wrap up 2 kardio (2)

42
WRAP UP SKENARIO 2 NYERI DADA SAAT MENONTON PERTANDINGAN BOLA Kelompok A-8 Ketua : Desi Tahari (1102014068) Sekretaris : Firdausina Ardian Vega (1102014102) Anggota : Asep Aulia Rachman (1102014041) Dira A.N. (1102014077) Erina Febriani W. (1102014085) Farhan Fauzan (1102014093) Hani Hanifah (1102014119) 1

Upload: ivan-portgas-d

Post on 29-Jan-2016

259 views

Category:

Documents


23 download

TRANSCRIPT

Page 1: WRAP UP 2 KARDIO (2)

WRAP UP SKENARIO 2

NYERI DADA SAAT MENONTON PERTANDINGAN BOLA

Kelompok A-8

Ketua : Desi Tahari (1102014068)

Sekretaris : Firdausina Ardian Vega (1102014102)

Anggota : Asep Aulia Rachman (1102014041)

Dira A.N. (1102014077)

Erina Febriani W. (1102014085)

Farhan Fauzan (1102014093)

Hani Hanifah (1102014119)

Ilenia L.H. (1102014126)

Ivan Prayoga (1102014135)

Muchlis Taufik (1102013160)

FAKULTAS KEDOKTERAN - UNIVERSITAS YARSI

2015-2016

Jl. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510

Telp. 62 21- 4244574 Fax. 62 21- 424457

1

Page 2: WRAP UP 2 KARDIO (2)

SKENARIO 2

NYERI DADA SAAT MENONTON PERTANDINGAN BOLA

Seorang laki-laki berusia 45 tahun dibawa ke UGD RS dengan keluhan nyeri dada retrosternal yang menjalar ke ekstremitas atas kiri pada saat menonton pertandingan sepak bola. Nyeri dada disertai rasa sulit bernapas, dada terasa berat, badan lemas dan berdebar-debar. Dari anamnesis diketahui beliau merokok kretek 3 bungkus/hari dan jarang berolahraga. Pada pemeriksaan fisik didapati Indeks Massa Tubuh (IMT) 24 kg/m2 . Pemeriksaan EKG terdapat irama sinus 100x/menit, dijumpai ST elevasi pada sadapan precordial. Pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan kadar enzim jantung. Dokter segera memberikan obat agregasi trombosit dan antiangina serta menyarankan pasien untuk menjalani pemeriksaan angiografi pada pembuluh darah coroner.

2

Page 3: WRAP UP 2 KARDIO (2)

KATA SULIT

1. Retrosternal : Terletak di posterior terhadap sternum2. IMT : Berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi

badan dalam meter. Normal pada laki-laki 20-25 kg/m2 wanita 18,7-23,9 kg/m2

3. Irama Sinus : Gelombang P diikuti QRS4. ST Elevasi : Gelombang S&T berada di atas garis isoelektrik5. Sadapan Prekordial : Untuk pemeriksaan dada saat pemeriksaan EKG

(secara horizontal)6. Pemeriksaan angiografi : Pemeriksaan pada pembuluh darah untuk memeriksa

apakah ada penyumbatan atau tidak7. Pembuluh darah koroner : Pembuluh darah yang menutrisi jantung

3

Page 4: WRAP UP 2 KARDIO (2)

PERTANYAAN BRAIN STORMING

1. Mengapa pasien mengalami nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas kiri?2. Apa hubungan pasien merokok dengan pemeriksaan pembuluh darah (angiografi)?3. Mengapa dokter memberikan obat antiangina?4. Apa indikasi pemeriksaan angiografi?5. Sebutkan enzim-enzim yang ada pada jantung dan mengapa terjadi peningkatan enzim

jantung?6. Apa diagnosis untuk pasien ini?7. Apa perngaruh hormonal terhadap nyeri dada?8. Mengapa ditemukan ST Elevevasi pada pemeriksaan EKG?9. Mengapa dokter menyarankan pemeriksaan angiografi?10. Apa faktor risiko penyakit dalam skenario?11. Mengapa pasien sulit bernapas?12. Pemeriksaan apa yang dilakukan untuk mendiagnosis selain pemeriksaan angiografi?13. Bagaimana cara mendiagnosis kasus ini?14. Apakah peningkatan dan penurunan IMT mempengaruhi kerja jantung?15. Apakah tatalaksana penyakit pada skenario?

4

Page 5: WRAP UP 2 KARDIO (2)

JAWABAN

1. Adanya sumbatan pada pembuluh darah yang disebabkan oleh iskemia sehingga jantung memberi sinyal ke otak menyebabkan rasa nyeri, dan karena nyeri di jantung dan ekstremitas berasal dari sistem saraf yang sama.

