xerostomia kel.2

Upload: thouri-rahmad

Post on 10-Jan-2016

77 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

materi kuliah oral pathology PBL dengan tema xerostomia. dibuat sebgaai syarat kelulusan di bagian oral pathology

TRANSCRIPT

PENYAKIT KELENJAR SALIVA DAN XEROSTOMIA

MAKALAH ORAL MEDICINE II

XEROSTOMIA DAN PENYAKIT KELENJAR SALIVA

disusun oleh:KELOMPOK II

Yunita Setiani(07/KG/8116)Rahardian S(07/KG/8162)

Fanny Framitha(07/KG/8117)Aristy Riyanti(07/KG/8180)

Yunita Putri W(07/KG/8124)Sartika Putri U(07/KG/8181)

M. Robby W(07/KG/8127)Mayang P(07/KG/8194)

Yustika C(07/KG/8131)Ananto Ali A(07/KG/8210)

Luise Aminah N(07/KG/8132)Febry P

(07/KG/8213)

Ilma Yudistian(07/KG/8142)Raysa YP(07/KG/8226)

Wahyu Hidayat(07/KG/8145)Stefani KS(07/KG/8227)

Victoria Dewanti(07/KG/8155)Fransisca SR(07/KG/8243)

Maria Stella V(07/KG/8161)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2010

XEROSTOMIA DAN PENYAKIT KELENJAR SALIVAAbstract

Saliva is a fluid secreted into the oral cavity by salivary glands. Saliva serves to protect the surface of the oral cavity (mucosa and teeth) through the mouth by its naturally cleansing, buffering capacity, remineralization, formation of acquired pellicle, antibacterial and antiviral activity.

Amount of saliva secretion may be affected by various causes, example such as the use of antihypertensive drugs, antidepressants, and hormonal medications. While in the general condition of salivary gland disorders may also occur due to ageing or stress and psychological disorders. Most of these causes symptoms of dry mouth or xerostomia, which reduces the amount of saliva secretion.Sjorgen syndrome is an autoimmune disease with the formation of abnormal antibodies that will attack the exocrine glands that produce tears and saliva. The presence of this exocrine gland disorder that can cause xerostomia. This syndrome usually affects women entering menopause.

The purpose of drafting case reports " Xerostomia dan Penyakit Kelenjar Saliva " is that students are able to understand the identification and classification of disorders and diseases of the salivary glands in stomatognatic system and body system in general. In addition, the drafting of this report is expected, students can determine diagnosis and definitive diagnosis of a case.Keywords : saliva, xerostomia, aging, sjogrens syndrome.BAB I

PENDAHULUAN

Saliva merupakan cairan yang disekresikan ke dalam rongga mulut oleh kelenjar saliva. Saliva berfungsi untuk melindungi permukaan rongga mulut (mukosa dan gigi) melalui pembersihan mulut secara alami, kapasitas dapar, mengadakan remineralisasi, pembentukan acquired pellicle, aktivitas antibakteri dan antivirus (tiosianat, hidrogen peroksida, lisozim, laktoperoksida, laktoferin, dan immunoglobulin). Di samping itu, saliva juga membantu pengunyahan makanan dan pencernaannya dibantu enzim amilase. Cairan mukus saliva berperan dalam berbicara, pengecapan, dan pelumasan makanan (Duarte, 2003).

Fungsi kelenjar saliva yang mengalami penurunan merupakan suatu keadaaan normal pada proses penuaan manusia. Keluhan berupa xerostomia atau mulut kering sering ditemukan pada orang tua yang disebabkan oleh perubahan karena usia pada kelenjar itu sendiri (Ian & Angus, 1995). Penurunan aliran saliva akan mempersulit fungsi bicara dan penelanan, serta menaikkan jumlah karies gigi, dan meningkatkan kerentanan mukosa terhadap trauma mekanis dan infeksi mikrobial (Ian & Angus, 1995).

