wrap up skenario hcc.docx

38
SKENARIO 2 NYERI PERUT KANAN ATAS Seorang laki-laki berumur 54 tahun, berobat ke poli penyakit dalam. Pasien mengeluhkan nyeri pada perut kanan atas yang dialami sejak 6 bulan lalu, hilang timbul namun dua bulan terakhir nyeri semakin sering. Merasa mual dan selera makan berkurang sejak 4 bulan yang lalu sehingga berat badan berkurang 15 kg. Dari anamnesis diketahui pasien pernah terkena hepatitis 15 tahun yang lalu dan sering mengkonsumsi alkohol. Pada pemeriksaan fisik ditemukan BB 45 kg dengan TB 165 cm. Tekanan darah dan tanda vital lainnya normal. Pemeriksaan abdomen Hepatomegali, dengan permukaan hati bernodul, tepi tumpul dan nyeri tekan (+). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan serum transaminase SGPT dan SGOT dengan bilirubin normal, Alpha Feto Protein (AFP) 1000 U/L (normal: < 10 U/L), anti-HCV positif. Setelah diberikan analgetik dan hepatoprotektor nyeri mereda. Setelah dilakukan pemeriksaan USG dan biopsi hati pasien didiagnosis karsinoma hepatoseluler. Pasien dianjurkan untuk menjalani transplantasi hati. Pasien meminta waktu untuk berkonsultasi dengan seorang ulama. 1

Upload: dewi-setianingsih

Post on 13-Jul-2016

40 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: wrap up skenario HCC.docx

SKENARIO 2

NYERI PERUT KANAN ATAS

Seorang laki-laki berumur 54 tahun, berobat ke poli penyakit dalam. Pasien mengeluhkan nyeri pada perut kanan atas yang dialami sejak 6 bulan lalu, hilang timbul namun dua bulan terakhir nyeri semakin sering. Merasa mual dan selera makan berkurang sejak 4 bulan yang lalu sehingga berat badan berkurang 15 kg. Dari anamnesis diketahui pasien pernah terkena hepatitis 15 tahun yang lalu dan sering mengkonsumsi alkohol.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan BB 45 kg dengan TB 165 cm. Tekanan darah dan tanda vital lainnya normal. Pemeriksaan abdomen Hepatomegali, dengan permukaan hati bernodul, tepi tumpul dan nyeri tekan (+). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan serum transaminase SGPT dan SGOT dengan bilirubin normal, Alpha Feto Protein (AFP) 1000 U/L (normal: < 10 U/L), anti-HCV positif. Setelah diberikan analgetik dan hepatoprotektor nyeri mereda. Setelah dilakukan pemeriksaan USG dan biopsi hati pasien didiagnosis karsinoma hepatoseluler. Pasien dianjurkan untuk menjalani transplantasi hati. Pasien meminta waktu untuk berkonsultasi dengan seorang ulama.

1

Page 2: wrap up skenario HCC.docx

KATA SULIT

1. SGOT/SGPT : enzim yang terdapat pada jaringan tubuh terutama pada jantung dan hati.

2. Alpha Feto Protein (AFP) : protein yang merupakan salah satu antigen tumor dan digunakan sebagai marker utama tumor.

3. Hepatoprotektor : senyawa obat yang dapat memberikan perlindungan terhadap hati dari kerusakan yang ditimbulkan oleh obat, racun, dll.

4. Karsinoma hepatoseluler : tumor ganas hati yang berasal dari sel hepatosit.

5. Transplantasi : perpindahan sebagian atau seluruh jaringan atau organ dari satu individu kepada individu itu sendiri atau individu lain.

2

Page 3: wrap up skenario HCC.docx

PERTANYAAN

1. Apa saja contoh dari hepatoprotektor?2. Apa hubugan antara mengkonsumsi alkohol dan riwayat hepatitis dengan penyakit

karsinoma hepatoseluler?3. Apa semua karsinoma hepatoseluler harus transplantasi hati? Dan apa pengobatan

lainnya?4. Mengapa sebelum dilakukan transplantasi hati pasien berkonsultasi kepada ulama?5. Bagaimana cara mencegah karsinoma hepatoseluler?6. Mengapa pasien sering merasa mual dan selera makan pasien menurun serta berat badan

menurun?7. Apa tatalaksana selanjutya setelah dilakukan transplantasi?8. Apa saja faktor resiko dari karsinoma hepatoseluler?9. Apa saja pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis karsinoma

hepatoseluler?10. Mengapa bisa terjadi hepatomegali?11. Mengapa terjadi peningkatan SGOT dan SGPT?12. Bagaimana kondisi pasien jika tidak diterapi?

JAWABAN

1. Ginkgo biloba ( dari ekstrak temu lawak)2. Mengkonsumsi alkohol dan riwayat hepatitis (faktor resiko) dapat menyebabkan sirosis

hepatis yang pada akhirnya berlanjut menjadi karsinoma hepatoseluler.3. Tergantung staging dan usia.

- Stadium A transplantasi- Stadium B ablasi atau embolisasi- Stadium C terapi simtomatis

4. Untuk berkonsultasi karena dasar hukumnya larangan bedah mayat, bisa batal karena hukum kedaruratan dan mengutamakan yang hidup.

5. Memperbaiki gaya hidup (tidak merokok, tidak mengkonsumsi alkohol, olahraga, dll)6. Karena mual menyebabkan selera makan menurun. Selera makan menurun karena

hepatomegali sehingga berat badan menurun.7. Diberi obat imunosupresan8. Hepatitis B dan C, aflatoksin, obesitas, DM, alkohol, sirosis hepatis, serta autoimun.9. USG, biopsi, pemeriksaan laboratorium, MRI, CT-scan, APTT, PT, PIVKA, dan

albumin.10. Hepatitis inflamasi pembesaran hepar11. Karena setiap kerusakan hati, SGOT dan SGPT akan meningkat.12. Prognosisnya buruk bisa sampai terjadi kematian.

3

Page 4: wrap up skenario HCC.docx

HIPOTESIS

4

Faktor Resiko(alkohol, riwayat hepatitis, & infeksi)

Peradangan Hati

Hepatomegali

Mual, tidak nafsu makan, & BB turun

PF: hepatomegali, nyeri tekanPP: biopsi, USG pemeriksaan laboratorium, MRI, CT-scan, APTT, PT, PIVKA, dan albumin.

Karsinoma Hepatoseluler

Tatalaksana: transplantasi Menurut Hukum Islam

Pronosis Buruk

Page 5: wrap up skenario HCC.docx

SASARAN BELAJAR

LI 1. Memahami dan Menjelaskan Karsinoma Hepatoseluler

LO 1.1. Definisi Karsinoma Hepatoseluler

LO 1.2. Etiologi Karsinoma Hepatoseluler

LO 1.3. Epidemiologi Karsinoma Hepatoseluler

LO 1.4. Klasifikasi Karsinoma Hepatoseluler

LO 1.5. Patofisiologi Karsinoma Hepatoseluler

LO 1.6. Manifestasi Klinis Karsinoma Hepatoseluler

LO 1.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding Karsinoma Hepatoseluler

LO 1.8. Tatalaksana Karsinoma Hepatoseluler

LO 1.9. Komplikasi Karsinoma Hepatoseluler

LO 1.10. Prognosis Karsinoma Hepatoseluler

LO 1.11. Pencegahan Karsinoma Hepatoseluler

LI 2. Memahami dan Menjelaskan Hukum Transplantasi Menurut Islam

5

Page 6: wrap up skenario HCC.docx

LI 1. Memahami dan Menjelaskan Karsinoma Hepatoseluler

LO 1.1. Definisi Karsinoma Hepatoseluler

Karsinoma hepatoseluler (hepatoma) merupakankan kanker hati primer yang paling sering ditemukan. Tumor ini merupakan tumor ganas primer pada hati yang berasal dari sel parenkim atau epitel saluran empedu atau metastase dari tumor jaringan lainnya (Unggul, 2009).