2. Rokok merusak paru-paru menyebabkan pertukaran oksigen dan karbondioksida terganggu, sehingga karbondioksida menumpuk lalu terjadi kerusakan dan penebalan pada endotel. Kerusakan pada endotel menyebabkan iskemik pada jantung sehingga dilakukan pemeriksaan angiografi untuk mengetahuinya

3. Antiangina untuk mengurangi rasa nyeri pada dada4. Hipertensi yang disertai nyeri dada5. Terjadi peningkatan enzim troponin jika terjadi iskemik karena matinya miosit yang

disebabkan oleh kekurangan oksigen sehingga terjadi ruptur di dinding miosit6. Penyakit jantung iskemik karena gejala yang dialami pasien7. Hormon adrenal membuat vasokontriksi sehingga aliran darah naik. Pada penyakit

jantung koroner terjadi penyempitan sehingga pembuluh darah makin mengecil.8. Pembuluh darah mengalami sumbatan sehingga ventrikel kiri memompa lebih keras

menyebabkan ST Elevasi pada hasil EKG9. Untuk melihat adanya penyakit jantung koroner, aterosklerosis, arteriosklerosi10. – gaya hidup

– usia– obesitas– manajemen stress– genetik

11. Karena pasien seorang perokok berat dan pasien berada dalam keadaan keramaian yang cenderung pengap sehingga sulit bernapas

12. EKG, USG, MRI, tes darah lengkap, echocardiogram13. Dari anamnesis ditemukan nyeri dada, sesak napas, jantung berdebar-debar, riwayat

penyakit pada keluarga, adanya faktor risiko. Dari pemeriksaan fisik ditemukan takikardi, bunyi S3 (saat nyeri), suara ronky. Dan pemeriksaan lab

14. Mempengaruhi, karena IMT (massa) menyebabkan obesitas yang menyebabkan jantung tertekan

15. Obat-obat vasodilator, nitrogliserin pemberian sublingual

5

Page 6: WRAP UP 2 KARDIO (2)

HIPOTESIS

Penyakit jantung koroner dipicu oleh pasien dengan gaya hidup yang tidak sehat, usia, obesitas, manajemen stress, genetik menimbulkan manifestasi berupa nyeri dada, sulit bernapas. Penyakit jantung koroner didiagnosis dengan melakukan pemeriksaan seperti pemeriksaan angiografi. Penyakit jantung koroner dapat ditatalaksana dengan obat-obat vasodilator dan nitrogliserin pemberian sublingual.

6

Page 7: WRAP UP 2 KARDIO (2)

SASARAN BELAJAR

LI 1. Memahami dan Menjelaskan Vaskularisasi Jantung

LI 2. Memahami dan Menjelaskan Kelainan Jantung

LO 2.1. Memahami dan Menjelaskan Kriteria Sindroma Koroner Akut

LO 2.2. Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Penunjang Sindroma Koroner

Akut

LO 2.3. Memahami dan Menjelaskan Terapi Awal Sindroma Koroner Akut

LO 2.4. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Atherosklerosis dan Nyeri Dada

LO 2.5. Memahami dan Menjelaskan Morfologi Oklusi Pembuluh Darah Koroner

LO 2.6. Memahami dan Menjelaskan Mikroskopis Infark Miokard

LO 2.7. Memahami dan Menjelaskan Faktor Risiko PJK

LO 2.8. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana PJK

LO 2.9. Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi PJK

LI 3. Memahami dan Menjelaskan Gambaran EKG Normal

7

Page 8: WRAP UP 2 KARDIO (2)

LI 1. Memahami dan Menjelaskan Vaskularisasi Jantung

Jantung mendapatkan darah dari 2 arteri yaitu a. coronaria dextra dan a. coronaria sinistra. Kedua arteri tsb berasal dari ostium arteria coronaria dalam sinus aorta.

Arteri coronaria sinistra

Berasal dari sinus coronaris sinistra yang terletak di belakang truncus pulmonalis. Arteri coronaria sinistra merupakan pembuluh darah yang mengaliri sebagian besar jantung sehingga bila terjadi penyempitan akan terjadi kelainan sebagian besar jantung tidak mendapat aliran darah. Arteri ini memberi cabang-cabang:

- R. interventrikularis anterior

- R. coni arteriosi

- R. lateralis

- R. interventrikularis septalis

- R. circumflexus

- R. arterialis anastomicus

- R. atrioventrikularis

- R. marginalis sinister

R. post arteri coronary sinistra mendarahi: Atrium sinister kecuali auricular sinister, ventriculus sinister, permukaan posterior atrium sinistrum, sebelah kanan diafragma bagian yang diduduki ventriculus sinister, bagian kiri permukaan sterocostalis

Arteri Coronari dextra

Arteri coronary dextra bermula dari sinus koronaris dextra yang memberikan cabang-cabang:

- R. atrioventrikulares R.coni arteriosi R.nodi sinuatrialis

- R. marginalis dextra

- R. artrialis intermedia

- R. interventrikularis posterior

Arteri koronaria dextra mendarahi septum interarterialis dan septum interventrikularis, bagian kanan jantung, ventriculus dexter kecuali daerah yang didarahi A. coronaria sinistra

Pembuluh Darah Balik

Pembuluh darah balik berarti pembuluh darah yang akan mengalir baik langsung maupun tidak langsung ke atrium dextrum. Vena-vena yang tidak langsung akan berkumpul pada sinus coronaries ini akan bermuara disebelah kiri vena cava inferior yang disebut ostium sinus coronarius.

