Sandaran konsepsi HAM sebagai hakikat makluk Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan Pasal 1 butir 1 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang HAM. HAM adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia
24 E. Sumaryono, Etika Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas,
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 32-33
-
18
Lahir di desa Aquino, sebuah desa antara Roccasecca dan Napoli, Tahun
1224. Thomas Aquinas selain seorang pemikir keagamaan, ia juga seorang filosof
hukum. Hukum dalam pandangannya adalah perintah akal budi demi kebaikan
umum dan difomulasikan oleh orang yang bertugas memimpin masyarakat.
Hukum memiliki beberapa karakteristik, yaitu: 25
a. Rasionalitas, karena hukum merupakan perinah akal budi. Artinya, jika
seseorang menghendaki suatu tujuan tertentu, akal budinya
memerintahkan tentang apa yang seharusnya dilakukannya untuk
mencapai suatu tujuan tertentu
b. Teleologis atau berorientasi pada suatu tujuan tertentu, yaitu demi
kebaikan umum. Dalam defenisi tersebut, hukum dibuat berdasarkan
kepentingan masyarakat, yaitu disusun demi kebaikan umum.
c. Untuk kepentingan tersebut, maka pembuatan hukum menjadi
wewenang masyarakat secara keseluruhan atau menjadi wewenang
seseorang yang ditunjuk mewakili masyarakat.
Aquinas membagi hukum pada empat jenis
a. Hukum abadi: hukum yang digunakan Tuhan dalam penciptaan umat
manusia
b. Hukum kodrat: pantulan akal ilahi yang terdapat dalam setiap
penciptaan sebagaimana dimanifestasikan dalam berbagai
kecenderungan setiap ciptaan untuk mencari kebaikannya sendiri dalam
menghindari kejahatan.
c. Hukum ilahi: yaitu hukum yang diterima manusia melalui wahyu
Hukum buatan manusia: hukum yang diturunkan dari hukum ilahi dan
memiliki ketentuan khusus yang sesuai dengan situasi konkret hidup
manusia. 26
25 E. Sumaryono, Etika Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas,
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), 26 . E. Sumaryono, Etika Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas,
(Yogyakarta: Kanisius, 2002),79
-
19
Hukum kodrat, dalam pandangan Aquinas adalah partisipasi makhluk
rasional di dalam hukum abadi. Hukum yang disebutkan belakangan inilah yang
paling utama dan menjadi asas dan keadilan hukum buatan manusia. Aquinas
menyatakan, hukum positif yang tidak diturunkan dari hukum abadi tidak dapat
mencerminkan keadilan.27
Setiap hak ditetapkan secara objektif maupun subjektif. Objektif
maksudnya hak diberikan pada seseorang karena memang menjadi miliknya.
Subjektif artinya, penetapan hak berhubungan dengan yang dimilikinya. Ia
menjadi tuan dari apa yang dimilikinya. Penetapan hak ini, juga berhubungan erat
dengan urusan hukum dan bernegara. Hak ditetapkan secara objektif karena
demikian adalah hukum kodratnya, sebagai manifestasi keadilan, dan ditetapkan
secara subjektif, sebagai konsekuensi dari penetapan hukum kodrat. Belakangan,
hak yang ditetapkan secara subjektif ini, dikenal dengan istilah hak sipil dan
warga negara.28
Selain Aquinas, John Locke mengatakan, semua individu dikarunia oleh
alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan. Demikian
merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh
negara. Perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada
negara melalui kontrak sosial (sosial contract).29
Ia menjelaskan, adanya negara, pemerintahan dan hukum yang tercipta
dalam masyarakat, muncul karena kesadaran atas hak milik yang tersedia dari
kodratnya sebagai manusia.30
Locke berpendapat meskipun manusia menyerahkan haknya kepada
negara, penyerahan itu tidaklah secara absolut. Ada hak-hak yang tetap kekal
melekat di masing-masing individu. Hak yang diserahkan adalah hak yang
27 . Ibid., hlm. 96.
28 Ibid., hlm. 79-80 29
John Lock, Kuasa Itu Milik Rakyat, Esai Mengenai Asal Mula Sesungguhnya, Ruang
Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil, (Yogyakarta: Kanisius, cet V-2006), hlm.100-
102 30
John Lock, Kuasa Itu Milik Rakyat, Esai Mengenai Asal Mula Sesungguhnya,
Ruang Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil, (Yogyakarta: Kanisius, cet V-
2006), hlm.100-102.
-
20
berkaitan dengan perjanjian negara semata. Pendapat tersebut didasarkan pada
pandangannya bahwa proses perjanjian masyarakat (treaties of civil goverment)
terbagi menjadi dua. Proses pada tahap pertama adalah perjanjian individu
dengan warga negara lainnya untuk membentuk pemerintahan dan negara politis.