LO 1.2. Etiologi Karsinoma Hepatoseluler

1. Virus Hepatitis B

Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya karsinoma hepato seluler terbukti kuat, baik secara epidemiologis, klinis, maupun eksperimental. Sebagian besar wilayah yang hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan karsinoma hepatoseluler yang tinggi. Di Taiwan pengidap kronis infeksi HBV mempunyai resiko untuk terjadinya karsinoma hepatoseluler 102 kali lebih tinggi daripada resiko bagi yang bukan pengidap. Juga ditengarai bahwa kekerapan karsinoma hepatoseluler yang berkaitan dengan HBV pada anak jelas menurun setelah diterapkannya vaksinasi HBV universal bagi anak. Umur saat terjadi infeksi merupakan factor resiko penting karena infeksi HBV pada usia dini berakibat akan terjadinya persistensi (kronisitas).

Karsinogenisitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik peningkatan proliferasi hepatosit, integrase HBV DNA kedalam DNA sel pejamu, dan aktivitas protein spesifik HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung oleh kompensasi proliferative merespon nekroinflamasi sel hati, atau akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat HBV.

Konsitensi infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik lain seperti alfatoksin dapat menyebabkan terjadinya karsinoma hepatoseluler tanpa memalui sirosis hati (karsinoma hepatoseluler padahati non sirotik). Transaktifasi beberapa promoter selular atau viral tertentu oleh gen-x HBV (HBx) dapat mengakibatkan terjadinya karsinoma hepatoseluler, mungkin karena akumulasi protein yang disandi HBx mampu menyebabkan akselerasi proliferasi hepatosit. Dalam hal ini proliferasi berlebihan hepatosit olehHBx melampaui mekanis meprotektif dari apoptosis sel. Genotype HBV ditengarai memiliki kemampuan yang berbeda dalam mempengaruhi proses perjalanan penyakit. Relevansi klinis genotype HBV semakin jelas diketahui. Sebagai contoh, dibandingkan dengan genotype C, genotype B dihubungkan dengan serokonvensi HBeAg yang lebih awal, progresi kesirosis lebih lambat, serta lebih jarang berkembang menjadi karsinoma hepatoseluler.

2. Virus Hepatitis C

Di wilyah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan factor risiko penting darikarsinoma hepatoseluler. Prevalensi anti-HCV pada pasienkarsinoma hepatoseluler di Cina danAfrika Selatan sekitar 30%, sedangkan di Eropa Selatan dan Jepang 70-80%. Meta analisis dari 32 penelitian kasus kelola menyimpulkan bahwa resiko terjadinya karsinoma hepatoseluler pada pengidap infeksi HCV adalah 17 kali lipat dibandingkan dengan resiko pada bukan pengidap.

6

Page 7: wrap up skenario HCC.docx

Koeksistensi infeksi HCV kronik dengan infeksi HBV atau dengan peminum alcohol meliputi 20% dari kasus karsinoma hepatoseluler. Di area hiperendemik HBV seperti Taiwan, prevalensi anti-HCV jauh lebih tinggi pada kasus karsinoma hepatoseluler dengan HBsAg negative dari pada yang HbsAg positif. Ini menunjukkan bahwa infeksi HCV berperan penting dalam pathogenesis karsinoma hepatoseluler pada pasien yang bukan pengidap HBV. Pada kelompok pasien penyakit hati akibat transfuse darah dengan anti-HCVpositif, interval antara saat transfuse hingga terjadinya karsinoma hepatoseluler dapat mencapai 29 tahun. Hepato karsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktivitas nekroinflamasi kronik dan sirosis hati.

3. Sirosis hati

Sirosis hati merupakan factor risiko utama karsinoma hepatoseluler di dunia dan melatarbelakangi lebih dari 80% kasus karsinoma hepatoseluler. Setiap tahun tiga sampai lima persen dari pasien sirosis hati akan menderita karsinoma hepatoseluler, dan karsinoma hepatoseluler merupakan penyebab utama kematian pada sirosis hati. Otopsi pada pasien sirosis hati mendapatkan 20-80% diantaranya telah menderita karsinoma hepatoseluler. Pada 60-80% dari sirosis hati makronodular dan tiga sampai sepuluh persen dari sirosishati mikronodular dapat ditemukan adanya karsinoma hepatoseluler. Predictor utama karsinoma hepatoseluler pada sirosis hatia dalah jenis kelamin laki-laki, peningkatan kadar alfafeto protein (AFP) serum, beratnya penyakit dan tingginya aktivitas proliferasi sel hati.

4. Aflatoksin

Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi olehjamur Aspergillus. Dari percobaan bintang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen. Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari kelompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA. Salah satu mekanisme hepato karsinogenesisnya adalah kemampuan AFB1 menginduksi mutase pada kodon 249 dari gen suppressor tumor p53. Beberapa penelitian dengan menggunakan biomarker di Mozambik, Afrika Selatan, Switzerland, Cina, dan Taiwan menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antara pajanan aflatoksin dalam diet dengan morbiditas dan mortalitas karsinoma hepatoseluler. Ririko relative karsinoma hepatoseluler dengan aflatoksin saja adalah 3.4, dengan infeksi HBV kronik resiko relatifnya 7, dan meningkat menjadi 59 bila disertai dengan kebiasaan mengkonsumsi aflatoksin.

5. Obesitas

Suatu penelitian kohort prospektif pada lebih dari 900.000 individu di Amerika Serikat dengan masa pengamatan selama 16 tahun mendapatkan terjadinya peningkatan angka mortalitas sebasar lima kali akibat kanker hati pada kelompok individu dengan berat badan tertinggi (Indeks massa tubuh 35-40Kg/m2) dibandingkan dengan kelompok individu yang IMT-nya normal. Seperti diketahui, obesitas merupakan factor risiko utama untuk non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD), khususnya non-alcoholic steatohepatitis (NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian dapat berlanjut menjadi karsinoma hepatoseluler.

7

Page 8: wrap up skenario HCC.docx

6. Diabetes Melitus

Telah lama ditengarai bahwa DM merupakan factor risiko baik untuk penyakit hati kronik maupun untuk karsinoma hepatoseluler melalui terjadinya perlemakan hati dan steatohepatitis non alkoholik (NASH). Diamping itu, DM dihubungkan dengan peningkatan kadar insulin dan insulin like growth factors (IGFs) yang merupakan factor promotif potensial untuk kanker. Indikasi kuatnya asosiasi antara DM dan karsinoma hepato seluler terlihat dari banyak penelitian, antara lain penelitian kasus-kelola oleh Hasandkk. Yang melaporkan bahwa dari 115 kasus karsinoma hepatoseluler dan 230 pasien non karsinoma hepatoseluler, rasio odd dari DM adalah 4,3, meskipun diakui bahwa sebagian dari kasus DM sebelumnya sudah menderita sirosis hati. Penelitian kohort bessar oleh El Seragdkk. Yang melibatkan 173,643 pasien DM dan 650,620 pasien bukan DM menemukan bahwa insidensi karsinoma hepatoseluler pada kelompok DM lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan insidensi karsinoma hepatoseluler kelompok bukan DM. Insidensi juga semakin tinggi seiring dengan lamanya pengamatan (kurang dari lima tahun hingga lebih dari sepuluh tahun). DM merupakan factor risiko karsinoma hepatoseluler tanpa memandang umur, jenis kelamin, dan ras, dengan angka resiko 2,16.

