dm dan xerostomia - materi

74
I. PENDAHULUAN Diabetes adalah penyakit metabolik kronis yang disebabkan oleh ketidakmampuan sel menggunakan glukosa akibat kurangnya produksi atau tidak adekuatnya insulin dari sel Beta pankreas. Diabetes Melitus disebut juga The Great Imitator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. (1,6) Umum diketahui bahwa penderita diabetes rata-rata mempunyai gangguan kesehatan gigi. Hal ini diperkuat dengan studi penelitian di Amerika Serikat yang menyatakan penderita kerusakan gigi kronis bisa menjadi pengidap penyakit diabetes mellitus tipe 2. Pada kerusakan gigi yang parah, bakteri dapat masuk ke aliran darah dan mengganggu sistem kekebalan tubuh. Sel sistem kekebalan tubuh yang rusak melepaskan sejenis protein yang disebut cytokines. Cytokines inilah penyebab kerusakan sel pankreas penghasil insulin, hormon yang memicu diabetes Penemuan peneliti AS ini diumumkan saat simposium National Institute of Dental and Craniofacial Research di Maryland. Dr. Anthony Iacopino, ahli gigi di Marquette University School of Density, Wisconsin mengatakan bahwa di dalam pankreas, sel yang bertanggung jawab sebagai penghasil insulin dirusak oleh kandungan cytokines yang tinggi. Jika ini terjadi sekali saja, maka seseorang berpeluang menderita diabetes tipe 2, walaupun orang itu sebelumnya dalam keadaan sehat. (2) Selain itu berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan para ahli dari Kuwait (Journal of Periodontology) pada November 2005 dilaporkan bahwa satu dari lima orang penderita penyakit gusi (ginggiva) mengalami diabetes tipe 2. Sementara itu dokter gigi dari Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Indonesia, drg Zaura Rini Matram menambahkan, dalam pertemuan tahunan "American Association for the Advancement of Science" pada 1999 diungkapkan bahwa sakit gigi dan gusi dapat mengakibatkan penderita diabetes semakin parah, sebab penyakit itu telah memicu tidak terkontrolnya kadar gula darah.(3) Pada penderita diabetes copotnya gigi sulit dicegah, gusi akan mudah bengkak dan berdarah (4), mulut mudah berbau (4,5), baunya khas seperti bau aseton(5), serta gigi gampang goyah dan tanggal. Selain

Upload: deknis-styawn

Post on 01-Jan-2016

327 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: DM Dan Xerostomia - Materi

I. PENDAHULUAN

Diabetes adalah penyakit metabolik kronis yang disebabkan oleh ketidakmampuan sel menggunakan glukosa akibat kurangnya produksi atau tidak adekuatnya insulin dari sel Beta pankreas. Diabetes Melitus disebut juga The Great Imitator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. (1,6)

Umum diketahui bahwa penderita diabetes rata-rata mempunyai gangguan kesehatan gigi. Hal ini diperkuat dengan studi penelitian di Amerika Serikat yang menyatakan penderita kerusakan gigi kronis bisa menjadi pengidap penyakit diabetes mellitus tipe 2. Pada kerusakan gigi yang parah, bakteri dapat masuk ke aliran darah dan mengganggu sistem kekebalan tubuh. Sel sistem kekebalan tubuh yang rusak melepaskan sejenis protein yang disebut cytokines. Cytokines inilah penyebab kerusakan sel pankreas penghasil insulin, hormon yang memicu diabetes

Penemuan peneliti AS ini diumumkan saat simposium National Institute of Dental and Craniofacial Research di Maryland. Dr. Anthony Iacopino, ahli gigi di Marquette University School of Density, Wisconsin mengatakan bahwa di dalam pankreas, sel yang bertanggung jawab sebagai penghasil insulin dirusak oleh kandungan cytokines yang tinggi. Jika ini terjadi sekali saja, maka seseorang berpeluang menderita diabetes tipe 2, walaupun orang itu sebelumnya dalam keadaan sehat. (2)

Selain itu berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan para ahli dari Kuwait (Journal of Periodontology) pada November 2005 dilaporkan bahwa satu dari lima orang penderita penyakit gusi (ginggiva) mengalami diabetes tipe 2. Sementara itu dokter gigi dari Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Indonesia, drg Zaura Rini Matram menambahkan, dalam pertemuan tahunan "American Association for the Advancement of Science" pada 1999 diungkapkan bahwa sakit gigi dan gusi dapat mengakibatkan penderita diabetes semakin parah, sebab penyakit itu telah memicu tidak terkontrolnya kadar gula darah.(3)

Pada penderita diabetes copotnya gigi sulit dicegah, gusi akan mudah bengkak dan berdarah (4), mulut mudah berbau (4,5), baunya khas seperti bau aseton(5), serta gigi gampang goyah dan tanggal. Selain itu, terlalu lama mengonsumsi obat diabetes yang tidak terkontrol juga mengakibatkan jaringan gusi membesar.(4)

Juru bicara British Dental Association (BDA) mengatakan bahwa segala yang terjadi pada tubuh manusia selalu bisa dihubungkan dengan penyakit gangguan gigi. Maka bukan tak mungkin bahwa diabetes hanya salah satu gangguan kesehatan yang ada hubungannya dengan penyakit gigi. Ia juga menyarankan agar setiap orang membiasakan menggosok gigi dua kali sehari dengan pasta gigi flouride serta mengunjungi dokter gigi secara reguler.(2)

II. DIABETES MELITUS

Page 2: DM Dan Xerostomia - Materi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2003, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, dan disfungsi beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah, yang menimbulkan berbagai macam komplikasi, antara lain aterosklerosis, neuropati, gagal ginjal, dan retinopati. Sedikitnya setengah dari populasi penderita diabetes lanjut usia tidak mengetahui kalau mereka menderita diabetes karena hal itu dianggap merupakan perubahan fisiologis yang berhubungan dengan pertambahan usia.(6)

Diabetes merupakan penyakit metabolisme yang rumit yang ditandai dengan hipofungsi atau ketiadaan fungsi pulau-pulau Langerhan pankreas, dengan akibat peningkatan kadar glukosa darah dan ekskresi gula melalui urin.(7) Ada dua tipe diabetes Mellitus :

1. Insulin – Dependent Diabetes Mellitus (IDDM/Tipe I)

2. Non Insulin – Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM/Tipe II).(6,7)

Pada Diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan predisposisi untuk kerusakan autoimun sel beta pankreas. Respon autoimun dipacu oleh aktivitas limfosit, antibodi terhadap sel pulau langerhans dan terhadap insulin itu sendiri. Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal, tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam darah menjadi meningkat.(6)

Tabel 1. Karakteristik diabetes melitus tipe I dan tipe II

DM TIPE I DM TIPE II

§ Mudah terjadi ketoasidosis

§ Pengobatan harus dengan insulin

§ Onset akut

§ Biasanya kurus

§ Biasanya terjadi pada umur yang masih muda

§ Berhubungan dengan HLA-DR3

dan DR4

§ Didapatkan antibodi sel islet

§ 10%nya ada riwayat diabetes pada keluarga

Page 3: DM Dan Xerostomia - Materi

§ 30-50 % kembar identik terkena

§ Sukar terjadi ketoasidosis

§ Pengobatan tidak harus dengan

insulin

§ Onset lambat

§ Gemuk atau tidak gemuk

§ Biasanya terjadi pada umur > 45

tahun

§ Tidak berhubungan dengan HLA

§ Tidak ada antibodi sel islet

§ 30%nya ada riwayat diabetes pada

keluarga

§ ± 100% kembar identik terkena

Sumber : Priyanto, Diabetes Melitus Pada Lanjut Usia, Kepaniteraan Gerontologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Trumanagara Sasana Tresna Werda Yayasan Karya Bakti RIA Pembangunan. PERKENI, Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, 2002

Kriteria diagnostik diabetes mellitus dan gangguan toleransi glukosa menurut WHO 1985:

a. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200mg/ dl, atau

b. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl, atau

c. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg / dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram

pada TTGO

Menurut Kane et al (1989), diagnosis pasti DM pada lanjut usia ditegakkan kalau didapatkan kadar glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dl. Apabila kadar glukosa puasa kurang dari 140 mg/dl dan terdapat gejala atau keluhan diabetes seperti di atas perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan Tes

Page 4: DM Dan Xerostomia - Materi

Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Apabila TTGO abnormal pada dua kali pemeriksaan dalam waktu berbeda diagnosis DM dapat ditegakkan.(6)

Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM

Kadar glukosa (mg/dl ) Bukan DM Belum pasti

DM DM

Sewaktu Plasma Vena < 110 110 – 199 ≥ 200

Darah Kapiler < 90 90 – 199 ≥ 200

Puasa Plasma Vena < 110 110 – 125 ≥126

Darah Kapiler < 90 90 – 109 ≥110

Sumber : Priyanto, Diabetes Melitus Pada Lanjut Usia, Kepaniteraan Gerontologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Trumanagara Sasana Tresna Werda Yayasan Karya Bakti RIA Pembangunan. PERKENI, Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, 2002

Diabetes bukan suatu penyakit yang dapat diobati, pengobatan yang dilakukan mempunyai 4 tujuan :

Ø Untuk menormalkan tingkat kadar glukosa darah

Ø Untuk mencegah komplikasi akut dan mengurangi gejala

Ø Untuk memelihara berat badan ideal

Ø Untuk mencegah dan mengurangi komplikasi kronis

Dokter gigi harus familiar dengan obat-obatan yang digunakan pada penderita diabeteas; daftar obat diabetes yang secara umum digunakan adalah : agen hipoglikemik oral meliputi sulfonil urea (meningkatkan sekresi insulin, biguanides (mengurangi produksi glukosa hati), penghambat alfa-glukosidase ( memperlambat absorpsi glukosa) dan thiazolidinediones (meningkatkan sensitivitas insulin). Insulin bisa digunakan dalam formula short-acting (1 – 1,5 jam), regular – acting ( 4 – 6 jam), intermediate – acting ( 8 – 12 jam) dan long – acting (24 – 36 jam). (8)

III. PREVALENSI DAN INSIDEN DIABETES

Pada tahun 1999, Pusat Statistik Kesehatan National melaporkan lebih dari 10 juta orang Amerika yang hidup dengan diabetes (tersebar antara orang kulit putih, hitam, Hispanic dan ras lainnya). Pada tahun 1997, diperkirakan 124 juta orang didunia hidup dengan diabetes. Pada tahun 2010 jumlah orang

Page 5: DM Dan Xerostomia - Materi

dengan diabetes di dunia diperkirakan sebanyak 221 juta dan di beberapa bagian tertentu di dunia (seperti Asia dan Africa) peningkatan penderita diabetes akan meningkat menjadi 2 atau 3 kali lipat.(8)

Di Indonesia saat ini Penyakit Diabetes Mellitus (DM) belum menempati skala prioritas utama dalam pelayanan kesehatan. Prevalensi DM di Indonesia sebesar 1,5 – 2,3 % pada penduduk usia > dari 15 tahun meningkat menjadi 5,6 % pada tahun 1993. Di Jakarta Prevalensi DM meningkat ari 1,7 % pada tahun 1982 menjadi 5,7 % pada tahun 1993. DM dapat menyerang warga segala lapisan umur dan sosial ekonomi, sebagian besar DM adalah tipe 2 yang terjadi lebih dari 90% biasanya pada usia 40 tahun ke atas.(9)

IV. GEJALA DAN TANDA DI MULUT PADA PENDERITA DIABETES

1. Gingivitis dan Periodontitis

Periodontitis merupakan salah satu penyakit terpenting jaringan penyangga gigi yang paling luas penyebarannya dalam masyarakat. Penyakit pada jaringan periodontal yang bersifat khronis dapat menyebabkan kerusakan pada serabut periodontal. Penyakit periotodontal yang berlanjut dapat menyebabkan hilangnya jaringan penyangga gigi, yang dapat menyebabkan gigi goyah.

Keadaan adanya Diabetes Melitus merupakan suatu tanda meningkatnya kerentanan terhadap infeksi, dimana DM merupakan faktor predisposisi penting terhadap timbulnya infeksi. Di dalam mulut DM dapat meningkatkan jumlah bakteri sehingga menyebabkan adanya kelainan jaringan periodontal. Pada penderita DM tipe 2 dengan hiperlipidemi dijumpai adanya inflamasi gingival yang parah dan hilangnya perlekatan pada jaringan periodontal. Berkembangnya penyakit periodontal dengan DM mengakibatkan kerusakan pada jaringan periodontal lebih parah sehingga gigi menjadi goyah dan akhirnya lepas.(9) Gusi membengkak sehingga gigi tampak keluar ( modot).(6)

Pada penderita diabetes copotnya gigi sulit dicegah, gusi akan mudah bengkak dan berdarah (4), mulut mudah berbau (4,5), baunya khas seperti bau aseton(5), serta gigi gampang goyah dan tanggal. Selain itu, terlalu lama mengonsumsi obat diabetes yang tidak terkontrol juga mengakibatkan jaringan gusi membesar.(4)

Beberapa penelitian mengkonfirmasikan bahwa DM dapat menyebabkan kegoyahan yang didahului adanya penyakit pada jaringan periodontal. Overview dari bukti penelitian tentang hal ini telah dipublikasikan pada tahun 1994, dimana diteliti 1426 orang berusia antara 25-74 tahun secara cross sectional, menemukan bahwa DM merupakan penyakit sistemik yang berhubungan dengan kegoyahan gigi dengan OR: 2,32, 95% CI: 1,70 – 4,60. Dari data cross sectional, pada penelitian 72 orang penderita DM kasus baru dan 82 orang penderita DM kasus lama, serta 77 orang sebagai kontrol yang berusia 40--49 tahun, dengan matching umur dan jenis kelamin, diketahui bahwa penyakit periodontal (periodontitis) lebih banyak pada penderita DM dibandingkan dengan kontrol, dan pada penderita DM kasus lama lebih banyak daripada kasus baru. Pada penelitian cross sectional dan longitudinal, diketahui

Page 6: DM Dan Xerostomia - Materi

bahwa pada penderita DM yang tidak terkontrol dalam waktu lama dapat menyebabkan terjadinya penyakit periodontal yang lebih parah dan hilangnya gigi dibandingkan dengan DM yang terkontrol dan yang tidak menderita DM.(9)

Dalam sebuah penelitian prevalensi penyakit periodontal 9,8% pada 263 pasien dengan diabetes tipe 1 dibandingkan dengan 1,7 % orang tanpa diabetes. Sebuah penelitian kecil yang menghubungkan pasien dengan diabetes tipe 2 dengan penyakit periodontal, memperlihatkan bahwa pasien dengan diabetes tipe 2 tiga kali lebih mudah mendapatkan penyakit peridontal dibandingkan dengan orang tanpa diabetes. Sebuah penelitian lain menaksirkan ketika orang dengan diabetes merokok, maka mereka mempunyai kemungkinan 20 kali lebih besar untuk mengalami periodontitis dengan kehilangan tulang pendukung dibanding dengan mereka yang tanpa diabetes.(11)

Ada beberapa hipotesa mengenai keterlibatan DM sebagai faktor etiologi penyakit gingiva dan periodontal :

a. Terjadinya penebalan membran basal

Pada penderita diabetes melitus membran basal kapiler gingiva mengalami penebalan sehingga lumen kapiler menyempit. Menyempitnya lumen ini menyebabkan terganggunya difusi oksigen, pembuangan limbah metabolisme, migrasi leukosit polimorfonukleus, dan difusi faktor-faktor serum termasuk antibodi.