Perjanjian pertama ini disebutnya dengan Pactum Unionis. Tahap ini berlanjut ke
Pactum Subjectionis, dimana setiap perjanjian di tahap pertama terbentuk atas
dasar suara mayoritas. Konsepsi mayoritas dari masing-masing subyek
menunjukkan bahwasanya pembentukan perjanjiannya tidaklah absolut. Hak-hak
dasar individu tidaklah tertanggalkan karenanya. Maka logislah negara, sebagai
hasil perjanjian mayoritas masyarakat tadi, menjamin perlindungan hak asasi
individu warga negaranya31
Beranjak lebih jauh, konsepsi hak asasi tidak saja membenarkan
keberadaan manusia sebagai makhluk yang sadar pada pentingnya hidup
bermasyarakat dan sosial. Konsepsi HAM juga sebagai citraan dirinya sebagai
mahluk yang bermartabat dalam persoalan dan konflik. Frans Magnis Suseno
mengatakan :
“Hak-hak asasi manusia adalah sarana untuk melindungi manusia modern
terhadap ancaman-ancaman yang sudah terbukti keganasannya. Hak-hak itu
disadari sebagai reaksi terhadap pengalaman keterancaman segi-segi
kemanusiaan yang hakiki. Melalui paham hak asasi, tuntutan untuk menghormati
martabat manusia mendapat rumusan operasional dalam bahasa hukum dan
politik.”32
Dalam Undang-undang No. 39/1999 Bab I Ketentuan Umum, dalam pasal
1 (1) menjelaskan makna Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum pemerintah, dan setiap orang demi
31 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum tata Negara (Jakarta: PT Raja Grafindo,
cetakan VI 2014), hlm. 345-346 32
Frans Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, Butir-butir Pemikiran Kritis,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 231.
-
21
Undang-undang No. 39 /1999 tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri atas
106 pasal, secara rinci dibagi menjadi hak hidup, hak berkeluarga, hak
mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak
atas rasa aman, hak katas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak
wanita, hak anak, kewajiban dasar manusia, kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah, pembatasan dan larangan.33
Dalam kaitanya dengan Tindak Pidana yang dilakukan oleh masyarakat,
maka sudah seharusnya hukum juga menjadi pelindung Hak Asasi Manusia bagi
pelaku. Seorang pelaku tindak pidana yang telah menjalani masa hukumanya,
harus dikembalikan seluruh haknya sebagai warga negara yang sama, tanpa
melihat tindak pidana yang telah diperbuat, begitupun mantan narapidana
korupsi.
D. Korupsi menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam
1. Pengertian Korupsi
Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruption atau
coruptus, dan istilah bahasa latin yang lebih tua dipakai istilah corumpere, dari
bahasa latin itulah turun keberbagai bangsa-bangsa di Eropa seperti Inggris:
corruption, belanda corruptive dan prancis, corruption dan korruptie, yang
kemudian turun kedalam bahasa Indonesia menjadi Korupsi. Arti Harfiah dari
kata itu ialah, kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap,tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian.34
Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak.
Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan
semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang
busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan
kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta
33
Undang-undang (UU) Tentang Hak Asasi Manusia, No 39/1999 cet,Buku Biru , Jakarta
Januari 2014 34
Andy hamzah (1), korupsi di Indonesia masalah dan pemecahanya, Gramedia pustaka
utama, Jakarta, 1991, hlm, 7
-
22
penempatan keluarga atau golongan dalam kedinasan dibawah kekuasaan
jabatanya.35
Korupsi secara umum diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan
kepentingan public atau masyarakat luas atau kepentingan pribadi dan atau
kelompok tertentu. Dengan demikian secara spesifik ada tiga fenolemena yang
tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction)
dan nepotisme (nepotism).36
Kejahatan korupsi pada hakikatnya termasuk ke dalam kejahatan ekonomi,
hal ini bisa di bandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut:
1. Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud atau tujuan kejahatan
2. Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban
3. Penyembunyian pelanggaran.37
Adapun mengenai pengertian tindak pidana korupsi menurut Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001, Tindak Pidana Korupsi yaitu :
a. Setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara(pasal 2 ayat (1)).
b. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan, atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara(pasal 3).
c. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan
35
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi edisi kedua, sinar Grafika, Semarang, 2005, hlm,
91. 36
Syed Husen Alatas, Sosiologi Korupsi, sebuah penjelajahan dengan data kontemporer,
LP3ES, Jakarta,1983, hlm. 12 37 Barda Nawawi Arief dan Muladi. Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
1992, hlm. 56
-
23
atau kedudukanya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat
pada jabatan atau kedudukan tersebut (pasal 16)
d. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, , atau pemufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi(pasal 15)
e. Setiap orang yang berada diluar Wilayah Republik Indonesia yang
memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya
tindak pidana korupsi (pasal 16).38
Memperhatikan pasal pasal 2 ayat (1) diatas maka akan ditemukan unsur-
unsur tindak pidana korupsi sebagai berikut :
a. Melawan Hukum
b. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi Dapat
merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara.