7. Alcohol

Meskipun alcohol tidak memiliki kemampuan mutagenic, peminum berat alcohol (>50-70 g/hari dan berlangsung lama) beresiko untuk menderita karsinoma hepatoseluler melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik langsung dari alcohol. Alkoholisme juga meningkatkan resiko terjadinya sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler pada pengidap infeksi HBV atau HCV. Sebaliknya, pada sirosis alkoholik terjadinya karsinoma hepatoseluler juga meningkat bermakna pada pasien dengan HbsAg positif, atau anti-HCV positif. Ini menunjukkan adanya peran sinergistik alcohol terhadap infeksi HBV maupun infeksi HCV. Sering kali penyalahgunaan alcohol merupakan predictor bebas untuk terjadinya karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan hepatitis kronik atau sirosis akibat infeksi HBV atau HCV. Efek hepatotoksik alcohol bersifat dose dependent, sehingga asupan sedikit alcohol tidak meningkatkan resiko terjadinya karsinoma hepatoseluler.

8. Faktorrisiko lain

Seperti penyakit hati autoimun (hepatis autoimun; PCB/sirosis bilier primer), penyakit hati metabolic (hemato kromatosis genetic, defisiensi antitrypsin alfa1; penyakit Wilson), kontrasepsi oral, senyawa kimia (thorotrast; vinil klorida; nitrosamine; insektisida organoklorin; asamtanik), tembakau.

LO 1.3. Epidemiologi Karsinoma Hepatoseluler

Dalam 10 tahun terakhir ini laporan-laporan ilmiah dari berbagai pusat penelitian penyakit hati di seluruh dunia menunjukkan bahwa prevalensi keganasan hati meningkat.Epidemiologi dari karsinoma hepatoseluler dapat dilihat dari berbagai sudut pandang penting :pertama, aspek konvensional dari dampak kesehatan masyarakat secara keseluruhan; kedua, berhubungan dengan penyakit yang mendasari seperti infeksi hepatitis virus atau non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD); dan ketiga, variasi epidemiologi berdasarkan biologis tumor.

Berdasarkan sudut pandang dari kesehatan masyarakat, prevalensi karsinoma hepatoseluler merupakan jenis kanker yang menduduki peringkat kelima di seluruh dunia dan peringkat ketiga jenis kanker yang menyebabkan kematian. Meskipun demikian telah tercatat beberapa variasi

8

Page 9: wrap up skenario HCC.docx

geografis seperti di Asia dan Afrika memiliki 40 kali lipat lebih banyak kasus berdasarkan tingkat kejadian sesuai umur dibandingkan dengan negara lain. Negara China memiliki angka insidensi tertinggi di dunia (100/100.000 populasi). Amerika Utara dan Eropa Barat merupakan wilayah dengan angka insidensi yang cenderung rendah (2,6- 9,8/100.000 populasi) namun angka insidensi ini mulai meningkat pada negara- negara ini. Suatu studi dari penderita kanker menunjukkan bahwa adanya peningkatan insidensi dari kejadian karsinoma hepatoseluler serta angka kematian di Amerika Serikat, Prancis, Jepang, Inggris, dan Italy. Di negara Amerika Serikat, antara tahun 1976-1995 kejadian karsinoma hepatoseluler telah meningkat dari 1,4/100.000 populasi/tahun menjadi 2,4/100.000 populasi/tahun.

Pada negara-negara dengan angka insidensi yang tinggi, kisaran umur pada penderita karsinoma hepatoseluler berpuncak pada dekade 3 dan dekade 4. Berbeda dengan negara-negara di Eropa, Amerika Utara dan Asia adalah pada dekade 5 dan 6. Di Mozambik insidensi pada laki-laki yang berumur kurang dari 40 tahun berkisar 500 kali lebih tinggi daripada populasi kulit putih di Amerika Serikat, tetapi pada kelompok dengan umur 65 tahun memiliki prevalensi hanya dua kalinya.

Pada berbagai macam literatur menyebutkan bahwa angka kejadian pada laki- laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Rasio angka kejadian ini bervariasi di berbagai negara yaitu berkisar antara 2:1 sampai 5:1 atau bahkan lebih. Belum ada penjelasan yang memuaskan akan fenomena tersebut. Namun beberapa studi mengatakan bahwa perkembangan karsinoma hepatoseluler pada sirosis hati terjadi lebih sering pada laki-laki. Hal ini terjadi berdasarkan keseimbangan hormon yaitu hormone androgen yang lebih banyak pada laki-laki.

Gambar Epidemiologi HCC di seluruh dunia

LO 1.4. Klasifikasi Karsinoma Hepatoseluler

Hepatoma primer secara histologis dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: (Desen W, 2008)

1. Karsinoma hepatoselular, karsinoma hepatoseluler primer yang berasal dari sel hepatosit

9

Page 10: wrap up skenario HCC.docx

2. Karsinoma kolangioselular, karsinoma hepatoseluler primer yang berasal dari epitel saluran empedu intrahepatik

3. Karsinoma campuran hepatoselular dan kolangioselular.

Dikutip dari: www.thecco.net

Dikutip dari: www.thecco.net

10

Page 11: wrap up skenario HCC.docx

Dikutip dari: www.thecco.net

Dikutip dari: www.thecco.net

LO 1.5. Patofisiologi Karsinoma Hepatoseluler

Kanker hati terjadi akibat kerusakan pada sel-sel parenkim hati yang biasa secara langsung disebabkan oleh primer penyakit hati atau secara tidak langsung oleh obstruksi aliran empedu atau gangguan sirkulasi hepatik yang menyebabkan disfungsi hati. Sel parenkim hati akan bereaksi tehadap unsur-unsur yang paling toksik melalui penggantian glikogen dengan lipid sehingga terjadi infiltrasi lemak dengan atau tanpa nekrosis atau

11

Page 12: wrap up skenario HCC.docx

kematian sel. Keadaan ini sering disertai dengan infiltrasi  sel radang dan pertumbuhan jaringan fibrosis. Regenerasi sel dapat terjadi jika proses perjalanan penyakit tidak terlampau toksik bagi sel-sel hati. Sehingga terjadi pengecilan dan fibrosis selanjutnya akan menjadi kanker hati.

Inflamasi, nekrosis, fibrosis, dan regenerasi dari sel hati yang terus berlanjut merupaka proses khas dari cirrhosis hepatic yang juga merupakan proses dari pembentukan hepatoma walaupun pada pasien-pasien dengan hepatoma, kelainan cirrhosis tidak selalu ada. Hal ini mungkin berhubungan dengan proses replikasi DNA virus dari virus hepatitis yang juga memproduksi HBV X protein yang tidak dapat bergabung dengan DNA sel hati, yang merupakan host dari infeksi Virus hepatitis, dikarenakan protein tersebut merupakan suatu RNA. RNA ini akan berkembang dan mereplikasi diri di sitoplasma dari sel hati dan menyebabkan suatu perkembangan dari keganasan yang nantinya akan mengahambat apoptosis dan meningkatkan proliferasi sel hati. Para ahli genetika mencari gen-gen yang berubah dalam perkembangan sel hepatoma ini dan didapatkan adanya mutasi dari gen p53, PIKCA, dan β-Catenin. 

Sementara pada proses cirrhosis terjadi pembentukan nodul-nodul di hepar, baik nodul regeneratif maupun nodul diplastik. Penelitian prospektif menunjukan bahwa tidak ada progresi yang khusus dari nodul-nodul diatas yang menuju kearah hepatoma tetapi, pada nodul displastik didapatkan bahwa nodul yang terbentuk dari sel-sel yang kecil

12

Page 13: wrap up skenario HCC.docx

meningkatkan proses pembentukan hepatoma. Sel sel kecil ini disebut sebagai stem cel dari hati.

Sel-sel ini meregenrasi sel-sel hati yang rusak tetapi sel-sel ini juga berkembang sendiri  menjadi nodul-nodul yang ganas sebagai respons dari adanya penyakit yang kronik yang disebabkan oleh infeksi virus. Nodul-nodul inilah yang pada perkembangan lebih lanjut akan menjadi hepatoma.

