tugas ujian bedah

Upload: medisiana-s-soenoe

Post on 09-Oct-2015

29 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

diupload untuk emmenuhi tugas ujian bedah

TRANSCRIPT

TugasUjian

MATI BATANG OTAK, REFLEKS CAHAYA, DAN DESEREBRASI

Oleh :Medisisana Sukses SoenoeNIM. I1A009044

Penguji :Dr. Ardik Lahdimawan, Sp.BS

SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT BEDAH RSUD ULIN/FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAMBANJARMASIN

September, 2014

MATI BATANG OTAK

A. DEFINISIMenurut Australian and New Zealand Intensive Care Society (ANZICS), kematian otak didefinsikan sebagai, berhentinya semua fungsi otak secara ireversibel. Kematian otak terjadi saat hilangnya kesadaran yang ireversibel, dan hilangnya respon refleks batang otak dan fungsi pernapasan secara ireversibel, atau berhentinya aliran intrakranial secara ireversibel. Sedangkan menurut Komite ad hoc Harvard tahun 1968, kematian otak didefinisikan oleh beberapa hal. Yang pertama, adanya otak yang tidak berfungsi lagi secara permanen, yang ditentukan dengan tidak adanya resepsi dan respon terhadap rangsang, tidak adanya pergerakan napas, dan tidak adanya refleks-refleks, yakni respon pupil terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji penggelengan kepala dan uji kalori, refleks berkedip, aktivitas postural (misalnya deserebrasi), refleks menelan, menguap, dan bersuara, refleks kornea, refleks faring, refleks tendon dalam, dan respon terhadap rangsang plantar. Yang kedua adalah data konfirmasi yakni EEG yang iselektris. Kedua tes tersebut dilakukan ulang 24 jam setelah tes pertama, tanpa adanya hipotermia (suhu kurang dari 32,2O C) atau depresan sistem saraf pusat seperti barbiturat. Penentuan tersebut harus dilakukan oleh seorang dokter.