c. Memberi hadiah, memberi janji kepada pegawai negeri, melakukan
percobaan, pembantuan, pemufakatan jahat, dan memberi kesempatan
Penjelasan umum Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, unsur melawan
hukum mencakup perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan
rasa keadilan dan norma-norma kehidupan social dalam masyarakat maka
perbuatan tersebut dapat dipidana.Adapun yang dimaksud dengan perbuatan
memperkaya diri sendiri adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih
kaya lagi dengan cara tidak benar.
Undang-undang pemberantasan pidana korupsi secara khusus mengatur
Hukum Acara sendiri terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi, secara
umum dibedakan dengan pidana khusus lainya. Hal ini mengingat bahwa korupsi
merupakan Extra ordinary crime yang harus didahulukan di bandingkan tindak
pidana lainya.39
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana
khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum
38
Undang undang tindak pidana korupsi, UU No 20 tahun 2001 39 Igm Nurdjana, sistem Hukum Pidana dan bahaya laten korupsi (Problematik sistem
Hukum Pidana dan implikasinya pada Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi), Total Media,
Yogyakarta. 2009, hlm 156
-
24
pidana umum. Seperti halnya ada penyimpangan hukum acara serta apabila
ditinjau dari materi yang diatur, karena itu tindak pidana korupsi secara langsung
maupun tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya
kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.
Dengan diantisipasi sedini seamksimal mungkin, sehingga korupsi sebagai
kejahatan luar biasa tidak terjadi lagi40
Tindak pidana korupsi mempunyai hukum acara khusus yang menyimpang
dari ketentuan hukum acara pada umumnya. Hukum Acara Pidana yang
diterapkan bersifat “lex specialist” yaitu adanya penyimpangan-penyimpangan
yang dimaksudkan untuk mempercepat prosedur dan memperoleh penyidikan
penuntutan serta pemeriksaan disidang dalam mendapatkan bukti-bukti suatu
perkara pidana korupsi dan penyimpangan tersebut dilakukan berarti bahwa hak
asasi tersangka/terdakwa dalam tindak pidana korupsi tidak terjamin atau
dilindungi, tetapi diusahakan sedemikian rupa sehingga penyimpangan-
penyimpangan itu bukan merupakan penghapusan seluruhnya yang terpaksa
dilakukan untuk menyelamatkan hak asasi tersebut dari bahaya yang ditimbulkan
korupsi. Sedangkan di pihak lain, sebagai ketentuan umum atau “ lex generalis”
dalam artian bagaimana melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
sidang pengadilan dalam perkara korupsi sepanjang tidak diatur adanya
penyimpangan dalam undang-undang No 31 Tahun 1999, prosesnya identik
dengan perkara pidana umumnya yang mengacu KUHAP41
Dengan tolak ukur bahwasanya tindak pidana korupsi bersifat tindak
pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) karena bersifat sistematik, endemic
yang berdampak sangat luas (systematic dan widespread) yang tidak hanya
merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar hak sosial dan ekonomi
masyrakat luas sehingga penindakanya perlu upaya comprehensive extra
40 Lilik Mulyadi, tindak pidana korupsi di Indonesia,(normatif, teoritis, praktik dan
masalahnya). PT. Alumni, Bandung, 2007 hlm 2 41
Ifrani, Tindak Pidana Korupsi sebagai kejahatan luar biasa, Jurnal Al‟adl volume IX
Nomor 3 desember 2017, hlm 2
-
25
ordinary measures sehingga banyak peraturan, lembaga dan komisi yang di
bentuk untuk menanggulanginya42
2. Pengertian Korupsi
Beberapa jenis Tindak Pidana atau Jarimah dalam fiqih Jinayah yang
dari segi unsur-unsur dan definisinya mendekati terminologi korupsi di masa
sekarang yaitu:
1. Ghulul (penggelapan)
Kata ghululan (ًُغلُولا) dalam lafadz Muslim, atau ghullun ( dalam (ُغلً
lafadz Abu Dawud, keduanya dengan huruf ghain berharakat dhammah.