b. Perubahan biokimia

Level cyclic adenosine monophospate (cAMP) yang efeknya mengurangi inflamasi pada penderita diabetes melitus menurun; hal mana diduga menjadi salah satu sebab lebih parahnya inflamasi gingiva pada penderita diabetes melitus

c. Perubahan Mikrobiologis

Peningkatan level glukosa dalam cairan sulkular dapat mempengaruhi lingkungan subgingival, yang dapat menginduksi perubahan kualitatif pada bakteri yang pada akhirnya mempengaruhi perubahan periodontal

d. Perubahan Imunologis

Meningkatnya kerentanan penderita diabetes melitus terhadap inflamsi diduga disebabkan oleh terjadinya defisiensi fungsi leukosit polimorfonuklear (LPN) berupa terganggunya khemotaksis, kelemahan daya fagositosis atau terganggunya kemampuannya untuk melekat ke bakteri. dan

e. Perubahan berkaitan dengan kolagen

Peningkatan level glukosa bisa pula menyebabkan berkurangnya produksi kolagen . Disamping itu terjadi juga peningkatan aktivitas kolagenase pada gingiva.(7)

Page 7: DM Dan Xerostomia - Materi

Beberapa mekanisme juga telah diusulkan untuk menjelaskan peningkatan penyakit periodontal pada penderita DM antara lain : respon dari Host, subgingiva mikroflora, metabolisme kolagen, perdarahan, cairan crevicular gingiva dan faktor keturunan. Berbagai mekanisme patofisiologi juga mempunyai implikasi dalam peningkatan kehilangan tulang alveolar pada penderita diabetes.(8)

Oleh karena itu, pengobatan pencegahan periodontal harus dimasukkan dalam penatalaksanaan yang menyeluruh terhadap pasien dengan diabetes. Pengobatan meliputi penilaian awal dari progesivitas penyakit mulut, penjelasan tentang kebersihan mulut, instruksi dan penilaian yang berhubungan dengan pola makan, perlindungan dari penyakit dengan melakukan pemeriksaan gigi secara periodik.(11)

Yang paling penting dalam pengobatan penyakit periodontitis pada orang dengan diabetes melitus adalah kontrol gula darah yang teratur. Sebab dalam penelitian didapatkan terdapat penurunan penyakit periodontitis pada penderita diabetes melitus dengan kadar gula darah yang terkontrol. (9)

2. Karies Dentis

Hubungan antara diabetes dan karies gigi telah diselidiki, namun tidak ada organisasi yang menjelaskan secara tuntas. Hal ini penting untuk dicatat bahwa pasien dengan diabetes peka terhadap gangguan sensori mulut, jaringan periodontal, dan produksi air ludah, yang bisa meningkatkan resiko pembentukan baru atau muncul kembali karies pada gigi.(8)

Laju peningkatan karies gigi pada pasien muda dengan diabetes yang telah dilaporkan berhubungan dengan gangguan fungsi pembentukan saliva.(11) Faktor pembentukan karies termasuk unsur-unsur tradisional (sebagai contoh, pengukuran jumlah streptokokus, pada kerusakan gigi sebelumnya) menunjukkan baik tidaknya pengontrolan dari diabetes. Oleh karena itu diperlukan penilaian berkelanjutan oleh dokter gigi terhadap gigi busuk yang baru atau berulang.(8) Dokter gigi juga dapat memberikan pengobatan topical seperti flouride yang mengandung penyengar mulut dan penganti saliva untuk mencegah karies dan mengurangi ketidaknyamanan. (11)

3. Disfungsi Kelenjar Saliva

Ludah penderita DM seringkali menjadi lebih kental, sehingga mulutnya terasa kering, disebut xerostomia diabetic.(6,8) Pada penderita diabetes berkurangnya ludah(saliva) dipengaruhi faktor angiopati dan neuropati diabetik, perubahan pada kelenjar parotis dan karena poliuria yang berat.(1,10) Penurunan sekresi air ludah dari kelenjar parotis cenderung membuat pH menjadi turun. Disamping itu terjadi kenaikan kadar glukosa cairan mulut yang akan dimetabolisme oleh bakteri mulut menjadi asam. Pada penelitian yang dilakukan oleh Suyono Isa, dkk terhadap penderita rawat inap dan rawat jalan di Poliklinik RSUD dr. Moewardi Surakarta dari bulan Januari – Februari 2001 sebanyak 23 orang yang memenuhi kriteria DM dan didapatkan kesimpulan bahwa pH air ludah penderita diabetes secara statistik lebih rendah dibandingkan kontrol sehat.(1)

Page 8: DM Dan Xerostomia - Materi

4. Penyakit Mukosa Mulut

Diabetes sering dihubungkan dengan kemungkinan yang lebih besar dari terbentuknya kerusakan mukosa mulut. Didapatkan laporan prevalensi yang besar dari Lichen Planus dan aphthous stomatitis yang berulang.(8)

Lichen Planus secara umum merupakan suatu penyakit kronik mucocutan yang penyebabnya belum diketahui. Secara umum terjadi karena proses imunologi yang melibatkan suatu reaksi hipersensitivitas dalam tingkat mikroskopik. Hal ini ditandai dengan infiltrasi dari limfosit T yang intens (sel CD4+ dan khususnya sel CD8+) yang ditempatkan pada sambungan antara epitel dan jaringan ikat. Regulasi sel imun lainnya (seperti makrofag, sel dendrit, sel Langerhans) dapat terlihat terjadi peningkatan jumlah didalam lesi Lichen Planus. Tampaknya tidak ada hubungan antara Lichen Planus dan hipertensi atau diabetes melitus (ini adalah sindrom Grispan’s) yang awalnya diusulkan.

Bagaimanapun, penelitian terhadap 40 pasien dengan Lichen Planus didapatkan 11 pasien (28 %) mempunyai riawayat diabetes yang laten, dibandingkan dengan yang tidak mempunyai riwayat pada kelompok kontrol, hal ini menyiratkan kemungkinan adanya hubungan terhadap imunopathogenesis dari Lichen Planus.(11)

5. Infeksi pada Mulut

Manifestasi lain diabetes dan suatu tanda dari imunosupresif sistemik adalah hadirnya infeksi oportunis seperti candidiasis oral. Infeksi jamur pada permukaan mukosa oral dan pemindahan protheses lebih umum ditemukan pada orang dewasa yang mengidap diabetes. Pseudohifa dari kandida merupakan tanda utama dari infeksi candida pada mulut, dan mempunyai hubungan yang signifikan dengan perokok sigaret, penggunaan gigi palsu dan kontrol gula darah yang rendah pada orang dewasa pengidap diabetes. Penurunan pembentukan air ludah mungkin juga meningkatkan infeksi candida pada penderita diabetes.(8)

Lesi oral yang dihubungkan dengan kandidiasis meliputi median rhomboid glossitis (atropi pusat papila), glositis atofi, stomatits akibat gigi palsu, kandidiasis pseudomembran dan kheilitis angular. Kandida albican adalah bagian dari mikroflora normal pada mulut yang jarang menginfeksi mukosa mulut tanpa disertai faktor predisposisi. Faktor tersebut meliputi, kondisi penekanan imunologi (misalnya pada AIDS, kanker atau diabetes), pemakaian gigi palsu yang berhubungan dengan kebersihan mulut yang kurang dan penggunaan obat antibiotik spektrum luas dalam jangka panjang. Gangguang fungsi pembentukan air ludah, penekanan fungsi imun dan hipergikemi saliva menyediakan bahan untuk pertumbuhan jamur merupakan faktor pendukung terbesar untuk kandidiasis mulut pada pasien dengan diabetes.(11)

Profesional pelayan kesehatan harus siap dalam mendiagnosa kandidiasis dan memberikan pengobatan” tetapi yang lebih penting adalah menemukan penyebab infeksinya yang bisa merupakan diagnosa dari diabetes melitus.(8)

Page 9: DM Dan Xerostomia - Materi

6. Gangguan Pengecapan

Lidah merupakan organ utama dalam kesehatan mulut, dan mengalami pengaruh yang kurang baik pada pasien dengan diabetes. Dalam sebuah penelitian dilaporkan bahwa lebih dari 1 – 3 orang dewasa dengan diabetes mengalami hypogeusia atau penyusutan persepsi pada lidah yang bisa menghasilkan hiperfagia dan obesitas. Gangguan fungsi sensory ini dapat menghambat kemampuan untuk memelihara suatu pola makan yang sesuai dan bisa mendorong regulasi glukosa kearah yang lebih rendah.(8)

Lidah penderita diabetes juga sering membesar dan terasa tebal sehingga terjadi gangguan pengecapan pada lidahnya.(6)

7. Kerusakan neurosensory

Pasien diabetes dilaporkan mengalami peningkatan keluhan terhadap glossodynia dan stomatopyrosis. Secara umum, gangguan sensori saraf wajah dan mulut serta sindrom mulut terbakar dihubungkan dengan diabetes melitus. Pasien kemungkinan mengalami oral dysesthesias yang lama, yang mana memberikan efek yang kurang baik bagi pemeliharaan kesehatan mulut.(8)

Sindrom mulut atau lidah terbakar biasanya secara klinis tidak memperlihatkan luka yang dapat ditemukan, walaupun gejala nyeri dan rasa terbakar dapat terasa berat. Penyebab rasa mulut terbakar bervariasi dan sering sulit diterjemahkan secara klinis. Gejala nyeri dan terbakar nampak hasil dari suatu faktor atau kombinasi dari beberapa faktor. Pada diabetes tidak terkontrol atau secara garis besar terkontrol, faktor penyebabnya bisa meliputi gangguan fungsi pembentukan saliva, kandidiasis dan abnormalitas neurologi seperti depresi. Neuropati saraf otonom dan sensorik-motorik merupakan bagian dari sindrom diabetes, dan prevalensi neuropati pada diabetes melitus mendekati 50% setelah 25 tahun dari awal terjadinya onset dari penyakit, dengan rata-rata 30 persen pada orang dewasa dengan diabetes.

Neuropati mungkin mendorong perasaan kebas atau perasaan geli pada mulut, mati rasa, rasa terbakar atau nyeri disebabkan perubahan patologis yang melibatkan persarafan di daerah mulut. Diabetes telah dihubungkan dengan gejala rasa terbakar pada mulut. Bagaimanapun neuropati pada diabetes dihubungkan dengan nyeri dan rasa terbakar pada bagian tubuh yang lain seperti pada kaki.

Untuk mengurangi gejala mulut terbakar pada penderita diabetes, faktor yang sangat menentukan adalah peningkatan terhadap kontrol gula darah, sehingga kekeringan pada mulut (xerostomia) dan kandidiasis yang merupakan faktor penyebab mulut terbakar dapat di minimalisir.(11)

V. MANAJEMEN KOMPLIKASI ORAL PADA DIABETES

Page 10: DM Dan Xerostomia - Materi

Pasien dengan kontrol gula darah yang kurang mempunyai resiko terjadinya komplikasi oral karena kepekaan mereka terhadap infeksi dan sequelae serta sangat memerlukan pemberian pengobatan suplemen antibiotik.(8)

Secara umum, orang dewasa dengan diabetes tipe 1 atau tipe 2 yang terkontrol dengan baik mungkin mempunyai risiko yang tidak signifikan untuk mengalami penyakit mulut yang progresive dibandingkan dengan mereka yang tanpa diabetes dan karenanya dapat diperlakukan dengan cara yang sama. Misalnya lesi pada corona carious yang belum menembus dentin pada pasien dengan kontrol diabetes yang baik mungkin tidak memerlukan intervensi yang segera, sedangkan suatu luka yang serupa pada penderita dengan diabetes yang kurang terkontrol ( hiperglikemia rendah sampai tinggi) mungkin memerlukan tindakan operasi segera, memberikan resiko besar yang progresiv. Secara umum resiko kemungkinan terjadinya komplikasi oral berhubungan dengan kontrol kadar gula darah dan ini dinilai dalam bagian interprestasi dari rata-rata HbA1c dan tingkat kadar gula darah 2 jam setelah makan. (11)

1. Tata cara pengobatan untuk candidiasis

Dengan pemusatan pada kandidiasis sebagai tanda secara umum atau diabetes yang tidak terkontrol, dan mempunyai hubungan sekunder dengan kelainan fungsi pembentukan saliva, beberapa pengobatan topikal dan sistemik utama dapat dilihat pada tabel dibawah ini.PENGOBATAN TERHADAP KANDIDIASIS ORAL

Jenis obat Waktu pemberian Dosis

Topikal

Clotrimazole troches1

Nystatin vaginal Supossutoria2

2 minggu

2 minggu

Dipecahkan perlahan dan dimasukkan 1 – 10 mg dalam mulut sebanyak 5 kali/hari

Dipecahkan perlahan satu tablet ( 100.000 unit) dalam mulut 6-8 kali/hari

Sistemik

Flukonazole

Ketokonazole3

Page 11: DM Dan Xerostomia - Materi

Itrakonazole4

2 minggu

2 minggu

2 minggu

100 mg/hari

200 mg/hari

200 mg/hari

1. Gunakan dengan perhatian karena mengandung gula

2. Walaupun sedian ini tidak dirancang untuk penggunaan dalam mulut, klinisi harus menemukan ini berguna untuk pengobatan kandidiasis oral ketika kandungan gula dari obat antikandida topikal lainnya menjadi perhatian. Suatu pastiles tanpa yang dibumbui tanpa gula mungkin dihancurkan secara serempak dimulut untuk menyembunyikan rasa nistatin

3. Gunakan dengan perhatian : awasi sifat hepatotoksis dengan liver fungsi test

4. Harus digunakan terhadap strain candida albicans yang resisten

Secara umum dinasehatkan kepada dokter gigi bahwa pertama yang dinilai adalah kandungan gula pada beberapa anti jamur sebelum diresepkan. Sebagai contoh clotimazole troches mempunyai kadar gula yang tinggi mungkin akan berlawanan jika diberikan pada penderita dengan diabetes.(11)

2. Tata cara pengobatan gangguan fungsi kelenjar saliva dan xerostomia

Dasar pemikiran untuk pengobatan xerostomia adalah merangsang pembentukan kelenjar saliva atau terapi pengganti saliva untuk membuat mulut tetap lembab, mencegah gigi busuk dan infeksi kandida. Manajemen pendekatan untuk mulut yang kering adalah dengan menggunakan pergantian saliva dan menstimulasinya; pendekatan ini mungkin mengurangi progresivitas atau mencegah pembentukan dari karies dentis (pembusukan gigi). (11)

3. Manajemen sindrom mulut terbakar (Burning Mouth Syndrome)

Page 12: DM Dan Xerostomia - Materi

Pada pasien dewasa dengan sindrom mulut terbakar, bermacam faktor mungkin berinteraksi secara sinergis. Pada diabetes yang tidak terkontrol, xerostomia dan kandidiasis dapat memberikan kontribusi terhadap gejala yang berhubungan dengan mulut terbakar. Sebagai tambahan untuk pengobatan terhadap kondisi ini, peningkatan dalam pengontrolan kadar gula darah penting dilakukan untuk mengurangi gejala. Pemberian dosis rendah benzodiazepins, tricyclic antidepresant dan antikonvulsan dapat membantu dalam mengurangi atau menghilangkan gejala setelah beberapa minggu atau bulan. Dosis dari obat ini disesuaikan dengan gejala yang dialami pasien. Efek samping yang berpotensi meliputi xerostomia. Konsultasi dengan dokter pasien sangat perlu karena obat ini mempunyai potensial untuk kecanduan dan ketergantungan. Pengobatan yang biasa digunakan meliputi amitriptilin, nortriptilin, clonazepam dan gabapentin. Yang menarik amitriptilin telah digunakan untuk pengobatan neuropati otonom pada diabetes. (11)

4. Manajemen periodontal dan pertimbangan bedah

Pada penderita dengan diabetes melitus perawatan periodontal hanya dapat dilakukan jika kadar gula darahnya terkontrol. Apabila akan dilakukan prosedur bedah yang agak besar, sebaiknya diberikan antibiotika satu hari sebelumnya sebagai perlindungan. (12)

Dokter gigi dapat melaksanakan prosedur pembedahan periodontal, walaupun demikian penting bagi pasien untuk memelihara suatu diet yang normal sepanjang tahap pasca pembedahan untuk menghindari hipoglikemia ( kadar gula darah yang rendah dan insulin syok) dan memastikan perbaikan yang efektif. Praktisi gigi harus meninjau ulang sejarah dari komplikasi, menilai kontrol gula darah pasien dan melakukan dialog dengan dokter yang menangani pasien dan para ahli gizi. Makin lama menderita diabetes maka semakin besar kemungkinan pada pasien terjadi pengembangan penyakit periodontalnya.