LO 1.6. Manifestasi Klinis Karsinoma Hepatoseluler

Pada fase subklinis belum ditemukan gejala yang jelas pada penderita, berikut gejala yang ditemukan pada fase klinis yaitu :

13

Page 14: wrap up skenario HCC.docx

1. Nyeri abdomen kanan atas Penderita kanker hati stadium lanjut sering datang berobat karena tidak nyaman dengan nyeri di abdomen kanan atas. Nyeri umumnya bersifat tumpul atau menusuk, intermitten atau kontinu, sebagian area hati terasa terbebat kencang karena pertumbuhan tumor yang cepat.

2. Massa abdomen atasPemeriksaan fisik menemukan splenomegali. Kanker hati lobus kanan dapat menyebabkan batas atas hati bergeser keatas, pemeriksaan fisik menemukan hepatomegali di bawah arcus costae tapi tanpa nodul.

3. Perut kembung Timbul karena massa tumor sangat besar dan gangguan fungsi hati.

4. Anoreksia Timbul karena fungsi hati terganggu, tumor mendesak saluran gastrointestinal.

5. Letih, mengurus Dapat disebabkan metabolit dari tumor ganas dan berkurangnya masukan makanan.

6. Demam Timbul karena nekrosis tumor, disertai infeksi dan metabolit tumor, umumnya tidak disertai menggigil.

7. Icterus Tampil sebagai kuningnya sklera dan kulit, biasanya sudah stadium lanjut, juga karena sumbat kanker di saluran empedu atau tumor mendesak saluran hingga timbul icterus.

8. Ascites Juga merupakan stadium lanjut, secara klinis ditemukan perut membuncit sering disertai odeme di kedua tungkai.

9. Lainnya Selain itu terdapat kecenderungan perdarahan, diare, nyeri bahu belakang, kulit gatal dan lainnya, manifestasi sirosis hati seperti splenomegali, venodilatasi dinding abdomen. Pada stadium akhir sering timbul metastase paru, tulang, dan organ lain.

LO 1.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding Karsinoma Hepatoseluler

Kriteria diagnosa karsinoma hepatoseluler menurut PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia), yaitu:

1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri. 2. AFP (Alphafetoprotein) yang meningkat lebih dari 500 ng/L. 3. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scann (CT

Scann), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Angiography, ataupun Positron Emission Tomography (PET) yang menunjukkan adanya karsinoma hepatoseluler.

4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya karsinoma hepatoseluler.5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan karsinoma hepatoseluler.

Diagnosa karsinoma hepatoseluler didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau hanya satu yaitu kriteria empat atau lima.

a. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik umumnya didapatkan pembesaran hati yang berbenjol, keras, kadang disertai nyeri tekan. Palpasi menunjukkan adanya gesekan permukaan peritoneum viserale yang kasar akibat rangsangan dari infiltrat tumor ke permukaan hepar dengan

14

Page 15: wrap up skenario HCC.docx

dinding perut. Pada auskultasi di atas benjolan kadang ditemukan suatu suara bising aliran darah karena hipervaskularisasi tumor. Gejala ini menunjukkan fase lanjut karsinoma hepatoseluler.

b. Pemeriksaan Laboratorium

1. Alfa-fetoprotein (AFP)

AFP adalah sejenis glikoprotein, disintesis oleh hepatosit dan sakus vitelinus, terdapat dalam serum darah janin. Ketika hepatosit berubah ganas, AFP kembali muncul.AFP memiliki spesifisitas tinggi dalam diagnosis karsinoma hepatoselular. Jika AFP > 500 ng/L bertahan 1 bulan atau > 200 ng/L bertahan 2 bulan, tanpa bukti penyakit hati aktif, dapat disingkirkan kehamilan dan kanker embrional kelenjar reproduksi, maka dapat dibuat diagnosis hepatoma, diagnosis ini dapat lebih awal 6-12 bulan dari timbulnya gejala hepatoma.

AFP sering dapat dipakai untuk menilai hasil terapi. Pasca reseksi hepatoma, kadar AFP darah terus menurun dengan waktu paruh 3-9,5 hari, umumnya pasca operasi dalam 2 bulan kadarnya turun hingga normal, jika belum dapat turun hingga normal, atau setelah turun lalu naik lagi, maka pertanda terjadi residif atau rekurensi tumor.

2. Petanda tumor lainnya

Zat petanda hepatoma sangat banyak, tapi semuanya tidak spesifik untuk diagnosis sifat hepatoma primer. Penggunaan gabungan untukdiagnosis kasus dengan AFP negatif memiliki nilai rujukan tertemu, yang relatif umum digunakan adalah: des-gama karboksi protrombin(DCP), alfa-L-fukosidase (AFU), gama-glutamil transpeptidase (GGT-II),CA19-9, antitripsin, feritin, CEA.

3. Fungsi hati dan sistem antigen antibodi hepatitis B

Karena lebih dari 90% hepatoma disertai sirosis hati, hepatitis danlatar belakang penyakit hati lain, maka jika ditemukan kelainan fungsihati, petanda hepatitis B atau hepatitis C positif, artinya terdapat dasarpenyakit hati untuk hepatoma, itu dapat membantu dalam diagnosis.

c. Pemeriksaan Pencitraan

1. Ultrasonografi (USG)USG merupakan metode paling sering digunakan dalam

diagnosis hepatoma. Kegunaan dari USG adalah memastikan ada tidaknya lesi penempat ruang dalam hati; dapat dilakukan penapisan gabungan dengan USG dan AFP sebagaimetode diagnosis penapisan awal untuk hepatoma; mengindikasikan sifat lesi penempat ruang, membedakan lesi berisi cairan dari yang padat; membantu memahami hubungan kanker dengan pembuluh darah penting dalam hati, berguna dalam mengarahkan prosedur operasi; membantu memahami penyebaran dan infiltrasi hepatoma dalam hati dan jaringan organ sekitarnya, memperlihatkan ada tidaknya

15

Page 16: wrap up skenario HCC.docx

trombus tumor dalam percabangan vena porta intrahepatik; di bawah panduan USG dapat dilakukan biopsi.

2. CT ScanCT telah menjadi parameter pemeriksaan rutin terpenting untuk

diagnosis lokasi dan sifat karsinoma hepatoseluler. CT dapat membantu memperjelas diagnosis, menunjukkan lokasi tepat, jumlah dan ukuran tumor dalam hati hubungannya dengan pembuluh darah, dalam penentuan modalitas terapi sangatlah penting. Terhadap lesi mikro dalam hati yang sulit ditentukan CT rutin dapat dilakukan CT dipadukan dengan angiongrafi (CTA), atau ke dalam arteri hepatika disuntikkan lipiodol, sesudah 1-3 minggu dilakukan lagi pemeriksaan CT, pada waktu ini CT lipiodol dapat menemukan hepatoma sekecil 0,5 cm. CT scan sudah dapat membuat gambar karsinoma dalam 3 dimensi dan 4 dimensi dengan sangat jelas serta memperlihatkan hubungan karsinoma ini dengan jaringan tubuh sekitarnya.

MD-CT Scan riwayat hepatitis B, tampak nodul HCC

3. MRI(Magnetic Resonance Imaging)

MRI merupakan teknik pemeriksaan non-radiasi, tidak memakai zat kontras berisi iodium, dapat secara jelas menunjukkan struktur pembuluh darah dan saluran empedu dalam hati, juga memperlihatkan struktur internal jaringan hati dan hepatoma, sangat membantu dalam menilai efektivitas terapi. Dengan zat

16

USG karsinoma hepatoseluler, nodul hipoetic USG HCC: nodul gema bulat

Page 17: wrap up skenario HCC.docx

kontras spesifik hepatosit dapat menemukan hepatoma kecil kurang dari 1cm dengan angka keberhasilan 55%. Pemeriksaan dengan MRI ini langsung dipilih sebagai alternatif bila ada gambaran CT scan yang meragukan atau pada pasien yang mempunyai kontraindikasi pemberian zat. MRI yang dilengkapi dengan perangkat lunak Magnetic Resonance Angiography (MRA).