Ini mengandung beberapa pengertian, di antaranya bermakna belenggu
besi, atau berasal dari kata kerja ghalla ( yang berarti khianat.43 Ibnul (َغلً
Atsir menerangkan, kata al ghulul (ًُاْلُغلُول), pada asalnya bermakna khianat
dalam urusan harta rampasan perang, atau mencuri sesuatu dari harta
rampasan perang sebelum dibagikan44 Kemudian, kata ini digunakan untuk
setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan secara sembunyi-sembunyi
Ghulul adalah tindakan pengambilan, penggelapan atau berlaku
curang, dan khianat terhadap harta rampasan perang.45
Ghulul diartikan
menjadi tindakan curang dan khianat terhadap harta baitul mal, harta milik
bersama kaum muslim, harta bersama dalam suatu kerjasama bisnis,harta
negara,harta zakat, dan lain-lain.46
42
Ifrani, Tindak Pidana Korupsi sebagai Kejahatan luar biasa, Jurnal Al‟adl
volume IX Nomor 3 desember 2017, hlm 3 43
Al-Anshari, Lisanul Arab, Juz. IV, (Kairo: Darul Mishri, t.th), hlm 11/499 44 Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu „anhu tentang kisah
seorang nabi (sebelum Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam ) dengan umatnya
ketika mereka memperoleh rampasan perang. Kemudian di antara mereka ada yang
mencuri harta rampasan perang tersebut, hingga Allah mengirimkan api dan melahap
semua harta rampasan perang tersebut, dan Allah mengharamkannya untuk umat sebelum
umat Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam. (Muttafaqun „alaihi. Al Bukhari dalam
kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu „alaihi wa sallam (Uhillat), hadits
no. 3124, dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sair, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil
Ummati Khashshatan, hadits no. 3287.) 45 M. nurul irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2011, hlm.
81 46
M. nurul irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2011
-
26
Ghulul merupakan hal yang berbeda dalam tindak pidana pencurian
umum, ghulul(korupsi) merupakan tindak pidana/jarimah yang berkaitan
langsung dengan subjecnya (pelaku) bukan terletak pada (objectnya)
benda yang dicuri. Ghulul dilakukan karena adanya penyalahgunaan
wewenang terhadap sebuah amanah sehingga ghulul tidak termasuk dalam
kategori pencurian umum dimana jika pencurian umum di lakukan bukan
karena penyalahgunaan wewenang.
2. Khiyanat (khianat)
Khiyanat (َغد ار) adalah tidak menepati amanah. ia merupakan sifat
tercela. Sifat khianat adalah salah satu sifat orang munafik sebagaimana
sabda Rasulullah SAW bahwa tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga,
yaitu apabila berkata berdusta, apabila janji ingkar, apabila diberi amanah
berkhianat. Menurut ar-Raqib al-Isfahani, seorang pakar bahasa arab,
khianat adalah sikap yang tidak memenuhi janji yang dipercayakan
padanya. Ungkapan khianat juga digunakan bagi seorang yang melanggar
atau mengambil hak-hak orang lain, dapat dalam bentuk pembatalan
sepihak perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah
mu‟amalah.47
Jarimah Khianat terhadap amanah adalah berlaku untuk
setiap harta bergerak baik jenis dan harganya sedikit maupun banyak.48
Contoh : “ ketika dua orang melakukan sebuah perjanjian anggap saja
melakukan transaksi jual beli, keduanya telah sepakat menentukan harga,
namun salah satu pihak yang menjadi pembeli tidak membayar dengan
nilai harga yang telah disepakati”
3. Sariqah (pencurian)
Sariqah terambil dari kata bahasa arab Sariqah(َساِرق)، yang
etimologis berarti mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-
47
Abd. Aziz Dahlan (et all) Ensiklopedi Hukum Islam Jilid III, jakarta : PT.
Icthiar Baru Von Haeve, 1996, hlm 913 48 Ahmad Abu al-Rus, Jara‟im al-Syariqat wa al-Nasbi wa Khianat al-amanah
wa al-Syaik Bi Duuni Rasiid, (Iskandariyah, al-Maktabah al-Jam‟i al-Hadits, 1997)hlm
580
-
27
sembunyi dan dengan tipu daya49
terkait dengan batasan konsep tersebut,
Abdul Qadir Audah mendefinsikan Sariqah sebagai tindakan mengambil
harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi. Yang dimaksud
mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi adalah
mengambilnya dengan tanpa sepengetahuan dan kerelaan pemiliknya.50
4. Risywah (suap)
Secara etimologis kata risywah berasal dari bahasa Arab ” رشاًًيرشو “
yang masdarnya bisa dibaca “ رشوة‘’ً,’’ًًرشوة „‟ atau “ "رشوة yang berati “
yaitu upah, hadiah, komisi,Secara harfiah, suap (Risywah) berarti “ الجعلو
batu bulat yang jika dibungkamkan ke mulut seseorang, ia tidak akan
mampu berbicara apapun. Jadi suap bisa mebungkam seseorang dari
kebenaran51
Menurut Ibrahim an-Nakhai dalam buku Abu Fida Abdur Rafi
bahwa suap adalah suatu yang di berikan kepada seseorang untuk
menghidupkan kebatilan atau menghancurkan kebenaran. 52
Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mendefinisikan suap dengan
meberikan harta kepada seseorang sebagai kompensasi pelaksanaan
maslahat (tugas, kewajiban) yang tugas itu harus dilaksanakan tanpa
menunggu imbalan atau uang tip53
Suap menyuap adalah jenis korupsi yang mempunyai cakupan
paling luas penyebaranya dan merambah sebagian sendi-sendi kehidupan.