Pengobatan periodontal yang mendukung harus disajikan pada interval yang relative singkat ( 2 atau 3 bulan). Infeksi periodontal mungkin menyulitkan penderita diabetes dan derajat tingkat kontrol metabolisme. Pasien dewasa dengan diabetes yang terkontrol baik dalam mengikuti prosedur pembedahan secara umum tidak memerlukan antibiotik. Namun pemberian antibiotik sepanjang setelah tahap pembedahan merupakan hal yang sesuai, terutama sekali jika ada infeksi yang penting, rasa sakit dan stress. Pemilihan antibiotik tergantung dari bermacam faktor (sebagai contoh, tingkat kepekaan dan spesifisitas yang diharapkan dan penyebaran dari infeksi), dan harus dilakukan dengan konsultasi terlebih dahulu dengan dokter pasien.

Perhatian utama pengobatan periodontal pada pasien dengan diabetes melitus adalah non bedah. Pemberian prosedur pembedahan mengharuskan modifikasi dari pengobatan pasien sebelum dan sesudah perawatan, dan juga mungkin mendorong ke arah suatu tahap penyembuhan yang panjang pada penderita diabetes. Kombinasi debridemant non bedah dan terapi antibiotik tetrasiklin pada pasien dengan diabetes melitus yang mempunyai peridontitis mungkin mempunyai pengaruh positif yang potensial dalam pengontrolan kadar gula darah. Penggunaan tetrasiklin pada pengobatan penyakit

Page 13: DM Dan Xerostomia - Materi

periodontal telah dihubungkan dengan peningkatan kadar gula darah yang dinilai oleh pemeriksaaan HbA1c.

Beberapa dokumen yang diterbitkan sudah melaporkan suatu tambahan manfaat pada penggunaan tetrasiklin pada pengobatan penyakit periodontal, terutama sebagai penghambat degradasi enzim jaringan ikat, matriks metalloproteinase manusia. Sebagai contoh, dosis rendah dari doxicyclin telah ditunjukkan untuk menghambat kolagenase cairan crevicular gingiva pada dosis yang tidak bersifat antimikroba, dengan mantap menghilangkan resistensi dari bakteri. Tetrasiklin dapat berfungsi sebagai penghambat resorpsi tulang atau kehilangan tulang, dan kemampuan ini tidak terikat pada sifat antimikrobial yang mereka gunakan, hal ini menunjukkan arah dimensi baru terhadap manajemen pengobatan pada periodontitis.(11)

5. Manajemen penyakit mulut dengan kortikosteroid

Pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid dan obat immunomodulasi mempunyai potensial terhadap efek samping. Oleh karena itu kerjasama yang erat antara dokter dan pasien sangat diperlukan. Penggunaan steroid dalam pengobatan erosi pada liken planus terhadap pasien dengan diabetes menjadi perhatian yang pantas dipertimbangkan karena steroid dapat melawan aksi insulin dan mendorong kearah hiperglikemia. Selama pengobatan dengan steroid, pasien harus diberikan instruksi untuk mengawasi sendiri kadar gula darahnya secara teratur. Penggunaan steroid yang lama ( untuk periode lebih dari 2 minggu secara terus menerus) mungkin akan menyebabkan atrofi mukosa dan kandidiasis sekunder. Kondisi tersebut biasanya terjadi pada diabetes yang tidak terkontrol. Ketika erosi oral karena liken planus telah berkurang, steroid topikal harus dikurangkan secara bertahap lebih rendah dari frekuensi terapi terakhir, tergantung dari pengontrolan erosi dan kemungkinan untuk mengalami kekambuhan. Kemunculan obat imunomodulator non sterod (sebagai contoh, salap tacrolimus, obat topical thalidomide) mungkin berguna dalam manajemen pengobatan pada pasien dengan penyakit mukosa mulut dan diabetes yang tidak terkontrol secara bersamaan.(11)

VI. KESIMPULAN

Para dokter gigi memainkan peran utama dengan anggota yang dipadukan dalam tim kesehatan dalam menolong pasien memelihara kontrol gula darah dengan perlakuan baik terhadap infeksi mulut dan dengan menginstruksikan pasien dengan diabetes untuk memelihara kesehatan mulut dan melakukan pola makan yang sesuai. Dokter gigi bisa memainkan peran utama yang vital dalam menunjuk pasien dengan tanda dan gejala sugestif atau diabetes yang tidak terdiagnosa kepada dokter untuk evaluasi tambahan.

Page 14: DM Dan Xerostomia - Materi

Akhinya sebagai suatu anggota integral dari regu pelayanan kesehatan, dokter gigi dapat menasehati pasien dengan diabetes untuk berhenti merokok sebagai suatu faktor resiko yang bisa memperburuk kondisi pembuluh darah pada penderita diabetes.

Pasien dengan diabetes yang menerima perawatan medik dengan baik dan yang memelihara kontrol gula darah secara umum dapat menerima indikasi manapun dalam perawatan gigi. Orang dewasa dengan diabetes yang terkontrol dengan baik yang mana tanpa komplikasi sistemik harus diperlakukan dengan cara yang persis sama dengan pasien tanpa diabetes. Antibiotik tidak harus ditentukan kecuali sudah diperlukan (sebagai contoh, suatu infeksi mulut akut).

Pasien dengan komplikasi sistemik akibat diabetes mungkin memerlukan modifikasi dalam perawatan gigi dan perencanaan untuk konsultasi dengan dokter yang merawat pasien. (11)

Page 15: DM Dan Xerostomia - Materi

Definisi

Xerostomia adalah keluhan berupa adanya rasa kering dalam rongga mulutnya akibat adanya penurunan produksi saliva (hiposalivasi) atau perubahan komposisi saliva. Apabila terjadi kelainan pada kelenjar saliva mayor dan minor dapat menimbulkan penyakit xerostomia. Air liur yang sering disebut saliva berasal dari kelenjar-kelenjar saliva yang terdapat di rongga mulut. Kelenjar saliva terdiri atas kelenjar saliva mayor dan kelenjar saliva minor. Kelenjar saliva mayor terdiri dari 3 pasang kelenjar yaitu kelenjar saliva parotis, submandibularis, dan sublingualis yang terletak di sekitar daerah leher. Sedangkan kelenjar saliva minor tersebar di seluruh mukosa mulut. (Lewis 1998)

Etiologi

Banyak orang mengeluh mulutnya kering walaupun kelenjar saliva mereka berfungsi dengan normal. Xerostomia sejati dapat disebabkan oleh penyakit kelenjar saliva primer atau manifestasi sekunder dari suatu kelainan sistemik atau terapi obat. (Lewis 1998)

Xerostomia terjadi ketika jumlah air liur yang menggenangi selaput lendir mulut berkurang. Output air liur diperkirakan satu liter per hari. Kekurangan air liur atau kekeringan oral dapat dipercepat oleh dehidrasi mukosa oral yang terjadi saat output oleh kelenjar saliva mayor, kelenjar saliva minor dan lapisan air liur yang menutupi mukosa oral berkurang. (Guggenheimer 2003)

Xerostomia juga sering terjadi akibat penurunan volume atau perubahan komposisi saliva (menjadi pekat, penurunan pH dan kehilangan komponen organik–inorganik). Ada beberapa penyebab xerostomia seperti bernapas melalui mulut (False dry mouth), dehidrasi, kandidiasis oral, febris, infiltrasi pada kelenjar saliva, hiperkalsemia, radioterapi kepala leher. Penyebab lain : seperti depresi (False dry mouth), diabetes mellitus, diabetes insipidus, hipotiroidisme. (Indriyani 2010)

Penyebab paling lazim xerostomia adalah obat. Lebih dari 400 obat yang pada umumnya digunakan dapat menyebabkan xerostomia. Jenis obat yang dapat menyebabkan xerostomia antara lain seperti antihipertensi, antihistamin, antidepresan, antikolinergik, anorexiants, antipsikotik, agen anti-Parkinson, diuretik dan obat penenang. Pasien yang mengeluh xerostomia harus diwawancarai dan obat-obatan yang mereka pakai harus ditinjau ulang seperti dengan mengubah obat atau dosis untuk memberikan peningkatan aliran saliva. (University of Montana 2010)

Patogenesis

Page 16: DM Dan Xerostomia - Materi

Saliva diproduksi leh kelenjar parotis, submandibularis , sublingualis serta ratusan kelenjar saliva minor yang terdistribusi di seluruh bagian rongga mulut. Setiap harinya kelenjar-kelenjar saliva ini diperkirakan menghasilan 1 liter/hari, flow rate dapat fluktuatif hingga 50% sesuai ritme diurnal (Guggenheimer, 2003).

Sistem syaraf simpatik dan parasimpatik menginervasi kelenjar saliva. Parasimpatis menginervasi lebih banyak pada “watery secretion” dan saraf simpatik lebih banyak menginervasi “viscous saliva”. Sensasi mulut kering seperti halnya yang dirasakan pada saat stress yang akut yang disebabkan adanya perubahan komposisi saliva pada saat ini stimulasi saraf simpatis lebih dominan selama periode ini. Selain itu gejala mulut kering ini juga disebabkan oleh dehidrasi mukosa rongga mulut dimana output kelenjar saliva minor dan mayor menurun serta lapisan saliva yang melapisis mukosa oral berkurang (Guggenheimer, 2003).

pancreas (Vernillo, 2003; Pedersen, 2004; Greenberg, 2003). bMekanisme patogenesis antara DM dan perubahan fungsi kelenjar saliva hingga saat ini belum jelas. Dehidrasi sebagai hasil dari hiperglikemia yang lama sebagai konsekwensi dari poliuria merupakan penyebab utama xerostomia dan hipofungsi kelenjar saliva pada pasien DM. Dehidrasi saja tidak dapat menyebabkan perubahan fungsi kelenjar saliva. Infiltrat limfositik yang terlihat pada jaringan kelenjar saliva labial mengindikasikan bahwa jaringan kelenjar saliva merupakan target suatu proses autoimun yang sama dengan sel-

Degenerasi yang terus menerus pada jaringan kelenjar saliva akan menyebabkan 10-25% terjadinya hipofungsi dan gangguan komposisi saliva. DM tipe I dan II dapat menyebabkan pembesaran bilateral yang asimtomatik pada kelenjar parotis dan kadang-kadang kelenjar submandibularis yang biasa disebut sialosis diabeti (Pedersen, 2004).

Terdapat 2 hal yang sering merupakan komplikasi degeneratif DM yaitu otonomik neuropati dan mikroangiopati yang menyebabkan terjadinya gangguan struktural pada jaringan kelenjar saliva dan kemudian terjadi hipofungsi pada kelenjar ini serta dipengaruhi inervasi otonomik dan mikrosirkulasi pada jaringan kelenjar. Pasien dengan neuropati diabetik dilaporkan mengalami peningkatan dan penurunan flow saliva. Tidak ada konsensus pada hubungan antara DM dan disfungsi kelenjar saliva. Xerostomia dan hipofungsi kelenjar saliva sering dilaporkan berhubungan penyakit DM dimana terjadi kontrol metabolik yang buruk (Pedersen, 2004).

Manifestasi klinis

Page 17: DM Dan Xerostomia - Materi

Penurunan saliva akan menyebabkan keluhan mulut kering, rasa terbakar atau rasa sakit serta adanya sensasi hilangnya indra pengecap. Manifestasi lainnya kemungkinan adalah peningkatan keinginan untuk minum air saat menelan. Kesulitan penelanan ini meningkat saat digunakan untuk mekan makanan kering. Pada kondisi awal secara klinis xerostomia secara klinis didahului perubahan-perubahan nyata pada mukosa rongga mulut atau penurunan fungsi kelenjar saliva. Selama proses xerostomia , pemeriksaan pada rongga mulut dapat terluhat juga erythematous pebbled, cobblestoned or fissured tongue dan atropi papila filiformis. Jaringan rongga mulut terlihat kemerahan seperti terbakar akan menimbulkan finger’s adhering.

Palpasi eksternal pada kelenjar parotis dan submandibularis dengan menempatkan kapas swab kering akan nampak gangguan pembukaan duktus dan tidak tampak adanya aliran saliva dari duktus tersebut. Pada geligi nampak peningkatan tendensi terjadinya karies dan terjadi ketidaknyamanan penggunaan denture serta hilangnya retensi. Kondisi ini juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi pada rongga mulut dan orofaring serta candidiasis dan keilitis. (Guggenheimer, 2003). Hiposalivasi dan perubahan komposisi saliva berhubungan dengan peningkatan terjadinya infeksi rongga mulut, gangguan kesembuhan luka dan peningkatan karies gigi (Perseden, 2004), atropik cracking pada mukosa, mukositis, ulserasi, diskwamasi dan inflamasi (Vernillo, 2003).

DIAGNOSA

Diagnosa untuk mengetahui terjadinya xerostomia terdiri atas beberapa tahapan:

1. Keluhan utama pasien dan riwayat penyakit.

Sebagian besar pasien yang datang dengan keluhan mulut kering, tetapi untuk pasien dengan xerostomia yang asimtomatik pertanyaan-pertanyaan tertentu dapat membantu diagnosa, misalnya:

a. Apakah saliva dalam mulut anda terasa sangat sedikit, terlalu banyak atau anda tidak memperhatikannya?

b. Apakah anda mengalami kesulitan menelan?

c. Apakah mulut anda tersa kering ketika makan makanan?

d. Apakah anda perlu menghisap air jika akan menelan makanan kering?

Jawaban”ya” untuk poin “a” pada jawaban “terlalu sedikit” mengindikasikan adanya penurunan unstimulated saliva. Jawaban “ya” pada 3 poin berikutnya menunjukkan penurunan stimulated saliva.

Untuk pasien simtomatik seorang dokter gigi dapat menggunakan metode Visual Analogue Scale (VAS) yang dapat menggambarkan keparahan seorang pasien ketika datang dan untuk mengevaluasi respon

Page 18: DM Dan Xerostomia - Materi

pasien setelah terapi. Metode ini seringkali digunakan oleh para klinisi untuk pemeriksaan nyeri pada pasien tetapi dapat juga digunakan untuk pemeriksaan saliva (Navazesh, 2003).

2. Riwayat kesehatan

Walaupun riwayat kesehatan pasien telah banyak tercatat pada rekam medis tetapi evaluasi fungsi kelenjar saliva jarang dilakukan kecuali pasien mengeluh adanyanya gejala tertentu. Sekresi saliva dipengaruhi oleh kondisi, keparahan, jumlah dan variasi durasi kelainan-kelainan medis dan pengobatan (Navazesh, 2003).