8

Page 9: WRAP UP 2 KARDIO (2)

Vena yang bermuara pada sinus coronaries:

- Vena cardiaca magna yang sejalan dengan arteri coronaria sinistra r. desenden

- Vena cordis parva mengikuti r. marginalis a. coronaris dextra

- Vena cordis media mengikuti a.interventrikularis posterior

- Vena posterior ventriculi sinistra yang mengumpulkan vena dari facies diafragmatica

- Vena obliqii yang merupakan sisa embriologis berada dorsalis atrium sinistrum

Vena yang tidak melalui sinus coronarius

- Vena posterior ventriculi sinistra yang mengumpulkan vena yang dari facies diafragmatika

- Vena obliqii yang merupakan sisa embriologis berada dorsalis atrium sinistrum

9

Page 10: WRAP UP 2 KARDIO (2)

LI 2. Memahami dan Menjelaskan Kelainan Jantung

LO 2.1. Memahami dan Menjelaskan Kriteria Sindroma Koroner Akut

Angina pectoris tidak stabil : Manifestasi khas angina, tanpa peningkatan enzim biomarka jantung, dengan atau tanpa perubahan EKG yang menunjukan iskemia.

Infark Miokard (NSTEMI) : Manifestasi khas angina, disertai peningkatan enzim penanda jantung, tanpa adanya gambaran elevasi segmen ST pada EKG

STEMI : Manifestasi khas angina disertai peningkatan enzim penanda jantung, dengan adanya gambaran elevasi segmen ST pada EKG

Perbedaan Karakteristik ACS

Angina Pektoris tidak stabil NSTEMI STEMIKeluhan klinisAngina saat istirahat, durasi >20 menit; atauAngina pertama kali hingga aktivitas fisik menjadi sangat terbatas; atauAngina progresif: pasien dengan angina stabil, terjadi perburukan: frekuensi lebih sering, durasi lebih lama, muncul dengan aktivitas ringanAngina pada SKA sering disertai keringat dingin (respon simpatis), mual muntah, lemas.

Presentasi Klinis menyerupai SKA pada umumnya. Namun kadang pasien datang dengan gejala atipikal: nyeri pada lengan atau bahu, sesak napas akut, sinkop atau aritmiaPasien dengan STEMI biasanya telah memiliki riwayat angina atau PJK, usia lanjut dan kebanyakan laki-laki

Pemeriksaan FisikSering kali normal. Pada beberapa kasus dapat ditemui tanda-tanda kongesti dan instabilitas hemodinamik

Penilaian umum: kecemasan, sesak, keringat dingin, tanda Levine, kadang normotensive atau hipertensif. Pemeriksaan fisik lainnya dapat berupa tanda perburukan gagal jantung. Klasifikasi Killip dapat digunakan untuk mengevaluasi hemodinamik dan prognosis pasien dengan SKA

Pemeriksaan EKGGambaran depresi segmen ST, horizontal maupun down-sloping, yang > 0,05 mV pada dua atau lebih sadapan sesuai region dinding ventrikelnya dan atau inversi gelombang T >0,1 mV pada dengan gelombang R prominen atau rasio R/S <1Pada keadaan tertentu EKG 12 sadapan dapat normal, terutama pada iskemia posterior (sadapan V7-V9) atau ventrikel kanan (sadapan V3R-V4R)Dianjurkan pemeriksaan EKG serial setiap 6 jam untuk mendeteksi kondisi iskemia yang dinamis.

Elevasi segmen ST >0,1 mV yang dihitung mulai dari titik J pada dua atau lebih sadapan sesuai region dinding ventrikelnya. Namun khusus pada sadapan V2-V3 batasan elevasi menjadi >0,2 mV pada laki-laki usia >40 tahun;>0,25 mV pada laki-laki usia <40 tahun atau >0,15mV pada perempuan.

Pemeriksaan Biomarka JantungTidak ada peningkatan troponin T danatau CKMB

Peningkatan troponin T danatau CKMB (4-6 jam stlh onset)

Peningkatan troponin T (untuk diagnosis akut) dan/atau CKMB (untuk diagnosis dan melihat luas infark)

10

Page 11: WRAP UP 2 KARDIO (2)

Profil Biomarka Jantung

Marker/Petanda Mulai meningkat Kadar puncak Kembali normalMyoglobin 1-4 jam 6-7 jam 24 jamCKMB 3-12 jam 24 jam 48-72 jamTroponin I 3-12 jam 24 jam 5-10 hariTroponin T 3-12 jam 12jam-2 hari 5-14 hariLDH 10 jam 24-48 jam 10-14 hari

Klasifikasi Sindroma Koroner Akut

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:

1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation myocardial infarction)

2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation myocardial infarction)

3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.

Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan (Gambar 1). Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara

11

Page 12: WRAP UP 2 KARDIO (2)

bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of normal, ULN).

Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.

LO 2.2. Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Penunjang Sindroma Koroner

Anamnesis. Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.

Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA.

Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut :

1. Pria 2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer /

karotis) 3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah pintas

koroner, atau IKP 4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus,

riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education Program)

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik

12

Page 13: WRAP UP 2 KARDIO (2)

disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.

Pemeriksaan elektrokardiogram

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.

Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.

Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.

Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG

Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau InfarkV1-V4 AnteriorV5-V6, I, aVL LateralII, III, aVF InferiorV7-V9 PosteriorV3R, V4R Ventrikel kanan

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada

13

Page 14: WRAP UP 2 KARDIO (2)

sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.

Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut.

Pemeriksaan marka jantung

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.

Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural.

Pemeriksaan laboratorium

Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA.

Pemeriksaan foto polos dada

Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.

14

Page 15: WRAP UP 2 KARDIO (2)

Pemeriksaan Noninvasif

emeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan menjadi normal saat iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta dapat dideteksi melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan, pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat harus tersedia di ruang gawat darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin bagi pasien tersangka SKA.

Stress test seperti exercise EKG yang telah dibahas sebelumnya dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding PJK obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat normal dan marka jantung yang negatif.