MRI HCC tampak lesi dengan diamer 2,5cm HCC multipel hipervaskular kecil

4. Angiografi arteri hepaticaPada setiap pasien yang akan menjalani operasi reseksi hati harus dilakukan

pemeriksaan angiografi. Dengan angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Karsinoma terlihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan ukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar. Angiografi memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya. Lebih lengkap lagi bila dilakukan CT scan yang dapat memperjelas batas antara kanker dan jaringan sehat di sekitarnya.

Gambaran : angiogram menunjukkan pembuluh darah hepar dengan multipel karsinomahepatoseluler sebelum terapi (kiri), dan sesudah terapi (kanan) menunjukkan penurunan

vaskular dan respon terapi.

5. PET (Positron Emission Tomography)

Positron Emission Tomography (PET) merupakan alat diagnosis karsinoma menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal sebagai flourine18 atau Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa karsinoma dengan cepat dan dalam stadium dini. Caranya, pasien disuntik dengan glukosa radioaktif untuk mendiagnosis sel-sel kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan bermetabolisme

17

Page 18: wrap up skenario HCC.docx

di dalam tubuh dan memunculkan respons terhadap sel-sel yang terkena kanker. PET dapat menetapkan tingkat atau stadium HCC sehingga tindakan lanjut penanganan karsinoma ini serta pengobatannya menjadi lebih mudah. Di samping itu juga dapat melihat metastase dari karsinoma itu sendiri.

d. Pemeriksaan Lainnya

Pungsi hati mengambil jaringan tumor untuk pemeriksaan patologi, biopsi kelenjar limfe supraklavikular, biopsi nodul sub-kutis, mencari sel ganas dalam asites, perito-neoskopi dll. Juga mempunyai nilai tertentu pada diagnosis hepatoma primer.Standar diagnosis

Pada tahun 2001 Komite Khusus Hepatoma Asosiasi Antitumor telah menetapkan standar diagnosis dan klasifikasi stadium klinis hepatoma primer.

1. Standar diagnosis klinis hepatoma primer- AFP > 400 ug/L, dapat menyingkirkan kehamilan, tumor embrional sistem

reproduksi, penyakit hati aktif, hepatoma metastatik, selain itu teraba hati membesar, keras dan bermassa nodular besar atau pemeriksaan pencitraan menunjukkan lesi penempat ruang karakteristik hepatoma.

- AFP < 400 ug/L, dapat menyingkirkan kehamilan, tumor embrional sistem reproduksi, penyakit hati aktif, hepatoma metastatik, selain itu terdapat dua jenis pemeriksaan pencitraan menunjukkan lesi penempat ruang karakteristik hepatoma atau terdapat dua petanda hepatoma (DCP, GGT-II, AFU, CA19-9) positif serta satu pemeriksaan pencitraan menunjukkan lesipenempat ruang karakteristik hepatoma.

- Menunjukkan manifestasi klinis hepatoma dan terdapat kepastian lesi metastatik ekstrahepatik (termasuk asites hemoragismakroskopik atau di dalamnya ditemukan sel ganas) serta dapat menyingkirkan hepatoma metastatik.

2. Standar klasifikasi stadium klinis hepatoma primer- la : tumor tunggal berdiameter < 3 cm, tanpa emboli rumor, tanpa metastasis

kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A.- Ib : tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan <5cm,di separuh

hati, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A.

- Ha : tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan < 10 cm, di separuh hati, atau dua tumor dengan diameter gabungan <5 cm, di kedua belahan hati kiri dan kanan, tanpa emboli tumor,tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A.

- lib : tumor tunggal atau multipel dengan diameter gabungan > 10 cm, di separuh hati, atau tumor multipel dengan diameter gabungan >5 cm, di kedua belahan hati kiri dan kanan, tanpa emboli tumor,tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A.Terdapat emboli tumor di percabangan vena portal, vena hepatic atau saluran empedu dan/atau Child B.

- Ilia : tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama vena porta atau vena kava inferior, metastasis kelenjar limfe peritoneal atau jauh, salah satu dari padanya; Child A atau B.

- Illb : tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor, metastasis;Child C.

18

Page 19: wrap up skenario HCC.docx

Tabel.1. Klasifikasi Cancer of the Liver Italian Program (CLIP)Points

Variables 0 1 2i. Jumlah Tumor Single Multiple —

Ukuran tumor pada Hepar yang menggantikan hepar normal (%)a

<50 <50 >50

ii. Nilai Child-Pugh A B Ciii. α-Fetoprotein level (ng/mL) <400 400 —iv. Trombosis Vena Porta (CT) No Yes —

a = Luas tumor pada hatiStadium CLIP : CLIP 0, 0 points; CLIP 1, 1 point; CLIP 2, 2 points; CLIP 3, 3 points.

Diagnosis Banding Karsinoma Hepatoseluler

1. Diagnosis banding hepatoma dengan AFP (+)

Hepatoma dengan AFP positif harus dibedakan dari kehamilan, tumor embrional kelenjar reproduktif, metastasis hati dari kanker saluran digestif dan hepatitis serta sirosis hati dengan peninggian AFP. Pada hepatitis, sirosis hati, jika disertai peninggian AFP agak sulit dibedakan dari hepatoma, harus dilakukan pemeriksaan pencitraan hati secara cermat, dilihat apakah terdapat lesi penempat ruang dalam hati, selain secara berkala harus diperiksa fungsi hati dan AFP, memonitor perubahan ALT dan AFP.

2. Diagnosis banding hepatoma dengan AFP (-)

Hemangioma hati paling sulit dibedakan dari HCC dengan AFP negatif, hemangioma umumnya pada wanita, riwayat penyakit yang panjang, progresi lambat, bisa tanpa latar belakang hepatitis dan sirosis hati, zat petanda hepatitis negatif, MRI dapat membantu diagnosis. Pada tumor metastasis hati, sering terdapat riwayat kanker primer, zat petanda hepatitis umumnya negatif pencitraan tampak lesi multipel tersebar dengan ukuran bervariasi. Adenoma hati, umumnya pada wanita, sering dengan riwayat minum pil KB bertahun-tahun, tanpa latar belakang hepatitis, sirosis hati, petanda hepatitis negatif. Hiperplasia nodular fokal, pseudotumor inflamatorik sering cukup sulit dibedakan dari HCC.

LO 1.8. Tatalaksana Karsinoma Hepatoseluler

Karena sirosis hati yang melatarbelakanginya serta tingginya kekerapan multi-nodularitas, resektabilitas karsinoma hepatoseluler sangat rendah. Disamping itu kanker ini juga sering kambuh meskipun sudah menjalani reseksi bedah kuratif. Pilihan terapi diterapkan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran tumor, serta derajat pemburukkan hepatic. Untuk menilai status klinis, sistem skor Child-Pugh menunjukkan estimasi yang akurat mengenai kesintasan pasien. Telaah mengenai terapi karsinoma hepatoseluler menemukan sejumlah kesulitan karena terbatasnya penelitian dengan control

19

Page 20: wrap up skenario HCC.docx

yang membandingkan efikasi terapi bedah atau ablative lokoregional, disamping besarnya heterogenitas kesintasan kelompok kontrol pada berbagai penelitian individual.

1. Reseksi Hepatik

Untuk pasien dalam kelompok non-sirosis yang biasanya mempunyai fungsi hati normal pilihan utama terapi adalah reseksi hepatic. Namun untuk pasien sirosis diperlukan kriteria seleksi karena operasi dapat memicu timbulnya gagal hati yang dapat menurunkan angka harapan hidup. Parameter yang dapat digunakan untuk seleksi adalah skor Child Pugh dan derajat hipertensi portal atau kadar bilirubin serum dan derajat hipertensi portal saja. Subjek dengan bilirubin normal tanpa hipertensi portal yang bermakna, harapan hidup lima tahunnya dapat mencapai 70%. Kontraindikasi tindakan ini adalah adanya metastasis ekstrahepatik, karsinoma hepatoseluler difus atau multifocal, sirosis stadium lanjut dan penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi ketahanan pasien menjalani operasi.