Ibnu mas‟ud berujar, “Risywah tumbuh dimana-mana” kasus suap
menyuap juga merupakan intensitas paling tinggi. Hampir semua bidang
bisa kerasukan jenis korupsi ini. Risywah mempunyai nama atau istilah
49
M. nurul irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2011
hlm 117 50 Ahsin Sakho Muhammad, dkk (eds). Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid
II. Jakarta: PT Kharisma Ilmu, hlm 519 51
Ahsin Sakho Muhammad, dkk (eds). Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid
II. Jakarta: PT Kharisma Ilmu 52 Abu Fida‟ Abdur Rafi, Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun Nafsi
(penyucian jiwa), jakarta: Republika. 2004 53
Abu Fida‟ Abdur Rafi, Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun Nafsi
(penyucian jiwa), jakarta: Republika. 2004, hlm 4
-
28
yang bervariasi. Ada modelnya berbentuk hadiah,bantuan,uang perantara,
komisi54
Seorang pejabat boleh menerima hadiah dengan beberapa syarat:
pertama, pemberi hadiah bukan seorang yang sedang terikat perkara dan
urusan, kedua, pemberian tersebut tidak melebihi kadar volume kebiasaan
sebelum menjabat55
Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebenarnya dapat dilihat dari
pengertian tindak pidana korupsi atau rumusan delik yang terdapat dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan beberapa
pengertian dan rumusan delik tindak pidana korupsi seperti di kemukakan
di atas, adapun unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dapat penulis
inventarisir dalam Ketentuan Pasal 2-13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang tindak pidana korupsi, adalah:
1. Tindakan seseorang atau badan hukum melawan hukum
2. Tindakan tersebut menyalahgunakan wewenang
3. Dengan maksud memperkaya diri sendiri dan orang lain
4. Tindakan tersebut merugikan negara atau perekonomian Negara
atau patut diduga merugikan keuangan dan perekonomian negara
5. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri
ataupenyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri
atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya.
6. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya
54
Abu Fida‟ Abdur Rafi, Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun Nafsi
(penyucian jiwa), jakarta: Republika. 2004 hlm 11 55
Abu Fida‟ Abdur Rafi, Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun Nafsi
(penyucian jiwa), jakarta: Republika. 2004
-
29
7. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili.
8. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi
advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili
9. Adanya perbuatan curang atau sengaja membiarkan terjadinya
perbuatan curang tersebut
10. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat
berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang
atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang
lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
11. Dengan menggelapkan,menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang
digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat
yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya dan membiarkan
orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut serta membantu orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
12. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah
atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
-
30
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya.56
Jika melihat jenis-jenis jarimah di atas, tidak semuanya sesuai
dengan tindak pidana korupsi. Setidaknya ada enam jenis jarimah yang
bisa dihubungan dengan praktek korupsi yang terjadi di Indonesia, yaitu
ghulul (penggelapan), risywah (gratifikasi), ghasab (mengambil paksa
harta orang lain), khianat, sariqah (pencurian), dan hirabah (perampokan).
Dari keenam jenis jarimah ini, tidak semuanya bisa dicocokkan dalam
rumusan pasal 2-13 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang Unsur-unsur Korupsi.
Berdasarkan penjelasan unsur-unsur tindak pidana korupsi di atas
bahwa unsur-unsur korupsi sama sekali tidak bisa dihubungkan dengan
sariqah, hirabah, maupun ghasab. Namun hanya Ghulul,risywah dan
khianat yang masuk dalam unsur-unsur tindak pidana korupsi. Dalam
tindak Pidana Islam ghulul risywah dan khianat hanya masuk dalam
Sanksi Ta‟zir sedangkan sariqah masuk dalam sanksi Hudud. Karena
secara istilah korupsi dan Sariqah berbeda. korupsi lebih condong kepada
pengkhianatan amanah, sedangkan sariqah barang yang diambil tersimpan
dan diluar penguasaan pencuri Oleh Karenanya secara otomatis sariqah,
hirabah, maupun ghasab tidak masuk dalam unsur unsur tindak pidana
korupsi.