Multislice Cardiac CT (MSCT) dapat digunakan untuk menyingkirkan PJK sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan jika pemeriksaan troponin dan EKG tidak meyakinkan.

Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner). Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang sedang mengalami gejala atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG diagnostik. Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding regional seringkali memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling defect yang mengesankan adanya trombus intrakoroner.

Tingkat peluang SKA segmen ST non elevasi

(dikutip dari Anderson JL, et al. J Am Coll Cardiol 2007;50:e1-157)

KEMUNGKINAN BESAR Salah satu dari:

KEMUNGKINAN SEDANG Salah satu dari:

KEMUNGKINAN KECIL Salah satu dari:

AnamnesisNyeri dada atau lengan kiri yang berulang Mempunyai riwayat PJK, termasuk infark miokard

Nyeri di dada atau di lengan kiriPria, usia >70 tahun, diabetes mellitus

Nyeri dada tidak khas angina

Pemeriksaan fisik

Regurgitasi mitral, hipotensi, diaphoresis, edema paru, atau ronkhi

Penyakit vaskular ekstra kardiak

Nyeri dada timbul setiap dilakukan palpasi palpasi

EKG

Depresi segmen ST ≥1 mm atau inversi gelombang T yang baru (atau dianggap baru) di beberapa sadapan prekordial

Gelombang Q yang menetap

Depresi segmen ST 0,5-1 mm atau inversi gelombang T >1 mm

Gelombang T mendatar atau inversi <1 mm di sadapan dengan gelombang R yang dominan

Marka jantung

Kadar troponin I/T atau CKMB meningkat

Normal Normal

15

Page 16: WRAP UP 2 KARDIO (2)

LO 2.3. Memahami dan Menjelaskan Terapi Awal Sindroma Koroner Akut

TINDAKAN UMUM DAN LANGKAH AWAL

Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.

1. Tirah baring (Kelas I-C) 2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri

<95% atau yang mengalami distres respirasi (Kelas I-C)3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama,

tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri (Kelas IIa-C)

4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat (Kelas I-C)

5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)

a.Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik (Kelas I-B) atau

b.Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I-C).

6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). jika nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas I-C). dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti

7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas IIa-B).

1. Evaluasi dan penanganan awal pada pasien dengan nyeri dada atau diduga suatu iskemia atau infark jantung:

a. Lakukan ABC, pemasangan monitor, serta siapkan alat resusitasi dan defibrilasi

b. Berikan O2, nitrogliserin sublingual atau spray, aspirin dosis awal 160-325 mg, dan morfin IV bila diperlukan

c. Pasang EKG 12 sadapan. Bila ditemukan STEMI rujuk atau persiapkan terapi reperfusi

16

Page 17: WRAP UP 2 KARDIO (2)

2. Terapi reperfusi segera, wajib pada pasien STEMI dalam 12 jam pertama setelah awitan nyeri dada. Pilihan metode reperfusi berupa terapi fibrinolitik, mapun intervensi percutaneous coronary intervention (PCI) atau CABG, sesuai dengan resiko pasien, penyakit comorbid, serta berat dan banyaknya lesi berdasarkan angiografi coroner. Pada kasus NSTEMI, intervensi PCI atau CABG mendesak dalam jangka waktu 2 jam (urgent PCI) diperlukan bila ditemui minimal satu tanda berikut: angina pectoris yang tidak dapat diatasi dengan medikamentosa, gagal jantung berat, instabilitas hemodinamik atau aritmia ventricular maligna.

3. Tatalaksana awal NSTEMI dan Angina tak stabila. Terapi anti iskemia: nitrogliserin sublingual 0,4 mg atau isosorbid dinitrat

(ISDN) 5 mg setiap 5 menitb. Penggunaan morfin IV dapat dipertimbangkan untuk mengatasi nyeri dada dan

ansietas. c. Penggunaan beta-blocker berguna untuk mengurangi kebutuhan oksigen

jantung (menurunkan laju jantung, kontraktilitas dan tekanan darah), serta mencegah terjadinya iskemia berulang, aritmia ventricular dan memperbaiki prognosis.

d. Inisiasi terapi antitrombotik (antiplatelet atau antikoagulan); antiplatelet menghambat COX-1 (aspirin) dikombinasi dengan penghambat reseptor P2Y12 (clopidogrel, prasugrel); antokoagulan; penghambat thrombin indirek (UFH), penghambat faktor Xa dan penghambat faktor Xa indirek.

Terapi Fibrinolitik pada STEMI

Obat fibrinolitik yang dikenal hingga saat ini ada dua: fibrin non-spesifik seperti streptokinase (SK) dan fibrin spesifik seperti alteplase (tPA). Kontraindikasi absolut fibrinolitik; riwayat pendarahan intracranial kapanpun; adanya trauma/pembedahan, adanya pendarahan aktif

LO 2.4. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Atherosklerosis dan Nyeri Dada

Aterosklerosis adalah penyakit degenerative progresif pada arteri yang menyebabkan oklusi (sumbatan bertahap) pembuluh tersebut, mengurangi aliran darah yang melaluinya. Aterosklerosis ditandai dengan plak-plak yang terbentuk dibawah lapisan dalam pembuluh di dinding arteri. Plak aterosklerotik terdiri dari inti kaya lemak yang dilapisi oleh pertumbuhan abnormal sel otot polos, ditutupi oleh tudung jaringan ikat kaya-kolagen. Setelah terbentuk plak, plak membentuk tonjolan ke dalam lumen pembuluh.