Xerostomia merupakan salah satu bentuk kelainan sekresi saliva yang mengalami penurunan volume dari keadaan normal, sehingga terjadi hiposalivasi. Apabila produksi saliva kurang dari 20 ml/ hari dan berlangsung dalam waktu yang lama maka keadaan ini disebut xerostomia. Saliva pada orang tua mengandung total protein yang lebih sedikit, elektrolit berbeda, dan pH dengan kemampuan buffer yang lebih kecil dibanding orang muda (George dkk, 1994). Hipofungsi kelenjar saliva mengakibatkan hiposalivasi, yaitu menurunnya laju aliran saliva ke rongga mulut secara objektif. Hiposalivasi akan mengakibatkan xerostomia, yaitu keluhan mulut kering secara subjektif (Challacombe & Naglik, 2006).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Kelenjar Saliva dan Pengaruhnya pada Sistem Tubuh secara KeseluruhanKelenjar saliva adalah kelenjar yang menghasilkan dan mensekresikan saliva ke dalam rongga mulut. Kelenjar saliva minor terdapat pada mukosa labial, bukal, palatal, dan lingual, dan hanya sedikit berkontribusi pada saliva. Kebanyakan saliva disekresikan oleh kelenjar salivarius mayor yang terletak lebih di dalam mukosa oral, dan dihubungkan oleh duktus menuju rongga mulut. Terdapat tiga pasang kelenjar saliva yaitu, kelenjar parotis, kelenjar submandibula, dan kelenjar sublingual. Kelenjar parotis dihubungkan ke rongga mulut oleh duktus parotis yang menembus muskulus buccinator dan terbuka pada mukosa bukal di sebelah gigi molar kedua maksila. Sekresi kelenjar parotis bersifat serus dan mengandung enzim amilase. Kelenjar submandibula yang terdapat di dasar mulut, bermuara melalui duktus submandibula yang terletak di bawah mukosa di sisi midline pada dasar mulut dan terbuka pada sisi lateral frenulum lingualis. Pada kelenjar submandibula terdapat sel-sel yang sama dengan sel pada kelenjar parotis dengan beberapa sel mukus sehingga sekresinya bersifat serus dengan amilase namun lebih tebal oleh adanya mukus. Sedangkan kelenjar sublingual terletak di bawah lidah, dengan duktus sublingual terletak pada dasar mulut. Sekresinya kebanyakan bersifat mukus dan sedikit berkontribusi pada jumlah enzim amilase.

Saliva adalah cairan mulut kompleks yang terdiri dari komponen organik dan anorganik, tidak berwarna, yang disekresikan dari kelenjar saliva mayor (kelenjar parotis, submandibula, dan sublingual) dan kelenjar saliva minor untuk mempertahankan homeostasis dalam rongga mulut (Hasibuan, 2002). Saliva yang disekresi berguna untuk menjaga kelembaban membran mukosa oral dan faring, serta memberikan efek self cleansing mulut dan gigi. Saliva disusun oleh 99,5% air dan 0,5% zat terlarut seperti, ion sodium, potasium, klorida, bikarbonat, dan fosfat, serta gas terlarut dan berbagai substansi organik misalnya, urea, asam urat, mukus, imunoglobulin A, enzim bakteriolitik lisozim, dan amilase. Ion klorida berfungsi untuk aktivasi enzim amilase, ion bikarbonat dan fosfat memberikan efek buffer terhadap makanan asam dalam mulut sehingga pH saliva tetap (pH 6,35-6,85). Adanya urea dan asam urat menunjukkan bahwa kelenjar saliva turut serta dalam metabolisme zat yang tidak diperlukan tubuh. Mukus berperan untuk lubrikasi makanan sehingga dapat bergerak bebas dalam mulut dan membentuk bolus yang mudah ditelan. IgA akan mencegah perlekatan mikroba sehingga tidak dapat berpenetrasi ke dalam jaringan epitelium, dan enzim lisozim akan membunuh bakteri. Namun, berbagai substansi bakteriolitik tersebut tidak terdapat dalam jumlah yang cukup untuk membunuh semua bakteri dalam mulut (Tortora dan Derrickson, 2006).

Mekanisme sekresi saliva

Salivasi dikontrol oleh sistem saraf autonom. Jumlah saliva yang disekresi setiap hari bervariasi antara 1.000-1.500 mL. Normalnya, stimulasi parasimpatis yang akan menyebabkan sekresi saliva berkelanjutan pada jumlah yang tetap, sehingga kelembaban mukosa tetap terjaga pada saat berbicara. Pada saat stress, stimulasi saraf simpatis akan mendominasi sehingga menyebabkan sekresi saliva berkurang dan mulut menjadi kering.