B. PEMERIKSAAN KLINISBanyak anggota berbagai asosiasi ahli saraf dan ahli bedah saraf telah menyusun kebijakan dan panduan praktek untuk menegakkan diagnosis kematian otak. Hanya ada sedikit perbedaan yang ada, dan selalu ada penekanan yang konsisten pada pengujian apnea dan penilaian fungsi otak sebagai metode plihan dalam menegakkan diagnosis kematian otak. Tes konfirmasi yang rutin dengan elektroensefalografi tidak lagi menjadi pilihan. Uji elektrofisiologis lain juga tidak cukup mendapat validasi dan memiliki kesulitan baik dalam pelaksanaan maupun interpretasinya. Kebijakan dan panduan praktek tersebut diterapkan secara merata pada dewasa dan usia 2 bulan ke atas. Kematian otak pada bayi berusia kurang dari 2 bulan didiagnosis dengan pendekatan yang berbeda pada kebanyakan kebijakan dan biasanya meliputi uji apnea, uji fungsi otak berulang, elektroensefalografi, dan uji perfusi serebral. Pemeriksaan neurologis klinis tetap menjadi standar untuk penentuan kematian otak dan telah diadopsi oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Pemeriksaan pasien yang diduga telah mengalami kematian otak harus dilakukan dengan teliti. Deklarasi tentang kematian otak tidak hanya menuntut dilakukannya tes neurologis namun juga identifikasi penyebab koma, keyakinan akan kondisi ireversibel, penyingkiran tanda neurologis yang salah ataupun faktor-faktor yang dapat menyebabkan kebingungan, interpretasi hasil pencitraan neurologis, dan dilakukannya tes laboratorium tambahan yang dianggap perlu.Diagnosis kematian otak terutama ditegakkan secara klinis. Tidak ada tes lain yan perlu dilakukan apabila pemeriksaan klinis yang menyeluruh, meliputi kedua tes refleks batang otak dan satu tes apnea, memberikan hasil yang jelas. Apabila tidak ditemukan temuan klinis, atau uji konfirmasi, yang lengkap yang konsisten dengan kematian otak, maka diagnosis tersebut tidak dapat ditegakkan. Pemeriksaan neurologis untuk menentukan apakah seseorang telah mengalami kematian otak atau tidak dapat dilakukan hanya apabila persyaratan berikut dipenuhi: penyingkiran kondisi medis yang dapat mengganggu penilaian klinis, khususnya gangguan elektrolit, asam basa, atau endokrin; tidak adanya hipotermia parah, didefinisikan sebagai suhu tubuh lebih kurang atau sama dengan 32C; dan tidak adanya bukti intoksikasi obat, racun, atau agen penyekat neuromuskuler. Menurut panduan sertifikasi kematian otak yang diterapkan di Hong Kong, yang mengacu pada beberapa referensi seperti Medical Royal Colleges in United Kingdom dan Austalian and New Zealand Intensive Care Society, sebelum mempertimbangkan diagnosis kematian otak, harus diperiksa kondisi-kondisi serta kriteria eksklusi. Pertama-tama, harus ditemukan kondisi cedera otak berat yang konsisten dengan proses terjadinya kematian otak (yang biasanya dikonfirmasi dengan pencitraan otak). Tidak boleh ada keraguan bahwa kondisi yang dialami pasien diakibatkan oleh kerusakan struktural otak yang tidak dapat diperbaiki. Diagnosis dari kelainan yang dapat menimbulkan kematian otak harus ditegakkan dengan jelas. Diagnosis tersebut dapat jelas terlihat beberapa jam setelah kejadian intrakranial primer seperti cedera kepala berat, perdarahan intrakranial spontan, atau setelah pembedahan otak. Namun, saat kondisi pasien disebabkan oleh henti jantung, hipoksia, atau insufisiensi sirkulasi yang berat tanpa periode anoksia serebri yang jelas, atau dicurigai mengalami embolisme udara atau lemak otak maka penegakan diagnosis akan memakan waktu lebih lama. Kondisi kedua yang dapat menjadi pertimbangan untuk menegakkan diagnosis kematian otak adalah pasien yang apneu dan menggunakan bantuan ventilator. Pasien tidak responsif, dan tidak bernafas secara spontan. Obat penyekat neuromuskuler atau lainnya harus dieksklusi dari penyebab kondisi tersebut.Penyebab koma lain yang harus dieksklusi adalah obat depresan atau racun. Riwayat penggunaan obat harus secara hati-hati diperiksa. Periode observasi tergantung pada farmakokinetik dari obat yang digunakan, dosis yang digunakan, dan fungsi hepar serta ginjal pasien. Apabila diperlukan, tes darah dan urin serta level serum dilakukan. Bila ada keraguan tentang adanya efek dari opioid atau benzodiazepine, maka obat antagonis yang tepat harus diberikan. Stimulator saraf tepi harus digunakan untuk mengkonfirmasi intak tidaknya konduksi neuromuskuler apabila pasien menggunakan obat pelemas otot (muscle relaxant). Hipotermia primer juga menjadi kriteria eksklusi. Suhu pasien direkomendasikan harus di atas 35O C sebelum dilakukan uji diagnostik. Selain itu, harus disingkirkan juga kondisi gangguan metabolik dan endokrin, serta hipotensi arteri. Interpretasi dari pindaian computed tomography (CT) adalah penting untuk menentukan penyebab kematian otak. Umumnya, pindaian CT menunjukkan massa beserta herniasi otak, lesi hemisferik multipel dengan