1. Aterosklerosis berawal dari cedera dinding pembuluh darah, yang memicu respons peradangan yang menyiapkan tahap-tahap pembentukan plak. Dalam keadaan normal, peradangan adalah suatu respons protektif untuk melawan infeksi dan mendorong perbaikan jaringan yang rusak. Namun jika penyebab cedera menetap di dalam dinding pembuluh, respons peradangan ringan berkepanjangan selama beberapa decade dapat secara perlahan menyebabkan pembentukan plak arteri dan penyakit jantung. Hal yang dicurigai merusak arteri dan mungkin memicu respons, radikal bebas, tekanan darah tertinggi, homosistein, bahan kimia yang dibebaskan dari sel lemak, atau bahkan bakteri atau virus yang merusak dinding pembuluh darah. Bahan pemicu tersering tampaknya kolesterol teroksidasi.

17

Page 18: WRAP UP 2 KARDIO (2)

2. Tahap awal aterosklerosis biasanya ditandai oleh akumulasi lipoprotein berdensitas rendah (LDL) yang berikatan dengan suatu protein pembawa dibawah endotel. Seiring dengan menumpuknya LDL didalam dinding pembuluh, produk kolesterol ini teroksidasi, terutama oleh zat-zat sisa oksidatif yang dihasilkan oleh sel pembuluh darah. Zat-zat sisa ini adalah radikal bebas, yaitu partikel defisien-elektron yang sangat tidak stabil dan menyebabkan kerusakan sel melalui pengambilan electron dari molekul-molekul lain. Vitamin antioksidan yang mencegah oksidasi LDL, misalnya vit E, vit C, dan beta karoten, memperlambat pengendapan plak

3. Sebagai respons terhadap keberadaan LDL teroksidasi atau iritan lain, sel-sel endotel menghasilkan bahan-bahan kimia yang menarik monosit ke tempat peradangan. Sel-sel imun ini memicu repons peradangan local.

4. Setelah meninggalkan darah dan masuk ke dinding pembuluh, monosit menetap permanen, membesar dan menjadi sel fagositik besar yang dinamai makrofag. Makrofag dengan rakus memfagosit LDL teroksidasi hingga sel ini dipenuhi oleh butir-butir lemak sehingga tampak berbusa di bawah mikroskop. Makrofag yang sangat membengkak ini, yang kini disebut foam sel, menumpuk dibawah dinding pembuluh darah dan membentuk fatty streak, bentuk paling dini plak aterosklerotik

5. Karena itu, tahap paling awal pada pembentukan plak adalah akumulasi endapan kaya-kolesterol dibawah endotel. Penyakit berkembang sewaktu sel-sel otot polos didalam pembuluh darah bermigrasi dari lapisan otot pembuluh darah ke tepat di bawah endotel dan menutupi akumulasi lemak tersebut. Migrasi ini dipicu oleh bahanbahan kimia yang dibebaskan di tempat peradangan. Di lokasinya yang baru, sel-sel otot polos yang menutupinya bersama-sama membentuk plak matang.

6. Seiring dengan perkembangannya, plak secara progresif menonjol ke dalam lumen pembuluh. Plak yang menonjol mempersempit lubang yang dapat dilalui oleh darah.

7. LDL teroksidasi menghambat pelepasan nitrat oksida dari sel endotel dan ikut mempersempit pembuluh. Nitrat oksida adalah caraka kimiawi local yang menyebabkan relaksasi lapisan sel otot polos normal di dinding pembuluh darah. Relaksasi sel-sel otot polos ini menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Karena pelepasan nitrat oksida berkurang, pembuluh darah yang rusak akibat pembentukan plak ini tidak mudah berdilatasi seperti pembuluh normal.

8. Plak yang menebal juga menghambat pertukaran nutrient bagi sel-sel yang terletak di dalam dinding arteri yang terkena sehingga terjadi degenerasi dinding disekitar plak. Daerah yang rusak kemudian diinvasi oleh fibroblast (sel pembentuk jaringan parut) yang membentuk jaringan ikat kaya-kolagen yang menutupi plak.

9. Pada tahap lanjut penyakit Ca2+ sering mengendap di plak. Pembuluh yang terkena menjadi keras dan tidak mudah mengembang.

Angina Pektoris; nyeri dada biasanya kambuh setiap kali kebutuhan O2 jantung melebihi kemampuan aliran darah koronaria sebagai contoh saat olahraga atau stress. Nyeri diperkirakan terjadi akibat stimulasi ujung-ujung saraf jantung oleh akumulasi asam laktat ketika jantung melakukan metabolisme anaerob yang terbatas.