Pada pasien dengan DM, tentu saja memerlukan pemeriksaan glukosa darah untuk mendiagnosa kelainan ini. Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan glukosa darah dantidak cukup hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Uji diagnostik DM dilakukan pada individu yang menunjukkan gejala/tanda DM (Alim, C, 2007).

Gejala klinis DM adalah: poliuria, polidipsi dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya (trias) (Hernawan, I, 2006) dan Kadar gula darah sewaktu lebih besar dari 200 mg/dL sudah cukup menegakkan diagnosa DM. Sekurang-kurangnya diperlukan pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dua kali abnormal pada waktu yang berbeda atau dua hasil abnormal pada waktu yang sama. Bila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu meragukan maka untuk konfirmasi diagnosa DM perlu dilakukan Tes Toleransi Glukosa Oral (Alim, C, 2007).

Kadar glukosa darah puasa semalam (lebih dari 10 jam), dimana kadar normal kadarnya 70/80 – 100/120 mg/dL. Kadar glukosa darah puasa yang tinggi menunjukkan bahwa produksi insulin tidak cukup walaupun hanyak untuk kebutuhan basal. Kadar glukosa darah puasa pada penderita diabetes melitus di atas 120 – 130 mg/dL (Alim, C , 2007). Kadar glukosa darah post-Prandial (PP) yaitu Kadar glukosa darah sesudah makan atau pemberian glukosa dalam jumlah tertentu (seperti TTGO) disebut kadar glukosa darah post-prandial. Dasar pemeriksaan ini adalah pada orang normal setelah makan atau minum larutan glukosa dalam jumlah tertentu, kadar glkosa darahnya akan naik dan mencapai puncaknya setelah kira-kira satu jam PP, kemudian turun sehingga kadarnya pada dua jam PP mendekati kadar glukosa darah puasa. Pada penderita DM kenaikan kadar glukosa menetap dan lambat sekali atau sulit kembali normal. Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan cara oral dan intra vena (Alim, C, 2007).

3. Pemeriksaan klinis

Page 19: DM Dan Xerostomia - Materi

Meliputi pemeriksaan pasien secara menyeluruh yitu pemeriksaan kelenjar saliva, jaringan lunak dan jaringan keras rongga mulut. Pemeriksaan kelenjar saliva meliputi segala sesuatu yang ditemukan misalnya pembesaran, tenderness, berkurangnya saliva, kontaminasi saliva (pus atau darah) saat palpasi. Pemeriksaan jaringan lunak meliputi “kondisi kering” , keadaan yang mengering, atropi, fisur, lobulated dan perubahan warna mukosa. Dokter gigi dapat menggunakan tongue blade untuk melihat kekeringan mukosa, jika alat melekat pada mukosa berarti terjadi penurunan sekresi saliva. Pemeriksaan jaringan keras meliputi pemeriksaan geligi yang karies, tingkat keparahannya dan rekurensinya (Guggenheimer, 2003).

4. Pemeriksaan lanjutan

Sebagai pemeriksaan lanjutan dapat dengan melakukan pemeriksaan tunggal atau kombinasi untuk mendapatkan final diagnosa. Pemeriksaan meliputi sialometri, serologi, mikrobial, histologi dan imaging.

a. Pemeriksaam sialometri

Pengumpulan ”whole saliva” lebih mudah dilakukan, dapat dilakukan pada saat istirahat (unstimulated / resting), dan pada saat pasien melakukan pengunyahan/aktivitas (stimulated). Unstimulated saliva normal adalah 0,1-0,2 ml/menit (gr/menit) dan stimulated saliva adalah 0,7 ml/menit (gr/menit).

Unstimulated saliva dilakukan pada pasien yang telah mengistirahatkan rongga mulutnya minimal 90 menit, duduk tegak lurus dengan kepala sedikit miring ke depan, pada situasi yang hening, mata tetap terbuka, kemudian melakukan gerakan pengunyahan awal, saliva ditampung setiap 5 menit sekali melalui corong ke dalam gelas ukur.

Stimulated saliva dilakukan pada pasien yang terlebih dahulu mengunyah permen karet selama ± 45 menit, kemudian pasien menampung salivanya setiap menit selama 5 menit (Navazesh, 2003).

b. Biopsi kelenjar saliva minor

Perubahan histopatologi pada kelenjar saliva mayor dan minor menggambarkan adanya pengaruh kondisi lokal atau sistemik yang mempengaruhi sekresi kelenjar saliva. Tempat yang paling sering dilakukan biopsi ini adalah pada bibir bawah. Pemeriksaan ini biasanya untuk melihat kluster limfosit (>> 50 limfosit pada 4×4 mm) yang didiagnosa sebagai sjogren syndrome, sehingga dapat dibedakan untuk mendiagnosa xerostomia karena penyebab lain (Navazesh, 2003).

Page 20: DM Dan Xerostomia - Materi

TERAPI

Pendekatan umum terapi pasien hiposalivasi dan xerostomia adalah terapi paliatif yang berfungsi untuk mengurangi gejala dan mencegah terjadinya komplikasi oral (Guggenheimer, 2003). Terapi rehidrasi terutama untuk pasien DM, stimulasi kelenjar saliva (masticatory, gustatory, pharmacotherapeutic), saliva buatan, antimikrobial dan terapi fluor merupakan terapi yang dapat direkomendasikan (Navazesh, 2003)

Beberapa produk yang dapat digunakan pada pasien xerostomia misalnya saliva buatan, beberapa formulasi seperti obat kumur, aerosol, permen karet dan dentifrices yang juga dapat memicu sekresi saliva. Agen kolinergik yang menstimulasi reseptor asetilkolin kelenjar saliva mayor, yaitu obat-obat parasimpatomimetik misalnya pilocarpin hidrochloride walaupun pasien mengeluh kurang nyaman dengan pemakain obat ini.Jika penanganan secara medis belum juga memberikan respon yang baik ada baiknya disarankan memnggunakan terapi alternatif seperti akupuntur (Guggenheimer, 2003).

Pasien dengan gejala sistemik sebaiknya diberikan penanganan sesuai kelainan yang dideritanya. Seorang pasien dengan DM (tipe 1 dan 2) seharusnya mendapatkan pengobatan DM dengan baik sehingga kontrol metaboliknya menjadi lebih baik, sehingga diharapkan akan memperbaiki kondisi xerostomia yang dialaminya.

Terapi insulin merupakan terapi utama untuk pasien dengan DM tipe 1. Terdapat banyak metodem pemggunaan terapi insulin yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien tatapi secara umum merupakan injeksi subkutan (Kinambi, 2008), pemberian Preparat amylin komersial (pramlintide) dan Oral Hypoglicemic Agent (OHA) adalah terapi garis pertama yang digunakan untuk pasien dengan DM tipe 2, dan berfungsi untuk meningkatkan sekresi insulin pancreas dan kerja insulin (insulin action) (Kinambi, 2008)

Page 21: DM Dan Xerostomia - Materi

Mekanisme Kerja Obat Antihipertensi Terhadap Timbulnya Xerostomia

25

Feb

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit sepertiga terbesar dari seluruh kematian di dunia, dan hipertensi merupakan faktor resiko yang paling besar terhadap prevalensi penyakit kardiovaskuler. Ada beberapa cara pendekatan yang sering dilakukan kepada penderita penyakit hipertensi yaitu dengan cara memodifikasi gaya hidup dan dengan cara menggunakan obat antihipertensi. Pendekatan pada penderita hipertensi dapat melalui modifikasi gaya hidup dengan mempertahankan berat badan normal, diet rendah garam dan lemak jenuh, makan buah dan sayuran, kurangi rokok dan alkohol, serta meningkatkan aktivitas fisik dengan cara berolahraga. Selain itu penderita hipertensi juga dapat menggunakan pendekatan melalui obat anti hipertensi dengan memperhatikan umur, ras, riwayat penyakit, merokok, obesitas, serta harus mempertimbangkan apabila ada penyakit diabetes, ginjal, gagal jantung dan jantung iskemik. (Hadyanto 2009)

Obat-obatan antihipertensi dapat mempengaruhi aliran saliva secara langsung dan tidak langsung. Bila secara langsung akan mempengaruhi aliran saliva dengan meniru aksi sistem syaraf autonom atau dengan bereaksi pada proses seluler yang diperlukan untuk saliva. Stimulasi saraf parasimpatis menyebabkan sekresi yang lebih cair, sedangkan saraf simpatis memproduksi saliva yang lebih sedikit dan kental. Sedangkan secara tidak langsung akan mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit atau dengan mempengaruhi aliran darah ke kelenjar. (Hadyanto 2009)

Penggunaan obat-obatan antihipertensi yang kurang tepat sering menimbulkan keluhan mulut kering, dimana sering disebut sebagai penyakit xerostomia. Xerostomia merupakan kekeringan pada mulut

Page 22: DM Dan Xerostomia - Materi

akibat disfungsi kelenjar saliva. Mulut kering dapat meningkatkan kejadian kerusakan gigi terutama di bagian akar gigi, karena berkurangnya saliva merupakan faktor predisposisi pada penambahan insiden karies, penyakit periodontal, dan infeksi oral, terutama kandidosis. Xerostomia bukanlah suatu diagnosis, namun merupakan suatu gejala yang kemungkinan dapat terjadi dengan berbagai penyebab, seperti efek samping obat-obatan, demam, diare, diabetes, gagal ginjal, berolahraga, stres, bernafas melalui mulut, kelainan syaraf, usia, radiasi pada daerah leher dan kepala, dan gangguan lokal pada kelenjar saliva. Obat-obatan adalah penyebab paling umum berkurangnya saliva, dan obat antihipertensi termasuk salah satu golongan obat yang dapat menyebabkan efek samping berupa xerostomia. Oleh karena itu sangat penting mengetahui dan mengenal jenis obat antihipertensi. (Fox 2008)

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas muncul permasalahan yaitu “ bagaimana pengaruh obat antihipertensi terhadap timbulnya xerostomia ? ”.

C. Tujuan Penulisan

Mengetahui pengaruh obat antihipertensi terhadap timbulnya xerostomia.

D. Manfaat Penulisan

1. Menambah pengetahuan pembaca mengenai obat antihipertensi.

Page 23: DM Dan Xerostomia - Materi

2. Menambah pengetahuan pembaca mengenai xerostomia.

3. Mengetahui reaksi obat antihipertensi terhadap terjadinya xerostomia.

BAB II

XEROSTOMIA

A. Definisi Xerostomia

Xerostomia adalah keluhan berupa adanya rasa kering dalam rongga mulutnya akibat adanya penurunan produksi saliva (hiposalivasi) atau perubahan komposisi saliva. Apabila terjadi kelainan pada kelenjar saliva mayor dan minor dapat menimbulkan penyakit xerostomia. Air liur yang sering disebut saliva berasal dari kelenjar-kelenjar saliva yang terdapat di rongga mulut. Kelenjar saliva terdiri atas kelenjar saliva mayor dan kelenjar saliva minor. Kelenjar saliva mayor terdiri dari 3 pasang kelenjar yaitu kelenjar saliva parotis, submandibularis, dan sublingualis yang terletak di sekitar daerah leher. Sedangkan kelenjar saliva minor tersebar di seluruh mukosa mulut. (Lewis 1998)

B. Etiologi Xerostomia

Banyak orang mengeluh mulutnya kering walaupun kelenjar saliva mereka berfungsi dengan normal. Xerostomia sejati dapat disebabkan oleh penyakit kelenjar saliva primer atau manifestasi sekunder dari suatu kelainan sistemik atau terapi obat. (Lewis 1998)

Page 24: DM Dan Xerostomia - Materi

Xerostomia terjadi ketika jumlah air liur yang menggenangi selaput lendir mulut berkurang. Output air liur diperkirakan satu liter per hari. Kekurangan air liur atau kekeringan oral dapat dipercepat oleh dehidrasi mukosa oral yang terjadi saat output oleh kelenjar saliva mayor, kelenjar saliva minor dan lapisan air liur yang menutupi mukosa oral berkurang. (Guggenheimer 2003)

Xerostomia juga sering terjadi akibat penurunan volume atau perubahan komposisi saliva (menjadi pekat, penurunan pH dan kehilangan komponen organik–inorganik). Ada beberapa penyebab xerostomia seperti bernapas melalui mulut (False dry mouth), dehidrasi, kandidiasis oral, febris, infiltrasi pada kelenjar saliva, hiperkalsemia, radioterapi kepala leher. Penyebab lain : seperti depresi (False dry mouth), diabetes mellitus, diabetes insipidus, hipotiroidisme. (Indriyani 2010)

Penyebab paling lazim xerostomia adalah obat. Lebih dari 400 obat yang pada umumnya digunakan dapat menyebabkan xerostomia. Jenis obat yang dapat menyebabkan xerostomia antara lain seperti antihipertensi, antihistamin, antidepresan, antikolinergik, anorexiants, antipsikotik, agen anti-Parkinson, diuretik dan obat penenang. Pasien yang mengeluh xerostomia harus diwawancarai dan obat-obatan yang mereka pakai harus ditinjau ulang seperti dengan mengubah obat atau dosis untuk memberikan peningkatan aliran saliva. (University of Montana 2010)

C. Tanda Klinis Xerostomia

Diagnosis xerostomia didasarkan pada bukti yang diperoleh dari riwayat pasien, pemeriksaan rongga mulut atau sialometry yang merupakan prosedur sederhana untuk mengukur laju aliran saliva. Beberapa tes dan teknik dapat digunakan untuk memastikan fungsi kelenjar ludah. Dalam tes sialometry, perangkat pengumpulan saliva ditempatkan di atas kelenjar parotid atau submandibular. (University of Montana 2010)

Pada pemeriksaan, pasien dengan xerostomia biasanya memiliki tanda-tanda sebagai berikut: Bibir pecah-pecah, mengelupas dan atropik (mukosa bukal pucat dan bergelombang) dan lidah halus dan memerah (Gambar 2.1), lalu mukosa oral tampak merah, tipis dan rapuh. Sering kali ada peningkatan tajam dalam erosi dan gigi karies, khususnya pada gingival margin, bahkan sampai melibatkan ujung cups (Gambar 2.2). (Guggenheimer 2003)

Page 25: DM Dan Xerostomia - Materi

(Gambar 2.1) (Gambar 2.2)

Evaluasi klinis harus mencakup keseluruhan kesan penderita xerostomia, serta evaluasi dari kelenjar ludah, jaringan lunak dan jaringan keras. Dokter gigi harus memberikan perhatian khusus kepada pasien secara fisik dan emosional. (Navazesh 2003)

Page 26: DM Dan Xerostomia - Materi

Penderita xerostomia sering mengeluh masalah dengan makan, berbicara, menelan dan memakai gigi palsu. Penderita xerostomia sering mengeluh kesulitan untuk mengunyah dan menelan makanan seperti sereal dan kerupuk. Penderita yang memakai denture mungkin akan mengalami masalah dengan retensi gigi tiruan, luka akibat gigi tiruan dan lidah menempel pada langit-langit. Penderita dengan xerostomia akan sering mengeluh mengenai gangguan rasa (dysgeusia), lidah yang menyakitkan (glossodynia) dan kebutuhan yang meningkat untuk minum air, terutama pada malam hari. (University of Montana 2010)