Salah satu stimulator kuat pada sekresi kelenjar saliva adalah makanan. Zat kimia dalam makanan akan menstimulasi reseptor papila pengecapan pada lidah, kemudian impuls diantar menuju dua buah nukleus salivarius pada batang otak yaitu, nukleus salivarius superior dan inferior. Serabut saraf parasimpatis pada nervus fasialis (VII) dan nervus glossofaringeal (IX) akan menstimulasi sekresi saliva. Stimulasi kelenjar saliva juga dapat terjadi dengan mencium, melihat, mendengarkan, ataupun memikirkan makanan (Tortora dan Derrickson, 2006).Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Sekresi Kelenjar Saliva

Banyak faktor yang mempengaruhi sekresi saliva. Keadaan yang dapat mengakibatkan penurunan sekresi saliva adalah Sjgren's syndrome dan terapi kanker radiasi pada regio kepala dan leher (Eliasson dkk., 2006). Sekresi saliva yang menurun dapat menyebabkan kesukaran bicara, mengunyah dan menelan, serta penurunan fungsi antibakteri (Ariesanti, 2004). Aliran saliva terjadi secara spontan, aliran tersebut berhenti saat tidur. Pada saat bangun, aliran saliva dipengaruhi oleh banyak hal, terutama oleh karena pergerakan otot oral maupun ekstraoral yang sulit dikendalikan (Blum dan Makhlouf, 1991). Peningkatan sekresi saliva dapat distimulasi oleh stimulus mekanis, kimiawi, neuronal, psikis, maupun rangsangan sakit.(Amerogen, 1988; Engelen dkk., 2003). Perubahan jumlah dan komposisi saliva dapat berpengaruh terhadap kesehatan oral maupun sistemik. Blum dan Makhlouf (1971) menyatakan bahwa peningkatan sekresi saliva meningkat seiring dengan peningkatan berat badan. Keadaan ini dapat disebabkan karena dengan bertambah besar ukuran tubuh, ukuran glandula saliva juga bertambah besar (Boyd, 1941). Selain itu, pada saat tubuh kekurangan cairan, kelanjar saliva akan berhenti mensekresikan saliva dan menyebabkan kekeringan dan sensasi rasa haus. Minum akan mengembalikan hemostasis cairan tubuh dan juga akan kembali menjaga kelembaban mulut (Tortora dan Derrickson, 2006).

Sebagian besar saliva yang disekresi pada stimulasi pengunyahan (70%) berasal dari kelenjar parotis (Yeah, 2000). Kelenjar parotis lebih mudah distimulasi karena terletak di dekat otot maseter yang merupakan otot pengunyahan (Amerogen,1988).

2. Gangguan/Penyakit Kelenjar Saliva dan Pengaruhnya pada Sistem Stomatognasi dan Sistem Tubuh secara KeseluruhanGangguan/penyakit kelenjar saliva dapat dibedakan berdasarkan kausanya, di antaranya: trauma reaktif, iatrogenik, kelainan developmental/herediter/keturunan, dan defek imun.

A. Trauma Reaktif

Gangguan kelenjar saliva yang berasal dari trauma reaktif contohnya adalah mucocele dan ranula. Mucocele merupakan akibat dari trauma yang umumnya terjadi pada bibir bawah yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada muara glandula salivarius minor. Mucocele menyebabkan terjadinya extravasasi mucus dan penampakannya adalah lesi yang menyerupai kista berbentuk seperti kubah, kebiruan, translusen, tidak sakit dan berdiameter hingga 1 cm. Predileksi dari mucocele adalah mukosa bibir bawah, mukosa bukal atau ventral lidah. Sedangkan ranula merupakan suatu bentuk mucocele yang besar yang terletak di dasar mulut yang dapat turut melibatkan glandula sublingual. (Scully,2004)

B. IatrogenikGangguan kelenjar saliva yg bersifat iatrogenik adalah gangguan yang terjadi karena adanya efek obat-obatan yang diberikan oleh dokter dan irradiasi neoplasma pada region kepala dan leher.

Penyebab iatrogenik tersebut antara lain:i. Obat-obatan

Atropine, atropinics, dan hyoscine.

Antidepressants: tricyclic (amitriptyline, nortriptyline, clomipramine, dan dosulepin), selective serotonin re-uptake inhibitors (fluoxetine), dan lithium.

Antihypertensives.

Antihistamines.

Antireflux agents: proton-pump inhibitors, omeprazole.