3. Dasar Hukum Ancaman Terhadap Tindakan Korupsi
Masalah korupsi dalam kajian Hukum Islam termasuk dalam
wilayah muaámalah maliyyah (persoalan sosial ekonomi atau keuangan)
dan fiqih siyasah (hukum tata Negara). dari aspek normatif jelas bahwa
56 https://.blogspot.com/2016/03/teori-pembuktian-unsur-unsur-tindak Pidana
Korupsi.html
-
31
korupsi sebagai perbuatan yang terlaknat (terkutuk) dalam hal ini dalam
al-Qur‟an juga menjelaskan dalam Qs. An-nisa‟ayat 29 yaitu:57
ٍَ آَيُُىا الَ تَأُْكهُىا أَيْ أًيَا ٌَ تِجاَرةً َىانَُكْى بـَيـَُُْكْى بِاْنبيـُّهَا انَِّذي ٌْ تَُكى ِطِم إِالَّ أَ
ُُْكْى ٍْ تـََزاٍض ِي ٌَ بُِكْى َرحِ إِ ◌ۚ َوالَ تـَْقتـُهُىا أََـْفَُسُكْى ◌ۚ َع َ َكا يًى ٌَّ َّللاَّ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah maha
penyayang kepadamu. 58 (Qs. An-nisa‟ayat 29)
Ibnu Katsir menafsirkan hukuman bagi pelaku Akl al-Ma‟l bi al-
Bathil pada harta, akan menjadi sepotong api neraka. Lalu hukuman bagi
pelaku ghulul menurut tafsir Ibnu Katsir dan Hamka apa yang
digelapkannya itu akan dibawanya pada hari kiamat. Ibnu Katsir
menambahkan, dikalungkan kepadanya tujuh lapis bumi pada hari kiamat
kelak. Hamka menjelaskan, bahwa pada hari kiamat akan terbukalah
rahasia penggelapan harta. Sebab para koruptor (pelaku ghulul) akan
datang sendiri membawa barang yang dikorupsinya. Harta korupsi itu
menjadi saksi atas kejahatan yang dilakukan koruptor, agar mereka tidak
bisa mengelak dari kejahatannya. Kemudian koruptor akan mendapatkan
pembalasan yang setimpal, sesuai besarnya korupsi yang dilakukannya59
Korupsi bisa dikategorikan dalam Jarimah karena merupakan
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dan atau bersama-sama beberapa
orang secara professional yang berkaitan dengan kewenangan atau instansi
terkait. Lain halnya perbuatan mencuri yang adakalanya pula dalam
bentuk harta dan adakalanya pula dalam bentuk administrasi, perbuatan
57 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 3. 9
58 Agama RI, A-Qur‟an dan Terjemahannya (Surabaya: Pustaka Agung Harapan
2006) hlm 89 59
Hamka, Tafsir al-Azhar, Vol. V
-
32
semacam ini jika berkaitan dengan jabatan atau profesi dalam birokrasi
jelas merugikan departemen atau instansi terkait. Perbuatan dimaksud
disebut korupsi dan pelaku akan dikenai hukuman pidana korupsi60
ٍْ اِو نِتَأُْكهُىا فَِزيقًا ِي َواَل تَأُْكهُىا أَْيَىانَُكْى بَْيَُُكْى بِاْنبَاِطِم َوتُْذنُىا بَِها إِنًَ اْنُحكَّ
ْثِى وَ ٌَ أَْيَىاِل انَُّاِس بِاْْلِ ى ًُ َْتُْى تَْعهَ أَ
“Janganlah sebagian kalian memakan harta sebahagian yang lain
di antara kalian dengan jalan yang batil dan janganlah kalian membawa
urusan harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
Padahal kalian mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 188)61
Imam Ibnu Jarir ath Thabari begitu juga Imam Ibnu Katsir dalam
kitab mereka menjelaskan asbabun nuzul ayat tersebut yaitu: Ayat yang
mulia ini turun pada seorang laki-laki yang memiliki harta dan bersengketa
dalam masalah harta tersebut dengan orang lain sedangkan dia tidak
memiliki bukti yang otentik bahwa harta tersebut adalah miliknya. Maka
pihak lawannya mengingkarinya dan pada akhirnya ia membawa
persengketaan tersebut kepada para hakim dan diapun mengetahui bahwa
kebenaran bersamanya dan dia juga faham bahwa (pihak lawannya)
berdosa lantara memakan harta yang haram.62
Dari „Adiy bi n „Amirah Al Kindi Radhiyallahu „anhu berkata :
Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
ِّ يَْىَو ٌَ ُغهُىاًل يَأْتِي بِ ا فَْىقَُّ َكا ًَ َُا ِيْخيَطًا فَ ًَ ٍم فََكتَ ًَ ُُْكْى َعهًَ َع ْهَُاُِ ِي ًَ ٍْ اْستَْع َي
ِ ِّ، فَقَاَل: يَا َرُسىَل َّللاَّ َْظُُز إِنَْي ََْصاِر َكأََِّي أَ ٍْ اْْلَ ِّ َرُجٌم أَْسَىُد ِي اْنقِيَاَيِت، قَاَل: فَقَاَو إِنَْي
ْعتَُك تَقُىُل َكَذا َوَكَذا، قَاَل: َوأَََا أَقُىنُُّ اْقبَْم َعُِّ ًِ هََك، قَاَل: ))َوَيا نََك؟((، قَاَل: َس ًَ ي َع
60 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),71 61 Departemen Agama RI, A-Qur‟an dan Terjemahannya (Surabaya: Pustaka
Agung Harapan 2006) 62
Ibnu Jarir ath Thobari, Jamiul Bayan „an Ta‟wil „Ayi al Qur‟an, Dar al
„Alam, Yordania, 2002, Juz II hlm. 242.