D. Frekuensi Penyebaran Xerostomia

Xerostomia sering merupakan masalah kesehatan ringan dan serius. Hal ini dapat mempengaruhi gizi, kesehatan gigi, serta psikologis seseorang. Beberapa masalah umum yang terkait dengan xerostomia termasuk sakit tenggorokan yang persisten, sensasi terbakar (burning mouth syndrome), kesulitan berbicara dan menelan, suara serak dan jika tidak diobati dapat menurunkan pH saliva dan secara signifikan dapat meningkatkan plak dan karies pada gigi. (University of Montana 2010)

Mulut kering dapat meningkatkan kejadian kerusakan gigi, karena berkurangnya saliva merupakan faktor predisposisi pada peningkatan insiden karies, penyakit periodontal, dan infeksi oral terutama kandidosis. Informasi mengenai gizi harus diberikan, terutama mengenai pembatasan konsumsi gula. (Lewis 1998)

E. Penanggulangan Xerostomia

Penderita xerostomia harus didorong untuk mengambil peran aktif dalam pengelolaan xerostomia. Pasien harus didorong untuk melakukan pemeriksaan mulut sehari-hari, memeriksa bercak merah, putih atau gelap, borok atau kerusakan gigi. Jika ada sesuatu yang tidak biasa yang ditemukan, maka harus dilaporkan kepada dokter gigi. Pasien juga harus diberi konseling untuk menyikat secara teratur minimal dua kali sehari dengan menggunakan pasta gigi yang mengandung fluoride dan sikat gigi berbulu lembut. Stimulan saliva atau sialagogues, seperti permen tanpa gula dan permen karet, dapat digunakan untuk merangsang aliran air liur ketika kelenjar liur tetap fungsional. (University of Montana 2010)

Page 27: DM Dan Xerostomia - Materi

Beberapa pengganti saliva, baik metil selulosa atau mucin, dapat memperbaiki efek berkurangnya saliva. Sialogues, seperti gliserin dan preparat lemon, hanya boleh diberikan pada pasien yang tak bergigi karena penggunaan yang terlalu sering dapat menimbulkan karies gigi pada pasien yang masih bergigi. Pembersihan gigi yang teliti dan pemberian zat-zat preventif seperti terapi fluoride secara topikal harus diberikan. (Lewis 1998)

BAB III

OBAT ANTIHIPERTENSI

A. Obat Antihipertensi

Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit terbesar hampir sepertiga dari seluruh kematian di dunia, dan hipertensi merupakan faktor resiko yang paling besar terhadap prevalensi penyakit kardiovaskuler. Hipertensi adalah kenaikan tekanan darah arterial diatas nilai normal tekanan darah, dimana tekanan darah normal 120/80 mmHg, sedangkan hipertensi biasanya terjadi pada tekanan darah 140/90 mmHg atau ke atas. (Hadyanto 2009)

Ada beberapa cara pendekatan yang sering dilakukan kepada penderita penyakit hipertensi yaitu dengan cara memodifikasi gaya hidup dan dengan cara menggunakan obat antihipertensi. Pemilihan obat antihipertensi perlu memperhatikan umur, riwayat penyakit kardiovaskuler, adanya penyakit ginjal, penyakit gagal jantung iskemik, stroke, dan diabetes. Tujuan utama dalam pendekatan terapi obat antihipertensi adalah untuk mendapatkan efek terapeutik seperti menurunkan curah jantung, menurunkan volume darah, dan menurunkan resistensi perifer. (Hadyanto 2009)

Page 28: DM Dan Xerostomia - Materi

B. Klasifikasi Obat Antihipertensi

1. Diuretik

Diuretik adalah obat yang bekerja untuk meningkatkan volume urine pada ginjal, karena menyebabkan ekskresi natrium dan mengurangi volume cairan dengan menghambat transport elektrolit didalam tubulus renal sehingga deuritik juga disebut sebagai natriuretik. Diuretik yang paling sering digunakan adalah diuretik tiazid, diuretik loop, dan antagonis reseptor aldosteron. (Olson 2003)

Obat golongan tiazid bekerja dengan menghambat transport bersama Na-Cl di tubulus distal ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat. Deuritik loop bekerja dengan cara menghambat kotransport Na+, K+, Cl- dan menghambat resorbsi air dan elektrolit. (Hadyanto 2009)

2. Simpatolitik

Sistem saraf simpatis memegang peranan penting dalam mengatur tekanan darah. Simpatolitik memegang peranan penting dalam menurunkan tekanan darah melalui hambatan terhadap pusat vasomotor di otak dengan mengurangi tonus simpatis secara sentral. Secara perifer simpatolitik dapat bekerja terhadap neurotransmiter pada ganglion presinaptik atau postsinaptik, atau pada reseptor epinefrin dan norepineprin. (Schmitz 2008)

Simpatolitik yang sering digunakan dalam pengobatan hipertensi meliputi antagonis reseptor adregenil-β dan agonis reseptor α2 yang bekerja di sentral. Antagonis reseptor adregenik yang digunakan dalam pengobatan awal hipertensi adalah golongan antagonis reseptor adregenik-β (β – blocker). α – blocker hanya digunakan pada pasien hipertensi disertai dengan hyperplasia prostat benigna. Obat jenis simpatolitik ini bekerja dengan cara blokade AV, menghambat nodus SA dan menurunkan kekuatan kontraksi miokard, menghambat pelepasan renin, menghambat produksi angiotensin II. (Schmitz 2008)

Page 29: DM Dan Xerostomia - Materi

3. Penghambat Angiotensin

Penghambat angiotensin termasuk ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker (ARB). Obat ini digunakan untuk pengobatan hipertensi dengan penyakit kardiovaskuler dan diabetes. (Hadyanto 2009)

ACE inhibitor dapat digunakan menurunkan tekanan darah dengan menghambat konvensi angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin inhibitor dapat menurunkan kadar angiotensin II plasma dan berperan dalam sejumlah respon yang dapat meningkatkan tekanan atrial dan fungsi renal. (Hadyanto 2009)

Angiotensin receptor blocker (AT1 Antagonis) bekerja menduduki reseptor AT1 di pembuluh darah atau jaringan lain. Penghambat ini mengurangi efek fisiologik angiotensin. Efek hipotensif ARB sebanding dengan ACE inhibitor, tetapi jarang menimbulkan batuk kronik dibandingkan dengan ACE inhibitor. Karena itu toleransi ARB lebih baik. (Schmitz 2008)

4. Vasodilatator atau Calcium Channel Blockers (CCB)

Mekanisme utama CCB adalah menghambat masuknya ion melalui voltage-dependent L dan calsium channel type-T. L type banyak terdapat di otot jantung dan otot polos vaskuler. Hambatan terhadap otot jantung menyebabkan efek inotropik negatif, dan terhadap otot polos menyebabkan relaksasi. Dengan efek mengurangi kontraktilasi miokard dan otot polos, obat ini dapat digunakan sebagai obat antihipertensi dan antiangina, juga menyebabkan depresi miokard. CCB bekerja dengan cara menghambat influks kalsium pada otot polos pembuluh darah dan miokard. Jenis obat CCB seperti Hidralazin, Minoksidil, dan Nitroprusid. (Hadyanto 2009)

Hidralazin terutama bekerja pada arteri dan arteriole, menimbulkan penurunan tekanan darah dengan menginduksi vasodilatasi pada artiole otot polos. Efek ini disertai dengan refleks takikardi dan kenaikan curah jantung. Manfaat utama adalah untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung. (Schmitz 2008)

Page 30: DM Dan Xerostomia - Materi

Monoksidil, merupakan obat vasodilatator yang sangat poten. Merupakan pilihan akhir pada pengobatan hipertensi berat yang tidak responsif terhadap obat antihipertensi lainnya. Monoksidil sering digunakan bersamaan dengan diuretik karena menyebabkan retensi cairan, juga menyebabkan refleks takikardi sehingga dikombinasikan dengan golongan β – blocker. (Olson 2003)

Nitroprusid di metabolisme menjadi nitric oxide, yang selanjutnya mengaktivasi guanylatecyclase dan terbentuk cyclic GMP. Pembentukan cGMP mengakibatkan relaksasi otot polos vaskuler dan vasodilatasi. Aktivasi nitroprusid di katalisis oleh berbagai nitric oxide sehingga potensi obat ini berbeda pada berbagai tempat vaskuler dan hal ini menyebabkan tidak terjadi toleransi pada penggunaan nitroprusid. (Olson 2003)

C. Indikasi, kontraindikasi dan efek obat antihipertensi

Berdasarkan klasifikasi obat antihipertensi yang telah dibahas, tentunya obat antihipertensi juga memiliki merek dagang, mekanisme kerja obat, indikasi, dan kontra indikasi dan efek obat yang tidak diinginkan seperti berikut ini :

Tabel 3.1 (Deuritik)GolonganObat Merek dagang Indikasi Kontraindikasi Efek tak diharapkan

Tiazid Hydrodiuril Ideal untuk hipertensi, dan edema-kronik Ibu hamil, anuriaHipokalemia,Hiperglikemi,Oliguria, anuria, hiperkalsemia

Loop diuretic Lasik (furosemid) Untuk darurat hipertensi, edema, dan edema paruKekurangan elektrolit, anuria Dehidrasi, hipokalemia, hiperglikemi, hipovolemia

Antagonis reseptor aldosteron Midamor (amilorid) Dapat mengoreksi alkalosis metabolikHiperkalemia berat dengan suplemen kalsium Hiperkalemia, kekurangan natrium atau air

Page 31: DM Dan Xerostomia - Materi

Tabel 3.2 (Simpatolitik)GolonganObat Merek dagang indikasi kontraindikasi Efek tak diharapkan

α – blocker Klonidin (Catapresan) Baik untuk hipertensi Bradikardi,hipotensi,sindrom simpul sinus Mulut kering, hipotensi, bradikardi, sedasi

β – blocker Atenolol (Tenormin) Baik untuk hipertensi ringan dan sedangDiabetes berat, bradikardi, gagal jantung, asma Depresi dan sedasi susunan saraf pusat

Tabel 3.3 (Penghambat Angiotensin)GolonganObat Merek dagang indikasi kontraindikasi Efek tak diharapkan

ACE inhibitor Kaptopril(Capoten) Hipertensi dengan renin tinggi, Hipotensi, pusing, ruam, takikardi

ARB Losartan (Lozaar) Hipertensi esensial Gangguan fungsiginjal, anak-anak, kehamilan, masa menyusui Vertigo, ruam kulit, gangguan ortostatik

Tabel 3.4 (Vasodilatator)GolonganObat Merek dagang indikasi kontraindikasi Efek tak diharapkan

Hidralazin Apresoline Hipertensi sedang Penyakit jantung iskemik Retensi cairan, palpitasi, refleks takikardi

Monoksidil Loniten Hipertensi yang belum terkontrol Penyakit jantung iskemik Lesi otot jantung, hidralazin, hirsutisme,

Page 32: DM Dan Xerostomia - Materi

Nitroprusid Nipride Krisis hipertensi Hipotensi berat, hepatotoksisitas

D. Pengaruh obat antihipertensi terhadap proses terjadinya penyakit xerostomia

Obat antihipertensi dapat mempengaruhi aliran saliva secara langsung dan tidak langsung. Bila secara langsung akan mempengaruhi aliran saliva dengan meniru aksi sistem syaraf autonom atau dengan bereaksi pada proses seluler yang diperlukan untuk saliva. Stimulasi saraf parasimpatis menyebabkan sekresi yang lebih cair dan saraf simpatis memproduksi saliva yang lebih sedikit dan kental. Sedangkan secara tidak langsung akan mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit atau dengan mempengaruhi aliran darah ke kelenjar. (Hadyanto 2009)

Gambar 3.1

Sumber : http://gurungeblog.wordpress.com/category/sistem-koordinasi-dan-indera/

(Gambar 3.1) Sistem saraf autonom mengatur setiap kegiatan yang terjadi di dalam tubuh manusia dimana seluruh sistem saraf saling berkaitan satu sama lain pada saat tubuh dalam keadaan normal ataupun saat tubuh terjadi suatu masalah.

Hal ini dapat diketahui melalui cara kerja obat antihipertensi seperti pada diuretik tiazid misalnya hidroklorotiazid dengan menghambat reabsorpsi natrium dan klorida dalam pars asendens ansa henle tebal dan awal tubulus ginjal yang mengakibatkan meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Obat ini secara tidak langsung akan mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit atau dengan mempengaruhi aliran darah ke kelenjar. (Olson 2003)

Gambar 3.2

Sumber : http://b-mus.blogspot.com/2010/05/ukuran-ginjal-kunci-sukses.html

(Gambar 3.2) Mekanisme kerja obat diuretik secara umum bekerja pada daerah nepron untuk meningkatkan volume urine pada ginjal. Gambar ini merupakan proses perjalanan obat antihipertensi yang diserap oleh tubuh yang dihantarkan oleh darah.

Page 33: DM Dan Xerostomia - Materi

Pada mekanisme kerja loop diuretik seperti furosemid akan menghambat reabsorpsi klorida dalam pars asendens ansa henle tebal yang mengakibatkan ion kalium banyak hilang kedalam urin. Selain itu pada membran luminal dari jerat henle bagian asenden, furosemid akan menghambat suatu protein transpor spesifik seperti natrium, kalium dan klorida yang mengakibatkan absorpsi ion-ion tersebut akan berkurang. Hal ini tentunya akan mengganggu keseimbangan elektrolit yang beredar di dalam tubuh dan secara tidak langsung akan mempengaruhi saliva. (Hadyanto 2009)

Pada mekanisme kerja diuretik antagonis reseptor aldosteron seperti midamor akan meningkatkan ekskresi dan menurunkan sekresi dalam tubulus kontortus distal, sehingga mengakibatkan absorbsi dari lumen sel-sel tubulus akan berkurang. Ini tentunya akan mengganggu keseimbangan elektrolit yang beredar di dalam tubuh dan secara tidak langsung akan mempengaruhi saliva. (Olson 2003)

Gambar 3.3

Sumber : http://prastiwisp.wordpress.com/

(Gambar 3.3) Tempat bereaksinya obat antihipertensi tipe diuretik pada ginjal.

Mekanisme kerja Simpatolitik α – blocker seperti klonidin bekerja pada susunan saraf dengan mengurangi rangsangan saraf simpatis yang di mediasi oleh aktivasi reseptor adregenik-α2 di susunan saraf pusat. Obat ini secara langsung akan mempengaruhi aliran saliva dengan meniru aksi sistem syaraf autonom atau dengan bereaksi pada proses seluler yang diperlukan untuk saliva dimana saraf simpatis memproduksi saliva yang lebih sedikit dan kental. (Schmitz 2008)

Mekanisme kerja Simpatolitik β – blocker seperti atenolol akan bekerja di susunan saraf pusat dengan mengurangi tonus simpatis sehingga pada jantung akan mengurangi denyut jantung dan curah jantung, pada ginjal akan mengurangi produksi renin yang dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah, dan pada kelenjar saliva akan mempengaruhi produksi saliva menjadi sedikit dan lebih kental. (Hadyanto 2009)

Gambar 3.4

Sumber : http://gurungeblog.wordpress.com/category/sistem-koordinasi-dan-indera/

(Gambar 3.4) Tempat bereaksinya obat antihipertensi tipe Simpatolitik pada susunan saraf pusat.

ARB memiliki mekanisme kerja dengan cara berinteraksi dengan asam amino pada domain transmembran, yang dapat mencegah angiotensin II untuk berikatan dengan reseptornya. Antagonisme terhadap angiotensin II ini secara langsung akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, penurunan produksi vasopresin, dan mengurangi sekresi aldosteron. Tiga efek ini secara bersama-sama akan menyebabkan penurunan tekanan darah, air, glukosa, dan garam dalam darah. Obat ini secara tidak langsung akan mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit. (Schmitz 2008)

Page 34: DM Dan Xerostomia - Materi

Gambar 3.5

Sumber : http://kkni.blogspot.com/

(Gambar 3.5) gambar diatas adalah proses terjadinya hipertensi dan tempat bereaksinya obat antihipertensi tipe angiotensin inhibitor mencegah terjadinya angiotensin II.