2. Transplantasi Hati

Bagi pasien karsinoma hepatoseluler dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim hati yang mengalami disfungsi. Dilaporkan kesintasan 3 tahun mencapai 80%, bahkan dengan perbaikan seleksi pasien dan terapi perioperative dengan obat antiviral seperti lamivudine, ribavirin, dan interferon dapat mencapai kesintasan 5 tahun sebesar 92%. Kematian pasca transplantasi tersering disebabkan oleh rekurensi tumor didalam maupun diluar transplan. Rekurensi tumor bahkan mungkin diperkuat oleh obat antirejeksi yang harus diberikan. Tumor yang berdiameter kurang dari 3 cm lebih jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang diameternya lebih dari 5 cm.

3. Abiasi Tumor Perkutan

Destruksi dari sel neoplastic dapat dica[ai dengan bahan kimia (alcohol, asam asetat) atau dengan memodifikasi suhunya (radiofrequency, microwave, laser dan cryoablation). Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor kecil karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relative murah. Dasar kerjanya adalah menimbulkan dehidrasi, nekrosis, oklusi vascular dan fibrosis. Untuk tumor kecil (diameter <5cm) pada pasien sirosis Child Pugh A, kesintasan 5 tahun dapat mencapai 50%. PEI bermanfaat untuk pasien dengan tumor kecil namun resektabilitasnya terbatas karena adanya sirosis hati non-Child A.

Radiofrequency ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan yang lebih tinggi daripada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang lebih besar dari 3 cm, namun tetap tidak berpengaruh terhadap harapan hidup pasien. Selain itu, RFA lebih mahal dan efek sampingnya lebih banyak dibandingkan dengan PEI. Guna mencegah terjadinya rekurensi tumor, pemberian asam poliprenoik (polyprenoik acid) selama 12 bulan dilaporkan dapat menurunkan angka rekurensi pada bulan ke-38 secara bermakna dibandingkan dengan kelompok placebo (kelompok placebo 49%, kelompok terapi PEI atau resektif kuratif 22%).

4. Terapi Paliatif

20

Page 21: wrap up skenario HCC.docx

Sebagian besar pasien karsinoma hepatoseluler didiagnosis pada stadium menengah lanjut (intermediated-advanced stage) yang tidak ada terapi strandarnya. Berdasarkan meta analisis, pada stadium ini hanya TAE/TACE (transarterial embolization/chemo embolization) saja yang menunjukkan penurunan pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan karsinoma hepatoseluler yang tidak resektabel. TACE dengan frekuensi 3 hingga 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi hatinya cukup baik (Child Pugh A) serta tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi vascular atau penyebaran ekstrahepatik, yang tidak dapat diterapi secara radikal. Sebaliknya bagi pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child Pugh B-C), serangan iskemik akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek samping yang berat.

Adapun beberapa jenis terapi lain untuk karsinoma hepatoseluler yang tidak resektabel seperti imunoterapi dengan interferon, terapi antiestrogen, antiandrogen, oktreotid, radiasi internal, kemoterapi arterial atau sistemik masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan penilaian yang meyakinkan.

Terapi non Bedah

Meskipun pendekatan multidispliner terhadap KHS dapat meningkatkan hasil reseksi dan orthotopic liver transplantation, tetapi kebanyakan penderita tidak memenuhi persyaratan untuk terapi operasi karena stadium tumor yang telah lanjut, derajat sirosis yang berat, atau keduanya. Oleh karena itu, terapi non-bedah merupakan pilihan untuk pengobatan penyakit ini. Beberapa alternative pengobatan non-bedah karsinoma hati meliputi:

1. Percutaneous ethanol injection (PEI)

PEI pertama kali diperkenalkan pada tahun 1986. Teknik terapi PEI dilaporkan memberikan hasil sebaik reseksi untuk KHS yang kecil. Kerugian dari cara ini adalah tingkat rekurensi lokal yang tinggi dan kebutuhan akan sesi terapi berulang kali (multipel) agar didapatkan ablasi lengkap dari lesi. PEI dilakukan dengan cara menyuntikkan per kutan etanol murni (95%) ke dalam tumor dengan panduan radiologis untuk mendapatkan efek nekrosis dari tumor. Tindakan ini efektif untuk tumor berukuran kecil (<3 cm). Untuk penderita-penderita dengan asites, koagulopati sedang atau berat dan lesi permukaan, PEI tidak dianjurkan. Efek PEI adalah demam, sakit di daerah suntikan, perdarahan intrahepatik dan perdarahan peritoneal.

2. Chemoembolism

Transcatheter arterial chemoembolism dapat digunakan sebagai terapi lokal (targeted chemoembolism) atau regional (segmental, lobar chemoembolism) tergantung dari ukuran, jumlah dan distribusi lesi. Kemoembolisme dianggap terapi baku untuk KHS yang tidak dapat dilakukan reseksi. Lipoidol diberikan dengan obat kemoterapi yang kemudian akan terkonsentrasi di dalam sel tumor tetapi secara aktif dibersihkan dari sel-sel yang non-maligna. Pada cara ini, terjadi devaskularisasi terhadap tumor sehingga menghentikan suplai nutrisi dan oksigen ke jaringan tumor dan mengakibatkan terjadinya nekrosis tumor akibat vasokonstriksi arteri hepatika. Dengan teknik ini didapatkan respon yang lebih baik dibandingkan kemoterapi arterial atau sistemik. Selain lipoidol dapat juga digunakan gelfoam dan kolagen. Efek samping yang sering terjadi antara lain adalah demam, nausea, vomitus, sakit di daerah abdominal. Kemoembolisasi pada penderita-penderita dengan karsinoma hepatoseluler yang tidak dapat direseksi dilaporkan menunjukkan reduksi dari pertumbuhan tumor tetapi tidak memberikan peningkatan survival. Efikasi yang terbatas dari kemoembolisasi pada penderita KHS dengan tumor yang besar dan tidak dapat

21

Page 22: wrap up skenario HCC.docx

direseksi dapat dijelaskan oleh adanya sel-sel tumor yang tetap hidup setelah terapi, terutama dengan adanya invasi vaskuler, adanya anak nodul kecil-kecil, dan adanya trombi tumor. Kemoembolisasi efektif untuk tumor kecil tunggal dengan hipervaskularisasi. Respons yang lebih besar dan derajat survival yang lebih tinggi diperoleh bilamana kemoembolism diikuti dengan PEI.

3. Kemoterapi sistemik

Pemberian terapi dengan anti-tumorternyata dapat memperpanjang hidup penderita. Sitostatika yang sering dipakai sampai saat ini adalah 5-fluoro uracil (5-FU). Zat ini dapat diberikan secara sistematik atausecara lokal (intra-arteri). Sitostatika lain yang sering digunakan adalah adriamisin(doxorubicin HCl) atau adriblastina. Dosis yang diberikan adalah 60-70 mg/m2 luas badan yang diberikan secara intra-vena setiap 3minggu sekali atau dapat juga diberikan dengan dosis 20-25 mg/m2 luas badan selama3 hari berturut-turut dan diberikan setiap 3minggu sekali. Adriamisin sebagai obat tunggal sangat efektif dengan peningkatan survival rate sebesar 25% dibandingkan bila tidak diberi terapi.