Antikolinergik

ii. Iradiasi (penyinaran)

iii. Graft-versus-host Disease

(Scully, 2004)

C. Kelainan developmental/herediter/keturunan

Agenesis dari kelenjar saliva sangat jarang terjadi, tetapi kadang-kadang ada pasien yang mengalami keluhan mulut kering sejak lahir. Hasil sialograf menunjukkan adanya cacat yang besar dari kelenjar saliva (HaskelldanGayford,1990).

Kelainan syaraf yang diikuti gejala degenerasi, sepertisklerosismultipleakan mengakibatkan hilangnya innervasi kelenjar saliva, kerusakan pada parenkim kelenjar dan duktus, atau kerusakan pada suplaidarahkelenjarsalivajugadapat mengurangi sekresi saliva (AI-Saif,1991).D. Defek ImunSindromSjogren: merupakan penyakit autoimun jaringan ikat yang dapat mempengaruhikelenjarairmatadankelenjarsaliva.Sel-sel asini kelenjar saliva rusak karena infiltrasi limfosit sehingga sekresinya berkurang (AI-Saif,1991)3. Etiologi, Patogenesis, Perangai Klinis, Histopatologi, dan Diagnosis Banding Gangguan/Penyakit Kelenjar Saliva berdasarkan Kausanyaa. Obstruksi Kelenjar Saliva A. Lesi obstruktif

1. Mucocele. Gambaran klinis: lesi dari kelenjar minor seperti kista lebih dari 90% kasus ditemukan di bibir bawah dan juga mukosa bukal dan permukaan ventral dari lidah.

2. Ranula. Gambaran klinis: ranula terjelas digambarkan sebagai mucocele dasar mulut sekunder karena ekstravasasi kelenjar liur sublingual ke daerah sekitarnya. Patogenesis: lesi biasanya tidak nyeri dan dapat menyebabkan deviasi lidah saat membesar.

B. Penyakit autoimun

Sindrom sjogren. Gambaran klinis: secara klasik digambarkan terdiri dari keratokonjungtvitas sika,xerostomia dan arkritis rematoid. Penyakit ini mengenai terutama usia pertengahan,dan menunjukkan predileksi yg nyata untuk pasien wanita (10:1). Patogenesis: penyakit sindrom Sjogren mempunyai risiko yang meninggi untuk limfoma.

C. Gangguan inflamasi

Sialometaplasi nekrotikan. Gambaran klinis: sialometaplasia nekrotikan adalah reaksi kelenjar inflamasi jaringan kelenjar liur, Ini dapat timbul sebagai daerah ulcerasi seringkali bilateral,pada langit-langit lunak dan juga dapat terjadi pada mukosa bukal bibir daerah retromolar. Lesi ini khasnya tidak sakit. Pasien laki-laki terkena lebih sering dari pada pasien wanita.

D. Tumor kelenjar liur

1. Tumor Jinak

a. Adenoma monomorfik. Gambaran klinis: adenoma monomorfik mempunyai predileksi pada kelenjer liur mayor dan bibir atas biasanya dtemukan pada pasien tua (median usia 60 tahun) dengan predileksi pada pria lebih sering ( 5:1) biasanya tumbuh dengan lambat.

b. Adenom pleomarfik. Gambaran klinis: Adenoma pleomorfik adaah neoplasma kelenjer liur yang tersering, kira-kira 80-90% kasus ini terjadi di kelenjar parotis,terutama pada lobus superfisil dari kelenjar superfisial dari saraf facial. Tumor ini terjadi pada tiap kelenjar liur mayor maupun minor. lesi yang terjadi mempunyai frekuensi yang sedikit lebih besar pada pasien wanita,biasanya tidak sakit,nodul tumbuh lambat dengan pembesaran yang intemiten. Tumor ini terjadi pada dasawarsa kelima sampai ketujuh. Tumor ini dapat digerakkan,nodular,massa bulat,biasanya tanpa nyeri atau kelumpuhan saraf facial. Patogenesis: adenoma pleomorfil dapat mengalami transformasi keganasan,terutama pada lesi yang tidak diobati untuk waktu yang lama atau pada keadaan rekuren multipel.c. Onkositoma. Gambaran klinis: onkositoma adalah tumor jinak yang jarang,kecil (diameter 3-5 mm) dan tumbuh lamnbat. biasanya timbul pada kelenjar parotis. Pasien biasnaya berusia sedikitnya 50 tahun wanita lebih sering dari pada pria. Lesi tidak nyeri dan gambarn klini sridak membedakan tumor ini dengan tumor jinak yang lainnya.