18

Page 19: WRAP UP 2 KARDIO (2)

LO 2.5. Memahami dan Menjelaskan Morfologi Oklusi Pembuluh Darah Koroner

LO 2.6. Memahami dan Menjelaskan Mikroskopis Infark Miokard

19

Page 20: WRAP UP 2 KARDIO (2)

LO 2.7. Memahami dan Menjelaskan Faktor Risiko PJK

Tidak dapat diubah

- Usia (laki-laki > 45tahun; perempuan > 55 tahun atau menopause premature tanpa terapi penggantian estrogen)

- Riwayat CAD pada keluarga (MI pada ayah atau saudara laki-laki sebelum berusia 55 tahun atau pada ibu atau suadara perempuan sebelum berusia 65 tahun)

Dapat Diubah

- Hiperlipidemia (LDL-C); batas atas, 130-159 mg/dL; tinggi >160 mg/dL- HDL-C rendah: <40mg/dL- Hipertensi (>140/90 mmHg)- Merokok- Diabete Melitus- Obesitas- Hiperhomosisteinemia

Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education Program)

Faktor risiko utama/mayor ( secara tunggal dapat menyebabkan aterosklerosis) :

- dislipidemia ( hiperlipoproteinemia), - hipertensi - merokok

Faktor risiko minor

genetik, usia lanjut, perilaku dan gaya hidup, stress, obesitas, faktor pembekuan dan fibrinolisis, protein, infeksi, inflamasi.

Resistensi insulin, gangguan toleransi glukosa dan diabetes mellitus dianggap ekivalen dengan PJK,

à Dimasukkan dalam faktor risiko mayor

Faktor risiko lama & baru.

Faktor risiko baru antara lain :

hs-CRP, SAA (serum amyloid antigen), IL-6, PAI-1(plasminogen activator inhibitor-1),homosistein,

faktor Von Willebrand, CMV, H.pylori, C.pneumoniae

Amat baru : sd-LDL, oxidized LDL, Myeloperoxidase

Homosistein dan risiko PKV

20

Page 21: WRAP UP 2 KARDIO (2)

Peningkatan kadar homosistein à meningkatkan angka kejadian PKV Faktor risiko independent Mekanisme : injuri pada endotel, peningkatan oksidasi LDL, peningkatan tromboksan

yang menyebabkan agregasi tromb dan inhibisi aktivasi antikoagulan protein C. Hemostasis : Peningkatan homosistein à meningkatkan faktor-faktor yang

memudahkan pembekuan darah dan menghambat faktor yang berfungsi sebagai antikoagulan à meningkatkan risiko stroke. 

Petanda inflamasi

hs-CRP

CRP sebagai petanda inflamasi mempunyai peran baru pada penyakit kardiovaskuler yaitu sebagai penanda risiko relative dalam meramalkan kejadian baru ( pencegahan primer), maupun kekambuhan ( pencegahan sekunder).

Pengukuran kadar CRP ( high-sensitivity CRP/ hs-CRP) menggunakan metode yang peka, dapat mengukur sampai kadar 0,1 mg/L.

Risiko relatif rendah, sedang dan tinggi bila kadar hs-CRP < 0,1, 1.0-3.0, dan > 3.0 mg/L

SINDROM METABOLIK

Adalah keadaan klinis pada seseorang dengan sekumpulan kelainan metabolik, antara lain dislipidemia, hiperglikemia, hiperurikemia, hipertensi dan obesitas. Kondisi ini dikaitkan dengan risiko PKV, stroke, DM tipe 2 dan kematian.

Diketahui sejak tahun 1923 dengan berbagai nama : “ Sindrom X “ , kemudian menjadi “ Sindrom resistensi insulin”

Definisi SM terus berkembang, beberapa rekomendasi telah dihasilkan oleh para ahli. Mekanisme dasar : hipotesis yang paling diterima adalah resistensi insulin. The Deadly Quartet ( Kaplan 1989) : Obesity, Diabetes, Hypertension, Dyslipidemia

 

Salah satu definisi menurut NCEP:ATP III, 2001

Diagnosis dapat ditegakkan bila terdapat 3 atau lebih kelainan berikut:

Obesitas sentral : lingkar pinggang ( waist circumference) > 102 (lelaki) dan > 88 (perempuan)

Kolesterol HDL rendah : < 40 mg/dL (lelaki), < 50 mg/dL(perempuan)

Hipertensi > 130/ > 85 mmHg Hipertrigliseridemia : trigliserida > 150 mg/dL Glukosa plasma puasa > 110 mg/dL

LO 2.8. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana PJK

Penyekat Beta (Beta blocker). Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium.

21

Page 22: WRAP UP 2 KARDIO (2)

Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi. Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-B). penyekat beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama (Kelas I-B). Penyekat beta juga diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada indikasi kontra (Kelas I-B). Pemberian penyekat beta pada pasien dengan riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang dengan SKA tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip ≥III (Kelas I-B). Beberapa penyekat beta yang sering dipakai dalam praktek klinik dapat dilihat pada tabel 12.

Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA

Penyekat beta Selektivitas Aktivitas agonis parsial Dosis untuk angina

Atenolol B1 - 50-200 mg/hari

Bisoprolol B1 - 10 mg/hari

Carvedilol a dan b + 2x6,25 mg/hari, titrasi sampai

maksimum 2x25 mg/hari

Metoprolol B1 - 50-200 mg/hari

Propanolol Nonselektif - 2x20-80 mg/hari

Nitrat. Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis.

1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari episode angina (Kelas I-C).

2. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada indikasi kontra (Kelas I-C).

3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I) (Kelas I-B).

4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan (Kelas III-C).

5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan (Kelas III-C).

Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA

22

Page 23: WRAP UP 2 KARDIO (2)

Nitrat Dosis

Isosorbid dinitrate (ISDN) Sublingual 2,5–15 mg (onset 5 menit) Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis

Intravena 1,25-5 mg/jam

Isosorbid 5 mononitrate Oral 2x20 mg/hariOral (slow release) 120-240 mg/hari

Nitroglicerin Sublingual tablet 0,3-0,6 mg–1,5 mg (trinitrin, TNT, glyceryl trinitrate) Intravena 5-200 mcg/menit

Calcium channel blockers (CCBs). Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina.