Penggunaan kombinasi sisplatin, IFN-∝2B, adriamisin dan 5-FU yangdiberikan secara sistematik pada penderita KHS memberikan rerspon yang sangat baik untuk tumor hati dan ekstrahepatik. Dengan rejimen seperti ini ternyata 18% penderita yang awalnya tidak dapat dieseksi dapat direseksi dan 50% menunjukkan remisi histologis yang sempurna. Namun demikian, kombinasi di atas tidak dapat ditoleransi penderita-penderita sirosis lanjut.

4. Kemoterapi intra-arterial (transcatheter arterial chemotherapy)

Pengobatan karsinoma hati dengan sitostatika ternyata kurang memberikan manfaat yang diharapkan. Respon parsial hanya mencapai 25% saja. Pemberian 5-FU ternyata tidak memperpanjang usia penderita.Oleh karenanya diberikan sitostatika secara intra-arterial dengan beberapa keuntungan seperti misalnya, konsentrasi sitostatika lebih tinggi pada target (tumor), mengurangi toksisitas sistemik dan kontak antara obat dengan tumor berlangsung lebih lama. Padat eknik ini kateter dimasukkan per kutaneus kedalam arteri brachialis atau a. femoralis atau melalui laparotomi ke arteri hepatika, kemudian obat sitostatika disuntikkan secara perlahan-lahan selama 10-30 menit. Sitostatika yang disuntikkan adalah mitomisin C 10-20 mg dikombinasikan dengan adriablastiina 10-20 mg dicampur dengan 100-200 ml larutan garam faal. Pemberian sitostatika diulang satu bulan kemudian sambil mengevaluasi hasil pengobatan sebelumnya. Efek samping dari cara pengobatan di atas tersebut dapat berupa demam, septikemia, perdarahan, trombosis, emboli udara. Kontraindikasi dari kemoterapi intra-arterial adalah kaheksia, asites yang intraktabel, dan gangguan faal hati berat.

5. Radiasi

Terapi radiasi jarang digunakan sebagai terapi tunggal dan tidak banyak perannya sebab carsinoma hati tidak sensitif terhadap radiasi dan sel-sel hati yang normal sangat peka terhadap radiasi. Terapi radiasi dengan menggunakan 50 Gy untuk membunuh sel-selkanker hati dapat menyebabkan radiationinduced hepatitis. Dosis yang diberikan umumnya berkisar antara 30-35 Gy dan diberikan selama 3-4 minggu. Meskipun demikian, penderita biasanya meninggal dalamkurun waktu 6 bulan. Karena survival-nya pendek. Teknik baru yang dengan protontherapy adalah teknik yang menggunakan partikel bermuatan positif untuk menghantar energi membunuh sel-sel tumor dengan cedera minimal pada jaringan hati yang nonneoplastik. Dengan proton therapydosis 70-80

22

Page 23: wrap up skenario HCC.docx

Gy sangat aman karena sel target adalah hanya sel tumor. Ukuran tumor dapat berkurang sampai 50% dari sebelumnya, danefek samping yang terjadi sangat minimal sehingga memberikan kualitas hidup yanglebih baik.

6. Tamofixen

Tamofixen digunakan pada penderita-penderita KHS dengan sirosis lanjut, tetapi tidak meningkatkan survival. Tamofixen dapat dikombinasikan dengan etoposide dan menunjukkan perbaikan serta memberikan toksisitas rendah dan bermanfaat sebagai terapi paliatif. Secara in vitro, tamofixen bermakna meningkatkan efek sitotoksik doxorubisin pada KHS. Kombinasi Antara tamofixen dengan doxorubisin ternyata tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tamofixen tunggal.

7. Injeksi asam asetat perkutaneus

Prinsip dan cara kerja metode ini sama dengan injeksi etanol perkutan, hanya saja zat yang disuntikkan adalah larutan asam asetat 15-50%. Pemberian pada penderita KHS dengan tumor yang berdiameter <3 cm menunjukkan survival rate 1 tahun sebesar 93%, 2 tahun sebesar 86%, 3 tahun sebesar 83% dan 4 tahun sebesar 64%. Efek samping tidak dijumpai.

Tabel 4 : Tatalaksana Karsinoma Hepatoseluler

23

Page 24: wrap up skenario HCC.docx

Tabel 5 :Pilihan terapi bedah ca hepatoseluler

LO 1.9. Komplikasi Karsinoma Hepatoseluler

Asites, perdarahan saluran cerna atas, enselofati hepatica, sindrom hepatorenal (keadaan pasien dengan hepatitis kronik, kegagalan fungsi hati, hipertensi portal yang ditandai dengan gangguan ginjal dan sirkulasi).

LO 1.10. Prognosis Karsinoma Hepatoseluler

Pada umumnya prognosis karsinoma hati adalah buruk. Tanpa pengobatan, kematian rata-rata terjadi sesudah 6-7 bulan setelah timbul keluhan pertama. Dengan pengobatan, hidup penderita dapat diperpanjang sekitar 11-12 bulan. Bila karsinoma hati dapat dideteksi secara dini, maka masa hidup penderita dapat menjadi lebih panjang lagi. Sebaliknya, penderita karsinoma hati fase lanjut mempunyai masa hidup yang lebih singkat. Kematian umumnya disebabkan oleh karena koma hepatik, hematemesis dan melena, syok yang sebelumnya didahului dengan rasa sakit hebat karena pecahnya karsinoma hati. Oleh karena itu langkah-langkah terhadap pencegahan karsinoma hati haruslah dilakukan.

LO 1.11. Pencegahan Karsinoma Hepatoseluler

1. Pencegahan PrimordialPencegahan yang dilakukan untuk mengindari kemunculan keterpaparan dari gaya hidup yang berkontribusi meningkatkan risiko penyakit, dilakukan dengan:- Mengkonsumsi buah dan sayur yang mengandung vitamin, beta karoten, mineral,

dan tinggi serat yang dapat menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat.- Kurangi makanan yang mengandung lemak tinggi.- Kurangi makanan yang dibakar, diasinkan, diasap, diawetkan dengan nitrit.- Pengontrolan berat badan, diet seimbang dan olahraga.- Hindari stres.- Menjaga lingkungan yang sehat dan bersih sehingga terhindar dari penyakit

menular.

2. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah langka yang harus dilakukan untuk menghindari insidens penyakit dengan mengendalikan penyakit dan faktor risiko, seperti:

24

Page 25: wrap up skenario HCC.docx

- Memberikan imunisasi hepatitis B bagi bayi segera setelah lahir. - Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang kanker hati. - Menghindari makanan dan minuman yang mengandung alkohol.

3. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah pengobatan penderita dan mengurangi akibat yang serius dari penyakit melalui diagnosa dini dan pemberian pengobatan.

4. Pencegahan Tersier

Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita serta mencegah komplikasi penyakit dan meneruskan pengobatan. Dapat dilakukan dengan perawatan terhadap penderita kanker hati melalui pengaturan pola makan, dan pemberian suplemen.

LI 2. Memahami dan Menjelaskan Hukum Transplantasi Menurut Islam

Dalam batas-batas tertentu berbagai jenis transplantasi atau menggunakan anggota tubuh manusia untuk pengobatan telah menjadi pembahasan para fukaha sejak lama, baik autotransplantasi, homotransplantasi, atau heterotransplantasi.

Sebagian ulama nampaknya belum memandang perlu mengfatwakan hukum auto-transplantasi atau replantasi. Barangkali karena telah ada isyarat dalam Sunnah fi’liyyah, Nabi pernah melakukannya, berkat mukjizatnya, Nabi saw dapat mengembalikan (melakukan tindakan sejenis replantasi) mata Qatadah bin al-Nu’man yang terlepas keluar pada saat Perang Badar atau Perang Uhud. Juga pernah mereplantasi tangan Muawwidz bin Afra dan Habib bin Yasaf yang tertebas pedang hingga putus pada saat Perang Badar. Atas dasar itu, maka fukaha sepakat menetapkan bolehnya mengembalikan anggota tubuh yang terputus akibat sakit atau sebab lainnya ke tempat semula. Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya berargumen, karena di dalamnya terkandung roh yang merupakan bagian dari roh tubuh tersebut.