d. Tumor warthin ( kistademoma linfomatosa papilaris). Gambaran klinis: tumor ini ditemuka terutama pada laki-laki usuia pertenahana (5:1 bila dibandingkan dengan wanita berkapsul biasanya superficial tidak nyeri dan kenyal sampai lunak pada perabaan. Selalu ditemuka pada kelenjar parotis dan bilateral pada kira-kira 7% pasien. lesi ini biasanya berdiameter 3-4 cm pada saat diagnosis dibuat. Secara klinis tidak dapat dibedakan dengan tumor lain.2. Tumor ganas

a. Karsinoma sel asinik. Gambaran klinis: karsinoma sel asinik ditemukan terutama pada kelenjar parotis tetapi dapat terjadi pada kelenjar liut intraoral mayor dan minor lainnya.b. Karsinoma adenoid kistik. Gambaran klinis: tumor yang berasal dari kelenjar liur ditandai dengan pertumbuhan yang lambat nyeri kelumpuhan saraf fasialis (VII) jika terkena tumor adalah kelenjar parotis. invasi local dan fiksasi massa tumor. Tempat sering terjadi adalah kelenjar parotis dan submaksilarissedangkan pada mulut sering ditemukan pada langi-langit dan lidah. Lesi oral sering berulcerasi dan tumor yang menginvasi ruang perineural secara dini. Tumor paling sering ditemukan pada dasawarsa kelima dan keenam, secara klinis lei dapat menyerupai lesi jinak kelenjar liur. Patogenesis: tumor metastasis pda perjalanan penyakit yang berlanjut dengan penebaran jauh ke paru-paru tulang dan otak.c. Adenoma pleomorfik malignan. Gambaran klinis: tumor ini dapat mewakili degenerasi ganas dari adenoma pleomorfik yang berlangsung lama atau timbulnya neoplasma ganas primer.d. Karsinoma mukoepidemiod. Gambaran klinis: karsinomamukoepidemoid merupakan kurang dari 10 persen semua tumor kelenjar liur tetapi lebih dari sepertiga keganasan semua kelenjar liur. Daerah utama yang terkena adalah kelenjar parotis.e. Karsinoma sel skuamosa. Gambaran klinis: keganasan yang jarang terjadi pada kelenjar liur ini tampak nya berasal dari saluran liur. Prognosisnya buruk. Lesi ditemukan pada kelenjar liur mayor,terutama terjadi pada pasein yang telah menerima radiasi pengion disekitar daerah kelenjar yang terkena. Rekurensi local karsinoma sel skuamosa dengan metastasi kelenjar getah bening harus segera diatasi dan kemungkina merupakan bagian kompleks dari gejala yang tampak. Temuan klinis spesifik yang terbatas pada sifat klinikopatologisnya adalah sederhana tetapi sulit dideskripsikan.

b. Kelainan Kelenjar Saliva (termasuk dalam istilah klinis mucocele) Sialolithiasis ( salivary stone)