edema, atau edema saja. Kompresi arteri dan vena mengakibatkan oedem sitotoksik dan tekanan intrakranial dapat meningkat akibat terhalangnya drainase cairan serebrospinal oleh aqusduktus atau ruang subarakhnoid. Perubahan ini menyebabkan herniasi berlanjut dan posisi otak menurun. Penurunan ini begitu besar sehingga cabang-cabang arteri basilaris (yang mendarahi batang otak) teregang dan mengakibatkan perdarahan intraparenkimal dan memperparah oedem. Bagaimanapun, temuan pada pindaian CT tidak menghilangkan kebutuhan untuk pemeriksaan yang teliti atas faktor-faktor lain yang mungkin menyesatkan diagnosis. Sebaliknya, hasil pindaian CT dapat menunjukkan hasil normal pada periode awal setelah henti jantung dan paru dan pada pasien dengan meningitis atau ensefalitis fulminan. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan adanya kondisi dimana terjadi infeksi pada sistem saraf pusat.Kriteria klinis untuk kematian otak pada dewasa dan anak adalah sebagai berikut :1. koma2. tidak ada respon motorik3. tidak ada respon pupil terhadap cahaya dan pupil berada di posisi tengah dengan dilatasi (4-6 mm)4. tidak ada refleks kornea5. tidak ada refleks tersedak6. tidak ada respon kalorik7. tidak ada batuk sebagai respon terhadap suction trakea8. tidak ada usaha respirasi saat PaCO2 setinggi 60 mmHg atau 20 mmHg diatas nilai dasar normal Pemeriksaan neurologis yang menyeluruh meliputi dokmentasi koma, tidak adanya refleks batang otak, dan apnea. Pemeriksaan refleks batang otak meliputi pengukuran jalur refleks pada mesensefalon, pons, dan medula oblongata. Saat terjadi kematian otak, pasien kehilangan refleks dengan arah rostral ke kaudal, dan medulla oblongata adalah bagian terakhir dari otak yang berhenti berfungsi. Beberapa jam dibutuhkan untuk terjadinya kerusakan batang otak secara menyeluruh, dan selama periode tersebut, mungkin masih terdapat fungsi medula. Pada kasus yang jarang dimana terdapat fungsi medula oblongata yang tetap ada, ditemukan tekanan darah normal, respon batuk setelah suction trakhea, dan takhikardia setelah pemberian 1 mg atropin. Kedalaman koma diuji dengan penilaian adanya respon motorik terhadap stimulus nyeri yang standar, seperti penekanan nervus supraorbita, sendi temporomandibuler, atau bantalan kuku pada jari. Pemeriksaan kemudian dilanjutkan dengan ada tidaknya refleks batang otak. Bila tidak ada refleks batang otak, pemeriksaa harus menemukan adanya pupil yang oval atau bulat pada posisi tengah dengan dilatasi (4 6 mm) tanpa adanya respon terhadap cahaya terang. Saat kepala digelengkan dengan cepat, seharusnya tidak ada gerakan okulosefalik yang muncul. Bagaimanapun, interpretasi terhadap tes tersebut sulit, dan dapat memberi hasil yang membingungkan apabila ada cedera spinal. Tidak adanya pergerakan mata saat dirangsang harus dikonfirmasi dengan stimulasi kalorik dingin, dimana timpani diirigasi dengan air es setelah kepala dimiringkan 30 derajat. Seharusnya tidak ada deviasi tonus ke arah stimulus dingin. Adanya bekuan darah atau serumen di kanal telinga mungkin menghalangi respon pada orang yang tidak mengalami kematian otak. Pemeriksa harus menguji adanya refleks kornea dengan menyentuh ujung kornea dengan ujung kapas pembersih untuk menghasilkan stimulus yang adekuat. Respon batuk dapat diuji dengan suction bronkhial, karena menggerakkan pipa trakhea maju mundur mungkin tidak menghasilkan rangsang yang cukup. Setelah tampak bahwa refleks batang otak tidak ada, apnea harus diuji. Oksigenasi difusi apnea adalah prosedur yang dilakukan untuk mempertahankan oksigenasi saat pengujian. Batas stimulasi maksimal pusat pernapasan di medula oblongata (yang dapat mengalami gangguan fungsi akibat cedera) telah diatur di Amerika Serikat pada tekanan parsial karbon dioksida setinggi 60 mmHg atau lebih tinggi 20 mmHg daripada nilai dasar normal. Pelepasan ventilator akan memungkinkan tekanan parsial karbon dioksida untuk meningkat di atas 60 mmHg dan pH turun di bawah 7,28 dalam waktu 8 hingga 10 menit. Pada pasien yang menggunakan bantuan ventilator, oksigenasi dipertahankan dengan memberikan preoksigenasi dan menggunakan oksigen aliran rendah (biasanya 5 hingga 6 L. menit) yang dihantarkan melalui kateter yang ditempatkan di trakhea setinggi karina.Bila aspek-aspek pemeriksaan klinis tidak dapat dilakukan maka prosedur diagnosis pendukung dapat dipertimbangkan. Absennya aliran darah intracranial, ditunjukkan dengan pindaian radionuklida atau angiografi serebral 4-vasa, akan sangat mendukung diagnosis kematian otak. Elektroensefalografi telah terbukti tidak dapat diandalkan dalam menjadi uji pendukung untuk kematian otak dan tidak lagi disertakan dalam panduan praktek. Potensial pacuan batang otak, Doppler intracranial, pencitraan lain seperti MRI dan uji atropine kini masih dalam investigasi untuk menentukan manfaatnya dalam mendukung diagnosis kematian otak.