1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta (Kelas I-B).

2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta (Kelas I-B).

3. CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai pengganti terapi penyekat beta (Kelas IIb-B).

4. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik (Kelas I-C). 5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak

direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta. (Kelas III-B).

Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA

Penghambat kanal kalsium Dosis

Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis

Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis

Nifedipine GITS (long acting) 30-90 mg/hari

Amlodipine 5-10 mg/hari

Antiplatelet

1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan (Kelas I-A).

2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko perdarahan berlebih (Kelas I-A).

3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid (Kelas I-A).

23

Page 24: WRAP UP 2 KARDIO (2)

4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis (Kelas I-C).

5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan) (Kelas I-B).

6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari (Kelas I-A).

7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor (Kelas I-B).

8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B).

9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi (Kelas IIa-C).

10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman (Kelas IIa-B).

11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX- 2 selektif dan NSAID non-selektif ) (Kelas III-C).

Keterngan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa memperdulikan jenis stent.

Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA

Antiplatelet DosisAspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis pemeliharaan 75-100 mgTicagrelor Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2x90 mg/hariClopidogrel Dosis loading 300 mg, dosis pemeliharaan 75 mg/hari

Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa

Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik dan perdarahan (Kelas I-C). Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus yang terlihat) apabila risiko perdarahan rendah (Kelas I-B). Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin sebelum angiografi (Kelas III-A) atau pada pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif (Kelas III-A).

Antikogulan. Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin.

24

Page 25: WRAP UP 2 KARDIO (2)

1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi antiplatelet (Kelas I-A).

2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut. (Kelas I-C).

3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan (Kelas I-A).

4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP (Kelas I-B).

5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia (Kelas I-B).

6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia (Kelas I-C).

7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Kelas I-A).

8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B).

Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA

Antikoagulan Dosis

Fondaparinuks 2,5 mg subkutan

Enoksaparin 1mg/kg, dua kali sehari

Heparin tidak terfraksi

Bolus i.v. 60 U/g, dosismaksimal 4000 U.Infus i.v. 12 U/kg selama24-48 jam dengan dosis maksimal 1000 U/jam target aPTT 11/2-2x kontrol

Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan

1. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan risiko perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat (Kelas I-A).

2. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih targen INR terendah yang masih efektif. (Kelas IIa-C).

3. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih (Kelas IIb-B).

Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin

Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis. Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik.

25

Page 26: WRAP UP 2 KARDIO (2)

1. Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dan pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK) (Kelas I-A).

2. Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain seperti di atas (Kelas IIa-B). Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada (Kelas IIa-C).

3. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung (Kelas I-B).

Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk IMA

Inhibitor ACE dosis

Captopril 2-3 x 6,25-50 mg

Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis

Lisinopril 2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis

Enalapril 5-20 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis

Statin

Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-A). Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/ dL (Kelas I-A). Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin untuk dicapai.

LO 2.9. Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi PJK

Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dan Organisasi Federasi Jantung Sedunia (World Heart Federation) memprediksi penyakit jantung akan menjadi penyebab utama kematian di negara-negara Asia pada tahun 2010. Saat ini, sedikitnya 78% kematian global akibat penyakit jantung terjadi pada kalangan masyarakat miskin dan menengah. Berdasarkan kondisi itu, dalam keadaan ekonomi terpuruk maka upaya pencegahan merupakan hal terpenting untuk menurunkan penyakit kardiovaskuler pada 2010. Di negara berkembang dari tahun 1990 sampai 2020, angka kematian akibat penyakit jantung koroner akan meningkat 137 % pada laki-laki dan 120% pada wanita, sedangkan di negara maju peningkatannya lebih rendah yaitu 48% pada laki-laki dan 29% pada wanita.

Di tahun 2020 diperkirakan penyakit kardiovaskuler menjadi penyebab kematian 25 orang setiap tahunnya. Oleh karena itu, penyakit jantung koroner menjadi penyebab kematian dan kecacatan nomer satu di dunia.

Menurut Raharjoe (2011) penyakit kardiovaskular adalah penyebab mortalitas tertinggi di dunia dimana, dilaporkan sebanyak 30% dari mortalitas global. Pada tahun 2010,

26

Page 27: WRAP UP 2 KARDIO (2)

penyakit kardiovaskular kira – kira telah membunuh 18 juta orang, 80% terdapat di Negara berkembang, seperti Indonesia.Indonesia saat ini menghadapi masalah kesehatan yang kompleks dan beragam. Tentu saja mulai dari infeksi klasik dan modern, penyakit degeneratif serta penyakit psikososial yang menjadikan Indonesia saat ini yang menghadapi " threeple burden diseases". Namun tetap saja penyebab angka kematian terbesar adalah akibat penyakit jantung koroner – "the silence killer". Tingginya angka kematian di Indonesia akibat penyakit jantung koroner (PJK) mencapai 26%. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRTN), dalam 10 tahun terakhir angka tersebut cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 1991, angka kematian akibat PJK adalah 16 %. kemudian di tahun 2001 angka tersebut melonjak menjadi 26,4 %. Angka kematian akibat PJK diperkirakan mencapai 53,5 per 100.000 penduduk di Indonesia.