“Angiotensin Converting Enzyme” (ACE), dapat merubah angiotensin I menjadi angiotensin II yang bersifat aktif dan merupakan vasokonstriktor endogen serta dapat menstimulasi sintesa dan sekresi aldosteron dalam korteks adrenal. Peningkatan sekresi aldosteron akan mengakibatkan ginjal meretensi natrium dan cairan, serta meretensi kalium yang merupakan penyebab hipertensi. Angiotensin inhibitor dapat menurunkan kadar angiotensin II plasma dengan cara menghambat kerja ACE. Dalam kerjanya, Angiotensin inhibitor akan menghambat kerja ACE, akibatnya pembentukan angiotensin II terhambat, timbul vasodilatasi, penurunan sekresi aldosteron sehingga ginjal mensekresi natrium dan cairan serta mensekresi kalium. Obat ini secara tidak langsung akan mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit. (Hadyanto 2009)

CCB bekerja dengan cara menghambat influks kalsium pada otot polos pembuluh darah dan miokard. Kalsium merupakan unsur organis saliva, bila influks kalsium pada otot pembuluh darah dihambat secara tidak langsung akan mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit atau dengan mempengaruhi aliran darah ke kelenjar. (Hadyanto 2009)

BAB IV

PEMBAHASAN

Xerostomia bukanlah suatu diagnosis, namun merupakan suatu gejala yang kemungkinan dapat terjadi dengan berbagai penyebab, seperti efek samping obat-obatan, demam, diare, diabetes, gagal ginjal, berolahraga, stres, bernafas melalui mulut, kelainan syaraf dan usia. Xerostomia juga sering terjadi akibat penurunan volume atau perubahan komposisi saliva (menjadi pekat, penurunan pH dan kehilangan komponen organik – inorganik). Penyebab paling lazim xerostomia adalah obat. Jenis obat yang dapat menyebabkan xerostomia antara lain seperti antihipertensi, antihistamin, antidepresan, antikolinergik, anorexiants, antipsikotik, agen anti-Parkinson, diuretik dan obat penenang.

Obat-obatan adalah penyebab paling umum berkurangnya saliva, dan obat antihipertensi termasuk salah satu golongan obat yang dapat menyebabkan efek samping berupa xerostomia. Obat antihipertensi dapat mempengaruhi aliran saliva secara langsung dan tidak langsung. Bila secara langsung akan mempengaruhi aliran saliva dengan meniru aksi sistem syaraf autonom atau dengan bereaksi pada proses seluler yang diperlukan untuk saliva. Stimulasi saraf parasimpatis menyebabkan

Page 35: DM Dan Xerostomia - Materi

sekresi yang lebih cair dan saraf simpatis memproduksi saliva yang lebih sedikit dan kental. Sedangkan secara tidak langsung akan mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit atau dengan mempengaruhi aliran darah ke kelenjar.

Dalam menangani pasien xerostomia pada penderita hipertensi, terlebih dahulu dilakukan wawancara terhadap pasien dan meninjau ulang obat-obatan yang mereka gunakan, seperti dengan mengubah obat atau dosis untuk memberikan peningkatan aliran saliva.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Xerostomia adalah keluhan berupa adanya rasa kering dalam rongga mulutnya akibat adanya penurunan produksi saliva (hiposalivasi) atau perubahan komposisi saliva. Xerostomia atau mulut kering bukanlah suatu penyakit, tapi kondisi ini sangat menganggu. Terlebih lagi jika penyebab utama berasal dari penggunaan obat antihipertensi. Obat antihipertensi dapat mempengaruhi aliran saliva secara langsung dan tidak langsung. Bila secara langsung akan mempengaruhi aliran saliva dengan meniru aksi sistem syaraf autonom atau dengan bereaksi pada proses seluler yang diperlukan untuk saliva. Sedangkan secara tidak langsung akan mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit atau dengan mempengaruhi aliran darah ke kelenjar.

B. Saran

Penanganan xerostomia berfokus pada tiga area, yaitu dengan menghilangkan gejala, mencegah kerusakan gigi, dan meningkatan aliran air liur. Untuk meringankan gejala xerostomia, ada beberapa hal yang bisa dilakukan, seperti sering minum untuk menjaga kelembaban mulut. Gunakan pelembab mulut atau pengganti air liur. Hindari makanan asin, makanan kering (biskuit, kue, roti bakar), serta makanan dan minuman dengan kandungan gula tinggi. Hindari minuman yang mengandung alkohol atau kafein karena bisa meningkatkan frekuensi buang air kecil. Hindari merokok. Apabila dalam keadaan terapi obat maka hendaknya perlu mengetahui jenis dan efek dari obat yang digunakan sehingga akan mempermudah proses penanganan bila terjadi xerostomia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lim, Hadyanto. 2009, Farmakologi Kardiovaskuler, Ed. Ke-2, PT. SOFMEDIA, Jakarta.

2. Fox,P.C. 2008, ‘Xerostomia’, ADH’assosiation, Supplement to Access, hlm. 1-3.

Page 36: DM Dan Xerostomia - Materi

3. Lewis, M.A.O. 1998, Tinjauan Klinis Penyakit Mulut, Penerjemah : Elly Wiriawan, Widya Medika , Jakarta.

4. Indriyani, M. 2010, ‘Penanganan Keluhan Selain Nyeri’, Rumah kanker (Surabaya), 21 September, hlm.2

5. Guggenheimer, 2003, ‘ Xerostomia : Etiology, recognition and treatment’, J Am Dent Assoc, Vol 134, No 1, 61-69.

6. Navazesh M., 2003, “How can oral health care providers determine if patients have dry mouth?”, JADA, Vol. 134, hlm.615.

7. School of Pharmacy and Allied Health Sciences, University of Montana, 2010, 18 Oktober, Helping patients with dry mouth [Homepage of oral cancer foundation.org], [Online]. Available : http//www.oralcancerfoundation.org/dental/xerostomia.htm [19 Oktober 2010].

8. Lewis, M.A.O. 1998, Tinjauan Klinis Penyakit Mulut, Penerjemah : Elly Wiriawan, Widya Medika , Jakarta.

9. Schmitz, Gery. 2008, Farmakologi dan toksikologi, Penerjemah : Luki Setiadi, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta.

10. Bartels, CL, Xerostomia information for dentists

http://www.oralcancerfoundation.org/dental/xerostomia.htm

11. American Dental Association. The public: Oral health topics: Dry mouth. http://www.ada.org/public/topics/drymouth.html.

12. Glore RJ, Spiteri-Staines K, Paleri V. A patient with dry mouth. Clin

Otolaryngol. 2009 Aug;34(4):358-63.

13. Visvanathan V, Nix P. Managing the patient presenting with xerostomia: a review. Int J Clin Pract. 2009 Oct 10.

14. Fox PC, Cummins MJ, Cummins JM. Use of orally administered anhydrous crystalline maltose for relief of dry mouth. Journal of Alternative and Complementary Medicine 2001; 7: 33-43.

15. Flynn AA. Counseling special populations on oral health care needs: Patients who are at increased risk for oral disease need to take special care of their teeth. Am Pharm 1993;33:33-39

Page 37: DM Dan Xerostomia - Materi

Xerostomia: Salah Satu Manifestasi Oral Diabetik

DRG. CANE LUKISARI

DRG KUSHARJANTI, MKes, SpPM

I. PENDAHULUAN

Xerostomia adalah keluhan subyektif pada pasien berupa adanya rasa kering dalam rongga mulutnya akibat adanya penurunan produksi daliva (hiposalivasi) dan atau perubahan komposisi saliva (Guggenheimer 2003; Scully, 2005). Xerostomia merupakan term konvensional yang digunakan untuk keluhan subyektif pasien terhadap mulut kering, tetapi hiposalivasi merupakan kondisi obyektif tentang penurunan sekresi saliva. Walaupun sebagian besar pasien xerostomia mengalami hiposalivasi tetapi sebagian tidak demikian. Di lain sisi pasien yang dalam pengukuran mengalami hiposalivasi tetapi tidak mengeluhkan adanya xerostomia (Khovidhunkit, 2009).

Oral diabetik adalah segala manisfestasi di dalam rongga mulut pada penderita diabetes melitus (Alim, C, 2007), yang meliputi kelainan pada mukosa mulut, gingiva, jaringan periodontal, xerostomia diabetik / salivary dysfunctions, kelainan pada lidah, gangguan rasa dan kelainan neurosensoris, karies, burning mouth syndrome, fungal infections terutama candidiasis, Lichen planus, RAS, dan kelainan pada gigi geligi (Alim, C, 2007, Lamster, I et l, 2008, Ship, J, 2003).

Diabetes Melitus (DM) adalah sindroma metabolik yang terjadi oleh karena kurangnya sekresi hormon insulin atau oleh karena adanya faktor-faktor yang mengganggu kerja hormon insulin ataupun keduanya. Hai ini menyebabkan terjadinya kondisi tidak cukupnya hormon insulin sehingga terjadi peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah (hyperglycaemia) (Watskins, 2003).

II. EPIDEMIOLOGI:

Xerostomia diperkirakan terjadi pada berjuta-juta masyarakat USA. Penelitian menunjukkan 17-29% pada populasi sampel berdasarkan pada laporan sendiri (self report) dan hasil pengukuran saliva (Guggenheimer, 2003). Xerostomia dan hiposalivasi yang berhubungan dengan DM tipe I mempunyai frekuensi 24% : 18% dibandingkan kelompok kontrol. Sedangkan pada pasien dengan DM tipe II pada stimulated/unstimulated salivary flow terlihat penurunan yang signifikan (Khovidhunkit, 2009).

Page 38: DM Dan Xerostomia - Materi

Prevalensi xerostomia pada pasien DM tipe I 16% dengan durasi penyakit selama 10 th dan 54% pada pasien DM tipe II dengan durasi penyakit yang sama. Hal ini karena pasien DM tipe II sering terjadi pada usai lanjut yang telah mengalami komplikasi diabetik dalam waktu lama dan adanya gangguan medik serta pemberian obat-obatan justru semakin mempercepat terjadinya xerostomia (Pedersen, 2004).

III. ETIOPATOGENESA:

Saliva diproduksi leh kelenjar parotis, submandibularis , sublingualis serta ratusan kelenjar saliva minor yang terdistribusi di seluruh bagian rongga mulut. Setiap harinya kelenjar-kelenjar saliva ini diperkirakan menghasilan 1 liter/hari, flow rate dapat fluktuatif hingga 50% sesuai ritme diurnal (Guggenheimer, 2003).

Sistem syaraf simpatik dan parasimpatik menginervasi kelenjar saliva. Parasimpatis menginervasi lebih banyak pada “watery secretion” dan saraf simpatik lebih banyak menginervasi “viscous saliva”. Sensasi mulut kering seperti halnya yang dirasakan pada saat stress yang akut yang disebabkan adanya perubahan komposisi saliva pada saat ini stimulasi saraf simpatis lebih dominan selama periode ini. Selain itu gejala mulut kering ini juga disebabkan oleh dehidrasi mukosa rongga mulut dimana output kelenjar saliva minor dan mayor menurun serta lapisan saliva yang melapisis mukosa oral berkurang (Guggenheimer, 2003).

Mekanisme patogenesis antara DM dan perubahan fungsi kelenjar saliva hingga saat ini belum jelas. Dehidrasi sebagai hasil dari hiperglikemia yang lama sebagai konsekwensi dari poliuria merupakan penyebab utama xerostomia dan hipofungsi kelenjar saliva pada pasien DM. Dehidrasi saja tidak dapat menyebabkan perubahan fungsi kelenjar saliva. Infiltrat limfositik yang terlihat pada jaringan kelenjar saliva labial mengindikasikan bahwa jaringan kelenjar saliva merupakan target suatu proses autoimun yang sama dengan sel-pancreas (Vernillo, 2003; Pedersen, 2004; Greenberg, 2003).

Degenerasi yang terus menerus pada jaringan kelenjar saliva akan menyebabkan 10-25% terjadinya hipofungsi dan gangguan komposisi saliva. DM tipe I dan II dapat menyebabkan pembesaran bilateral yang asimtomatik pada kelenjar parotis dan kadang-kadang kelenjar submandibularis yang biasa disebut sialosis diabeti (Pedersen, 2004).

Terdapat 2 hal yang sering merupakan komplikasi degeneratif DM yaitu otonomik neuropati dan mikroangiopati yang menyebabkan terjadinya gangguan struktural pada jaringan kelenjar saliva dan kemudian terjadi hipofungsi pada kelenjar ini serta dipengaruhi inervasi otonomik dan mikrosirkulasi pada jaringan kelenjar. Pasien dengan neuropati diabetik dilaporkan mengalami peningkatan dan penurunan flow saliva. Tidak ada konsensus pada hubungan antara DM dan disfungsi kelenjar saliva. Xerostomia dan hipofungsi kelenjar saliva sering dilaporkan berhubungan penyakit DM dimana terjadi kontrol metabolik yang buruk (Pedersen, 2004).

IV. MANIFESTASI RONGGA MULUT:

Penurunan saliva akan menyebabkan keluhan mulut kering, rasa terbakar atau rasa sakit serta adanya sensasi hilangnya indra pengecap. Manifestasi lainnya kemungkinan adalah peningkatan keinginan

Page 39: DM Dan Xerostomia - Materi

untuk minum air saat menelan. Kesulitan penelanan ini meningkat saat digunakan untuk mekan makanan kering. Pada kondisi awal secara klinis xerostomia secara klinis didahului perubahan-perubahan nyata pada mukosa rongga mulut atau penurunan fungsi kelenjar saliva. Selama proses xerostomia , pemeriksaan pada rongga mulut dapat terluhat juga erythematous pebbled, cobblestoned or fissured tongue dan atropi papila filiformis. Jaringan rongga mulut terlihat kemerahan seperti terbakar akan menimbulkan finger’s adhering.

Palpasi eksternal pada kelenjar parotis dan submandibularis dengan menempatkan kapas swab kering akan nampak gangguan pembukaan duktus dan tidak tampak adanya aliran saliva dari duktus tersebut. Pada geligi nampak peningkatan tendensi terjadinya karies dan terjadi ketidaknyamanan penggunaan denture serta hilangnya retensi. Kondisi ini juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi pada rongga mulut dan orofaring serta candidiasis dan keilitis. (Guggenheimer, 2003). Hiposalivasi dan perubahan komposisi saliva berhubungan dengan peningkatan terjadinya infeksi rongga mulut, gangguan kesembuhan luka dan peningkatan karies gigi (Perseden, 2004), atropik cracking pada mukosa, mukositis, ulserasi, diskwamasi dan inflamasi (Vernillo, 2003).

V. DIAGNOSA

Diagnosa untuk mengetahui terjadinya xerostomia terdiri atas beberapa tahapan:

1. Keluhan utama pasien dan riwayat penyakit.

Sebagian besar pasien yang datang dengan keluhan mulut kering, tetapi untuk pasien dengan xerostomia yang asimtomatik pertanyaan-pertanyaan tertentu dapat membantu diagnosa, misalnya:

a. Apakah saliva dalam mulut anda terasa sangat sedikit, terlalu banyak atau anda tidak memperhatikannya?

b. Apakah anda mengalami kesulitan menelan?

c. Apakah mulut anda tersa kering ketika makan makanan?

d. Apakah anda perlu menghisap air jika akan menelan makanan kering?