Prevalensi sialolithiasis sulit diukur haltersebut disebabkan banyak kasus asimptomatik. Sialolit merupakan kalsifikasi dan zat organik yang berasal dari sistem sekretori dari glandula salivarius mayor. Etiologi pembentukan sialolit masih belum diketahui, meskipun demikian terdapak banyak faktor yang berkontribusi dalam pembentukan stone,inflamasi, irregularitas dari sistem duktus, dan medikasi antikolinergik yang dapat menyebabkan genangan saliva pada duktus, yang memicu pembentukan stone. Beberapa penelitian menunjukan bahwa terdapat kemungkinan perubahan konsentrasi ion hidrogen saliva (pH), serum kalsium yang abnormal, dan diet dapat menyebabkan pembentukan sialolit, tetapi perubahan yang konsisten tidak ditemukan. Sehingga hal tersebut belum menjelaskan secara pasti. Struktur sialolit dikenal sebagai kristalin dan pembentuk utamanya adalah hidroksi apatite. Komposisi kimia adalah kalsium fosfat dan karbon, dengan sedikit kandungan magnesium, potasium klorid, dan amonium. 50% terjadi sialolit glandula parotis dan 20% sialolith submandibular mengalami sedikit kalsifikasi. Sialolith terlihat secara sigifikan pada penampakan klinis, karena tidak dapat terdeteksi dengan radiograf. Glandula submandibular merupakan tempat yang sering mengalami sialolit, 80-90% terjadi pada glandula tersebut. Glandula parotis terjadi 5-15% kasus, dan 2-5 % kasus terjadi pada glandula sublingual dan glandula salivarius minor. Pembentukan sialolith banyak terjadi pada glandula submandibular karena: aliran / jalan dari duktus warthon, tingginya kandungan kalsium dan fosfat, posisi glandula submandibular yang cendenrung statis. Pasien dengan sialolith biasanya menunjukan histori akut, sakit, dan pembengkakan yang intermiten pada glandula salivarius mayor. Simptom yang terjadi tergantung pada glandula salivarius yang terobstruksi dan menunjukan infeksi sekunder. Makan dapat menginisiasi pembengkakan glandula. Stone sebagian akan mengeblok aliran dari saliva, dan menyebabkan genangan saliva pada duktus dan badan glandula. Glandula saliva memiliki kapsul, sehingga hanya sedikir ruang untuk ekspansi. Jika terjadi pembesaran maka akan terasa sakit. Glandula biasanya membesar, dan sakit bila ditekan. Saliva yang statis akan memicu infeksi, fibrosis, dan atropi glandula. Fistula, sinusitis, dan ulserasi dapat terjadi jika terbentuk stone yang kronis. Pada hasil pemeriksaan sering ditemukan terjadi reaksi inflamasi di sekitar duktus yang mengalami sialolith. Infeksi bakteri juga dapat terjadi pada keadaan kronis. Komplikasi yang sering terjadi pada siololith adalah sialadenitis, ductal stricture, dan ductal dilatation. (Greenberg dan Glick, 2003).

(Neville dkk.,2003)

Pemeriksaan radiografik biasanya dibutuhkan jika tidak dapat dilakukan dengan palpasi bimanual. Meskipun demikian kalsifikasi yang sedikit pada sialolith tidak dapat diperiksa dengan radiograf. Radiogaraf yang direkomendasikan adalah dengan melihat secara oklusal, namun demikian pada glandula parotis tidak dapat terlihat jelas, dikarenakan struktur anatomi glandula tersebut. Sehingga biasa dipakai teknik antero posterior. (Greenberg dan Glick, 2003)

(Neville dkk.,2003)

Gambar radiograf sioalolith pada glandula submandibular secara oklusal

Treatment

Selama fase akut, terapi sangat dibutuhkan. Dilakukan pemberian analgesik, hidrasi, antibiotik dan antipiretik jika dibutuhkan. Pembedahan dilakukan untuk drainase seringkali dibutuhkan. Stone di orifis duktus atau didekatnya dapat dihilangkan dengan memarah glandula, tetapi ston yang dalam memerlukan bedah. Lokasi dari duktus diukur untuk menentukan sejauh mana bedah dilakukan. (Greenberg dan Glick, 2003)

Mucocele ( fenomena retensi mukus, kista retensi mukus)

Retensi sekresi mukus dalam jaringan subepitel disebut fenomena retensi mukus, yang telah disubdivisikan ke dalam dua tipe . tipe pertama, fenomena retensi mukus, tipe retensi atau kista retensi mukus, dibatasi oleh epitel duktus dan merupakan akibat genangan mukus dalam duktus ekskresi yang tersumabt dan melebar. Tipe kedua, fenomena retensi mukus tipe ekstravasasi atau kista ekstravasasi mukus, tidak ada batas-batas epitel. Kista biasanya dikelilingi oleh granulomatosa dan berasal dari trauma yang memutuskan suatu duktus, diikuti genangan mukus di luar duktus glandula saliva tambahan dalam jaringan ikat. (Langlais dan Miller, 2000).

Fenomena retensi mukus merupakan pembengkakan dari bibir bawah dan secara khas disebut mucocele. Pembengkakan-pembengkakan ini tanpa gejala, lunak berfluktuasi, abu-abu kebiruan dan biasnaya diameternya kurang dari 1 cm. Pembesaran yang terjadi pada waktu makan merupakan temuan yang kadang-kadang dijumpai. Lokasi yang peling umum adalah bibir bawah ditengah antara garis tengah dan komisura, tetapi dapat juga timbul di lokasi lain seperti mukosa pipi, palatum dan dasar mulut, lidah ventral. Anak-anak dan dewasa mudah terkena. Trauma adalah etiologinya, yang memudahkan lesi-lesi kambuh. Pasien biasanya mempunyai keprihatinana estetika dan menghendaki pembuangan lesi secara bedah. Lesi negatif pada diaskopi, tetapi mengeluarkan cairan bening pada aspirasi. Perawatan adalah dengan biopsi eksisi dan pemeriksaan histopatologis. Meskipun jarang , kekambuhan mungkin terjadi jika mucocele tidak dieksisi dengan baik atau jika duktus duktus lain terpotong selama pembedahan. (Langlais dan Miller, 2000)