LI 3. Memahami dan Menjelaskan Gambaran EKG Normal

Hasil rekaman EKG dicetak dalam kertas grafik yang memiliki garis horizontal dan vertical dengan jarak 1 mm, garis tebal 5 mm. Garis horizontal menggambarkan waktu: 1 mm = 0,04 s; dan garis vertical menggambarkan voltase: 1 mm = 0,1 mV. Rekaman sering dibuat dengan kecepatan 25 mm/s. Terdapat 6 lead standar (limb lead) yang menangkap aktivitas listrik jantung dari 6 sudut potongan frontal atau vertical, serta 6 lead precordial yang menangkap aktivitas listrik secara horizontal.

a. Sadapan bipolar standar (Einthoven’s Triangle): lead 1, 2 dan 3 b. Sadapan unipolar yang diperkuat: lead aVR, aVL dan aVFc. Sadapan unipolar precordial; V1-6

Sistematika Pembacaan EKGEKG layak dibaca apabila gelombang P positif di lead II dan negative di aVR; bila tidak pikirkan kemungkinan kesalahan pemasangan lead terlebih dahulu sebelum mencari diagnosis banding.

1. Frekuensi (laju QRS)a. Untuk irama regular: 300/jumlah kotak besar antara R-R atau 1500/jumlah kotak kecil

antara R-Rb. Untuk irama ireguler: mengukur EKG strip sepanjang 6s, hitung jumlah gelombang

QRS dalam 6s, kemudian dikalikan 10 atau dalam 12s dikali 52. Irama Sinus: gelombang QRS yang selalu didahului oleh gelombang P. Syarat iramma

sinus pada jantung yang normala. Laju: 60-100kali/menitb. Ritme: interval P-P regularc. Gelombang P: positif di lead II, selalu diikuti kompleks QRSd. PR interval: 0,12-0,20 detik dan konstan dari beat to beate. Durasi QRS: kurang dari 0,10 s kecuali gangguan konduksi intraventrikel3. Menentukan aksis jantung, dengan menghitung jumlah resultan defleksi positif dan

negative QRS rata-rata dari lead I (sumbu X) dan lead aVF (sumbu Y).

27

Page 28: WRAP UP 2 KARDIO (2)

4. Penilaian komponen P-QRS-T

Komponen EKG Fisiologi PenilaianGelombang P Merupakan sistol atrium

(depolarisasi atrium). Setengah gelombang P pertama terjadi karena stimulasi atrium kanan dan setengah gelombang P berikutnya (downslope) terjadi karena stimulasi atrium kiri

Paling dinilai pada lead II dan V1: Morfologi bulat dan tidak tajam; durasi tidak lebih dari 0,12 s; tinggi tidak lebih dari 2,5 mm

Komplek QRS Merupakan sistol ventrikel (depolarisasi ventrikel)Terdapat gelombang Q (defleksi negative pertama: merupakan depolarisasi septum intraventrikel) dengan durasi normal (kecuali lead III dan aVR) kurang dari 0,04 s dan kurang dari sepertiga tinggi gelombang R pada lead bersangkutan.

Lebar 0,06-0,12s; progresi RS normal atau tidak; ada/tidaknya hipertrofi ventrikel kiri atau kanan; ada/tidaknya Q patologis

Gelombang T Repolarsasi ventrikel Tinggi kurang dari 5mm pada lead ekskremitas atau 10 mm pada lead precordial

Gelombang U Penyebabnya masih kontroversial, diduga akibat repolarisasi serabut purkinje

Bentuk bulat kecil, amplitude kurang dari 1,5 mm

Interval PR Merupakan perlambatan fisiologis di AV node dan berkas His

Interval 0,12-0,20 s

Segmen ST Tanda awal repolarisasi ventrikel kiri dan kanan. Titik pertemuan antara akhir kompleks QRS dan awal segmen ST disebut J point

Bila J point berada dibawah garis isoelektris >1mm disebut depresi segmen ST dan jika berada di atas garis isoelektrik >1mm disebut elevasi segmen ST

Interval QT Aktivitas total ventrikel (mulai dari depolarisasi ventrikel hingga repolarisasi)

Durasi normal tergantung dari usia, jenis kelamin, dan denyut jantung. Rata-rata kurang dari 0,44s.

28

Page 29: WRAP UP 2 KARDIO (2)

29

Page 30: WRAP UP 2 KARDIO (2)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. (2012). Farmakologi dan Terapi. Ed.5. Jakarta: FKUI

Dorland, W. A. (2010) Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta: EGC

Ganong, W,F. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.22. Jakarta:EGC

Lauralee, S. (2014) Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: EGC

Libby P. Prevention and treatment of atherosclerosis in Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th Ed, Vol. II editor by:Kasper DL, et al. 2005: 1430 – 34 The McGraw-Hill Companies US

Price, S.A. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC

Raharjoe, A. 2011. Current Problem of Cardiovascular Disease in Indonesia. 20th Annual Scientific Meeting of Indonesian Heart Association (ASMIHA). Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia; hal. 47

Rilantono, L.I. (2015) Penyakit Kardiovaskular 5 Rahasia. Jakarta: FKUI

Setiati, Siti, et al (2014) Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing

Syamsir, H.M. (2015) Anatomi Jantung dan Pembuluh Darah Besar. Jakarta: FKUY

Vinay, K.M., Abul K.A. dan J.C.Aster (2013) Buku Ajar Patologi Robbins Edisi IX. Singapore: Elsevier

30