C. TES DIAGNOSIS

Tiga temuan utama dalam kematian otak adalah koma atau tidak adanya respon, absennya refleks batang otak, dan apnea. Pemeriksaan klinis dari batang otak meliputi tes refleks batang otak, penentuan kemampuan pasien untuk bernapas secara spontan, dan evaluasi respon motor terhadap nyeri.1. Koma atau tidak adanya responPengujian respon motor dari ekstremitas diuji dengan stimulasi nyeri penekanan daerah supraorbita dan dasar kuku. Yang harus diperhatikan dalam pengujian ini adalah kemungkinan adanya respon motorik (Lazarus sign) yan dapat terjadi secara spontan selama tes apnea, seringkali pada kondisi hipoksia atau episode hipotensi, dan berasal dari spinal. Agen penyekat neuromuskuler juga dapat menghasilkan kelemahan motorik yang cukup lama.2. Tidak adanya refleks batang otakA. PupilPengujian terhadap refleks pupil dilakukan dengan menguji respon terhadap cahaya yang terang. Kematian otak akan menunjukkan pupil yang berbentuk bulat, oval, ataupun ireguler. Kebanyakan pupil pada pasien yang mengalami kematian otak akan berada pada ukuran 4 hingga 6 mm, namun ukuran dapat bervariasi dari 4 hingga 9 mm. Pupil yang mengalami dilatasi menggambarkan kematian otak, karena jalut servikal simpatis yang berhubungan dengan serat otot dilator yang tersusun radial masih dapat tetap utuh.Yang harus diperhatikan dalam pengujian ini adalah bahwa banyak obat dapat mempengaruhi ukuran pupil. Pada dosis konvensional, atropin yang diberikan secara intravena tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap respon pupil. Karena tidak ada reseptor nikotinik di iris, obat penyekat neuromuskuler tidak mempengaruhi ukuran pupil. Pemberian obat topikal di mata dan trauma kornea atau bulbus okuli dapat menyebabkan abnormalitas ukuran pupil dan menyebabkannya menjadi non reaktif. Abnormalitas anatomis yang telah ada sebelumnya pada iris ataupun efek dari operasi harus dieksklusiB. Pergerakan okulerGerakan okuler akan absen setelah dilakukan gerakan memutar kepala da tes kalorik dengan air es. Pengujian ini hanya dilakkan setelah dipastikan tidak ada fraktur atau instabilitas dari servikal atau pada pasien dengan cedera kepala. Vertebra servikal harus diperiksa dengan pencitraan untuk menunjukkan tidak adanya fraktur atau instabilitas potensial. Refleks okulosefalik yang dirangsang dengan menggerakkan kepala secara cepat dan tegas dari posisi tengah ke posisi 90 derajat kiri dan kanan, pada orang normal akan menghasilkan deviasi mata ke arah berlawanan dengan gerakan kepala. Pergerakan mata vertikal juga diuji dengan melakukan fleksi leher. Pada kematian otak, tidak akan ditemukan adanya pembukaan kelopak mata dan pergerakan mata vertikal dan horizontal.Uji kalori dilakukan dengan kepala yang dielevasikan 30 derajat selama irigasi dari tympanum di tiap sisi telinga dengan 50 ml air es. Irigasi tympanum dilakukan paling baik dengan menggunakan kateter suction kecil di kanal auditorik eksternal dan menghubungkannya dengan siring 50 ml yang diisi dengan air es. Deviasi tonus dari mata yang muncul akibat rangsang kalorik dingin tidak akan muncul pada kematian otak. Investigator harus mengamati hingga 1 menit setelah pemberian stimulus, dan waktu antara pemberian rangsang pada tiap sisi harus minimal 5 menit.Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah adanya obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan respon kalorik, yakni sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik, antikolinergik, obat antiepilepsi, dan agen kemoterapi. Setelah cedera kepala atau trauma fasial, edema kelopak mata atau kemosis konjungtiva dapat menghambat pergerakan bola mata. Bekuan darah atau serumen dapat juga mengurangi respon kalorik, dan uji dilakukan ulang setelah pemeriksaan inspeksi langsung tympanum. Fraktur basal dari tulang petrosus dapat menghilangkan respon kalorik secara unilateral dan dapat diidentifikasi dengan prosesus mastoideus yang ekimosis.C. Sensasi fasial dan respon motor fasialRefleks kornea harus diuji dengan swab tenggorok. Refleks kornea dan refleks rahang harus absen. Wajah yang mengernyit saat diberikan rangsang nyeri dapat diuji dengan memberikan tekanan dalam dengan obyek tumpul pada dasar kuku, tekanan pada daerah supraorbita, atau tekanan yang dalam pada kedua kondilus setinggi sendi temporomandibuler. Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah adanya trauma fasial yang berat sehingga dapat mengganggu interpretasi refleks batang otak.D. Refleks faring dan trakeaRespon tersedak, yang diuji dengan merangsang faring posterior dengan laringoskop, harus absen. Tidak adanya refleks batuk pada suction bronkhial juga harus tampak. Dalam pemeriksaan ini, harus diperhatikan bahwa pada pasien yang diintubasi secara oral, respon tersedak mungkin sulit untuk diamati3. ApneaPada uji apnea, harus diperhatikan beberapa kondisi sebelum dilakukannya pengujian. Perubahan yang penting pada tanda vital (misalnya hipotensi yang mencolok, aritmia kardia berat) yang ditemukan pada pemeriksaan apnea dapat berkaitan dengan kurangnya pengamatan terhadap kondisi-kondisi yan dilakukan sebelum pengujian, walaupun perubahan tersebut dapat terjadi secara spontan karena asidosis yang meningkat. Sehingga, persyaratan-persyaratan berikut ini harus diperhatikan: (1) suhu inti lebih dari atau sama dengan 36,5C (4,5C lebih tinggi dari suhu yang menjadi persyaratan diagnosis klinis kematian otak yakni 32C), (2) tekanan darah sistolik yang lebih tinggi atau sama dengan 90 mm Hg, (3) euvolemia (atau lebih baim apabila balans cairan positif selama 6 jam sebelumnya), (4) eukapnea (atau apabila PCO2 arteri lebih dari atau sama dengan 40 mm Hg), dan (5) normoksemia (atau apabila PO2 arteri lebih dari atau sama dengan 200 mm Hg). Pulse oksimeter dihubungkan pada pasien. Pengujian dilakukan dengan tahap-tahap berikut:1. memutus hubungan dengan ventilator2. memberikan O2 100% dalam 6 l/menit3. amati pergerakan respirasi4. ukur PO2, PCO2 dan pH arteri setelah 8 menit dan hubungkan kembali dengan ventilator. Bila gerakan respirasi tidak ada dan PCO2 arteri sama dengan lebih 60 mmHg, maka tes apnea dinyatakan positif5. Bila selama tes apnea tekanan darah sistolik menjadi 90 mm Hg, oksimeter pulsa menunjukkan desaturasi, dan terjadi aritmia kardia, segera ambil sampel darah, hubungkan dengan ventilator, dan lakukan analisa gas darah arteri. Tes apnea memberikan hasil positif, apabila PCO2 arteri lebih dari atau sama dengan 60 mm Hg atau meningkat 20 mm Hg dari PCO2 normal dasar. Bila PCO2 kurang dari 60 mm Hg, atau peningkatannya kurang dari 20 mm Hg, hasilnya tidak dapat dipastikan. Pada kondisi ini, dimana terdapat instabilitas kardiovaskuler bersamaan dengan ketidak jelasan batasan atas PCO2 dimana terjadi stimulasi maksimal terhadap pusat pernafasan, maka tergantung pada dokter untuk memutuskan apakah diperlukan tes konfirmasi untuk memastikan diagnosis klinis kematian otak.6. Bila tidak ada pergerakan respirasi, PCO2 kurang dari 60 mm Hg, dan tidak ada aritmia kardia atau hipotensi signifikan, tes dapat diulang dengan apnea selama 10 menit.