Fatwa yang komprehensif tentang transplantasi, antara lain, telah dikeluarkan oleh Majma al-Fiqh al-Islami pada Muktamar ke-4 yang diselenggarakan di Jiddah pada 6-11 Februari 1988 tentang hukum transplantasi menggunakan organ manusia, autotransplantasi dan homotransplantasi, dari orang hidup maupun orang mati, dengan syarat-syarat yang mesti ditunaikan. Ada delapan butir keputusan, yaitu sebagai berikut :

1. Bahwa memindahkan organ tubuh seseorang ke bagian lain dari tubuhnya sendiri (autotransplantasi) hukumnya boleh, dengan ketentuan dapat dipastikan proses tersebut manfaatnya lebih besar daripada mudarat yang timbul. Disyaratkan juga, hal itu dilakukan karena organ tubuhnya ada yang hilang atau untuk mengembalikan ke bentu asal dan fungsinya, atau untuk menutupi cacat yang membuat si pasien terganggu secara psikologis maupun fisiologis.

2. Memindahkan organ tubuh seseorang ke tubuh orang lain hukumnya boleh, jika organ tubuh yang dipindahkan itu dapat terus berganti dan berubah, seperti darah dan kulit. Disyaratkan pula, pendonor organ tubuh tersebut seorang yang sehat, serta beberapa syarat lainnya yang perlu diperhatikan.

3. Boleh hukumnya memanfaatkan organ tubuh yang tidak berfungsi lagi, karena sakit misalnya, untuk orang lain. Seperti mengambil kornea dari mata seseorang yang tidal berfungsi lagi untuk orang lain.

25

Page 26: wrap up skenario HCC.docx

4. Haram hukumnya memindahkan organ tubuh yang sangat vital, seperti hantung dari seseorang yang masih hidup kepada orang lain.

5. Haram hukumnua memindahkan organ tubuh seseorang yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi organ tubuh yang asasi secara total, meskipun tidak membahayakan keselamatan jiwanya, seperti memindahkan kedua kornea mata. Namun jika pemindahan organ tersebut hanya berdampak hilangnya sebagian fungsi organ tubuh yang asasi (tidak total), maka hal ini perlu pembahasan lebih lanjut, sebagaimana yang akan disinggung pada poin kedelapan.

6. Boleh hukumnya memindahkan organ tubuh mayit kepada orang hidup yang sangat bergantung keselamatan jiwanya dengan organ tubuh tersebut, atau fungsi organ vital sangat tergantung pada keberadaan orang tersebut. Dengan syarat si mayit atau ahli warisnya mengizinkan. Atau dengan syarat persetujuan pemerintah muslim jika mayit seorrang yang tidak dikenal identitasnya dan tidak memiliki ahli waris.

7. Perlu diperhatikan bahwa kesepakatan bolehnya memindahkan organ tubuh yang dijelaskan diata, disyaratkan tidak dilakukan dengan cara jual beli organ tubuh, karena jual beli organ tubuh tidak diperbolehkan sama sekali. Adapun membelanjakan uang untuk mendapatkan organ tubuh yang sangat dibutuhlam saat darurat, hal itu masih perlu pembahasan dan kajian lebih lanjut.

8. Selain bentuk dan kondisi tersebut di atas yang masih ada kaitannya dengan masalah ini, maka masih perlu penelitian lebih dalam lagi dan selayaknya dipelajari serta dibahas sejalan dengan kode etik kedokteran dan hukum-hukum syar’i.

Demikian juga, Komite Tetap Pengkajian Ilmiah dan Fatwa (al-Lajnah ad-Daimah lilBuhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta’) telah menetapkan hukum transplantasi khusus untuk kornea mata. Intinya membolehkan dilakukan transplantasi kornea, dengan syarat pemiliknya benar-benar telah mati, mendapatkan izin dari yang bersangkutan atau walinya, diprediksikan secara meyakinkan akan berhasil. Alasan yang dikemukakan, adalah merealisasikan yang kadar kemaslahatan lebih besar, memilih melakukan yang kadar mudaratnya lebih kecil, dan lebih mendahulukan kepentingan orang hidup. Bahkan, dibolehkan mengambil mata orang yang telah divonis harus diambil demi kesehatannya karena diprediksikan membahayakan baginya, dan tidak berdampak buruk kepada pihak penerimanya.

Kelompok yang membolehkannya transplantasi karena darurat juga ditetapkan oleh sejumlah lembaga fatwa, antara lain, sejalan dengan hasil Muktamar, konferensi dan yang sejenisnya yang diselenggarakan di berbagai negara, diantaranya Malaysia pada bulan April 1969, Majma al-Fiqh al-Islami di Mekkah pada 19-28 Januari 1985, Haiat Kibar al-Ulama Kerajaan Saudi Arabia, tahun 1402 H.Pemerintah Kuwair, Republik Mesir (1989), dan Republik Aljazair. Juga pendapat sejumlah ulama, diantaranya adalah Syeikh Abd al-rahman al-Sa’di (1307-1367), Syeikh Ibrahim al-Ya’qubi (w.1404 H), Syeikh Jad al Haqq (al-Azhar), Dr. Ahmad Syaraf al-Din (Kuwait), Dr. Rauf Syalabi (al-Azhar), Dr. Abd al-Jalil Syalabi (al-Azhar), Dr. Mahmud Ali al-Sarthawi (al-Azhar), dan Dr. Hasyim Jamil Abdullah (Ummul Qura).

Fatwa dari Dar al-Ifta al-Mishriyyah no 88, tahun 1966 tentang diperbolehkannya melakukan transplantasi organ dengan sejumlah syarat, yaitu :

1. Kondisinya benar-benar darurat2. Benar-benar matinya pendonor3. Adanya izin semasa hidupnya atau persetujuan wali setelah meninggal4. Dari orang muslin untuk orang muslim sesuai tuntunan dalam hadist

26

Page 27: wrap up skenario HCC.docx

5. Pendonor adalah orang yang sudah baligh, berakan, dan cakap, dan dia punya hak untuk menarik kembali jika dikehendaki

6. Tidak melampaui batasan darurat yang dibenarkan berdasarkan kaidah syariat Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Budihusodo, Unggul. Karsinoma Hati. Dalam: Sudoyo A, setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 3 edisi 5. Jakarta: Interna Publishing. 2009: Hal 685-691.

Desen, Wan. 2008. Tumor Abdomen. Dalam Buku Ajar Onkologi Klinik edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Edge SB, Byrd DR, Compton CC, et al. 2010. AJCC Cancer Staging Manual, 7 th ed. New York: Springer

Hepatocellular Carcinoma. In Clavien P-A, et al. editors. Malignant Liver Tumors, 3rd ed., Chichester: Blackwell Publishing Ltd. 2010; P 52-54.

Hepatocellular Fasel JHD, et al. Macroscopic Anatomy of The Liver. In Rodès J, et al. editors. Textbook of Hepatology, 3rd ed., Massachusetts: Blackwell Publishing Ltd. 2007; P. 3-7.

STAGING: Subramaniam S, Kelley RK, Venook AP. 2013. The Chinese Clinical Oncology. A review of hepatocellular carcinoma (HCC) staging systems, vol 2, no 4 December 2013.

Sudoyo, Aru. W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V. Jilid III. Jakarta: Interna Publishing.

White DL, et al. Epidemiology of Hepatocellular Carcinoma. In Carr BI. Editor, Hepatocellular Carcinoma Diagnosis and Treatment, 2nd ed., New York, Humana Press. 2010; P 1-26

27

Page 28: wrap up skenario HCC.docx

Zuhroni. 2012. Hukum Islam Terhadap Berbagai Masalah Kedokterandan Kesehatan Kontemporer. Jakarta: Bagian Agama UniversitasYarsi

28