-
33
ُُّْ أََخَذ َوَيا ا أُوتَِي ِي ًَ ِِ فَ ِّ َوَكثِيِز ٍم فَْهيَِجْئ بِقَهِيهِ ًَ ُُْكْى َعهًَ َع ْهَُاُِ ِي ًَ ٍْ اْستَْع ، َي ٌَ اْْل
َْتَهًَ ُُّْ ا َُِهَي َع
“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu
pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang
jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta
korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. („Adiy) berkata :
Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , seolah-olah aku melihatnya,
lalu dia berkata,”Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang
engkau tugaskan.” Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bertanya,”Ada apa gerangan?” Dia menjawab,”Aku mendengar
engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di
atas, Pen.).” Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam pun
berkata,”Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara
kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka
hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun
banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia
(boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak
boleh.”63 (HR. Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab al Imarah,
bab Tahrim hadaya al‟umal)
Hadits ini menjelaskan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
menyampaikan peringatan atau ancaman kepada orang yang ditugaskan
untuk menangani suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil sesuatu dari
hasil pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan atau
orang yang menugaskannya, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya,
meskipun hanya sebatang jarum. Maka, apa yang dia ambil dengan cara
tidak benar tersebut akan menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari
63 Imam Ahmad Muhammad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, Dar
alKutub al- „Ilmiyah, Beirut, Libanon, 1993, Jilid 3, h. 132.
-
34
Kiamat. Yang dia lakukan ini merupakan khianat (korupsi) terhadap
amanah yang diembannya. Dia akan dimintai pertanggungjawabnya nanti
pada hari Kiamat.64
Dalam fiqih jinayat, kriminalitas atau kejahatan dapat dibagi
menjadi 3 bagian menurut Sayid Sabiq, yaitu: 65
1. Qishash adalah tindak pidana yang menyakiti atau melukai tubuh
sehingga hukumannya sepadan misalnya menghilangkan nyawa,
melukai anggota badan. Di Arab Saudi, praktek qishash bagi
pembunuhan adalah dengan cara dipancung. Sementara di Iraq dengan
cara digantung.Menurut Sayyid Sabiq,66 Qishash ini adalah untuk
memenuhi hak sesama manusia
2. Hudud adalah ketentuan pasti hukuman yang ditetapkan syariat yaitu:
Hadd zina, qadzaf, minuman keras, pencurian, baghy
(pemberontakan), judi, riddah. Hal ini untuk memenuhi hak Allah
SWT.
3. Takzir adalah sanski hukum yang diberlakukan kepada seorang
pelaku jarimah atau tindak pidana yang melakukan pelanggaran-
pelanggaran, baik berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia
dan pelanggaran-pelanggaran dimaksud tidak masuk dalam kategori
hukuman hudud dan Qishas.67
Dengan merujuk pada definisi di atas dan tidak ditentukan
langsung oleh al-qur‟an dan hadits tentang jenis hukuman korupsi.68
Maka
Korupsi dapat dikelompokan kehukuman Tazir karena tidak ada ancaman
secara tegas dan Nash Qath”i. sehingga tidak dimasukan kedalam hudud
dalam tindakan pencurian yang diancam dengan potong tangan.Para ulama
mensyaratkan sahnya pencurian apabila barang yang diambil tersimpan
64 Imam Ahmad Muhammad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, Dar
alKutub al- „Ilmiyah, Beirut, Libanon, 1993, Jilid 3, h. 132 65
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Darul Fikr, Beirut, cet 1, 1992 hlm 497 66 Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Darul Fikr, Beirut, cet 1, 1992 hlm 497 67 M. Nurul irfan, Korupsi dalam Hukum pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2011 68 M. Nurul irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2011
hlm 127
-
35
dan di luar penguasaan pencuri (fi hirzihi).Sementara harta yang dikorupsi
berada dalam wilayah kekuasaan pelaku. mendapat mandat penuh dan
amanah dari rakyat untuk mengelola anggaran untuk digunakan sebesar-
besarnya bagi kemakmuran masyarakat.