REFLEKS CAHAYADEKORTIKASI DAN DESEREBRASI

Dekortikasi adalah suatu keadaan ataupun gangguan pada anggota badan yang ditandai dengan terjadinya kekakuan otot pada satu atau kedua sisi anggota badan yakni anggota bagian bawah berada dalam posisi kaku dan terkedang (ekstensi), sedangkan anggota badan atas dalam posisi kaku dan terketul (fleksi), dalam posisi ini sukar untuk diubah. Istilah rigiditas dekortikasi dan deserebrasi atau posturing digunakan untuk menyatakan gerakan lengan serta tungkai yang stereotipik dan terjadi spontan atu dicetuskan oleh stimulasi sensorik pada pasien tersebut. Gerakan flesi sendi siku serta pergelangan tangan dan supinasio lengan (dkortikasi) menunjukan kerusakan bilateral yang berat pada hemisfer otak di atas mesensefalon, sedangkan gerakan ekstensi sendi siku serta pergelangan tangan dan pronasio lengan (descrebrasi) menunjukkan kerusakan pada mesensefalon serta bagian kaudal diensefalon. Ekstensi lengan dengan flesi tungai yang minimal atau kedua tungai yang flasid (lemas) berkaitan dengan lesi pada pons bagian bawah. Namun, lesi yang akut sering menimbulkan ekstensi tungkai tanpa tergantung lokasinya, dan hampir semua sifat posturing ekstensor berubah menjadi flesor sehingga posturing saja tidak dapat diandalkan untuk menentukan lokasi anatomik yang akurat.