Jawaban”ya” untuk poin “a” pada jawaban “terlalu sedikit” mengindikasikan adanya penurunan unstimulated saliva. Jawaban “ya” pada 3 poin berikutnya menunjukkan penurunan stimulated saliva.

Untuk pasien simtomatik seorang dokter gigi dapat menggunakan metode Visual Analogue Scale (VAS) yang dapat menggambarkan keparahan seorang pasien ketika datang dan untuk mengevaluasi respon pasien setelah terapi. Metode ini seringkali digunakan oleh para klinisi untuk pemeriksaan nyeri pada pasien tetapi dapat juga digunakan untuk pemeriksaan saliva (Navazesh, 2003).

2. Riwayat kesehatan

Page 40: DM Dan Xerostomia - Materi

Walaupun riwayat kesehatan pasien telah banyak tercatat pada rekam medis tetapi evaluasi fungsi kelenjar saliva jarang dilakukan kecuali pasien mengeluh adanyanya gejala tertentu. Sekresi saliva dipengaruhi oleh kondisi, keparahan, jumlah dan variasi durasi kelainan-kelainan medis dan pengobatan (Navazesh, 2003).

Pada pasien dengan DM, tentu saja memerlukan pemeriksaan glukosa darah untuk mendiagnosa kelainan ini. Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan glukosa darah dantidak cukup hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Uji diagnostik DM dilakukan pada individu yang menunjukkan gejala/tanda DM (Alim, C, 2007).

Gejala klinis DM adalah: poliuria, polidipsi dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya (trias) (Hernawan, I, 2006) dan Kadar gula darah sewaktu lebih besar dari 200 mg/dL sudah cukup menegakkan diagnosa DM. Sekurang-kurangnya diperlukan pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dua kali abnormal pada waktu yang berbeda atau dua hasil abnormal pada waktu yang sama. Bila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu meragukan maka untuk konfirmasi diagnosa DM perlu dilakukan Tes Toleransi Glukosa Oral (Alim, C, 2007).

Kadar glukosa darah puasa semalam (lebih dari 10 jam), dimana kadar normal kadarnya 70/80 – 100/120 mg/dL. Kadar glukosa darah puasa yang tinggi menunjukkan bahwa produksi insulin tidak cukup walaupun hanyak untuk kebutuhan basal. Kadar glukosa darah puasa pada penderita diabetes melitus di atas 120 – 130 mg/dL (Alim, C , 2007). Kadar glukosa darah post-Prandial (PP) yaitu Kadar glukosa darah sesudah makan atau pemberian glukosa dalam jumlah tertentu (seperti TTGO) disebut kadar glukosa darah post-prandial. Dasar pemeriksaan ini adalah pada orang normal setelah makan atau minum larutan glukosa dalam jumlah tertentu, kadar glkosa darahnya akan naik dan mencapai puncaknya setelah kira-kira satu jam PP, kemudian turun sehingga kadarnya pada dua jam PP mendekati kadar glukosa darah puasa. Pada penderita DM kenaikan kadar glukosa menetap dan lambat sekali atau sulit kembali normal. Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan cara oral dan intra vena (Alim, C, 2007).

3. Pemeriksaan klinis

Meliputi pemeriksaan pasien secara menyeluruh yitu pemeriksaan kelenjar saliva, jaringan lunak dan jaringan keras rongga mulut. Pemeriksaan kelenjar saliva meliputi segala sesuatu yang ditemukan misalnya pembesaran, tenderness, berkurangnya saliva, kontaminasi saliva (pus atau darah) saat palpasi. Pemeriksaan jaringan lunak meliputi “kondisi kering” , keadaan yang mengering, atropi, fisur, lobulated dan perubahan warna mukosa. Dokter gigi dapat menggunakan tongue blade untuk melihat kekeringan mukosa, jika alat melekat pada mukosa berarti terjadi penurunan sekresi saliva. Pemeriksaan jaringan keras meliputi pemeriksaan geligi yang karies, tingkat keparahannya dan rekurensinya (Guggenheimer, 2003).

4. Pemeriksaan lanjutan

Sebagai pemeriksaan lanjutan dapat dengan melakukan pemeriksaan tunggal atau kombinasi untuk mendapatkan final diagnosa. Pemeriksaan meliputi sialometri, serologi, mikrobial, histologi dan imaging.

Page 41: DM Dan Xerostomia - Materi

a. Pemeriksaam sialometri

Pengumpulan ”whole saliva” lebih mudah dilakukan, dapat dilakukan pada saat istirahat (unstimulated / resting), dan pada saat pasien melakukan pengunyahan/aktivitas (stimulated). Unstimulated saliva normal adalah 0,1-0,2 ml/menit (gr/menit) dan stimulated saliva adalah 0,7 ml/menit (gr/menit).

Unstimulated saliva dilakukan pada pasien yang telah mengistirahatkan rongga mulutnya minimal 90 menit, duduk tegak lurus dengan kepala sedikit miring ke depan, pada situasi yang hening, mata tetap terbuka, kemudian melakukan gerakan pengunyahan awal, saliva ditampung setiap 5 menit sekali melalui corong ke dalam gelas ukur.

Stimulated saliva dilakukan pada pasien yang terlebih dahulu mengunyah permen karet selama ± 45 menit, kemudian pasien menampung salivanya setiap menit selama 5 menit (Navazesh, 2003).

b. Biopsi kelenjar saliva minor

Perubahan histopatologi pada kelenjar saliva mayor dan minor menggambarkan adanya pengaruh kondisi lokal atau sistemik yang mempengaruhi sekresi kelenjar saliva. Tempat yang paling sering dilakukan biopsi ini adalah pada bibir bawah. Pemeriksaan ini biasanya untuk melihat kluster limfosit (>> 50 limfosit pada 4x4 mm) yang didiagnosa sebagai sjogren syndrome, sehingga dapat

dibedakan untuk mendiagnosa xerostomia karena penyebab lain (Navazesh, 2003).

VI. TERAPI

Pendekatan umum terapi pasien hiposalivasi dan xerostomia adalah terapi paliatif yang berfungsi untuk mengurangi gejala dan mencegah terjadinya komplikasi oral (Guggenheimer, 2003). Terapi rehidrasi terutama untuk pasien DM, stimulasi kelenjar saliva (masticatory, gustatory, pharmacotherapeutic), saliva buatan, antimikrobial dan terapi fluor merupakan terapi yang dapat direkomendasikan (Navazesh, 2003)

Beberapa produk yang dapat digunakan pada pasien xerostomia misalnya saliva buatan, beberapa formulasi seperti obat kumur, aerosol, permen karet dan dentifrices yang juga dapat memicu sekresi saliva. Agen kolinergik yang menstimulasi reseptor asetilkolin kelenjar saliva mayor, yaitu obat-obat parasimpatomimetik misalnya pilocarpin hidrochloride walaupun pasien mengeluh kurang nyaman dengan pemakain obat ini.Jika penanganan secara medis belum juga memberikan respon yang baik ada baiknya disarankan memnggunakan terapi alternatif seperti akupuntur (Guggenheimer, 2003).

Pasien dengan gejala sistemik sebaiknya diberikan penanganan sesuai kelainan yang dideritanya. Seorang pasien dengan DM (tipe 1 dan 2) seharusnya mendapatkan pengobatan DM dengan baik sehingga kontrol metaboliknya menjadi lebih baik, sehingga diharapkan akan memperbaiki kondisi xerostomia yang dialaminya.

Terapi insulin merupakan terapi utama untuk pasien dengan DM tipe 1. Terdapat banyak metodem pemggunaan terapi insulin yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien tatapi secara umum merupakan

Page 42: DM Dan Xerostomia - Materi

injeksi subkutan (Kinambi, 2008), pemberian Preparat amylin komersial (pramlintide) dan Oral Hypoglicemic Agent (OHA) adalah terapi garis pertama yang digunakan untuk pasien dengan DM tipe 2, dan berfungsi untuk meningkatkan sekresi insulin pancreas dan kerja insulin (insulin action) (Kinambi, 2008).

Page 43: DM Dan Xerostomia - Materi

Komposisi saliva!

99,5% air. 0,5 % garam-garam dan zat organic (protein,lipid,glukosa,asam amino, amoniak, vitamin,asam lemak) serta anorganik (sodium,fosfat,potassium,kalsium,chloride,magnesium bikarbonat, rodanida dan theocynate (cns) dll).

Fungsi saliva!

Pelumas makanan

Antivirus dan antibakteri

Membantu system pencernaan

Melindungi jaringan di dalam rongga mulut

Membantu memecah makanan sehingga papilla bisa merasakan makanan

Menghindari karies gigi, buffering

Membantu bicara, memberi pelumas pada pipi dan lidah

Deteksi penyakit

Menegtahui ukuran keseimbangan air dalam tubuh

Faktor yang mempengaruhi sekresi saliva?

Umur

Jenis kelamin

Kondisi biologis (orang yg sakit)

Makanan saat itu

Obat

Intensitas dan lamanya rangsangan (bau/aroma, makanan)

Psikis dan neuronal

Curah dan pH saliva normal?

Curah: tdk terstimulasi 0,32-0,4 ml/menit

Terstimulasi: 1-4 ml/menit

Page 44: DM Dan Xerostomia - Materi

PH: 6,7-7,3

Page 45: DM Dan Xerostomia - Materi
Page 46: DM Dan Xerostomia - Materi

Definisi

Xerostomia adalah keluhan berupa adanya rasa kering dalam rongga mulutnya akibat adanya penurunan produksi saliva (hiposalivasi) atau perubahan komposisi saliva. Apabila terjadi kelainan pada kelenjar saliva mayor dan minor dapat menimbulkan penyakit xerostomia. Air liur yang sering disebut saliva berasal dari kelenjar-kelenjar saliva yang terdapat di rongga mulut. Kelenjar saliva terdiri atas kelenjar saliva mayor dan kelenjar saliva minor. Kelenjar saliva mayor terdiri dari 3 pasang kelenjar yaitu kelenjar saliva parotis, submandibularis, dan sublingualis yang terletak di sekitar daerah leher. Sedangkan kelenjar saliva minor tersebar di seluruh mukosa mulut. (Lewis 1998)

Etiologi

Banyak orang mengeluh mulutnya kering walaupun kelenjar saliva mereka berfungsi dengan normal. Xerostomia sejati dapat disebabkan oleh penyakit kelenjar saliva primer atau manifestasi sekunder dari suatu kelainan sistemik atau terapi obat. (Lewis 1998)

Xerostomia terjadi ketika jumlah air liur yang menggenangi selaput lendir mulut berkurang. Output air liur diperkirakan satu liter per hari. Kekurangan air liur atau kekeringan oral dapat dipercepat oleh dehidrasi mukosa oral yang terjadi saat output oleh kelenjar saliva mayor, kelenjar saliva minor dan lapisan air liur yang menutupi mukosa oral berkurang. (Guggenheimer 2003)

Xerostomia juga sering terjadi akibat penurunan volume atau perubahan komposisi saliva (menjadi pekat, penurunan pH dan kehilangan komponen organik–inorganik). Ada beberapa penyebab xerostomia seperti bernapas melalui mulut (False dry mouth), dehidrasi, kandidiasis oral, febris, infiltrasi pada kelenjar saliva, hiperkalsemia, radioterapi kepala leher. Penyebab lain : seperti depresi (False dry mouth), diabetes mellitus, diabetes insipidus, hipotiroidisme. (Indriyani 2010)

Penyebab paling lazim xerostomia adalah obat. Lebih dari 400 obat yang pada umumnya digunakan dapat menyebabkan xerostomia. Jenis obat yang dapat menyebabkan xerostomia antara lain seperti antihipertensi, antihistamin, antidepresan, antikolinergik, anorexiants, antipsikotik, agen anti-Parkinson, diuretik dan obat penenang. Pasien yang mengeluh xerostomia harus diwawancarai dan obat-obatan yang mereka pakai harus ditinjau ulang seperti dengan mengubah obat atau dosis untuk memberikan peningkatan aliran saliva. (University of Montana 2010)

Patogenesis

Page 47: DM Dan Xerostomia - Materi

Saliva diproduksi leh kelenjar parotis, submandibularis , sublingualis serta ratusan kelenjar saliva minor yang terdistribusi di seluruh bagian rongga mulut. Setiap harinya kelenjar-kelenjar saliva ini diperkirakan menghasilan 1 liter/hari, flow rate dapat fluktuatif hingga 50% sesuai ritme diurnal (Guggenheimer, 2003).

Sistem syaraf simpatik dan parasimpatik menginervasi kelenjar saliva. Parasimpatis menginervasi lebih banyak pada “watery secretion” dan saraf simpatik lebih banyak menginervasi “viscous saliva”. Sensasi mulut kering seperti halnya yang dirasakan pada saat stress yang akut yang disebabkan adanya perubahan komposisi saliva pada saat ini stimulasi saraf simpatis lebih dominan selama periode ini. Selain itu gejala mulut kering ini juga disebabkan oleh dehidrasi mukosa rongga mulut dimana output kelenjar saliva minor dan mayor menurun serta lapisan saliva yang melapisis mukosa oral berkurang (Guggenheimer, 2003).

Mekanisme patogenesis antara DM dan perubahan fungsi kelenjar saliva hingga saat ini belum jelas. Dehidrasi sebagai hasil dari hiperglikemia yang lama sebagai konsekwensi dari poliuria merupakan penyebab utama xerostomia dan hipofungsi kelenjar saliva pada pasien DM. Dehidrasi saja tidak dapat menyebabkan perubahan fungsi kelenjar saliva. Infiltrat limfositik yang terlihat pada jaringan kelenjar saliva labial mengindikasikan bahwa jaringan kelenjar saliva merupakan target suatu proses autoimun yang sama dengan sel-pancreas (Vernillo, 2003; Pedersen, 2004; Greenberg, 2003).

Degenerasi yang terus menerus pada jaringan kelenjar saliva akan menyebabkan 10-25% terjadinya hipofungsi dan gangguan komposisi saliva. DM tipe I dan II dapat menyebabkan pembesaran bilateral yang asimtomatik pada kelenjar parotis dan kadang-kadang kelenjar submandibularis yang biasa disebut sialosis diabeti (Pedersen, 2004).

Terdapat 2 hal yang sering merupakan komplikasi degeneratif DM yaitu otonomik neuropati dan mikroangiopati yang menyebabkan terjadinya gangguan struktural pada jaringan kelenjar saliva dan kemudian terjadi hipofungsi pada kelenjar ini serta dipengaruhi inervasi otonomik dan mikrosirkulasi pada jaringan kelenjar. Pasien dengan neuropati diabetik dilaporkan mengalami peningkatan dan penurunan flow saliva. Tidak ada konsensus pada hubungan antara DM dan disfungsi kelenjar saliva. Xerostomia dan hipofungsi kelenjar saliva sering dilaporkan berhubungan penyakit DM dimana terjadi kontrol metabolik yang buruk (Pedersen, 2004).

Manifestasi klinis

Page 48: DM Dan Xerostomia - Materi

Penurunan saliva akan menyebabkan keluhan mulut kering, rasa terbakar atau rasa sakit serta adanya sensasi hilangnya indra pengecap. Manifestasi lainnya kemungkinan adalah peningkatan keinginan untuk minum air saat menelan. Kesulitan penelanan ini meningkat saat digunakan untuk mekan makanan kering. Pada kondisi awal secara klinis xerostomia secara klinis didahului perubahan-perubahan nyata pada mukosa rongga mulut atau penurunan fungsi kelenjar saliva. Selama proses xerostomia , pemeriksaan pada rongga mulut dapat terluhat juga erythematous pebbled, cobblestoned or fissured tongue dan atropi papila filiformis. Jaringan rongga mulut terlihat kemerahan seperti terbakar akan menimbulkan finger’s adhering.