Dari perspektif inilah, maka unsur tindak pidana korupsi berbeda dengan
tindak pidana pencurian. Korupsi bisa disamakan dengan ghulul (penggelapan)
Tindak Pidana Korupsi ini lebih condong kepada pengkhianatan amanah, Dengan
demikian maka hukuman bagi pelaku Korupsi berupa ta‟zir bukan berada di
wilayah hudud dan qishas, diserahkan sepenuhnya kepada ijtihad Hakim, seperti
penjara ,pencelaan, denda materi, bahkan bisa hukuman mati
E. Dewan Perwakilan Rakyat
1. Pengertian Dewan perwakilan rakyat dan fungsi
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang anggota-anggotanya dipilih oleh
rakyat melalui pemilihan umum, merupakan lembaga yang mewakili rakyat dalam
sistem demokrasi di Indonesia. Pada lembaga ini masyarakat menaruh harapan
besar agar apa yang dilakukan oleh mereka benar-benar memenuhi harapan
masyarakat. Sebaliknya masyarakat merasa sangat kecewa ketika anggota-anggota
DPR menunjukkan sikap dan perilaku yang hanya berorientasi pada kepentingan
pribadi, kelompok, atau kepentingan partai, yang jauh dari problem atau persoalan
yang sedang dialami oleh masyarakat. Terlebih ketika ada di antara anggota DPR
yang menampakkan akonflik terbuka di antara mereka, bersitegang, bahkan
sampai adu fisik satu sama lain, tanpa mengindahkan etika sebagai wakil-wakil
rakyat. 69
Secara normatif sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar bahwa
DPR memiliki 3 (tiga) macam fungsi, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan
fungsi pengawasan. Fungsi legislasi adalah fungsi untuk membuat undang-
undang; fungsi anggaran dalah fungsi untuk ikut menetapkan Anggaran
69 Sunarto, Fungsi legislasi DPR pasca amandemen UUD 1945, Jurnal Integralistik, No
1.th.xxvii/2017, hlm 57
-
36
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); dan fungsi pengawasan adalah fungsi
DPR untuk mengawasi kebijakan pemerintah. 70
Berkenaan dengan fungsi legislasi DPR, sebagaimana diketahui bahwa
pembuatan undang-undang memerlukan kerja sama antara DPR dan Presiden. Di
samping itu pembuatan undang-undang dimulai dari penyiapan rancangan
undang-undang, pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR bersama
pemerintah, persetujuan bersama atas rancangan undang-undang untuk menjadi
undang-undang, dan pengesahan undang-undang oleh Presiden. Rancangan
undang-undang bisa datang dari DPR, dan bisa juga datang dari Pemerintah.
Pertanyaan yang sering muncul terkait dengan lembaga DPR adalah seberapa
banyak rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPR, bagaimana peran
anggota-anggota DPR dalam pembahasan rancangan undang-undang untuk
ditetapkan menjadi undang-undang, dan seberapa besar pencapaian target
pembuatan undang-undang sebagaimana tertuang dalam Program Legislasi
Nasional (Prolegnas).71
Menjadi seorang wakil rakyat khususnya lembaga legislatif, tentu harus
memenuhi syarat dan ketentuan yang ada pada Peraturan Komisi Pemilihan
Umum agar sah dan boleh ikut serta dalam pemilu legislatif.
Dalam pasal 4 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 20 Tahun
2018:
Bakal calon anggota DPR,DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota
haruslah memenuhi persyaratan:72
(1) Partai Politik dalam mengajukan bakal calon anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota mempunyai hak, kesempatan, dan
menerima pelayanan yang setara berdasarkan peraturan
perundangundangan.
70
Sunarto, Fungsi legislasi DPR pasca amandemen UUD 1945, Jurnal Integralistik, No
1.th.xxvii/2017 71
Sunarto, Fungsi legislasi DPR pasca amandemen UUD 1945, Jurnal Integralistik, No
1.th.xxvii/2017 72
Peraturan Komisi Pemilihan Umum, PKPU No 20 tahun 2018,, hlm. 9
-
37
(2) Setiap Partai Politik melakukan seleksi bakal calon anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota secara demokratis dan
terbuka sesuai dengan AD dan ART, dan/atau peraturan internal masing-
masing Partai Politik.
(3) Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar
narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.73
Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 20 Tahun 2018 terjadi
sebuah revisi pada ketentuan pasal 4 ayat (3) yang telah dihapuskan berkaitan
dengan pencalonan mantan narapidana tindak pidana tertentu, point yang