(Neville dkk.,2003)

Ranula (mucocele dari kelenjar sublingualis)

Ranula adalah suatu kista besar yang berisi mucin di dasar mulut. Ranula mirip dengan fenomena retansi mukus, kecuali ukurannya lebih besar. Ranula tebentuk sebagai akibat terhalangnya aliran saliva yang normal melalui duktus ekskretori mayor yang besar atau terputusnya kelenjar sublingual ( duktus batholin) atau kelenjar submandibuler ( duktus warthon). Tidak ada predileksi jenis kelamin dan biasanya mengenai orang dengan usia dibawah 40tahun. Terdapat 2 tipe ranula, yaitu ranula superfisial yang tampak sebagi pembengkakan lunak, dapat ditekan, timbul di dasar mulut. Dan ranula dissecting atau plunging yang menerobos di bawah otot milohioideus dan menimbulkan pembengkakan submental. Tanda-tanda ranula superfisial adalah translusen atau memiliki warna kebiru-biruan. Ranula tersebut unilateral, berbentuk kubah dan berfluktuasi. Jika lesi tanpa gejala terssebut membesar, maka mukosanya menjadi meregang, tipis, dan tegang. Tekanan jari tidak akan menyebabkan lesi menjadi cekung, tetapi robekan akan menyebabkan keluarnya cairan mukus. Seluruh dasar mulut dapat diisi oleh pebengkakan, yang mengangkat lidah dan merintangi gerakan. Ini mengganggu pengunyahan, penelanan, dan bicara. Ranula dapat dibedakan dari pembengkakan dasar mulut yang lain seperti kista dermoid dan karsinoma mukoepidermoid kelenjar submandibular dengan sialografi. Perawatannya adalah eksisi atau marsupialisasi ( operasi Partsch), yang terdiri atas menginisiasi mukosa setempat dan menjahit sisi dinidng yang kistik ke dasar mulutnya. Inisiasi dan drainase bukanlah pilihan perawatan karena akan membuat cairan terkumpul kembali ketika penyembuhan. Kekambuhan adalah umum dalam kasus plunging ranula atau ranula superfisial yang dirawat tidak sempurna. Pembuangan kelenjar liur mayor yang terlibat adalah perwatan yang diindikasikan untuk ranula -ranula yang kambuh dang plunging ranula. (Langlais dan Miller, 2000)

(Neville dkk.,2003)

Kista duktus gandula salivarius ( mucus retentio cyst, terention mucocele)

Kista duktus glandula salivarius merupakan epitel yang muncul dari epitel duktus gandula salivarius minor sampai jaringan ikar pada rongga mulut. Lebih sedikit terjadi dari pada mucocele tipe ekstravasai. Kista biasanya terjadi pada anak-anak dan biasanya berkembang pada dasar mulut, bibir atas, mukosa bukal dan vestibulum. Jika letaknya superfisial, terlihat massa lunak berwarna kekuning-kuningan sampai ungu dan biru mengkilat. Jika kista terletak lebih dalam mukosa terlihat berwarna dan sering terdeteksi dengan palpasi. Kedua keadaan tersebut dapat berkembang menjadi neoplasma yang sesungguhnya, khususnya tumor glandula salivarius. Perawatan yang dilakukan adalah bedah eksisi. (Neville dkk., 2003) (Neville dkk., 2003)c. Lesi Reaktif Kelenjar Saliva sesudah Perawatan Kanker Mulut Terapi radiasi pada daerah leher dan kepala untuk perawatan kanker telah terbukti dapat mengakibatkan rusaknya struktur kelenjar saliva dengan berbagai derajat kerusakan pada kelenjar saliva yang terkena radioterapi. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya volume saliva (AI-Saif, 1991; Glass dkk,1980; Amerongan, 1991; Sonis dkk,1995). Jumlah dan keparahan kerusakan jaringan kelenjar saliva tergantung pada dosis dan lamanya penyinaran (Amerongan, 1991).