Palpasi eksternal pada kelenjar parotis dan submandibularis dengan menempatkan kapas swab kering akan nampak gangguan pembukaan duktus dan tidak tampak adanya aliran saliva dari duktus tersebut. Pada geligi nampak peningkatan tendensi terjadinya karies dan terjadi ketidaknyamanan penggunaan denture serta hilangnya retensi. Kondisi ini juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi pada rongga mulut dan orofaring serta candidiasis dan keilitis. (Guggenheimer, 2003). Hiposalivasi dan perubahan komposisi saliva berhubungan dengan peningkatan terjadinya infeksi rongga mulut, gangguan kesembuhan luka dan peningkatan karies gigi (Perseden, 2004), atropik cracking pada mukosa, mukositis, ulserasi, diskwamasi dan inflamasi (Vernillo, 2003).

DIAGNOSA

Diagnosa untuk mengetahui terjadinya xerostomia terdiri atas beberapa tahapan:

1. Keluhan utama pasien dan riwayat penyakit.

Sebagian besar pasien yang datang dengan keluhan mulut kering, tetapi untuk pasien dengan xerostomia yang asimtomatik pertanyaan-pertanyaan tertentu dapat membantu diagnosa, misalnya:

a. Apakah saliva dalam mulut anda terasa sangat sedikit, terlalu banyak atau anda tidak memperhatikannya?

b. Apakah anda mengalami kesulitan menelan?

c. Apakah mulut anda tersa kering ketika makan makanan?

d. Apakah anda perlu menghisap air jika akan menelan makanan kering?

Jawaban”ya” untuk poin “a” pada jawaban “terlalu sedikit” mengindikasikan adanya penurunan unstimulated saliva. Jawaban “ya” pada 3 poin berikutnya menunjukkan penurunan stimulated saliva.

Untuk pasien simtomatik seorang dokter gigi dapat menggunakan metode Visual Analogue Scale (VAS) yang dapat menggambarkan keparahan seorang pasien ketika datang dan untuk mengevaluasi respon

Page 49: DM Dan Xerostomia - Materi

pasien setelah terapi. Metode ini seringkali digunakan oleh para klinisi untuk pemeriksaan nyeri pada pasien tetapi dapat juga digunakan untuk pemeriksaan saliva (Navazesh, 2003).

2. Riwayat kesehatan

Walaupun riwayat kesehatan pasien telah banyak tercatat pada rekam medis tetapi evaluasi fungsi kelenjar saliva jarang dilakukan kecuali pasien mengeluh adanyanya gejala tertentu. Sekresi saliva dipengaruhi oleh kondisi, keparahan, jumlah dan variasi durasi kelainan-kelainan medis dan pengobatan (Navazesh, 2003).

Pada pasien dengan DM, tentu saja memerlukan pemeriksaan glukosa darah untuk mendiagnosa kelainan ini. Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan glukosa darah dantidak cukup hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Uji diagnostik DM dilakukan pada individu yang menunjukkan gejala/tanda DM (Alim, C, 2007).

Gejala klinis DM adalah: poliuria, polidipsi dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya (trias) (Hernawan, I, 2006) dan Kadar gula darah sewaktu lebih besar dari 200 mg/dL sudah cukup menegakkan diagnosa DM. Sekurang-kurangnya diperlukan pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dua kali abnormal pada waktu yang berbeda atau dua hasil abnormal pada waktu yang sama. Bila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu meragukan maka untuk konfirmasi diagnosa DM perlu dilakukan Tes Toleransi Glukosa Oral (Alim, C, 2007).

Kadar glukosa darah puasa semalam (lebih dari 10 jam), dimana kadar normal kadarnya 70/80 – 100/120 mg/dL. Kadar glukosa darah puasa yang tinggi menunjukkan bahwa produksi insulin tidak cukup walaupun hanyak untuk kebutuhan basal. Kadar glukosa darah puasa pada penderita diabetes melitus di atas 120 – 130 mg/dL (Alim, C , 2007). Kadar glukosa darah post-Prandial (PP) yaitu Kadar glukosa darah sesudah makan atau pemberian glukosa dalam jumlah tertentu (seperti TTGO) disebut kadar glukosa darah post-prandial. Dasar pemeriksaan ini adalah pada orang normal setelah makan atau minum larutan glukosa dalam jumlah tertentu, kadar glkosa darahnya akan naik dan mencapai puncaknya setelah kira-kira satu jam PP, kemudian turun sehingga kadarnya pada dua jam PP mendekati kadar glukosa darah puasa. Pada penderita DM kenaikan kadar glukosa menetap dan lambat sekali atau sulit kembali normal. Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan cara oral dan intra vena (Alim, C, 2007).

3. Pemeriksaan klinis

Meliputi pemeriksaan pasien secara menyeluruh yitu pemeriksaan kelenjar saliva, jaringan lunak dan jaringan keras rongga mulut. Pemeriksaan kelenjar saliva meliputi segala sesuatu yang ditemukan misalnya pembesaran, tenderness, berkurangnya saliva, kontaminasi saliva (pus atau darah) saat palpasi. Pemeriksaan jaringan lunak meliputi “kondisi kering” , keadaan yang mengering, atropi, fisur, lobulated dan perubahan warna mukosa. Dokter gigi dapat menggunakan tongue blade untuk melihat kekeringan mukosa, jika alat melekat pada mukosa berarti terjadi penurunan sekresi saliva. Pemeriksaan

Page 50: DM Dan Xerostomia - Materi

jaringan keras meliputi pemeriksaan geligi yang karies, tingkat keparahannya dan rekurensinya (Guggenheimer, 2003).

4. Pemeriksaan lanjutan

Sebagai pemeriksaan lanjutan dapat dengan melakukan pemeriksaan tunggal atau kombinasi untuk mendapatkan final diagnosa. Pemeriksaan meliputi sialometri, serologi, mikrobial, histologi dan imaging.

a. Pemeriksaam sialometri

Pengumpulan ”whole saliva” lebih mudah dilakukan, dapat dilakukan pada saat istirahat (unstimulated / resting), dan pada saat pasien melakukan pengunyahan/aktivitas (stimulated). Unstimulated saliva normal adalah 0,1-0,2 ml/menit (gr/menit) dan stimulated saliva adalah 0,7 ml/menit (gr/menit).

Unstimulated saliva dilakukan pada pasien yang telah mengistirahatkan rongga mulutnya minimal 90 menit, duduk tegak lurus dengan kepala sedikit miring ke depan, pada situasi yang hening, mata tetap terbuka, kemudian melakukan gerakan pengunyahan awal, saliva ditampung setiap 5 menit sekali melalui corong ke dalam gelas ukur.

Stimulated saliva dilakukan pada pasien yang terlebih dahulu mengunyah permen karet selama ± 45 menit, kemudian pasien menampung salivanya setiap menit selama 5 menit (Navazesh, 2003).

b. Biopsi kelenjar saliva minor

Perubahan histopatologi pada kelenjar saliva mayor dan minor menggambarkan adanya pengaruh kondisi lokal atau sistemik yang mempengaruhi sekresi kelenjar saliva. Tempat yang paling sering dilakukan biopsi ini adalah pada bibir bawah. Pemeriksaan ini biasanya untuk melihat kluster limfosit (>> 50 limfosit pada 4×4 mm) yang didiagnosa sebagai sjogren syndrome, sehingga dapat

dibedakan untuk mendiagnosa xerostomia karena penyebab lain (Navazesh, 2003).

TERAPI

Pendekatan umum terapi pasien hiposalivasi dan xerostomia adalah terapi paliatif yang berfungsi untuk mengurangi gejala dan mencegah terjadinya komplikasi oral (Guggenheimer, 2003). Terapi rehidrasi terutama untuk pasien DM, stimulasi kelenjar saliva (masticatory, gustatory, pharmacotherapeutic), saliva buatan, antimikrobial dan terapi fluor merupakan terapi yang dapat direkomendasikan (Navazesh, 2003)

Beberapa produk yang dapat digunakan pada pasien xerostomia misalnya saliva buatan, beberapa formulasi seperti obat kumur, aerosol, permen karet dan dentifrices yang juga dapat memicu sekresi saliva. Agen kolinergik yang menstimulasi reseptor asetilkolin kelenjar saliva mayor, yaitu obat-obat parasimpatomimetik misalnya pilocarpin hidrochloride walaupun pasien mengeluh kurang nyaman

Page 51: DM Dan Xerostomia - Materi

dengan pemakain obat ini.Jika penanganan secara medis belum juga memberikan respon yang baik ada baiknya disarankan memnggunakan terapi alternatif seperti akupuntur (Guggenheimer, 2003).

Pasien dengan gejala sistemik sebaiknya diberikan penanganan sesuai kelainan yang dideritanya. Seorang pasien dengan DM (tipe 1 dan 2) seharusnya mendapatkan pengobatan DM dengan baik sehingga kontrol metaboliknya menjadi lebih baik, sehingga diharapkan akan memperbaiki kondisi xerostomia yang dialaminya.

Terapi insulin merupakan terapi utama untuk pasien dengan DM tipe 1. Terdapat banyak metodem pemggunaan terapi insulin yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien tatapi secara umum merupakan injeksi subkutan (Kinambi, 2008), pemberian Preparat amylin komersial (pramlintide) dan Oral Hypoglicemic Agent (OHA) adalah terapi garis pertama yang digunakan untuk pasien dengan DM tipe 2, dan berfungsi untuk meningkatkan sekresi insulin pancreas dan kerja insulin (insulin action) (Kinambi, 2008).

Page 52: DM Dan Xerostomia - Materi

TEORI DASAR

Sistem saraf pusat merupakan sistem saraf eferen (motorik) yang mempersarafi organ-organ dalam seperti otot-otot polos, otot jantung, dan berbagai kelenjar.1 Sistem ini melakukan fungsi kontrol, semisal: kontrol tekanan darah, motilitas gastrointestinal, sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, proses berkeringat, suhu tubuh, dan beberapa fungsi lain. Karakteristik utam SSO adalah kemampuan memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saj denyut jantung dapat meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik, berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian, SSO merupakan komponen dari refleks visceral (Guyton, 2006).

Gambar 1 – Diagram skematik sistem persarafan di manusia. SSO akan terbagi menjadi dua divisi, yakni simpatis dan parasimpatis

Perjalanan SSO dimulai dari persarafan sistem saraf pusat (selanjutnya disebut SSP). Neuron orde pertama berada di SSP, baik di sisi lateral medulla spinalis maupun di batang otak. Akson neuron orde pertama ini disebut dengan serabut preganglion (preganglionic fiber). Serabut ini bersinaps dengan badan sel neuron orde kedua yang terletak di dalam ganglion. Serabut pascaganglion menangkap sinyal dari serabut preganglion melalui neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut preganglion. Seperti yang telah diketahui, ganglion merupakan kumpulan badan sel yang terletak di luar SSP. Akson neuron orde kedua, yang disebut dengan serabut pascaganglion (postganglionic fiber) muncul dari ganglion menuju organ yang akan diinervasi. Organ efektor menerima impuls melalui pelepasan neurotransmiter oleh serabut pascaganglion. Kecuali untuk medulla adrenal, baik sistem saraf simpatis dan parasimpatis mengikuti pola seperti yang telah dijelaskan di atas (Regar, 2010).

Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf

Page 53: DM Dan Xerostomia - Materi

otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce, 2002).

Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada sistem saraf otonom digolongkan menjadi :

a. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai berikut : ·

· Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari saraf simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-lain.

· Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale, propanolol, dan lain-lain.

b. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai berikut

· Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin

· Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida belladonna (Pearce, 2002).

Obat adrenergik merupakan obat yang memiliki efek yang ditimbulkankannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin (yang disebut adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis. Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis :

a. Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa dan terhadap kelenjar liur dan keringat

b. Penghambat perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka

c. Perangsang jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi

d. Perangsang Sistem saluran pernapasan

e. Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenilisis dihati dan otot dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak

f. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, rennin dan hormon hipofisis

g. Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan neurotransmitor (Haritsah, 2011).

Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormonasetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama SP adalah mengumpulkan energi darimakanan dan menghambat

Page 54: DM Dan Xerostomia - Materi

penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SPdirangsang, timbullah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga sekresi air mata, memperkuat sirkulasi,antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah,memperlambat pernafasan, antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekananintraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter denganefek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekanSSP setelah pada permulaan menstimulasinya, dan lain-lain. (Tan dan Rahardja, 2002).

Reseptor kolinergika terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron postganglioner dari SP, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian Susunan Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan, reseptor ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yakni:

§ Reseptor Muskarinik

Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan study ikatan dan panghambat tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas reseptor muskarinik seperti M1, M2, M3, M4, M5. Reseptor muskarinik dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksokrin. Secara khusus walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdapat dalam neuron, namun reseptor M1 ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat dalam otot polos dan jantung, dan reseptor M3 dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. Obat-obat yang bekerja muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik dalam jaringan tadi, tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula (Aprilia, 2010).

§ Reseptor Nikotinik

Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat di dalam sistem saraf pusat, medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular. Obat-obat yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor nikotinik yang terdapat di jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda dengan reseptor yang terdapat pada sambungan neuromuskulular. Sebagai contoh, reseptor ganglionik secara selektif dihambat oleh heksametonium, sedangkan reseptor pada sambungan neuromuskular secara spesifik dihambat oleh turbokurarin

(Mycek, 2001).

Page 55: DM Dan Xerostomia - Materi

Salah satu kolinergika yang sering digunakan dalam pengobatan glaukoma adalah pilokarpin. Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini ternyata sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama digunakan untuk oftamologi. Penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme akomodasi, dan penglihatan akan terpaku pada jarak tertentu, sehingga sulit untuk memfokus suatu objek (Aprilia, 2010).

Pilokarpin juga merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian.Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan tekanan bolamata baik glaukoma bersudut sempit maupun bersudut lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular di sekitar kanal Schlemm, sehingga tekanan bola mata turundengan segera akibat cairan humor keluar dengan lancar. Kerjanya ini dapat berlangsungsekitar sehari dan dapat diulang kembali. Obat penyekat kolinesterase, seperti isoflurofatdan ekotiofat, bekerja lebih lama lagi. Disamping kemampuannya dalam mengobatiglaukoma, pilokarpin juga mempunyai efek samping. Dimana pilokarpin dapat mencapaiotak dan menimbulkan gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan salivasi yangberlebihan (Mycek, 2001).

Antikolinergik adalah ester dari asam aromatik dikombinasikan dengan basa organik. Ikatan ester adalah esensial dalam ikatan yang efektif antara antikolinergik dengan reseptor asetilkolin. Obat ini berikatan secara blokade kompetitif dengan asetilkolin dan mencegah aktivasi reseptor. Efek selular dari asetilkolin yang diperantarai melalui second messenger seperti cyclic guanosine monophosphate (cGMP) dicegah.Reseptor jaringan bervariasi sensitivitasnya terhadap blokade. Faktanya : reseptor muskarinik tidak homogen dan subgrup reseptor telah dapat diidentifikasikan : reseptor neuronal (M1),cardiak (M2) dan kelenjar (M3) (Yeni, 2011).