Hubungan antara dosis penyinaran dan sekresi saliva (Amerongan, 1991)

DosisGejala

< 10 GrayReduksi tidak tetap sekresi saliva

10 -15 GrayHiposialia yang jelas dapat ditunjukkan

15 -40 GrayReduksi masih terus berlangsung, reversibel

> 40 GrayPerusakan irreversibel jaringan kelenjar

Hiposialia irreversibel

Pengaruh radiasi lebih banyak mengenai sel asini dari kelenjar saliva serous dibandingkan dengan kelenjar saliva mukus (Al-Saif, 1991; Regezi dan Sciubba,1995; Amerongan, 1991). Selain berkurangnya volume saliva, terjadi perubahan lainnya pada saliva, dimana viskositas menjadi lebih kental dan lengket, pH menjadi turun dan sekresi Ig A berkurang (Amerongan, 1991; Sonis dkk,1995; Regezi dan Sciubba,1995). Waktu yang diperlukan untuk mengembalikan kecepatan sekresi saliva menjadi normal kembali tergantung pada individu dan dosis radiasi yang telah diterima (Al-Sa if, 1991).

Beberapa obat chemotherapeutic untuk kanker juga merubah komposisi dan aliran saliva, sehingga mengakibatkan xerostomia, tetapi perubahan seperti ini biasanya temporer (sementara). Pasien yang mengalami xerostomia akibat terapi radiasi atau chemotherapy kanker beresiko terkena infeksi dari flora normal rongga mulut. Oral ulserasi dapat menjadi tempat invasi untuk infeksi bakteri gram-positif dan gram-negatif, serta infeksi oportunisktik dengan organisme jamur seperti Candida (Bartels, 2006).

d. Kondisi Sistemik yang Melibatkan Kelenjar Saliva Sindrom Sjogren

Sindrom Sjogren adalah sebuah kelainan autoimun di mana sel imun menyerang dan menghancurkan kelenjar eksokrin yang memproduksi air mata dan air liur. Sel-sel asinus kelenjar saliva rusak karena infiltrasi limfosit sehingga sekresinya berkurang (AI-Saif, 1991). Sindrom ini dinamakan dari seorang ahli penyakit mata Henrik Sjogren (1899-1986) dari Swedia, yang pertama kali memaparkan penyakit ini. Sindrom Sjogren diderita oleh 1-4 juta jiwa di Amerika Serikat. Sembilan dari sepuluh pasien Sjgren adalah wanita dan usia rata-rata pada akhir 40-an.. Wanita, 9 kali lebih rentan terkena penyakit ini daripada pria (Nikolov dkk., 2009).

Gambar 1.

Infiltrasi limfoid pada jaringan glandula salivatorius minor terkait Sindrom SjogrenGejala-gejala utama pada sindrom ini adalah kekeringan mulut dan mata. Kombinasi antara xerostomia dan xerophtalmia biasa disebut sicca complex. Selain itu juga dapat menyebabkan kekeringan pada kulit, hidung, dan vagina. Pada sindroma ini, terutama sekresi ludah saat istirahat hampit tidak ada. Sindrom ini juga dapat mempengaruhi organ lainnya seperti ginjal, pembuluh darah, paru-paru, hati, pankreas, dan otak (Wikipedia, 2010).

Penyakit paling sering menyebabkan xerotomia adalah sindrom Sjogren. Manifestasi oral yang sering muncul pada sindrom Sjgren yaitu xerostomia dengan atau tanpa pembesaran glandula saliva, candidiasis, karies dentis, gangguan pengecapan, disfagia, nafas berbau (Bartels, 2009).

Berikut adalah kriteria klasifikasi yang direvisi untuk sindrom Sjgren menurut Wikipedia (2010):1. Gejala pada mata: paling tidak salah satu keadaan di bawah ini:

a. kekeringan mata selama lebih dari 3 bulan

b. rasa berulang seperti terdapat pasir atau kerikil pada mata

c. membutuhkan penggunaan obat pengganti air mata lebih dari 3 kali sehari

1. Gejala pada mulut: paling tidak salah satu keadaan di bawah ini:

a. perasaan mulut kering setiap harinya selama lebih dari 3 bulan

b. pembengkakan kelenjar liur

c. membutuhkan bantuan air untuk membantu menelan makanan kering

2. Tanda pada mata - bukti pada mata akan sah bila terdapat hasil positif terhadap paling tidak satu tes di bawah ini:

a. Tes Schirmer, dilakukan tanpa pembiusan (